Di saat bulan Ramadhan telah usai, ada sebuah harapan yang tentu menjadi keinginan
setiap hamba yang telah menjalani bulan ramadhan dengan penuh kesungguhan
dalam beribadah, yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah -Azza Wajalla-, sehingga
terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar.
Sebab, jika dosa tidak juga terampuni, sungguh merupakan sebuah kerugian yang
besar. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:
"Sungguh merugi seseorang yang mendapati bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya
sebelum ia diampuni (dosa-dosanya)." (HR.Tirmidzi dari Abu Hurairah -Radhiallahu
Anhu-)
Setelah kita memasuki bulan Syawal, termasuk di antara amalan sunnah yang
dianjurkan oleh Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- kepada umatnya adalah
berpuasa 6 hari di bulan tersebut.
Puasa enam hari di bulan syawal merupakan salah satu ibadah yang disunnahkan
dalam syariat Islam, dimana dia merupakan pelengkap yang mengikuti puasa
ramadhan. Dan puasa ini juga sebagai pembuktian apakah kita mendapatkan jenjang
ketakwaan yang menjadi target dari puasa ramadhan ataukah tidak. Dimana di antara
ciri wali-wali Allah -yang tidak lain adalah orang-orang yang bertakwa- adalah
mengerjakan semua amalan yang sunnah setelah mengerjakan semua amalan yang
wajib. Karenanya hendaknya seorang muslim mengamalkan puasa sunnah ini setelah
dia mengamalkan puasa wajib ramadhan.
Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits Abu Ayyub Al-Anshari:
ِ ِ ِ
ْ ضا َن مُثَّ أَتْ بَ َعهم ستَّا م ْن َش َّو ٍال َكا َن َكصيَ ِام الد
َّه ِر َ ص َام َرَم
َ َم ْن
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutkan kepadanya enam
hari dari syawal maka itu nilainya seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
Hal itu karena satu kebaikan bernilai 10 kali lipat, sehingga puasa 30 hari ramadhan
bernilai 300 hari puasa, dan 6 hari syawal bernilai 60 hari puasa sehingga totalnya 360
hari yang sama dengan setahun. Hal ini diutarakan oleh Imam Ash-Shan’ani dalam
As-Subul (4/157). Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam riwayat lain adanya
tambahan lafazh:
"Allah menjadikan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan, satu bulan sama
dengan sepuluh bulan, dan (berpuasa) enam hari setelah berbuka adalah
penyempurna setahun."
(HR.Ibnu Majah, Ad-Darimi, At-Thahawi, dan yang lainnya. lafazh hadits ini
berdasarkan riwayat At-Thahawi. lihat kitab Irwa Al-Ghalil,karya Al-Albani: 4, hadits
nomor:950)
Berkata Ibnu Qudamah Rahimahullah: "berpuasa enam hari di bulan Syawal
merupakan amalan yang disukai menurut pendapat mayoritas para ulama."
(al-mughni:4/438)
Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa
berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama
terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-
alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti;
khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau
khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar
bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-
perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika
sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”
Pada tanggal satu Syawal, diharamkan bagi seorang muslim untuk berpuasa
disebabkan karena hari tersebut merupakan hari raya, hari makan dan minum. Telah
diriwayatkan dari Abu Ubaid Maula Bin Azhar berkata: “Aku menyaksikan hari raya
bersama Umar bin Khattab -Radhiallahu Anhu- lalu Beliau berkata: dua hari ini
adalah hari di mana Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa
pada keduanya: hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari yang kedua di saat
kalian makan dari sembelihan kalian." (Muttafaq alaihi)
Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu
Anhu- bahwa beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang
berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya kurban." Berkata Al-hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani Asy-syafi-i Rahimahullah: hadits ini menunjukkan diharamkannya
berpuasa pada dua hari raya, sama saja apakah itu puasa nazar, kaffarah, sunnah,
puasa qadha dan tamattu', dan ini berdasarkan ijma' ulama." (Fathul Bari: 4/281)
Maka jika anda hendak berpuasa syawal, hendaknya dimulai dari tanggal dua
Syawal, dan seterusnya.
Jawab: Tidak harus, puasa syawal bisa dimulai kapan saja selama dia bisa
menyelesaikan 6 hari puasa itu di bulan syawal. Walaupun tidak diragukan bahwa
menyegerakan pengerjaannya itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil untuk
berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan dalil yang menganjurkan untuk
tidak menunda amalan saleh.
Apakah dipersyaratkan keenam hari puasa syawal ini harus dikerjakan secara
berturut-turut ?
Jawab: Hal itu tidak dipersyaratkan bahkan boleh mengerjakannya secara terpisah-
pisah selama masih dalam bulan syawal. Walaupun sekali lagi, mengerjakannya
secara berurut itu lebih utama berdasarkan keumuman dalil yang kami isyaratkan di
atas.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan.
Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh
menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang
lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan
sunnah.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan selainnya, dan ini yang
difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz[*], Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, dan Syaikh Muqbil -
rahimahumullah-
Apakah puasa enam hari dibulan syawal boleh dikerjakan sebelum mengerjakan
puasa qadha` -bagi yang mempunyai tunggakan di bulan ramadhan-?
Jawab: Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, hanya saja
lahiriah hadits Abu Ayyub di atas menunjukkan bahwa puasa syawal hanya
disunnahkan bagi orang yang sudah selesai mengerjakan puasa ramadhan yang
jumlahnya 29 atau 30 hari. Sementara orang yang mempunyai qadha tentunya
puasanya kurang dari 29 hari maka dia diharuskan menyelesaikan dulu
ramadhannya baru kemudian mengerjakan puasa syawal.
Oleh karena itu bagi seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan,
hendaknya ia menyempurnakan qadha' puasa Ramadhannya terlebih dahulu
sebelum ia berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebab Rasulullah -Shallallahu
Alaihi Wasallam- mengatakan " barangsiapa yang berpuasa Ramadhan.....", nampak
bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan puasa Ramadhan, dan dikuatkan
lagi dengan penjelasan bahwa satu kebaikan senilai sepuluh kebaikan, yang jika
dihitung seluruhnya akan mencapai setahun, hal itu hanya mungkin bila seseorang
berpuasa sebulan penuh.
“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa
terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena
dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia
telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-
Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]
Berkata Al-Haitami Rahimahullah : "...sebab puasa tersebut (puasa enam hari di bulan
Syawal,pent) bersama dengan puasa Ramadhan, sebab jika tidak, maka tidak terdapat
keutamaan tersebut, meskipun ia memiliki hutang puasa karena ada udzur)."
(Tuhfatul Muhtaj: 3/457)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah : "Berpuasa enam hari di bulan Syawal
tidak akan diraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyempurnakan puasa
bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang memiliki hutang puasa, jangan dia
berpuasa enam hari di bulan Syawal kecuali setelah meng-qadha puasa Ramadhan,
sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan :
Oleh karenanya, kami mengatakan kepada yang memiliki hutang puasa: puasa
qadha'-lah terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal."
(Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/18)
Dari sudut tinjauan lain, puasa qadha` adalah wajib sementara puasa syawal adalah
sunnah, dan tentunya ibadah wajib lebih didahulukan daripada ibadah yang sunnah.
inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -
rahimahumallah- dalam fatwanya diatas. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/468)
Jika ada yang bertanya: Bagaimana dengan ucapan Aisyah, “Saya pernah mempunyai
kewajiban puasa ramadhan, lalu saya tidak bisa untuk mengqadha`nya kecuali
sampai datangnya sya’ban.” Bukankah ini menunjukkan Aisyah -radhiallahu anha-
berpuasa syawal sebelum mengqadha`, karena qadha’nya dikerjakan di sya’ban
tahun depannya?
Jawab: Dalam ucapannya tidak ada sama sekali keterangan yang menunjukkan kalau
beliau mengerjakan puasa syawal, maka ucapan beliau tidak boleh ditafsirkan seperti
itu. Karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa Aisyah -radhiallahu anha- tidak
mengerjakan puasa-puasa sunnah karena beliau sibuk mengerjakan ibadah yang jauh
lebih utama dibandingkan puasa-puasa sunnah tersebut, yaitu kesibukan beliau
melayani Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-. Dan tidak diragukan bolehnya
meninggalkan sebuah amalan sunnah untuk mengerjakan amalan sunnah lain yang
lebih besar pahalanya dibandingkan amalan sunnah yang pertama.
Inilah jawaban yang tepat dalam rangka memadukan antara hadits Abu Ayyub
dengan ucapan Aisyah di atas, wallahu a’lam.
Tidak Mengkhususkan Puasa di Hari Jum'at
Apabila berpuasa enam hari di bulan Syawal, hendaknya tidak menyendirikan puasa
pada hari Jum'at, namun hendaknya berpuasa sehari sebelumnya atau sehari
setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- :
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya." (HR.Bukhari dari Abu Hurairah -
Radhiallahu Anhu- )
Diriwayatkan dari Juwairiyah Bintul Harits Radhiallahu Anha bahwa suatu ketika
Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- masuk ke tempatnya pada hari Jumat dalam
keadaan ia berpuasa. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertanya:
apakah engkau berpuasa kemarin? Juwairiyah menjawab: tidak. Lalu Beliau bertanya:
apakah engkau ingin berpuasa besok? Ia menjawab: tidak. Maka Rasulullah -
Shallallahu Alaihi Wasallam- berkata: "batalkanlah (puasamu)". (HR.Bukhari)
Namun dikecualikan apabila seseorang berpuasa pada hari kebiasaan dia berpuasa,
lalu bertepatan pada hari Jum'at, seperti jika dia hendak berpuasa Asyura, lalu
bertepatan dengan hari Jum'at, maka boleh berpuasa di hari Jum'at, meskipun ia tidak
berpuasa hari sebelum dan sesudahnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam
Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda :
"dan diambil faedah dari pengecualian dalam hadits tersebut bolehnya berpuasa jika
ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bertepatan waktunya
dengan hari- hari yang ia biasa berpuasa pada hari tersebut, seperti jika ia berpuasa
pada hari-hari putih (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah dalam setiap bulan,pent) , atau
seseorang punya kebiasaan untuk berpuasa di hari tertentu seperti hari Arafah, lalu
bertepatan pada hari Jumat." (Fathul Bari: 4/275)
"Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali sesuatu yang diwajibkan atas
kalian." (HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al- Hakim, dari Abdullah bin Busr dari
saudara perempuannya bernama Ash -Shamma'. Hadits ini diperselisihkan para
ulama tentang keabsahannya)
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan
puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas
karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari
nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia
mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa
Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal
itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus
diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari
Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?
Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunnah hukumnya dan bukan wajib berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan
ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi
bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya
Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]
Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala
puasa Syawal enam hari
Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan
Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam
hari Syawal ?
Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda
(yang artinya) :
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan
hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan
sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia
menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada
puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunnah lainnya. Jika telah
menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan
puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang
dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus
sebagai puasa sunnat Syawal.