Anda di halaman 1dari 30

APOPTOSIS

PENDAHULUAN
Memahami apoptosis dalam kondisi penyakit sangat penting, karena hal itu bukan
saja memberikan pengertian tentang patogenesis penyakit tetapi juga memberikan
kemungkinan untuk mengembangkan cara pengobatan. Pada kanker terjadi ketidak
seimbangan antara pembelahan sel dengan kematian sel dan sel yang seharusnya mati tidak
memperoleh sinyal untuk mati. Masalahnya dapat terjadi di sepanjang jalur tahapan
apoptosis. Apoptosis merupakan pedang bermata ganda, yaitu apoptosis dapat merupakan
penyebab masalah tetapi juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah, khususnya pada
kanker yang metode pengobatannya diarahkan untuk menghasilkan apoptosis. Karena itu
apoptosis memegang peranan penting baik pada karsinogenesis maupun pengobatan kanker.1,2
Ada berbagai bukti yang menyatakan bahwa apoptosis, seperti halnya karsinogenesis,
berhubungan dengan berbagai gen yang mengatur perkembangan sel, dan bahwa kelainan
pada aktivitas proliferasi sel juga berkaitan erat dengan kontrol apoptosis, sehingga ada
dugaan, bahkan ada bukti-bukti, bahwa pada kanker terjadi kelainan pada berbagai gen yang
terlibat dalam apoptosis yang berakibat disregulasi proses apoptosis. 3,4,5,6 Apoptosis yang juga
dikenal sebagai programmed cell death, terjadi normal selama proses perkembangan dan
penuaan sebagai mekanisme homeostatik untuk memelihara populasi sel dalam jaringan.
Apoptosis juga terjadi sebagai mekanisme pertahanan, misalnya reaksi imun atau apabila sel
rusak akibat penyakit atau gen perusak. Walaupun ada berbagai jenis rangsangan dan
keadaan, baik fisiologik maupun patologik, tidak semua sel harus mati sebagai respon
terhadap rangsangan yang sama. Iradiasi atau obat yang digunakan untuk terapi kanker
menyebabkan kerusakan DNA dalam sel yang dapat berakibat apoptosis melalui jalur p53.
Beberapa jenis hormon seperti kortikosteroid dapat menyebabkan apoptosis pada beberapa
jenis sel (misalnya thymocyte) walaupun jenis sel lain tidak terkena dampak atau bahkan
terstimulasi. Pada beberapa kasus, jenis dan derajat stimulus menentukan apakah sel akan
mati melalui apoptosis atau nekrosis. Pada dosis rendah, berbagai jenis stimulus seperti suhu
tinggi, radiasi, hipoksia dan obat sitotoksik anti-kanker dapat menginduksi apoptosis, tetapi
1

stimulus yang sama dengan dosis tinggi dapat berakibat nekrosis.7 Apoptosis perlu dibedakan
dari jenis kematian sel yang lain yaitu nekrosis dan autofagi. Nekrosis adalah kematian sel
tidak terkontrol yang diinduksi oleh kehilangan ATP atau gangguan pompa membran
mitokondria, walaupun nekrosis juga dapat diinduksi oleh apoptosis (nekrosis sekunder). Ada
bukti-bukti bahwa TNF-R yang merupakan salah satu death-receptor untuk apoptosis juga
dapat memediasi nekrosis, demikian pula bahwa TRAF2 dan FADD (Fas-associated death
domain dalam jalur apoptosis) dapat bertindak sebagai mediator untuk produksi ROS pada
nekrosis.4 Autofagi merupakan mekanisme degradatif yang terutama memperantarai siklus
ulang (recycling) dan turnover berbagai konstituen dalam sel eukariotik. Autofagi diaktivasi
sebagai respon terhadap starvasi nutrient, rangsangan diferensiasi dan perkembangan. Ia
merupakan proses adaptif yang merespon stres metabolik yang berakibat degradasi proteinprotein intrasel dan organel.8 Mekanisme kematian sel bergantung pada tingkat kerusakan
DNA akibat paparan terhadap berbagai konsentrasi obat anti-kanker. Sel-sel yang resisten
terhadap apoptosis dan jalur transduksi yang menghambat apoptosis dapat menginduksi
mekanisme kematian sel non-apoptotik. Karena itu jenis kematian sel non-apoptotik ini juga
perlu mendapat perhatian dalam menentukan strategi pengobatan kanker.4 Apoptosis
dikoordinasi dan sering merupakan proses bergantung-energi (energy-dependent) yang
melibatkan aktivasi keluarga cysteine-protease yang disebut caspase melalui kaskade
kompleks yang menghubungkan stimulasi awal dengan akhir kehidupan sel.5,7 Akhir-akhir ini
juga terbukti bahwa selain cysteine-protease (caspase), golongan non-caspase-protease yaitu
serine-protease juga berperan dalam apoptosis9, namun besar kemungkinan bahwa noncaspase-protease ini tidak bertindak sebagai eksekutor apoptosis melainkan mengamplifikasi
dan mempercepat terjadinya apoptosis.10
Homeostasis jaringan tidak hanya bergantung pada pertumbuhan dan proliferasi sel
tetapi juga pada keseimbangan antara sel yang hidup dan sel yang mati. Dengan demikian
pertumbuhan tumor juga bergantung pada peningkatan fraksi sel-sel yang membelah diri dan
fraksi sel-sel yang mengalami kematian sel terprogram atau yang dikenal dengan istilah
apoptosis. Tumor dengan fraksi kematian sel yang tinggi kelihatan tumbuh lambat walaupun
fraksi pertumbuhannya tinggi.11 Apoptosis adalah suatu proses fisiologis yang dikendalikan
dengan kontrol genetik yang ketat, berlangsung melalui proteolisis, kondensasi dan
fragmentasi DNA disusul dengan pengerutan sel. Secara biokimiawi terjadi aktivasi berbagai
endonuklease dan protease, DNA dipecah menjadi fragmen-fragmen dengan panjang
berbeda. Proses ini berakhir dengan dimakannya sel-sel tersebut oleh sel-sel yang berada di
2

sekitarnya, misalnya makrofag, tanpa merangsang respon inflamasi. Tidak terjadinya


inflamasi pada proses apoptosis disebabkan:12,13 1) sel apoptotik tidak melepaskan isi sel ke
jaringan sekitarnya; 2) sel yang mengalami apoptosis dengan cepat difagositosis oleh
makrofag untuk menghindari nekrosis sekunder, dan 3) sel yang menelan apoptotic body
tidak menghasilkan sitokin pro-inflamasi.
Seperti disebut di atas apoptosis merupakan proses penting baik dalam perkembangan
jaringan normal maupun homeostatis jaringan pada orang dewasa. Sejak lama juga diketahui
bahwa apoptosis merupakan bagian integral dari fungsi sel imun, khususnya untuk
menyingkirkan sel-sel T autoreaktif untuk mencegah berlanjutnya penyakit autoimmune, atau
untuk menyingkirkan sel-sel limfosit T yang terinfeksi HIV, baik di darah tepi maupun dalam
kelenjar getah bening. Kematian sel terprogram juga merupakan proses penting dalam
berbagai stadium perkembangan sel B, yaitu apabila terdapat klon sel B autoreaktif
IgM+/IgD-. Di dalam pusat germinal juga terjadi proses apoptosis yang tinggi untuk
menyingkirkan sel-sel yang tidak diperlukan dan menseleksi sel-sel yang mempunyai afinitas
tinggi terhadap antigen.11
Dalam kaitannya dengan pengendalian tumorigenesis, apoptosis merupakan
mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, agar
sel-sel dengan lesi DNA tersebut tidak dilipat gandakan, sehingga dalam hal ini apoptosis
berfungsi sebagai salah satu kontrol checkpoint dalam siklus sel. Kegagalan sel-sel tumor
untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari
pertumbuhan tumor yang makin lama makin besar, instabilitas genetik sel-sel bersangkutan
dan resistensi terhadap kemoterapi.4,11 Defek mekanisme apoptosis dapat meningkatkan
ketahanan hidup sel, menambah kemungkinan ekspansi sel ganas tanpa bergantung pada
pembelahan sel. Akibat defek mekanisme apoptosis yang lain adalah memperbesar
kemungkinan terjadinya keganasan selain akibat instabilitas genetik dan akumulasi kelainan
genetik, juga akibat ketidak taatan terhadap aturan yang ditentukan pada checkpoint siklus sel
untuk menginduksi apoptosis.14
Banyak studi yang dilakukan untuk mengungkap peranan apoptosis pada survival dan
hasil pengobatan kanker2,5, maupun studi tentang berbagai jalur pensinyalan yang mengatur
mekanisme apoptosis dalam rangka mengembangkan terapi target pada berbagai jenis
kanker.15,16,17,18,19

PERUBAHAN MORFOLOGI DAN BIOKIMIAWI


Perubahan morfologi pada apoptosis yang menyangkut baik nukleus maupun
sitoplasma sama pada berbagai jenis sel dan berbagai spesies. Biasanya diperlukan beberapa
jam mulai dari inisiasi hingga kematian sel hingga akhirnya terjadi fragmentasi sel, namun
waktu yang diperlukan berbeda-beda, bergantung jenis sel, stimulus dan jalur apoptosis. Ciri
morfologi sel yang mengalami apoptosis adalah kondensasi kromatin dan fragmentasi
nukleus disertai perubahan bentuk sel menjadi bundar, piknosis dan retraksi pseudopodes.
Kondensasi kromatin mulai di perifer membran nukleus, membentuk struktur seperti cincin,
kemudian kromatin terus memadat hingga pecah dalam sel dengan membran utuh; gambaran
ini disebut karioreksis. Membran plasma tetap utuh selama seluruh proses. Pada stadium
akhir apoptosis tampak beberapa gambaran morfologi seperti blebbing membran, modifikasi
struktur organel sitoplasma dan hilangnya integritas membran. Biasanya sel fagosit menelan
sel apoptotik sebelum terbentuk apoptotic bodies.62
Secara garis besar ada 3 jenis perubahan biokimiawi pada apoptotis, yaitu: 1) aktivasi
caspases; 2) pemecahan DNA dan protein; 3) perubahan membran dan pengenalan oleh sel
fagosit. Pada awal apoptosis, diekspresikan phosphatidylserine (PS) pada lapis luar membran
sel yang menjorok dari lapis dalam membran. Hal ini berakibat sel itu dikenal oleh makrofag,
selanjutnya ditelan oleh fagosit tanpa disertai pelepasan komponen seluler yang proinflamatorik. Hal ini diikuti oleh penghancuran DNA menjadi potongan-potongan sebesar 50300 kilobasa. Kemudian terjadi pemecahan DNA internukleosom oleh enzim endonuklease
menjadi oligonukleosom yang besarnya 180-200 pasang basa. Perubahan lain yang spesifik
untuk apoptosis adalah aktivasi caspases yang menghancurkan bayak protein vital dan
sitoskleton. Caspase juga mengaktifkan DNAse yang memecah DNA lebih lanjut.62

MEKANISME APOPTOSIS
Mekanisme terjadinya apoptosis sangat kompleks dan canggih, melibatkan suatu
kaskade aktivasi berbagai molekul bergantung energi (energy-dependent). Caspases adalah
molekul-molekul utama dalam mekanisme apoptosis karena molekul-molekul itu merupakan
inisiator maupun eksekutor apoptosis. Ada 2 jalur, melalui mana caspases dapat diaktivasi,
4

yaitu jalur ekstrinsik atau jalur reseptor kematian (death receptor pathway) dan jalur intrinsik
atau jalur mitokhondria. Kedua jalur menuju ke arah jalur bersama (common pathway) yang
merupakan jalur eksekutor apoptosis. Ada bukti-bukti bahwa jalur ekstrinsik dan intrinsik
terhubung satu sama lain dan bahwa molekul di jalur yang satu dapat mempengaruhi molekul
di jalur yang lain.1 Selain itu ada jalur tambahan yang melibatkan sitotoksisitas yang
dimediasi oleh sel T dan pembunuhan sel yang bergantung pada perforin/granzim (gambar
1)7, namun jalur ekstrinsik dan intrinsik yang paling berperan dalam bidang onkologi.

Gambar 1. Tiga jalur apoptosis yaitu jalur ekstrinsik (death-receptor pathway), jalur intrinsik
yang juga disebut jalur mitokhondria dan jalur perforin/granzim.7

Jalur Ekstrinsik
Jalur ekstrinsik yang mengawali apoptosis melibatkan interaksi yang dimediasi oleh
reseptor transmembran, mencakup antara lain reseptor kematian (death-receptor) keluarga
TNF. Reseptor dari keluarga ini memiliki domain ekstrasel yang kaya akan cystein dan
memiliki domain sitoplasmik yang disebut death-domain yang berperan penting dalam
meneruskan sinyal kematian dari permukaan sel ke jalur pensinyalan intrasel. Saat ini telah
diketahui ada beberapa jenis ligand untuk masing-masing reseptor yang karakteristik dan
5

fungsinya sudah jelas, yaitu Fas/FasR, TNF/TNFR, Apo3L/DR3, Apo2L/DR4 dan


Apo2L/DR5.1,7 Tabel 1 memperlihatkan protein-protein dari jalur ekstrinsik.
Tabel 1: Protein-protein jalur ekstrinsik, singkatan dan nomenklatur alternatif.7

Urutan peristiwa yang terjadi pada jalur ekstrinsik dimulai dengan pengikatan ligand,
misalnya FasL dengan FasR, disusul dengan rekrutmen protein-protein adaptor sitoplasmik
yang merupakan death domain yang berikatan dengan reseptor tersebut. Dalam hal jalur
FasL/FasR, death domain-nya adalah FADD (Fas associated death domain), sedangkan pada
jalur TNF/TNFR adapter protein yang terikat adalah TRADD (TNF receptor associated
death domain). FADD dan TRADD kemudian berikatan dengan pro-caspase-8 melalui
dimerisasi domain efektor kematian (death effector domain). Pada saat ini terbentuklah death
inducing signaling complex (DISC) yang menyebabkan aktivasi autokatalitik pro-caspase-8.
Setelah caspase-8 diaktivasi, terjadi stimulasi fase eksekusi. Apoptosis yang dimediasi oleh
reseptor kematian dapat dihambat oleh protein yang disebut c-FLIP yang mengikat FADD
dan caspase-8 sehingga keduanya menjadi tidak efektif.7 Pengetahuan tentang adanya jalur
apoptosis melalui ligand/reseptor kematian ini telah merangsang pengembangan obat anti-

kanker dengan sasaran reseptor kematian, misalnya obat-obat dengan sasaran Fas, DR4, DR5,
dengan hasil yang menjanjikan.20

Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik yang mengawali apoptosis melibatkan sejumlah besar stimulus yang
tidak dimediasi reseptor (non-receptor-mediated), yang menghasilkan sinyal intraseluler yang
langsung beraksi dengan sasaran intrasel dan berkaitan erat dengan mitochondria. Stimulus
yang mengawali jalur intrinsik menghasilkan sinyal intrasel yang dapat berupa sinyal negatif
atau sinyal positif. Sinyal negatif terjadi pada kondisi ketiadaan faktor pertumbuhan, sitokin
atau hormon tertentu yang menyebabkan kegagalan supresi program kematian, sehingga
berakibat kematian, sedangkan sinyal positif di antaranya dihasilkan oleh radiasi, toksin,
hipoksia, hipertermia, infeksi virus atau radikal bebas. Semua stimulus ini menyebabkan
perubahan pada pori membran mitokhondria sehingga menjadi permeable dan dilepaskannya
2 kelompok protein pro-apoptotik ke dalam sitosol. Tabel 2 memperlihatkan sebagian dari
protein-protein jalur instrinsik, singkatan dan nomenklatur alternatif.
Kelompok pertama terdiri atas cytochrome-c, Smac/DIABLO (second mitochondria
derived activator of caspase/Direct IAP Binding protein with Low pI), dan serine protease
HtrA2/Omi. Protein-protein ini mengaktivasi jalur mitokhondria yang bergantung pada
caspase. Cytochrome-c mengikat Apaf-1 dan pro-caspase-9 dan membentuk apoptosom.
Smac/DIABLO dan HtrA2/Omi mempromosikan apoptosis dengan cara menghambat IAP
(inhibitor of apoptosis protein). Kelompok kedua adalah AIF, endonuklease G dan CAD,
yang dilepaskan pada saat sel akan mengalami (committed) apoptosis. Pengontrolan dan
pengaturan proses dalam jalur mitokhondria dilakukan melalui keluarga protein BCL2.7
Tabel 2: Protein-protein jalur intrinsik, singkatan dan nomenklatur alternatif.

Jalur Bersama
Jalur bersama (common pathway) yang merupakan fase eksekusi dari apoptosis
melibatkan sejumlah caspases. Caspase arah hulu dari jalur intrinsik adalah caspase-9
sedangkan untuk jalur ekstrinsik adalah caspase-8. Jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik
keduanya menuju ke arah caspase-3. Caspase-3 kemudian merombak inhibitor caspaseactivated deoxyribonuclease yang bertanggungjawab atas terjadinya apoptosis nukleus.
Disamping itu, caspase arah hilir menginduksi perombakan protein kinase, protein
sitoskeletal, protein DNA repair dan subunit inhibitor keluarga endonuklease. Molekulmolekul itu juga memberi dampak pada sitoskeleton, siklus sel dan jalur pensinyalan selular,
yang secara bersama berkontribusi pada perubahan morfologi pada apoptosis.1

FASE APOPTOSIS DAN MOLEKUL-MOLEKUL YANG TERLIBAT


Proses apoptosis dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: fase inisiasi atau induksi
heterogen yang bergantung pada stimulus, fase efektor atau komitmen pada saat mana
diambil keputusan untuk bunuh diri, dan fase degradasi atau eksekusi dimana sel-sel
bersangkutan memperlihatkan gambaran biokimia dan morfologi apoptosis. Selama fase
induksi atau inisiasi yang heterogen, sel penerima stimulus yang menginduksi kematian,
kehilangan faktor-faktor yang menunjang ketahanan hidup, kekurangan suplai untuk
metabolisme dan terjadi pengikatan reseptor yang meneruskan sinyal kematian, misalnya
pengikatan Fas/FasL, TNF/RNFR dan lain-lain. Reaksi kimia yang berperan dalam fase
induksi ini sangat heterogen bergantung pada beberapa lethal stimulus yang diterimanya.
Pada fase berikutnya, yaitu fase efektor, proses inisiasi dilanjutkan dengan reaksi metabolik
dengan pola yang lebih teratur, dan sel mengambil keputusan atau komitmen untuk bunuh
diri. Pada fase selanjutnya, yaitu fase degradasi atau fase eksekusi, terjadi peningkatan
berbagai aktivitas, termasuk peningkatan aktivasi enzim-enzim katabolik dan produksi
reactive oxygen species (ROS). Pada fase ini perubahan morfologi dan biokimiawi sel,

diantaranya fragmentasi DNA, degradasi berbagai jenis protein dan lain-lain menjadi lebih
jelas. Semua sel mengalami apoptosis menurut pola tertentu dan mengandung inhibitor
sintesis protein cycloheximide, yang menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengekspresikan
semua komponen protein yang diperlukan untuk meng-eksekusi kematian sel. 21 Gambar 2
memperlihatkan salah satu model pengaturan apoptosis.
Apoptosis dapat diinduksi oleh kerusakan subnekrosis atau melalui sinyal yang
diterima oleh reseptor pada permukaan sel. Proses induksi apoptosis yang terjadi selanjutnya
dalam fase ini bergantung pada stimulus, sehingga jalur ini merupakan jalur privat dan
heterogen. Integrasi berbagai jalur privat ke dalam jalur umum yang berlaku bagi semua jalur
apoptosis dan tidak bergantung pada apa yang menginduksinya, berlangsung melalui transisi
permeabilitas mitokhondria (PT). Onkoprotein BCL2 mengatur induksi PT dan sebagai
respon terhadap induksi PT, mitokhondria melepaskan apoptosis inducing factor (AFP) yang
memberikan sinyal apoptosis pada nukleus. Disamping itu, PT mengakibatkan pelepasan
reactive oxygen species (ROS) dan ekspresi phosphatidyl serine (PS) pada permukaan sel
dalam waktu singkat. PT diduga berhubungan dengan aktivasi protease spesifik dan
pelepasan ROS, perubahan sitoplasma dan apoptosis nukleus mungkin merupakan peristiwa
yang tidak bergantung satu sama lain dan bukan merupakan sebab akibat satu dari yang
lain.7,22

Gambar 2. Model pengaturan apoptosis.


9

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN PADA FASE INISIASI


Berbagai stimulus dapat mengawali fase inisiasi melalui aktivasi berbagai reseptor
transmembran. Contoh khas dari stimulus ini adalah pengikatan Fas (CD95) yang merupakan
protein homotrimerik dengan FasL, TNF dengan TNFR dan beberapa yang lain. Pada
pengikatan Fas/FasL terjadi oligomerasi dari reseptor yang mengakibatkan bagian intraseluler
dari CD95 menggumpal dan dikenal dengan sebutan death domain. Protein lain yang
kemudian di-rekrut dari sitoplasma dan berfungsi juga sebagai death domain adalah FADD
(Fas associated death domain). FADD merupakan molekul adaptor yang berperan me-rekrut
cascapase. Untuk mempermudah proses ini molekul FADD mengandung molekul pengikat
yang disebut DED (death effector domain) yang juga dimiliki oleh procascase-8, sehingga
keduanya dapat saling berikatan. (Gambar 3).7,11

Gambar 3. Salah satu jalur sinyal apoptosis melalui CD95 (Fas).14

10

Fas (DC95), suatu resepor pada permukaan sel yang berikatan dengan FasL (CD95L)
merupakan awal dari sinyal apoptosis. Pada gambar 3 tampak bahwa sekuen asam amino
yang merupakan unsur-unsur death domains, death effector domains, FAD dan
procaspase-8 saling berikatan untuk menginduksi fase efektor. Pengikatan CD95 pada FADD
terjadi akibat interaksi homotipik antara death domain kedua protein. Faktor-faktor lain
yang berperan pada inisiasi apoptosis adalah reseptor TNF (TNFR), CD27, CD30, CD40,
DR3, DR4, dan DR5. Seperti halnya molekul CD95, molekul TNFR1, DR3, DR4, dan DR5
juga memiliki death domain, walaupun masing-masing meneruskan sinyal apoptosis
melalui jalur yang tidak sama. Beberapa penelitian terakhir mengungkapkan bahwa pada saat
berlangsung sinyal apoptosis melalui Fas, yang pertama terbentuk adalah Fas-DISC (Fasdeath inducing signal). Salah satu komponen Fas-DISC adalah SADS (small accelarator for
death signaling) yang fungsinya meningkatkan interaksi antara FADD dengan procaspase-8.
Hambatan terhadap SADS memperlambat apoptosis.7,11,23,24
Apoptosis juga dapat berlangsung melalui reseptor sel T (TCR). Hal ini terjadi apabila
sel T mengenali antigen-diri (self antigen) dan merupakan suatu proses yang diperlukan
untuk menyingkirkan sel-sel T autoreaktif.5 Apoptosis ini disebut apoptosis yang diinduksi
aktivasi (activation induced apoptosis). Jalur apoptosis melalui TCR diperlihatkan secara
skematis pada gambar 4. Apoptosis yang diinduksi aktivasi ini juga terdiri atas fase induksi
yang dirangsang dengan pengikatan TCR, disusul oleh fase efektor dimana terjadi berbagai
reaksi biokimia untuk melangsungkan apoptosis.7

11

Gambar 4. Fase induksi dan fase efektor apoptosis melalui TCR.

Sinyal yang diberikan oleh TNF/TNFR mengatur interface antara fase induksi awal
yang mengatur ekspresi TNF/TNFR dengan fase efektor yang melibatkan aktivasi caspases.
ALG-3 dan NFAT merupakan regulator positif ekspresi FasL selama apoptosis dengan
perantaraan TCR/CD3, sedangkan RAR (retinoic acid receptor) menghambat proses ini.
TNFR tidak mengandung death domain tetapi menggunakan protein TRAF sebagai adaptor
sinyal untuk merekrut molekul-molekul transduksi seperti TRADD, cIAP dan TRIP. Fas
mengandung death domain pada bagian intrasitoplasmik dan berinteraksi dengan molekul
adaptor sinyal yang juga mengandung death domain (FADD) dan dengan demikian merekrut
molekul transduksi sinyal misalnya FLICE. ZAP-70 dan Lck merupakan enzim kinase yang
merupakan pengatur sinyal melalui TCR. Protein-protein yang berfungsi sebagai efektor
tampak pada bagian kanan gambar 4.

FAKTOR YANG BERPERAN PADA FASE EFEKTOR


Seperti telah disebut di atas, ada berbagai bukti bahwa pengendalian apoptosis
dihubungkan dengan gen yang mengatur siklus sel, termasuk diantaranya gen p53, Rb, myc
dan lain-lain. Di lain pihak berbagai jenis gen berfungsi sebagai penghambat apoptosis,
diantaranya keluarga BCL2 dan beberapa jenis onkogen virus yang dikenal memiliki potensi
untuk mengakibatkan transformasi sel menjadi ganas. Fungsi produk gen p53 dan Rb terkait
erat dengan peristiwa dalam siklus sel pada fase G1. Mekanisme kerja p53 sangat kompleks.
Ia dapat berikatan dengan berbagai jenis protein dan terlibat dalam mengatur ekspresi
berbagai gen. Dalam beberap tahun terakhir terungkap bahwa p53 dapat mengatur proliferasi
sel maupun apoptosis tergantung situasi dan latar belakang sel. Sel yang kehilangan p53 baik
karena mutasi, infeksi virus atau sebab lain, mengakibatkan sel kehilangan kemampuan
apoptosis yang diinduksi oleh kemoterapi, radiasi, kehilangan Rb, ekspresi c-myc dan

12

anoksia. Di lain pihak, p53 yang wild type dapat mengkompensasi kehilangan Rb1 sehingga
dengan demikian dapat mencegah terjadinya trasnformasi.21
Gen retinoblastoma (Rb) mencegah berlangsungnya siklus sel pada fase G1/S dengan
menghambat fungsi faktor transkripsi E2F dan dengan demikian menghambat fungsi berbagai
gen yang bekerja pada fase S, termasuk diantaranya myc, myb, dan DNA polimerasi .
Sebagian besar partner Rb1 dalam mengatur siklus sel adalah regulator transkripsi
seperti E2F yang telah disebut di atas, c-Abl dan Mdm2. Mdm2 merupakan salah satu faktor
yang menghambat apoptosis. Pada saat apoptosis Mdm2 mengalami degradasi oleh caspases.
Pada induksi apoptosis terjadi cleavage pada C-terminal molekul Rb oleh caspases sehingga
terjadi akumulasi Rb1. Fragmen Rb1 ini secara biologis tetap aktif karena domain
fungsional minimal Rb1 sebagai gen supresor terletak pada bagian ini, sehingga apoptosis
lebih banyak diasosiasikan dengan kehilangan seluruh rantai Rb1 dan tidak bergantung pada
akumulasi Rb1. Walaupun tetap aktif secara biologis, Rb1 kehilangan kemampuan untuk
mengikat Mdm2 yang mengakibatkan Mdm2 lebih peka terhadap degradasi oleh caspases.
Karena itu cleavage Rb1 dan Mdm2 oleh caspases secara bersama menyebabkan aktivasi
E2F-1 dan p53, yang diketahui merupakan pemicu apoptosis.18 Rb1 pada keadaan hilangnya
fungsi Rb, siklus sel tetap berlanjut ke fase S, tetapi gen p53 yang aktif akan menginduksi sel
tersebut untuk apoptosis. Gambar 5 memperlihatkan model peran p53, sedangkan pada
gambar 6 model peran Rb1 pada apoptosis.21

Gen p53 dan Retinoblastoma (Rb)

13

Gambar 5. Peran p53 pada apoptosis.21

Perombakan Rb1 di-katalisasi oleh upstream caspase(s) yang tidak memiliki


kemampuan untuk membunuh sel kemudian dirombak oleh caspase(s) yang mampu
membunuh sel (death effector caspases). Pada apoptosis yang diinduksi oleh Fas/FasL death
effector caspases diaktivasi melalui jalur yang tidak bergantung pada Rb1. Preservasi Rb1
melalui ekspresi Rb1 tidak berdampak pada apoptosis melalui jalur Fas/FasL, tetapi pada
induksi melalui TNF-R, upstream caspases diaktifkan untuk merombak Rb1, walaupun
mekanisme ini tidak cukup efisien untuk menghasilkan kematian sel. Degradasi selanjutnya
bersama-sama dengan perombakan Mdm2 mengakibatkan aktivasi E2F dan p53. Ekspresi
Rb1 mutant yang resisten terhadap perombakan oleh caspases melindungi E2F dan mencegah
degradasi Mdm2, sehingga aktivasi death effector caspases terhambat dan tidak terjadi
apoptosis. Dalam konteks ini Rb1 merupakan substrat penting bagi caspases.21

Gambar 6. Model peran Rb1 dalam pengaturan apoptosis.21


14

Gen myc
Onkogen myc juga banyak dipelajari peranannya dalam proliferasi sel maupun
apoptosis. Ekspresi c-myc dihubungkan dengan rangsangan mitogenik dan diperlukan untuk
pertumbuhan sel. Ekspresi myc diperlukan dan cukup untuk mengakibatkan sel dalam fas G0
masuk ke dalam siklus sel, tetapi pada sel yang terus berproliferasi ekspresi myc juga dapat
dijumpai pada fase G1. Walaupun c-myc berperan dalam proliferasi sel, ia sekaligus juga
dapat berperan dalam apoptosis.3 model peran gen yang bertentangan ini dijelaskan dengan
model sinyal ganda, dimana myc merangsan jalur proliferasi sekaligus jalur apoptosis. Dalam
model ini, sementara mitogen mengaktifkan jalur proliferasi, jalur apoptosis secara aktif
dihambat oleh faktor-faktor anti-apoptosis, misalnya oleh keluarga gen BCL2.14,16
Dalam fungsinya myc membentuk heterodimer dengan gen max. Kompleks
onkoprotein myc-max meningkatkan apoptosis bila sel kehilangan faktor pertumbuhan, atau
bila ada intervensi farmakologis.14,26 Dimerisasi myc-max diperlukan baik untuk proliferasi
maupun apoptosis. Walaupun demikan myc dan max masing-masing memodulasi jalur
apoptotik yang berbeda. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menyatakan
bahwa Bcl-xL menghambat apoptosis sel yang mengekspresikan max berlebihan tetapi tidak
pada sel-sel yang mengekspresikan c-myc berlebihan.14,27,28

Keluarga gen BCL2


Gen BCL2 sejak lama dikenal sebagai inhibitor apoptosis. 12,13 Gen BCL2 secara
spesifik menghambat kemampuan c-myc untuk menginduksi apoptosis tanpa mempengaruhi
sifat mitogenik gen bersangkutan. Walaupun gen BCL2 merupakan anti-apoptotik yang kuat,
ia tidak dapat menghambat semua bentuk apoptosis, salah satu contoh diantaranya adalah
apoptosis yang diinduksi oleh TNF yang tidak dapat dihambat oleh BCL2. Gen ini termasuk
keluarga gen yang anggota keluarganya makin lama makin bertambah; beberapa anggota
keluarga gen ini bersifat menghambat apoptosis (BCL2, BCL-x1, Mc11 dan lain-lain), tetapi
15

beberapa anggota keluarga yang lain ternyata bersifat memudahkan apoptosis (Bax, BCL-xs,
Bad, Bak, dan lain-lain). Gambar 7 memperlihatkan beberapa subtipe keluarga BCL2.

Gambar 7. Sub-tipe protein keluarga BCL2

Sebagian besar keluarga protein BCL2 mengandung rantai asam amino hidrofobik
pada sisi carboxy-terminal yang setelah di-translasi mengakibatkan mereka dapat menancap
pada membran biologis, khususnya membran mitokhondria, envelop nukleus dan bagian dari
retikulum endoplasmik.14,21 Ekspresi relatif anggota keluarga BCL2 yang pro-apoptotik dan
anti-apoptotik menunjukkan bahwa suatu sel dengan mudah mengalami apoptosis bila
dihadapkan pada stimulus yang tepat. Beberapa protein anggota keluarga BCL2 terdapat
secara luas dalam jaringan yang bervariasi sesuai fase proliferasi dan diferensiasi yang
seringkali unik untuk sel tertentu.14,21 Belum diketahui pasti bagaimana mekanisme BCL2
menghambat apoptosis, tetapi beberapa data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa BCL2 dan
anggota keluarga lainnya yang anti-apoptotik, melangsungkan sedikitnya 2 aktivitas yang
independen.
Protein-protein tersebut membentuk pori pada membran yang ditancapnya, dan
berinteraksi dengan berbagai jenis protein intraseluler lain yang secara langsung atau tidak
langsung terlibat dalam proses apoptosis (gambar 8). BCL2 dan BCL-xL demikian juga
dengan Bax/Bak diketahui dapat berinteraksi dengan berbagai protein yang bukan anggota

16

keluarganya (non-familial) (lihat gambar 9 dikutip dari Reed 14), misalnya protein CED-4,
Raf-1 (-kinase) dan fosfatase calcineurin (tabel 3).

Gambar 8. Fungsi BCL-2 (dimodifikasi dari Reed14)

Gambar 9. Interaksi antara BCL2/BCL-X dan Bax/Bak dengan berbagai protein.14

17

Interaksi ini menunjukkan bahwa salah satu peran BCL2 adalah memberikan tempat
bagi protein lain untuk berlabuh sehingga aktivitas seluler protein bersangkutan terhenti.
Peristiwa ini menyebabkan terperangkapnya protein-protein seperti CED-4 atau calcineurin
sehingga mereka tidak dapat berinteraksi dengan protein lain dalam sitosol. Peristiwa
berlabuhnya protein, misalnya Raf-1, pada BCL2 itu juga mengakibatkan protein tersebut
melekat pada membran dan berinteraksi dengan protein membran yang lain. Raf-1 yang
merupakan suatu enzim kinase, yang dalam keadaan normal terdapat dalam sitosol, berpindah
tempat (translokasi) ke membran, menjadi aktif kemudian menginduksi fosforilasi protein
pro-apoptotik Bad sehingga Bad menjadi inaktif. Homolog gen BCL2 yang bersifat antiapoptotik juga terdapat pada virus herpes yang menyebabkan kanker, termasuk diantaranya
virus Epstein Barr (EBV) dan virus sarkoma Kaposi (KSV).14
Tabel 3. Protein pengikat BCL2

Walaupun mitokhondria jelas berfungsi menginduksi apoptosis dengan berpartisipasi


dalam aktivasi caspase melalui pelepasan cytochrome-c, organel ini juga diketahui
merupakan mediator nekrosis. Dalam kaitan dengan hal ini, BCL2 juga diketahui memiliki
kemampuan untuk memodulasi peran mitokhondria pada nekrosis. Titik regulasinya terletak
pada kemampuan BCL2 dalam mengontrol permeabilitas membran luar mitokhondria dan
mengatur banyaknya cytochrome-c yang dilepaskan dan protein lain yang terlibat dalam
kematian sel non-apoptotik, seperti DNAse, endonuklease G. Alternatif lain adalah bahwa
18

BCL2 mengontrol checkpoint kematian di bagian hulu dari jalur aktivasi caspase, sehingga
memungkinkan mereka mengendalikan jalur apoptotik (bergantung-caspase) maupun nonapoptotik (tidak bergantung caspase).14

FAKTOR YANG BERPERAN PADA FASE DEGRADASI ATAU EKSEKUSI


Fase terakhir dari apoptosis adalah eksekusi yang terjadi melalui aktivitas enzim
caspases yang merupakan eksekutor utama dari apoptosis. 4,5,21 gambar 10 memperlihatkan
bahwa caspase merupakan pusat mekanisme apoptosis yang mempunyai fungsi katalitik
terhadap berbagai substrat. Caspases yang merupakan protease cysteine, selalu ada dalam
sitosol sel normal dalam bentuk proenzim rantai tunggal (pro-caspases). Proenzim diaktivasi
menjadi enzim proteases yang berfungsi penuh melalui suatu proses cleavage pertama pada
proses mana rantai tunggal proenzim itu menjadi beberapa sub-unit caspases berukuran besar
dan kecil, dan cleavage kedua untuk menghilangkan domain N-terminal.5,7,21

Gambar 10. Skema jalur apoptosis (Reed29)

19

Aktivasi caspase dapat terjadi melalui interaksi antar caspase satu dengan yang lain
melalui suatu kaskade aktivasi, tetapi dapat terjadi juga akibat diaktivasi oleh protease lain
misalnya granzyme B yang diintroduksikan ke dalam sel oleh limfosit sitotoksik dan
merangsang apoptosis melalui aktivasi caspase-3. Caspase dengan prodomain pendek yang
tidak memiliki kandungan protein interaksi (caspase 3,-6,-7) mungkin terutama diaktivasi
melalui protease lain, dan caspase ini disebut caspase down stream, efektor atau eksekutor.
Agregasi pro-caspase cukup untuk mengawali auto- atau transprocessing untuk menghasilkan
caspase yang aktif. Agregasi pro-caspase terjadi melalui pengikatan molekul adaptor pada
domain interaksi yang terdapat pada caspase, diantaranya yang merupakan death effector
domain (DEDs) dan caspases recruitment domain (CARDs).
Faktor lain yang berperan pada apoptosis adalah cytochrome-c. Pelepasan
cytochrome-c oleh mitokhondria tidak bergantung pada caspases, dan dampaknya tidak selalu
diasosiasikan dengan terjadinya pori pada membran mitokhondria. Atas rangsangan apoptosis
(pengikatan Fas atau TNFR), Bax yang merupakan faktor pro-apoptotik dari keluarga gen
BCL2 segera berpindah tempat dari sitoplasma ke mitokhondria dan secara langsung dapat
menginduksi pelepasan cytochrome-c melalui pori yang dibuatnya pada membran
mitokhondria. Apabila aktivasi caspase-8 melalui cara ini inefesien, ditempuh jalur lain yaitu
melalui Bid, faktor pro-apoptotik anggota keluarga BCL2 yang lain. Bid segera mengalami
cleavage dan fragmen C-terminalnya segera merangsang mitokhondria untuk melepaskan
cytochrome-c (gambar 11).22

20

Gambar 11. Interaksi antar-jalur apoptosis (Green22)

Pada gambar 11 tampak bahwa caspase-8 yang teraktivasi (misalnya karena


pengikatan Fas/FasL) memecah Bid, menghasilkan fragmen C-terminal yang kemudian
melekat pada mitokhondria dan menginduksi pelepasan cytochrome-c. Cytochrome-c
kemudian berfungsi mengaktifkan Apaf-1 (apoptosis protease activating factor) dan
pemrosesan caspases-9 yang selanjutnya mengaktifkan kaskade caspase yang lainya.
BCL2/BCLxL berfungsi menghambat pelepasan cytochrome-c dan dengan demikian
menghambat apoptosis.22
Disamping enzim katalitik caspases, faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam
proses apoptosis adalah berbagai substrat yang merupakan sasaran aksi katalitik caspases.
Tabel 4 menunjukkan berbagai protein yang dirombak oleh caspases pada proses apoptosis.21

Tabel 4. Protein-protein yang merupakan substrat sasaran caspases.18

21

Seperti tampak pada tabel 4, protein-protein sasaran caspase dikelompokkan dalam


protein yang menyusun struktur sel, protein yang meneruskan sinyal, protein dan enzim yang
terlibat dalam metabolisme DNA. Walaupun demikian, tidak semua protein-protein di atas
harus dirombak untuk proses apoptosis karena ada variasi diantara berbagai sel. Substrat yang
penting adalah substrat yang perombakannya diperlukan oleh upstream caspase untuk dapat
merombak downstream caspase (death effector caspase). Mutasi berbagai substrat pada
umumnya mengakibatkan substrat resisten terhadap aksi katalitik caspase sehingga dengan
demikian menghambat apoptosis.21

DISREGULASI APOPTOSS PADA KANKER


Malfungsi apoptosis berperan penting pada patogenesis kanker. Survival sel kanker
dapat diinduksi melalui inaktivasi sinyal pro-apoptotik atau aktivasi anti-apoptotik. Ada dua
cara utama yang dapat menekan apoptosis kanker, yaitu:1 1) Disrupsi keseimbangan antara
protein pro-apoptotik dan anti-apoptotik; 2) penurunan fungsi caspase; dan 3) gangguan
pensinyalan reseptor kematian. Gambar 12 memperlihatkan mekanisme yang berperan pada
gangguan apoptosis dan karsinogenis (dikutip dari Wong,1) yaitu terjadinya ketidak
seimbangan antara protein pro-apoptotik dengan anti-apoptotik, peningkatan ekspresi IAP,
penurunan ekspresi caspase, defek atau mutasi p53 dan gangguan pada jalur sinyal reseptor.
Seperti telah diuraikan di atas banyak sekali faktor yang berperan dalam proses
apotosis. Sudah diterima secara luas juga bahwa apoptosis merupakan salah satu cara untuk
menyingkirkan sel yang mengandung lesi DNA, sehingga dapat dicegah terjadinya
transformasi sel dan terjadinya kanker. Kelainan atau mutasi yang terjadi pada berbagai gen,
khususnya gen yang berperan meningkatkan apoptosis, memungkinkan terjadinya resistensi
terhadap proses apoptosis yang diperlukan untuk mencegah transformasi. Defek mekanisme
22

apoptosis berperan dalam menimbulkan kanker dengan cara menghasilkan lingkungan yang
memungkinkan terjadinya instabilitas genetik dan akumulasi kelainan gen yang
menyebabkan checkpoint siklus sel tidak taat lagi pada pengendalian siklus sel yang dalam
keadaan normal menginduksi terjadinya apoptosis, dan peningkatan ketahanan hidup sel.29

Gambar 12. Mekanisme yang berkontribusi pada disregulasi apoptosis dan karsinogenis
(dikutip dari Wong,1)

Mutasi somatik gen yang dihubungkan dengan apoptosis dapat mencakup berbagai
protein, di antaranya mutasi dalam keluarga caspase. Mutasi gen caspase-8 sering terjadi pada
berbagai jenis kanker, di antaranya kanker lambung, NSCLS, dan leukimia akut. Selain
mutasi, disfungsi caspase-8 juga dapat disebabkan hipermetilasi. Mutasi pada gen caspase
yang lain juga dapat terjadi, misalnya mutasi gen caspase-9 dan caspase-3. Seperti telah
23

disebut di atas, caspase-3 merupakan caspase-eksekutor, dan sering mengalami mutasi pada
berbagai jenis kanker termasuk kanker payudara.3 Pada kanker sering terjadi gangguan jalur
death receptor (DR). ekspresi DR pada kanker sering tertekan sebagai bagian dari respons
stress adaptif, misalnya gangguan transport reseptor dari tempat penyimpanan intrasel
(endoplasmic reticulum) ke permukaan sel, atau penurunan ekspresi DR akibat hipermetilasi
promoter gen sebagai respons terhadap sinyal stres.30,31
Selain mutasi pada caspase, resistensi terhadap apoptosis pada kanker dapat terjadi
melalui berbagai jalur. Beberapa jenis keganasan hematologik menunjukkan resistensi
terhadap stimulasi Fas/Fasl. Salah satu diantaranya adalah leukimia mielositik kronik (CML).
Diketahui bahwa pada sebagian besar CML terjadi fusi antara gen bcr dengan c-abl yang
menghasilkan protein abnormal BCR-ABL. Protein abnormal ini terbukti dapat
meningkatkan ketahanan hidup sel; salah satu caranya adalah melalui resistensi terhadapp
stimulasi apoptotik oleh Fas/FasL.32
Peran BCL2 dalam tumorigenesis, seperti telah diuraikan di atas adalah melalui: 1)
pencegahan dikeluarkannya cytochrome-c dari mitokhondria dan 2) gangguan aktivasi
caspases oleh cytochrome-c dan Apaf-1. Diduga bahwa ekspresi berlebihan BCL2 dan BCLxL dapat meningkatkan kedua proses di atas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
transformasi. Ekspresi berlebihan BCL2 dan BCL-xL dijumpai pada berbagai jenis kanker.
Ekspresi berlebihan gen ini dapat terjadi akibat translokasi t (14,18) seperti yang dijumpai
pada limfoma sel B. ekspresi berlebihan BCL2 juga dijumpai pada keganasan hematologik
lain seperti mieloma multipel, CLL, dan AML. Pada ketiga keganasan ini tidak dijumpai
kelainan struktural BCL2 seperti halnya pada limfoma, sehingga diduga ekspresi berlebihan
BCL2 pada keadaan ini disebabkan ketidak seimbangan faktor transkripsi atau akibat mutasi
gen BCL2 yang mengakibatkan stimulasi BCL2 berlebihan. Mutasi gen BCL2 yang sering
dijumpai adalah substitusi basa pada segmen penyandi (coding region) atau pada prolinerich loop yang mengatur fosforilasi. Hilangnya loop ini akibat mutasi mengakibatkan
fosforilasi BCL2 terganggu dan sel resisten terhadap rangsangan apoptosis.14 Protein berbagai
jenis virus memiliki sekuen yang homolog dengan BCL2 atau BCL-xL, misalnya p19-E1B
dari adenovirus, p30 dari Baculovirus dan BHFR-1 dari Virus Epstein Barr (EBV). Karena
virus-virus tersebut sering dihubungkan dengan kanker, diduga protein-protein tersebut
mempunyai fungsi yang sama dengan BCL2, yaitu antiapoptosis.33

24

Mutasi gen Rb1 yang menyebabkan gen tersebut resisten terhadap capcase dapat
mengakibatkan sel resisten terhadap apoptosis yang diinduksi melalui TNF- (lihat gambar
4), sedangkan defek pada SADS (small accelerator for death signaling) menyebabkan sel
resisten terhadap mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh Fas. Keadaan ini dijumpai pada
beberapa jenis kanker, di antaranya kanker kolon.21
Berbagai penelitian akhir akhir ini mengungkapkan bahwa beberapa jenis kanker
mempunyai mekanisme lain untuk melindungi dirinya terhadap apoptosis, yaitu dengan cara
mengaktivasi faktor transkripsi NFk-B. Seperti diketahui NFk-B biasanya berada dalam
status inaktif dalam sitoplasma dan sebagai respons terhadap sinyal fisiologik tertentu ia
dilepaskan dan translokasi ke nukleus di mana ia mengaktifkan sejumlah dalam fungsi proinflamasi dan angiogenesis, tetapi sebagian lagi berfungsi sebagai antagonis apoptosis,
termasuk di antarannya IAP-1, IAP-2, XIAP, TRAF-1 dan TRAF-2, yang memblok program
apoptosis jalur ekstrinsik dan intrinsik. Selain itu, mekanisme lain yang terungkap adalah
mekanisme melalui inaktivasi gen yang menyandi caspase-8 oleh ekspresi N-myc berlebihan
seperti yang diperlihatkan pada neuroblastoma dan supresi TNFR melalui metilasi promoter
gen yang menyandi TNFR.21 Tabel 5 memperlihatkan berbagai contoh anti-apoptotik yang
terjadi pada kanker.
Tabel 5. Contoh mekanisme anti-apoptotik yang terjadi pada kanker

25

PEMANFAATAN MEKANISME APOPTOSIS UNTUK TERAPI KANKER


Tujuan terapi kanker adalah membunuh sel kanker dan melindungi sel normal dari
akibat terapi. Salah satu upaya mengatasi masalah kanker adalah mengembalikan fungsi gen
yang terganggu, salah satu diantaranya adalah mengembalikan fungsi apoptosis atau
menginduksi apoptosis.15 Hingga saat ini kemoterapi maupun radiasi ditujukan untuk
membunuh sel kanker melalui apoptosis, tetapi seperti telah diuraikan di atas fungsi apoptosis
pada kanker seringkali terganggu, sehingga tidak jarang menyebabkan resistensi terhadap
terapi. Karena itu pengetahuan rinci tentang jalur apoptosis dapat membatu kita untuk
memberikan terapi yang lebih spesifik. Kehilangan fungsi gen p53 yang sering dijumpai pada
berbagai jenis kanker, misalnya dapat menjadi salah satu pemikiran untuk memberikan
substansi yang fungsinya mirip gen p53. Di masa mendatang ada kemungkinan bahwa terapi
lebih diarahkan untuk mengganti gen yang rusak melalui suicide gene therapy. Salah satu
model terapi semacam ini diperlihatkan pada gambar 13 (dimodifikasi dari Lal.34).
Suicide gene yang dimaksud adalah gen yang menyandi enzim yang tidak mempunyai
dampak bagi sel pejamu secara langsung, tetapi mampu mengubah prodrug yang tidak toksin
menjadi substansi toksik. Pemberian prodrug menyebabkan sel yang telah diberi suicide
gene memproduksi enzim tersebut dan selanjutnya sel akan mengalami apoptosis. Beberapa
jenis suicide gene telah ditemukan, di antaranya cytosine deaminase (CDA) yang
mengkatalisasi hidrolisis cytosine menjadi uracil. Kombinasi CDA-5FC juga telah digunakan
pada studi preklinik dan laboratorium untuk terapi kanker kolon dan fibrosarkoma. 34

26

Gambar 13. Urutan terapi, mulai dari inkorporasi suicide gene ke dalam gen pejamu,
aktivasi dengan prodrug yang sesuai dengan apoptosis.34
Salah satu upaya lain yang dikembangkan untuk terapi kanker yang didasarkan atas
mekanisme apoptosis, adalah terapi dengan jalur pensinyalan apoptosis sebagai sasaran.
Seperti telah diuraikan di atas keluarga BCL2 memegang peranan penting sebagi komponen
anti-apoptotik sehingga banyak upaya untuk menghambat jalur BCL2 dalam terapi kanker
dengan memberikan inhibitor protein ini, diantaranya yang sudah dikenal adalah BCL2antisense-oligonucleotide (oblimersen sodium).2 Preparat lain dengan sasaran jalur apoptosis
yang diketahui adalah molekul inhibitor yang didesain untuk mengikat BH3, atau
menginduksi oligomerisasi Bax atau Bak yang selanjutnya akan menyebabkan depolarisasi
membran mitokhondria sehingga cytochrome-c bisa keluar dari mitokhondria. 14 Sedangkan
yang lain adalah pengembangan obat penginduksi apoptosis berdasarkan akumulasi p53. 32
Beberapa target lain dalam jalur apoptosis yang digunakan untuk terapi kanker adalah sistem
TRAIL ligand/reseptor dan protein inhibitor apoptosis.2,19
Sejak lama diketahui bahwa hormon estrogen berperan menstimulasi pertumbuhan
dan menghambat apoptosis melalui mekanisme reseptor estrogen. Tetapi secara paradoksal
akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa deprivasi estrogen dalam jangka panjang (long term
estrogen deprivation, LTED) pada cell-line kanker payudara yang bergantung hormon
(hormone-dependent) MCF-7 berakibat sel-sel tersebut mengalami perubahan adaptif yang
paradoksal, dimana estradiol berbalik dari agen proliferatif menjadi agen penghambat
pertumbuhan dan penginduksi apoptosis. Sel-sel LTED juga menjadi lebih sensitif terhadap
estradiol dibanding MCF-7 wild-type. Peningkatan sensitifitas terhadap estradiol dikaitkan
dengan peningkatan ekspresi ER- dan MAPK, PI3K. sebaliknya mekanisme aapoptosis
27

estradiol pada sel-sel LTED diduga melibatkan jalur DR maupun jalur mitokhondria. Proses
molekuler spesifik yang terjadi adalah aktivasi jalur FasL/FasR, penglepasan cytochrome-c
dan perubahan BCL2 serta penekanan NF-kB. Dengan penemuan-penemuan ini dapat
dijelaskan mekanisme pemberian estrogen dosis tinggi pada kanker payudara yang sejak lama
digunakan pada pasien pasca-menopause, tetapi sekarang juga dimungkinkan untuk
mengembangkan obat anti-kanker payudara dengan estrogen dosis rendah yang
dikombinasikan dengan agen penginduksi apoptosis pada kanker payudara ER-negatif.36

RINGKASAN
Apoptosis merupakan bentuk kematian sel yang diperlukan, baik untuk perkembangan
sel normal maupun homeostosis jaringan. Peristiwa ini dikendalikan secara ketat oleh
berbagai gen, baik gen yang bersifat apoptotik maupun anti-apoptotik. Apoptosis terjadi
melalui 3 fase berturut-turut, yaitu fase inisiasi, fase efektor, dan fase eksekusi atau degradasi.
Kanker diketahui sebagai akibat mutasi genetik, diantaranya mutasi gen yang terlibat dalam
siklus sel dan mekanisme apoptosis. Pengetahuan mengenai mekanisme apoptosis pada
keadaan normal maupun pada kanker penting untuk menentukan respons penderita terhadap
terapi, bahkan di kemudian hari mungkin dapat digunakan sebagai landasan terapi gen yang
dikenal dengan suicine gene therapy.

28

RUJUKAN
1. Wong RSY. Apoptosis and cancer: from pathogenesis to treatment. J Ecp & Clin
Cancer Res 2011; 30: 87. Diunduh dari http://wwwjeccr.com/content/30/1/87
2. Fulda S. Targeting apoptosis signaling pathways for anticancer therapy. Frontiers in
Oncol 2011;1. Doi: 10.3389/fonc.2011.00023
3. Vogelstein B, Kinzler KW. Cancer genes and the pathways they control. Nat Med
2004; 10(8); 789-99
4. Kim R, Emi M, Tanabe K. The role of apoptosis in cancer cell survival and
therapeutic outcome. Cancer Biol Ther 2006; 5(11): 1429-42
5. Ghavani S, Hashemi M, Ande SR, Yeganeh B, Xiao W, Eshragi M, et al. apoptosis
and cancer; mutations within caspase genes. J Med Genes 2009; 46: 497-510
6. Cichorek M. mechanisms of tumor cells ability to avoid apoptosis. Dermatol Estet
2008; 10: 1 10
7. Elmore S. Apoptosis: A review of programmed cell death. Toxicol Pathol 2007;
35:495-516
8. Shintani T, Klionsky DJ. Autophagy in health and disease: a double-edged sword.
Science 2004; 306:990-95
9. Moffitt KL, Martin SL, Walker B. The emerging role of serine proteases in apoptosis.
Biochem Soc. Transact 2007; 35(3):559-60
10. Schroder K, Hual J, Jockel H, Oberle C, Bomer B. Non-caspase proteases: triggers or
amplifiers of Apoptosis? Cell Mol Life Sc 2010;67(10): 1607-18
11. Lockshin RA, Zakeri Z. Cell death in health and disease. J Cell Mol Med 2007;
11(6):12114-24
12. Savill J, Fadok V. Corpse clearence defines the meaning of cell death. Nature
2000;407: 784-88
13. Kurosaka K, Takahashi M, Watanabe N, Kobayashi Y. silent clean up of very early
apoptotic cells by macropages. J Immunol 2003; 171: 4672-79
14. Reed CJ. Bcl-2 family proteins and hematologic malignancies: history and future
prospects. Blood 2008; 111(7):3322-30
15. De Vries EGE, de Jong S. Exploiting the apoptotic route for cancer treatment; A
single hti will rarely result in a home run. J clin Oncol 2008; 26(32): 5151-53
29

16. Kang MH, Reynolds CP. Bcl-2 inhibitors: targeting mitochondrial apoptotic pathways
in cancer therapy. Clin Cancer Res 2009; 15(4): 1126-32
17. Pecina Slaus N. Wnt signal transduction pathway and apoptosis: A review. Cancer
Cell internl 2010; 10: 22. Diunduh dari http://www.cancerci.com/content/10/1/22
18. Rosen LS, Ashurst AL, Chap L. targeting signal transduction pathways in metastatic
breast cancer: a comprehensive review. The oncol 2010; 15: 216-35
19. Fulda S. targeting apoptosis signaling in pancreatic cancer. Cancers 2011; 3: 241-51
20. Duiker EW, Van Der Zee AGJ, de Graeff P, Boersman-van Ek W, Hollema H, de Bock
GH, et al. The extrinsic apoptosis pathway and its prognostic impact in ovarian
cancer. Gynecol Oncol 2010; 116: 549-55
21. Weinberg RA. P53 and apoptosis: master Guardian and executioner. Dalam the
biology of cancer. New York, Garland Sc 2007: 307-56
22. Green DR. apoptotic pathways; Road to ruin. Cell. 1998; 94: 695-98
23. Suzuki A, Obata S, Hayashiba M, et al. SADS: A new component of Fas-DISC is the
accelerator for cell death signaling and is downregulated in patiens with colon
carcinoma. Nature Med. 2001; 7: 88-93
24. Takahashi H. A SADS defect in tumor cells provide optimism. Nature Med 2001;
7:26-27
25. Evan GIAH, Gilbert CS, Littlewood TD, et al. induction of apooptosis in fibroblasts
by c-Myc protein,. Cell. 1992; 69:119-28
26. Amati A, Littlewood TD, Evan GI and Land H. The c-Myc protein induces cell cycle
progression and apoptosis through dimerization with Max. EMBO J 1993; 12: 508387
27. Amati B and Land H. Myc-Max-Mad: A transcription factor network controlling cel
cycle progression, differrentiation and death. Current Biol 1994; 4: 102-108
28. Nesbit CE, Fan S, Zhang H, and Prochownik EV. Distinct apoptotic responses
imparted by c-myc and max. Blood 1998; 92(3): 1003-10
29. Reed JC. Mechanism of apoptosis avoidance in cancer. Current opinion Oncol
1999;11:66-75
30. Fulda S, Evasion of apoptosis as a cellular stress response in cancer. Internl J Cell
Biol 2010. Diunduh dari http://www.apo-sys-eufaposys/publication2010-pdf
31. Los M, Stroh , Janicke RU, et al. Caspases: more than just killers. Trends in
Immunol. 2001; 22(1); 31-34
32. Selleri C, Maciejwksi JP, Pane F, et al. Fas mediated Modulation of BCR/ABL in
chronic myelogenous leukimia results in differential effects on apoptosis. Blood 1998;
92(3): 981-89
33. Oltvai ZN, Milliman CL, and Korsmeyer SJ. Bcl-2 heterodimerizes in vio with
conserved homolog, bag, that accelerates programmed cell death. Cell,: 1993; 74:
609-19
34. Lat S. lauer UM, Niethammer D, et al. suicide genes: past, present, and future
perspective. Immunol Today 2000; 21: 4853
35. Tai CJ, Hsu CH, Shen SC, Lee WR, Jiang MC. Cellular apoptosis susceptibility
(CSE1L/CAS) protein in cancermetastasis and chemotherapeutic drug-induced
apoptosis. J Ecp Clin Cancer 2010; 29: 110-. Diunduh dari
http://www.jeccr.com/content/29/1/110
36. Lewis-Wambi JS, Jordan VC. Estrogen regulation of apoptosis: How can one
hormone stimulate and inhibit: Breast Cancer Res 2009; 11:206. Diunduh dari
http://breast-cancr-research.com/content/11/3/206

30

Anda mungkin juga menyukai