Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“PUASA”

DISUSUN OLEH :
SILVIA AGUSFIANI PUTRI
201055201052

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS IBNU SINA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun.
Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul ‘Puasa’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam. Pada makalah diuraikan apa pengertian puasa, hukum puasa ramadhan, hukum
bagi orang yang tidak puasa dibulan ramadhan tanpa ada uzur, serta hukum bagi orang yang
belum menggantikan puasanya.
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum wr.wb
Batam, 19 Februari 2021

Silvia Agusfiani Putri


PENGERTIAN PUASA

Sedangkan arti Shaum menurut istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari
hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat oleh pelakunya sejak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari. Artinya, Puasa adalah menahan diri dari syahwat kemaluan, serta dari
segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya),
dalam rentang waktu tertentu dan dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat yaitu
beragama islam, berakal, dan tidak sedang dalam haid & nifas, disertai dengan niat yaitu
kehendak hati untuk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan.

Dasar keharusan niat berpuasa karena Allah, seperti dalam firman Allah SWT yang
artinya :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan juga agar melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah agama yang lurus (benar).

HUKUM PUASA RAMADHAN

Hukum puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal,
dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim ( tidak melakukan safar/perjalanan jauh).

Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang menunjukan bahwasannya puasa Ramadhan wajib :
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah [2] : 183).

Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam keadaan barambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau, “Beritahukan aku
mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “(Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa ramadhan. Jika engkau
menghendaki untuk melakukan puasa sunnah (maka lakukanlah).” (HR. Bukhari).
Dan kaum muslimin juga telah sepakat tentang wajibnya puasa ini dan sudah ma’lum
minnad dini bidhoruroh yaitu seseorang akan kafir jika mengingkari wajibnya hal ini. Puasa
ramadhan ini tidak gugur bagi orang yang telah dibebani syari’at kecuali apabila terdapat
‘udzur (halangan). Diantara ‘udzur sehingga mendapat keringanan dari agama ini untuk tidak
berpuasa adalah orang yang sedang bepergian jauh (safar), sedang sakit, orang yang sudah
berumur lanjut (tua renta) dan khusus bagi wanita apabila sedang dalam keadaan haid, nifas,
hamil atau menyusui.

HUKUM BAGI ORANG YANG TIDAK PUASA DIBULAN


RAMADHAN TANPA ADA UZUR.

Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam, tidak dibolehkan bagi seorang
muslim yang baligh, berakal, yang kena tanggung jawab syari’at meninggalkan puasa
Ramadhan tanpa udzur (alasan yang dibenarkan), seperti bepergian, sakit dan lain
sebagainya. Dan barang siapa yang meninggalkannya -meskipun hanya satu hari- tanpa
udzur, maka dia telah melakukan salah satu dosa besar dan dirinya terancam oleh kemurkaan
Allah dan siksa-Nya, dia wajib bertaubat dengan penuh kejujuran dan taubat nasuha, dia juga
wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya, menurut pendapat para ulama, bahkan sebagian
dari mereka menyatakan sebagai hasil dari ijma’.

Adapun orang yang dengan sengaja berbuka (tidak melaksanakan puasa) pada bulan
Ramadhan, dan dianggap termasuk yang dibolehkan, maka dia telah kafir, dan harus diminta
bertaubat, jika dia mau maka akan selamat, namun jika tidak maka konsekuensinya akan
dibunuh. Dan barang siapa yang dengan terang-terangan tidak berpuasa, maka seorang imam
akan menta’zirnya (hukuman sesuai dengan kebijakan hakim), dia pun diberi sanksi yang
dianggap mampu mencegahnya agar tidak bisa kembali lagi melakukannya atau yang serupa
dengannya.

Secara global, di antara pendapat para ulama adalah:

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah – rahimahullah- berkata:

“Jika seseorang tidak melaksanakan puasa Ramadhan karena menganggapnya halal, padahal
dia tahu akan keharaman meninggalkan puasa, maka wajib dinunuh. Dan jika dia seorang
yang fasik maka dia diberi sanksi karena tidak berpuasa tersebut sesuai dengan kebijakan
seorang imam (pemimpin). Namun jika memang dia belum tahu, maka perlu diajari”.
(Al Fatawa Al Kubro: 2/473)

Ibnu Hajar Al Haitsami – ramihahullah- berkata:

“Dosa besar yang ke 140 dan 141 adalah meninggalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan,
atau merusak puasanya dengan jima’ atau lainnya, tanpa ada udzur seperti karena sakit,
bepergian atau semacamnya”. (Az Zawajir: 1/323)

Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ berkata:

“Seorang mukallaf jika merusak puasanya di bulan Ramadhan maka termasuk dosa besar,
jika tanpa udzur yang syar’I”. (Fatawa Lajnah Daimah: 10/357)

Syeikh Ibnu Baaz berkata:

“Barang siapa yang meninggalkan puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa udzur yang
syar’i, maka dia telah melakukan kemungkaran yang besar, dan barang siapa yang bertaubat
maka Allah akan menerima taubatnya. Maka dia wajib bertaubat kepada Allah dengan penuh
kejujuran dan menyesali masa lalunya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan
banyak mengucapkan istigfar, dan segera mengqadha’ hari yang ditinggalkannya”.

Syeikh Ibnu Utsaimin – rahimahullah- pernah ditanya tentang orang yang membatalkan
puasa pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa ada udzur ?

Beliau menjawab:

“Membatalkan puasa di bulan Ramadhan pada siang hari tanpa ada alasan yang dibenarkan
termasuk dosa besar, dengan demikian maka orang tersebut dianggap fasik, dan diwajibkan
baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mengganti sejumlah hari yang ditinggalkannya”.
(Majmu’ Fatawa dan Rasa’il Ibnu Utsaimin: 19/89)

Imam An Nasa’i telah meriwayatkan dalam Al Kubro (3273) dari Abu Umamah berkata:

“Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

َ ‫ ) ث ُ َّم ا ْن‬:‫ َوفِي ِه قَا َل‬، َ‫ساقَ ْال َح ِديث‬


، ‫طلَقَا بِي فَإِذَا قَ ْو ٌم ُمعَلَّقُونَ بِعَ َراقِيبِ ِه ْم‬ َ ‫ي ( َو‬ َ ِ‫) بَ ْينَا أَنَا نَائِ ٌم إِذْ أَت َانِي َر ُج ََل ِن فَأ َ َخذَا ب‬
َّ َ‫ض ْبع‬
َ ‫ هَؤ ََُلءِ الَّذِينَ يُ ْفطِ ُرونَ قَ ْب َل تَحِ لَّ ِة‬: َ‫ َم ْن هَؤ ََُلءِ ؟ قَال‬: ُ‫ قُ ْلت‬،‫شدَاقُ ُه ْم تَسِي ُل أ َ ْشدَاقُ ُه ْم د َ ًما‬
‫ص ْومِ ِه ْم‬ ْ َ ‫شقَّقَةٌ أ‬
َ ‫ ) ُم‬.
“Pada saat kami tidur, ada dua orang laki-laki yang menghampiriku seraya membopong
saya”, lalu beliau melanjutkan ucapannya yang di antaranya: “Kemudian mereka berdua
membawaku, kemudian terlihat ada suatu kaum yang sedang digantung di tunggangan
mereka, pipi bagian bawahnya robek dan mengalirkan darah, saya berkata: “Siapa mereka ?”,
dia berkata: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum puasanya sempurna”.
(Dishahihkan oleh Albani Ash Shahihah: 3951 kemudian dia berkata setelahnya:

“Ini adalah balasan orang yang berpuasa kemudian ia membatalkannya dengan sengaja
sebelum masuk waktu berbuka.”

HUKUM BAGI ORANG YANG BELUM MENGGANTIKAN


PUASANYA

“Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Allah SWT tidak pernah membebani hamba-hambanya diluar kemampuan mereka.


Bahkan Allah SWT memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu untuk meninggalkan
puasa ramadhan, dengan syarat ia harus membayarnya di waktu lain. Namun, masih banyak
orang yang menunda-nunda membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan lagi.

Berikut ini penjelasan lengkap mengenai hukum belum membayar hutang puasa.

1. Mengqadha setelah ramadhan berikutnya

Ada beberapa orang yang tidak sempat membayar hutang puasanya dikarenakan udzur
tertentu, misalnya sakit parah selama setahun, hamil 9 bulan (tidak dalam masa ramadhan),
menyusui, lupa atau hal lain diluar kemampuan, maka ia berkewajiban mengqadha
(membayar hutang puasa) setelah ramadhan berikutnya. Imam ibnu Baz rahimahullah pernah
menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar hutang
puasanya:
“Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnyam
hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena
menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan
orang miskin sejumlah hari utang puasanya”.

2. Mengqadha tanpa membayar fidyah (Pendapat ulama hanafiyah)

Melakukan perbuatan menunda-nuda dan menyepelekan membayar hutang puasa sangat


diperbolehkan. Namun apabila hal ini sudah terlanjur dilakukan, ada beberapa hal yang harus
diperbuat:

 Bertaubat kepada Allah SWT dan berusaha tidak mengulangi perbuatan tersebut.
 Menqadha atau membayar hutang puasa setelah ramadhan berakhir. (baca: Hukum Puasa
Tanpa Shalat Tarawih)
 Membayar fidyah atau tidak (bergantung pada kepercayaan yang dianut).

Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa.
Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa mereka tidak wajib bayar fidyah. Melainkan cukup
mengqadha puasa. Imam al-Albani pun juga beranggapan sama. Menurut beliau tidak ada
sabda rasulullah Saw yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar
fidyah. Pendapat ini didasari oleh surat Al-Baqarah ayat 184:

“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
(QS. Al-aqarah: 184).

 Hal-Hal yang Membatalkan Puasa


 Shalat Tahajud di Bulan Ramadhan
 Menu Berbuka Puasa
 Tips Puasa Ramadhan Ala Rasulullah
 Manfaat Takjil
3. Mengqhada dan membayar fidyah (pendapat ulama hababilah, syafi’iyah dan
malikiyah)

Ulama dari golongan hababilah, syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa seseornag
yang belum membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan, maka wajib baginya untuk
membayar denda (kaffarah) berupa fidyah atau makanan pokok kepada kaum fakir-miskin.
Besar fidyah yang dibayarkan harus disesuaikan dengan jumlah hari ia tidak berpuasa.
Dimana sehari besarnya setara 1 mud atau 6 ons.

 Zakat dalam islam


 Penerima zakat dalam islam
 Syarat penerima zakat

4. Cukup membayar fidyah

Bagi orang-orang yang hutang puasanya terlampau banyak dikarenakan ia terkena udzur,
misalnya hamil atau menyusui selama bulan puasa atau orang berusia lanjut yang lemah,
maka menurut ulama mereka diperbolehkan membayar fidyah saja. Tidak perlu mengqadha.
Pendapat ini mengacu pada hadist yang berbunyi:

“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan
memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Ketentuan dan Tata Cara Membayar Fidyah


Membayar fidyah untuk orang-orang yang tidak membayar hutang puasa harus
disesuaikan dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Fidyah ini bisa berupa makanan pokok,
seperti nasi, gandum atau lainnya. Fidyah diberikan kepada kaum fakir miskin yang
membutuhkan. Untuk ketentuan besaran fidyah, ada perbedaan pendapat diantara para ulama:

 Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan mayoritas ulama: Fidyah yang harus
dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram atau seukuran telapak
tangan yang ditengadahkan saat berdoa)
 Ulama Hanafiyah: Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’
gandum. (Jika 1 sha’ sekitar 2,5 atau 3 kg. Maka setengah sha’ berarti sekitar 1,5 kg)
Fidyah tidak boleh diganti dengan pemberian uang. Menurut para ulama, fidyah harus
berupa makanan pokok.

Sesuai dengan ayat Al-Quran yang berbunyi: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

Sedangkan tata cara pembayaran fidyah ada dua metode yang diperbolehkan ulama.
Pertama membayar secara sekaligus, maksudnya semisal hutangnya 10 hari maka dibayarkan
kepada 10 fakir miskin. Atau boleh juga 1 orang diberikan 10 fidyah dengan selama 10 hari
berturut-turut. Untuk waktu pembayaran fidyah, yakni terhitung setelah puasanya bolong.
Misal ia luput 5 hari, maka ia boleh membayar sejak bulan ramadhan, syawal hingga sya’ban.
PENUTUP

Demikianlah makalah yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan
para pembaca. Saya selaku penulis makalah ini memohon maaf apabila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang sekiranya mungkin kurang jelas, dimengerti, dan
lugas. Karena saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan saya juga
sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima dihati dan saya ucapkan terima kasih
sebesar-besarnya.

Anda mungkin juga menyukai