Anda di halaman 1dari 13

PEMBEBASAN UNTUK ORANG TERASING

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Melina Cecilia Tarigan (032017065)

Uli Delima Simbolon (032017109)

Besty Apriani Zega (032017115)

PRODI S1 KEPERAWATAN TAHAP AKADEMIK


STIKES SANTA ELISABETH MEDAN
T. A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah kami ini dengan judul
“Pembebasan Untuk Orang Terasing”. Dalam pembelajaran kali ini, mahasiswa
dituntut untuk mampu memahami tentang pembebasan untuk orang terasing yang
termasuk ketimpangan, pastoral melawan keterasingan dan pedoman etis.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai pembebasan untuk orang terasing yang
termasuk ketimpangan, pastoral melawan keterasingan dan pedoman etis.. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata kesempurna.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan, 22 Maret 2019

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………....i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...ii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.2 Tujuan….…………………………………………………………………2
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS…………………………………………….3
2.1 Ketimpangan Pembebasan Untuk Orang Terasing………………………..3
2.2 Pastoral Melawan Keterasingan…………………………………………..4
BAB 3 PENUTUP…………………………………………………………...7
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….7
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep-konsep Teologi Pembebasan bukanlah konsep yang langsung
muncul dalam waktu seketika dan gerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja.
Gerakan pembebasan sudah muncul pada abad ke-16 sebagai gerakan iman yang
berjuang untuk membebaskan suku-suku asli, orang-orang kulit hitam, kaum
Mestizos, kaum miskin di pedesaan dan orang-orang urban. Mereka adalah orang-
orang yang terpinggirkan dan dianggap orang-orang yang bodoh dan tak
beruntung (miseria).
Bartolomé de Las Casas, Antonio de Montesinos, Antonio Vieira, Brother
Caneca dan lain-lain adalah tokoh-tokoh yang berjuang bagi orang-orang yang tak
beruntung itu. Bartolome de Las Casas, misalnya, mengadakan perjuangan untuk
membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol.
Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pejuang
Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Amerika Latin.”
Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap Gutiérrez dan amat
mewarnai pandangan-pandangan teologisnya. Bagi Gutiérrez, La Casas adalah
Musa baru yang membawa pembebasan bagi suku-suku Indian dan menentang
penindasan Bangsa Spanyol atas mereka. Banyak orang Indian mati secara
premature dan tidak adil. Gutiérrez menulis bahwa mereka itu “Dying before their
time” karena “The natives were abused and harassed.”
Teologi bukan sekedar refleksi transendental melainkan refleksi bersama
umat Allah yang hidup dalam konteks sosial yang penuh dengan penindasan,
kemiskinan, keter-belakangan dan penafian harkat manusia. Gutiérrez tidak
segan-seganmenggunakan analisis sosial sebagai bentuk analisa yang dapat
menolongteologi agar mengetahui siapa yang diuntungkan atau dirugikan oleh
sistemsosial itu. Hasil refleksiitu menuntut adanya suatu tindakan“praksis.”Iman
harus berwujud praksis. Istilah “praksis” sendiri adalah bahasa khasmarxisme.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang ketimpangan dalam pembebasan orang yang
terasing.
2. Untuk mengetahui tentang Pastoral yang melawan ketimpangan dalam
pembebasan orang yang terasing.
3. Untuk mengetahui tentang pedoman etis dalam pembebasan orang yang
terasing.

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Ketimpangan Pembebasan Untuk Orang Terasing

1. Ketimpangan dalam Pembebasan Orang Miskin (Menurut Gustavo


Guttierrez)
Gutiérrez mencatat beberapa kesalahan persepsi dalam mengatasi
kemiskinan. Pertama, kemiskinan diatasi dengan menekankan pola
pembangunan (development). Amerika Latin harus membangun dirinya
dan memproduksi barang ekonomi secara mandiri agar tidak tergantung
kepada barang impor. Untuk maksud itu, atas nama pembangunan,
halangan sosial, politik dan budaya harus diatasi sehingga pembangunan
dapat berjalan dengan lancar. Sistem pembangunan macam ini adalah
sistem pembangunan kapitalistik sebab sistem ini terbukti berhasil seperti
yang terlihat pada negara-negara Barat. Namun untuk Amerika Latin,
menurut Gutiérrez, alih-alih kemakmuran yang diperoleh malah kemiskin-
an yang diperoleh karena kemakmuran itu hanya dinikmati oleh segelintir
orang saja. Sistem ini menurut Gutiérrez melahirkan sikap hidup
individualistis karena adanya kompetisi. Orang dapat saling sikut-
menyikut. Tujuan menghalalkan cara. Kapitalisme tidak cocok karena
dunia Amerika Latin berbeda dengan dunia Barat; sistem itu tidak begitu
saja dapat diterapkan pada suatu masyarakat tertentu dan situasi sosial-
politik juga sangat berbeda antara Barat dan Amerika Latin. Pembangunan
sejati adalah pembangunan yang menyangkut pembangunan ekonomi,
sosial politik dan budaya.

2. Ketimpangan dalam Pembebasan Orang Miskin (Menurut Karl Marx)


Analisis Marx mengenai gejala alienasi merujuk kepada hubungan
antara sifat dasar manusia dengan aktivitas pekerjaannya di dalam sistem
kapitalisme. Marx percaya bahwa terdapat kontradiksi nyata antara sifat
dasar manusia dengan cara manusia bekerja yang disebabkan oleh
kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme memicu tindakan sewenang-wenang
para pemilik modal untuk menindas dan memeras kaum pekerja demi
kepentingannya sehingga menyebabkan pekerja teralienasi atau
mengalami keterasingan dalam menjalani aktivitas pekerjaannya.
Pekerjaan tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri sebagai ungkapan
dari kemampuan dan potensi diri, melainkan tereduksi menjadi sarana
untuk memperoleh keuntungan pemodal. Dengan kata lain, dalam
kapitalisme manusia dialienasi atau diasingkan dari pekerjaan yang
merupakan sifat dasarnya sebagai manusia. Oleh karena itu, untuk
memahami keterasingan manusia menurut Marx, perlu memahami terlebih
dahulu konsepsinya tentang sifat dasar manusia itu sendiri.

3. Ketimpangan Untuk Orang Terasing Dalam Dunia Kesehatan (ODHA)


Perubahan yang terjadi dalam diri dan di luar diri ODHA membuat
mereka memiliki persepsi yang negatif mengenai diri nya dan
mempengaruhi perkembangan konsep dirinya. Stigma negatif yang di
berikan oleh Masyarakat kepada ODHA membuat ODHA terpuruk dan
depresi sehingga keinginan mereka untuk hidup rendah.
Kendala-kendala tersebut menyebabkan ODHA harus mempunyai
cara-cara agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya
seperti membangun relasi, dan mencoba berpartisipasi dalam segala
kegiatan, berperilaku sopan, menghormati orang-orang yang ada, bersikap
rendah diri, dll.
Masyarakat di sekitar lingkungan ODHA dan khususnya ODHA
perlu diberikan informasi berupa pendidikan kesehatan berupa penyakit
HIV/AIDS agar mereka mengetahui bagaimana terjadinya perjalanan virus
HIV yang menyebabkan AIDS.

2.2 Pastoral Melawan Keterasingan


Pembebasan (liberation) merupakan kata kunci yang digunakan oleh
Gustavo Gutierrez dalam berteologi. Teologi pembebasan lahir di akhir tahun
enam puluhan, di tengah keberadaan gereja yang ditantang oleh persoalan sosial
dan gereja tidak memperhatikan kebutuhan manusia dalam sejarah hidup yang
sedang dialami. Gutierrez mencoba membangun sebuah teologi pembebasan
berdasarkan realitas sosial di Amerika Latin. Kemiskinan di Amerika Latin
merupakan persoalan sosial yang memprihatinkan. Persoalan sosial di Amerika
Latin melahirkan teologi pembebasan yang dipahami sebagai suatu refleksi, yang
berangkat sekaligus dari Injil dan pengalaman para lelaki dan perempuan benua
Amerika Latin, yang hidup dalam penindasan dan perampasan haknya, dan karena
itu merasa tertuntut untuk ikut serta dalam proses pembebasan.
Istilah pembebasan memiliki dasar biblis yang fundamental, yakni karya
pembebasan Allah bagi umat-Nya. Allah dalam Yesus Kristus bertindak
membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk ketidakadilan
sosial (kemiskinan). Pembebasan terhadap kaum tertindas dan kaum miskin
berarti melakukan pembebasan (penyelematan) sebagaimana yang dilakukan
Yesus. Melakukan pembebasan tidak bisa terjadi dari satu aspek, yakni secara
vertikal (teologis) atau horizontal (sosial) saja, melainkan kedua hal tersebut perlu
berjalan secara bersama-sama.
Ada dua hal yang menjadi landasan pembebasan Kristiani dalam visi
teologi Gutierrez. Pertama, kaitan penyelamatan dan pembebasan yang
menunjukkan misteri kehadiran Allah yang membebaskan manusia dalam sejarah.
Kedua, kaitan pembebasan dan kaum miskin memperlihatkan bagaimana misteri
kehadiran Allah yang membebaskan dalam sejarah, yang menjadi dasar bagi
sesamanya terutama bagaimana perjuangan pembebasan itu mesti mendahulukan
kaum miskin. Melihat kedua landasan pembebasan Kristiani tersebut, jelas bahwa
pembebasan hadir untuk “memerdekakan” mereka yang terbelenggu dalam
ketidakadilan dan kemiskinan. Artinya, Pembebasan tidak saja melepaskan
seseorang dari keadaan yang tidak nyaman, tetapi juga pembebasan juga dapat
memberikan perubahan baik dalam kehidupan setiap individu. Dengan kata lain,
pembebasan sama halnya dengan suatu karya penyelamatan.
Dalam konteks Asia, Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan
sebagai matriks teologi Asia. Pieris menjadikan kedua hal tersebut sebagai matriks
teologi Asia, karena Asia memiliki ciri khas tersendiri, yakni adanya keberagaman
agama namun tidak terlepas dari tingkat kemiskinan yang tinggi. Bagi Pieris,
upaya teologis untuk menghadapi agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian
terhadap aspek kemiskinan di Asia atau sebaliknya memperhatikan kemiskinan
tanpa memberikan perhatian pada aspek religius, maka hal tersebut akan menjadi
sia-sia.
Keberagaman agama di tengah konteks kemiskinan, membuat aspek
religius dan sosial perlu berjalan secara bersama-sama. Menurut Pieris,
keberagaman agama di Asia merupakan salah satu solusi bagi orang Asia untuk
memberantas kemiskinan. Untuk itu, Pieris mencoba menghadirkan konsep
teologi pembebasan di Asia berdasarkan teologi Asia. Teologi Asia merupakan
cara yang dapat dirasakan dan dilakukan bagi orang Asia di tengah realitas. Pieris
melihat teologi Asia sebagai pintu pembebasan bagi kemiskinan di Asia. Dalam
konteks Indonesia, A. A Yewangoe melihat kehadiran gereja di era reformasi.
Maksud melihat gereja di era reformasi, yaitu gereja sebagai jalan pembebasan di
tengah pergumulan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Gereja reformasi berarti
gereja yang memberikan perubahan dengan menjadikan Yesus Kritus sebagai
teladan karena Yesus adalah pembebas. Menurut Yewangoe, gereja hadir seturut
amanat Tuhan Gereja, yakni Yesus Kristus, untuk meneruskan kabar baik tentang
pembebasan dan tidak diharapkan untuk menjadi gereja yang pasif, atau bahkan
bertentangan dengan pembebasan. Sebaliknya gereja harus menjadi pelopor untuk
memperbaharui masyarakat, yakni gereja mesti menajdi reformator
Perjalanan kehidupan gerejawi diharapkan berjalan secara seimbang, yakni
tidak saja memfokuskan diri dalam bidang religius, tetapi juga mencapai
perubahan-perubahan sosial yang adalah pergumulan bersama. Gereja secara
konkret hadir di dunia patut memperjuangkan pembebasan di tengah realitas
sosial. Kehidupan bergereja tidak saja sebatas kegiatan gerejawi, dan cara
berteologi gereja tidak sekadar teologi kuno, namun perlu adanya perubahan
dalam berteologi, yakni teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah ironi,
mengambil bagian di dalamnya, dan bersama-sama dengan kaum tertindas
memperjuangn pembebasan itu.

2.3 Pedoman Etis


Prinsip-prinsip etika keperawatan terdiri dari:
1. Autonomy (Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten
dan memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah
bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
Praktek profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak
hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

2. Beneficience (Berbuat Baik)


Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik.
Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan,
penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri
dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan
kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.

3. Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.

4. Non Maleficience (tidak merugikan)


Prinsip ini berarti segala tindakan yang dilakukan pada klien tidak
menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik.

5. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan
kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran.

6. Fidelity (loyalty/ketaatan)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.

7. Confidentiality (kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi
tentang klien harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali
jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang
klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga
tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

8. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa
tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk
menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar pasti yang mana
tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas
atau tanpa terkecuali.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagaimana teori alienasi dan pembebasan yang diuraikan di atas, dapat
dilihat bahwa dalam teori alienasi yang dikemukakan oleh Marx yaitu ada
kesenjangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Marx hidup
dalam satu masyarakat yang terpecah dalam dua kelompok, yaitu kelompok
pemegang modal dan kelompok bekerja.Kelompok pemegang modal adalah
mereka yang menjadi bagian dari kaum kapitalis, sedangkan kelompok pekerja
adalah mereka yang bekerja namun tidak menerima upah sebagaimana
semestinya.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Gutierrez tentang
pembebasan. Dalam hal ini, penekanan yang diuraikan tentang pembebasan, yaitu
gereja seharunya keluar dari zona nyaman untuk membela dan memperjuangkan
hak-hak orang miskin dengan menekankan, bahwa gereja tidak hanya sekadar
hadir di tengah dunia dengan melulu memikirkan masalah tentang sorga, tetapi
bagaimana gereja hadir untuk memberikan perubahan-perubahan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Gutiérrez, Gustavo. A Theology of Liberation. History, Politics and Salvation.


Maryknoll-New York: Orbis Books, 1973.
Chen, Martin. Teologi Gustavo Gutiérrez. Refleksi dari Praksis Kaum Miskin.
Yogyakarta:Kanisius, 2002.
Nickoloff, J.“Church of The Poor: The Ecclesiology of Gustavo Gutiérrez,”
Journal Theological Studies, Vol. 54, No. 1,1993.

Anda mungkin juga menyukai