Anda di halaman 1dari 36

EKONOMI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DESENTRALISASI

MAKALAH

Disusun Oleh:

Achmad Fairus NIM. 200820201004

Leni Kurnia Optari NIM.

Eny Kurniawati NIM.200820201005

MAGISTER ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

JUNI 2021
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desentralisasi sebenarnya sudah dikenal di Indonesia sejak proses pembangunan


ekonomi dimulai. Tertuang dalam UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah bahwa,
desentralisasi merupakan salah satu azaz dalam undang-undang ini. Namun, seluruh keputusan
dan kebijakan pembangunan dipegang penuh oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam
hal ini hanya dalam posisi menjalankan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini
dapat jelas terlihat dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan kebebasan dalam
bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Sistem pemerintah terpusat ini
menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan pengelolaan keuangan antara pusat dan
daerah. Sumber daya yang cukup potensial yang dimiliki oleh daerah sebagian besar dikirim ke
pusat, padahal seharusnya sumber daya itu dikelola secara mandiri demi kesejahteraan
masyarakat daerah. Akibat lebih jauh dari kebijakan sentralistik ini adalah munculnya
ketimpangan masyarakat, antara pusat dan daerah, padahal peran pembangunan yang diharapkan
adalah memacu perekonomian dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Salah satu cara memacu perekonomian adalah melalui ekonomi kelembagaan. Fokus dari
ekonomi kelembagaan adalah menyiapkan dasar produksi, pertukaran, dan distribusi dari
berbagai macam aspek, baik hukum, ekonomi, politik, dan sosial. Titik ini merupakan titik
dimana setiap negara perlu menyiapkan beragam strategi pembangunan ekonomi sebagai dasar
penyusunan kelembagaan ekonomi. Strategi pembangunan ekonomi harus dipikirkan secara
cermat karena akan berimplikasi kepada formulasi kesepakatan kelembagaan (institutional
arrangement) pada level mikro. Strategi pembanguanan ekonomi dianggap sebagai kunci yang
akan menentukan kebijakan-kebijakan teknis untuk menggulirkan kegiatan ekonomi. Negara
yang lebih mengedepankan tujuan pertumbuhan dibandingkan pemerataan, tentu streategi
pembangunan dan kelembagaan ekonominya akan diarahkan untuk mencapai pertumbuhan
tersebut, begitupun sebaliknya.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah

1. Seperti apa ekonomi kelembagaan saat ini?


2. Bagaimana strategi pembangunan desentralisasi saat ini?
3. Bagaimana kaitan antara ekonomi kelembagaan dengan strategi pembangunan desentralisasi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui seperi apa ekonomi kelembagaan saat ini.
2. Mengetahui bagaimana strategi pembangunan desentralisasi saat ini.
3. Mengetahui bagaimana kaitan antara ekonomi kelembagaan dengan strategi pembangunan
desentralisasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di dapatkan dari penulisan makalah ini adalah bagi mereka yang ingin
mengetahui lebih dalam mengenai ekonomi kelembagaan dan pembangunan desentralisasi saat
ini. Serta bagi yang memiliki kepekaan terhadap berbagai masalah serta alternatif pemecahan
masalah yang ada terutama masalah ekonomi kelembagaan dan desentralisainya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Kelembagaan


2.1.1 Awal kemunculan ekonomi kelembagaan (Old Institutional Economics)

Kemunculan wacana ekonomi kelembagaan diawali dengan kritik pedas Thorsten Veblen
atas dasar teori dan implementasi ekonomi klasik dan neoklasik. Sebagaimana diuraikan
sebelumnya, mainstream ekonomi (neoklasik dan klasik) sejak digagas pertama kali oleh Adam
Smith menempatkan manusia sebagai makhluk super rasional. Konsekuensi dari pemikiran ini,
manusia dianggap sangat rasional dalam menentukan pililihan-pilihan dalam memenuhi
kebutugan hidupnya. Teori utilitas yang memandang nilai benda dari segi manfaatnya semata
lahir dari pandangan manusia sebagai makhluk rasional.

Veblen menentang penadapat ini. Menurutnya, manusia tidak hanya memiliki rasio tapi
juga memiliki perasaan, kecenderungan, instink, dan kebiasaan yang terikat dengan budayanya.
Pililihan-pilihan dalam memenuhi kebutuhan hidup tidak semestinya hanya didasarkan atas
pertimbangan rasional seraya mengabaikan dimensi lain dari manusia. Memandang manusia
hanya sebagai makhluk rasional terlalu menyederhanakan persoalan manusia. Manusia
melakukan kegiatan tidak hanya karena motif ekonomi. Ia memiliki instink/dorongan untuk
melakukan kerja (workmanship instink). Banyak contoh kegiatan manusia yang tidak dimotivasi
oleh kepentingan-kepentingan ekonomi seperti para pencinta alam, kaum relawan, pejuang
lingkungan, memberi sumbangan untuk pembangunan sarana ibadah dll.

Veblen tidak menerima jika rasa senang, bahagia, dan kepuasan material hanya
merupakan buah dari pertimbangan-pertimbangan rasional semata. Menurutnya, manusia adalah
makhluk kompleks, tidak hanya memiliki rasio tapi juga perasaan, selera, kebiasaan dan
kecenderungan/naluri. Naluri bekerja (instinct of workmanship) merpakan dorongan manusia
untuk melakukan sesuatu kendatipun tidak ada manfaat ekonomi yang bisa diambil dari
tindakannya tersebut. Tentu saja, pandangan ini sangat kontras dengan paham utilitarianisme
yang dianut oleh para ekonom klasik dan neoklasik. Utilitarianisme adalah suatu paham yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai kebahagiaan material melalui pendekatan-pendekatan
rasional.
Menurut pikiran Veblen, yang pandangannya mengenai manusia dipengaruhi oleh paham
behaviorisme, manusia merupakan makhluk multidimensi. Ia tidak bisa diperlakukan sebagai
layaknya benda mati yang cenderung statik deterministik. Artinya, kaitannya dengan
menentukan pilihan-pilihan, ketika ia memilih benda A bukan hanya karena B sehingga jika
faktor Bnya dihilangkan ia tidak akan memilih A. Tapi, ketika ia menjatuhkan pilihan pada A,
ada faktor B, C, D, E dst yang ia pertimbangkan. 

Veblen juga berpandangan bahwa lingkungan fisik dan material dimana manusia berada
sangat mempengaruhi kecenderungan manusia dan pandangannya mengenai dunia dan
kehidupannya. Orang yang hidup dalam lingkungan yang konsusif untuk bekerja maka ia akan
cenderung memiliki etos kerja baik. Hubungan manusia dengan lingkungan akan mempengaruhi
pola interaksi antar manusia dengan kekayaannya (property), sistem politik/hukum, falsafah
hidup dan agama/keyakinannya. Interaksi manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya
tersebut mendorong lahirnya kelembagaan sebagai penopang tegaknya interaksi yang harmonis,
dinamis, dan pasti. Veblen mendefinisikan kelembagaan sebagai ”cara melakukan sesuatu,
berfikir tentang sesuatu, mendistribusikan sesuatu yang dihasilkan dari aktivitas kerja”. 

Veblen membagi kelembagaan menjadi dua: kelembagaan teknologi dan kelembagaan


seremonial. Kelembagaan teknologi meliputi mesin pengolah (machine process), penemuan,
metoda produksi, teknologi dll. Kelembagaan seremonial meliputi serangkaian hak-hak
kepemilikan (set of property rights), struktur sosial dan ekonomi, kelembagaan keuangan, dll.
Perubahan kelembagaan teknologi akan mendorong perubahan kelembagaan seremonial.

Lebih spesifik Veblen menyebutkan bahwa teknologi merupakan bagian dari


kelembagaan. Tegasnya, teknologi sangat berpengaruh pada cara pandang dan perubahan sistem
sosial dan ekonomi. Sebagai misal, masyarakat yang hanya tahu cangkul sebagai alat pertanian
maka ia akan melihat pembangunan pertanian dari sudut pandang teknologi cangkul yang
dikuasainya. Pada saat teknologi berubah, maka pandangannya terhadap dunia pertanian akan
berubah pula. 

Pandangan Veblen soal perubahan sosial mirip dengan pandangan Karl Marx. Hal ini
bisa dimaklumi karena sama-sama bermuara pada satu teori evolusi biologi Charles Darwin.
Darwin merupakan mentor keduanya dalam soal teori perubahan sosial. Namun, Marx
berpandangan bahwa perubahan sosial akan berakhir manakala masyarakat adil makmur
sejahtera yang disebut dengan masyarakat komunis telah terwujud. Sedangkan, Veblen
berpendapat bahwa perubahan sosial akan terus berlanjut secara dinamis sejalan dengan
perubahan teknologi. Akhir dari perubahan tersebut sulit diprediksi (unpredictable). Bagi
Veblen, pemahaman teori evolusi sangat penting dalam menjelaskan evolusi/perubahan sosial,
sistem ekonomi dan budaya daripada evolusi biologi yang menurutnya telah mengalami stagnasi
sejak beberapa ribu tahun silam. Sedangkan budaya manusia terus berubah seiring dengan
perubahan teknologi dan kelembagaan. 

Veblen memandang utilitarisnisme yang menjadi ruh ekonomi klasik dan neoklasik harus
bertanggungjawab atas lahirnya paham hedonisme yang telah menjadikan ilmu ekonomi sebagai
ilmu mencari kekayaan semata. Menurut Veblen, ilmu ekonomi klasik dan neoklasik telah telah
mengabaikan peran sentral kelembagaan dalam mendistribusikan kekayaan. Bahkan,
menurutnya, invisible handnya Adam Smith yang mengarahkan seseorang yang mementingkan
dirinya sendiri untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain tidak lain hanyalah bualan yang
menjustifikasi sifat individualistis yang serakah. 

Ilmu ekonomi yang menurutnya menjadi disiplin ilmu yang deterministik, hitam putih,
predictable, jika A maka B. Padahal, menurutnya, asumsi yang dibuat oleh para pemikir klasik
dan neoklasik yang telah menyesatkan ilmu ekonomi menjadi ilmu yang deterministik adalah
tidak valid, sembarangan dan terlalu menyederhanakan persoalan. Memandang manusia sebagai
makhluk yang selalu merasionalkan pilihan-pilihannya dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah
sangat naif. Karena itu, tegasnya, ilmu ekonomi klasik dan neoklasik tidak bermanfaat.

Ilmu ekonomi menjadi ilmu yang mengajarkan cara hidup hedonis dan konsumtif. Fakta
menunjukan bahwa naluri keserakahan dan kecintaan mengumpulkan harta berlebihan telah
menjangkiti masyarakat amerika pada akhir abad 19. Masyarakat amerika telah menjadi
masyarakat yang hedonis dan konsumtif, baik dari sisi suplai maupun demand. Padahal sejarah
mencatat, bahwa prilaku manusia, termasuk dalam menentukan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, tidak deterministik mekanistis. Perubahan satu hal tidak serta merta
menyebabkan perubahan hal lain. Karena, kelembagaan, teknologi, budaya, dan tatanan
masyarakat selalu berubah. Karena itu, pengaruh hilangnya satu faktor berpengaruh sulit
diprediksi karena perubahan kelembagaan dalam masyarakat selalu terjadi sepanjang waktu.
Adanya asumsi ceterus paribus, misalkan dalam elastisitas harga, mencerminkan bahwa ada
faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran manusia atas suatu komoditas yang
tidak dapat diperhitungkan secara bersama-sama. 

Teknologi bersifat dinamis, terus berubah karena terdorong oleh naluri manusia untuk
bekerja dan rasa ingin tahu. Teknologi merupakan kekuatan dinamik dalam masyarakat yang
mempengaruhi karakteristik kelembagaan seremonial. Dengan kata lain, kelembagaan
seremonial bersifat relatif statis dalam arti perubahanya hanya sebagai respon atas perubahan
teknologi. Struktur kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat primitif sangat tergantung pada
status perkembangan teknologi yang ada pada saat itu. Kelembagaan sosial dan ekonomi
masyarakat feodal eropa (abad pertengahan) sangat berbeda dengan kelembagaan sosial dan
ekonomi masyarakat modern abad 20. Ketika alat transportasi masih merupakan pedati
kemungkinan pengemudinya tidak perlu memiliki surat izin mengemudi. Mungkin juga tidak ada
aturan harus berjalan sebelah kanan atau sebelah kiri. Tapi dengan perkembangan teknologi
transportasi yang demikian canggih adalah sangat tidak mungkin tidak ada aturan demikian.
Contoh lain, kehadiran internet di abad 21 telah melahirkan budaya baru serta tuntutan untuk
mengaturnya. 

Pemikiran Veblen menempatkan paradigma ekonomi kelembagaan pada posisi


bersebrangan dengan ekonomi klasik/neo klasik. Pemikiran apapun yang berasal dari aliran
ekonomi arus utama ini dianggap salah, karena Veblen menganggap salah semua asumsi dasar
yang menjadi pondasi aliran ekonomi klasik/neo klasik. Anggapan bahwa manusia sebagai
makhluk rasional yang selalu mempertimbangkan untung rugi secara ekonomi dalam setiap
transaksi, kebebasan individu, dan konsep kepemilikan pribadi merupakan bagian dari asumsi
ekonomi klasi/neoklasik yang oleh Veblen dianggap keliru. Pemikiran ekonomi kelembagaan ini
kemudian dikenal dengan sebutan Old Institutional Economic atau American Tradition of
institutional economics. Mazhab ekonomi kelembagaan ini sering dikritik karena lemahnya
metodologi dan struktur pemikiran.
2.1.2 New Institutional Economics (NIE) 

Dimulai dari ide Coase (1934) tentang kenapa perusahaan diperlukan. Alasan yang
dikemukakan adalah karena kordinasi sumber daya yang mampu dikelola oleh perusahaan, maka
dalam kegiatan menghasilkan barang dan jasa perusahaan berada pada ongkos yang terendah.
Hal ini disebut juga dengan scale of production. Keadaan ini dicapai pada saat produksi
maksimum biaya rata rata perunit berada pada titik terendah. Pandangan ekonomi kelembagaa
baru meyakini bahwa adanya kelembagaan perusahaan agar ongkos transaksi menjadi rendah
terutama untuk mencapai laba. Kesejahteraan masyarakat dicapai melalui interaksi antara
demand dan supply dan dukungan kelembagaan. Selanjutnya perbandingan paradigma antara
kelembagaan lama dan baru dapat dilihat dari hubungan antara atasan dan bawahan di
perusahaan.

Dalam ekonomi kelembagaan baru, pertanyaannya adalah untuk menguji hubungan


antara atasan dan bawahan manakala ekonomi kelembagaan lama mempertanyakan kenapa
seseorang menjadi tuan dan yang lain bawahan pada tempat pertama. Dalam perkembangan teori
ekonomi kelembagaan baru, tiga tokoh penting yang berperan adalah: Oliver Williamson;
douglas North: Alchian dan Demsetz. Williamson menekankan pentingnya hirarki dan
transaction cost dalam menganalisis bekerjanya suatu perusahaan. Kegagalan perusahaan dalam
melakukan transaksi disebabkan oleh: adanya ketidak lengkapan pasar; hubungan spesifik. Bagi
North, perubahan kelembagaan adalah penting yang bertujuan untuk melakukan penyesuaian jika
menghadapi perubahan situasi. Perubahan ini akan memperkuat kinerja ekonomi. Kemudian,
bagi Alchian-Demsetz mengemukakan konsep Principal-Agent Theory di dalam perusahaan.
Konsep ini muncul karena adanya dominasi produk yang dihasilkan oleh tim. Diperlukan
kegiatan monitoring bagi pelaksanaan kegiatan. Persoalannya adalah pihak mana yang
memonitor? Semuanya tergantung siapa yang memiliki property right dari perusahaan yang
bersangkutan. Berikut beberapa konsep ekonomi kelembagaan baru:
a) Bounded Rationality. Konsep ini dikemukakan pertama oleh Herbert Simon (1916-2001), yang
menyatakan adanya keterbatasan rasionalitas seorang pengambil keputusan. Rasionalitas adalah
satu pendekatan logis melalui langkah demi langkah dan analisis yang mendalam untuk mencari
alternatif dan konsekuensinya. Berdasarkan hal tersebut, setiap orang yang rasional diasumsikan
harus pintar, canggih dan cepat melakukan hitungan. Namun faktanya adalah bahwa setiap orang
memiliki keterbatasan dalam menangani berbagai persoalan yang kompleks. Oleh karena itu,
keputusan ekonomi pada umumnya tidak dibuat atas dasar rasionalitas semata tetapi banyak
dipengaruhi oleh adanya pengaruh kelembagaan. Konsep dasar dalam bounded rationality adalah
satisfying atau kepuasan. Dalam pengambilan keputusan, informasi yang sifatnya terbatas dicari
dan berdasarkan informasi tersebut kemudian alternatif solusi dibuat dan keputusan didasarkan
pada apa yang diinginkan oleh lembaga.
b) Asymmetric Information. Adalah keadaan dimana setiap orang tidak mempunyai informasi yang
sama dan cukup tentang suatu peristiwa. Dalam kegiatan ekonomi khususnya keberadaan
informasi sangat berperan dalam upaya mendapatkan keuntungan. Informasi selalu tidak simetris
antara berbagai pihak yang berinteraksi sehingga menimbulkan biaya dalam mendapat informasi
yang diperlukan. informasi yang tidak simetris memiliki dua jenis yaitu: adverse selection, yaitu
keputusan diambil tergantung pada karakteristik yang tidak terobservasi dan menghasilkan efek
yang terballik pada agen yang lain. Moral hazard yaitu Suatu kontrak disepakati diantara para
agen dimana seorang agen tergantung pada tindakan yang lain yang tidak dapat diobservasi oleh
agen yang lain. Informasi asimetris adalah realitas dimana terdapat satu pihak yang mempunyai
informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak yang lain. Jika dihubungkan dengan
perusahaan, seorang manajer yang bekerja diperusahaan tersebut memiliki informasi akurat
tentang perusahaan tempat dia bekerja. Berbeda halnya dengan calon investor yang akan
menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Resiko yang akan muncul adalah investor salah
dalam memilih perusahaan (adverse selection). Sementara itu, moral hazard sebagai bagian lain
dari wujud informasi asimetrik muncul karena terjadinya pemisahan antara pemilik perusahaan
dengan pengendali (agen atau manajer).
c) Principal Agent Theory atau teori Prinsipal – Agen. Teori ini membicarakan tentang dua pihak
yang bekerja berdasarkan kepentingannya. Prinsipal adalah pemilik sumber daya. Agen adalah
seseorang yang bekerja untuk pemilik sumber daya atau yang dipercaya untuk mengelola sumber
daya yang dimiliki Prinsipal. Hubungan pemilik sumber daya dengan agen dimulai pada saat
kontrak kerja ditanda tangani yang didalam kontrak tersebut dijelaskan pendapatan yang diterima
oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, teori prinsipal agen sering juga disebut dengan teori
agensi atau teori kontrak. Terdapat 4 elemen dalam kotrak yaitu hasil yang diharapkan oleh
prinsipal (W), Pembayaran kepada agen (Y), usaha agen dalam mengerjakan tugas (e) dan situasi
alam atau lingkungan (a). Dalam pelaksanaannya teori prinsipal agen ini, diperlukan biaya
monitoring (monitoring cost) yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja manajemen apakah
sesuai dengan keinginan pemilik modal.
d) Institutional Change atau Perubahan kelembagaan terjadi karena krisis yang terjadi pada
kelembagaan sebelumnya. Pada awalnya Veblen mengkritik pemikiran karl Marx tentang krisis
kapitalisme sebagai akibat dari adanya keuntungan yang tinggi bagi survivor, pengangguran
tinggi dan wujudnya korban persaingan. Krisis kemudian diadaptasi yang akibatnya memerlukan
perubahan kelembagaan. Perubahan kelembagaan juga karena adanya property right dari struktur
kelembagaan dan organisasi yang mempengaruhi kinerja ekonomi. Apabila kinerja kurang
memuaskan maka diperlukan perubahan kelembagaan. Selanjutnya perubahan kelembagaan
menurut Williamson dipengaruhi oleh ongkos transaksi dan transformasi yang menentukan pula
jenis organisasi. Apabila ongkos transaksi dan transformasi terlalu tinggi, maka diperlukan
perubahan pada kelembagaan. Perubahan kelembagaan dapat disebabkan oleh faktor eksogen
sebagaimana uraian diatas namun juga dapat disebabkan oleh faktor endogen seperti adanya
entrepreneurship yang membuat keputusan dan adanya persepsi subyektif dari entrepreneur
dalam menentukan pilihan. Perubahan kelembagaan timbul karena adanya peluang yang berasal
dari lingkungan eksternal, kepemilikan dan perluasan ilmu pengetahuan karena proses belajar
dan meningkatnya skill. Faktor eksternal muncul karena perubahan harga relatif dan selera.
e) Social Capital atau Modal sosial adalah aset yang tidak dapat dilihat yang berasal dari
kepribadian setiap orang. Aset modal sosial muncul karena adanya goodwill, persahabatan, rasa
simpati dan hubungan antar individu yang terhimpun dalam satu jaringan bersama dengan norma
– norma dan nilai yang memberikan fasilitasi kerjasama diantara mereka. Oleh karena itu, modal
sosial adalah meliputi kewajiban dan harapan, saluran informasi dan norma dan sanksi. Kategori
modal sosial terdiri dari: Keterlibatan masyarakat (civic engagement), trust, kepedulian,
kekuatan anggota, jaringan dan koneksi. Trust atau kepercayaan menghasilkan ongkos transaksi
yang rendah melalui turunnya biaya: informasi pasar, informasi asimetris.
f) Property right atau Hak Kepemilikan. Hak ini timbul karena secara hukum dan perundangan
yang berlaku diakui. Hak kepemilikan terdiri dari hak untuk menggunakan; hak untuk
mengubah; hak untuk menghasilkan laba atau rugi dan hak untuk memindahkan. Jenis-jenis hak
kepemilikian terdiri dari: Hak pribadi; hak komunal dan hak kolektif.
g) Hierarchy atau jenjang. Hirarki kelembagaan dibuat sedemikian rupa untuk dapat
mengalokasikan sumber daya yang digunakan dengan otoritas yang tegas dalam melakukan
transaksi. Hirarki pada dasarnya bertujuan untuk meminimalkan pemborosan yaitu pencapaian
efisiensi. Tujuan utama hirarki adalah untuk memaksimumkan kepuasan atau utility masyarakat.
h) Integration atau integrasi yaitu transaksi yang menghasilkan pemindah tanganan kepemilikan dan
kontrol atas sebuah korporasi. Integrasi dapat berwujud secara horizontal, vertikal dan
konglomerasi. Integrasi horizontal merupakan ekspansi operasional dalam sebuah bisnis yang
terintegrasi secara operasional. Integrasi vertikal adalah kesatuan utuh yang memiliki hubungan
pembeli dan penjual bagi perusahaan. Integrasi konglomerasi adalah tindakan konsolidasi
berbagai perusahaan yang menjual barang yang terkait satu sama lain dalam bidang pemasaran
dan saluran distribusi. Manfaat integrasi bagi perusahaan adalah dapat menciptakan scale
economic; economies of scope dan pecuniary dan mengurangi informasi asimetris.
i) Coorporate Governance yaitu tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini berkaitan dengan adanya
Control rights yaitu tentang kekuasaan untuk menunjuk manajer senior pada suatu perusahaan.
Decisions rights yaitu pekerja dan manajer diberi hak untuk mengambil berbagai keputusan.
Residual rights yaitu hak yang dipegang oleh pemegang saham yang dapat digunakan secara
bersama – sama untuk mengambil satu keputusan. Corporate Governance atau tata kelola
perusahaan yang baik adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengelola bisnis serta urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran
bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham
dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.
j) Profit sharing yaitu pembagian keuntungan yang diterima oleh agen. Residual Claimant adalah
agen yang menerima sisa pendapatan yang telah diperkirakan setelah dikurangi berbagai
pengeluaran perusahaan.

Menurut Mubyarto, ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang percaya
adanya peran besar lembaga-lembaga dalam kinerja ekonomi suatu masyarakat, karena batasan-
batasan dan aturan-aturan yang dibuat masyarakat yang bersangkutan dipatuhi atau dapat
dipaksakan pematuhannya. Pasar dan mekanisme pasar tidak selalu mempu mengendalikan
kekacauan pasar ke arah keseimbangan, menjadi sebuah topik penting yang melahirkan
kelompok ekonomi kelembagaan (institusional economiest). Tiga hal penting dalam tentang
ekonomi kelembagaan yaitu (Cornelis dan Miar, 2005):

1. Ekonomi mulai memasukkan faktor-faktor sosiologi, politik, antropologi, dan psikologi dalam
analisis-analisisnya. Ekonomi orthodoks yang statik dan berjangka pendek dengan ekonomi
pasar sebagai fokus perhatian, menyadari bahwa dalam kenyataan semakin banyak keputusan-
keputusan ekonomi terjadi di luar pasar, misal pertimbangan-pertimbangan nonekonomi mulai
muncul.
2. Pemerintah perlu menjamin dua hal yaitu mengatur agar sektor swasta yang oligopolistik agar
tidak terlalu kuat karena dapat menghancurkan yang lemah, dan menciptakan iklim yang
mendorong kerja sama antara kelompok-kelompok ekonomi lemah untuk bersatu dalam bentuk
koperasi, dan
3. Sektor pemerintah di samping bertanggungjawab atas efisiensi sektor publik juga perlu menjaga
keseimbangan antara swasta oligopolistik dengan swasta kompetitif. 3) Tekanan ilmu ekonomi
kelembagaan sebagaimana dibedakan dari ilmu ekonomi neoklasik orthodoks adalah bahwa
manusia menciptakan dan menggunakan lembaga-lembaga tertentu untuk memecahkan berbagai
konflik ekonomi di dalam masyarakat.

2.2 Desentraliasi
Secara etimologis, desentralisasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “de” yang berarti
lepas, dan “centerum” yang berarti pusat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
desentralisasi merupakan sistem pemerintahan yang lebih banyak memberi kekuasaannya kepada
pemerintah daerah. Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang pokok pemerintahan di Daerah,
menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau
daerah tingkat atasanya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Dalam hal ini sistem
desentralisasi bebrati pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pembangunan, namun tetap dalam pengawasan atau pemantauan pemerintah
pusat.
Bentuk penerapan dalam sistem desentralisasi adalah otonomi daerah, dimana otonomi
daerah sendiri adalah hal, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Rondinelli dan Cheema (1983), mendefinisikan desentralisasi
sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan atau kewenangan administrasi dari
pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi
otonomi dan parastatal (perusahaan), pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah.
Perbedaan konsep desentralisasi ditentukan terutama berdasarkan tingkat kewenangan untuk
perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat
dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Selanjutnya
Rondinelli (2000), memberikan 4 dimensi desentralisasi yang diuraikan dalam tabel berikut :

Table 2.1 kategori desentralisasi menurut tujuan dan instrument

No. Kategori Tujuan Instrument


desentralisasi
1. Desentralisasi Meningkatkan kekuasaan Perbedaan konstitusi dan
poitik kepada penduduk dan undang-undang, pengembangan
perwalian politik mereka daam partai politik, penguatan
pembuatan keputusan publik legislatif, pembentukan institusi
politik lokal, pendukungan
kelompok kepentingan publik
yang efektif
2. Desentralisasi Memperbaiki efisiensi Dekonsentrasi, delegasi, dan
administrasi manajemen untuk penyediaan devolusi masing-masing dengan
layanan publik karakteristik yang berbeda
3. Desentralisasi Memperbaiki kinerja keuangan Pengaturan kembali dalam
fiskal melalui peningkatan keputusan pengeluaran, penerimaan dan
dalam menciptakan transfer fiskal antar tingkatan
penerimaan dan pengeluaran pemerintahan
yang rasional
4. Desentralisasi Menciptakan lingkungan yang Transfer fungsi pemerintahan
ekonomi dan pasa lebih baik bagi dunia usaha dan kepada organisasi bisnis,
menyediakan barang dan jasa kelompok masyarakat atau
berdasarkan respon terhadap ornop melalui privatisasi dan
kebutuhan lokal dan penguatan ekonomi pasar
mekanisme pasar melalui deregulasi
Sumber: Rondineli, 2020; Taufiz, 2010

1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Proses industrialisasi biasanya dilakukan oleh negara-negara yang sedang menjalankan


strategi pembangunan ekonomi yang berbasi keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Proses industrialisasi sendiri adalah pergeseran pertumbuhan sektor produksi dari sektor primer
(pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa.

Teori keunggulan komparatif atau yang disebut dengan “Model Ricardian” berkembang
melalui tokoh dunia John Stuart Mill dan David Ricardo. Dalam konsep ‘tradisional’, teori
keunggulan komparatif adalah keunggulan nilai produk dari suatu negara yang ditentukan oleh
banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk memproduksi barang tersebut. Dua sumber
keunggulan komparatif yaitu modal dan tenaga kerja. Apabila suatu negara produktivitas tenaga
kerjanya tinggi dan dengan begitu biaya produksinya murah, maka negara tersebut bisa
dikatakan memiliki keunggulan komparatif. Namun seiring perkembangan jaman banyak
dinamika perubahan yang terjadi. Keunggulan komparatif juga karena faktor-faktor lain seperti
tingkat upah, sumber daya alam, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan nilai tukar mata  uang
(kurs). Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan komparatif apabila
dalam kegiatan ekonominya menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia relatif lebih
murah jika dibandingkan negara-negara lain.

Kemudian konsep keunggulan komperatif dianggap tidak lagi relevan karena ruang
lingkupnya yang sempit sehingga kurang mencakup fakor yang menentukan keberhasilan
ekonomi. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif kemudian digantikan dengan
keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif dapat diartikan sebagai proses dimana suatu
negara mampu menggunakan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki dalam menciptakan
suatu produk yang memiliki karakteristik dan sumber daya suatu perusahaan untuk memiliki
kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain pada industri atau pasar yang sama.
Keunggulan kompetitif memperhitungkan semua faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
suatu perusahaan atau industri. Faktor daya saing tersebut meliputi persaingan sehat
antarindustri, adanya diferensiasi produk, dan kemampuan teknologi. Memang pada era
industrialisasi, teknologi merupakan kekuatan utama dibalik perubahan dan percepatan kegiatan
ekonomi. Sehingga karena teknologi inilah yang memperhitungkan antara strategi keunggulan
komparatif dan kompetitif.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan sudut pandang adalah berdasarkan “perluasan”


bentuk keunggulan dari yang semula tidak menggunakan teknologi dengan berkembangnya
jaman menjadi era teknologi saat ini. Menurut Michael Porter membahas keunggulan kompetitif
dari perspektif mikro (bisnis), sedangkan keunggulan komparatif membahas prespektif makro.
Teknologi merupakan kumpulan dari sekian banyak variabel yang menjadi penentu
pembangunan ekonomi bagi suatu negara.

Tabel . Pandangan Neoklasik dan Strukturalis tentang Keunggulan Komparatif


Tabel diatas menjelaskan perbedaan pandangan antara neoklasik dan strukturalis dalam
memahami keunggulan komparatif. Pertama, perbedaan cara pandang terhadap sumber-sumber
keunggulan komparatif. Neoklasik melihat bahwa suatu negara dapat dikatakan memiliki
keunggulan komparatif apabila memiliki kekayaan sumber daya alam, persediaan model fisik,
dan jumlah penduduk. Sementara paradigma strukturalis melihat bahwa keunggulan komparatif
suatu negara banyak bersumber dari hasil pembelajaran, infrastruktur teknologi yang berlainan,
dan pasar lokal (domestik). Sehingga dapat disimpulkan bahwa aliran neoklasik melihat
keunggulan dari “apa yang ada” (positif), sementara paham strukturalis melihatnya dari “apa
yang seharusnya ada” (normatif). Kedua, perbedaan dalam cara pelestarian sumber keunggulan
komparatif. Neoklasik cenderung berupaya menjaga dan memperbarui sumber daya alam yang
dimiliki sebagai modal yang berkesinambungan, mengelola pertumbuhan penduduk dan migrasi,
dan melakukan penyesuaian upah. Sebaliknya, strukturalis fokus pada pembangunan industri
dengan menata dan memperkuat melalui investasi infrastruktur teknologi dan pelatihan. Ketiga,
perbedaan dalam menciptakan kebijakan. Neoklasik mamilih menggunakan syarat-syarat tingkat
tabungan dan instrumen makro lainnya untuk memaksimalkan pencapaian tujuan. Sementara
paradigma strukturalis menciptakan keunggulan kompartif dengan menciptakan kebijakan yang
secara langsung mendukung pilihan tersebut.

2. Subtitusi Impor dan Promosi Ekspor

Pemahaman terhadap pandangan keunggulan komparatif tersebut, biasanya


mempengaruhi pilihan pengambilan kebijakan ekonomi di suatu negara. Secara ekstrem, pilihan
kebijakan tersebut dipilah dalam dua kategori, yakni kebijakan industrialisasi yang bertumpu
pada orientasi ekspor/promosi ekspor dan kebijakan yang menekankan orientasi ke
dalam/substitusi impor. Kedua pilihan ini diterapkan secara luas oleh seluruh negara, khusunya
negara berkembang, dengan derajat yang berlainan antara satu dengan lainnya.

Akselerasi perdagangan dunia itu menggambarkan keadaan yang tidak sejajar antara
negara maju dengan negara berkembang; yakni dengan ditunjukkannya posisi neraca
pembayaran negara berkembang yang selalu defisit terhadap negara maju. Kecenderungan ini
tentunya menimbulkan persoalan besar bagi negara berkembang, karena dengan adanya defisit
tersebut membuat cadangan devisa yang digunakan membiayai pembangunan ekonomi domestik
menjadi tidak tersedia. Jika pembiayaan pembangunan macet, kegiata investasi tidak dapat
dipenuhi sehingga mengganggu pencapaian pembangunan secara keseluruhan.

Paling tidak terdapat dua alasan yang bisa menjelaskan terjadinya kondisi tersebut, yakni:
(i) ekspor negara berkembang kebanyakan berbentuk produk primer dengan ciri elastisitas
permintaan rendah dan sering mengalami gejolak harga, sebaliknya sebagian besar impor negara
berkembang justru berupa produk manufaktur dengan ciri elastisitas permintaan tinggi dan harga
yang selalu stabil; dan (ii) negara maju akibat tingkat teknologi dan sumber daya manusia (SDM)
yang lebih baik bisa menghasilkan produksi yang lebih efisien dan kompetitif, sehingga relatif
lebih mampu menebus pasar negara berkembang.

Secara lebih spesifik, setidaknya terdapat beebrapa alasan pokok mengapa negara-negara
berkembang perlu merepakan kebijakan promosi ekspor:

1. Pilihan negara berkembang untuk memperkuat posisi eksternalnya, baik untuk


memperkuat penerimaan devisa atau meredam gejolak perekonomian internasional
2. Memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor
dengan pencarian peluang pasar yang luas di berbagai negara.
3. Memperkuat dan memperluas kedudukan ekspor komoditas tradisional yang telah
dikembangkan sejak lama dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi
4. Meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang idustriawan) maupun eksportir
dalam kegiatan ekspor
5. Mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir melalui pencarian
pasar yang tidak terbatas di luar negeri
6. Mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang
ditujukan untuk ekspor komoditas tradisional maupun komoditas industri manufaktur
7. Pengembangan industri untuk tujuan ekspor secara tidak langsung merupakan proses
untuk mensubstitusi barang-barang manufaktur

Studi Hankla dan Kuthi menyebutkan rezim multipartai di suatu negara secara signifika
lebih memilih proteksi perdagangan yang lebih rendah ketimbang rezim otokrasi, monarkhi, dan
junta (militer). Secara teoritis, ada dua argumentasi yang bisa menjelaskan, yang sebenernya
keluar dari pakem neoklasik. Pertama, negara-negara berkembang yang saat ini mengalami tahap
industrialisasi pada awalnya sudah memberikan landasan kebijakan yang mengorientasikan
ekonominya untuk melihat keluar. Kedua, negara-negara maju ternyata lebih menonjolkan
kebijakannya kepada pemberian insentif untuk membangun investasi infrasturktur spesifik yang
sesuai dengan kondisi negaranya memperbaiki SDM melalui pelatihan-pelatihan, yang
merupakan faktor keunggulan komparatif dari paradigma strukturalis.

Aspek kelembagaan yang paling penting untuk memperkuat orientasi ekspor itu
sekurangnya ada tiga variabel, yaitu korupsi, kualitas birokrasi, dan hak kepemilikan. Riset yang
dilakukan Faruq menunjukkan lingkungan kelembagaan yang baik, seperti korupsi yang rendah,
birokrasi yang lebih efisien, dan jaminan hak kepemilikan yang bagus akan memperbaiki
kualitas ekspor suatu negara.

 3. Sentralisasi dan Desentralisasi


a. Definisi Sentralisasi dan Desentralisasi

Secara teori, definisi dari Desentralisasi adalah suatu proses penyerahan kekuasaan
kepada wilayah atau pemerintah lokal dengan menggeser struktur akuntabilitas dari level
nasional ke level subnasional  yang cenderung diasosiasikan untuk memperkuat efisiensi dan
tanggung jawab pemerintah dalam hal pengembangan inovasi serta teknologi (Tiebot, 1956;
Burki, Perry, dan Dilinger, 1999; Oates, 1972; Beasly and Case; 1995). Tujuan dari adanya
desentralisasi adalah untuk memudahkan pemerintah pusat/nasional untuk meningkatkan
kemapuan pemerintah daerah dalam hal manajemen pembangunan ekonomi yang cepat dan
akurat.

Mengubah secara drastis watak


sentralisasi pengelolaan negara dan
mengimplementasikan dalam
tempo singkat (Shock therapy
approach)

MODEL
DESENTRALISASI

Pemerintah menjalankan program


terpadu dalam rentang waktu
tertentu dengan cakupan yang
terukur dan terjadwal (Gradual
approach)

b. Indikator Keberhasilan Desentralisasi

Menurut  (Dollery dan Wallis, 2001) parameter paling sederhana dalam mengukur
keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat seberapa jauh kualitas pelayanan sektor publik
dari pemerintah lokal. Kinerja dari keberhasilan publik dapat dilihat dari dua  indikator yaitu
efisiensi dan efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pemanfaatan serta
pengorganisasian sumber daya dalam memproduksi pelayanan atau bisa dinyatakan adanya
hubungan  antara kombinasi dan optimal yang digunakan untuk memproduksi sumber daya yang
ada.

Dalam konteks ekonomi kelembagaan, alat analisis untuk meilai seberapa efisien suatu
institusi dalam melakukan pemanfaatan sumber daya dan pelayanan publik dapat diidentifikasi
berdasarkan dari besaran biaya transaksi yang muncul dalam dalam proses pelayanan publik.
Biaya transaksi sendiri muncul karena beberapa faktor diantaranya rasionalitas terbatas,
oportunisme, dan spesifisitas aset. 

4. Statisasi dan Privatisasi

Menurut Sprenger (2011:260) menyatakan bahwa privatisasi merupakan agenda paling


penting dan kontrovrsial dari transisi negara-negara sosialis menuju ekonomi pasar. Hal ini tidak
terlepas dari adanya peran World Bank dan IMF sebagai lembaga yang memberikan suntikan
uang bagi negara berkembang untuk merangsang kegiatan ekonomi yang semula dikelola oleh
negara dialhkan menjadi swasta.
Terdapat lima tujuan dari adanya proses privatisasi di suatu negara diantaranya :

1. Privatisasi sebagai instrumen meningkatkan pendapatan negara/pemerintah


2. Menyebar bagian kepemilikan aset di sebuah negara
3. Privatisasi diharapkan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat
4. Mengurangi masalah yang timbul dalam pembayaran di sektor publik
5. Mengatasi kinerja yang buruk pada perusahaan nasional .

Dari tujuan tersebut, inti diadakannya privatisasi adalah untuk meningkatkan kinerja
perekonomian nasional secara keseluruhan.  Indonesia sendiri ternyata tidak terlepas dari adanya
tren privatisasi karena didorong oleh realitas kinerja BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang
buruk dalam mengelola perusahaannya. Data yang tersedia memperlihatkan hanya BUMN di
sektor perbankan, telekomunikasi, dan pertambangan yang memperlihatkan kinerja keuangan
perusahaan yang baik (Yustika 2002:178). Akibatnya setidaknya mulai  tahun 1990-an
privatisasi secara gradual telah dijalankan Indonesia dengan bentu penjualan aset-aset BUMN ke
pihak swasta.

Dari beberapa kasus yang terjadi antar benua, negara-negara Asia menganggap yang
diperlukan oleh sebuah perusahaan untuk mengembangkan dirinnya adalah dengan adanya
otonomi dan akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya apakah dimiliki swasta
atau negara. Sedangkan Eropa menganggap bahwa swasta akan lebih mampu secara efisien
memajukan perusahaan dibandingkan dikelola oleh negara. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
terdapat dua pendekatan dengan basis asumsi yang berbeda dari kedua wolayah tersebut.

Perbedaan pendeketan tersebut diakibatkan karena latar belakang yang berbeda, dimana
negara-negara di Asia sebagian kegiatan ekonominya dipegang oleh negara akan tetapi masih
memberi ruang bagi pihak swasta sebagai mitra kerja. Dari sudut pandang tersebut, negara dan
swasta saling bersinergi dalam membangun perekonomian, sehingga privatisasi tidak harus
identik dengan menjual perusahaan ke pihak swasta. Sebaliknya di negara-negara Eropa
memutlakkan seluruh pengelolaan perekonomian harus dipegang oleh negara. Dari perspektif
tersebut , setiap upaya efisiensi harus membuka partisipasi sektor swasta dengan cara menjual
aset yang dimiliki oleh negara kepada pihak swasta (privatisasi)

Sedangkan, privatisasi di Indonesia sendiri masih terlalu menyimpang dan cenderung


mendekati pendekatan Eropa Timur. Sehingga secara realitanya privatisasi di Indonesia
cenderung membuat anggapan bahwa pihak swasta pastinya akan melakukan efisiensi pekerja
dan kurang memiliki tanggung jawab sosial dalam operasi perusahaan. Hal tersebut terjadi
karena adanya oposisi privatisasi di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan cara untuk mengatasi persoalan tersebut sebagai rekomedasi
kebijakan pemerintah dalam hal privatisasi diantaranya:

1. Dalam jangka pendek pemerintah harus segera menyediakan informasi dan transparansi
yang luas dalam proses privatisasi sehingga setiap perilaku ekonomi memiliki kesempatan yang
sama.
2. Dalam jangka mengengah pemerintah harus membuat institusi formal dalam bentuk
regulasi yang secara teknis mengatur kemudahan privatisasi
3. Dalam jangka panjang pemerintah harus menyusun strategi ekonomi nasional untuk
memperbaiki struktur pasar yang masih oligopolis.

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Ekonomi kelembagaan saat ini ditinjau dari kasus


a. Bounded Rationality pada kasus Pasar Bebas Asean.

Pasar bebas Asean adalah suatu keadaan dimana diantara Negara – Negara Asean sepakat
bahwa tidak ada lagi batasan atau restriksi wilayah dalam mobilitas barang dan sumber daya.
Masyarakat ekonomi Asean (MEA) adalah perwujudan dari pasar bebas Asean yang
menggambarkan bagaimana interaksi yang terjadi diantara masyarakat di kawasan Asean baik
aspek ekonomi, sosial dan budaya. Target ideal yang ingin dicapai oleh kesepakatan ini adalah
bahwa setiap Negara mendapatkan keuntungan dalam arti kesejahteraan masyarakat akan
meningkat terlepas dari siap atau tidaknya kita dalam menghadapinya. Realisasi kesepakatan
pasar bebas Asean ini memiliki keterbatasan terutama bagi pengambil keputusan di dalam
negeri: keputusan apa yang harus dibuat untuk mengantisipasi pasar bebas Asean? Satu contoh
adalah fakta bahwa kenaikan jumlah investor asing yang menanamkan modalnya di dalam negeri
yang diikuti dengan masuknya tenaga kerja asing baik untuk tingkat professional maupun
kelompok pekerja, menyebabkan persaingan meningkat untuk mendapatkan peluang pekerjaan di
Indonesia. Dari sisi kompetensi sumber daya yang dimiliki, kemampuan dan sdm di Indonesia
nampaknya belum siap untuk bersaing di pasar bebas Asean. Belum ada informasi yang akurat
tentang manfaat yang diterima oleh bangsa ini terhadap pasar bebas Asean selain berbagai
program yang disiapkan untuk menghadapinya. Banyak keputusan yang dibuat oleh pelaku
ekonomi di Indonesia terutama terbatas hanya untuk kegiatan mengantisipasi berlakunya pasar
bebas Asean. Baik dari sisi sumber daya manusia, pendidikan maupun berbagai program
pembangunan lainnya. Dengan kata lain, secara makro, keputusan untuk masuk dan ikut pasar
bebas Asean karena secara nasional (kelembagaan) Negara kita telah sepakat untuk
mengikutinya.

b. Asymetric information pada harga di bursa saham Jakarta Indonesia

Penyebab terjadinya informasi asimetrik di dalam ekonomi adalah karena pasar belum
efisien dalam memberikan sinyal berbagai pergerakan harga untuk komoditi yang
diperdagangkan. Informasi yang tidak simetris dapat terjadi di pasar barang dan jasa demikian
juga untuk pasar bursa yaitu transaksi efek (emiten). Pergerakan harga terjadi karena adanya
proses kenaikan permintaan atau penawaran pada satu produk yang akan berpengaruh pada harga
di pasar tetapi berapa sebenarnya tingkat kenaikan tidak dapat diprediksi sedemikian rupa
sehingga memunculkan berbagai informasi yang berbeda. Fakta yang sering terjadi di lapangan
adalah terdapat sejumlah pihak yang mengetahui informasi dengan baik sementara ada pihak lain
yang tidak menerimanya.
Di pasar bursa, berbagai informasi efek adalah faktor yang sangat strategis, karena sangat
mempengaruhi investor dalam rangka membuat keputusan investasi, apakah membeli, menjual
atau menahan portofolionya. Kenyataan distribusi informasi seringkali tidak merata. Informasi
tentang hal tersebut selalu berada pada manajemen yang mengurusi masalah pasar emiten itu
sendiri. Informasi yang dimiliki oleh manajemen sangat penting. Oleh karena itu, pihak
manajemen harus mampu mengelola dengan baik informasi tersebut dengan baik, kapan harus
disampaikan dan kapan harus di tunda. Kesalahan dalam menangani masalah tersebut akan
menyebabkan masalah yang serius, dimana para investor akan mengambil sikap yang dapat
merugikan pihak manajemen pengelola emiten itu sendiri. Sering terjadi di pasar, terdapat
informasi yang masih belum pasti tapi sudah beredar di masyarakat. Ada sebagian masyarakat
yang tahu mengenai informasi tadi dan ada yang tidak tahu. Karena tingkat kepastian atau
kebenaran informasi itu belum jelas, maka keadaan ini akan memunculkan issu atau rumor.
Rumor yang berkembang akan menyebabkan gangguan bagi pasar emiten dimana investor akan
menarik modalnya dari pasar bursa. Dari sisi peraturan, sebenarnya Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sudah mengatur tentang proses mekanisme
pemberian informasi itu harus dilakukan. Peraturan tersebut bertujuan mengantisipasi
kekosongan informasi pasar sehingga emiten tersebut bersifat terbuka dan transparan ke publik.
Setiap informasi material tidak boleh disembunyikan. Bahkan, Bapepam-LK memberikan dead
line selama 1x24 jam untuk penyampaian setiap informasi atau kejadian penting dalam
perusahaan. Bapepam-LK juga mengatur mekanisme sanksi bagi yang melanggarnya. Dapat
dipahami bahwa informasi asimetris tidak dapat dihilangkan. Gejala ini terjadi tidak hanya di
pasar bursa Indonesia, tetapi juga pada Negara-negara maju

c. Perubahan kelembagaan; Pasar on line

Pada dekade tahun 2000 an sampai dengan saat ini penggunaan media IT semakin luas di
kalangan masyarakat. Media internet menjadi satu kebutuhan yang penting dalam berbagai
interaksi sosial dan ekonomi. Media sosial yang berkembang demikian cepat membawa berbagai
perubahan bagi masyarakat khususnya dalam transaksi ekonomi. Secara tradisional konsep pasar
yang menyatakan setiap pembeli dan penjual bertemu di satu tempat untuk melaksanakan
transaksi telah berubah. Berbagai informasi produk yang diperjual belikan hari ini telah
menggunakan media internet yang dapat diakses oleh semua calon pembeli. Setiap orang dapat
dengan mudah mencari berbagai informasi ragam produk yang diingininya melalui perangkat IT
seperti Handphone atau media komunikasi lainnya. Perubahan fundamental ini menyebabkan
pola promosi dan pembelian berubah dari tradisional ke dunia maya.

Selanjutnya transaksi pembelian dapat dilakukan dengan memanfaatkan jasa perbankan.


Perubahan pola transaksi yang terjadi pada lembaga pasar dari tradisional ke dunia maya dengan
penggunaan IT menyebabkan pembeli dan penjual tidak harus bertemu langsung secara fisik.
Oleh karena itu, perubahan kelembagaan pasar ini menciptakan efisiensi bagi kedua belah pihak.
Bagi pembeli tidak harus mengeluarkan ongkos tranportasi untuk mendapatkan barang yang
diinginkan. Demikian pula bagi pihak penjual. Transaksi jual beli juga tidak menggunakan uang
dalam arti fisik, tetapi telah menggunakan jasa perbankan dengan menggunakan media rekening
sehingga efisiensi waktu, biaya dan kenyamanan semakin baik. Barang juga langsung diterima
dengan menggunakan jasa pengiriman. Dengan kata lain, perubahan lembaga pasar tradisional ke
pasar internet mendorong peningkatan efisiensi ekonomi dan mendorong kegiatan ekonomi.

d. Hak kepemilikian (property right).

Hak kepemilikan adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang untuk memiliki segala
sesuatu yang berdasarkan undang-undang. Property right (hak kepemilikan) adalah hak yang
dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset / endowment) untuk
mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya (Nugroho,
2006).

Hak kepemilikan merupakan kelembagaan (institusi) karena di dalamnya mengandung


norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar
individu (North 1990 diacu dalam Nugroho 2006). Perda Nomer 3 tahun 2013 Pemda DKI,
tentang kebersihan lingkungan (lampiran F) bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang
bersih dan sehat bagi wilayah Jakarta. Perda juga memuat tentang sanngsi yang dikeluarkan apa
warga terbukti membuang sampah sembarangan. Besar denda adalah Rp100.000,-. Kesuksesan
peraturan daerah ini dipengaruhi oleh pihak pemda DKI sendiri, Petugas pelaksana kebersihan
dan masyarakat pada umumnya. Implementasi Perda tentang kebersihan lingkungan ini terkait
dengan hak kepemilikan yang dimiliki oleh Individu atau pribadi (property right); hak
kepemilikan pemerintah (state property); hak kepemilikan komunal (communal/ common
property) seperti hak ulayat, hak adat dan hak akses terbuka (open access property). Program
kebersihan lingkungan lingkungan secara kelembagaan tergantung pada bagaimana pemilik
masing- masing hak tersebut dapat bersinerji dengan baik. Pihak pemerintah sebagai pemilik
otoritas harus dapat mempertimbangkan kepemilikian individu dan komunal dalam arti
melibatkan kelembagaan kemasyarakatan agar dapat berperan dalam mendorong masyarakat
mematuhi peraturan tersebut terutama yang berhubungan dengan hak pribadi dimana individu
yang mempunyai lahan tertentu dapat menggunakan hak kepemilikannya untuk tidak mengikuti
dengan baik peraturan daerah tersebut karena hak pribadi dilindungi oleh undang-undang.
Perbedaan kepentingan antara pemegang hak tersebut di atas akan menyebabkan program
kebersihan lingkungan tidak akan terwujud sesuai dengan yang diinginkan.

3.2 Strategi Pembangunan Desentralisasi

Secara common sense, berbicara mengenai desentralisasi adalah berbicara mengenai


bagaimana sumberdaya-sumberdaya yang ada di pusat dan daerah dapat dialokasikan dengan
baik, mewujudkan sebuah good governance, dan membuat kebijakan-kebijakan daerah yang
lebih tidak terpusat atau dengan kata lain lebih demokratis. Namun, desentralisasi merupakan
kajian utama dari neo-institusionalisme.

Seperti yang dijelaskan oleh Hadiz (2005), bahwa neoinstitusionalisme merupakan aliran
politik pembangunan yang mendasarkan asumsi-asumsinya pada teori ekonomi neoliberal.
Pertama, kenyataan tersebut tentu membuat kita bertanya dan memeriksa ulang makna dan
praktik dari desentralisasi yang selama ini masih juga diartikan sebagai suatu mekanisme
penjalanan pemerintahan yang efektif, untuk mewujudkan good governance, dan pemerintahan
yang demokratis (tidak hanya terpusat di nasional) tersebut, tanpa melihat persoalan kepentingan
kekuasaan yang lebih besar yang ada di dalamnya. Penjelasan mengenai desentralisasi
seharusnya lebih dilihat pada persoalan kepentingan kekuasaan yang lebih besar yang ada di
dalamnya. Dalam hal ini, sangat penting untuk melihat desentralisasi kaitannya dengan struktur
kekuasaan yang terbentuk selama ini, pasca Orde Baru. Orde Baru mewariskan sebuah struktur
kekuasaan dalam politik Indonesia dimana perpolitikan Indonesia hingga saat ini masih dikuasai
oleh elit-elit politik borjuasi (yang berasal dari Kelas borjuis dan tentunya berjuang untuk
kepentingan borjuis). Hal itu tentunya sangat terkait dengan warisan buruk peninggalan Orde
Baru lainnya, yaitu minimnya kekuasaan rakyat tertindas akibat minimnya jumlah (baik secara
kuantitas maupun kualitas) organisasi massa maupun politik berbasis rakyat tertindas (buruh,
tani, nelayan, miskin kota), yang memang sengaja dibungkam selama Orde Baru, dalam politik
Indonesia saat ini.

Kedua, dapat kita lihat bahwa desentralisasi tidak lain hanyalah sebuah bentuk perluasan
kekuasaan dari struktur politik borjuasi yang selama ini memang menjadi struktur kekuasaan
yang masih bertahan sebagai warisan dari Orde Baru. Persoalanpersoalan yang sering
dimunculkan dalam desentralisasi seperti serangkaian pajak daerah akan melemahkan investasi,
pilihan kebijakan yang belum didasarkan pada pilihan rasional, good governance yang belum
terwujud, dan lain-lain, tidak lain hanyalah merupakan bentuk pengaburan dari desentralisasi itu
sendiri. Pengaburan bahwa desentralisasi adalah sebuah bentuk perluasan kekuasaan borjuasi
yang predatoris, yang dibesarkan di bawah sistem patronase Soeharto yang begitu luas dan
terpusat - yang menjalar dari Istana sampai ke desa-desa- dimana sebagian besar masih terus
hidup dan berpengaruh.

Ketiga, di samping pengaburan yang lain, bahwa sebagai bagian dari kebijakan utama
dalam meoinstitsionaliasasi, desentralisasi ditujukan untuk melancarkan kepentingan-
kepentingan neoliberal hingga ke tingkat daerah. Dengan kata lain, dapat saya simpulkan dari
bacaan ini adalah bahwa desentralisasi merupakan sebuah gurita neoliberal dengan kaki-kaki
kekuasaan yang menjalar hingga ke daerah sampai saat ini.

Kebijakan desentralisasi hingga saat ini bisa dikatakan masih belum bisa dikatakan
sukses, hal ini dikarenakan desain kelembagaan (institutions design) yang dibangun tidak efisien.
Inefisiensi kelembagaan ini disinyalir menjadi penyebab mendasar terjadinya stagnasi ekonomi
di beberapa negara berkembang dan negara industri masa lalu. Runtuhnya ekonomi Uni Sovyet,
Asia Tengah, dan Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin serta Kepulauan Karibia menjadi bukti
hal ini. Di Indonesia, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dimulai tahun 1974
hingga 2010 menjadi fenomena laboratorium penelitian ekonomi kelembagaan yang sangat
dinamis, menarik, dan menantang untuk diteliti. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
tidak hanya telah mengubah aturan main yang sangat drastis (big bang changes), tetapi juga
mengubah organisasi, perilaku pelaku, dan sumberdaya manusia. Perubahan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah berupa perubahan pemerintahan yang dahulunya pemerintahan
sangat otoriter menjadi sangat demokratik. Bentuk pemerintah yang dahulu sangat sentralistik
berubah menuju desentralistik. Namun sayang, aturan-aturan ini belum diikuti perubahan tata
kelola (governance) yang baik.

3.3 Ekonomi Kelembagaan dan Strategi Pembangunan Desentralisasi

Menurut nobelis ekonomi North (1990), kelembagaan adalah aturan-aturan formal (formal
rules) dan aturan informal (informal rules) beserta aturan-aturan penegakannya (enforcerment
rules). Sedangkan organisasi adalah sekelompok orang (players) yang mempunyai tujuan dan
motif yang sama. Organisasi dan individu mencapai kepentingan mereka di dalam sebuah
struktur kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kontrak, hukum
konstitusional) dan aturan-aturan informal (etika, kepercayaan, dan norma-norma yang tidak
tertulis lainnya). Organisasi kemudian memiliki aturan-aturan internal. untuk menangani
permasalahan personalia, anggaran, pengadaan dan prosedur pelaporan yang

membatasi perilaku anggota mereka. Dengan demikian, kelembagaan merupakan struktur


insentif (pendorong) bagi perilaku organisasi clan individu. Kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia dari tahun 1974, 1999 dan tahun 2004 merupakan perubahan
kelembagaan dan organisasi yang drastis (institutional change), karena telah mengubah
regulasi (formal rules) dan organisasi, perilaku para pelaku dan pola-pola pertukaran
kewenangan (exchange).

Nobelis ekonomi lainnya, Williamson pada tahun 2000, mengemukakan bahwa kelembagaan
terbagi ke dalam empat level yang saling berhubungan timbal balik. Dimulai dengan level I
yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan informal yang telah melekat dalam
masyarakat, seperti tradisi, norma, adat, dan konvensi. Level II menekankan ekonomi
kepemilikan (economics of property right) yang terdiri dari aturan main (hukum), politik,
lembaga hukum, dan birokrasi. Level III menekankan biaya transaksi (transaction cost.
economics). Level IV menekankan efisiensi 'sumber daya dan struktur insentif. Pertanyaannya
adalah bagaimana analisis keempat level dari model Wiliamson dipergunakan untuk
menganalisis kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia?

Pada bagian selanjutnya, akan digunakan konsep North (1990) dan Williamson (2000)
untuk menganalisis kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Hasil temuan
adalah sebagai berikut:

Pertama, aturan informal, yang merupakan tradisi, norma, adat, agama, kebiasaan baik
yang bersifat produktif maupun tidak produktif, belum kompatibel mendukung aturan
formal. Budaya primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, upeti, adalah budaya
informal yang melekat (embededness) sebagai mindset perilaku pelaku desentralisasi
menciptakan biaya tinggi. Selain itu, administrasi Indonesia telah dipengaruhi oleh konsep
tradisional Jawa dalam kekuasaan dan hirarki, yang menekankan sentralisasi kekuasaan,
perilaku patrimonial, primordialism, patron-client dan pembuatan keputusan top-down
(Rohdewohld, 1995). Namun budaya· awig awig, bendesa adat dan sanksi adat pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) di Bali, gugur gunung, aturan shariah pada Lumbung Pitih Nagari,
qanum di Aceh yang merupakan "kebijaksanaan lokal" atau local wisdom yang kompatibel
dengan aturan formal yang dapat memperkuat desentralisasi dan otonomi daerah (lihat juga
Arsyad,2007).

Kedua, hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum jelas dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sistem aturan kewenangan (system of rules)
yang terdapat dalam UU No. 32/2004 serta diperjelas dalam Peraturan Pemerintah No. 38/2007
pembagian kewenangan belum memberikan fungsi yang jelas (lack clarity of function).
Sistem kewenangan dibagi secara hirarkhi, yang mana kewenangan pusat adalah mengurusi
moneter, perdagangan, agama, pertahanan dan militer, sedang kewenangan lainnya dibagi
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan kota berdasarkan akuntabilitas, efisiensi
dan dampak ekstemalitas. Ketidakjelasan terjadi baik secara vertikal maupun secara
horizontal, menyebabkan ketidakjelasan hak kepemilikan pemerintah pusat, provinsi dan
daerah, ketidakjelasan kontrak hubungan hak kepemilikan. Selain itu, masih terjadi ego
sektoral dan multitafsir kepemilikan kewenangan kementerian dan kelembagaan di tingkat
pusat, yang juga berakibat multitafsir kepemilikan kewenangan di tingkat daerah
provinsi maupun kabupaten dan kota. Selain itu ada ketidakjelasan pemilikan formal dengan
informal seperti hak kepemilikan adat, tradisi seperti dalam kasus pertanahan; perkebunan,
kehutanan dan pertambangan. Apalagi ketidakjelasan pembagian kewenangan juga sebagai
akibat keterlambatan kementerian dan lembaga di pemerintah pusat menyiapkan
Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) (Jaya,2009).

Ketiga, rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis
(opportunistic behaviour) telah meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction cost
economics). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menggeser pola penyalahgunaan
kekuasaan "abuse of power" yaitu pola monopoli dan diskresi minus akuntabilitas oleh
segelintir oknum di lembaga trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kontrak-
kontrak hubungan transaksi antarpelaku desentralisasi belum lengkap(incomplete
contract). Selain itu, transaksi-transaksi oportunis, informal, ilegal, baik yang dilakukan oleh
oknum kepala daerah, dewan perwakilan daerah ataupun oknum lembaga penegak hukum
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan lemahnya transparansi infonnasi, akuntabilitas dan
minimnya mekanisme kontrol (check and balances) dari masyarakat (civil society).

Keempat, konstruksi model mental (mental model) para pelaku desentralisasi dan otonomi
daerah belum berubah. Perilaku birokrasi masih ingin dilayani (pangrehpraja) daripada ingin
melayani masyarakat (pamongpraja). Selain itu, perubahan kelembagaan desentralisasi telah
menghasilkan kelompok yang menang (winner) dan kelompok yang kalah (losser).
Kelompok incumbent yang kalah akan mempertahankan status quo saat memimpin
dengan cara melawan kembali (revenge). Tarik-menarik kekuatan dari kelompok yang kalah
menyebabkan aturan main desentralisasi menjadi limbung, tidak jelas, sehingga menciptakan
biaya transaksi ekonomi, apalagi ditambah dengan perilaku aji mumpung (moral hazards)
daripara pelaku elit desentralisasi. Selain itu, perilaku elit daerah yang oportunis sering
menempatkan sumberdaya manusia berdasarkan kelompok, keluarga, dan tim sukses pilkada
yang tidak sesuai dengan keahlian dan kompetensinya.
Kelima, perspektif teori ekonomi mikro, kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah belum memanfaatkan prinsip• prinsip ekonomi, seperti skala ekonomi,
cakupan ekonomi, komplementaritas, dan ekstemalitas jejaring matriks kelembagaan.
Belanja publik dan belanja modal masih belum menunjukkan skala ekonomis (economic of
scale). Atau dengan kata lain belanja rata-rata jangka panjang meningkat terus yang tidak
diikuti dengan kenaikan output pelayanan publik (diseconomies of scale). Selain itu
pemerintah daerah belum memanfaatkan kerjasama antardaerah dengan prinsip kerjasama
biaya (economic of scope) dan prinsip saling melengkapi (complementarity) guna menciptakan
pelayanan publik yang efisien dan akibat penanggulangan dampak ekstemalitas negatif. · Cara
pandang (mindset) pelaku desentralisasi masih sangat terbatas · dan dipengaruhi kebiasaan-
kebiasaan masa lalu yang turun temurun (path dependent).

Keenam, pergeseran pertanggungjawaban secara vertikal (vertical accountability)


menuju pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) dan kembali lagi ke
pertanggungjawaban vertikal telah membuat ketidakjelasan hubungan principal-agent. J alur
akuntabilitas hubungan mulai dari pemilih partai atau rakyat (voters) sebagai principal
dan DPRD sebagai agent ini tidak jelas aturannya, tidak ada kontrak kinerja, dan
tidak ada mekanisme kontrol dan insentif (reward and punishment). Voters mempunyai
keterbatasan informasi (bounded rationality) memilih anggota DPRD dan Partai, dan
dengan keterbatasan pengawasan bagi DPRD dapat dimanfaatkan oknum DPRD untuk
melakukan perilaku aji mumpung (opportunistic behaviour). Jalur akuntabilitas
hubungan antara DPRD dengan eksekutif juga lemah, siapa menjadi principal dan
siapa menjadi agent, dan siapa menjadi lembaga pengawas. Kondisi nu
dimanfaatkan para pelaku dengan melakukan kesepakatan• kesepakatan
kedua belah pihak yang tidak menguntungkan kepentingan publik. Jalur
akuntabilitas yang terakhir juga lemah antara hubungan voters atau rakyat sebagai
principal dan pemerintah daerah sebagai agent.

Ketujuh, kerangka kelembagaan (institutions framework) dari kebijakan desentralisasi


dan otonomi daerah tidak optimal membentuk struktur insentif untuk mendikte
ketrampilan dan pengetahuan sumberdaya, maupun organisasi yang dianggap
memiliki pertukaran basil yang paling maksimum (maximum pay-off). Desain kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia kurang komplit, tidak ada pemilikan
kewenangan yang jelas, kontrak kinerja, tidak ada sistem meritokrasi, serta tidak
adanya sertifikasi jabatan fungsional bagi pelaku pengelola keuangan daerah, maka
dapat dikatakan bahwa kerangka kelembagaan desentralisasi belum menghasilkan basil
atau outcomes yang maksimal. Lingkungan yang tidak kompetitif belum mendorong
organisasi untuk melakukan investasi ketrampilan dan pengetahuan, dan belum
membentuk persepsi merubah kelembagaan

Kedelapan, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah
atau PP No. 41 (2007) dan Permendagri 57 tahun 2007 tentang Organisasi Daerah
masih bemuansa sentralistik. menjadi lebih efisien dan efektif. Organisasi daerah atau
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih bersifat komando (command) dan
kontrol (control), dan bersifat kehendak dari pusat (top-down). Organisasi berdasarkan
kewenangan, jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD. Organisasi tidak diciptakan
berbasis kompetensi, kehendak dari bawah (bottom up) yang berdasarkan persepsi ketraampilan
sumberdaya manusianya, kondisi tata ruang dan potensi ekonomi daerah masing-masing.

Selain masih banyak bukti positif yang bisa ditemukan sebagai basil dari
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, namun dari gambaran di atas temyata
masih menyisakan beberapa kompleksitas permasalahan seperti ketidakjelasan aturan
kepemilikan kewenangan (institutional environment) dan ketidakjelasan tata kelola
(institutional governance) seperti ketidakjelasan kontrak-kontrak hubungan
kewenangan politik, administratif dan fiskal, ketidakjelasan hubungan principal-agent dan
ketidakjelasan struktur insentif dan lemahnya kontrol dan penegakan dari
masyarakat (civil society) dan pada akhimya menyebabkan meningkatkan biaya-biaya
transaksi ekonomi.

BAB 4. KESIMPULAN
Kebijakan strategi pembangunan desentralisasi merupakan salah satu cara yang dipilih oleh
pemerintah untuk memnerikan ruang yang lebih luas kepada pemerintah daerah guna
membangun daerah masing-masing dengan harapan mampu menggali potensi daerah demi
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara menyeluruh. Desentralisasi
merupakan amanat undang-undang yang bertujuan untuk meminimalisir ketimpangan
pendapatan dan kesejahteraan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun pada
kenyataanya kebijakan desentralisasi ini belum mampu menumbuhkan perekonomian lokal dan
kesejahteraan masyarakat daerah karena masih belum jelasnya kewenangan antara pihal-pihak
yang terkait. Bahkan seringkali desentralisasi ini menciptakan raja kecil di darah masing-masing
sehingga pemimpin daerah yang seharusnya melayani masyrakat justru meminta untuk dilayani.
Hal ini menimbulkan lembaga-lembaga dan kelembagaan tidak berjalan dengan efektif
mengakibatkan munculnya biaya transaksi yang tinggi. Masyarakat belum mampu memperoleh
infomasi secara terbuka mengenai kegiatan perekonomian di darah. Bisa disimpulkan bahwa
kebijakan desentralisasi di Indonesia jika dikaitkan dengan ekonomi kelembagaan belum
berjalan dengan efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin ( 2005). Institutions Do Really Matter: Lesson from Village Credit
Institutions of Bali, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 20, No 4,
October, 2005, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia.

Bardhan, P. and D. Mookeherjee "Corruption · and Decentralisation of


(2002).
Infrastructure in Developing Countries." Berkeley and Boston University

Bird, R.M. and F. Vaillancourt, Eds. (1998). Fiscal Decentralization in Developing


Countries. Cambridge, Cambridge University Press.

Erani, Y.A. (2006). Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi, Bayumedia
Publishing.

Jaya, Wihana Kirana (2003), Institution Matters in Regional Autonomy Transition,


published in Book Chapter "Decentralisation Era in Indonesia".
North, D.C. (1990). Institutions: Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge, Press Syndicate of the University of Cambridge
10

Anda mungkin juga menyukai