Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL PENELITIAN SOSIAL KLINIS

GAMBARANKESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-

BEING)

PADA REMAJAYATIM PIATUDI PANTI ASUHAN X

DosenPembimbing : Aditya Putra Kurniawan, S.Psi., MSH Counselling

Oleh :

Nur Isnaeni Ari Astuti

17081723

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCUBUANA YOGYAKARTA

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Remaja merupakan salah satu masa perkembangan dalam kehidupan manusia.

Ada begitu banyak sudut pandang yang digunakan untuk dapat mendefinisikan

remaja. Banyak tokoh yang memberikan definisi remaja seperti Papalia dan Olds

(2001) yang mendefinisikan masa remajaadalah masa transisi perkembanganantara

masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13

tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Menurut

Hall (dalamSarwono, 2011) masa remaja merupakan masa sturm und drang (topan

dan badai), masa penuhemosi dan adakalanya emosinya meledak-ledak, yang

munculkarenaadanyapertentangannilai-nilai. Emosi yang menggebu-

gebuiniadakalanyamenyulitkan, baikbagisiremajamaupunbagi orang tuaatau orang

dewasadisekitarnya.

MenurutAsmani (2012) pada masa

remajaseorangmanusiamulaimembangunjatidiri, memilikikehendakbebas

(freewilluntukmemilih), memegangteguhprinsip dan mengembangkankapasitasnya.

Dimasaini pula remaja rentan terpengaruh pergaulan teman-temannya. Jika

lingkungan tempat mereka bergaul positif, maka mereka dapat berkembang kearah

yang positif. Tetapi, jika mereka berada dalam lingkungan yang negatif, maka remaja

2
akan terjerumus untuk melakukan hal-hal yang negatif. Dalam hal ini orang tua

memiliki peranuntuk mengontrol dan mengawasi pergaulan remaja agar tidak

terjerumus pada pergaulan yang salah.

Menurut Gumede (dalam Nita Septiani, 2013) pola asuh orang tua yang baik

merupakan hal yang penting jika ingin remaja menyesuaikan diri dengan baik dalam

proses perkembangan yang merekaalami, pola perkembangan yang sehat juga

bergantung pada bagaimana orangtua memberikan cinta, berkomunikasi dan

memenuhi kebutuhan mereka. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas

hubungan dalam keluarga, terutama dengan orang tua merupakan faktor penentu

utama kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada remaja.

Keluarga yang harmonis dan utuh merupakan harapan setiap individu dalam

kehidupan berumah tangga terutama bagi anak. Namun, pada kenyataannya tidak

semua anak beruntung dapat tumbuh dalam keluarga yang utuh dengan berbagai

alasan, entah karena faktor ekonomi, perceraian maupun kematian yang

menyebabkan hilangnya fungsi keluarga yang membuat remaja menjadi terlantar dan

tidak memilikitujuan. Remaja akhirnya harus hidup dengan orang lain, entah itu

bersama nenek, paman, bibi atau saudara yang lain, bahkan harus tinggal di Panti

Asuhan (HartinadalamSupradewi&Mazaya, 2011). Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) kata panti merupakan istilah untuk rumah, tempat dan bisa juga

berarti kediaman. Panti Asuhan sendiri merupakan rumah tempat memelihara dan

merawat anak yatim atau yatim piatu dan sebagainya. Menurut Teja (2014) Panti

asuhan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial

3
pada anak terlantar dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak

terlantar, memberikan pelayanan pengganti orang tua/ wali anak dalam memenuhi

kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh. Penelitian sebelumnya

menyebutkan bahwa pantiasuhan memiliki sisi negatifnegative karena

memungkinkan remaja mengalami penurunan emosi yang mengakibatkan gangguan

kepribadian seperti sikap menarik diri, tidak mampu membentuk hubungan yang

hangat dan dekat dengan orang lain, kurang dapat menyesuaikan diri, sehingga

hubungan mereka bersifat dangkal dan tanpa perasaan (Sahuleka, 2003). Pada tahun

2012, Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkanmenerima rata-rata 200

laporankhasusanak stress perbulansepanjangtahun 2011meningkat 98%

daritahunsebelumnya. LaporanKomisi Nasional Perlindungan Anak tersebut turut

mengindikasikan terdapat peningkatan gangguan stress pada anak di Indonesia

(Psikologizone, 2012). Kemudian, mengacu pada salah satu penelitian di tahun 2007

yang dilakukan oleh Unites States Department of Health and Human Services

(Bruskas, 2008), menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak-anak di panti asuhan

mungkin mengalami setidaknya satu atau lebih gangguan mental dan 63%

diantaranya adalah korban penelantaran.

Data yang dihimpun oleh organisasi Social Save the Children (Teja, 2014)

menyatakanbahwa Indonesia memiliki 8000 panti asuhan yang terdaftar dan 15.000

panti asuhan yang tidak terdaftar. Data ini menempatkan Indonesia pada urutan

pertama negara dengan jumlah panti asuhan terbanyak di dunia. Sementara lebih dari

99% panti asuhan tersebut diselenggarakan oleh masyarakat bukan pemerintah. Hal

4
ini menunjukkan bahwa kesejahteraan anak di Indonesia belum mendapatkan

perhatian penuh dari pemerintah, meskipun hak anak telah dijamin dalam UUD yaitu

dalam ayat 1 pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi“Fakir miskin dan

anak-anak terlantardipelihara oleh Negara”. Berdasarkan data BPS bahwa 60

jutaanak Indonesia denganusiakurangdari 5 tahunsebanyak 2,15 juta diantaranya

ditampung di pantiasuhan, padahal 72,5% dari anak-anak tersebut masih memiliki

orang tua lengkap, 15,5% lainnya memiliki satu orang tua, dan hanya 10% yang

yatim piatu (Teja, 2014).

Kesejahteraan psikologis merupakan salah satu faktor penting dalam

pertumbuhan pribadi dan sosial karena dapat mencegah terjadinya kenakalan atau

kekerasan remaja (Emadpoor, dkk, 2016; Prabowo, 2017). Individu yang mampu

memahami tujuan hidupnya, memiliki kontrol diri yang baik, menampilkan rasa

bahagia, merasa mampu menjalani kehidupan, serta mendapat dukungan merupakan

cerminan daris eseorang yang telah mencapai kesejahteraan psikologis

(Enggar&Hertinjung, 2019). Berdasarkan data yang dilansir dari Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011-2017 terdapat kasus anak

berhadapan dengan hukum yang 116 diantaranya menjadi pelaku kekerasan

(Setyawan, 2018). Anak tidak bahagia dan dipenuhi konflik batin akhirnya

mengalami frustasi menjadi agresif dan nakal (Maramis, 2000).

Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis

individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kurang atau

5
tidaknya sebuah perhatian dan kasih sayang yang diterima oleh seorang remaja serta

jelas atau tidaknya status diri mereka merupakan pengalaman hidup yang akan

mempengaruhi hasil evaluasi / penilaian remajater hadap dirinya. Hasil dari evaluasi

dan pengalaman inilah yang disebut dengan kesejahteraan psikologis (psychological

well-being). Menurut Akhtar (dalamFadli, 2012) kesejahteraan psikologis mampu

membantu remaja untuk dapat menumbuhkan emosi positif, merasakan kebahagiaan

dan kepuasan serta mengurangi kecenderungan untuk berperilaku negatif. Berbeda

dengan remaja yang menjadi yatim piatu (remaja yang tidak memiliki/ kehilangan

kedua orang tuanya), dalam hal ini dituntut mereka untuk berkembang secara mandiri

tanpa keterlibatan peran keluarga dalam proses hidup yang mereka jalani. Pada

remaja yang tidak memiliki orang tua tekanan-tekanan yang dialami akan semakin

banyak karena tidak adanya orang tua sebaga isumber kasih sayang, perlindungan dan

dukungan (Napitupulu, 2009).

Kesejahteraan psikologi sadalah sebuah kondisi dimana individu mempunyai

sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan

sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur

lingkungan yang harmonis dengan kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan

mengembangkan diri (Ryff, 1989). Pemenuhan kriteria kesejahteraan psikologis

terdiri dari enam dimensi antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan prbadi.

Namun, kesejahteraan psikologis tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu faktor demografis, status sosial

6
ekonomi, dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, Locus of Control

(LOC), dan Religiusitas.

Menurut Dalimunthe (2009), pemisahan anak di lingkungan asuhnya dapat

menimbulkan tekanan akibat perubahan situasi hidup yang bersumber dari kehilangan

figure terdekat, situasi baru atau tak dikenali, tak dapat memperkirakan apa yang akan

dialami selanjutnya, perubahan kebiasaan dan terpisah dari“seccue base”. Selain itu

cap anak panti asuhan seringkali bermakna negatif yang kemudian membuat remaja

tersebut menjadi minder, sedih, tidak percaya diri, malu, hampa, merasa tidak

memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, bosan dan apatis (Teja, 2014).

Mengingat betapa pentingnya kesejahteraan psikologis bagi masa depan remaja serta

keberlangsungan bangsa dan negara berada ditangan remaja sebagai penerus bangsa,

maka topik ini akan penulis dalami sebagai bahan penelitian.

Sejumlah permasalahan kesejahteraan yatim piatu telah banyak ditemukan dalam

penelitian terdahulu. Pada penelitian Mekame, dkk (dalam Singh & Suvidha, 2016)

menemukan hasil bahwa anak yatim mengalami internalisasi masalah secara ekstrim

dibanding anak yang tidak yatimdan 34% dilaporkan berfikir untuk bunuh diri. Fawzi

dan Fourad (dalam Singh & Suvidha, 2016) menemukan hasil tingkat depresi sebesar

21%, kecemasan 45% dan harga diri rendah sebesar 23%, serta kelainan

perkembangan sebesar 61%. Ngunu (dalam Singh & Suvidha, 2016) menyebutkan

anak yatim memiliki lebih banyak masalah psikososial dan nilai akademik rendah

daripada anak yang tidak yatim piatu. Penelitian dari Ibrahim,dkk (dalam Singh &

Suvidha, 2016) menyebutkan 20% anak yatim lebih rentan terhadap depresi daripada

7
anak nonyatim. Tsegaye (dalam Singh dan Suvidha, 2016) juga berpendapat anak

yatim piatu memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah daripada anak yang

tidak yatim piatu. Sesuai temuan data awal yang yang dilakukan para peneliti

terhadap dua remaja yatim di Surabaya melalui wawancara menyatakan bahwa

mereka sering mengalami perasaan sedih dan kedua subjek sering menginternalisasi

kondisi yang mereka rasakan dengan afek negatif yang lebih dominan (dalam Singh

& Suvidha, 2016).

Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas memberikan gambaran bahwa

remaja yang tinggal di pantiasuhan memiliki berbagai macam tekanan psikologis.

Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk menjelaskan tentang kesejahteraan psikologis

pada remaja di PantiAsuhan X dalam menjalani siklus perkembangan dan

kehidupannya.

A. RumusanMasalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran

kesejahteraan psikologis (psychological- well being) pada remaja di PantiAsuhanX ?

B. TujuanPenelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis

(psychological well-being) pada remaja di PantiAsuhan X.

8
C. ManfaatPenelitian

1. ManfaatTeoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan peneliti dan pembaca

mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada remaja Di

Panti Asuhan X.

2. ManfaatPraktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi pemahaman penelitian

selanjutnya tentang kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada

remaja di Panti Asuhan.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KesejahteraanPsikologis

1. PengertianKesejahteraanPsikologis

Sebelummemahamimengenaikesejahteraanpsikologis,

perludiketahuipengertiandari kata “sejahtera” dan “kesejahteraan” itusendiri. Kata

“sejahtera” dalamkamusbesarbahasaindonesiaberartiamansentosa dan makmur,

selamat (terlepasdarisegalamacamgangguan, kesuksesan dan sebagainya). Sedangkan

“kesejahteraan” adalahkeamanan dan keselamatan “kesenanganhidup dan

sebagainya”, kemakmuran (Depdikbud, 1996).MenurutRyff (1989) psychological

well-beingataubiasadisebutkesejahteraanpsikologismerupakanistilah yang

digunakanuntukmenggambarkankesehatanpsikologisindividuberdasarkanpemenuhank

riteriafungsipsikologipositif (positive psychological functioning).

Ryff (1989)

menjelaskanbahwakesejahteraanpsikologismerupakansebuahkondisidimanaindividum

empunyaisikap yang positifterhadapdirisendiri dan orang lain,

dapatmembuatkeputusansendiri dan mengaturtingkahlakunyasendiri,

dapatmenciptakan dan mengaturlingkungan yang harmonisdengankebutuhannya,

sertaberusahamengeksplorasi dan mengembangkandiri.Ryff dan Singer

(dalamZulifatul&Savira, 2015) menyebutkanbahwatingkatkesejahteraanpsikologis

10
yang tinggimenunjukkanindividumemilikihubungan yang

baikdenganlingkungandisekitarnya, memilikikepercayaandiri yang baik,

dapatmembangunhubungan personal yang baikdengan orang lain, dan

menunjukkanbahwaindividumemilikitujuanpribadi dan

tujuandalampekerjaannya.Diener (1984)

berpendapatbahwakesejahteraanpsikologismerupakanperasaansubjektif dan

evaluasiindividuterhadapdirinyasendiri.

Kesejahteraanpsikologisdapatmenjadigambaranmengenaitingkattertinggi dan

fungsiindividusebagaimanusia dan apa yang diidam-idamkannyasebagaimakhluk

yang mempunyaitujuan dan akanberjuanguntukhidupnya.

Bartram dan Boniwell (2007) berpendapatbahwapsychological well-

beingberhubungandengankepuasanpribadi, engagement, harapan, rasa syukur,

stabilitassuasanahati, pemaknaanterhadapdirisendiri, hargadiri, kegembiraan,

kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenalikekuatan dan

mengembangkanbakat dan minat yang dimiliki. psychological well-being

memimpinindividuuntukmenjadikreatif dan memahamiapa yang

sedangdilaksanakannya.

Dari

beberapadefinisidiatasdapatdisimpulkanbahwakesejahteraanpsikologismerupakankon

disipsikologisdarisetiapindividu yang berfungsidenganbaik dan positif. Individu yang

memilikikesejahteraanpsikologismemilikisikappositifterhadapdirisendiri dan orang

lain, memilikitujuan yang berartidalamhidupnya,

11
memilikikemampuanmengaturlingkungan, memilikihubunganbaikdengan orang lain

dan berusahaberkembang.

2. DimensiKesejahteraanPsikologis

Ryffmendefinisikankonsepkesejahteraanpsikologisdalamenamdimensi, yakni:

a. Dimensipenerimaandiri(self-acceptance)

MenurutRyff, (1995) seorangindividudikatakanmemilikinilai yang

tinggidalamdimensipenerimaandiriapabilaiamemilikisikap yang

positifterhadapdirinyasendiri, menghargai dan menerimaberbagaiaspek yang

ada pada dirinya, baikkualitasdiri yang baikmaupun yang buruk. Selainitu orang

yang memilikinilaipenerimaandiri yang tinggi juga dapatmerasakanhal yang

positifdarikehidupannyadimasalalu.

Demikian pula sebaliknyamenurutRyff (1995)

seseorangdikatakanmemilikinilai yang

rendahdalamdimensipenerimaandiriapabilaiamerasakurangpuasterhadapdirinyas

endiri, merasakecewadenganapa yang telahterjadi pada

kehidupannyadimasalalu, memilikimasalahdengankualitastertentudaridirinya,

dan berharapuntukmenjadi orang yang berbedadaridirinyasendiri.

b. Dimensihubunganpositifdengan orang lain (positive relations with othess)

Seseorang yang memilikihubunganpositifdengan orang lain

mampumembinahubungan yang hangat dan penuhkepercayaandengan orang

12
lain. Selainitu, individutersebutmemilikikepedulianterhadapkesejahteraan orang

lain, dapatmenunjukkanempati, afeksi, dan intimitas,

sertamemahamiprinsipmemberi dan menerimadalamhubunganantarpribadi

(Ryff, 1995).

Sebaliknya, Ryff (1995) mengemukakanbahwaseseorang yang

kurangbaikdalamdimensihubunganpositifdengan orang lain

ditandaidengantingkahlaku yang tertutupdalamberhubungandengan orang lain,

sulituntukbersikaphangat, peduli, dan terbukadengan orang lain, terisolasi dan

merasafrustasidalammembinahubungan interpersonal,

tidakberkeinginanuntukberkompromidalammempertahankanhubungandengan

orang lain.

c. Dimensiotonomi (autonomy)

Ciriutamadariseorangindividu yang memilikiotonomi yang baikantara

lain dapatmenentukansegalasesuatusendiri (self-determining) dan mandiri.

Iamampuuntukmengambilkeputusantanpatekanan dan campurtangan orang lain.

Selainitu, orang tersebutmemilikiketahanandalammenghadapitekanansosial,

dapatmengaturtingkahlakudaridalamdiri,

sertadapatmengevaluasidiridenganstandar personal (Ryff, 1955).

Sebaliknya, seseorang yang

kurangmemilikiotonomiakansangatmemperhatikan dan

mempertimbangkanharapan dan evaluasidari orang lain, berpegang pada

13
penilaian orang lain untukmembuatkeputusanpenting,

sertabersikapkonformisterhadaptekanansosial (Ryff, 1955).

d. Dimensipenguasaanlingkungan(environmental mastery)

Seseorang yang

baikdalamdimensipenguasaanlingkunganmemilikikeyakinan dan

kompetensidalammengaturlingkungan.

Iadapatmengendalikanberbagaiaktivitaseksternal yang berada di

lingkunganyatermasukmengatur dan mengendalikansituasikehidupansehari-

hari, memanfatkankesempatan yang ada di lingkungannya, sertamampumemilih

dan menciptakanlingkungan yang sesuaidengankebutuhan dan nilai-

nilaipribadi.

Sebaliknya, seseorang yang memilikipenguasaanlingkungan yang

kurangbaikakanmengalamikesulitandalammengatursituasisehari-hari,

merasatidakmampuuntukmengubahataumeningkatkankualitaslingkungansektarn

ya, kurangpekaterhadapkesempatan yang adadilingkungannya, dan

kurangmemiliki control terhadaplingkungan (Ryff, 1995).

e. Dimensitujuanhidup(purpose in life)

Seseorang yang memilikinilaitinggidalamdimensitujuanhidupmemiliki

rasa keterarahan(directedness) dalamhidup, mampumerasakan arti dari masa

lalu dan masa kini, memilikikeyakinan yang memberikantujuanhidup,

sertamemilikitujuan dan target yang ingindicapaidalamhidup (Ryff, 1995).

14
Sebaliknya, seseorang yang kurangmemilikitujuanhidup, kehilangan rasa

keterarahandalamhidup, sertatidakmelihatmakna yang

terkandunguntukhidupnyadarikejadian masa lalu (Ryff, 1995).

f. Dimensipertumbuhanpribadi(personal growth)

MenurutRyff (1995) seseorang yang memilikipertumbuhanpribadi yang

baikditandaidenganadanyaperasaanmengenaipertumbuhan yang

berkesinambungandalamdirinya, memandangdirisendirisebagaiindividu yang

selalutumbuh dan berkembang, terbukaterhadappengalaman-pengalamanbaru,

memilikikemampuandalammenyadaripotensidiri yang dimiliki,

dapatmerasakanpeningkatan, yang terjadi pada diri dan

tingkahlakunyasetiapwaktu, seratdapatberubahmenjadipribadi yang lebihefektif

dan memilikipengetahuan yang bertambah.

Berdasarkanuraian di

atasdapatdisimpulkanbahwakondisipsikologisindividu yang

positifdapatdilihatmelaluikemampuanindividutersebutdalammemenuhidimensi-

dimensi yang terdapatdalamkesejahteraanpsikologisyaitupenerimaandiri,

hubunganpositifdengan orang lain, otonomi, penguasaanlingkungan,

tujuanhidup, dan pertumbuhanpribadi.

3. Faktor-faktor yang MempengaruhiKesejahteraanPsikologis

a. Faktordemografis

Faktordemografis yang

dapatmempengaruhikesejahteraanpsikologis(psychological well-being)

15
menurutRyff dan Keyes (1995) yaituusia, jeniskelamin, status sosialekonomi

dan budaya.

b. Status SosialEkonomi

Perbedaankerlassosialmempengaruhikondisikesejahteraanpsikologisseora

ngindividu. Mereka yang menempatikelassosial yang tinggimemilikiperasaan

yang lebihpositifterhadapdirisendiridibandingkandenganmereka yang

beradadikelassosial yang lebihrendah.

c. Dukungansosial

Dukungansosialsendiridiartikansebagai rasa nyaman, perhatian,

penghargaan, ataupertolongan yang dipersepsikan oleh seorangindividu yang

didapatberbagaisumber, diantaranyapasangan, keluarga, teman, rekankerja,

dokter, maupunorganisasisosial.

d. Evaluasiterhadappengalamanhidup

Pengalamanhidupmencangkupberbagaibidangkehidupandalamberbagaipe

riodekehidupan. Evaluasiindividuterhadapkesejahteraanpsikologis.

e. Locus of Control (LOC)

Locus of Control

didefinisikansebagaisuatuukuranharapanumumseseorangmengenaipengendalian

atau control terhadappenguatan yang mengikutiperilakutertentu,

dapatmemberikanperamalanterhadapkesejahteraanpsikologis(psychological

well-being).

16
f. FaktorReligiusitas

Ditemukanbeberapahalhal yang menunjukkanfungsipsikososialdari

agama antara lain: 1). Doadapatberperanpentingsebagaicoping

dalammenghadapimasalahpribadi, 2).

Partisipasiaktifdalamkegiatankeagamaandapatberdampak pada persepsi rasa

penguasaanlingkungan dan meningkatkan self-esteem, 3).

Keterlibatanreligiusmerupakanprediktorevaluasikepuasanhidup.

Faktor-faktor lain yang dapatmempengaruhi psychological well-being

antara lain sebagaiberikut:

a. Religiusitas

Pada faktorinidalampenelitian Ellison (dalam Taylor, 1995)

menyebutkanbahwa agama mampumeningkatkan psychological well-being

dalamdiriseseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkanbahwaindividu yang

memilikikepercayaanterhadap agama yang kuat,

dilaporkanmemilikikepuasanhidup yang lebihtinggi, kebahagiaan personal yang

lebihtinggisertamengalamidampaknegatifperistiwatraumatis yang

lebihrendahjikadibandingkandenganindividu yang

tidakmemilikikepercayaanterhadap agama yang kuat. Penelitian yang

dilakukanAmawidyati dan Utami (2007) mendukungpenelitian Ellison,

dimanahasilanalisismenunjukkanadanyahubunganpositif dan

signifikanantarareligiusitas dan psychological well-being.

b. Dukungansosial

17
Pada faktorinimenurut Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella,

1990) menyebutkanbahwadukungansosialdapatberkaitaneratdengan

psychological well-being. Dukungansosialdiperolehdari orang-orang yang

berinteraksi dan dekatsecaraemosionaldenganindividu. Orang yang

memberikandukungansosialinidisebutsebagaisumberdukungansosial.

Bagaimanasumberdukungansosialinipenting, karenaakanmempengaruhi

psychological well-being seseorang.

Dari beberapapendapat di atas, dapatdiketahuibahwafaktor-faktor yang

mempengaruhi psychological well-being meliputiusia, jeniskelamin, kelassosial

(terkaitpekerjaan, jenispekerjaan, status kerja dan tingkatpendidikan),

latarbelakangbudaya, kepribadian, kesehatan dan fungsifisik,

religiusitassertadukungansosial.

B. Remaja yang Tinggal di PantiAsuhan

1. DefinisiRemaja

Banyaktokoh yang memberikandefinisiremaja, Elizabeth B. Hurlock (2003)

mengungkapkanadolescenceatauremajaberasaldari kata latin (adolescene), kata

bendanyaadolescentia yang berartiremaja yang berarti “tumbuh” atau

“tumbuhmenjadidewasa” bangsa orang-orang zaman purbakalamemandang masa

puber dan masa remajatidakberbedadenganperiode-periode lain

dalamrentangkehidupananakdianggapsudahdewasaapabilasudahmampumengadakanr

eproduksi. Papalia dan Olds (2001)

18
tidakmemberikanpengertianremajasecaraeksplisitmelainkansecaraimplisitmelaluipeng

ertian masa remaja(adolescence). Papalia dan Olds (2001) yang mendefinisikan masa

remajaadalah masa transisiperkembanganantara masa kanak-kanak dan dewasa yang

pada umumnyadimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berahir pada

usiaakhirbelasantahunatauawalduapuluhtahun.

Menurut Hall (dalamSarwono, 2011) masa remajamerupakan masa sturm und

drang (topan dan badai), masa penuhemosi dan adakalanyaemosinyameledak-ledak,

yang munculkarenaadanyapertentangannilai-nilai. Emosi yang menggebu-

gebuiniadakalanyamenyulitkan, baikbagisiremajamaupunbagi orang tua/ orang

dewasadisekitarnya.

Secaraumummenurut para tokohpsikologi,

remajadibagimenjaditigafasebatasanumur, yaitu:

1. Faseremajaawaldalamrentangusiadari 12-15 tahun.

2. Faseremajamadyadalamrentangusia 15-18 tahun.

3. Faseremajaakhirdalamrentangusia 18-21 tahun.

2. Ciri-ciriRemaja

MenurutHavighurst (dalamNasution, 2007) ciri-ciri masa remajaantara lain:

a. Masa remajasebagaiperiode yang penting

Remajamengalamiperkembanganfisik dan mental yang cepat dan

pentingdimanasemuaperkembanganitumenimbulkanperlunyapenyesuaian

mental dan pembentukansikap, nilai dan minatbaru.

b. Masa remajasebagaiperiodeperalihan

19
Peralihantidakberartiterputusdenganatauberubahdariapa yang

telahterjadisebelumnya.

Tetapiperalihanmerupakanperpindahandarisatutahapperkembanganketahapperk

embanganberikutnya, dengandemikiandapatdiartikanbahwaapa yang

telahterjadisebelumnyaakanmeninggalkanbekas pada apa yang terjadisekarang

dan yang akandatang, sertamempengaruhipolaperilaku dan sikap yang baru

pada tahapberikutnya.

c. Masa remajasebagaiperiodeperubahan

Tingkat perubahandalamsikap dan perilakuselama masa

remajasejajardengantingkatperubahanfisik. Perubahanfisik yang

terjadidenganpesatdiikutidenganperubahanperilaku dan sikap yang juga

berlangsungpesat. Perubahanfisikmenurun, makaperubahansikap dan perilaku

juga menurun.

d. Masa remajasebagaiusiabermasalah

Setiapperiodemempunyaimasalahnyasendiri-sendiri, namunmasalah masa

remajaseringmenjadimasalah yang sulitdiatasibaik oleh anaklaki-

lakimaupunanakperempuan. Ada duaalasanbagikesulitanini, yaitu :1). Panjang

masa kanak-kanak, masalahanak-anaksebagiandiselesaikan oleh orang tua dan

guru-guru,

sehinggakebanyakanremajatidakberpengalamandalammengatasimasalah. 2).

20
Remajamerasadirimandiri, sehinggamerekainginmengatasimasalahnyasendiri,

menolakbantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remajasebagai masa mencariidentitas

Pencarianidentitasdimulai pada akhir masa kanak-kanak,

penyesuaiandiridenganstandarkelompoklebihpentingdaripadabersikapindividual

istis. Penyesuaiandiridengankelompok pada

remajaawalmasihtetappentingbagianaklaki-laki dan perempuan,

namunlambatlaunmerekamulaimendambakanidentitasdiridengan kata lain

inginmenjadipribadi yang berbedadenganoranglain.

f. Masa remajasebagaiusia yang menimbulkanketakutan

Anggapanstereotype budayabahwaremajaadalahanak-anak yang tidakrapi,

yang tidakdapatdipercaya dan cenderungmerusak dan berperilakumerusak,

menyebabkan orang dewasa yang harusmembimbing dan

mengawasikehidupanremajamudatakutbertanggungjawab dan

bersikaptidaksimpatikterhadapperilakuremaja yang normal.

g. Masa remajasebagai masa yang tidakrealistik

Remaja pada masa inimelihatdirinyasendiri dan orang lain sebagaimana

yang iainginkan dan bukansebagaimanaadanya, terlebihdalamhalcita-cita.

Semakintidakrealistikcita-citanyaiasemakinmenjadimarah. Remajaakansakithati

dan kecewaapabila orang lain

21
mengecewakannyaataukalauiatidakberhasilmencapaitujuan yang

ditetapkannyasendiri.

h. Masa remajasebagaiambang masa dewasa

Semakinmendekatnyausiakematangan, para

remajamenjadigelisahuntukmeninggalkanstereotipbelasantahun dan

untukmemberikankesanbahwamerekasudahhampirdewasa,

remajamulaimemusatkandiri pada perilaku yang dihubungkandengan status

dewasayaitumerokok, minumminumankeras, menggunakanobat-obatan dan

terlibatdalamperbuatanseks.

Merekamenganggapbahwaperilakuiniakanmembericitra yang merekainginkan.

Berdasarkanbeberapauraian di atasdapatdisimpulkanbahwa masa

remajamerupakan masa yang pentingdalamperkembangan yang beradadalam

masa peralihan dan perubahan di dalamindividubaiksecarafisikmaupun mental

dalammencariidentitasdirinyamenuju masa dewasa.

i. KesejahteraanPsikologis pada Remaja yang Tinggal di PantiAsuhan

Ketidakhadiran orang tuaatauditinggalkandari salah seorang orang

tuanyadapatmenimbulkanemosi, dendam, sedih, marah, dan

bencisehinggadapatmengakibatkanperkembangananakterganggu (Astuti, 2015).

Penelitianmengenaikesejahteraanpsikologistelahdilakukan oleh Ramadhani,dkk pada

tahun 2016 di SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta siswa yang orang

tuanyaberceraimemilikitingkatpsikologis yang rendahyaknisebesar 52%

daripadasiswa yang orang tuanyatidakbercerai. Sesuaidenganpendapat Stephens

22
(1976) dan Salami (1998) remajadarirumah yang

rusakbiasanyadikaitkandenganperilakuantisosial dan catatanakademis yang buruk.

Anak tidakbahagia dan

dipenuhikonflikbatinakhirnyamengalamifrustasimenjadiagresif dan nakal (Maramis,

2000).Sejumlah permasalahan kesejahteraan yatim piatu telah banyak ditemukan

dalam penelitian terdahulu. Pada penelitian Mekame, dkk (dalam Singh & Suvidha,

2016) menemukan hasil bahwa anak yatim mengalami internalisasi masalah secara

ekstrim dibanding anak yang tidak yatimdan 34% dilaporkan berfikir untuk bunuh

diri. Fawzi dan Fourad (dalam Singh & Suvidha, 2016) menemukan hasil tingkat

depresi sebesar 21%, kecemasan 45% dan harga diri rendah sebesar 23%, serta

kelainan perkembangan sebesar 61%. Ngunu (dalam Singh & Suvidha, 2016)

menyebutkan anak yatim memiliki lebih banyak masalah psikososial dan nilai

akademik rendah daripada anak yang tidak yatim piatu. Penelitian dari Ibrahim,dkk

(dalam Singh & Suvidha, 2016) menyebutkan 20% anak yatim lebih rentan terhadap

depresi daripada anak nonyatim. Tsegaye (dalam Singh dan Suvidha, 2016) juga

berpendapat anak yatim piatu memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah

daripada anak yang tidak yatim piatu. Sesuai temuan data awal yang yang dilakukan

para peneliti terhadap dua remaja yatim di Surabaya melalui wawancara menyatakan

bahwa mereka sering mengalami perasaan sedih dan kedua subjek sering

menginternalisasi kondisi yang mereka rasakan dengan afek negatif yang lebih

dominan (dalam Singh & Suvidha, 2016).

23
Kesejahteraanpsikologismerupakan salah

satufaktorpentingdalampertumbuhanpribadi dan

sosialkarenadapatmencegahterjadinyakenakalanataukekerasanremaja (Emadpoor,

dkk, 2016; Prabowo, 2017). Individu yang mampumemahamitujuanhidupnya,

memilikikontroldiri yang baik, menampilkan rasa bahagia,

merasamampumenjalanikehidupan,

sertamendapatdukunganmerupakancerminandariseseorang yang

telahmencapaikesejahteraanpsikologis (Enggar&Hertinjung, 2019).

Kesejahteraanpsikologisadalahsebuahkondisidimanaindividumempunyaisikap

yang positifterhadapdirisendiri dan orang lain, dapatmembuatkeputusansendiri dan

mengaturtingkahlakunyasendiri, dapatmenciptakan dan mengaturlingkungan yang

harmonisdengankebutuhannya, sertaberusahamengeksplorasi dan

mengembangkandiri (Ryff, 1989).

Pemenuhankriteriakesejahteraanpsikologisterdiridarienamdimensiantara lain

penerimaandiri, hubunganpositifdengan orang lain, otonomi, penguasaanlingkungan,

tujuanhidup, dan pertumbuhanprbadi. Namun,

kesejahteraanpsikologistidakterjadibegitusaja, adabeberapafaktor yang

mempengaruhikesejahteraanpsikologisyaitufaktordemografis, status sosialekonomi,

dukungansosial, evaluasiterhadappengalamanhidup, Locus of Control (LOC), dan

Religiusitas.

Dapat di simpulkanbahwaadabanyakpermasalahan yang bersumberdarifaktor

internal remaja yang tinggal di PantiAsuhan. Remaja yang tinggal bersama orang tua

24
kandung akan cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik, namun

seorangremaja yang tinggal di PantiAsuhanyang memilikikesejahteraanpsikologis

yang cukupdapatmelewati masa sulitnya dan masa depannyadapatlebihterarah.

j. PertanyaanPenelitian

Pertanyaanpenelitianinidisusunberdasarkantinjauanteoritik dan kenyataan yang

adauntukmengungkappengalamanindividu yang diteliti.

i. Pertanyaan Utama

Adapun pertanyaanutamadalampenelitianiniyaitu :

“Bagaimanagambarankesejahteraanpsikologis(psychological-well being) pada

remaja di PantiAsuhan X ?

ii. PertanyaanKhusus

Adapun pertanyaankhususdalampenelitianiniantaralain :

1. Bagaimanapenerimaandiriremajaterhadapkenyataanhidupnya?

2. Bagaimanahubunganremajaterhadap orang lain?

3. Bagaimanaremajamengaturtingkahlaku dan mengevaluasidirinyasendiri?

4. Bagaimanaremajamemilih dan menciptakanlingkungan yang

sesuaidengandirinya?

5. Bagaimanagambarantujuanhidupremaja?

6. Bagaimanaremajamengembangkanpotensidalamdirinya?

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. PendekatanPenelitian

Fokuspenelitianiniadalahmelihatgambaran kesejahteraan psikologis pada

remaja dalam hal ini merupakan remaja yang menjadi yatim piatu. Menelaah

lebih jauh bahwa kesejahteraan psikologis pada setiap individu berbeda. Hal

inidipengaruhi oleh faktor-faktor rule terjadi pada individu.Olehkarenaitu,

penelitianinimenggunakanpendekatankualitatideskriptif, yaitu data yang

dikumpulkanberbentuk kata-kata, gambar, bukanangka-angka.Menurut Bogdan

26
dan Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong,

penelitiankualitatifadalahprosedurpenelitian yang

menghasilkandatadeskriptifberupa kata-kata tertulisataulisandari orang-orang dan

perilaku yang diamati.

Adapun

tujuandaripenelitiandeskriptifadalahuntukmembuatpencandraansecarasistematis,

faktual, dan akuratmengenaifakta dan sifatpopulasiataudaerahtertentu.

Penelitianinidigunakanuntukmengetahuibagaimanakesejahteraanpsikologis pada

remajayatimpiatu di PantiAsuhan X.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Creswell (2016) mendefinisikan metodologi kualitatif merupakan metode-

metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna oleh seorang individu atau

sekelompok individu yang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian

kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati secara holistik (L.

Moleong, 2007). Penelitian kualitatif mencari data tidak untuk melakukan

generalisasi, karena penelitian kualitatif meneliti proses yang terjadipada individu

atau sekelompok individu, bukan hanya meneliti permukaan yang nampak.

Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan studi kasus.

27
B. Batasan Istilah

Fokuspenelitianiniadalahkesejahteraan psikologis pada remaja yatim piatu.

Kesejahteraanpsikologisadalahsebuahkondisidimanaindividumempunyaisikap

yang positifterhadapdirisendiri dan orang lain, dapatmembuatkeputusansendiri

dan mengaturtingkahlakunyasendiri, dapatmenciptakan dan mengaturlingkungan

yang harmonisdengankebutuhannya, sertaberusahamengeksplorasi dan

mengembangkandiri (Ryff, 1989).

Pemenuhankriteriakesejahteraanpsikologisterdiridarienamdimensiantara lain

penerimaandiri, hubunganpositifdengan orang lain, otonomi,

penguasaanlingkungan, tujuanhidup, dan pertumbuhanprbadi. Namun,

kesejahteraanpsikologistidakterjadibegitusaja, adabeberapafaktor yang

mempengaruhikesejahteraanpsikologisyaitufaktordemografis, status

sosialekonomi, dukungansosial, evaluasiterhadappengalamanhidup, Locus of

Control (LOC), dan Religiusitas.

Remajayatimpiatu???

Peneliti perlu menjelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan judul

penelitian “Gambaran Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being) pada

Remaja Yatim Piatu untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memahami judul

penelitian. Adapun penjelasan sekaligus pembatas istilah Kesejahteraan Psikologis

untuk penelitian ini adalah: sebuah kondisi dimana individu mempunyai sikap yang

positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan

mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang

28
harmonis dengan kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan

diri (Ryff, 1989). Pemenuhan kriteria kesejahteraan psikologis terdiri dari enam

dimen siantara lain penerimaandiri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,

penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Adapun remaja

yatim piatu yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan individu atau sekelompok

individu yang berusia 13 – 20 tahun yang sudah tidak memiliki orang tua ( tidak

memiliki ayah dan ibu).

C. Unit Analisis Data

MenurutPoerwandari (2007), adabeberapatahapan yang

dilakukandalamanalisa data dalampenelitiankualitatif, yaitusebagaiberikut:

1. Organisasi Data

Tahapawal yang dilakukandalamanalisa data adalahmengorganisasikan

data. Data kualitaif yang sangatberagam dan banyak,

penelitiperlumengorganisasikan data denganrapi, sistematis, dan lengkap.

Sebelummelakukanorganisasi data,

penelititerlebihdahulumengumpulkansemuadata mentah yang didapatkan

oleh peneliti. Pada tahapini, penelitimenuliskansemuahasilwawancara

yang diperolehkedalambentuk verbatim sesuaidenganisisuara yang

direkam dan diurutkandenganrapi. Setelah menulis verbatim,

penelitimembuatrefleksi-refleksiterhadapjawaban yang

29
kurangtepatatautidakjelas,

kemudianuntukdipertanyakankemabalikepadasubjek. Hasil observasi yang

diperolehpenelitiakandijabarkandalambentuknarasiuntukmendukunghasil

wawancara yang diperoleh.

2. Koding

Kodingdimaksudkanuntukdapatmengorganisasikan dan mensistemasi data

secaralengkap dan mendetailsehingga data

dapatmemunculkandenganlengkapgambarantentangtopik yang dipelajari.

Pada tahapini, penelitimelakukankodingdenganmemberikankodekode

pada transkipwawancarauntukmenemukan strategi regulasiemosidari data

yang diperoleh. Setelah melakukankoding, penelitimenganalisis data

awalyaitumelakukanpemadatanfaktual dan menemukantema-

temasehinggadapatmendeskripsikanfenomenapenelitiandengancaramemah

amihasiltranskip data.

3. AnalisisTematik

Penelitimenggunakananalisistematikuntukmemungkinkanpenelitimenemu

kanpola yang tidakdapatdilihat oleh pihak lain secarajelas. Pola

atautematersebutditampilkansecaraacakdalamkumpulaninformasi.

MenurutPoerwandari (2007), analistematikmerupakansuatu proses

mengkodeinformasi, yang dapatmenghasilkan daftar tema, model

temaatauindikator yang kompleks,

kualisifikasiterkaitdengantematersebutatauhal-hal di

30
antaraataugabungandari yang telahdisebutkan. Analisa

tematikdaripenelitianiniyaitukesejahteraan psikologis.

4. TahapanInterpretasi/analisis

MenurutKvale (dalamPoerwandari, 2007), intrepertasimengacu pada

upayamemahami data secaralebihekstensif dan lebihmendalam.

Penelitimemilikiperspektifmengenaipenelitian yang sedangditeliti dan

menginterpretasi data melaluiperspektiftersebut. Pada tahapinterpretasi,

penelitimemaknaipenelitianiniberdasarkanhasil data yaitupernyataan yang

sebenarnyadarisubjekdenganlandasanteori strategi regulasiemosi oleh

James Gross. Interpretasidilakukanuntukmemaknaisetiappernyataan yang

disampaikan oleh subjek dan kemudianmenyusunpernyataan yang

memilikimakna yang sama pada konsep yang telahditentukan,

yaitukesejahteraan psikologis.

D. Deskripsi Setting Penelitian

1. TahapPersiapanPenelitian

Pada tahappersiapanpenelitian, penelitimelakukanbeberapahal yang

diperlukanuntukmelaksanakanpenelitian, yaitusebagaiberikut:

a. Mengumpulkan data. Penelitimengumpulkanberbagaiinformasi dan teori yang

berhubungandengankesejahteraan psikologisdan remaja yatim piatu,

baikdaribuku, jurnal, dan artikel-artikel. Kemudian,

penelitimerumuskankerangkaberpikirsesuaidenganfenomena yang

telahdiperolehsertamembuatrumusanmasalah yang inginditeliti.

31
b. Mempersiapkanacuanteoritis. Penelitimencari dan

mempersiapkanacuanteoritis yang

akandigunakansebagaiacuandalampenelitian

c. Proses penulisan. Setelah membuatkerangkaberfikir, proses

penulisandilanjutkandenganpenulisanlatarbelakangmasalah, tujuanpenelitian,

manfaatpenelitian, rumusanmasalah, sistematikapenulisan, acuanteoritis dan

metodepenelitian.

d. Menyusun pedomanwawancara. Pedomanwawancaradisusunberdasarkanteori

yang telahdiperoleh dan

digunakanuntukmengarahkanpenelitidalamwawancarasertamembuatpertanyaa

n yang sesuaidengantopik yang inginditeliti.

Pedomanwawancaradimulaidenganmenyusunlandasanteorimengenaikesejahte

raan psikologis remaja yang yatim

piatu.Landasanteoritersebutkemudiandisusunmenjadisejumlahpertanyaan

yang menjadipedomanwawancarauntukmembantupenelitimengumpulkan data.

e. Mempersiapkanalat-alatpenelitian. Alat-alat yang dipersiapkan agar

mendukung proses pengumpulan data dalampenelitianiniadalahkertas yang

berisipedomanwawancara, perekamsuara (taperecorde/smartphone), dan

alattulis.

f. Persiapanuntukmengumpulkan data. Dalamsebuahpenelitian,

penelitiakanmenghubungicalonrespondenpenelitianuntukmenjelaskantentangp

enelitianyang dilakukan dan

32
menanyakankesediaannyauntukberpartisipasidalampenelitian (informed

consent). Dalampenelitianini.

penelitimencarirespondenpenelitiandengancarabertanya

danmencariinformasimelaluiteman serta maping,

sehinggainformasididapatkanadalahdaritemanketeman, dan seterusnya.

Setelah mendapatkaninformasitersebut,

penelitikemudianmenghubungiresponden dan

mencobauntukmenjelaskanmaksud dan tujuandaripenelitian.

Selanjutnyapenelitiberusahauntukmendapatkankesediaanresponden agar

bersediaberpatisipasidalampenelitianini.

g. Membangunrapportdanmenentukanjadwalwawancara. Setelah

memperolehkesediaandarirespondenpenelitian (informed consent), peneliti

dan respondenmenentukan dan menyepakatiwaktu dan

lokasibertemuselanjutnyauntukmelakukanwawancarapenelitian.

2. TahapPelaksanaan

PenelitianSebelumwawancaradilakukan, penelitimemberikan informed

consent

kepadarespondenuntukditandatanganisebagaipersetujuanrespondenuntukdiwawan

cara. Penelitimelakukan rapport

denganberusahauntukmendekatkandirikepadaresponden. Hal inidilakukan agar

respondenmerasaaman dan percayakepadapeneliti. Setelah rapport antarapeneliti

33
dan respondentelahterbangundenganbaik, dilanjutkandengan proses pengambilan

data denganmelakukanwawancara dan observasi.

Penelitimelakukanbeberapa kali wawancarauntukmendapatkanhasil dan data

yang maksimal. Percakapan pada

proseswawancaraberlangsungakandirekammenggunakan tape recorde/smartphone

mulaidariawalsampaiakhirpercakapan dan tambahandarihasilpencatatan oleh

peneliti. Sebelummelakukan proses wawancara,

tentunyapenelitimembuatjadwalpertemuan yang

telahdisepakatibersamadenganresponden.

E. MetodePengumpulan data

Penelitiankualitatifbersifatlebihterbuka dan tidakkaku.

Metodedalampengambilan data penelitiankualitatif yang digunakan juga beragam.

Hal inidisesuaikandenganmasalahtujuanpenelitian dan sifatobjek yang diteliti

(Poerwandari, 2007). Metodepengumpulan data yang

digunakandalampenelitianiniadalahwawancara dan observasi.

Wawancaraadalahpercakapan dan tanyajawab yang

diarahkanuntukmencapaitujuantertentu. Wawancara yang

dilakukanpenelitiuntukmemperolehpengetahuanmengenaimakna-maknasubjektif

yang dipahamisubjekberkenaandengantopik yang diteliti dan

bermaksudmelakukaneksplorasiterhadaptopiktersebut (Poerwandari, 2007).

34
Wawancaradilakukandenganmenggunakanpedomanumum yang

didasarkandariteoriyaitukesejahteraan psikologisdariRyff,.1989) Jenispertanyaan

yang digunakandalamwawancaraadalah open ended question, yaitupertanyaan

yang memungkinkansubjekmemberikanjawaban yang luas dan

berbicaralebihbanyakmengenaitopiktanpadiarahkanuntukmemberikanjawaban

yang diinginkan. Selama proses wawancara, peneliti juga melakukanobservasi

pada responden. Tujuandariobservasiadalahmendeskripsikan setting yang

dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, individu-individu yang terlibat

dan maknakejadiandilihatdariperspektifindividu yang terlibatdalamsuatuperistiwa

yang diamati.

F. Kredibilitas Data

Kredibilitasmerupakanistilah yang

digunakandalampenelitiankualitatifuntukmenggantikankonsepvaliditas.

Kredibilitaspenelitiankualitatifterletak pada

keberhasilannyamencapaimaksudmengeksplorasimasalahataumendeskripsikan

setting, proses, kelompoksosialataupolainteraksi yang kompleks (Poerwandari,

2007). Kredibilitaspenelitianininantinyaterletak pada

keberhasilanpenelitiandalammengungkapkangambaran strategi

regulasiemosipascaputuscinta. Penelitiakanmendokumentasikansecaralengkap,

rapi, dan menjagakualitas data yang telahdidapatkandarihasillapangan yang

terjadi. Penelitimenggunakanprofesional judgement yang dilakukan oleh

ahliuntukmemastikan data didapatsesuai dan tepat. Peneliti juga

35
akanmelakukankonfirmasikembalikepadarespondenmengenai data dan analisa

data. Peneliti juga membuatpedomanpertanyaanuntukditanyakankebeberapa orang

sebelumpengambilan data. Hal inidilakukanpeneliti agar pertanyaan yang

dibuatdaripedomanwawancaradapatdenganmudahdimengerti. Pertanyaan yang

mudahdimengertinantinyaakanmempermudahpenliti dan tentunya juga

respondenpenelitiandalam proses wawancara.

G. Analisis Data

Sugiyono (2013), menyatakanbahwaanalisis data adalah proses mencari dan

menyusunsecarasistematis data yang diperolehdarihasilwawancara,

catatanlapangan, dan dokumentasidengancaramengorganisasikan data

kedalamkategori, menjabarkankedalam unit-unit, memilih mana yang penting dan

yang akandipelajari dan membuatkesimpulansehinggamudahdipahami oleh

dirisendiri, maupun orang lain, pada penelitianinianalisis data

dilakukansebagaiberikut :

1. Reduksi data

Mereduksi data berartimerangkum, memilihhal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, di caritema dan polanya. Setelah

data terkumpuldalam verbatim penelitimembuatcatatan-

catatanringkasankemudianmelakukanpengkodeanuntukmenyesuaikanberdasar

kanhasilpenelitiankemudiandisusunsecarasistematisdalamsuatu unit yang

bersifatpokok dan penting.

2. Penyajian data

36
Data yang sudahdikelompokkan dan sudahdisesuaikandengankode-

kodenyakemudiandisajikandalambentuk tulisan deskriftif agar

mudahdipahamisecarakeseluruhan.

3. Penarikankesimpulan

Penarikankesimpulandilakukansetelahkitamelakukan proses pengujian yang

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsistendilapangan. Hasil penelitian

yang telahdikumpul dan dirangkum di cekulangdenganmencocokanulang pada

reduksi data dan penyajian data kemudiankesimpulan yang

telahdikajiditulissebagailaporan.

Silahkanmulai Menyusun panduanwawancara

Daftar Pustaka

Asmani, J. M. M. (2012). KiatMengatasiKenakalanRemaja di Sekolah.


Yogyakarta :BukuBiru

Dalimunthe, K. L. (2009). Kajian MengenaiKondisiPsikososial Anak Yang


Dibesarkan Di PantiAsuhan. FakultasPsikologi Universitas Padjajaran
Bandung.

Diener, E. (1984). Subjective well – being. Psychological Bulletin, 95. 542-575.

Emadpoor, L., Lavasani, M. G., &Shahcheraghi, S. M. (2016). Relationship Between


Perceived Social Support and Psychological Well-Being Among Students Based

37
On Mediating Role of Academic Motivation. International Journal of Mental
Health and Addiction, 14(3), 284–290.

EnggarPuspito, A., Hertinjung, W. S., & Psi, S. (2019).


HubunganDukunganSosialDenganKesejahteraanPsikologisRemaja Yang
Tinggal Di PantiAsuhan (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta)

Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Kartono, K. (2010). Psikologi Wanita jilid 2: Mengenal Wanita sebagai Ibu dan
Nenek. Bandung: Mandar Maju

Maramis, W.F (2000). CatatanIlmuKedokteran Jiwa.Surabaya :Airlangga University


Press. Papalia,D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2001). Perkembangan
Manusia. Jakarta: SalembaHumanika

Napitupulu, C.A. (2009). ResiliensiRemaja Yatim Piatu Di PantiAsuhan Mardi


SiswiKalasan Yogyakarta. Skripsi. FakultasPsikologi : Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

Nasution, I. K. (2007). Perilakumerokok pada remaja.

Papalia,D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2001). Perkembangan Manusia.


Jakarta: SalembaHumanika

Poerwandari, E.K. 2007. PendekatanKualitatifuntukPenelitianPerilakuManusia.


Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Ryff, C.D. (1989) Happiness is everything, or is it? Explorationns on the meaning of


psychological well being. Journal of Personality and Social Psychology, 57,
1069-1081.

38
Sahuleka, J. M. 2003. PantiAsuhansebagaiSuatuLingkunganbagiPerkembangan
Anak.SkripsiSarjana. Jakarta: FakultasPsikologi Universitas Indonesia.

Sarwono. (2011). Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers

Setyawan, D. (2018). KomisiPerlindungan Anak Indonesia. Retrieved September,


2020, from https://www.kpai.go.id

Singh, A., & Suvidha. (2016). Well-being of Orphans : A Review on Their Mental
Health Status. International Journal of Scientific Research in Science and
Technology, 180-184.

Teja, M. (2014). PerlindunganTerhadap Anak Terlantar Di PantiAsuhan. Info


SingkatKesejahteraanSosial. Vol. VI, No. 05/I/P3DI/Maret.

39

Anda mungkin juga menyukai