Anda di halaman 1dari 39

Nama : Neil Author

NPM : 1102019228
PBL B-11

1. Memahami dan menjelaskan Anatomi Kelenjar Tiroid


1.1. Anatomi Makroskopis
Kelenjar tiroid adalah struktur garis tengah yang terletak di leher anterior.
Kelenjar tiroid dibagi menjadi dua lobus yang dihubungkan oleh isthmus, yang
melintasi garis tengah trakea atas pada cincin trakea kedua dan ketiga. Dalam
posisi anatomisnya, kelenjar tiroid terletak di posterior otot sternotiroid dan
sternohyoid, membungkus kartilago krikoid dan cincin trakea. Terletak di inferior
kartilago tiroid laring, biasanya sesuai dengan tingkat vertebra C5-T1. Tiroid
menempel pada trakea melalui konsolidasi jaringan ikat, yang disebut sebagai
ligamen suspensori lateral atau ligamen Berry. Ligamentum ini menghubungkan
masing-masing lobus tiroid ke trakea. Kelenjar tiroid, bersama dengan esofagus,
faring, dan trakea, ditemukan di dalam kompartemen viseral leher yang dibatasi
oleh fasia pretrakeal. (Allen E & Fingeret A, 2021)

Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20 Halaman 130


Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20 Halaman 130

Kelenjar tiroid memiliki suplai darah yang sangat kaya dan diperkirakan
enam kali lebih banyak vaskular daripada ginjal dan relatif tiga sampai empat kali
lebih banyak vaskular daripada otak. Ini menerima darah dari arteri tiroid superior
dan inferior. Pembuluh darah berpasangan ini mensuplai aspek superior dan
inferior kelenjar. Arteri tiroid superior adalah cabang pertama dari arteri karotis
eksterna karena muncul di dekat tingkat tanduk superior kartilago tiroid. Arteri
tiroid superior kemudian bergerak ke anterior, inferior, dan menuju garis tengah di
belakang otot sternotiroid ke kutub superior lobus kelenjar tiroid. Dari titik ini,
cabang arteri tiroid superior. Satu titik percabangan mengalir ke bawah aspek
dorsal kelenjar tiroid. Cabang superfisial lainnya berjalan di sepanjang otot
sternotiroid dan otot tirohyoid, memasok cabang ke otot-otot ini serta sternohyoid.
Cabang superfisial berlanjut ke bawah untuk selanjutnya mengeluarkan cabang
krikotiroid dan mensuplai isthmus, sisi dalam lobus lateral, dan jika ada, lobus
piramidal. Arteri tiroid inferior bercabang dari trunkus thyrocervical pada batas
dalam otot skalenus anterior dan maju ke medial ke kelenjar tiroid. Arteri
mencapai permukaan posterior lobus lateral kelenjar tiroid pada tingkat
persimpangan dua pertiga atas dan sepertiga bawah batas luar. (Allen E &
Fingeret A, 2021)

Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20 Halaman 145


Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20 Halaman 144
Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Ed 20 Hal 147

Sistem saraf otonom terutama mempersarafi kelenjar tiroid. Saraf vagus


menyediakan serat parasimpatis utama, sedangkan serat simpatis berasal dari
ganglia inferior, tengah, dan superior dari truncus simpaticus. Saraf-saraf ini tidak
berperan dalam mengontrol produksi atau sekresi hormonal tetapi sebagian besar
mempengaruhi pembuluh darah. (Allen E & Fingeret A, 2021)
Sumber : Sobotta Atlas Anatomi Manusia Ed 20 hal 150

1.2. Anatomi Mikroskopis


Parenkim tiroid terdiri atas jutaan struktur epitel bulat yang disebut folikel tiroid.
Sel-sel yang mengelilingi folikel, yaitu sel folicular (thyrocytus T), juga disebut
cellula principalis, menyintesis, melepaskan, dan menyimpan produknya di luar
sitoplasma, atau ekstraselular, di lumen folikel sebagai substansi gelatinosa, yaitu
koloid. Tiroid merupakan kelenjar endokrin dengan sejumlah besar simpanan
produk sekretorik yang di akumulasikan di koloid folikel. Pada koloid ini
mengandung glikoprotein besar yaitu tiroglobulin yang merupakan prekursor
untuk hormon tiroid aktif.

Kelenjar tiroid dilapisi oleh suatu capsula fibrosa dan dari capsula ini, septa
terjulur ke dalam parenkim, dan membaginya menjadi lobulus dan membawa
pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe. Folikel terkemas rapat, yang terpisah
satu sama lain hanya oleh sebaran jaringan ikat retikular.

Epitel folikel dapat berupa epitel selapis gepeng, kuboid, atau kolumnar rendah,
bergantung pada ke-adaan aktivitas kelenjar tiroid.

Jadi dalam keadaan aktif, kelenjar memiliki lebih banyak folikel yang terdiri atas
epitel kolumnar rendah; sedangkan pada keadaan hipoaktif adalah sel folikular
skuamosa.

kelenjar tiroid juga mengandung sel parafolikular (Thyrocytus C) biasany


terpulas-pucat dan biasanya Iebih besar daripada sel folikular. Sel-sel ini
ditemukan di tepi epitel folikel atau di dalam folikel.

Sel C ini juga biasanya agak lebih besar daripada sel folikel dan terpulas lebih
lemah.

Sel-sel ini menyintesis dan menyekresi kalsitonin, yarrg salah satu fungsinya
menekan resorpsi tulang oleh osteoklas.
Sumber : Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Ed 11 Hal 399

Souce : Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas Ed 13 Page 422

Sel C dapat menjadi bagian dari epitel folikel atau dijumpai tersendiri atau
berkelompok di luar folikel.

Sumber : Kenhub

2. Memahami dan menjelaskan tentang fisiologi dan biokimia Hormon Tiroid


2.1. Biosintesis Hormon Tiroid
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) hipotalamus, melalui efek
tropiknya, "menyalakan" sekresi TSH oleh hipo-fisis anterior.
Hampir setiap tahap dalam sintesis dan pelepasan hormon tiroid
dirangsang oleh TSH. Selain meningkatkan sekresi hormon tiroid, TSH juga
mempertahankan integritas struktural kelenjar tiroid. Tanpa adanya TSH, tiroid
mengalami atrofi (ukurannya berkurang) dan mengeluarkan hormon tiroid dalam
jumlah sangat rendah. Sebaliknya, kelenjar mengalami hipertrofi (peningkatan
ukuran setiap sel folikel) dan hiperplasia (peningkatan jumlah sel folikel) sebagai
respons terhadap TSH yang berlebihan.

Konstituen utama koloid adalah suatu molekul glikoprotein besar yang


dikenal sebagai tiroglobulin (Tg) yang di dalamnya terikat hormon-hormon tiroid
dalam berbagai stadium sintesis. Sel folikel menghasilkan dua hormon yang
mengandung iodium yang berasal dari asam amino tirosin: tetraiodotironin (T4,
atau tiroksin) dan tri-iodotironin (T3). Kedua hormon, yang secara kolektif disebut
horrnon tiroid, adalah regulator penting laju metabolik basal (LMB) keseluruhan.

Campuran baku untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium,
keduanya harus diserap dari darah oleh sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan suatu zat esensial
dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid
harus diperoleh dari makanan. lodium (I) dalam makanan direduksi menjadi
iodida (I-) sebelum diserap oleh usus halus.
Sebagian besar langkah pembentukan hormon tiroid berlangsung di
molekul tiroglobulin di dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri diproduksi oleh
kompleks Golgi-retikulum endo plasma sel folikel tiroid. Asam amino tirosin
masuk ke dalam molekul tiroglobulin yang jauh lebih besar sewaktu tiroglobulin
sedang diproduksi. Setelah terbentuk, tiroglobulin yang sudah mengandung
tirosin diekspor dalam vesikel dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses
eksositosis.

Langkah Pembentukan, Penyimpanan, dan Sekresi Hormon Tiroid :

Langkah 1 : Tiroid menangkap iodida dari darah dan memindahkannya ke


dalam koloid melalui pampa—iodida protein-protein pengangkut yang kuat dan
memerlukan energi di membran luar sel folikel.
Langkah 2 : Pompa iodida mengangkut Na+ menuju sel folikular menuruni
gradien konsentrasinya dan I- ke dalam sel melawan gradien konsentrasinya.
Langkah 3 : Di dalam sel folikular, iodida dioksidasi menjadi iodida "aktif"
oleh enzim terikat membran, tiroperoksidase (TPO) yang terletak pada
membran luminal, membran sel folikel yang berkontak dengan koloid.
Langkah 4 : Iodida aktif ini keluar melewati saluran di membran luminal untuk
memasuki koloid.
Langkah 5a : Di dalam koloid, TPO, tetap terikat membran, dengan cepat
melekatkan iodida ke tirosin di dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan satu
iodida ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT).
Langkah 5b :Perlekatan dua iodida ke tirosin menghasilkan di-iodotirosin (DIT)
Langkah 6a : Setelah MIT dan DIT terbentuk, terjadilah proses penggabungan
di dalam molekul tiroglobulin antara molekul-molekul tirosin yang telah
beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan satu MIT (dengan
satu iodida) dan satu DIT (dengan dua iodida) menghasilkan tri-iodotironin,
atau T3 (dengan tiga iodida)
Langkah 6b : Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua atom
iodida) menghasilkan tetraiodotironin(T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon
tiroid dengan empat iodida.

Ket : Antara dua molekul MIT tidak terjadi penggabungan. Semua produk ini
tetap melekat ke tirogobulin melalui ikatan peptida. Hormon tiroid tetap
tersimpan dalam bentuk ini di koloid hingga terurai dan diskresikan. Jumlah
hormon tiroid yang tersimpan normalnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk
beberapa bulan.

 Langkah 7 : Pada proses sekresi hormon tiroid, sel folikel "menggigit putus"
sepotong koloid, menguraikan molekul tiroglobulin menjadi bagian-bagiannya,
dan "meludahkan" T3 dan T4 yang telah dibebaskan ke dalam darah. Pada
stimulasi yang sesuai untuk sekresi hormon tiroid, sel-sel folikel
menginternalisasi sebagian kompleks tiroglobulin-hormon dengan memfagosit
sepotong koloid.
 Langkah 8 : Di dalam sel, butir-butir koloid yang terbungkus membran menyatu
dengan lisosom, yang enzimenzimnya memisahkan hormon-hormon tiroid yang
aktif secara biologis, T3 dan T4, serta MIT dan DIT yang inaktif secara
biologis, T3 dan T4, serta MIT dan DIT yang inaktif.
 Langkah 9a : Hormon tiroid, karena sangat lipofilik, mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk ke dalam darah.
 Langkah 9b : MIT dan DIT tidak memiliki fungsi endokrin. Sel-sel folikel
mengandung suatu enzim, iodinase, yang secara cepat mengeluarkan iodida dari
MIT dan DIT sehingga iodida yang telah bebas ini dapat didaur-ulang untuk
membentuk lebih banyak hormon.
Ket : Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan iodida hanya dari MIT
dan DIT, bukan dari T3 atau T4.
Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8 Halaman 724

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, molekul-molekul hormon tiroid yang


sangat lipofilik (dan karenanya tak-larut air) cepat berikatan dengan beberapa
protein plasma. Sebagian besar T3 dan T4diangkut oleh thyroxine-binding
globulin, suatu protein plasma yang secara selektif berikatan hanya dengan
hormon tiroid. Kurang dari 0,1% T4 dan kurang dari 1% T3 berada dalam bentuk
bebas (takterikat). Hal ini luar biasa karena hanya bentuk bebas hormon dari
keseluruhan hormon tiroid yang memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan
menimbulkan efek.

2.2. Metabolisme Hormon Tiroid


Waktu paruh T4 di plasma : 6 hari, T3 : 24-30 jam. T4 endogen anan korvesi
lewat proses monodeyodinisasi menjadi T3. Jaringan yang mampu mengonversi :
hati, ginjal, jantung, dan hipofisis. Dalam proses konversi, terbentuk juga rT3
(reversed T3, 3,3,5’ triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif, tetapi
mengatur metabolik secara seluler. Ada 3 macam deyodinase:

a. DI : konversi T4 à T3 di perifer (tidak berubah saat hamil)


b. D II : konversi T4 à T3 di local (terjadi di plasenta, otak, SSP dan penting
untuk pertahanan T3 lokal)
c. D III : konversi T4 menjadi rT3 dan T3 à T2 (terjadi di plasenta, sehingga
hormone ibu ke fetus menurun)
Penurunan konversi bisa pada saat fetal, restriksi kalori, penyakit hati,
penyakit sistemik berat, defisiensi selenium, pengaruh obat (propiltiourasil,
glukokortikoid, propranolol, amiodaron, atau bahan kontras seperti asam
yopanoat dan natrium ipodas)

2.3. Fungsi Hormon Tiroid


Hormon tiroid tidak memiliki organ target tersendiri. Kelenjar ini
memengaruhi hampir setiap jaringan yang ada di tubuh. Seperti hormon lipofilik
lainnya, hormon tiroid menembus membran plasma dan terikat dengan reseptor
intraselular, dalam hal ini adalah suatu reseptor nuklear yang terikat pada elemen
respons tiroid pada DNA. Pengikatan ini meme-ngaruhi transkripsi mRNA
spesifik dan karenanya sintesis protein baru yang spesifik, khususnya enzim, yang
membawa respons seluler. Reseptor hormon tiroid inti memiliki afinitas yang 10
kali lebih besar bagi T3 dibandingkan T4. Karena potensi hormon bergantung
pada seberapa kuat hormon terikat pada reseptor sel targetnya, T3 lebih poten
daripada T4.

Semua sel di tubuh terpengaruh langsung atau tak langsung oleh hormon
tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori yang
saling tumpang-tindih.

a. Efek pada Laju Metabolisme dan Produksi Panas

Hormon tiroid meningkatkan laju metabolik basal keseluruhan tubuh.


Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran energi
tubuh pada keadaan istirahat. Efek kalorigenik (kalorigenik berarti "penghasil
panas") hormon tiroid berkaitan erat dengan efek metabolik hormon ini secara
keseluruhan. Peningkatan aktivitas metabolik menyebabkan peningkatan produksi
panas.

b. Efek Simpatomimetik

Setiap efek yang serupa dengan yang ditimbulkan olehsistem saraf


simpatis dikenal sebagai efek simpatomimetik. Hormon tiroid meningkatkan
responsivitas sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin),
caraka kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan penguatan
hormonalnya dari medula adrenal. Hormon tiroid melaksanakan efek permisif ini
dengan menyebabkan proliferasi reseptor sel sasaran katekolamin. Karena
pengaruh ini, banyak efek yang diamati ketika sekresi hormon tiroid meningkat
serupa dengan yang menyertai pengaktifan sistem saraf simpatis.

c. Efek pada Sistem Kardiovaskular

Melalui efeknya dalam meningkatkan kepekaan jantung terhadap


katekolamin, hormon tiroid meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan
kontraksi sehingga curah jantung meningkat.

d. Efek pada Pertumbuhan dan Sistem Saraf

Hormon tiroid esensial bagi pertumbuhan normal karena efeknya pada


hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-I Hormon tiroid tidak saja merangsang
sekresi GH dan meningkatkan produksi I GF-I oleh hati, tetapi juga mendorong
efek GH dan IGF-I pada sintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan
tulang. Anak dengan defisiensi tiroid mengalami hambatan pertumbuhan yang
dapat dipulihkan dengan terapi sulih tiroid. Namun, tidak seperti kelebihan GH,
kelebihan hormon tiroid tidak menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan.

Hormon tiroid berperan krusial dalam perkembangan normal sistem saraf,


khususnya SSP, suatu efek yang terganggu pada anak dengan defisiensi tiroid
sejak lahir. Hormon tiroid juga esensial untuk aktivitas normal SSP pada orang
dewasa.
3. Memahami dan menjelaskan Kelainan Hormon Tiroid
3.1. Definisi
Pasien dengan penyakit tiroid biasanya akan mengeluh (1) pembesaran tiroid,
yang mana bisa difus atau nodular; (2) gejala-gejala defisiensi tiroid atau
hipotiroidisme; (3) gejala-gejala kelebihan hormon tiroid, atau hipertiroidisme
atau (4) komplikasi spesifik hipotiroidisme-Penyakit Graves-yang muncul dengan
mata yang sangat menonjol (eksofalmus) atau, yang lebih jarang, penebalan kulit
tungkai bawah (dermatopati tiroid)

Goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran


kelenjar tiroid akibat kelainan glandulatiroid dapat berupa gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang


disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter
atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat
mengakibatkan kompresi trakea

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid


sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang yang kemudian
mengakibatkan perlambatan proses metabolik.

Hipertiroid adalah peningkatan kadar hormon tiroid bebas secara berlebihan yang
beredar dalam sirkulasi peredaran darah tubuh akibat hiperaktivitas kelenjar tiroid
yang ditandai dengan peningkatan kadar free Thyroxine fT4, Thyroxine (T4), free
Triiodothyronine (fT3) atau Triiodothyronine (T3) dan penurunan Thyroid
Stimulating Hormone (TSH).

3.2. Etiologi
Hipotiroid
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai (1) primer (kegagalan tiroid), (2)
sekunder (terhadap kekurangan TSH hipofisis), atau (3) tersier (berhubungan dengan
defisiensi TRH hipotalamus)-atau mungkin karena (4) resistensi perifer terhadap kerja
hormon tiroid. Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai goiter dan non-goiter,
tapi klasifikasi ini mungkin tidak memuaskan, karena tiroiditis Hasimoto dapat
menimbulkan hipotiroidisme dengan atau tanpa goiter.

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Halaman 2449

Tiroiditis Hashimoto mungkin merupakan penyebab hipotiroidisme tersering. Pada`


pasien-pasien lebih muda, lebih sering dihubungkan dengan goiter; pada pasien lebih
tua, kelenjar mungkin dihancurkan total oleh proses imunologis dan satusatunya sisa
penyakit ini adalah uji antibodi mikrosomal antitiroid yang terusmenerus positif.
Seperti juga, stadium terakhir penyakit Graves adalah hipotiroidisme. Hal ini makin
dipercepat dengan terapi destruktif seperti pemberian iodin radioaktif aau tiroidektomi
subtotal.

Hipertiroid

Penyebab paling umum dari hipertiroidisme di daerah yang cukup


yodium adalah penyakit Graves. Penyebab penyakit Graves diperkirakan
multifaktorial, yang timbul dari hilangnya toleransi imun dan pengembangan
autoantibodi yang merangsang sel folikel tiroid dengan mengikat reseptor TSH.
Penyakit Graves adalah bentuk tirotoksikosis yang paling umum dan dapat terjadi
pada segala umur, lebih sering pada wanita dengan pria. Sindroma ini terdiri dari
satu atau lebih dari hal-hal ini : (1) tirotoksikosis (2) goiter (3) oftalmopati
(eksoftalmos) dan (4) dermopati (miksedema pretibial)

Faktor risiko non-genetik untuk perkembangan penyakit Graves termasuk stres


psikologis, merokok, dan jenis kelamin wanita.

Penyakit Graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang


penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15%
pasien Graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan sama dan kira-kira
50% keluarga pasien dengan penyakit Graves mempunyai autoantibodi tiroid yang
beredar di darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak daripada pria.
Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur, dengan insiden puncak pada
kelompok umur 20-40 tahun.
3.3. Epidemiologi

Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) merupakan masalah gizi utama di


Indonesia, begitu juga di dunia. GAKI dapat berdampak pada semua kalangan usia,
baik pada janin, bayi, anak, remaja, dewasa sekalipun. GAKI yang paling umum
terjadi di berbagai usia adalah gondok. Gondok merupakan dampak dari kurangnya
iodium yang terjadi kronis. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk
menanggulangi GAKI ditingkat populasi yaitu iodisasi atau penambahan/fortifikasi
iodium pada semua garam atau Universal Salt Iodization (USI). Rumah tangga
dengan konsumsi garam cukup iodium di Indonesia tahun 2013 sebanyak 77,10%.
Cakupan ini meningkat dibandingkan cakupan pada tahun 2007, yakni 62,30%.
Cakupan ini belum memenuhi target cakupan USI oleh WHO dan target Rencana
Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 dengan masing-masing capaian
target adalah 90% dan 80% (WHO, 2007; Kemenkes RI, 2013b).

3.4. Klasifikasi
a. Berdasarkan Fisiologisnya
 Eutiroidisme : Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar
tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah
normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.
 Hipotiroidisme : Hipotiroisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari
defisiensi hormon tiroid, yang kemudian mengakibatkan perlambatan proses
metabolik.
 Hipertiroidisme : Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan.Keadaan ini dapat timbul spontan
atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan, tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar.

b. Berdasarkan Klinisnya

 Goiter Toksik : Goite rtoksik dapat dibedakan atas dua yaitu goiter
diffusa toksik dan goiter nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih
mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana goiterdiffusa toksik
akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba
satu atau lebih benjolan (goiter multinoduler toksik). Goiterdiffusa toksik
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme
lainnya.
 Goiter Non-Toxic : Goiternon toksik sama halnya dengan goiter toksik yang
dibagi menjadi goiter diffusa non toksik dan goiter nodusa non toksik. Goiternon
toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Goiterini disebut
sebagai simple goiter, goiterendemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut goiter nodusa. Goiternodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut goiternodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita
datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun
sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Patofisiologi Hipotiroid
Patogenesis hipotiroid sangat bervariasi, tergantung pada penyebab hipotiroid.
Patogenesis hipotiroid pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut:

 Tiroiditis Autoimun : Pada tiroiditis Hashimoto, terjadi peningkatan


inflitrasi limfosit kedalamjaringan kelejartiroid yang mengakibatkan
terbentuknya inti "germina", dan metaplasia oksifil. Folikel koloid tidak
terbentuk dan terjadi fibrosis ringan sampai sedang. Pada tiroiditis atrofik
terjadi proses fibrosis yang lebih banyak dengan lebih sedikit inflitrasi
limfosit dan tidak terbentuknya folikel tiroid.
Pada Tiroiditis autoimun terjadi aktivasi CD-4+, CD-8+ dan limfosit B
yang merupakan mediator terjadinya kerusakan sel kelenjar tiroid. CD-8+
merupakan mediator utama timbulnya proses tersebut yang menimbulkan
nekrosis sel akibat pengaruh perforin dan terjadinya apoptosis sel oleh
granzyme-B. Lebih lanjutnya, berbagai sitokin seperti (TNF-alpha, IL-1, IFN-
gamma) yang diproduksi sel T akan memudahkan terjadinya apoptosis sel
tiroid melalui aktivasi death receptor. Berbagai sitokin terebut juga
mengganggu fungsi sel tiroid secara langsung.
 Hipotiroid Akibat Defisiensi Iodium : lodium merupakan bahan dasar
hormon tiroid, kekurangan asupan iodium dalam jangka panjang akan
mengganggu sintesis hormon. Kekurangan iodium yang lama menimbulkan
gondok endemik yang sering diketemukan pada daerah dengan asupan
iodium penduduk yang kurang.
 Hipotiroid pada Pemberian Iodium Dosis Besar : Konsumsi iodium dalam
jumlah yang besar akan menghambat proses pengikatan iodium dengan
tiroglobulin (proses binding), serta menghambat pelepasan hormon tiroid dari
dalam folikel. Gambaran histopatologis pada kelainan ini adalah adanya
hiperplasia yang berat. T4 bebas rendah dan TSH meningkat, dan kadar
iodium urin sangat meningkat.
 Hipotiroid Akibat Tindakan Bedah : Hipotiroid yang terjadi sebagai akibat
terlalu banyaknya sel kelenjar yang terangkat akibat proses pembedahan
ataupun rusak akibat proses ablasi. Sebagai akibatnya tidak cukup banyak sel
kelenjar tiroid yang tersisa yang mampu memproduksi cukup hormon tiroid.
 Hipotiroid Kongenital : Hasil penelitian dengan skaning menunjukkan
bahwa dishomogenesis (aninborn error of metabolism) yang disertai ganguan
pada sintesis T4 (tiroksin) didapatkan pada 10-20% bayi baru lahir dengan
hipotiroid kongenital. Sedangkan resistensi TSH sebagai akibat adanya
kelainan pada reseptor tirotropin didapatkan pada sekitar 10% kasus
hipotiroid kongenital.

Patofisiologi Hipertiroid
 Pada Penyakit Graves : Dalam kasus penyakit Graves, penyebab utamanya
adalah autoimun, khususnya produksi imunoglobulin perangsang tiroid yang
mengikat reseptor TSH dan meniru efek TSH. Penyakit Graves muncul dengan 2
tanda ekstra-tiroid yang biasanya tidak terlihat pada bentuk hipertiroidisme
lainnya. Oftalmopati penyakit Graves ditandai dengan edema jaringan retro-
orbital, sehingga menyebabkan penonjolan anterior bola mata. Myxedema
pretibial adalah penebalan seperti plak pada kulit anterior tibia karena infiltrasi
glikosaminoglikan di dermis.
 Goiter Multinodular Toksik : Goiter multinodular toksik muncul dengan
nodul tiroid yang teraba. Ini adalah penyebab utama hipertiroidisme, terutama
pada populasi yang lebih tua. Gondok multinodular toksik menyebabkan produksi
hormon tiroid berlebih dari jaringan ektopik otonom, sehingga menyebabkan
tirotoksikosis klinis.
 Adenoma Tiroid : Berbeda dengan gondok multinodular toksik, yang dapat
muncul dengan beberapa nodul, adenoma tiroid biasanya muncul dengan nodul
papiler soliter yang berpotensi menyebabkan hipertiroidisme. Adenoma tiroid
hiperfungsi dapat dibedakan dari karsinoma tiroid dengan presentasi klinisnya.
Produksi hormon tiroid oleh karsinoma tiroid tidak mencukupi dan tidak dapat
mencapai kadar hormon tiroid yang cukup untuk menyebabkan hipertiroidisme
yang nyata. Akibatnya, adenoma tiroid umumnya jinak.
 Hipertiroidisme akibat Tiroiditis : Hipertiroidisme sekunder akibat tiroiditis
menyebabkan peningkatan sementara hormon tiroid yang bersirkulasi akibat
gangguan mekanis folikel tiroid. Tiroiditis subakut (De Quervain thyroiditis)
biasanya mengikuti infeksi akut, misalnya, infeksi saluran pernapasan atas. Ini
adalah proses inflamasi granulomatosa, menghasilkan kelenjar tiroid yang sangat
lembut. Tiroiditis tanpa rasa sakit adalah bentuk hipertiroidisme, biasanya terlihat
pada tahap postpartum. Ini adalah tiroiditis limfositik, dan dapat dibedakan dari
rekan subakutnya dengan riwayat klinis dan palpasi kelenjar tiroid (yang tidak
nyeri tekan pada tiroiditis tanpa nyeri tetapi nyeri pada tiroiditis subakut).
 Hipertiroidisme yang diinduksi Yodium : Hipertiroidisme yang diinduksi
yodium biasanya iatrogenik, akibat pemberian obat yang mengandung yodium
seperti media kontras atau amiodaron. Seperti disebutkan sebelumnya,
pengorganisasian residu iodida menjadi molekul prekursor hormon tiroid relatif
mengatur diri sendiri. Iodida yang bersirkulasi berlebihan menghambat
pengorganisasian, suatu proses yang dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff.
Namun, para profesional percaya bahwa pada pasien dengan hipertiroidisme yang
diinduksi yodium, area fungsi otonom memungkinkan sekresi hormon tiroid yang
berlebihan dengan adanya kadar iodida yang tinggi.

3.6. Manifestasi Klinis


Hipotiroid
Defisiensi hormon yang terjadi pada orang dewasa, tidak terlalu nyata
menimbulkan kelainan otak dan syaraf dan dapat diperbaiki dengan terapi hormon.
Gejala yang terjadi pada orang dewasa berupa penurunan daya intektual, menurunnya
nada bicara, ganguan memori, letargi, rasa ngantuk yang berlebihan dan pada orang
tua terjadi demensia. Pada hipotiroid yang berat dapat menimbulkan koma mixedema
yang disertai kejang (ataksi serebral), penurunan pendengaran, suara yang berat dan
serak dan gerakan yang yang sangat lambat. (Rudijanto A, 2014)

Pada kulit, hipotiroid menyebabkan terjadinya penumpukan asam-hialuronik


yang akan merubahkomposisi jaringan dasar kulit ataupun jaringan lain. Oleh karena
asam-hialuronik merupakan bahan yang higroskopis, penumpukan materi ini akan
menimbulkan peningkatan kandungan cairan sehingga terjadi edema, penebalan kulit
dan sembab pada wajah (myxedema). Pada penyakit tiroiditis Hashimoto, dapat
disertai adanya pigmentasi kulit yang menghilang (vitiligo) dan merupakan ciri dari
kelainan kulit akibat proses otoimun.

Dampak hipotiroid pada jantung akan mengakibatkan penurunan output-


kardiak sebagai akibat penurunan volume curahjantung dan bradikardi. Hal ini
mencerminkan adanya pengaruh inotropik rnaupun kronotropik darihormon tiroid
pada otot jantung. Pada hipotiroid yang berat, terjadi pembesaran jantung dan suara
jantung melemah yang mungkin disebabkan adanya penumpukan cairan di dalam
perikard yang banyak mengandung protein dan glikosaminoglikan

Pada sistem pernapasan, hipotiroid dapat menirnbulkan penurunan kapasitas


pernapasan maksimal (maximal breathing capacity) dan kapasitas difusi, meskipun
mungkin volume paru tidak mengalami ganguan. Hipotiroid juga dapat menirnbulkan
terjadinya efusi pleura. Pada hipotiroid yang berat, kinerja otot pernapasan mengalami
penurunan dan mengakibatkan terjadinya hipoksia. Kelainan yang terjadi pada organ
pernapasan tersebut ikut berperan pada timbulnya koma pada mixedema.

Gejala yang dapat timbul pada otot antara lain timbulnya rasa nyeri dan
kekakuan otot yang semakin memberat bila suhu udara menjadi dingin. Perlambatan
kontraksi dan relaksasi otot berpengaruh pada gerak ekstremitas dan refleks tendon.
Masa otot mungkin akan berkurang, namun dapat terjadi pembesaran otot akibat
adanya edema jaringan.

Metabolisme androgen dan estrogen terganggu sekresi androgen mengalami


penurunan dan metatolisme testoteron beralih dari androsteron menjadi etiokolanolon.
Sintesis protein (globulin) pengikat hormon sex mangalamr penurunan sehingga
konsentrasi testoteron dan estradiol dalam bentuk terikat diplasma menurun,
sedangkan testoteron dan estradiol bebas meningkat.

Terjadi penurunan kecepatan metabolisme basal (BMR) tubuh dan produksi


panas. Nafsu makan menurun. suhu badan cenderung rendah dan tidak tahan terhadap
hawa dingin. Sintesis dan pemecahan protein mengalami penurunan dan ha1 ini dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan otot dan tulang. Degradasi jaringan
lemak lebih banyak terjadi dibanding sintesisnya. Sebagai akibatnya terjadi
peningkatan kadar LDL dan trigliserida di dalam darah.
Ringkasan Manifestasi Klinis hipotiroid pada orang Dewasa : Pada orang
dewasa, gambaran umum hipotiroidisme termasuk mudah lelah, kedinginan,
penambahan berat badan, konstipasi, menstruasi tidak teratur, dan kram otot.
Pemeriksaan fisik termasuk kulit yang dingin, kasar, kulit kering, wajah dan tangan
sembab, suara parau dan kasar, refleks lambat . Menurunkan konversi karoten
menjadi vitamin A dan peningkatan karoten dalam darah sehingga memberikan warna
kuning pada kulit.

Hipertiroid

Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah capai, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksik pada mata ,
dan takikardia ringan umumnya terjadi pada umumnya terjadi. Kelemahan otot
dan berkurangnya masa otot dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat
berdiri dari kursi tanpa bantuan. (Anwar R, 2005)

Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang


yang lebih cepat. Pada pasien-pasien di atas 60 tahun, manifestasi kardiovaskuler
dan miopati sering lebih menonjol; keluhan yang paling menonjol adalah
palpitasi, dispnea pada latihan, tremor, nervous, dan penurunan berat badan.
(Anwar R, 2005)

Manifestasi klinis hipertiroidisme dapat beragam karena hormon tiroid


dapat berdampak pada berbagai gejala sistemik. Efek seluler dari pengikatan T3
ke reseptor alfa dan beta meningkatkan termogenesis dan tingkat metabolisme
basal. Hal ini dapat mengakibatkan gejala konstitusional penurunan berat badan,
kelelahan dan intoleransi panas. Perubahan kulit dapat terjadi termasuk hangat,
kulit lembab dengan penipisan rambut dan miksedema pretibial di GD.
Manifestasi muskuloskeletal termasuk kelemahan, peningkatan resorpsi tulang,
osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang. Pasien dapat mengembangkan
limfadenopati, ginekomastia pada pria atau oligomenore pada wanita. Manifestasi
Gastrointestinal (GI) termasuk disfagia, hiperdefekasi dan rasa lapar. Temuan
oftalmologi termasuk retraksi kelopak mata dan GO infiltratif dapat dilihat pada
pasien dengan GD. (Doubleday A & Sippel R, 2020)

Manifestasi kardiovaskular yang paling umum dari hipertiroidisme adalah


hipertensi (HTN) dan takikardia. Kira-kira, 10% dari total populasi memiliki
HTN dari penyebab sekunder termasuk etiologi endokrin, dan HTN mungkin
merupakan presentasi pertama dari patologi endokrin primer. Masalah terjadi
ketika T3 berlebihan karena secara langsung meningkatkan kontraktilitas jantung
dan mendilatasi arteriol, yang menurunkan resistensi vaskular sistemik dan
pengisian arteri. Selain itu, hormon tiroid menargetkan saluran ion tertentu
termasuk kalsium / calmodulin-dependent kinase IV yang berperan dalam
aktivitas sintase nitrit oksida endotel yang berkontribusi untuk mengontrol tonus
pembuluh darah dan regulasi tekanan darah.

3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Hipotiroidisme
a. Anamnesis
Adanya riwayat pengobatan kelenjar tiroid dengan obat, tindakan bedah, radiasi
daerah leher ataupun menkonsumsi obat-obat lain seperti amiodaron,
interferon alfa, interleukin serta litium. Kemudian digali keluhan seperti
kelelahan, lesu, tidak tahan terhadap udara dingin, penambahan BB, dan
Konstipasi. akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
hipotiroidisme. Demikian pula ditanyakan riwayat keluarga dengan kelainan
tiroid. (Rudijanto A, 2014)

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat membantu untuk penegakan diagnosis hipoiroid. Adanya


pembesaran kelenjar (bisa juga athropic atapun normal size), kulit kering, edema
piting, edema pretibial, menurunnya reflek tendon, bradikardi dan gejala-gejala yang
lain dapat membantu diagnosis pasien dengan hipotiroid. Tetapi presentasi klinis
dapat mencakup berbagai gejala yang berbeda tergantung usia, jenis kelamin, dan
waktu antara onset dan diagnosis.
Kemudian, pada keadaan awal hipotiroid dan hipotiroid ringan, tanda-tanda
fisik ini seringkali tidak diketemukan. (Rudijanto A, 2014)

c. Pemeriksaan Darah

Tes darah untuk menentukan kadar hormon adalah hal yang sangat
penting diagnosa. Dua macam tes, yaitu pengukuran kadar TSH dan T4
(terutama T4) adalah pemeriksaan khusus dan digunakan untuk diagnosis
hipotiroidisme. Hipotiroidisme primer didefinisikan oleh konsentrasi TSH di
atas rentang referensi (paling umum digunakan 0,4-4,5 mlU/L) dan konsentrasi
tiroksin bebas di bawah rentang referensi ( normal : 0,7 - 1,9 ng/dL)
hipotiroid berat ditandai dengan status hormon tiroid yang rendah, tetapi
konsentrasi TSH umumnya dalam kisaran normal, meskipun dapat meningkat
sementara.

d. Ultrasonography

USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya


kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-
kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan
kemungkinan karsinoma.

Studi pencitraan (ultrasound) leher tidak secara rutin direkomendasikan


untuk hipotiroidisme.

DIAGNOSIS BANDING HYPOTHYROID

Diagnosis banding didasarkan pada tanda dan gejala; misalnya, kelelahan


dapat menunjukkan anemia defisiensi besi, sleep apnea, depresi, dan penyakit
rematik.

Gangguan berikut mungkin harus dipertimbangkan dalam diferensial:

 Euthyroid Sick Syndrome


 Tiroiditis Riedel
 Tiroiditis Subakut
 Limfoma
 Chronic Fatigue syndrome

Hipertiroid

a. Anamnesis

Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk


kegelisahan, mudah lelah, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan. . Kelemahan otot dan berkurangnya masa otot dapat
sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan.

b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik antara lain palpitasi, Pembesaran kelenjar tiroid, tanda-
tanda tirotoksik pada mata, oftalmopati, dan takikardia ringan umumnya terjadi.

c. Pemeriksaan Lab

TSH adalah tes biokimia lini pertama yang paling sensitif dan spesifik
untuk memeriksa fungsi tiroid. Jika kadar TSH rendah (paling umum
digunakan 0,4-4,5 mlU/L), maka diukur juga indeks T4 bebas dan konsentrasi
T3 bebas untuk membedakan antara hipertiroidisme subklinis dan
hypertiroidisme nyata. Hipertiroidisme nyata akan menunjukkan kadar TSH
rendah dan T3/T4 tinggi sedangkan hipertiroidisme subklinis akan
menunjukkan TSH rendah dengan kadar T3/T4 normal. ( normal : 0,7 - 1,9
ng/dL)

Rasio total T3 terhadap T4 total dapat dihitung untuk membantu


membedakan etiologi tirotoksikosis. Hipertiroidisme yang nyata akan
menghasilkan lebih banyak T3, menciptakan rasio T3:T4 yang tinggi.
Tiroiditis akan memiliki tingkat T4 yang lebih tinggi menciptakan rasio
T3:T4 yang rendah. Konsumsi hormon tiroid eksogen akan menunjukkan
kadar tiroglobulin yang rendah, yang dilepaskan dari kelenjar tiroid dengan
hormon tiroid, dan rasio T3:T4 yang rendah.

TES PENYERAPAN YODIUM AKTIF

Tes penyerapan yodium radioaktif tiroid pada pasien dengan penyakit


Graves akan menunjukkan peningkatan penyerapan secara difus.
Diagnosis Banding Hipertiroid

Diagnosis banding dapat dibuat berdasarkan temuan fisik kelenjar tiroid. Palpasi
kelenjar tiroid normal dalam konteks hipertiroidisme dapat disebabkan oleh penyakit
Graves, tiroiditis tanpa rasa sakit, atau hipertiroidisme buatan (tirotoksikosis factitia).
Penyakit Graves juga dapat muncul sebagai tiroid yang tidak nyeri tekan dan
membesar.

Palpasi tiroid yang nyeri dan membesar mungkin menunjukkan tiroiditis De Quervain
(tiroiditis subakut). Palpasi nodul tiroid tunggal kemungkinan adenoma tiroid, dan
palpasi beberapa nodul tiroid sangat menunjukkan gondok multinodular toksik.

Diagnosis banding lainnya termasuk hipertiroksinemia eutiroid (suatu kondisi di mana


total serum T4 dan T3 meningkat, tetapi kadar TSH dalam batas normal) dan struma
ovarii.

3.8. Tatalaksana
Tatalaksana Hipotiroid Klinis
Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan melihat
manifestasi klinis pada penderita.

Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata dan disertai dengan
penurunan T4 bebas dan kenaikan TSH (hipotiroid klinis) memerlukan terapi
levotiroksin (T4). Pada umumnya dosis yang diperlukan sebesar 1.6 μg/kbBB/hari
(total: 100-150 μg/hari). Pada pasien dewasa <60 tahun tanpa disertai penyakit
jantung dan pembuluh darah, pemberian levotiroksin dimulai dengan dosis rendah
(50 μg/hari). Kadar TSH diukur 2 bulan dihitung dari mulai awal terapi. Peningkatan
dosis levotiroksin dilakukan secara perlahan apabila kadar TSH belum mencapai
batas normal. Penambahan sebesar 12.5 - 25 μg/hari dilakukan setiap 2 bulan (sesuai
dengan pemeriksaan kadar TSH). Penurunan dosis sebesar 12.5 - 25 μg/hari juga
dilakukan apabila kadar TSH menurun dibawah normal sebagai akibat adanya
penekanan produksi TSH. Pada pasien dengan penyakit Grave yang mengalami
hipotiroid setelah pengobatan, pada umumnya membutuhkan dosis levotiroksin yang
lebih kecil. Hal ini mengingat masih ada sebagian jaringan tiroid yang otonom dan
menghasilkan hormon. Levotiroksin mempunyai masa paruh yang panjang (sampai 7
hari), sehingga apabila pasien lupa minum sekali, maka dosis yang seharusnya
diminum hari itu ditambahkan pada dosis hari berikutnya.

Efek klinis terapi levotiroksin tidak segera terlihat. Pasien baru merasakan
hilangnya gejala 3 - 6 bulan setelah kadar TSH mencapai kadar normal. Hal ini perlu
diberitahukan kepada pasien agar tidak menghentikan program pengobatan yang
memang memerlukan waktu yang panjang. Apabila kadar TSH telah dapat
dipertahankan dengan dosis levotiroksin tertentu, maka pemberian levotiroksin tetap
dipertahankan pada dosis tersebut. Selanjutnya pemeriksaan kadar TSH dapat
dilakukan setiap 1 - 2 tahun sekali.

Tatalaksana Hipotiroid SubKlinis

Pada pasien hipotiroid sub-klinis belum ada kesepakatan rekomendasi terapi


levotiroksin. Hipotiroid sub-klinis merupakan keadaan dimana pada pasien tidak
didapatkan gejala hipotiroid, kadar T4 bebas dalam batas normal namun kadar TSH
telah meningkat. Pada umumnya terapi levotiroksin belum diberikan apabila kadar
TSH masih < 10 mU/L. Terapi baru diberikan apabila peningkatan TSH berlangsung
lebih dari 3 bulan yang diketahui dari beberapa kali pemeriksaan kadar TSH.
Kecenderungan menjadi hipotiroid klinis pada kelompok ini semakin besar pada
pasien yang disertai dengan hasil TPO-Ab yang positif. Pemberian levotiroksin selalu
dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan secara bertahap. Pada pasien yang
tidak memerlukan terapi levotiroksin (TSH < I0 mU/L), pemeriksaan kadar TSH
perlu dilakukan setiap tahun.

Hipertiroid

Tiga pilihan untuk mengobati pasien dengan hipertiroidisme adalah obat antitiroid
(ATD), ablasi yodium radioaktif, dan pembedahan.

a. Terapi Obat Antitiroid

Obat-obatan ini (propil tiourasil atau metimazol) diberikan sampai


penyakitnya mengalami remisi spontan. Terapi dengan obat-obatan antitiroid
biasanya dimulai dengan dosis besar terbagi; bila pasien telah menjadi eutiroid
secara klinis, terapi rumatan dapat dicapai dengan suatu dosis tunggal yang
lebih kecil pada pagi hari. Suatu regimen umum terdiri dari propil tiourasil 100-
150 mg tiap 6 jam mula-mulanya dan kemudian dalam waktu 4-8 minggu
menurunkan dosis sampai 50-200 mg sekali atau dua kali sehari. Propiltiourasil
mempunyai, satu kelebihan dibanding metimazol yakni bahwa propil tiourasil
menghambat sebagian konversi T4 jadi T3, sehingga efektif dalam menurunkan
hormon tiroid aktif dengan cepat. Sebaliknya, metimazol mempunyai lama
kerja yang lebih panjang dan lebih berguna bila dinginkan terapi dengan dosis
tunggal.Suatu program tipikal akan dimulai dengan dosis 40 mg metimazol tiap
pagi selama 1-2 bulan; dosis ini kemudian diturunkan menjadi 5-20 tiap pagi
untuk terapi rumatan. Uji laboratorium yang paling bernilai dalam memantau
perjalanan terapi adalah FT4 serum dan TSH.

Metode alternatif lainnya menggunakan konsep penghambatan total


aktivitas tiroid. Pasien diobati dengan metimazol sampai eutiroid (sekitar 3-6
bulan), tapi selain dilanjutkan dengan penurunan dosis metimazol, pada saat ini
tevotiroksin ditambahkan dengan dosis sekitar 0,1 mg/hari. Kemudian pasien
terus mendapat kombinasi metimazol 10 mg/hari dan levotiroksin 0,1 mg/hari
untuk 12-24 bulan. Pada akhir dari waktu ini, atau ketika ukuran kelenjar
kembali normal, metimazol dihentikan dan levotiroksin dilanjutkan untuk
beberapa tahun. Dengan terapi ini, penurunan titer antibodi antitiroid sangat
hebat, dan remisi jangka panjang terjadi pada 60-80% pasien yang diobati.

b. Terapi Bedah

Tiroidektomi subtotal adalah terapi pilihan untuk pasienpasien dengan


kelenjar yang sangat besar atau goiter multinodular. Pasien dipersiapkan dengan
obat antitiroid sampai eutitoid (kira-kira 6 minggu). Sebagai tambahan, mulai 2
minggu sebelum hari operasi, pasien diberikan larutan jenuh kalium iodida, 5
tetes 2 kali sehari. Regimen ini secara empiris menunjukkan bahwa dapat
mengurangi vaskularitas kelenjar dan mempermudah operasi.

Tiroidektomi total biasanya tidak perlu kecuali bila pasien mempunyai


oftalmopati progresif yang berat . Sebaliknya, bila terlalu banyak jaringan tiroid
ditinggalkan, penyakitnya akan kambuh. Kebanyakan ahli bedah meninggalkan
2-3 gram jaringan tiroid pada masing-masing sisi leher. Walaupun beberapa
pasien tidak memerlukan tambahan tiroid setelah tiroidektomi untuk penyakit
Graves, kebanyakan pasien memerlukannya. Hipoparatiroidisme dan perlukaan
nervus laringeus rekuren terjadi sebagai komplikasi pembedahan pada kira-kira
1% kasus.

c. Terapi Iodine Radioaktif

Pada banyak pasien tanpa dasar penyakit jantung, iodin radioaktif dapat
segera diberikan dengan dosis 80-120 μCi/gram taksiran berat tiroid dengan
dasar pemeriksaan fisik dan scan rektilinear iodida I131. Dosis dikoreksi untuk
ambilan iodin sesuai rumus berikut :

Pada pasien dengan dasar penyakit jantung, tirotoksikosis berat atau kelenjar
yang besar (di atas 100 gram) biasanya diinginkan agar dicapai keadaan
eutiroid sebelum iodin radioaktif dimulai. Pasien-pasien ini diobati dengan
obat-obat antitiroid (seperti di atas) sampai mereka eutiroid; terapi kemudian
dihentikan selama 5-7 hari; kemudian ditentukan ambilan iodin radioaktif dan
juga dilakukan scan; dan suatu dosis 100-150 μCi/gram berat tiroid, dihitung
berdasarkan ambilan ini Suatu dosis yang sedikit lebih besar diperlukan pada
pasien-pasien yang sebelumnya diobati dengan obat-obat antitiroid. Setelah
pemberian iodin radioaktif, kelenjar akan mengkerut dan pasien biasanya akan
jadi eutiroid dalam waktu 6-12 minggu

Komplikasi utama terapi radioaktif adalah hipotiroidisme, yang


akhirnya terjadi pada 80% atau lebih pasien yang diobati secara adekuat. Hal ini
tidak perlu dianggap betul-betul sebagai komplikasi dan bahkan hal inilah yang
merupakan jaminan terbaik bahwa pasien tidak akan mengalami kekambuhan
hipertiroidisme.

d. Terapi Medikamentosa Lainnya

Selama fase akut tiroitoksikosis agen penghambat beta adrenergik sangat


membantu. Propranolol, 10-40 mg tiap 6 jam, akan mengendalikan takikardi,
hipertensi bersamaan dengan kembalinya kadar tiroksin serum menjadi normal.
Nutrisi yang mencukupi, termasuk suplemen multivitamin adalah sangat
penting. Barbiturat mempercepat metabolisme T4 dan fenobarbital bisa berguna
baik untuk khasiat sedasinya maupun untuk menurunkan kadar T4. Natrium
ipodat atau asam iopanoat telah terlihat menghambat sintesis hormon tiroid dan
juga pelepasannya seperti konversi perifer T4 menjadi T3. Jadi, pada dosis 1
gram sehari, obat ini dengan cepat mengembalikan keadaan eutiroid. Obat ini
akan membuat kelenjar tersaturasi denan iodida, jadi harus digunakan sebelum
terapi 131I atau obat antitiroid dengan propiltiourasil atau metimazol. Pada
pasien dengan goiter nodular toksika dan reaksi alergi berat terhadap obat-obat
antitiroid, natrium ipodat dan penghambat beta dapat digunakan secara efektif
dalam persiapan untuk operasi.

3.9. Komplikasi
Komplikasi Hipotiroid
a. Koma Miksedema

Koma miksedema adalah stadium akhirdari hipotiroidisme yang tidak


diobati. Ditandai oleh kelemahan progresif, stupor, hipotermia, hipoventilasi,
hipoglisemia, hiponatremia, intoksikasi air, syok dan meninggal. Walaupun
jarang, ini dapat terjadi lebih sering dalam masa mendatang, dihubungkan
dengan peningkatan penggunaan radioiodin untuk terapi penyakit Graves,
dengan akibat hipotiroidisme permanen. Karena ini paling sering pada pasien-
pasien tua dengan adanya dasar penyakit paru dan pembuluh darah,
mortalitasnya sangat tinggi.

Patofisiologi koma miksedema menyangkut 3 aspek utama : (1) retensi


CO2 dan hipoksia; (2) ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; dan (3)
hipotermia. Retensi CO2 telah lama dikenal sebagai bagian internal dari koma
miksedema dan dianggap diakibatkan oleh faktor-faktor seperti : obesitas,
kegagalan jantung, ileus, imobilisasi, pneumonia, efusi pleural atau peritoneal,
depresi sistem saraf pusat dan otot-otot dada yang lemah cukup turut berperan.

Kelainan-kelainan lain yang dapat mendorong terjadinya koma miksedema


termasuk gagal jantung, edema paru, efusi pleural atau peritoneal, ileus,
kelebihan pemberian cairan, atau pemberian pemberian obat-obat sedatif atau
narkotik pada pasien dengan hipotiroidisme berat.

b. Penyakit Neuropsikiatrik

Hipotiroidisme sering disertai depresi, yang mungkin cukup parah. Lebih


jarang lagi, pasien dapat mengalami kebingungan, paranoid, atau bahkan
maniak ("myxedema madness"). Skrining perawatan psikiatrik dengan FT4 dan
TSH adalah cara efisien untuk menemukan pasien-pasien ini, yang mana
seringkali memberikan respons terhadap terapi tunggal levotiroksin atau
dikombinasi dengan obat-obat psikofarmakologik. Efektivitas terapi pada
pasien hipotiroid yang terganggu meningkatkan hipotesis bahwa penambahan
T3 atau T4 pada regimen psikoterapeutik untuk pasien depresi, mungkin
membantu pasien tanpa memperlihatkan penyakit tiroid. Penelitian lebih jauh
harus dilakukan untuk menegakkan konsep ini sebagai terapi standar.
Komplikasi Hipertiroid

Krisis Tirotoksikosis ("thyroid strom") adalah eksaserbasi akut semua


gejala tirotoksikosis, sering terjadi sebagai suatu sindroma yang demikian berat
sehingga dapat menyebabkan kematian. Kadang-kadang krisis tiroid dapat ringan
dan nampak hanya sebagai reaksi febris yang tidak bisa dijelaskan setelah operasi
tiroid pada pasien yang persiapannya tidak adekuat. Lebih sering, terjadi dalam
bentuk yang lebih berat, setelah operasi, terapi iodin radioaktif atau partus pada
pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terkontrol adekuat atau selama penyakit
atau kelainan stres yang berat, seperti diabetes yang tidak terkontrol, trauma,
infeksi akut, reaksi obat yang berat, atau infark miokard. Manifestasi klinis krisis
tiroid adalah hipermetabolisme yang menonjol dan respons adrenergik berlebihan.
Febris dari 38 sampai 41°C (10-106°F) dan dihubungkan dengan muka
kemerahan dan keringat banyak. Terdapat takikardi berat sering dengan fibrilasi
atrium, tekanan nadi tinggi dan kadang-kadang gagal jantung. Gejala susunan
saraf pusat termasuk agitasi berat, gelisah, delirium, dan koma. Gejala
gastrointestinal termasuk nausea, muntah, diare dan ikterus. Akibat fatal ada
hubungannya dengan gagal jantung dan syok.

3.10. Pencegahan
3.11. Prognosis
Prognosis Hipotiroid
Pada suatu waktu angka mortalitas koma miksedema mencapai kira-kira
80%. Prognosis telah sangat membaik dengan diketahuinya pentingnya respirasi
yang dibantu secara mekanis dan penggunaan levotiroksin intravena. Pada saat
ini, hasilnya mungkin tergantung pada seberapa baiknya masalah penyakit dasar
dapat dikelola.

Prognosis Hipertiroid
Secara umum, perjalanan penyakit Graves adalah ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama kecuali kalau kelenjar dirusak dengan
pembedahan atau iodin radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid
untuk jangka waktu lama setelah terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan
hipotiroidisme. Jadi, follow-up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua
pasien dengan penyakit Graves.

DAFTAR PUSTAKA
1) Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta :
EGC
2) Mescher, Anthony L. 2009. Histologi Dasar Junqueira Edisi 12. Jakarta : EGC.
3) Putz, Med & Pabst, Med. 1995. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20.
Jakarta : EGC.
4) Doubleday, Amanda & Sippel, Rebecca S. 2020. Hyperthyroidims. Madison :
NCBI. Online.
[Available : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7082267/]
5) Anwar, Ruswana. 2005. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Bandung :
Subbagian Fertilitas Dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri Dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD. Online.
[Tersedia : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/05/fungsi_dan_kelainan_kelenjar.pdf]
6) Darmayanti, Ni Luh A; Setiawan, Budhi; Maliawa, Sri. 2012. Endemik Goiter.
Badung : E-Jurnal Medika Udayana. Online.
[Tersedia : https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/4265]
7) Rudijanto, Achmad. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid II.
Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai