Anda di halaman 1dari 21

STUDI KASUS KEUANGAN INTERNASIONAL PADA STARBUCKS

“Transfer Pricing sebagai Sarana dalam Penghindaran Pajak Perusahaan”

Dosen Pengampu : Siti Nurkomariyah, S.S.T., M.M.

Oleh :
Wening Tyas Widianingsih
200203253

PERDAGANGAN INTERNASIONAL WILAYAH ASEAN & RRT


POLITEKNIK APP JAKARTA
2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah Studi Kasus....................................................................................................5
C. Tujuan Pelaksanaan Studi Kasus.................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................................................7
A. Penghindaran Pajak......................................................................................................................7
B. Praktik Penghindaran Pajak di Starbucks..................................................................................7
BAB III.......................................................................................................................................................9
METODE PENULISAN...........................................................................................................................9
A. Pendekatan Kualitatif...................................................................................................................9
B. Pengumpulan Data........................................................................................................................9
BAB IV.....................................................................................................................................................11
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................11
A. Identifikasi Masalah : Studi Kasus Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) oleh Starbucks...11
B. Reaksi Starbucks terhadap Kasus Penghindaran Pajak..........................................................14
C. Kebijakan Inggris terhadap Kasus Penghindaran Pajak.........................................................15
BAB V.......................................................................................................................................................19
PENUTUP................................................................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................21
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyeleseikan tugas penelitian studi kasus keuangan internasional yang berjudul
“Transfer Pricing sebagai Sarana dalam Penghindaran Pajak Perusahaan” dengan tepat waktu.
Studi kasus ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Internasional. Selain itu,
studi kasus ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai permasalahan keuangan
internasional pada perusahaan multinasional.

Penulis ucapkan terima kasih kepada ibu Siti Nurkomariyah selaku dosen pengampu
mata kuliah Keuangan Internasional. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu memberikan dukungan dalam penyusunan studi kasus ini.

Penulis menyadari bahwa tugas studi kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karenanya, diharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulis menjadi lebih baik lagi
dalam penyusunan studi kasus di masa mendatang. Semoga tugas studi kasus ini menambah
wawasan dan memberi manfaat bagi para pembaca.

Penulis,

15 Oktober 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Starbucks yang sudah berdiri pada tahun 1971 merupakan perusahaan minuman kopi
terbesar di dunia yang berpusat di Seattle, USA. Di sinilah Starbucks membuka gerai
pertamanya, menawarkan biji kopi panggang, teh, dan rempah-rempah dari seluruh dunia untuk
dibawa pulang oleh para pelanggan. Pada tahun 1987, para pendiri Starbucks yaitu Jerry
Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker menjual perusahaan ini kepada Howard Schultz,
pemuda New York yang memiliki gerai kopi bernama kedai kopi II Giornale. Howard mengganti
merek kopi miliknya dengan nama Starbucks dan segera memperluas operasi Starbucks. Pada
tahun 1987 ini, Starbucks akhirnya membuka gerai pertamanya di luar Seattle yaitu di
Waterfront Station, Vancouver, British Columbia, dan Chicago, Illnios. Sehingga, pada tahun
1989 Starbucks memiliki pencapaian dengan memiliki 46 gerai di seluruh kawasan Notrthwest
dan Midwest. Tahun demi tahun, Starbucks terus menambah perluasan operasinya dengan
membuka gerai kopi nya di berbagai wilayah, hingga pada tahun 1996, Starbucks berhasil
membuka gerai nya di luar Amerika Utara yaitu di Tokyo dan Jepang. Hingga saat ini, Starbucks
sudah memiliki 20.336 gerai di 61 negara, termasuk 13.123 di Amerika Serikat, 1.299 di Kanada,
977 di Jepang, 793 di Britania Raya, 732 di Tiongkok, 473 di Korea Selatan, 363 di Meksiko,
282 di Taiwan, 204 di Filipina, 164 di Thailand, dan 326 di Indonesia.

Starbucks menjual minuman panas dan dingin, biji kopi, salad, sandwich panas dan
dingin, kue kering manis, snack, dan merchandise seperti gelas tumbler. Melalui divisi Starbucks
Entertainment dan merek Hear Music, Starbucks juga memasarkan buku, musik, dan film. Selain
itu, Starbucks juga menjual produk yang hanya tren pada saat itu atau biasa disebut dengan
produk musiman di beberapa daerah gerai yang didirikan. Tahun demi tahun, Starbucks juga
melakukan inovasi perubahan pada produk-produk nya. Pada Juni 2009, perusahaan ini
menginformasikan akan melakukan perubahan total pada menunya dan menjual salad serta
makanan panggang tanpa sirup jagung berfruktosa tinggi dan bahan-bahan artifisial. Hal ini
diharapkan konsumen akan merasa tertarik dengan memperhatikan kesehatan dan biaya serta
tidak akan memengaruhi harga jualnya. Pada tahun ini juga Starbucks memperkenalkan produk
barunya yaitu paket kopi instan baru bernama VIA “Ready Brew”. Gerai-gerai Starbucks
memasarkan produk ini dengan tantangan uji coba buta terhadap kopi instan versus kopi seduh.
Banyak orang tidak mampu membedakan kopi instan dan kopi seduh segar. Sehingga, sejumlah
analisis, memperkirakan bahwa dengan adanya merek baru ini kopi instan ini akan menurunkan
nilai mereknya sendiri. Pada 2011, Starbucks Corporation mengumumkan bahwa mereka telah
membeli perusahan jus Evolution Fresh dengan nilai $30 juta dan berencana memulai bar jus
pada pertengahan 2012. Tahun 2012, Starbucks menjual jajaran minuman refresher dingin di
gerai-gerainya yang berisi ekstrak biji kopi arabika hijau. Minuman tersebut berperisa buah dan
mengandung kafein, namun tidak memiliki rasa kopi. Salah satu proses ektraksi kopi hijau
Starbucks adalah merendam biji-biji tersebut di air.

Setelah bertahun-tahun Starbucks mengalami kesuksesan dan pertumbuhan ekonomi,


pada akhirnya perusahaan ini mengalami kesulitan karena perekonomian global memasuki krisis
keuangan yang akan menjadi “resesi besar” (Barbaro & Martin, 2008). Pada akhir 2012,
Starbucks melaporkan adanya peningkatan pendapatan. Pendapatan ini tumbuh lebih dari 11%,
dan meningkatkan perkiraan laba di masa depan (Baertlein, 2012). Hal ini mengakibatkan
perusahaan harus menghadapi tantangan dalam hubungannya dengan masyarakat, yang berakibat
akan mengancam merek dan reputasi perusahaan dalam tanggung jawab sosial perusahaan
(Houlder, 2012). Pada 15 Oktober 2012 Reuters menerbitkan laporan berjudul, “Laporan
Khusus: “Bagaimana Starbucks menghindari pajak Inggris” (Bergin, 2012). Laporan ini
menjelaskan lokasi afiliasi Starbucks dan transaksi antar perusahaan yang menjelaskan
bagaimana gerai Starbucks di Inggris dapat menghasilkan laba operasi tetapi secara hukum
melaporkan tidak ada penghasilan kena pajak di Inggris. Hal ini jelas mendapat banyak sorotan
media dan Starbucks melakukan beberapa upaya untuk menanggapi kritik yang diterimanya atas
upaya penghindaran pajaknya.

B. Rumusan Masalah Studi Kasus

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam studi
kasus ini, sebagai berikut :
1. Apa yang dilakukan Starbucks Corporation dalam menghindari pajaknya?
2. Bagaimana Starbucks Corporation menyelesaikan tuntutannya, serta bagaimana cara
Starbucks menghadapi media dan mengembalikan reputasi perusahaan?
3. Bagaimana kebijakan Inggris terhadap kasus penghindaran pajak oleh perusahaan
multinasional?

C. Tujuan Pelaksanaan Studi Kasus

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam pelaksanaan studi kasus ini,
sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui metode praktik yang dilakukan Starbucks Corporation dalam


melakukan penghindaran pajaknya
2. Untuk mengetahui bagaimana Starbucks Corporation menyelesaikan kasusnya
3. Untuk mengetahui regulasi Inggris mengenai kasus penghindaran pajak ini
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penghindaran Pajak

Tindakan penghindaran pajak atau tax avoidance sudah tertanam kuat di antara
perusahaan global terbesar di dunia. Sejumlah perusahaan besar atau kemungkinan perusahaan
kecil bisa saja terlibat dalam praktik penghindaran pajak (Citizen of Tax Justice, 2013).
Perusahaan beranggapan bahwa penghindaraan pajak dilakukan sebagai respons terhadap
pembatasan kebebasan yang dikenakan oleh wajib pajak (Kirchler, 1999). Sedangkan,
penghindaran pajak (tax evasion) bisa dilihat sebagai suatu hal yang illegal dan tidak bermoral,
penghindaran pajak (tax avoidance) dapat dilihat sebagai hal yang cerdik, meskipun hasil
ekonomi dari kedua praktik tersebut serupa (Kirchler et al., 2001). Berdasarkan sudut pandang
ini, penghindaran pajak baik tax avoidance maupun tax evasion merupakan praktik yang tidak
bertanggung jawab secara sosial dan merupakan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan
kewajiban perusahaan kepada masyarakat (Bird & Davis-Nozemack, 2018). Sejatinya, suatu
perusahaan baik perusahaan global maupun perusahaan kecil didorong untuk melakukan praktik
penghindaran pajak, dengan metode, inversi, transfer pricing, dan tax haven, untuk
memaksimalkan keuntungannya. Perilaku ini serupa dengan isu keberlanjutan lainnya,
membutuhkan solusi yang membahas transparansi, kerja sama, tanggung jawab, penegakan, dan
kebijakan pemerintah. Namun, walaupun sudah ada pertentangan dalam tindakan penghindaran
pajak ini baik tax evasion dan tax avoidance, masih banyak negara-negara yang mencoba seribu
cara dalam membuat segala macam insentif pajak yang berfungsi untuk menarik lebih banyak
perusahaan asing. Akibatnya, semakin banyak warga negara yang menentang perusahaan dan
pemerintahan yang mengizinkan atau memanfaatkan pengurangan pajak besar-besaran (Hurk,
2014).

B. Praktik Penghindaran Pajak di Starbucks

Starbucks sudah mendirikan dan mengoperasikan gerainya di UK sejak tahun 1998, dan
pada September, 2013 dilaporkan bahwa terdapat 764 gerai yang sudah beroperasi. Dalam
komunikasi dengan analis dan investor pada tahun 2001-2011, eksekutif Starbucks menjelaskan
bahwa operasinya di Inggris sangat menguntungkan dan menjadikan operasi unit yang sukses
sebagai model pasar untuk internasional lainnya (Bergin, 2012). Namun demikian, Starbucks
secara konsisten melaporkan kerugian bersih kepada otoritas pajak Inggris, dan melaporkan
keuntungannya hanya sekali dalam 14 tahun pertama operasinya di Inggis (BBC News, 2013).
Starbucks membentuk karakter kinerjanya mengenai operasinya di Inggris dengan dua cara yang
berbeda, kepada investor, Starbucks akan menggambarkan operasinya di Inggris sangat
menguntungkan, sedangkan kepada otoritas pajak Inggris melaporkan bahwa Starbucks
mengalami kerugian bersih (Bergin, 2012). Namun, aturan pajak berbeda dengan standar
akuntansi keuangan, sehingga cukup umum untuk penghasilan kena pajak berbeda dari laba
bersih yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Sehingga, perusahaan multinasional seperti
Starbucks memiliki operasi di beberapa yuridiksi perpajakan, serta akan memperumit penentuan
jumlah pendapatan yang dikenakan pajak di negara tertentu. (Hurk, 2014).
BAB III

METODE PENULISAN

A. Pendekatan Kualitatif

Dalam menyusun studi kasus ini, penulis melakukan pendekatan dalam metode kualitatif,
karena metode ini menekankan pada pengamatan yang berhubungan dengan permasalahan
manusia. Menurut Boghdan & Biklen (1975) bahwa metode pendekatan kualitatif adalah salah
satu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan sikap orang-
orang yang diamati. Metode penelitian kualitatif berarti proses eksplorasi dan memahami makna
perilaku individu dan kelompok, menggambarkan masalah sosial atau masalah kemanusiaan.
Proses penelitian mencakup membuat pertanyaan penelititan dan prosedur yang masih bersifat
sementara, mengumppukan data pada setting partisipan, analisis data secara induktif,
membangun data yang parsial ke dalam tema, dan selanjutnya memberikan interpretasi terhadap
makna suatu data. Kegiatan terakhir adalah membuat laporan ke dalam struktur yang fleksibel
(Creswell: 2012). Pada metode ini, penulis juga mengembangkan nilai dan pengambilan
kesimpulan berdasarkan data, dengan beorientasi pada proses. Metode kualitatif membantu
ketersediaan diskripsi yang kaya atas fenomena. Kualitatif mendorong pemahaman atas substansi
dari suatu peristiwa. Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak hanya untuk memenuhi
keinginan penulis untuk mendapatkan gambaran atau penjelasan, tetapi juga membantu untuk
mendapatkan penjelasan yang lebih dalam (Sofaer, 1999).

B. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan studi kasus ini yaitu, penulis
melakukan analisis dokumen yang berasal dari, artikel jurnal, e-book, penulusuran pustaka,
pandangan menurut ahli, dan pencarian data melalui web jurnal di internet. Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data ini, antara lain :

1. Mengumpulkan berbagai artikel jurnal atau e-book yang berasal dari sumber yang
relevan
2. Melakukan kajian dokumen terhadap informasi
3. Melakukan perbandingan terhadap teori-teori antar artikel jurnal yang telah dilakukan
peneliti sebelumnya
4. Menarik kesimpulan berdasarkan informasi yang tertera pada sumber yang sudah
dipastikan kevalidannya.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Masalah : Studi Kasus Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) oleh


Starbucks

Pada tahun 2011, Starbucks dilaporkan tidak membayarkan pajak perusahaannya kepada
otoriter pajak Inggris, sementara itu perusahaan ini berhasil mencetak penjualannya di Inggris
sebesar £398 juta. Sejak tahun 2008 – 2011 Starbucks melaporkan keuangannya mengalami
kerugian sebesar £112 juta atau sekitar Rp1,7 triliun, hal inilah yang mengakibatkan Starbucks
tidak pernah membayarkan pajak perusahaannya. Bahkan, selama 14 tahun gerai Starbucks
beroperasi di Inggris, perusahaan ini hanya membayar pajak satu kali sebesar £8,6 juta. Jumlah
tersebut sangat kecil, mengingat Starbucks merupakan restoran terbesar kedua setelah
McDonald’s di Inggris yang disusul oleh KFC yang menempati urutan tiga. Pajak yang dibayar
oleh McDonald’s di Inggris adalah £80 juta, 10 kali lebih besar dari Starbucks, dan sebagai
perbandingan, KFC membayar pajaknya di Inggris sebesar £36 juta. Di lain sisi, Starbucks
melaporkan keuangannya di Inggris mengalami keuntungan yang signifikan kepada para
investornya, bahkan dilaporkan bahwa penjualannya pada tahun 2008 – 2010 mencapai £1,2
miliar atau sekitar Rp18 triliun. Pada tahun 2008, Starbucks membukukan laba kotor sebesar
£77,8juta dan kerugian sebelum pajak bersih pada aktivitas biasa sebesar £26,3 juta, tetapi CEO
Schultz mengatakan kepada investor di Amerika Serikat bahwa unit di Inggris memiliki
keuntungan untuk mendanai ekspansi Starbucks di pasar luar negeri lainnya. Pada tahun 2009,
Starbucks membukukan laba kotor sebesar £69,7 juta dan mengalami kerugian sebelum pajak
bersih pada aktivitas biasa sebesar £52,2 juta, tetapi CFO Alstead mengatakan kepada investor di
Amerika Serikat bahwa unit Inggris menguntungkan. Pada tahun 2010, Starbucks membukukan
laba kotor sebesar £76,7 juta dan juga mengakui rugi setelah biaya administrasi sebesar £25,7
juta dan rugi sebelum pajak bersih atas aktivitas biasa sebesar £34,2 juta, tetapi Starbucks
mengatakan kepada investor bahwa penjualan terus meningkat. Pada tahun 2011, Starbucks
masih mengklaim kerugian, tetapi John Culver (kepala divisi Starbucks Internasional)
mengatakan kepada analis bahwa “Kami sangat senang dengan kinerja unit bisnis di Inggris."
Pernyataan ini sangat kontras dengan laporan keuangan yang dilaporkan oleh Starbucks Inggris.
Hal inilah yang melatarbelakangi kasus pajak Starbucks Inggris terungkap.

Perusahaan multinasional seperti Starbucks selama beberapa dekade telah menggunakan


praktik yang terkenal untuk secara legal menggeser keuntungan dari negara dengan pajak tinggi
ke negara dengan pajak yang lebih rendah. Praktik yang digunakan yaitu kegiatan transfer
pricing, atau biasa disebut dengan harga transfer. Menurut OECD, transfer pricing adalah
kegiatan penempatan harga yang dilakukan oleh perusahaan dengan mentransfer atau
menyerahkan barang atau jasa, berwujud atau tidak berwujud kepada perusahaan afiliasinya.
Perusahaan multinasional dapat menempatkan pajak penghasilannya dengan menempatkan
perusahaan cabangnya di negara dengan kebijakan pajak yang menguntungkan, dan perusahaan
cabang tersebut difungsikan sebagai pemasok atau supplier ke perusahaan cabang lain yang
berlokasi di negara dengan pajak yang tinggi. Keuntungan dari pajak ini dapat ditingkatkan
dengan membebankan harga setinggi mungkin untuk persediaan, mengurangi laba yang
dilaporkan oleh perusahaan cabang di negara-negara dengan pajak tinggi, dan meningkatkan laba
di perusahaan cabang pemasok dengan kebijakan pajak yang rendah. Karena kegiatan transfer
pricing ini masih dalam lingkup yang sama atau memiliki hubungan yang istimewa, maka harga
yang ditransfer dan alokasi keuntungan di seluruh perusahaan cabang tidak akan berpengaruh
pada total laba kotor yang dilaporkan dalam laporan keuangan konsolidasi untuk seluruh
perusahaan.

Kegiatan transfer harga yang dilakukan Starbucks di antara perusahaan afiliasinya


membantu menciptakan kerugian kena pajak yang dilaporkan kepada otoritas pajak Inggris.
Terdapat 3 tuduhan kegiatan transfer pricing yang ditekankan kepada Starbucks Inggris yaitu :

1. Pembayaran royalti dan biaya lisensi kepada perusahaan Starbucks di cabang Belanda

Salah satu faktor yang menyebabkan kerugian Starbucks di Inggris adalah pembayaran biaya
royalti. Perusahaan Starbucks cabang Inggris dikenakan biaya royalti untuk menggunakan hak
kekayaan intelektual termasuk merek Starbucks dan berbagai operasi bisnis. Biaya royalti yang
dikeluarkan oleh Starbucks Inggris kepada Starbucks Belanda adalah 6% dari total penjualan,
persentase ini dianggap cukup tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan yang sejenis, karena
perusahaan McDonald’s di Inggris hanya membayarkan biaya royaltinya sebesar 4%. Hal ini
dilakukan Starbucks Inggris karena apabila biaya yang dikeluarkan perusahaan semakin tinggi,
maka jumlah ini akan mengurangi penghasilan kena pajaknya.

2. Adanya biaya mark-up pada biji kopi yang dibeli melalui cabang Starbucks Swiss dan
Belanda

Faktor kedua yang menyebabkan adanya kerugian pajak pada Starbucks Inggris yaitu, Starbucks
Inggris mengeluarkan biaya untuk pembayaran operasional lainnya dalam pembelian biji kopi
yang berasal dari perusahaan afiliasi Swiss dan Belanda. Starbucks Inggris membeli biji kopinya
dari perusahaan Starbucks yang berbasis di Swiss yang telah di mark-up nilainya sebesar 20%,
kemudian biji kopi tersebut dipanggang oleh Starbucks yang berlokasi di Belanda sehingga nilai
biji kopi tersebut akan ditambah dengan biaya jasa panggang, baru kemudian biji kopi itu
didistribusikan ke Starbucks Inggris.

Alur :

Swiss Belanda Inggris

Harga +
Harga + 20% +
20% biaya jasa
panggang

Pada akhirnya, harga transaksi antara tiga entitas Starbucks inilah yang akan menentukan
kompenen utama dari biaya produk yang dijual oleh gerai toko Starbucks di Inggris. Dengan
membayar harga kopi yang lebih tinggi kepada perusahaan afiliasinya, Starbucks Inggris akan
meningkatkan biayanya dan mengurangi penghasilan kena pajaknya yang dilaporkan kepada
otoriter pajak Inggris, sehingga keuntungan tersebut sebenarnya sudah ditransfer dan dibayarkan
ke perusahaan cabang Swiss dan Belanda. Kegiatan ini dilakukan karena keuntungan dari
perdagangan komoditas internasional di Swiss hanya dikenakan sebesar 5% dibanding dengan
pajak Inggris yang dikenakan kepada Starbucks sebesar 24%. Selain itu, Starbucks juga memiliki
perjanjian pajak dengan Belanda sebagai bagian dari perjanjian untuk menempatkan fasilitas
pemanggangannya disana. Dengan demikian, tarif pajak perusahaan cabang Starbucks di
Belanda lebih rendah dari tarif standar perusahaan.

3. Bunga yang dibayarkan atas pinjaman dari Starbucks Group

Faktor terakhir yang menyebabkan kerugian pada Starbucks Inggris adalah adanya pembayaran
bunga atas pinjaman antar perusahaan. Starbucks selama ini membiayai biaya operasionalnya di
Inggris dengan utang antar perusahaan, yaitu kepada Starbucks Group. Bunga yang dikenakan
kepada Starbucks Inggris adalah +4% dari LIBOR. Tarif ini dianggap sangat tinggi, karena
bunga yang dikenakan dari obligasi korporasinya biasanya hanya sebesar +1,3% dari LIBOR,
dan tarif yang dikenakan oleh rantai restoran multinasional Amerika Serikat lainnya kepada anak
perusahaannya hanya sebesar +2% dari LIBOR (Bergin, 2012). LIBOR adalah suku bunga yang
dibebankan bank satu sama lain, dan biasanya digunakan sebagai patokan untuk menetapkan
suku bunga lainnya.

B. Reaksi Starbucks terhadap Kasus Penghindaran Pajak

Dalam terbitan Reuters “Laporan Khusus : Bagaimana Starbucks menghindari pajak


Inggris” pada 15 Oktober 2012 (Bergin, 2012). Perusahaan menanggapi dengan cepat sorotan
media dengan mengunggah pernyataan terbuka di situs webnya dengan judul “Starbucks
Commitment to the UK” pada 17 Oktober 2012. Dalam pernyataan terbuka tersebut, Kris
Engkhov yang merupakan direktur pelaksana Perusahaan Starbucks di Inggris menyatakan
bahwa walaupun Starbucks belum membayar pajak penghasilannya kepada otoriter pajak
Inggris, namun Starbucks telah membayar ratusan juta pound dalam berbagai pajak di Inggris,
termasuk kontribusi Asuransi Nasional untuk karyawannya. Engkhov juga menyatakan bahwa
Starbucks telah memberikan investasi dalam operasi di Inggris, dan berkontribusi dalam
perekonomian Inggris dengan membuka lapangan pekerjaan dengan berbagai gerai toko, serta
membeli layanan dan persediaan dari perusahaan Inggris. Sehingga Engkhov beranggapan
bahwa dengan menciptakan peluang pendapatan individu bagi rakyat Inggris, maka kegiatan
perekonomian Starbucks telah membantu menghasilkan pendapatan pajak Inggris (Engkhov,
2012).

Dalam tiga kegiatan praktik transfer pricing yang diberikan tuduhan sebelumnya,
Engkhov mengakui bahwa perusahaan Starbucks Inggris memang membeli biji kopinya dari
perusahaan afiliasinya di Swiss dan dipanggang oleh afiliasi Belanda, namun direktur pelaksana
Starbucks Inggris ini berpendapat bahwa hal ini masih dalam batas wajar dan masuk akal dalam
bisnis karena ekonomi skala. Engkhov juga mengakui kegiatan pembiayaan royaltinya yang
dibayarkan dengan menyatakan bahwa hal tersebut diterapkan secara global pada tingkat yang
konsisten dan kegiatan praktiknya ini serupa dengan praktik perusahaan lainnya dengan skala
global. Namun, Engkhov tidak mengomentari implikasi pajak dari penetapan harga transfernya
atau manfaat pajak dari pengaturan transaksi tertentu di seluruh afiliasi yang berbasis di negara
dengan kebijakan pajak yang berbeda. Sehingga, dari pengakuan tersebut Starbucks di Inggris
diharuskan membayar pajak dalam dua tahun kedepan sebesar £20 juta atas penghasilannya.
Keputusan Starbucks untuk membayar pajak lebih besar daripada yang diwajibkan oleh Undang-
undang ternyata tidak memberikan dampak yang besar terhadap para aksi unjuk rasa mengenai
praktik penghindaran pajak dan kegagalan membayar pajak perusahaan Inggris atas penghasilan.
Kara Moses, pada protes Uncut Inggris di Birmingham, mengatakan, “Begitu banyak orang
datang ke sini untuk protes karena ada kemarahan publik yang tulus bahwa perusahaan
multinasional diizinkan untuk menghindari pajak sementara tunjangan dan layanan penting
dipotong. Pengakuan Starbucks yang mereka miliki mengenai tidak membayar pajak yang cukup
adalah pengakuan bersalah yang jelas, dan menunjukkan bahwa tindakan langsung oleh
Pekerjaan umum. Kami akan terus menekan untuk mengakhiri penghindaran pajak dan
pemotongan yang dikembangkan ini. Menggambarkan kehidupan perempuan di seluruh
negeri.” (Uncut, 2012). Bahkan pejabat pajak dan politisi Inggris menanggapi secara negatif
pengumuman Starbucks. BBC News mengutip Stephen Williams, juru bicara Departemen
Keuangan untuk Demokrat Liberal, yang menyatakan: “Orang-orang bercanda bahwa beberapa
dari perusahaan multinasional ini tampaknya berpikir bahwa membayar pajak adalah
sukarela. Ya, Starbucks baru saja mengkonfirmasi lelucon itu. Pajak adalah sesuatu yang
merupakan kewajiban hukum yang harus Anda bayar sesuai dengan aturan pajak negara
tertentu. Ini bukan sumbangan amal untuk mendapatkan semacam nilai merek. Tapi sepertinya
itulah yang dilakukan Starbucks.” (BBC News, 2012). Sementara, Kris Engkhov tetap berusaha
memperbaiki reputasi perusahaan dan kembali menempatkan perusahaannya dalam kondisi baik,
namun tampak usahanya belum berhasil dalam menangkis kritik masyarakat dalam waktu dekat.
C. Kebijakan Inggris terhadap Kasus Penghindaran Pajak

1. Regulasi Inggris terhadap penghindaran pajak

Regulasi Inggris mengenai transfer pricing terdapat dalam Taxation International and
Other Provisions Act 2010 (TIOPA 2010) bagian 4 dan 5. Dalam modifikasi TIOPA terbaru
tersebut, bagian 4 mengatur tentang Transfer Pricing dan bagian 5 mengatur tentang Advance
Pricing Agreements. TIOPA 2010 ini merupakan perundang-undangan utama yang diberlakukan
terkait hal perpajakan internasional di Inggris. Menurut TIOPA 2010 bagian 4- bab 1 Section 147
(1) secara umum transfer pricing dapat dilakukan ketika:

 Dua entitas mengadakan provisi melalui suatu transaksi atau serangkaian transaksi,
 Kedua entitas memenuhi kondisi partisipasi,
 Provisi aktual berbeda dari provisi yang akan dilakukan dengan prinsip Arm’s Length.

Perundang-undangan tersebut diterapkan berdasarkan prinsip Arm’s Length yang


diterima Inggris sejak 1915 untuk mengatur transaksi antar perusahaan (Gardner & Richard
Palmer, 2017). Inggris juga memiliki perundang-undangan lain yang disebut secondary
legislation, yaitu The Taxes (Base Erosion and Profit Shifting) Country- by- country Reporting
Regulations 2016 (SI 2016 No 237). Regulasi ini mengharuskan perusahaan multinasional
melaporkan indikator-indikator keuangan secara tahunan kepada Her Majesty’s Revenue and
Customs (HMRC) (Gardner & Richard Palmer, 2017). HMRC adalah departemen pemerintah di
luar kementrian. Departmen ini bertanggungjawab dalam hal pendapatan dalam negeri. Secara
detail, HMRC mengurus administrasi dan pengumpulan pajak, pembayaran untuk dukungan dari
negara (contohnya asuransi nasional dan tunjangan anak), serta peraturan lain termasuk upah
minimum nasional, pencucian uang, dan perdagangan barang. Praktik hukum transfer pricing di
Inggris turut didukung oleh keterlibatan negara ini dalam OECD sebagai negara anggota pendiri
pada 1961. Melalui OECD inilah Inggris menguatkan komitmen untuk menangkal penghindaran
pajak dengan mengimplementasikan Automatic Exchange of Information (AEoI) bersama
dengan negara-negara lainnya (InsideTax, 2016). Dalam pelaporan pajak, Inggris menggunakan
sistem self-assessment. Wajib pajak diwajibkan menyimpan dokumen pelaporan dan pembayaran
pajak karena dokumen tersebut dapat menjadi bukti apabila disinyalir terjadi ketidakcocokkan
pelaporan. Apabila wajib pajak (WP) terbukti melakukan kesalahan dalam
mengimplementasikan transfer pricing dan menyebabkan ketidakakuratan penurunan
penerimaan pajak, wajib pajak akan dikenai pinalti. Ketidakakuratan terbagi menjadi empat tipe
faktor; 1) Akibat perlakuan reasonable (pinalti 0%); 2) Kecerobohan (pinalti 30%); 3)
Kesengajaan namun tidak disembunyikan dari HMRC (pinalti 70%); 4) Kesengajaan dan
disembunyikan dari HMRC (pinalti 100%). Pinalti diperhitungkan dari pendapatan potensial
yang seharusnya diterima negara. Analisis kinerja regulasi transfer pricing Inggris dapat dilihat
dari sisi tax gap. Perbedaan penerimaan pajak potensial dengan aktual yang diterima oleh HMRC
di periode 2015- 2016 nominalnya sebesar £34 juta. Dari jumlah tersebut, 10%.gap berasal dari
pajak korporasi

2. Diverted Profit Tax

Diverted Profit Tax (DPT) adalah upaya Inggris menghadapi penghindaran pajak
perusahaan multinasional. Skema ini memaksa WP untuk membayar pajak atas keuntungan yang
dialihkan dari Inggris Raya pada tarif 25%. DPT mulai diberlakukan di Inggris sejak 1 April
2015. HMRC akan melakukan review apakah perusahaan masuk ke dalam daftar perusahaan
yang harus membayar DPT. Tidak hanya untuk tahun berjalan dan tahun setelah DPT
diberlakukan, tetapi HMRC juga mengadakan review perusahaan untuk periode sebelum April
2015. Dari review tersebut, DPT akan dikenakan pada perusahaan apabila ditemukan adanya
perjanjian yang mengandung perbedaan material dari yang seharusnya dengan tujuan
penghindaran pajak (KPMG, 2016). HMRC menetapkan tarif pajak untuk diverted profit sebesar
25%, lebih tinggi 5% dari tarif pajak badan di 2015. Tujuan utama dari DPT adalah mengubah
perilaku perusahaan multinasional agar membayar pajak ke negara Inggris daripada mengalirkan
profit ke negara lain dan berakibat dikenai sanksi tingkat pajak yang lebih tinggi kemudian hari.

3. Dampak Kebijakan Inggris terhadap Starbucks

Upaya-upaya HMRC mulai dari kerja sama dengan negara-negara G20 untuk menangkal
praktik penghindaran pajak penghasilan korporasi, investigasi, dan pembaharuan dan/atau
penetapan regulasi baru sejauh ini membuahkan hasil. Perusahaan multinasional besar seperti
Amazon dan Starbucks sepakat membayar kembali pajak pada pemerintah.
Dari data, dapat
diketahui bahwa
Starbucks tidak
membayar sepeser pun pajak kepada Inggris dari 2010-2012. Setelah investigasi dilakukan
HRMC hingga kasusnya menjadi sorotan publik, Starbucks menerima persetujuan untuk
membayar pajak sejumlah £20 juta untuk pajak tahun 2013 dan 2014 (West, 2013). Tahun-tahun
selanjutnya, Starbucks melakukan penyetoran pajak. Dari laporan tahunan Starbucks, diketahui
bahwa perusahaan membayar £1,143.7 juta untuk pajak penghasilan konsolidasi. £19,162.7 juta.
Kemudian membayar pajak sebesar £1,379.7 juta dan £1,432.6 juta masing-masing untuk tahun
2016 dan 2017.
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Penghindaran pajak adalah suatu pelanggaran pajak dalam bentuk mengurangi atau
menghapus beban pajak dengan mencari dan memanfaatkan loophole dalam peraturan
perpajakan di suatu negara. Menurut Ronen Pala (2008), suatu kegiatan yang dikatakan sebagai
penghindaran pajak apabila melakukan salah satu tindakan seperti wajib pajak membayar pajak
lebih rendah daripada yang seharunya terutang dengan memanfaatkan interpretasi hukum, wajib
pajak berusaha untuk pajak yang terutang dikenakan atas keuntungan yang telah dibuat dan
bukan keuntungan yang telah diperoleh, dan wajib pajak dengan sengaja melakukan penundaan
dalam pembayaran pajak terutangnya, atau tidak membayar pajak sama sekali. Pada dasarnya,
penghindaran pajak ini mempunyai sifat yang sah karena tidak melanggar ketentuan perpajakan
apapun, namun tetap mempunyai dampak yang cukup merugikan terhadap penerimaan
perpajakan suatu negara.

Starbucks di Inggris, dalam melakukan praktik penghindaran pajaknya menggunakan


metode transfer pricing atau harga tranfer. Menurut OECD, harga transfer adalah kegiatan
penempatan harga yang dilakukan oleh perusahaan dengan mentransfer atau menyerahkan
barang atau jasa, berwujud atau tidak berwujud kepada perusahaan afiliasinya. Dalam
praktiknya, Starbucks melakukan 3 poin utama terhadap kegiatan transfer pricing, yaitu,
membayarkan biaya royalti dan lisensi terhadap perusahaan afiliasinya di Belanda, melakukan
mark-up harga biji kopi yang dibeli dari perusahaan afiliasi di Swiss dan Belanda, serta adanya
utang antar perusahaan yang menyebabkan Starbucks Inggris membayarkan utangnya ke
Starbucks Group. Dalam hal itu, direktur pelaksana Starbucks Inggris, Kris Engkhov merespons
semua tuduhan tersebut dan mengakui kegiatan praktik yang dilakukan perusahaannya. Pada
akhirnya, Starbucks Inggris mendapat tuntutan untuk membayarkan pajaknya melebihi jumlah
yang telah ditetapkan oleh undang-undang sebesar £20 juta dalam waktu 2 tahun.

Kebijakan negara Inggris terhadap kasus ini yaitu, Inggris mempunyai regulasi terhadap
transfer pricing yang terdapat di dalam TIOPA 2010. Regulasi ini mengharuskan perusahaan
multinasional melaporkan indikator-indikator keuangan secara tahunan kepada Her Majesty’s
Revenue and Customs (HMRC) (Gardner & Richard Palmer, 2017). HMRC adalah departemen
pemerintah di luar kementrian. Departmen ini bertanggungjawab dalam hal pendapatan dalam
negeri. Secara detail, HMRC mengurus administrasi dan pengumpulan pajak, pembayaran untuk
dukungan dari negara (contohnya asuransi nasional dan tunjangan anak), serta peraturan lain
termasuk upah minimum nasional, pencucian uang, dan perdagangan barang. Selain itu, Inggris
juga berupaya untuk mencegah terulangnya kembali kasus ini dengan membuat kebijakan
Diverted Profit Tax (DPT). DPT adalah upaya Inggris menghadapi penghindaran pajak
perusahaan multinasional. Skema ini memaksa WP untuk membayar pajak atas keuntungan yang
dialihkan dari Inggris Raya pada tarif 25%. DPT mulai diberlakukan di Inggris sejak 1 April
2015. HMRC akan melakukan review apakah perusahaan masuk ke dalam daftar perusahaan
yang harus membayar DPT.
DAFTAR PUSTAKA

Bird, R., & Davis-Nozemack, K. (2018). Tax Avoidance as a Sustainability Problem. Journal of
Business Ethics, 151(4), 1009–1025. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3162-2

Hurk, H. Van Den. (2014). Starbucks versus the People. Bulletin for International Taxation,
January, 27–34.

Sari, N., & Hunar, R. S. (2015). Avoidance and Its Consistencies To the Arm ’ S. Business
Strategy and Execution, 8(1), 70–96.

Theresia, Y., & Septriadi, D. (2018). Tax Analysis and Profit Shifting Starbucks Corporation.
Jcae, 867–875. https://doi.org/10.5220/0007022308670875

Campbell, K., & Helleloid, D. (2016). Starbucks: Social responsibility and tax avoidance.
Journal of Accounting Education, 37, 38–60. https://doi.org/10.1016/j.jaccedu.2016.09.001

Gardner, Nicholas & Richard Palmer. “Transfer Pricing in the UK (England and Wales);
Overview” Thomson Reuters Practical Law (n.d.). Diakses tanggal 16 Oktober 2021.
https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/w-007-4630?
transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true&bhcp=1

KPMG. “Diverted Profit Tax”. (Januari 2016). Diakses tanggal 16 Oktober 2021.
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://home.kpmg.com/content/dam/kpmg/pdf/2016/02/DP
T-
guidance.pdf&ved=2ahUKEwiGxPaMvrTbAhUIJ5QKHQA6D_oQFjAAegQICBAB&usg=
AOvVaw0OUXug8Pdpc2--QMXaEpluhttps://

Anda mungkin juga menyukai