NPM : 1102019228
PBL B-11
Kelenjar tiroid memiliki suplai darah yang sangat kaya dan diperkirakan
enam kali lebih banyak vaskular daripada ginjal dan relatif tiga sampai empat kali
lebih banyak vaskular daripada otak. Ini menerima darah dari arteri tiroid superior
dan inferior. Pembuluh darah berpasangan ini mensuplai aspek superior dan
inferior kelenjar. Arteri tiroid superior adalah cabang pertama dari arteri karotis
eksterna karena muncul di dekat tingkat tanduk superior kartilago tiroid. Arteri
tiroid superior kemudian bergerak ke anterior, inferior, dan menuju garis tengah di
belakang otot sternotiroid ke kutub superior lobus kelenjar tiroid. Dari titik ini,
cabang arteri tiroid superior. Satu titik percabangan mengalir ke bawah aspek
dorsal kelenjar tiroid. Cabang superfisial lainnya berjalan di sepanjang otot
sternotiroid dan otot tirohyoid, memasok cabang ke otot-otot ini serta sternohyoid.
Cabang superfisial berlanjut ke bawah untuk selanjutnya mengeluarkan cabang
krikotiroid dan mensuplai isthmus, sisi dalam lobus lateral, dan jika ada, lobus
piramidal. Arteri tiroid inferior bercabang dari trunkus thyrocervical pada batas
dalam otot skalenus anterior dan maju ke medial ke kelenjar tiroid. Arteri
mencapai permukaan posterior lobus lateral kelenjar tiroid pada tingkat
persimpangan dua pertiga atas dan sepertiga bawah batas luar. (Allen E &
Fingeret A, 2021)
Kelenjar tiroid dilapisi oleh suatu capsula fibrosa dan dari capsula ini, septa
terjulur ke dalam parenkim, dan membaginya menjadi lobulus dan membawa
pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe. Folikel terkemas rapat, yang terpisah
satu sama lain hanya oleh sebaran jaringan ikat retikular.
Epitel folikel dapat berupa epitel selapis gepeng, kuboid, atau kolumnar rendah,
bergantung pada ke-adaan aktivitas kelenjar tiroid.
Jadi dalam keadaan aktif, kelenjar memiliki lebih banyak folikel yang terdiri atas
epitel kolumnar rendah; sedangkan pada keadaan hipoaktif adalah sel folikular
skuamosa.
Sel C ini juga biasanya agak lebih besar daripada sel folikel dan terpulas lebih
lemah.
Sel-sel ini menyintesis dan menyekresi kalsitonin, yarrg salah satu fungsinya
menekan resorpsi tulang oleh osteoklas.
Sumber : Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Ed 11 Hal 399
Sel C dapat menjadi bagian dari epitel folikel atau dijumpai tersendiri atau
berkelompok di luar folikel.
Sumber : Kenhub
Campuran baku untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium,
keduanya harus diserap dari darah oleh sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh sehingga bukan suatu zat esensial
dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid
harus diperoleh dari makanan. lodium (I) dalam makanan direduksi menjadi
iodida (I-) sebelum diserap oleh usus halus.
Sebagian besar langkah pembentukan hormon tiroid berlangsung di
molekul tiroglobulin di dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri diproduksi oleh
kompleks Golgi-retikulum endo plasma sel folikel tiroid. Asam amino tirosin
masuk ke dalam molekul tiroglobulin yang jauh lebih besar sewaktu tiroglobulin
sedang diproduksi. Setelah terbentuk, tiroglobulin yang sudah mengandung
tirosin diekspor dalam vesikel dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses
eksositosis.
Ket : Antara dua molekul MIT tidak terjadi penggabungan. Semua produk ini
tetap melekat ke tirogobulin melalui ikatan peptida. Hormon tiroid tetap
tersimpan dalam bentuk ini di koloid hingga terurai dan diskresikan. Jumlah
hormon tiroid yang tersimpan normalnya dapat memenuhi kebutuhan tubuh untuk
beberapa bulan.
Langkah 7 : Pada proses sekresi hormon tiroid, sel folikel "menggigit putus"
sepotong koloid, menguraikan molekul tiroglobulin menjadi bagian-bagiannya,
dan "meludahkan" T3 dan T4 yang telah dibebaskan ke dalam darah. Pada
stimulasi yang sesuai untuk sekresi hormon tiroid, sel-sel folikel
menginternalisasi sebagian kompleks tiroglobulin-hormon dengan memfagosit
sepotong koloid.
Langkah 8 : Di dalam sel, butir-butir koloid yang terbungkus membran menyatu
dengan lisosom, yang enzimenzimnya memisahkan hormon-hormon tiroid yang
aktif secara biologis, T3 dan T4, serta MIT dan DIT yang inaktif secara
biologis, T3 dan T4, serta MIT dan DIT yang inaktif.
Langkah 9a : Hormon tiroid, karena sangat lipofilik, mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Langkah 9b : MIT dan DIT tidak memiliki fungsi endokrin. Sel-sel folikel
mengandung suatu enzim, iodinase, yang secara cepat mengeluarkan iodida dari
MIT dan DIT sehingga iodida yang telah bebas ini dapat didaur-ulang untuk
membentuk lebih banyak hormon.
Ket : Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan iodida hanya dari MIT
dan DIT, bukan dari T3 atau T4.
Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8 Halaman 724
Semua sel di tubuh terpengaruh langsung atau tak langsung oleh hormon
tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori yang
saling tumpang-tindih.
b. Efek Simpatomimetik
Hipertiroid adalah peningkatan kadar hormon tiroid bebas secara berlebihan yang
beredar dalam sirkulasi peredaran darah tubuh akibat hiperaktivitas kelenjar tiroid
yang ditandai dengan peningkatan kadar free Thyroxine fT4, Thyroxine (T4), free
Triiodothyronine (fT3) atau Triiodothyronine (T3) dan penurunan Thyroid
Stimulating Hormone (TSH).
3.2. Etiologi
Hipotiroid
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai (1) primer (kegagalan tiroid), (2)
sekunder (terhadap kekurangan TSH hipofisis), atau (3) tersier (berhubungan dengan
defisiensi TRH hipotalamus)-atau mungkin karena (4) resistensi perifer terhadap kerja
hormon tiroid. Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai goiter dan non-goiter,
tapi klasifikasi ini mungkin tidak memuaskan, karena tiroiditis Hasimoto dapat
menimbulkan hipotiroidisme dengan atau tanpa goiter.
Hipertiroid
3.4. Klasifikasi
a. Berdasarkan Fisiologisnya
Eutiroidisme : Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar
tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah
normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.
Hipotiroidisme : Hipotiroisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari
defisiensi hormon tiroid, yang kemudian mengakibatkan perlambatan proses
metabolik.
Hipertiroidisme : Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan.Keadaan ini dapat timbul spontan
atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan, tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar.
b. Berdasarkan Klinisnya
Goiter Toksik : Goite rtoksik dapat dibedakan atas dua yaitu goiter
diffusa toksik dan goiter nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih
mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana goiterdiffusa toksik
akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba
satu atau lebih benjolan (goiter multinoduler toksik). Goiterdiffusa toksik
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme
lainnya.
Goiter Non-Toxic : Goiternon toksik sama halnya dengan goiter toksik yang
dibagi menjadi goiter diffusa non toksik dan goiter nodusa non toksik. Goiternon
toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Goiterini disebut
sebagai simple goiter, goiterendemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut goiter nodusa. Goiternodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut goiternodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita
datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun
sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Patofisiologi Hipertiroid
Pada Penyakit Graves : Dalam kasus penyakit Graves, penyebab utamanya
adalah autoimun, khususnya produksi imunoglobulin perangsang tiroid yang
mengikat reseptor TSH dan meniru efek TSH. Penyakit Graves muncul dengan 2
tanda ekstra-tiroid yang biasanya tidak terlihat pada bentuk hipertiroidisme
lainnya. Oftalmopati penyakit Graves ditandai dengan edema jaringan retro-
orbital, sehingga menyebabkan penonjolan anterior bola mata. Myxedema
pretibial adalah penebalan seperti plak pada kulit anterior tibia karena infiltrasi
glikosaminoglikan di dermis.
Goiter Multinodular Toksik : Goiter multinodular toksik muncul dengan
nodul tiroid yang teraba. Ini adalah penyebab utama hipertiroidisme, terutama
pada populasi yang lebih tua. Gondok multinodular toksik menyebabkan produksi
hormon tiroid berlebih dari jaringan ektopik otonom, sehingga menyebabkan
tirotoksikosis klinis.
Adenoma Tiroid : Berbeda dengan gondok multinodular toksik, yang dapat
muncul dengan beberapa nodul, adenoma tiroid biasanya muncul dengan nodul
papiler soliter yang berpotensi menyebabkan hipertiroidisme. Adenoma tiroid
hiperfungsi dapat dibedakan dari karsinoma tiroid dengan presentasi klinisnya.
Produksi hormon tiroid oleh karsinoma tiroid tidak mencukupi dan tidak dapat
mencapai kadar hormon tiroid yang cukup untuk menyebabkan hipertiroidisme
yang nyata. Akibatnya, adenoma tiroid umumnya jinak.
Hipertiroidisme akibat Tiroiditis : Hipertiroidisme sekunder akibat tiroiditis
menyebabkan peningkatan sementara hormon tiroid yang bersirkulasi akibat
gangguan mekanis folikel tiroid. Tiroiditis subakut (De Quervain thyroiditis)
biasanya mengikuti infeksi akut, misalnya, infeksi saluran pernapasan atas. Ini
adalah proses inflamasi granulomatosa, menghasilkan kelenjar tiroid yang sangat
lembut. Tiroiditis tanpa rasa sakit adalah bentuk hipertiroidisme, biasanya terlihat
pada tahap postpartum. Ini adalah tiroiditis limfositik, dan dapat dibedakan dari
rekan subakutnya dengan riwayat klinis dan palpasi kelenjar tiroid (yang tidak
nyeri tekan pada tiroiditis tanpa nyeri tetapi nyeri pada tiroiditis subakut).
Hipertiroidisme yang diinduksi Yodium : Hipertiroidisme yang diinduksi
yodium biasanya iatrogenik, akibat pemberian obat yang mengandung yodium
seperti media kontras atau amiodaron. Seperti disebutkan sebelumnya,
pengorganisasian residu iodida menjadi molekul prekursor hormon tiroid relatif
mengatur diri sendiri. Iodida yang bersirkulasi berlebihan menghambat
pengorganisasian, suatu proses yang dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff.
Namun, para profesional percaya bahwa pada pasien dengan hipertiroidisme yang
diinduksi yodium, area fungsi otonom memungkinkan sekresi hormon tiroid yang
berlebihan dengan adanya kadar iodida yang tinggi.
Gejala yang dapat timbul pada otot antara lain timbulnya rasa nyeri dan
kekakuan otot yang semakin memberat bila suhu udara menjadi dingin. Perlambatan
kontraksi dan relaksasi otot berpengaruh pada gerak ekstremitas dan refleks tendon.
Masa otot mungkin akan berkurang, namun dapat terjadi pembesaran otot akibat
adanya edema jaringan.
Hipertiroid
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah capai, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksik pada mata ,
dan takikardia ringan umumnya terjadi pada umumnya terjadi. Kelemahan otot
dan berkurangnya masa otot dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat
berdiri dari kursi tanpa bantuan. (Anwar R, 2005)
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Darah
Tes darah untuk menentukan kadar hormon adalah hal yang sangat
penting diagnosa. Dua macam tes, yaitu pengukuran kadar TSH dan T4
(terutama T4) adalah pemeriksaan khusus dan digunakan untuk diagnosis
hipotiroidisme. Hipotiroidisme primer didefinisikan oleh konsentrasi TSH di
atas rentang referensi (paling umum digunakan 0,4-4,5 mlU/L) dan konsentrasi
tiroksin bebas di bawah rentang referensi ( normal : 0,7 - 1,9 ng/dL)
hipotiroid berat ditandai dengan status hormon tiroid yang rendah, tetapi
konsentrasi TSH umumnya dalam kisaran normal, meskipun dapat meningkat
sementara.
d. Ultrasonography
Hipertiroid
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik antara lain palpitasi, Pembesaran kelenjar tiroid, tanda-
tanda tirotoksik pada mata, oftalmopati, dan takikardia ringan umumnya terjadi.
c. Pemeriksaan Lab
TSH adalah tes biokimia lini pertama yang paling sensitif dan spesifik
untuk memeriksa fungsi tiroid. Jika kadar TSH rendah (paling umum
digunakan 0,4-4,5 mlU/L), maka diukur juga indeks T4 bebas dan konsentrasi
T3 bebas untuk membedakan antara hipertiroidisme subklinis dan
hypertiroidisme nyata. Hipertiroidisme nyata akan menunjukkan kadar TSH
rendah dan T3/T4 tinggi sedangkan hipertiroidisme subklinis akan
menunjukkan TSH rendah dengan kadar T3/T4 normal. ( normal : 0,7 - 1,9
ng/dL)
Diagnosis banding dapat dibuat berdasarkan temuan fisik kelenjar tiroid. Palpasi
kelenjar tiroid normal dalam konteks hipertiroidisme dapat disebabkan oleh penyakit
Graves, tiroiditis tanpa rasa sakit, atau hipertiroidisme buatan (tirotoksikosis factitia).
Penyakit Graves juga dapat muncul sebagai tiroid yang tidak nyeri tekan dan
membesar.
Palpasi tiroid yang nyeri dan membesar mungkin menunjukkan tiroiditis De Quervain
(tiroiditis subakut). Palpasi nodul tiroid tunggal kemungkinan adenoma tiroid, dan
palpasi beberapa nodul tiroid sangat menunjukkan gondok multinodular toksik.
3.8. Tatalaksana
Tatalaksana Hipotiroid Klinis
Pendekatan penatalaksanaan hipotiroid dapat dilakukan dengan melihat
manifestasi klinis pada penderita.
Pada pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata dan disertai dengan
penurunan T4 bebas dan kenaikan TSH (hipotiroid klinis) memerlukan terapi
levotiroksin (T4). Pada umumnya dosis yang diperlukan sebesar 1.6 μg/kbBB/hari
(total: 100-150 μg/hari). Pada pasien dewasa <60 tahun tanpa disertai penyakit
jantung dan pembuluh darah, pemberian levotiroksin dimulai dengan dosis rendah
(50 μg/hari). Kadar TSH diukur 2 bulan dihitung dari mulai awal terapi. Peningkatan
dosis levotiroksin dilakukan secara perlahan apabila kadar TSH belum mencapai
batas normal. Penambahan sebesar 12.5 - 25 μg/hari dilakukan setiap 2 bulan (sesuai
dengan pemeriksaan kadar TSH). Penurunan dosis sebesar 12.5 - 25 μg/hari juga
dilakukan apabila kadar TSH menurun dibawah normal sebagai akibat adanya
penekanan produksi TSH. Pada pasien dengan penyakit Grave yang mengalami
hipotiroid setelah pengobatan, pada umumnya membutuhkan dosis levotiroksin yang
lebih kecil. Hal ini mengingat masih ada sebagian jaringan tiroid yang otonom dan
menghasilkan hormon. Levotiroksin mempunyai masa paruh yang panjang (sampai 7
hari), sehingga apabila pasien lupa minum sekali, maka dosis yang seharusnya
diminum hari itu ditambahkan pada dosis hari berikutnya.
Efek klinis terapi levotiroksin tidak segera terlihat. Pasien baru merasakan
hilangnya gejala 3 - 6 bulan setelah kadar TSH mencapai kadar normal. Hal ini perlu
diberitahukan kepada pasien agar tidak menghentikan program pengobatan yang
memang memerlukan waktu yang panjang. Apabila kadar TSH telah dapat
dipertahankan dengan dosis levotiroksin tertentu, maka pemberian levotiroksin tetap
dipertahankan pada dosis tersebut. Selanjutnya pemeriksaan kadar TSH dapat
dilakukan setiap 1 - 2 tahun sekali.
Hipertiroid
Tiga pilihan untuk mengobati pasien dengan hipertiroidisme adalah obat antitiroid
(ATD), ablasi yodium radioaktif, dan pembedahan.
b. Terapi Bedah
Pada banyak pasien tanpa dasar penyakit jantung, iodin radioaktif dapat
segera diberikan dengan dosis 80-120 μCi/gram taksiran berat tiroid dengan
dasar pemeriksaan fisik dan scan rektilinear iodida I131. Dosis dikoreksi untuk
ambilan iodin sesuai rumus berikut :
Pada pasien dengan dasar penyakit jantung, tirotoksikosis berat atau kelenjar
yang besar (di atas 100 gram) biasanya diinginkan agar dicapai keadaan
eutiroid sebelum iodin radioaktif dimulai. Pasien-pasien ini diobati dengan
obat-obat antitiroid (seperti di atas) sampai mereka eutiroid; terapi kemudian
dihentikan selama 5-7 hari; kemudian ditentukan ambilan iodin radioaktif dan
juga dilakukan scan; dan suatu dosis 100-150 μCi/gram berat tiroid, dihitung
berdasarkan ambilan ini Suatu dosis yang sedikit lebih besar diperlukan pada
pasien-pasien yang sebelumnya diobati dengan obat-obat antitiroid. Setelah
pemberian iodin radioaktif, kelenjar akan mengkerut dan pasien biasanya akan
jadi eutiroid dalam waktu 6-12 minggu
3.9. Komplikasi
Komplikasi Hipotiroid
a. Koma Miksedema
b. Penyakit Neuropsikiatrik
3.10. Pencegahan
3.11. Prognosis
Prognosis Hipotiroid
Pada suatu waktu angka mortalitas koma miksedema mencapai kira-kira
80%. Prognosis telah sangat membaik dengan diketahuinya pentingnya respirasi
yang dibantu secara mekanis dan penggunaan levotiroksin intravena. Pada saat
ini, hasilnya mungkin tergantung pada seberapa baiknya masalah penyakit dasar
dapat dikelola.
Prognosis Hipertiroid
Secara umum, perjalanan penyakit Graves adalah ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama kecuali kalau kelenjar dirusak dengan
pembedahan atau iodin radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid
untuk jangka waktu lama setelah terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan
hipotiroidisme. Jadi, follow-up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua
pasien dengan penyakit Graves.
DAFTAR PUSTAKA
1) Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta :
EGC
2) Mescher, Anthony L. 2009. Histologi Dasar Junqueira Edisi 12. Jakarta : EGC.
3) Putz, Med & Pabst, Med. 1995. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 20.
Jakarta : EGC.
4) Doubleday, Amanda & Sippel, Rebecca S. 2020. Hyperthyroidims. Madison :
NCBI. Online.
[Available : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7082267/]
5) Anwar, Ruswana. 2005. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Bandung :
Subbagian Fertilitas Dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri Dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD. Online.
[Tersedia : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/05/fungsi_dan_kelainan_kelenjar.pdf]
6) Darmayanti, Ni Luh A; Setiawan, Budhi; Maliawa, Sri. 2012. Endemik Goiter.
Badung : E-Jurnal Medika Udayana. Online.
[Tersedia : https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/4265]
7) Rudijanto, Achmad. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid II.
Jakarta : Interna Publishing.