Anda di halaman 1dari 34

TUGAS AKHIR BAB 2 TEORI DASAR

BAB

2
TEORI DASAR

2.1 TEORI GELOMBANG LINEAR

Dalam suatu analisis perencanaan bangunan atau struktur yang berhubungan dengan laut,
maka Teori Gelombang Linear merupakan asumsi atau penyederhanaan atas analisis yang dilakukan
untuk mengetahui dampak dari gelombang laut terhadap bangunan atau struktur tersebut. Untuk
studi kasus yang dibahas dalam Tugas Akhir ini, yaitu kasus Pipeline Freespan, maka Teori
Gelombang Linear diperlukan untuk analisis gaya‐gaya yang terjadi kepada pipa akibat gelombang
laut. Seluruh penurunan teori yang berkaitan dengan gelombang laut dikutip dari referensi Water
Wave Mechanic, Dean&Dalrymple, 1984.

2.1.1 HUKUM KEKEKALAN MASSA

Dalam penurunan teori gelombang linear, dengan memperhatikan bahwa gelombang


bergerak pada media air, maka penurunan persamaan yang mengatur Teori Gelombang Linear
tersebut diturunkan dari Hukum Kekekalan Massa. Hukum Kekekalan Massa menyatakan bahwa
massa tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan begitu saja, tetapi dapat diubah atau
ditransformasi. Untuk penerapannya dalam fluida, persamaan dari Hukum Kekekalan Massa ini
dinyatakan sebagai berikut:

Laju perubahan massa (terhadap waktu) = Laju aliran massa masuk – laju aliran massa
keluar.

Sebagai ilustrasi, maka dapat ditinjau dari sketsa dibawah ini yang menunjukkan konsep
matematisnya, untuk aliran massa yang masuk dan keluar dalam arah X ditunjukkan oleh gambar
2.1.

ANALISIS FREE SPAN PIPA BAWAH LAUT


PIPA TRANSMISI SSWJ-II PT PGN,Tbk 2-1
Gambar 2.1 Ruang tinjau kubus dalam fluida.

Pada setiap sisi kubus yang tegak lurus terhadap Δx , Δy, Δz pada kubus fluida, maka jumlah
rata‐rata massa fluida yang masuk harus sama dengan jumlah rata‐rata massa fluida yang keluar dari
kubus. Dilihat dari ruang tinjau kubus dalam fluida bergerak, maka besarnya fluks aliran massa yang
masuk kedalam sistem kubus pada sisi tegak lurus Δx (arah – X) adalah:
⎛ Δx ⎞ ⎛ Δx ⎞
⎜ x - , y, ⎟z .u
⎜ x- , y,⎟ z ΔyΔz
2 2
⎝ ⎠ ⎝ ⎠ . ........................................................................... (2.1)

Atau fluks aliran massa yang masuk (arah‐X) ke dalam sistem kubus tersebut diekspresikan
ke dalam deret Taylor sebagai berikut:
⎡ (u) Δx ⎤
 (x, y, z).u(x, y, z) - .  ...⎥ Δy.Δz
⎢ ⎦ ................................................................ (2.2)
⎣ x
2

Maka, fluks aliran massa yang keluar dari sisi kubus tegak lurus Δx (arah‐X) Dan besarnya
fluks aliran massa yang keluar dari kubus adalah:
⎛ Δx ⎞ ⎛ Δx ⎞
⎜ x  ⎜ x
, y, z⎟ .u , y,⎟ z ΔyΔz
2 2
⎝ ⎠ ⎝ ⎠ .......................................................................... (2.3)

Atau diekspresikan ke dalam deret Taylor sebagai berikut:


⎡  (  u ) Δx ⎤
 (x, y, z).u(x, y, z)  . ⎥... Δy.Δz
⎢ ⎦ ............................................................... (2.4)
⎣ x
2
Dengan meninjau besarnya fluks aliran massa yang masuk dan fluks aliran massa yang keluar
dalam arah X, maka selisih massa yang masuk dan keluar adalah sebesar :
 (u)
 .Δx.Δy.Δz
x....................................................................................................................... (2.5)

Sama halnya untuk fluks aliran massa dalam arah Y maupun Z, sehingga selisih fluks aliran
massa yang masuk dan keluar untuk arah Y adalah:
(v)
 .
............................................................................................................ (2.6)
Δx.Δy.Δz
y ( w)
dan selisih fluks aliran massa untuk arah Z adalah:  .Δx.Δy.Δ
z .......................... (2.7)
z

Maka, besarnya fluks aliran massa total netto dalam ruang tinjau kubus dalam fluida adalah
sebagai berikut:
⎡(u) (v) (w) ⎤
⎢   ⎥ Δx.Δy.Δz  (Δx)
4

x y z
⎣ ⎦ ........................................................... (2.8)

Notasi (Δx)4 menunjukkan bahwa deret mengandung derajat atau pangkat tinggi.

Sehingga laju perubahan massa di ruang kubus selama selang waktu Δt sebagai berikut:

 (t  Δt)   (t)Δx.Δy.Δz  (Δx.Δy.Δz)
t.................................................................................. (2.9)

Dimana  (t  Δt) adalah massa di ruang kubus pada waktu (t  Δt) dan,

...................................................................  (t) adalah massa di ruang kubus pada waktu (t )

Dengan menggunakan Hukum Kekekalan Massa, dimana fluks aliran massa netto = laju
perubahan massa dalam ruang kubus, didapat persamaan:
⎡(u) (v) ( w) ⎤ 
⎢   ⎥ Δx.Δy.Δz  (Δx.Δy.Δz)
x y z t
⎣ ⎦ ........................................... (2.10)

Jika disederhanakan menjadi:

 (u) (v) ( w)


t  x  y  0
.............................................................................. (2.11)
z
Dan jika diuraikan untuk setiap suku, maka persamaan menjadi:

t ⎜⎛ u v w⎟⎞   
  x  y  z  ux  vy  wz  0
⎝ ⎠ ................................................... (2.12)

Atau yang lebih dikenal sebagai persamaan konservasi massa sebagai berikut:

    ⎤ u v w ⎥
1 ⎡t  u x  v y  w z x y  z  0
⎣ ⎦ ................................................... (2.13)

Dengan membagi seluruh ruas persamaan dengan ρ lalu menyederhanakan seluruh ruas
D
turunan ρ terhadap t , dan kecepatan aliran adalah:
menjadi Dt

x
u untuk kecepatan aliran arah sumbu‐X

t
untuk kecepatan aliran arah sumbu‐Y, dan w untuk kecepatan aliran arah
y z
v  t t

sumbu‐Z, maka persamaan Kontinuitas didapatkan dengan mensubstitusikan kecepatan aliran untuk
tiap sumbu tersebut ke persamaan……

Maka persamaan Kontinuitas adalah:

1 D u v w
   0
 Dt x y ........................................................................................... (2.14)
z

Untuk fluida incompressible, dimana massa jenis fluida tidak berubah terhadap waktu, maka
D
=0, sehingga persamaan Kontinuitas menjadi sebagai berikut:
Dt

u  v  w  0
xyz
........................................................................................................ (2.15)

Untuk penurunan Teori Gelombang Linear, dimana sifat utama fluida media perambatan
gelombang adalah fluida irrorational, maka diperkenalkan variabel  atau potensial kecepatan, dan

.U  0 . U adalah vektor kecepatan aliran fluida, dimana

U (x, y, z, t)  u.ˆi  v.ˆj  w.kˆ dan U  . , maka

..  0 atau    0...................................................................................... (2.16)


2
⎡⎛  ⎞2
⎛  ⎞2 ⎛  ⎞2 ⎤
Maka, persamaan diatas diuraikan menjadi ⎢⎜ ⎟  ⎜ ⎟  ⎜ ⎟ ⎥   0
⎢⎣⎝ ⎠ ⎝  ⎠ ⎝  ⎠ ⎥⎦ ............ (2.17)
x y z
Atau persamaan dapat dituliskan dalam bentuk lain sebagai berikut:

 2  2  2
  
x2 y z2
..................................................................................................... (2.18)
2
0

Dan, persamaan … diatas selanjutnya dikenal sebagai Persamaan Laplace.

2.1.2 PARAMETER GELOMBANG

Gelombang merupakan suatu hasil dari diberinya suatu gaya dengan besar dan waktu
tertentu kepada suatu media. Untuk bahasan kali ini, media perambatan gelombang adalah fluida
air. Tiupan angin pada durasi dan kecepatan tertentu membangkitkan sebagian besar gelombang di
permukaan lautan. Ketika gelombang terbentuk, gaya gravitasi dan tegangan permukaan akan
bereaksi untuk menimbulkan rambatan gelombang.

Penjelasan eksak untuk mendeskripsikan gelombang yang beramplitudo kecil di perairan


dalam adalah bahwa gelombang diasumsikan berbentuk sinusoidal. Pemilihan bentuk gelombang ini
dikarenakan telah diketahuinya perambatan gelombang pada seutas tali yang digetarkan berbentuk
sinusoidal dengan puncak dan lembah gelombang.

Untuk gelombang laut, terdapat beberapa parameter penting untuk mendeskripsikannya,


yaitu:

 Panjang gelombang, L. Adalah jarak horizontal antara dua puncak gelombang atau dua
lembah gelombang yang saling berurutan.

 Tinggi gelombang, H. Adalah jarak vertikal dari puncak gelombang ke lembah


gelombang.

 Perioda gelombang, T. Adalah selang waktu yang ditempuh untuk menempuh satu
panjang gelombang, dari puncak ke puncak atau lembah ke lembah yang berurutan.

 Kedalaman perairan, h. Adalah kedalaman perairan dimana gelombang tersebut


dirambatkan.

 Amplitudo gelombang, A. adalah simpangan terbesar dari titik simpul gelombang ke


puncak atau lembah gelombang.
Parameter‐parameter lainnya, seperti potensial kecepatan, kecepatan rambat gelombang,
kecepatan partikel air, dan lainnya, akan dijelaskan berikutnya. Gambar 2.2 dibawah ini akan
menunjukkan sketsa profil gelombang.

Arah rambat gelombang

Gambar 2.2 Sketsa profil gelombang air.

Untuk menurunkan persamaan‐persamaan Teori Gelombang Linear, dibutuhkan persamaan


pengatur yang bersifat umum. Persamaan pengatur dalam hal ini adalah persamaan Laplace yang
telah diturunkan dalam subbab 2.1.1. Sedangkan untuk mendapatkan persamaan‐persamaan solusi
yang bersifat khusus, maka diperlukan syarat‐syarat batas.

2.1.3 SYARAT BATAS

Solusi tepat dari persamaan pengatur tentang Teori Gelombang Linear ini sulit ditentukan
karena syarat batas permukaan memiliki suku‐suku tak linear, dimana terdapat perkalian antar
variabel, dan nilai z   (x, t) tidak diketahui. Oleh karena itu, maka dilakukan pelinearan agar tidak

terdapat perkalian antar variabel tersebut.

Pelinearan yang dilakukan mengambil asumsi bahwa tinggi gelombang H jauh lebih kecil dari
panjang gelombang L dan kedalaman perairan h. Dasar asumsi inilah, yaitu H<<L,h yang menjadikan
teori gelombang ini disebut Teori Gelombang Linear. Dengan asumsi ini maka nilai suku‐suku non
linear dapat diabaikan dan syarat batas juga dapat diterapkan di z=0.

a) Syarat batas pertama adalah syarat batas kinematis (Kinematic Free Surface Boundary
Condition) yaitu:
   
   . pada z   (x, t).............................................................. (2.19)
z t x x

Maka, dengan pelinearan didapat:


 z pada z  0.................................................................................... (2.20)


t

b) Syarat batas yang kedua adalah syarat batas dinamis (Dynamic Free Surface Boundary
Condition) yaitu:
  1 ⎢⎡⎜⎛ ⎟ ⎞2 ⎛  ⎞2 ⎤
 t 2 x ⎜ ⎥  g  C(t) pada z   (x, t)............................... (2.21)
⎟ z
⎢⎣⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎥⎦

Maka, dengan pelinearan didapat:


  g  C(t) pada z  0..........................................................................(2.22)

z
c) Syarat batas ketiga adalah syarat batas dasar perairan (Bottom Boundary Condition),
ditentukan pada z=‐h. Syarat batas diambil dengan asumsi tidak ada kecepatan aliran
atau partikel yang masuk kedalam dasar perairan dikarenakan dasar perairan yang
impermeable.
h w h
u.  w  0 atau 
x u x................................................................................. (2.23)

h
Suku pada persamaan menunjukkan bahwa arah kecepatan partikel merupakan
x
fungsi dari jarak horizontal atau dengan kata lain tangensial terhadap dasar perairan.
Untuk dasar perairan yang datar maka:


w  0 pada z  h ,..................................................................................(2.24)
z

Maka kecepatan partikel tegak lurus dasar perairan adalah nol.

d) Syarat batas terakhir adalah syarat batas periodik. Syarat batas ini menunjukkan bahwa
gelombang bergerak terhadap ruang dan waktu.

 (x, t)   (x  L, t)
 (x, t)   (x, t  T ).......................................................................................... (2.25)
2.1.4 PERSAMAAN SOLUSI TEORI GELOMBANG LINEAR

Dari persamaan laplace dan syarat batas yang diterapkan padanya, maka persamaan Laplace
tersebut dapat diselesaikan dengan metoda pemisahan variabel, sehingga untuk gelombang berjalan
didapatkan Persamaan potensial kecepatan  sebagai berikut.
gH cosh k (h  z)
 . .sin(kx  t)
2 cosh kh ......................................................................... (2.26)

Dari syarat batas dinamis, dimana pada z=0 terdapat   0 dan C(t)=0, maka

1
  pada z  0 , sehingga,
g t

H
 cos(kx  t)
2
........................................................................................................ (2.27)

Dengan menurunkan η terhadap t, dan Φ terhadap z dan mensubtitusikannya ke syarat


batas kinematis, diturunkan suatu persamaan baru yang disebut dengan Persamaan Dispersi sebagai
berikut.

  gk tanh kh ,...........................................................................................................(2.28)
2

2 2
dimana   , dan besaran bilangan gelombang k, dimana k  .
T L

Maka, persamaan yang menunjukkan bahwa gelombang berjalan atau merambat pada
semua tipikal perairan diberikan oleh Persamaan cepat rambat gelombang berikut ini.

⎛ 2 ⎞2 2 2 h
⎜ ⎟  g. . tanh , disederhanakan menjadi
T L
L
⎝ ⎠
L g
C2  2  C  g tanh kh k
2
.tanh kh atau
T k .............................................................. (2.29)

Dan Persamaan panjang gelombang;


gT 2
L . tanh
2 kh ........................................................................................................... (2.30)

Dengan memperhatikan perilaku gelombang yang berbeda untuk tiap tipikal perairan, maka
untuk laut dalam dimana h>> sehingga kh menjadi besar maka tanh kh≈1 atau kh=1. Maka panjang
gelombang dan cepat rambat gelombang di laut dalam adalah:

gT L
Lo  2 dan Co  o

................................................................................................. (2.31)
2 T

Sedangkan untuk laut dangkal, dimana h<< sehingga kh menjadi kecil (diabaikan), maka tanh
kh≈kh. Maka panjang gelombang dan cepat rambat gelombang di laut dangkal adalah:
gT 2 2 h
L . dan C  gh
2 L (2.32)

Maka dari itu, dalam Teori Gelombang Linear ini persamaan gelombangnya diklasifikasikan
menjadi tiga jenis perairan dengan syarat batas tertentu yang ditunjukkan oleh gambar 2.3.

Gambar 2.3 Klasifikasi gelombang sesuai tipe perairan dan sketsa trayektori partikel air.
2.1.5 KECEPATAN DAN PERCEPATAN PARTIKEL AIR

Dengan telah diketahuinya persamaan potensial kecepatan, maka kecepatan dan


percepatan partikel air dapat diturunkan. Kedua persamaan ini diturunkan dari persamaan potensial
kecepatan. Kecepatan partikel air merupakan turunan (differensial) potensial kecepatan terhadap
arah gerak partikel. Percepatan partikel merupakan turunan (differensial) kecepatan partikel air
terhadap waktu.

Kecepatan partikel air pada arah horizontal u:


u cosh k (h  .cos(kx  t)

gHk . z) cosh
x ............................................................ (2.33)
2 kh

Kecepatan partikel air arah vertikal w:


w sinh k (h  .sin(kx 

gHk . z) cosh
z t) .............................................................. (2.34)
2 kh

Dan, untuk percepatan partikel air arah horizontal u:

u gHk cosh k (h  z)
au  . .sin(kx  t)
t 2 cosh ............................................................... (2.35)
kh

Percepatan partikel air arah vertikal w:


w gHk sinh k (h  z)
a  . .cos(kx  t)
w
2 cosh ............................................................ (2.36)
kh
t

Menurut Teori Gelombang Linear, gelombang yang merambat dalam media air hanya
dirambatkan saja, akan tetapi massa airnya tidak berpindah melainkan hanya berputar‐putar saja
dalam trayektori tertentu yang berbentuk elips atau lingkaran. Kecepatan partikel air yang dibahas
ini adalah kecepatan partikel air tersebut berputar atau bergerak dalam trayektori tersebut. Untuk
perairan dangkal, trayektori partikel air cenderung elipsoidal, dan untuk periaran dalam memiliki
trayektori partikel air yang cenderung bulat. Gambar 2.4 akan menunjukkan perpindahan atau
pergerakan partikel air untuk periaran dangkal dan dalam.
Gambar 2.4 Ilustrasi pergerakan partikel air untuk perairan dangkal dan dalam (CEM, 2001).

Oleh karena itu, kecepatan dan percepatan partikel air untuk tiap arah merupakan fungsi
dari posisi, dan memiliki beda fasa sebesar 90 0. Ilustrasi perbedaan fasanya ditunjukkan oleh gambar
2.5. Kecepatan partikel air untuk arah horizontal bernilai maksimum pada fasa
(kx   t)  0, , 2 ,... , dan kecepatan partikel air untuk arah vertikal bernilai maksimum pada
fasa
 3
(kx  t)  , ,...
2 2

Gambar 2.5 Ilustrasi perbedaan fasa antara kecepatan dan percepatan partikel air (CEM, 2001).
2.2 TEORI GAYA GELOMBANG

Perhitungan gaya‐gaya hidrodinamika yang bekerja pada suatu struktur lepas pantai
ataupun pipa bawah laut belum dapat dihitung secara eksak, baik dengan penurunan secara
percobaan maupun teoritis. Oleh karena itu, digunakan metoda penyederhanaan untuk mendekati
perhitungan gaya hidrodinamik pada struktur laut tersebut.

Salah satu metoda pendekatan perhitungan gaya hidrodinamika adalah dengan metoda
Morrison. Metoda ini menghitung gaya hidrodinamika yang terjadi pada suatu struktur akibat
gelombang laut di permukaan. Metoda ini cocok untuk diterapkan pada struktur lepas pantai
maupun pipa bawah laut, dikarenakan perbandingan antara dimensi struktur terhadap panjang
gelombang relatif kecil. Kriteria batas dapat digunakannya metoda Morrison adalah D/L ≤ 0.2,
dimana D adalah diameter struktur dan L adalah panjang gelombang.

Pada kasus suatu gaya hidrodinamika mengenai suatu struktur pipa bawah laut, maka
diasumsikan diameter terluar dari pipa tersebut masih jauh lebih kecil dari panjang gelombang laut,
sehingga gelombang tersebut melewati struktur tanpa gangguan yang berarti. Gelombang yang
bergerak melewati struktur tersebut tidak terganggu, akan tetapi pengaruh terhadap struktur terjadi
akibat adanya vortex (wake formation) yang terbentuk di belakang struktur dan flow separation.
Gaya hidrodinamika yang terjadi pada struktur adalah gaya inersia dan gaya seret.

Pada teori gaya gelombang Morrison ini, gaya hidrodinamika yang terjadi diturunkan dari
fluktuasi gelombang laut pada lokasi tersebut. Adanya gelombang laut yang merambat di permukaan
menyebabkan arus pada perairan tersebut. Arus yang terjadi akibat gelombang ini disebut dengan
wave induced current. Arus ini terjadi akibat pergerakan partikel air di bawah gelombang pada
trayektori elips atau lingkaran (lihat gambar 2.3, 2.4 dan 2.5). Oleh karena itu, arus akibat gelombang
ini hanya bersifat lokal dan memiliki fasa tertentu dimana besarnya dapat bernilai maksimum atau
minimum.

Gaya gelombang Morrison yang terjadi pada suatu struktur adalah penjumlahan dari gaya
inersia dan gaya seret. Gaya seret (drag force) terjadi akibat gaya gesekan yang terjadi antara fluida
dan dinding pipa (skin friction), dan vortex yang terjadi di belakang struktur (gambar 2.6). Gaya
inersia terjadi pada struktur akibat gaya oleh perubahan perpindahan massa air yang disebabkan
oleh keberadaan pipa. Perubahan perpindahan massa diakibatkan oleh adanya fluktuasi percepatan
arus (gambar 2.7). Pada intinya, faktor yang mempengaruhi gaya seret adalah kecepatan partikel air.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi gaya inersia adalah percepatan partikel air.
2.2.1 GAYA SERET (DRAG FORCE)

Nilai gaya seret (drag force) yang terjadi pada suatu struktur silinder dapat dituliskan
dengan persamaan berikut ini.
1 1
f  ..C .A .U . ..C .D.U .
atau f 
U U .................................................... (2.37)
D D P
2 D
2
D

Dimana:

fd = gaya seret per satuan panjang D = diameter pipa/silinder

ρ = massa jenis air U = kecepatan arus total

AP = luas proyeksi pipa per satuan panjang CD = koefisien drag

Adanya tanda absolut menyatakan bahwa arah gaya harus dan pasti searah dengan arah
arusnya. Kecepatan arus total adalah jumlah atau superposisi dari kecepatan arus akibat gelombang
(wave‐induced current) dan kecepatan arus pasut (tidal current). Luas proyeksi pipa merupakan
proyeksi pipa dari tampak depan tegak lurus arah arus.

Besar kecepatan dan percepatan partikel air ini didapat dari penurunan teori gelombang
linear, teori Stokes orde‐5, teori gelombang Solitary, teori gelombang Cnoidal, steram function dan
sebagainya. Pemilihan teori gelombang yang akan digunakan bergantung pada karakteristik kondisi
laut yang dimodelkan atau dilakukan analisis. Untuk penyederhanaan dalam tugas akhir ini,
digunakan teori gelombang linear untuk memperoleh besar kecepatan dan percepatan partikel air
dari penurunan terhadap potensial kecepatan.
2.2.2 GAYA INERSIA (INERSIA FORCE)

Gaya inersia terjadi pada struktur akibat gaya oleh perubahan perpindahan massa air yang
disebabkan oleh keberadaan pipa. Faktor yang mempengaruhi gaya inersia adalah percepatan
partikel air. Perubahan perpindahan massa diakibatkan oleh adanya fluktuasi percepatan arus. Nilai
gaya inersia yang terjadi pada suatu struktur silinder dapat dituliskan dengan persamaan berikut ini.


f I  .CI .V atau f  .C .A.U.........................................................................
.U I I
(2.38)

Dimana;

fI = gaya inersia per satuan panjang V = volume pipa per satuan panjang

A = luas penampang pipa CI = koefisien inersia = CM + 1



U = percepatan arus CM = koefisien added mass

2.2.3 GAYA MORRISON TOTAL

Maka, gaya morrison total per satuan panjang yang terjadi pada pipa adalah jumlah dari
gaya seret dan gaya inersia, dan dituliskan oleh persamaan berikut ini.
1
f ..C 

T .D.U .  .CI .
2
D
U ................................................................................. (2.39)
A.U

Pada suatu kasus dimana diameter struktur cukup besar dibanding panjang gelombang,
mencapai D/L > 0.2, maka pengaruh gaya seret akibat gelombang akan menjadi tidak signifikan
akibat vortex yang tidak sempat terbentuk. Dalam kasus ini gaya inersia akan lebih dominan akibat
besar volume atau massa air yang terpindahkan akibat adanya struktur tersebut.

2.2.4 GAYA ANGKAT (LIFT FORCE)

Gaya hidrodinamika lainnya adalah gaya angkat (lift force). Gaya ini bekerja dalam arah
tegak lurus arah rambatan gelombang/arus. Gaya angkat ini terjadi akibat adanya konsentrasi
streamline pada bagian atas pipa. Pada gambar 2.6, terlihat bahwa terdapat konsentrasi streamline
di atas pipa. Konsentrasi streamline membuat kecepatan arus pada atas pipa tersebut menjadi
besar, sehingga tekanan hidrodinamik mengecil, dan pipa menjadi terangkat. Jika terdapat celah
antara pipa dan seabed, maka konsentrasi streamline akan terjadi, sehingga dengan proses yang
sama pipa akan jatuh kembali, atau dengan kata lain gaya angkat yang terjadi bernilai negatif.

Maka, persamaan gaya angkat (lift force) yang terjadi adalah sebagai berikut.
1
f ..C
L .D.U .
2
L
U .................................................................................................... (2.40)

Dimana: CL = koefisien gaya angkat (lift force coefficient)

Gambar 2.6 Ilustrasi konsentrasi streamline yang melewati pipa.


2.2.5 KOEFISIEN GAYA HIDRODINAMIKA

Penentuan koefisien‐koefisien CD, CI, CM, dan CL mengacu pada kode DNV 1981 Submarine
Pipeline Systems. Besarnya koefisien‐koefisien ini bergantung kepada parameter karakteristik
kondisi aliran dan pipa. Parameter‐parameter yang mempengaruhi antara lain:
U .D
 Bilangan Reynold; Re  (non‐dimensional)

dimana  = viskositas kinematik = 1.2363 x 10‐5 ft2/s pada air 600 F.

 Bilangan Keulegan‐Carpenter; Uw .T
KC  , T = perioda gelombang (s)
D

 Kekasaran pipa, dengan parameter k/D, dimana k adalah tinggi kekasaran.

 Jarak antara pipa dengan batas tetap, dengan parameter H/D, dimana H adalah jarak.

Dari parameter‐parameter diatas, maka besar koefisien‐koefisien dapat ditentukan dari


grafik‐grafik pada gambar 2.7.

Selain itu, menurut referensi Offshore Pipelines, Guo, 2005, besar koefisien CD dan CL untuk
pipa yang tergeletak di seabed dapat ditentukan dari grafik pada gambar 2.8. Selain itu, besar
koefisien CD, CI, dan CL untuk kasus dimana tidal current dan wave‐induced current bekerja
bersamaan menimbulkan gaya, ditunjukkan oleh gambar 2.9.

Untuk keperluan praktis, dapat diambil besar koefisien tersebut dari kode API RP‐2A untuk
pendesainan struktur lepas pantai sebagai berikut.

Permukaan smooth CD = 0.65, CM = 1.6

Permukaan rough CD = 1.05, CM = 1.2


Gambar 2.7 Grafik penentuan koefisien hidrodinamika (DNV 1981 Submarine Pipeline Systems).
TUGAS AKHIR BAB 2 TEORI DASAR

Gambar 2.8 Grafik penentuan CD dan CL untuk pipa tergeletak pada seabed (Offshore Pipelines, Guo, 2005).

Gambar 2.9 Grafik koefisien hidrodinamika untuk arus dan gelombang yang bekerja bersamaan pada on-bottom pipe (Offshore Pipelines, Guo, 2005).

ANALISIS FREE SPAN PIPA BAWAH LAUT


PIPA TRANSMISI SSWJ-II PT PGN,Tbk 2-18
TUGAS AKHIR BAB 2 TEORI DASAR

Dari grafik‐grafik diatas maka besar koefisien hidrodinamika dapat ditentukan. Akan tetapi
berlaku beberapa syarat dan penyederhanaan mengacu pada DNV 1981 sebagai berikut:

 Besar koefisien hidrodinamik yang diambil sebaiknya dari hasil percobaan model fisik.

 Untuk pipa yang tidak dipengaruhi oleh batas tetap seperti seabed, contohnya pada
free span, maka koefisien added mass CM =1.

 Koefisien drag CD adalah fungsi dari bilangan Keulegan‐carpenter KC untuk pipa


smooth yang tertutupi oleh marine growth hanya untuk kondisi aliran superkritis (Fig.
A.8) berdasarkan bilangan Reynolds, dan hanya valid untuk aliran yang bebas dari
batas tetap (seabed).

 Besar Koefisien drag CD pada arus steady untuk nilai KC tak hingga adalah asimtot dari
kurva pada grafik.

 Untuk pipa yang dekat dengan batas bebas (seabed), maka besar koefisien drag CD
harus dikalikan dengan faktor koreksi pada Fig. A.9.

 Besar koefisien gaya angkat CL untuk aliran steady = 1.

 Untuk pipa yang dekat dengan batas bebas (seabed), maka besar koefisien gaya
angkat CL harus dikalikan dengan faktor koreksi pada Fig. A.11.

Untuk keperluan praktis, berdasarkan bilangan Reynolds untuk pipa terekspos pada aliran
steady, maka koefisien hidrodinamika dapat diambil dari tabel 2.1 berikut ini.

Re CD CL CM
Re < 5.0 x 104 1.3 1.5 2.0
5.0 x 104 < Re < 1.0 x 105 1.2 1 2.0

1.0 x 105 < Re < 2.5 x 105 1.53 ‐ (Re / 3.0 x 105) 1.2 ‐ (Re / 5.0 x 105) 2

2.5 x 105 < Re < 5.0 x 105 0.7 0.7 2.5 ‐ (Re / 5.0 x 105)
Re > 5.0 x 105 0.7 0.7 1.5

Tabel 2.1 Rekomendasi Koefisien Hidrodinamika untuk Aliran Steady (A.H Mouselli, 1981)

Teori gaya Morrison ini hanya dapat diaplikasikan pada struktur yang diasumsikan rigid. Bila
struktur memiliki respon dinamik, dengan memiliki kecepatan dan percepatan respon, maka partikel
fluida bergerak dengan kecepatan relatif terhadap struktur tersebut. Pada kasus ini, digunakan
kecepatan dan percepatan relatif partikel fluida terhadap struktur, atau wave slamming, dengan
persamaan Morrison yang juga mengacu pada DNV 1981.

ANALISIS FREE SPAN PIPA BAWAH LAUT


PIPA TRANSMISI SSWJ-II PT PGN,Tbk 2-19
2.3 TEORI MEKANIKA TEKNIK

Dalam Tugas Akhir ini, analisis free span pipa bawah laut dilakukan mengacu pada kode DNV
RP F‐105. Kode ini mensyaratkan desain free span pipa terhadap kondisi Ultimate Limit State (ULS)
dan kondisi Fatigue Limit State (FLS). ULS merupakan syarat kekuatan pipa menahan gaya‐gaya yang
bekerja terhadap buckling, atau analisis mekanika teknik secara statis. FLS merupakan syarat
kekuatan pipa terhadap Vortex Induced Vibration yang dapat menyebabkan kegagalan pada pipa.

Untuk kasus free span, terdapat gaya‐gaya yang bekerja pada pipa, yaitu gaya internal dan
gaya lingkungan dari luar. Gaya‐gaya internal contohnya adalah tekanan internal, tegangan
longitudinal. Gaya internal ini pada umumnya disebabkan oleh kondisi instalasi dan operasi pipa.
Besarnya gaya atau tegangan dan dampak yang terjadi pada pipa bergantung pada tipe material pipa
yang digunakan.

2.3.1 HOOP STRESS

Hoop stress atau tegangan tangensial ini merupakan tegangan yang terjadi akibat tekanan
yang diberikan pada suatu silinder dan bekerja pada dinding silinder tersebut. Untuk pipa bawah
laut, maka tekanan tersebut diberikan dari dalam pipa dan dari luar pipa. Penurunan persamaan
hoop stress menggunakan asumsi silinder berdinding tipis, dimana D (diameter luar) / t (ketebalan
dinding) lebih besar dari 20 (D/t > 20). Tekanan dari dalam pipa disebabkan oleh tekanan muatan
pipa. Tekanan dari luar pipa disebabkan oleh tekanan hidrostatik akibat pipa berada pada kedalaman
tertentu di bawah laut. Resultan antara tekanan internal dan eksternal disebut sebagai P = Po ‐ Pi

Gambar 2.10 Ilustrasi tekanan internal dan tekanan eksternal pada pipa bawah laut.
Maka resultan keseimbangan gaya vertikal yang terjadi adalah:

 P.r.d .sin  2.F  0


0

P.r  sin .d  2.F


0

2.P.r  atau F  P.r.................................................................................


2.F (2.40)

Maka tekanan atau tegangan tangensial yang terjadi adalah gaya tangensial Fθ dibagi
ketebalan dinding.
F P.r P.D
   atau  
h
t h
................................................................................... (2.41)
t
2.t

Dimana:

D = diameter pipa = 2.r

P  Po  PI =resultan tekanan yang mengelilingi pipa

Sedangkan, untuk silinder berdinding tebal, maka besar hoop stress diturunkan dari
tegangan radial. Tegangan radial diberikan oleh persamaan berikut ini;
F

r
t........................................................................................................................ (2.42)

Dimana r adalah selisih antara diameter terluar dan ketebalan dinding, tidak seperti pada
gambar 2.10. Untuk silinder berdinding tebal, tegangan radial yang bekerja pada potongan
melintang pipa didefinisikan sebagai hoop stress. Maka, persamaan hoop stress adalah;

P.r PO  PI (OD  WT )
H  
t 2. t .................................................................................. (2.43)

Maka, tegangan end cap effect adalah tegangan yang disebabkan oleh tegangan fluida
dalam pipa pada ujung pipa yang tertutup. Adanya tegangan ini berpengaruh terhadap bending yang
terjadi pada pipa. Persamaan end cap effect diberikan oleh;
H
 
ep
2 ......................................................................................................................... (2.44)
2.3.2 BENDING STRESS

Tegangan tekuk (bending stress) terjadi akibat adanya momen tekuk pada pipa, sehingga
perlu diketahui beban total penghasil gaya tekuk pada pipa. Beban ini merupakan kombinasi dari
berat pipa dalam air dan gaya hidrodinamik horizontal dengan persamaan berikut;

q F D F 
2 2
W
sub I max
.............................................................................................. (2.45)

Maka, tegangan tekuk maksimum yang terjadi adalah;

MB .y MB .Dtcc
 B I

2. ................................................................................................... (2.46)
I

Persamaan momen tekuk statik maksimum (M B) diberikan oleh DNV 1981 sebagai berikut;

M B  q.L 2
eff

C ................................................................................................................... (2.47)

Panjang efektif (Leff) akan dijelaskan pada Bab 3, subbab 3.6.5. Sedangkan C adalah
konstanta kondisi batas perletakan, diberikan pada tabel 2.2.

2.3.3 THERMAL STRESS

Thermal stress adalah tegangan yang terjadi akibat adanya ekspansi (pemuaian) yang terjadi
pada pipa. Persamaan tegangan pemuaian adalah sebagai berikut;

T  E.T .ΔT....................................................................................................
(2.48)

Dimana;

E = modulus elastisitas baja

αT = perbedaan temperatur antara kondisi instalasi dan operasional

ΔT = koefisien ekspansi thermal


2.3.4 POISSON STRESS

Poisson stress merupakan tegangan yang terjadi akibat adanya tegangan residual pada saat
fabrikasi pipa, sehingga pipa harus kembali ke keadaan semula. Maka, kembalinya pipa ke keadaan
semula menyebabkan terjadinya gaya aksial, sehingga menyebabkan kontraksi pada dinding pipa.

p.
H ...................................................................................................................... (2.49)

2.3.5 LONGITUDINAL STRESS

Longitudinal stress merupakan kombinasi dari bending stress, thermal stress, end cap
effect,dan poisson effect. Longitudinal stress ini merupakan tegangan aksial yang bekerja pada
penampang pipa. Persamaan longitudinal stress adalah sebagai berikut;

 L   B   ep  T  
p ............................................................................................... (2.50)

Gambar 2.11 Ilustrasi tegangan longitudinal pada pipa.

2.3.6 EQUIVALENT STRESS

Equivalent stress merupakan resultan seluruh komponen tegangan yang terjadi pada pipa.
Persamaan tegangan ekuivalen dirumuskan sebagai tegangan von mises berikut ini;

E  H 22 LHL
 .  3. x
 ................................................................................. (2.51)

Besaran tegangan geser tangensial  x diabaikan dalam perhitungan tegangan ekuivalen ini
karena besarnya tidak dominan dibanding komponen tegangan lainnya. Untuk perhitungan
konservatif maka perkalian antar tegangan tangensial dan longitudinal diabaikan.
2.4 VORTEX INDUCED VIBRATION (VIV)

Fenomena Vortex Induced Vibration (VIV) adalah fenomena terjadinya vibrasi atau getaran
yang terjadi akibat resonansi yang disebabkan oleh terbentuknya wake atau vortex di belakang
struktur membelakangi arah aliran. Ketika aliran fluida mengalir melewati pipa, maka akan terbentuk
vortex di belakang pipa. Vortex ini disebabkan adanya turbulensi dan ketidak stabilan aliran di
belakang pipa. Pembentukan vortex (vortex sheeding) ini menyebabkan perubahan tekanan
hidrodinamika secara periodik pada pipa, sehingga mengakibatkan bentang pipa (pipe span)
bervibrasi.

Frekuensi vortex shedding yang terjadi tergantung pada diameter pipa dan kecepatan aliran.
Mengacu pada DNV 1981, frekuensi vortex ini disebut juga frekuensi Strouhal. Jika frekuensi
Strouhal ini memiliki besar yang mendekati atau bahkan menyamai frekuensi natural pipe span,
maka akan terjadi resonansi pada pipe span tersebut. Resonansi yang terjadi dapat mengakibatkan
kegagalan/collapse pada pipe span, dengan pola keruntuhan kelelehan (yielding) dan tentunya
keruntuhan kelelahan (fatigue).

Osilasi akibat resonansi yang terjadi pada pipa terjadi dalam dua arah, yaitu dalam cross‐
flow dan in‐line. Osilasi yang lebih harus diperhatikan adalah dalam arah cross‐flow, akan dijelaskan
lebih detil pada bab 3. Gambar 2.12 menunjukkan ilustrasi vortex yang terjadi pada area pipe
downstream, dan arah osilasi.

Gambar 2.12 Ilustrasi vortex shedding dan arah osilasi yang terjadi pada pipa.

Keruntuhan struktur pipa akibat terjadinya resonansi/osilasi dapat dicegah bila frekuensi
vortex memiliki nilai dengan interval yang jauh berbeda dari frekuensi natural pipe span. Pencegahan
atau tindakan mitigasi pipe span ini dilakukan setelah pipa digelar dan dilakukan survey akhir.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tahap span correction.
Besar frekuensi vortex shedding atau frekuensi Strouhal adalah:

S.UC  UW
f
V
Dtcc .......................................................................................................... (2.52)

Dimana:

fV = frekuensi vortex shedding

Uc+Uw = kecepatan aliran total

S = bilangan Strouhal

Dtcc = diameter pipa

Bilangan Strouhal merupakan bilangan frekuensi non‐dimensional dari vortex shedding dan
fungsi dari bilangan Reynolds. Bilangan Reynolds sendiri merupakan rasio dari gaya inersia dan gaya
viscous, telah dijelaskan pada sub‐bab sebelumnya. DNV 1981 menganjurkan nilai bilangan Strouhal
diambil dari grafik pada gambar 2.13 di bawah ini.

Gambar 2.13 Grafik hubungan bilangan Reynolds dan bilangan Strouhal (DNV 1981 Submarine Pipeline Systems).

Sedangkan, besar frekuensi natural bentang bebas pipa bergantung pada kekakuan pipa,
panjang bentang , kondisi ujung‐ujung bentang, dan massa efektif dari pipa. Frekuensi natural pipa
diberikan oleh A.H Mouselli dengan persamaan berikut ini.

EI
fn  Me
Ce .......................................................................................................... (2.53)
2 .Ls .
Dimana:

fn = frekuensi natural pipa

Me=massa efektif pipa

Ce = konstanta perletakan ujung bentang

EI = kekakuan pipa

Untuk konstanta perletakan ujung bentang C e, besarnya berbeda untuk tiap tipe perletakan.
Tabel 2.2 berikut ini menunjukkan besar C e untuk tiap tipe perletakan.

Tabel 2.2 Konstanta Perletakan Ujung Bentang Pipe Span

Tipe Perletakan Pipe Span Ce


Pinned to pinned 1.0 π2 = 9.87

Fixed to pinned 1.25 π2 = 15.5

Fixed to fixed 1.50 π2 = 22.2

Sedangkan, massa efektif adalah penjumlahan total dari unit mass pipa dan coating layer,
unit mass content yang diangkut, dan unit mass dari air yang dipindahkan (added mass).

M e  M p  M c  M a.....................................................................................................................................................................
(2.54)

Dimana:

Me = massa efektif

Mp = unit mass pipa dan coating

Mc = unit mass content pipa

Ma = unit mass buoyancy (added mass)

Maka, dari parameter‐parameter yang telah disebutkan diatas, maka besar frekuensi
Strouhal dan frekuensi natural pipe span dapat dihitung. Faktor ini menjadi acuan desain keamanan
pipa terhadap fenomena VIV. Desain pipa yang aman terhadap VIV adalah desain yang memiliki nilai
frekuensi natural pada allowable pipe span yang jauh dari nilai frekuensi Strouhal atau vortex
shedding.
Selain itu, terdapat parameter lain yang menentukan tipe osilasi pipe span, yaitu:

 Reduced velocity VR, parameter untuk penentuan range kecepatan aliran yang dapat
menyebabkan vortex shedding.

VR 
V Uc  U w , ...................................................................................... (2.55)
f .D 

f .D
n n

dimana;

V = kecepatan aliran total

fn = frekuensi natural pipe span

D = diameter pipa total terluar

 Koefisien stabilitas Ks , parameter stabilitas yang mengontrol jenis gerakan osilasi.


2.Me .
KS  , ....................................................................................................... (2.56
 .D
2

dimana;

Me = massa efektif pipa

ρ = massa jenis air laut

δ = pengurangan redaman struktur secara logaritmik.

Dari parameter penentu tipe osilasi diatas, maka tabel 2.3 menjelaskan kriteria osilasinya.

Tabel 2.3 Kriteria Tipe Osilasi VIV

Parameter Tipe shedding Tipe osilasi


1.0 < Vr < 3.5
Simetris In‐line
Ks < 1.8
Vr > 2.2 Asimetris In‐line
Ks < 16 Asimetris Cross‐flow
2.5 PROPERTI PIPA BAWAH LAUT

Pada umumnya, material utama pipa bawah laut adalah pipa yang terbuat dari carbon steel,
atau logam lainnya. Dalam lingkungan laut yang tidak bersahabat, dimana terdapat arus, gelombang
dan sifat kimia air laut yang korosif, maka perlu diberikan perlindungan terhadap pipa tersebut.
Perlindungan anti korosi antara lain dengan lapisan High Density Polyethylene (HDPE) dan lapisan
beton. Lapisan beton ini juga berfungsi sebagai pemberat untuk menjaga stabilitas pipa di bawah
laut. Potongan melintang sebuah pipa bawah laut ditunjukkan gambar 2.14 di bawah ini.

Gambar 2.14 Ilustrasi penampang pipa bawah laut.

Gambar 2.15 Ilustrasi pipa bawah laut dengan HDPE coating dan concrete coating.
Dan penamaan properti pipa sebagai berikut:

ID : Diameter dalam pipa baja

OD (Ds) : Diameter luar pipa baja = ID + 2.t s

ts : Ketebalan dinding pipa baja

tcorr : Ketebalan lapisan anti korosi (corrosion coating)

tcc : Ketebalan lapisan beton (concrete coating)

Wst : Berat pipa baja di udara

Wcorr : Berat lapisan anti korosi di udara

Wcc : Berat lapisan beton di udara

Wcont : Berat content (isi pipa) di udara

Wbuoy : Berat/gaya apung (buoyancy)

Wsub : Berat pipa di dalam air (terendam)

ρs : Massa jenis baja

ρcorr : Massa jenis lapisan anti korosi

ρcc : Massa jenis lapisan beton

ρsw : Massa jenis air laut

ρcont : Massa jenis content (isi pipa)

Dalam perhitungan beban yang akan diterima pipa, berat dari pipa itu sendiri juga
diperhitungkan sebagai berat pipa terdistribusi merata per satuan panjang. Dalam analisis free span
ini, perhitungan berat sendiri pipa dilakukan untuk dua fase, yaitu fase instalasi (pipa kosong) dan
fase operasi (pipa dengan gas content). Berikut ini adalah formula perhitungan berat untuk tiap
properti pipa.

 Berat baja di udara (Ws)



W   ⎡⎣OD 2  ID 2 ⎤⎦
s s
4 .................................................................................... (2.57)

 Berat lapisan anti korosi di udara (Wcorr)



W   ⎡⎣(D  2.t ) 2  D 2 ⎤⎦
corr corr s corr
4
s ............................................................... (2.58)
 Berat lapisan beton di udara (Wcc)

W   ⎡⎣(D  2.t  2.t )2  (D 
)2 ⎤⎦
2.t
cc cc s corr cc s corr
4 ........................................ (2.59)

 Berat content pipa di udara (Wcont)



Wcont  con .
 t ID 2 ............................................................................................. (2.60)
4

 Berat/gaya apung pipa (Wbuoy)



W   . D  2.t  2.t 2
buoy sw s corr
4
cc ................................................................... (2.61)

 Berat pipa di dalam air (Wsub)

Wsub  Ws  Wcorr  Wcc  Wcont  Wbuoy...................................................................................................


(2.62)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa lapisan beton berguna untuk menjaga stabilitas pipa di
dasar laut. Selain itu, juga berguna sebagai pelindung pipa dari benturan, maupun aktivitas manusia
lainnya yang bersifat merusak.

Terdapat regulasi pemerintah yang mengatur keselamatan operasi pipa bawah laut.
Berdasarkan SKEP Mentamben no. 300 K/38/M.PE/1997, pipa yang berada pada area shore
approach, dengan kedalaman perairan kurang dari ‐14 m LAT harus dikubur pada trench dengan
kedalaman minimum 2 m dari TOP (top of pipe) ke permukaan seabed. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kerusakan pipa akibat banyaknya aktivitas maritim yang dilakukan manusia pada
perairan dangkal tersebut.

Sebagai pemberat, ketebalan lapisan beton juga harus diperhitungan secara detail dengan
melihat kondisi seabed dan gaya lingkungannya dan juga kondisi instalasi. Lapisan beton yang terlalu
tebal dapat menyebabkan pekerjaan instalasi menjadi terlalu berat, dan rawan terhadap buckling.
2.6 FENOMENA FATIGUE

Fatigue adalah fenomena kelelahan struktur akibat adanya pembebanan berulang (cyclic
loading) yang diterima oleh struktur tersebut. Fenomena ini merupakan hazard bagi suatu struktur
lepas pantai maupun pipa bawah laut, karena dapat menyebabkan umur operasi struktur tersebut
menurun drastis.

Batas dari fatigue didefinisikan sebagai tegangan (stress) dimana material atau titik
joint/sambungan dapat menahan beban yang berulang dalam jumlah siklus tertentu. Nilai dari
fatigue limit ini didapat dari kurva S‐N, yang berisi range tegangan dan jumlah siklus pembebanan
yang diizinkan. Kekuatan fatigue (fatigue strength) dari suatu struktur merupakan tegangan
maksimum yang dapat ditahan oleh struktur tanpa mengalami keruntuhan pada frekuensi
pembebanan tertentu.

Mengacu pada kode DNV RP F105, maka kriteria fatigue yang harus dipenuhi oleh sebuah
sistem pipa bawah laut pada zona free span adalah sebagai berikut;

.Tlife  Texposure
...................................................................................................... (2.63)

Dimana;

 = rasio kerusakan fatigue yang diizinkan

Tlife = kapasitas umur desain fatigue

Texposure = masa kerja beban yang bekerja terhadap pipa

Untuk kondisi tegangan tertentu yang fluktuatif dengan amplitudo tegangan yang bervariasi
dalam order acak, besar fatigue damage dapat dihitung dari metoda Palmgreen‐Miner sebagai
berikut:

Dfat s


ni  
i 1 fat ......................................................................................................... (2.64)
Ni

Dimana;

Dfat = fatigue damage terakumulasi

ni = total jumlah siklus tegangan dalam range tegangan Si

N = jumlah total siklus untuk kegagalan pipa dalam range tegangan S i (kurva S‐N)

Σ = penjumlahan fluktuasi tegangan yang terjadi selama usia desain (design life)
 fat = rasio kerusakan fatigue yang diizinkan (DNV OS F101)

⎧ 1/ safety factor "low"


3
 fat ⎪ safety factor "medium"
 ⎨ 1/
safety factor "high"
5
⎪1/1

0

Dan, jumlah siklus yang menyebabkan keruntuhan fatigue pada range tegangan S i
didefinisikan oleh kurva S‐N oleh persamaan;

log Ni  log a  m.log Si........................................................................................................................................................................


(2.65)

Dimana;

Ni = jumlah siklus yang menyebabkan keruntuhan fatigue pada range tegangan Si

Si = nilai range tegangan ke‐I, didapat dari perhitungan response model

a = konstanta kekuatan karakteristik fatigue, merupakan perpotongan kurva S‐N


dengan sumbu Ni

m = slope negatif inverse kurva S‐N

Kurva S‐N dibuat berdasarkan pengetesan pada suatu spesimen yang dilakukan oleh DNV.
Karakteristik fatigue strength yang ditunjukkan pada kurva S‐N (gambar 2.15) adalah range tegangan
(stress range) versus jumlah siklus hingga kegagalan pipa (number of cycles to failure), diambil
berdasarkan 95% dari reliability limit dari yield strength. Untuk perhitungan sisa umur operasi
struktur akibat fatigue damage dihitung dengan persamaan:
1
Umur sisa Fatigue 
Dfat
............................................................................................. (2.66)
Gambar 2.16 Kurva S-N untuk struktur di laut dengan perlindungan katodik (DNV RP C203).

Kurva yang digunakan untuk analisis fatigue pipa bawah laut adalah kurva C1. Kurva C1 ini
berlaku untuk pipa bawah laut dengan tipe pengelasan hanya dari satu sisi saja dan tingkat kualitas
pengawasan yang cukup, serta dilakukannya pembersihan untuk menghilangkan overfill pada
pengelasan dengan pigging. Parameter kurva C1 adalah:

 m1 = 3.0 dan a1 = 12.049 untuk N < 107 cycles.

 m2 = 5.0 dan a2 = 16.081 untuk N > 107 cycles.

Beberapa pengujian pada data‐data keruntuhan akibat fatigue mengindikasikan beberapa


faktor yang mempengaruhi kekuatan struktur dalam menahan fatigue (fatigue strength). Faktor‐
faktor tersebut antara lain :

a) Faktor material :

 Jenis material dan finishing permukaan

 Tegangan sisa (residual stress)

b) Faktor desain :

 Sifat bahan, yang dinyatakan dalam D/L


 Rate pembebanan

 Tegangan maksimum

 SCF (perbandingan tegangan ekstrim dan tegangan nominal)

c) Faktor fabrikasi :

 Teknik fabrikasi (semakin modern dan bagus kualitas pengelasan dan pelapisan
(coating), maka semakin sedikit diskontinuitas bahan)

 Pengerjaan di shop (ada atau tidaknya treatment khusus yang bisa mempengaruhi
sifat bahan)

Perhitungan kerusakan fatigue dengan standar DNV RP F105 merupakan perhitungan fatigue
akibat fenomena VIV akibat arus dan gelombang. Perhitungan fatigue damage dilakukan akibat
pengaruh gelombang yang mempengaruhi aliran yang melewati dan bekerja pada struktur pipa.
Penentuan fatigue damage akibat gelombang memiliki tahapan seperti dijelaskan gambar 2.16
berikut ini.

Gambar 2.17 Flowchart tahapan analisis fatigue damage.

Anda mungkin juga menyukai