Anda di halaman 1dari 11

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG

Kesenjangan Sosial dalam Perspektif Teologi Pembebasan

Mata Kuliah:
Teologi Asia

Dosen:
Togardo Siburian, D.Th

Oleh:
Olivia Ruth Mamusung / 2015.10109

November 2018
I. Pendahuluan

Dalam sebuah tatanan sosial kehidupan, adanya orang yang berkuasa, orang yang
memiliki banyak uang, orang yang memilki sesuatu yang lebih adalah hal biasa bahkan su
dah ada sejak dahulu kala. Semua terlihat biasa, bahkan kasarnya, jika tidak ada sebuah st
rata sosial, kehidupan terluhat begitu kaku.
Namun, semakin hari semakin terlihat dengan jelas jurang pemisah antara “si kay
a” dan “si miskin”, sang penguasa, dan yang dikuasai, kaum “eksekutif” dan kaum “ekon
omis”. Jurang pemisah itu menjadikan yang kuat menindas yang lemah, yang mampu me
nguasai, menindas yang tidak bisa memegang kekuasaan, dan bahkan merendahkan marta
bat orang lemah yang sama-sama manusia.
Khususnya di Asia, sebuah jabatan, kekuasaan, dan uang masih menjadi pengenda
li utama tatanan masyarakat yang ada. Orang yang kaya semakin kaya, yang miskin sema
kin melarat. Yang kaya semakin “dimanusiakan” yang miskin semakin tidak diperlakukan
seperti manusia. Walaupun hal ini memang belaku di seluruh dunia, namun pada paper ini,
yang menjadi sorotan utama adalah Asia, khususnya Indonesia.
Pergumulan-pergumulan seperti inilah yang memunculkan tema-tema teologis kh
usus dan bahkan sesuai dengan konteks yang ada di Asia, dan yang paling terkenal adalah
teologi Pembebasan, yang menggunakan istilah-istilah yang berbeda sesuai dengan tempa
t munculnya gerakan teologi ini. Namun, ada beberapa pertimbangan yang harus dibahas
mengenai teologi pembebasan yang muncul di Asia, khususnya di Indonesia.

II. Latar Belakang


II.1. Permasalahan Utama dalam Kesenjangan Sosial

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Kesenjangan” adalah sebuah ketidak s


eimbangan, ketidaksimetrisan sesuatu. Bahkan di pengertian kedua di dalam KBBI, “kese
njangan” merujuk pada jurang pemisah, antara si kaya dan si miskin yang makin lebar. 1 N
amun, kesenjangan sosial bukan hanya sekedar ada yang kaya dan yang miskin yang mem
punyai latar belakang ekonomi berbeda, namun kesenjangan sosial merupakan masalah, k
arena terdapat penindasan dan perendahan harkat serta martabat manusia di dalamnya.
BBC Indonesia sendiri sudah melihat dan meneliti mengenai kesenjangan sosial y
ang sebenarnya, bahkan di dalam tulisannya, dikatakan bahwa “Kami berpendapat bahwa
persepsi publik tentang ketidaksetaraan kekayaan yang dianggap tidak menyenangkan ba
gi kebanyakan orang adalah tidak benar, dan justru sebaliknya, yang benar-benar diperhat
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia

1
ikan orang adalah ketidakadilan,” sebuah pendapat dari seorang psikolog doktoral, Christi
na Starmans.2
Di dalam bukunya, Tri Harmaji mengamati penyebab terjadinya kesenjangan sosia
l ditengah kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam ber
komunikasi, adalah karena memang manusia memilih sistem ekonomi yang mereka terap
kan, yang lebih berorientasi pada pertumbuhan kekayaan saja, sementara untuk orang lain,
tidak terlalu diperdulikan.3 Memang beberapa orang muncul sebagai yang menentang seb
uah kesenjangan sosial dengan menawarkan sebuah sistem yang baru, namun tidaklah terl
alu berpengaruh banyak di dalam perjalanannya. Kesenjangan tetap saja ada.
Maka permasalahan utama sebenarnya terletak pada ketidakadilan yang terjadi ole
h para penguasa, orang-orang yang mempunyai kedudukan, dan lain sebagainya.

II.2. Kesenjangan Sosial di Indonesia

Memang jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Afrika, Indonesia t


ermasuk negara yang berkembang secara ekonomi, dan belum menyentuk tingkat kemiski
nan yang parah, namun sampai tahun 2015, peningkatan ekonomi yang ada di Indonesia h
anya dinikmati 20% orang yang adalah kaum elit di Indonesia. Sedangkan 80% orang tida
k merasakan pertumbuhan ekonomi yang ada.4
Melihat ini, memang usaha yang dilakukan oleh pemerintah sebagus apapun itu ak
an sangat dihalangi oleh orang-orang “elit” yang memiliki uang, kekuasaan, dan keduduk
an di atas masyarakat Indonesia. Maka tidaklah heran di beberapa daerah, khusunya di da
erah perkotaan seperti Jakarta, Bandung, dan daerah perkotaan yang lain, yang merupaka
n tempat tinggal orang-orang super kaya, sekaligus orang-orang yang bahkan tidak memil
iki rumah ataupun tempat untuk beristirahat

Sistem yang sudah mandarah daging ini membutuhkan waktu yang cukup lama un
tuk dapat merubahnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya, apa peran Gereja di Indonesia dala
m melihat permasalahan ini, kesenjangan sosial yang begitu lebar dan penuh dengan peni
ndasan dan perendahan martabat seseorang?

2
Bryan Lufkin, “Ternyata kita 'keliru' melihat ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial” ; internet diakse
s 27 November 2018; https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-40694775 27 Juli 2017.
3

T. Tri Harmaji, Teologi Jalan Tengah: Refleksi Tentang Gaya Hidup Sederhana Yesus di Tengah-teng
ah Gaya Hidup Modern Saat Ini (Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2014), 2.
4

Wisnu Widiantoro, “Seberapa Parah Ketimpangan Ekonomi di Indonesia?”; internet diakses; 27 Nove
mber 2018; https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/31/100200826/seberapa-parah-ketimpangan-ekonomi-d
i-indonesia- 31 Agustus 2018.

2
III. Teologi Pembebasan

Teologi Pembebasan sebenarnya pertama kali dipopulerkan oleh Gustavo Gutierre


z pada tahun 1970an, seorang Amerika Latin, yang melihat sebuah penindasan yang dilak
ukan oleh penguasa, pemerintah, dan kaum bersenjata yang dikendalikan oleh penguasa, s
erta kaum elit lainnya kepada masyarakat yang ada, bahkan dia sendiri mengalami penyik
saan yang dilakukan oleh kaum bersenjata tersebut.5

III.1. Munculnya Teologi Pembebasan di Asia

Setelah Gutierrez menerbitkan buku “Teologi Pembebasan”, dampak yang dib


awanya tidaklah sedikit. Begitu banyak yang merespon dan mngikuti gerakan tersebut
khusunya di Asia sendiri. Namun, serupa tetapi tidak sama dengan konteks Amerika
Latin, Asia mengalami sebuah kesenjangan sosial yang lebih kompleks, karena di dala
mnya ada keberagaman budaya, tradisi yang begitu kuat, suku-suku yang masih kuat
memegang kepercayaannya.6
Teologi-teologi ini muncul dengan factor ketidak-puasan akan teologi-teologi
Barat yang terlalu di atas awan, dan tidak sesuai dengan konteks Asia. Banyak hal yan
g tidak dapat menjawab, bahkan “mengecewakan” orang-orang Asia, seperti yang dik
atakan oleh Hwa Yung di dalam buku “Mangga atau Pisang”, “Teologi Barat yang sa
ya pelajari sering kali gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan sadar
ataupun tidak dari konteks kerohanian, kebudayaan, dan sosiopolitik saya.”7
Masalahnya, hingga saat ini, masih belum terlihat teolog-teolog yang berlebel
Injili yang membuat gagasan Teologis mengenai konteks kesenjangan di Asia. Yang a
da adalah orang-orang yang dilebelkan kaum ekumenis yang giat dan peka terhadap p
ermasalahan ini.
Namun, bukan berarti kritik yang dilayangkan oleh kaum Injili terhadap kaum
ekumenis ditolak mentah-mentah, malah dapat menjadi pertimbangan dalam melakuk
an sebuah kontekstualisasi, khususnya untuk teologi pembebasan.

III.2. Jenis-jenis Teologi Pembebasan

5
Kalvin S. Budiman, 7 Model Kristologi Sosial (Malang: Literatur SAAT, 2013), 196.
6

Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), vi.
7

Hwa Yung, Mangga atau Pisang? Sebuah Upaya Pencarian Teologi Kristen Asia yang Autentik (Jakar
ta: Literatur Perkantas, 2017), 10.

3
Seperti yang sudah dijelaskan pada munculnya teologi pembebasan yang ada d
i Asia, keberagaman tempat dan konteks yang berbeda memunculkan begitu banyak je
nis dan pemahaman teologi pembebasan berdasarkan pergumulan masing-masing. Na
mun di dalam pembahasan ini, penulis hanya akan membahas dua jenis teologi yang
muncul, yaitu Teologi Minjung, dan teologi Dalit, yang merupakan teologi paling terk
enal, serta memiliki beberapa kemiripan dengan Indonesia dari segi kesenjangan sosia
lnya.

III.2.1.Teologi Minjung

Yang pertama dan yang masih menjadi topik pembicaraan, yaitu Teologi
Minjung yang berasal dari Korea berdasarkan refleksi orang Kristiani yang miskin
dan tertindas, dan sesuai dengan arti namanya, “Minjung” berarti “rakyat jelata” at
au dalam pengertian teologis, merupakan orang-orang yang mengalami penindasa
n secara ekonomi, politik, dan sosial oleh kaum elit dan penguasa.8
Teologi muncul akibat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Korea,
berkembangnya kapitalis industri, dimana pinjaman-pinjaman yang mudah untuk
didapatkan, tetapi malah semakin menyiksa dan menindas warga desa yang berpin
dah-pindah, dan tidak memiliki penghasilan tetap.9 Intinya, teologi ini berdasarkan
sebuah refleksi teologis terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh kekuasaan pol
itik dan orang-orang yang berkuasa.
Sampai hari ini, kekuatan kekuasaan, uang dan kedudukan masih sangat ke
ntal di Korea, walaupun memang tingkat kemakmuran yang semakin membaik, na
mun penindasan dalam hal sosial masih sangat terasa, seperti penindasan secara m
ental dan psikologis bagi para orang-orang muda yang mencari kekuasaan dari kes
empurnaan fisik.
Hal ini sebenarnya terlihat dari lagu-lagu masa kini yang muncul dari perg
umulan para artis Korea yang tertekan karena tuntutan kesempurnaan yang harus
mereka hadapi. Maka Korea dinobatkan sebagai negara dengan tingkat bunuh diri
tertinggi di dunia.10

8
Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 4.
9

Ibid.,
10
Annisa Steviani, “Jonghyun 'SHINee' dan Kasus Bunuh Diri di Korea Selatan”; internet diakses; 28
November 2018; Rabu 20 Desember 2017; https://news.detik.com/kolom/3778322/jonghyun-shinee-dan-kasus-
bunuh-diri-di-korea-selatan

4
Hwa Yung menanggapi teologi ini, dengan perspektif yang dia gunakan ad
alah penginjilan, pelayanan dan pengembalaan dalam perjalanan teologi ini, mema
ng tidaklah lengkap atau masih ada yang kurang, dan masih terpengaruh dengan te
ologi-teologi barat, seperti teologi-teologi sekulerasi, politik, dan lain sebagainya
yang malah merujuk pada teologi barat.11
Tapi walaupun begitu, teologi ini sudah setidaknya menyuarakan sebuah p
erasaan tertindas yang selama ini tidak dianggap oleh orang-orang “atas”, yang me
nyuarakan ketidakadilan dari sistem yang selama ini sudah dibentuk. Pada masa in
i, penderitaan akubat tekanan sosial dapat dikategorikan sebagai penderitaan jama
n baru di Korea.
Tujuan teologi ini adalah agar masyarakat kecil dapat berteologi, melalui c
erita-cerita rakyat dan kesenian yang ada seperti tarian, dan musik yang ada. Yesu
s dipandang sebagai mesias di tengah oklos atau rakyat yang dibuang dan terpingg
irkan, dan tidak berdaya.12

III.2.2.Teologi Dalit

Teologi pembebasan ini muncul di tengah kebudayaan India yang meyaki


ni sebuah strata sosial atau tingkatan kasta seseorang.yang bahkan menjadi identit
as mereka secara permanen, atau tidak dapat diubah-ubah lagi. Dalit sendiri meru
pakan daerah yang bahkan tidak masuk dalam golongan kasta di India, dengan art
i Dalit yang adalah patah, tersingkir, dan golongan yang cemar.13 Mereka tidak di
perlakukan sama seperti manusia lagi, bahkan lebih rendah dari binatang.
Ada 125 juta orang lebih yang telah diinjak-injak dan tidak dianggap di da
lam tatanan sosial yang ada. Secara politik, mereka merupakan sasaran empuk pra
ktek sewenang-wenang oleh penguasa yang ada, di dalam tatanan Agama pun, me
reka memiliki dewa yang merupakan budak dari dewa yang lain. 14 Hal ini tentu sa
ja menarik perhatian para teolog-teolog baik yang ada dalam India, maupun yang
berada di luar India, bahkan selalu menjadi topik di buku-buku teologi Asia.

11

Hwa Yung, Mangga atau Pisang?, 258.


12

Togardo Siburian, diktat perkuliahan “Teologi Asia”, (Bandung: STTB, 2018).


13

Ibid.,
14
Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 40-43.

5
Tantangan utama di dalam konteks ini adalah, kuatnya agama Hindu yang
mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan tanpa adanya kemanusiaan di dalamn
ya. Yang pada akhirnya membuat para teolog kebanyakan masuk dari konteks hin
du untuk masuk ke dalam konteks kehidupan mereka. 15 Namun di dalam teologi y
ang mereka kemukakan kebanyakan mengorbankan banyak hal demi masuk sesua
i dengan konteks di sana.
Memang teologi Dalit masih menjadi mengalami perkembangan dan bebe
rapa kali menjadi bahan diskusi teologi dari para teolog, baik yang ada di India, y
ang berada di dalam suku tersebut, maupun dari luar. Ada yang ingin mengubah t
atanan sosialnya, ada yang memikirkan resikonya, ada yang menolak.16
Maka konsep Allah yang dipahami oleh mereka adalah Allah Dalid, yaitu
Allah yang melayani, yang turut merasakan apa yang mereka rasakan. Bahkan Ye
sus bergaul dengan orang yang terpinggirkan pada masa itu.17
Teologi ini sangatlah penting untuk membuka mata setiap teolog yang tin
ggal di tempat-tempat yang mungkin memiliki kondisi yang sama dengan apa yan
g dialami oleh orang-orang Dalit tersebut.

III.3. Teologi Pembebasan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, salah satu teolog yang terkenal yaitu A. A. Yewango


e memaparkan sebuah teologi pembebasan yang dia tulis di dalam bukunya, “Yes
us dan Wong Cilik” yang berdasarkan konteks jaman Orde Baru, yang dipimpin ol
eh presiden Soeharto dan para jajarannya. Konteks pada waktu itu hampir sama de
ngan keadaan di Korea, dimana pemerintah tangan besi dilakukan.
Namun, inti yang mau disampaikan oleh Yewangoe adalah peran Gereja d
alam melakukan diakonia yang transformative yang artinya sebuah diakonia yang
mengubahkan dan membangun sebuah tatanan masyarakat yang lebih baik. 18 Mak
sudnya adalah Gereja bukan hanya menjadi seorang yang memberi makan, tetapi
membuat orang yang diberikan makanan mencari makanan.

15

Togardo Siburian, “Teologi Asia”


16

Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 50-53.


17

Ibid.,
18
A. A. Yewangoe, Yesus Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan teologi Rakyat di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 195.

6
Konsep tersebut terlihat dari Kristus yang bukan hanya memberikan oran
g-orang yang mengikuti-Nya makanan saja, tetapi juga pengajaran untuk memperl
engkapi mereka. Memang di dalam perjalanan pelayanan Yesus, Dia tidak pernah
memberikan sebuah sistem politik yang baku dan kaku sesuai dengan keinginanny
a.

IV. Teologi “Timbangan”

Melihat rangkaian teologi pembebasan yang muncul di kawasan Asia, sebagian be


sar merupakan sebuah kritik terjadinya kesenjangan sosial yang mengakibatkan ketidakad
ilan, diskriminasi, bahkan tidak lagi menganggap sesama manusia sebagai seorang yang p
atut dikasihi.
Kristus hidup di jaman seperti itu, dan yang melakukan pengelompokan sosial ada
lah mereka yang berasal dari Bait Allah, dan menganggap standar hidup mereka lebih ting
gi dari yang lain. Tidak lagi menganggap orang yang berada di luar komunitas sebagai ses
ama manusia. Maka Yesus pun bertanya kepada mereka, “siapakah sesamaku manusia?” t
idak ada yang dapat menjawab, karena sudah menaruh sebuah stigma kejam kepada oran
g-orang yang berada di luar golongan mereka. Namun mari kita melihat konsep Allah tent
ang manusia itu seperti apa sejak semula.
Timbangan sering kali melambangkan keadilan yang seimbang dan tidak berat seb
elah, atau yang biasa digunakan sebagai lambang hukum di Indonesia. Namun maksud pe
nulis memilih timbangan adalah keseimbangan sosial bukan dalam hal materi tetapi dala
m hal harkat dan martabat yang dimiliki oleh setiap orang.
Lalu timbangan juga menunjukkan bahwa yang kuat atau yang berat harusnya me
ngangkat yang lemah, bukan menindas dan memperlakukan mereka dengan tidak layak. I
nilah alasan mengapa penulis memilih Teologi Timbangan sebagai pertimbangan teologi
penulis.
Maka landasan teologis yang akan dijabarkan, adalah konsep imago Dei atau gam
bar dan rupa Allah yang menjadi landasan seseorang memandang orang lain, serta pelaya
nan Kristus di bumi yang membawakan berita kerajaan Allah yang sungsang, atau lebih k
epada yang seimbang.

IV.1. Imago Dei

Kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menur


ut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-b

7
urung di udara dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Ny
a dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”
Penulis memberikan penekanan pada Allah menciptakan hingga empat kali pe
ngulangan yang menunjukkan bahwa Allahlah yang benar-benar menciptakan manusi
a menurut gambar dan rupa-Nya. Walaupun pada akhirnya manusia jatuh di dalam do
sa, gambar Allah itu dipulihkan di dalam Kristus.19
Gambar Allah yang telah rusak akibat dosa sekarang di pulihkan di dalam Kris
tus. Maka tidak ada alasan lagi seseorang menganggap yang lain rendah, bahkan men
gambil haknya untuk hidup. Kesenjangan sosial yang di dalamnya ada penindasan, tid
ak adanya penghargaan terhadap orang lain, merendahkan bahkan tidak menganggap l
agi orang tersebut sebagai manusia merupakan tindakan yang merendahkan Allah yan
g telah menciptakan kita semua manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
Mungkin ada yang memberikan alasan, “semua manusia telah jatuh di dalam d
osa, maka layaklah sesorang tersebut ditindas dan diperbudak.” Pemikiran tersebut sa
ngatlah keliru dan tidaklah mempunyai tanggung jawab. Seperti yang sudah disinggun
g, semua orang sudah jatuh ke dalam dosa, dan satu-satunya yang pantas memperbuda
k dan memberikan hukuman, yaitu Allah sendiri. Tetapi Dia lebih memilih mengorba
nkan Kristus sebagai jembatan dan pemulihan gambar Allah yang sepenuhnya di dala
m Kristus. Jadi tidak ada alasan bagi setiap orang baik dia yang memiliki kekayaan, m
emiliki kuasa, memiliki kedudukan yang tinggi untuk menindas orang-orang yang lem
ah dan lebih berkekurangan.
Konsep gambar dan rupa Allah ini menjadi salah satu landasan teologi timban
gan yang penulis sarankan.

IV.2. Kerajaan Sungsang20


Konsep ini terinspirasi dari buku “Kerajaan yang Sungsang” karya dari Donal
d B. Kraybill. Jika melihat pemikiran dia, hal yang pertama kali terlintas adalah, meng
apa orang Barat yang menyadari hal ini?
Dia melihat pelayanan Kristus tidaklah mengandalkan kekuasaan, kejayaan, ke
dudukannya sebagai seorang anak Allah. Maka Yesus sendiri lulus di dalam ujian yan
g diberikan oleh Iblis sebagai gambaran ketiga hal yang sangat berpengaruh di dunia,
bahkan hingga hari ini, khususnya di Asia, yaitu kekuasaan ekonomi, kekuasaan dala
19
B. J. Boland, Intisari Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 25.
20
Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).

8
m hal Agama yaitu mendapatkan kedudukan tertinggi pada masa itu di dalam strata so
sial Yahudi, lalu kekuasaan secara global. Ketiga hal yang bahkan masih sampai sekar
ang.
Yesus datang membawa perubahan paradigma, dari yang awalnya memandang
orang lain sebagai bukan sesama manusia, kepada esensi sebenarnya bahwa semua or
ang diciptakan sama di mata Tuhan, jatuh dalam dosa, dan ditebus oleh darah Kristus.

V. Kesimpulan
Kesenjangan sosial akan terus terjadi dan tetap ada di manapun itu di dalam konte
ks apapun itu, namun hal yang salah adalah ketika kesenjangan tersebut malah digunakan
untuk menyiksa orang lain, bahkan menganggap seseorang itu tidak berharga lagi, atau ba
hkan tidak menganggap orang lain sebagai sesama manusia lagi.

Begitu banyak teologi pembebasan yang muncul dan mulai menyadari hal ini buk
an hanya masalah sebagian orang, tetapi merupakan refleksi teologis bagi semua orang, b
ahkan untuk Gereja.

Teologi Timbangan sebagai refleksi penulis adalah sebuah gambaran bagaiaman s


eharusnya seorang menghargai sesama manusia sebagai gambar dan rupa Allah, serta me
mbantu orang-orang yang kesusahan, serta meneladani kehidupan Kristus yang berusaha
menyadarkan orang-orang pada masa itu, bahwa semua manusia adalah sama dan merupa
kan ciptaan Allah yang mulia. Tidak ada yang saling merendahkan apalagi mennganggap
orang lain seperti bukan manusia.

Daftar Pustaka

Amaladoss, Michael. Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Budiman, Kalvin S. 7 Model Kristologi Sosial. Malang: Literatur SAAT, 2013.

Boland, B. J. Intisari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Harmaji, T. Tri Teologi Jalan Tengah: Refleksi Tentang Gaya Hidup Sederhana Yesus di
Tengah-tengah Gaya Hidup Modern Saat Ini. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka K
risten Indonesia, 2014.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

9
Kraybill, Donald B. Kerajaan yang Sungsang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Siburian, Togardo. diktat perkuliahan “Teologi Asia”. Bandung: STTB, 2018.

Yewangoe, A. A. Yesus Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan teologi Rakyat di
Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Yung, Hwa. Mangga atau Pisang? Sebuah Upaya Pencarian Teologi Kristen Asia yang
Autentik. Jakarta: Literatur Perkantas, 2017.

Media online

Annisa Steviani, “Jonghyun 'SHINee' dan Kasus Bunuh Diri di Korea Selatan”; internet
diakses; 28 November 2018; Rabu 20 Desember 2017; https://news.detik.com/kolom/
3778322/jonghyun-shinee-dan-kasus-bunuh-diri-di-korea-selatan

Lufkin, Bryan. “Ternyata kita 'keliru' melihat ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial” ; intern
et
diakses 27 November 2018; https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-40694775; 27 Ju
li 2017.

Wisnu Widiantoro, “Seberapa Parah Ketimpangan Ekonomi di Indonesia?”; internet diakses;


27 November 2018; https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/31/100200826/seberapa-para
h-ketimpangan-ekonomi-di-indonesia- 31 Agustus 2018.

10

Anda mungkin juga menyukai