Anda di halaman 1dari 51

Badan Geologi - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ISSN: 2088-7906

VOL.6 | NO.3 | September 2016

Manusia Purba
dari Cekungan So’a
Umur Lima Hari Merayap Mimin Karmini
Manusia Purba Menjelajahi Perlahan Setia di Jalan
Cekungan So’a Pulau Bunga di Bajawa Mikropal

1
IBERBUMI EDITORIAL

Menggali Masa Lalu Lembah So’a, Flores


Lembah So’a di Kabupaten Bajawa, Flores, telah tampil di dunia dalam ranah paleontologi manusia.
Temuan-temuan artefak dan fosil-fosil hewan purba, di antaranya spesies baru bangsa gajah Stegodon
Flores dan Adaptasi yang Sukses
florensis dan gigi manusia purba, kembali membuka mata dunia tentang keberadaan manusia kerdil di
Flores setelah temuan spektakuler di Situs Liang Bua di Ruteng, Flores pada awal 2000-an. Indonesia khususnya Pulau Jawa dikenal dalam dunia paleontologi sebagai salah
Situs Mata Menge seperti ilustrasi di sini, merupakan situs terpenting tempat banyak ditemukannya fosil- satu lokasi penting temuan fosil manusia purba (hominim). Namun, kini Flores, Nusa
fosil dan artefak manusia Flores purba. Bukti-bukti keberadaan mereka dijumpai pada sekuens lapisan Tenggara Timur (NTT), juga mulai menarik perhatian dunia. Hal ini bermula dari
berciri endapan danau dan sungai yang dinamai Unit B. temuan fosil hobit (hobbit) - spesies manusia bertubuh dan bervolume otak kecil -
Para peneliti gabungan Indonesia dan Australia berpendapat bahwa Stegodon florensis justru bermigrasi usia 60.000 - 100.000 tahun yang lalu (tyl) di Liang Bua oleh tim peneliti gabungan
dari utara (Sulawesi) alih-alih dari barat (Kepulauan Sunda) seperti yang dipercayai selama ini. Umur mereka dari Arkenas-Australia pada 2001 yang secara ilmiah diberi nama Homo floressiensis.
berkisar 700.000 hingga 880.000 tahun yang lalu.
Kemudian, belakangan ini ditemukan fosil hominim berusia sekitar 700.000 tyl
Satuan berwarna abu-abu terang hingga putih, menghalus ke dari Mata Menge, Cekungan So’a, oleh tim peneliti gabungan dari Badan Geologi-
atas, dengan lapisan-lapisan tipis dan lensa-lensa batupasir Australia pada 2014, dan telah dipublikasikan oleh Nature, edisi Juni 2016. Seperti
berbagai ukuran butir. Bagian bawahnya berupa batupasir tuf.
Banyak mengandung kerikil andesit dan basalt, serta artefak apa hominim terakhir ini? Bagaimana kaitannya dengan homini sebelumnya dan
alat batu. Lingkungan pengendapan diperkirakan pesisir danau
dan/atau muara sungai ke danau. Fosil pecahan Stegodon
lingkungan Flores di masa lalu, kini dan ke depan?
banyak ditemukan di satuan ini.
Fosil hominim yang ditemukan di Mata Menge - di Flores, menunjukkan adanya gejala perkembangan
sebut saja “Manusia Mata Menge” atau “Manusia Purba tubuh yang semakin membesar (gigantisme) pada
dari Cekungan So’a” - berupa beberapa bagian dari beberapa jenis fauna. Kondisi ini, dari sisi biologi,
tengkorak, yaitu gigi atas, gigi depan, pecahan rahang, dapat pula disebut sebagai adaptasi yang sukses
dan gigi susu. Selain hominim, ditemukan pula fosil mengatasi persaingan di alam dalam mempertahankan
gajah, tikus, komodo, dan burung, serta artefak. Dari kehidupan bahkan mengungguli yang lainnya. Apakah
Batulempung lanauan homogen, lunak, coklat
kemerahmudaan. Diendapkan pada lingkungan hasil analisis para ahli terhadap fosil-fosil tesebut, faktor penyebab dwarfirisme dan gigantisme ini?
perairan yang tenang (danau atau dataran banjir Rekonstruksi lingkungan purba disimpulkan beberapa hal, yaitu: ada tiga individu Kemampuan adaptasilah yang terpenting. Ancaman
sungai). Miskin artefak maupun pecahan fosil tulang. berbeda, satu dewasa dan dua anak kecil; berukuran kepunahan akibat letusan gunung api di Flores,
tinggi dewasa sekitar satu meter, umur sekitar 700.000 terutama di masa lalu, sangat nyata dan bisa kapan
tyl, dan hidup dengan berburu di lingkungan sabana saja terjadi. Sampai taraf tertentu, hal ini berlaku
yang luas. Kesimpulan lainnya yang penting adalah juga hingga sekarang. Menurut Iwan, kemampuan
bahwa mereka punah akibat tertimbun oleh batuan komodo dan tikus raksasa Flores dalam membuat
hasil letusan gunung api di sekitarnya. lubang, diduga merupakan faktor penting dalam
menyelamatkan diri dari kepunahan akibat bencana
Para peneliti Mata Menge periode 2010-2015, antara gunung api.
lain Fachroel Aziz dan Iwan Kurniwan dari Museum
Geologi, dan Gerrit D. van den Bergh dari Universitas Terlepas dari pertanyaan - yang biasanya dialamatkan
Wollongong, Australia, berpendapat bahwa Manusia kepada riset yang berkenaan dengan manusia purba
Mata Menge ini mungkin berasal dari Jawa (Homo - apakah temuan itu mendukung teori Darwin
erectus, tinggi antar 135 - 210 cm, dan usia sekitar tentang evolusi atau tidak, satu hal menjadi jelas
1,8 - 1,0 juta tyl); atau hominim sejenis dari utara. bahwa pulau besar di wilayah NTT itu sangatlah unik.
Ketiganya juga berpendapat bawah Manusia Mata Lingkungannya yang keras dari sudut pandang iklim
Menge bukanlah hobit, tapi mungkin merupakan dan ketersediaan makanan dan kemampuan adaptasi
Stegodon florensis nenek moyang hobit Liang Bua. Jika demikian dengan lingkungan dari berbagai makhluk hidup,
adanya, dengan melihat fakta bahwa fosil gajah yang menyebabkan keragaman biologi baik jenis maupun
UNIT B

ditemukan dari daerah ini (Stegodon) juga ukuran evolusi. Hal ini ditambah dengan alam dan budayanya
tubuhnya kecil dibanding gajah sekarang ini (Elephas), yang kaya, seperti Kelimutu dan masyarakat adat
hal ini menguatkan dugaan bahwa terjadi proses Bena yang juga unik, adalah modal besar untuk
perkembangan tubuh yang mengecil - disebut gejala pembangunan Flores yang berbasis konservasi dan
dwarfirisme - untuk hominim dan beberapa jenis mitigasi bencana. Inilah cara baru adaptasi di era
mamalia tertentu di Flores. modern untuk meraih hidup yang berkualitas yang
dapat diwariskan dari generasi ke generasi untuk
Sementara itu, di Liang Bua juga ditemukan fosil kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan.
burung dan tikus yang memiliki ukuran tubuh sangat
besar dibanding kondisi hewan sejenis saat ini. Hal
UNIT A

ini, dengan fakta bahwa komodo dan tikus sebagai


fauna besar yang masih dapat dijumpai hingga kini Oman Abdurahman
Pemimpin Redaksi

Konsep: Budi Brahmantyo Grafis: Ayi R. Sacadipura


Sumber: Aziz, F., Morwood, M.J. and van den Bergh, G.D. (2009). Pelistocene
Geology, Palaeontology and Archaeology of the Soa Basin, Central Flores, 1
Indonesia. Spec. Publ. No. 36, Pusat Survei Geologi, Dep. ESDM, Bandung.
VOL.6 | NO.3 | SEPTEMBER 2016 ISSN: 2088-7906 SURAT
Foto sampul: “Lukisan manusia purba dari Cekungan So’a”.
Ilustrasi oleh: Ayi Sacadipura dengan perwajahan dikembangkan dari
Di zaman yang serba canggih seperti saat ini, menurut saya media internal (inhouse magazine) yang diterbitkan lembaga-
hasil reka wajah manusia Liang Bua oleh Susan Hayes. lembaga publik jelas sangat diperlukan. Sebab, media tersebut berperan sebagai jembatan komunikasi antara manajemen
dengan karyawan dan antarkaryawan; selain itu juga sebagai alat untuk pembentuk citra (image building) suatu
perusahaan/organisasi karena fungsi media internal juga dapat dijadikan sebagai media promosi dan komunikasi dengan
ARTIKEL MUSEOLOGI “stakeholder”.
18 Manusia Purba dari Cekungan So’a 64 Ladang Fosil Moluska Cijurey-Tonjong Bila memperhatikan Geomagz, rasa-rasanya kedua peran di atas sudah terwadahi oleh majalah tersebut. Pertama,
Hari itu 8 Oktober 2014, di Mata Moluska merupakan kelompok hewan Geomagz menyertakan para penulis dari seluruh lingkungan Badan Geologi. Kehadiran Geomagz juga menunjukkan
Menge, Flores, cuaca sangat terik. bertubuh lunak, tidak bersegmen, dan semacam sambungan sejarah sebagaimana yang saya ikuti dari bundelan majalah geologi lama di Perpustakaan Pusat
Penggalian fosil yang sangat biasanya dilapisi oleh bagian tubuh
melelahkan berlangsung seperti yang keras (cangkang). Bagian keras
Survei Geologi, yakni Berita Geologi, pada era redaksi Kama Kusumadinata (1970-an). Saat-saat itu, nampak, terasa benar,
biasanya. Kondisi lahan yang sangat itulah yang terawetkan menjadi fosil. peran dan fungsi Berita Geologi sebagai jembatan komunikasi antara manajemen dengan karyawan dan antarkaryawan.
kering menambah parah dampak Kadang-kadang hanya ditemukan Kedua, saya juga melihat kehadiran para penulis dan pemotret dari luar yang menghiasi halaman-halaman berwarna
terbangnya debu-debu tuf dari pahatan berupa cetakan, tetapi masih dapat
palu para penggali fosil. diidentifikasi. Saat ini diperkirakan ada majalah Geomagz. Para penulis tersebut tentu saja datang dari kalangan akademisi dari perguruan tinggi di sekitar
35 ribu jenis moluska dalam bentuk Bandung (ITB, UNPAD, UNINUS), maupun luar Bandung (UGM, dll). Demikian pula para profesional yang bergerak di
fosil. bidang kebumian, ada saja yang berkontribusi pada setiap terbitan Geomagz yang saya ikuti pada situs Badan Geologi.
26 Perjalanan Panjang Menelusuri Jejak Manusia Hal kedua ini, saya pikir, menunjukkan bahwa Geomagz sudah berperan sebagai wadah yang mengangkat citra Badan
Awal di Flores Geologi ke tengah-tengah masyarakat luas, terutama kalangan akademisi, sebagai stakeholder-nya. Apalagi kita baca
30 Umur Manusia Purba Cekungan So’a 68 Kima Raksasa dari Padalarang Geomagz pernah meraih prestasi sebagai media terbaik kedua yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah. Oleh karena itu,
konsistensi penerbitan Geomagz seyogyanya dan mungkin seharusnya dipertahankan bahkan ditingkatkan, baik kuantitas
34 Fauna dan Lingkungan Cekungan So’a
maupun dari segi kualitasnya.
38 Merekonstruksi Lingkungan Purba RESENSI BUKU
Cekungan So’a Aji Zainul Fata
50 Penemuan Mineral Phillipsit 90 Bapak Biogeografi di Nusantara Pemerhati Sejarah & Mahasiswa Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
70 Wallace dan Biogeografi Indonesia Pada tahun 1997, Penny van
Oosterzee menerbitkan buku mengenai
76 Di mana Rumah Wallace ? perjalanan Alfred Russel Wallace di
Salam Sejahtera. kami rubuh. Memang usia rumah itu dengan informasi yang diperoleh dari
78 Jejak Laut Holosen di Pulau Belitung Nusantara pada abad ke-19. Buku Saya membaca Geomagz Vol 6 No 2 sudah hampir 100 tahun, tapi dengan Geomagz membuat tertarik untuk
84 Gambut Indonesia Luas Tersebar dan Mudah bertajuk Where Worlds Collide: The
edisi Juni 2016 yang tema utamanya konstruksi tanpa tulang, dan selama berkunjung ke salah satu kawasan,
Terbakar Wallace Line yang diterbitkan Reed
Books, Australia, ini memaparkan tentang 10 tahun gempa Yogyakarta. ini cukup tahan terhadap guncangan yaitu di Dieng, Jawa Tengah. Semoga
gempa.
PROFIL lakon perjalanan Wallace di sepanjang
kepulauan Asia Tenggara, menjelaskan
Terima kasih saya sampaikan, Geomagz ke depan terus memberikan
Geomagz telah memberikan informasi Semoga Geomagz dapat tetap terbit informasi keanekaragaman alam
42 Mimin Karmini Setia di Jalan teori-teori Wallace dan bagaimana
teori tersebut diinterpretasi oleh para yang sangat lengkap bagaimana Indonesia sehingga kami dan anak-
Mikropal mencerahkan masyarakat, khususnya
ahli biologi selanjutnya. masyarakat Klaten, tempat saya masyarakat Klaten dan sekitarnya, anak Indonesia akan lebih peduli dan
Sejak William Smith menemukan tinggal, harus waspada dan memiliki dan umumnya masyarakat Indonesia, cinta kepada tanah air.
Hukum Suksesi Fauna hingga kini, ESAI FOTO kepedulian karena bertempat-tinggal sehingga kami dapat memanfaatkan Danu Sajidin
penelitian mikropaleontologi terus
berkembang. Dalam pekerjaannya, 92 Merayap Perlahan di Bajawa di daerah rawan bencana gempa. pengetahuan dan informasi yang Pendidik, tinggal di Kiaracondong,
ahli mikropal tidak jarang harus Geomagz edisi Juni 2016 ini juga disampaikannya. Selamat dan tetap Bandung
Masyarakat di dunia kini berlomba
berlama-lama di samudera, sehingga menata kawasan wisata geologi mengingatkan pengalaman saya atas semangat untuk Geomagz!
terkesan sangat kelaki-lakian. Salah yang dimilikinya untuk dapat diakui kejadian gempa yang menghancurkan
seorang perempuan Indonesia RALAT:
menjadi geopark (taman bumi) dunia di hampir sebagian besar rumah tinggal Ir. Yunardi Afrulloh
yang setia di jalan mikropal adalah negaranya. Geopark yang memadukan Pada beberapa edisi cetak Geomagz
Mimin Karmini, profesor riset bidang kami di Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Praktisi Lingkungan Hidup, tinggal di
keragaman geologi, hayati, dan budaya Vol. 6 No. 2 Juni 2016, terdapat
geologi kelautan dan penemu itu resmi menjadi program UNESCO.
Bayat, Klaten
mineral philipsit. Saat kejadian gempa Yogya 2016, kesalahan dalam keterangan penulis
kami pas akan pergi ke luar kota, pada halaman 65. Keterangan penulis
Assalamu’alaikum wr., wb., yang benar seharusnya sbb: *Tulisan
LANGLANG BUMI sehingga waktu shubuh 27 Mei
2016 itu kami sudah bangun dan Saya mendapatkan majalah Geomagz ini diangkat dari makalah penulis,
54 Lima Hari Menjelajah Pulau Bunga Prof. M.T. Zen, yang disampaikan
Sudah lama Flores atau Pulau Bunga
GEOMAGZ bersiap akan pergi menggunakan saat berkunjung ke Museum Geologi
MAJALAH GEOLOGI POPULER kendaraan ke stasiun. Tiba-tiba Bandung membawa siswa-siwa dalam berbagai kesempatan antara
menjadi impian penjelajahan kami.
terasa guncangan, mula-mula kecil SMPN Terbuka 27 Bandung. Setelah tahun 1990an hingga awal 2000an,
Apalagi setelah ditemukannya fosil PENANGGUNG JAWAB: Kepala Badan Geologi, Sekretaris
manusia purba di Mata Menge yang tapi terus diikuti dengan guncangan membaca isinya, ternyata sangat dengan editing seperlunya dari
Badan Geologi | PEMIMPIN REDAKSI: Oman Abdurahman |
unik, niat berkunjung ke Flores yang sangat cepat dan meningkat bermanfaat untuk menambah redaksi.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI: Priatna | REDAKTUR: Ma’mur,
semakin kuat. Persoalannya, waktu
Erick Setiyabudi, Oki Oktariadi, Igan S. Sutawidjaja, Mochamad dari detik ke detik dan hanya dalam pengetahuan tentang sumber daya
yang tersedia hanya lima hari sudah
termasuk perjalanan. Nugraha Kartadinata, Budi Brahmantyo, Nana Sulaksana, T. hitungan beberapa detik, rumah alam dan berbagai karakteristiknya
Bachtiar | FOTOGRAFER: Heryadi Rachmat, M. Nizar Firmansyah, tempat tinggal kami rubuh lebih baik yang menjadi perilaku alam itu Pembaca dapat
Ronald Agusta, Deni Sugandi | DESAIN GRAFIS & LAYOUT: Asep dari separuhnya. Cara rubuhnya sendiri maupun yang memberikan mengirimkan tanggapan,
Setiap artikel yang dikirim ke redaksi diketik spasi rangkap, Saefudin, Bunyamin, Gunawan, Ayi R. Sacadipura | SEKRETARIAT:
seakan-akan kena “bom atom”, yaitu manfaat bagi kehidupan manusia kritik, atau saran melalui
maksimal 5.000 karakter, ditandatangani dan disertai identitas. Joko Parwata, Atep Kurnia, Adhitya Ari Nugroho, Paradita Kenyo
atap limas rumah kami tertarik ke di sekitarnya. Selain Geomagz surat elektronik ke
Format digital dikirim ke alamat e-mail redaksi. Setiap artikel/ Arum Dewantoro, Dian Nurdiansyah, Torry Agus Prianto alamat: geomagz@
foto atau materi apa pun yang telah dimuat di Geomagz dapat dalam. Kami pun menghambur keluar menampilkan juga informasi yang
SEKRETARIAT REDAKSI: Museum Geologi, Badan Geologi, Gd. Museum dari rumah menyelamatkan. Tak sangat menarik khususnya dalam bgl.esdm.go.id atau
diumumkan/dialihwujudkan kembali dalam format digital maupun
nondigital yang tetap merupakan bagian Geomagz. Redaksi berhak
Geologi, Jl. Diponegoro No. 57 Bandung | Telp./Fax.: 022-7213934 dan 022-
7213822 | e-mail: geomagz@bgl.esdm.go.id, geomagz.bgl@gmail.com | lama kemudian, kami mendengar kolom esai foto yang menampilkan geomagz.bgl@gmail.com
menyunting naskah yang masuk. Website: http://geomagz.geologi.esdm.go.id dentuman dan menyaksikan rumah keindahan kawasan Dieng. Kami pun

2 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 3


Monadnok Granit
Gunung Banitan
Bagaikan melayang di atas permukaan
bumi, sebuah bongkahan granit hasil proses
pengangkatan pergerakan lempeng tektonik di
masa ratusan juta tahun yang lalu yang kemudian
Nampak di permukaan dan mengalami proses
denudasi (pelapukan dan erosi), sehingga
membentuk tonjolan-tonjolan dan bongkahan-
bongkahan batuan granit yang indah dan eksotis.
Secara geologi, Kepulauan Belitung merupakan
salah satu sisa perwujudan dari paparan Sunda
(Sundaland) yang tenggelam pada zaman Kuarter
oleh kenaikan muka air laut akibat meleburnya es di
kutub.
Foto: Meggi Rhomadona
Teks: Oki Oktariadi

Granite Monadnock of
Gunung Banitan
Like floating on the surface of the earth, there is
a granite boulder as the result of tectonic plates
uplifting in the hundreds of millions of years ago
which then appeared on the surface and underwent
the denudation (weathering and erosion). Therefore
it formed bumps and chunks of beautiful and exotic
granitic rocks. Geologically, Belitung Island is one
embodiment of the exposure of Sundaland which
sank in the Quaternary Period by rising sea levels due
to the melting of polar ice.

4 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 5


Dari Langit Menangkap From the Sky to Catch
Kerucut Kars Balbulol Karst Cones
Balbulol
Bukit-bukit kerucut kars yang sekilas seperti kerucut Karst hills like up-side down ice cream cone at
es krim terbalik menjadi daya tarik wisata baru di Balbulol, Tomolol Bay, Misool Islands, becomes new
Balbulol, sekitar Teluk Tomolol, Kepulauan Misool, interesting tourism destination in West Papua besides
Papua Barat, di samping Rajaampat. Bukit-bukit Rajaampat. The cone hills that emerge from a very
kerucut kars yang mencuat dari permukaan perairan clean sea are the product of karstification process
yang sangat jernih ini merupakan hasil proses from Eocene Zaag Limestone consists of calcarenite
pelarutan pada Satuan Batugamping Zaag berumur and oolite limestone. To get perfect phenomena of
Eosen yang terdiri dari kalakarenit dan batugamping karst hills, taking a picture from the sky is the best
oolit. Untuk mendapatkan gambaran lengkap choice. So, drone fly up high to catch these awesome
fenomena perbukitan kars, pengambilan dari langit landscapes.
sangatlah tepat. Wahana drone pun melayang tinggi
menangkap bentang alam luar biasa ini.
Foto: Ronald Agusta
Teks: Budi Brahmantyo

6 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 7


Jejak Gunung Api Purba
di Tanjung Aan The Remnant of Ancient Volcano in Tanjung Aan
Satu sudut bentangan dari kompleks Gunung api Purba Bawah Laut yang It is a corner of an ancient submarine volcano complex which uplifted almost intact in Tanjung Aan.
terangkat hampir utuh ke permukaan di Tanjung Aan. Itulah keunikan Lombok That is the uniqueness of South Lombok because it is rarely found in other parts of the world, only South
Selatan yang fenomenal karena jarang ditemukan di belahan dunia lainnya, Africa is as complete as Lombok. Its beauty is increasing when the distribution of rocks breccia, lavas and
hanya Afrika Selatan yang kompleks Gunung api Purba Bawah Laut selengkap tuff were fractured as a result of cooling intercalated with limestone lenses of Oligo-Miocene. When the
Lombok Selatan. Keindahannya semakin bertambah ketika sebaran batuan sea level recedes maximum the outcrop can be approached, enjoyed, and studied in detail.
breksi, lava, dan tuf yang terkekarkan akibat pendinginan berinterkalasi dengan
lensa-lensa batugamping berumur Oligo-Miosen. Hanya pada saat muka laut
surut maksimal singkapan-singkapan tersebut bisa didekati, dinikmati, dan
dipelajari dengan rinci.
Foto dan teks: Oki Oktariadi

8 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 9


Kerucut Gunung Iya
di Selatan Nipah
Kepulan solfatara masih dihembuskan diantara lubang kawah Gunung
Iya (637 m) dan Gunung Meja 300 m di sebelah selatan, yang diapit
oleh Teluk Ipi di sebelah timur, dan Teluk Ende di bagian barat.
Kerucut gunung api aktif ini merupakan jajaran gunung paling selatan
dari deretan gunung api di pulau Nusa Nipah atau Flores kata orang
Portugis. Gunung ini dikisahkan penjelmaan lelaki yang jatuh hati
kepada gunung Meja, namun menjadi tragedi. Kawah Iya termuda
berada di sebelah barat daya puncak, dibentuk oleh letusan besar
yang menyebabkan runtuhnya sebagian dinding kawah.

Foto dan teks: Deni Sugandi

Iya Volcanic Cone


in the South of Nipah
Solfatara emits a puff between Iya Volcano (637 m) and Mount Meja
(300 m) in the south, flanked by Ipi Bay in the east, and the Ende Bay
in the west. Iya is an active volcano located in the most southern part
of Nusa Nipah, then called Flores by Portuguese. It is said that the
volcano was an incarnation of the man who fell in love with Mount
Meja, but it become a tragedy. The youngest crater of Iya is located on
the
southwest from its peak and formed by a great explosion that caused
the collapse of the partly crater wall.

10 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 11


Pantai Srau Terletak di Pacitan, ujung timur kawasan Gunungsewu, Pantai Srau
tersusun oleh batugamping Formasi Wonocolo. Fitur-fitur morfologi Srau Beach Located at Pacitan, in the east edge of Gunungewu regions, Srau
beach is composed of the Wonosari limestone. Fitures of karst land-
kars hasil proses abrasi seperti “pulau-pulau” kecil berbentuk kerucut, at the East scapes such as cone-shaped rocky islets, sea-stacks, sea-arches,
di Ujung Timur lintap laut, busur laut, kubah laut, dan torehan yang agak dalam (takik)
karena pasang surut muka laut, menghiasai pantai ini. Takik-takik Edge of
and sea-level notches are decorating the ground surface oh the
beach. Sea-level notches along the steep sloping facing the sea are
Gunungsewu berkembang di beberapa ketinggian di sepanjang lereng terjal yang
menghadapi ke laut. Keadaan ini menunjukkan adanya perbedaan Gunungsewu developed in several heights. This situation indicates the existence of
a differential tectonical uplift in very recent time.
terjadinya pengangkatan tektonik di masa kini.

Foto: Bagus Reza


Teks: Oman Abdurahman

12 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 13


Punggungan Sinklin
di Bubungan Papua Synclinal Ridge on Papua’s Gable
Proses-proses tubrukan tektonik yang luar biasa antara Lempeng Pasifik dan Lempeng India- The outstanding tectonic collision between Pacific and Indo-Australian Plate made Papua soaring high. Most of
Australia membuat Papua membubung terangkat tinggi. Sebagian bubungan tertinggi tersusun dari the highest ridges is composed of Tertiary New Guinea Limestones Group that folded to form a syncline structure.
Kelompok Batugamping New Guinea berumur Tersier yang terlipat membentuk struktur sinklin. Pada In this synclinal ridge, the peak of Carstensz Pyramid (4884 m asl) becomes the highest point in the Oceania
punggungan sinklin ini, puncaknya di Carstensz Pyramid yang berelevasi 4884 m dpl menjadi titik region.
tertinggi di Wilayah Oceania.
Foto: Iswan Budi
Teks: Budi Brahmantyo

14 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 15


Gua Harimau
Hunian Purbakala
Berlokasi di Desa Padang Bindu, Kecamatan
Semidang Aji, Kabupaten OKU, Sumatra Selatan,
Gua Harimau merupakan gua yang tidak biasa.
Di sini, rekahan-rekahan yang tercermin dari
kelurusan-kelurusan stalagmit dan stalaktitnya
yang berarah timur laut-barat daya dan barat laut-
tenggara mengindikasikan bahwa pembentukan
gua ini secara tidak langsung terpengaruh Sesar
Besar Semangko. Hasil karstifikasi batugamping
terumbu Formasi Baturaja ini memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia prasejarah di
Pulau Sumatra. Dengan bentuk ruang yang besar
kemudian memiliki intensitas cahaya dan sirkulasi
udara yang baik menjadikannya sebagai tempat
yang cocok untuk hunian.

Foto dan teks: Unggul Prasetyo

Harimau Cave, Ancient


Settlement
Located in Padang Bindu Village, Semidang Aji
District, OKU Regency, South Sumatra, Harimau Cave
is a unusual cave. Heres, the northeast-southwest
and northwest-southeast fractures reflected by its
stalagmites and stalaktites indicates that the forming
of this cave is indirectly affected by Semangko fault.
From the reef limestone karstification of Baturaja
Formation, this cave play an important role in the life
of prehistoric man on the island of Sumatra. With its
large chamber and good quality of light intensity as
well as air circulation, it makes the cave an ideal place
for a settlement.

16 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 17


ARTIKEL UTAMA

Iwan Kurniawan dari Museum Geologi (atas) dan warga lokal


Aloysius Gaba dan Frans Leo yang sedang berusaha membersihkan
temuan fosil dari sedimen di lokasi penggalian Mata Menge,
Cekungan So’a, Flores. Foto: Erick Setiyabudi, 2012

Aha, gigi manusia purba! Ketika dia


Rekonstruksi wajah manusia purba Flores dari Liang Bua (Homo floresiensis) oleh Susan Hayes.
menunjukkan gigi kecil itu kepada para pemimpin
Manusia Cekungan So’a diduga merupakan leluhur dari Homo floresiensis.
survei, Gerrit D. van den Bergh dan Iwan Kurniawan,
mereka tidak dapat menahan kegembiraan. Layaknya
rintik hujan di tengah kemarau, penantian panjang
selama lebih dari 10 tahun itu akhirnya mulai
terjawab dengan temuan itu. Sebuah temuan yang
akan menambah titik terang evolusi manusia purba

Manusia Purba dari


dari Flores yang hingga kini masih menjadi bahan
perdebatan para ahli di dunia.

Cekungan So’a
Selang dua tahun dari penemuan itu, pada 8 Juni Welas adalah gunung api purba yang produk
2016, dunia pun dikejutkan dengan publikasi ilmiah letusannya diperkirakan sampai ke Mata Menge.
oleh majalah Nature tentang penemuan fosil gigi Sedangkan Ebulobo dan Inelika adalah gunung api
manusia kerdil dari Mata Menge itu. Temuan ini aktif. Pada cekungan ini mengalir sungai-sungai Lowo
mejadi titik terang nenek moyang Hobbit atau manusia Lele, Wae Wutu, dan Wae Bha. Mata Menge terletak
purba kerdil yang selama ini masih menjadi bahan antara Sungai Lowo Lele dan Sungai Wae Wutu.
perdebatan dalam silsilah evolusi manusia.
Oleh: Iwan Kurniawan, Halmi Insani, Yousuke Kaifu dan Gerrit D. van den Bergh Batuan yang dijumpai di Cekungan So’a dari tua
Lokasi Ekskavasi dan Fosil yang Ditemukan ke muda terdiri atas Formasi Ola Kile dan Formasi
Mata Menge, lokasi penggalian/ ekskavasi (excavation) OIabula. Formasi Olabula merupakan batuan
fosil mamalia dan manusia itu, secara geografis terpenting dalam kaitannya dengan temuan fosil
Hari itu 8 Oktober 2014, di Mata Menge, Flores, cuaca sangat terik. Penggalian fosil terletak di Cekungan So’a dan secara administratif hominin. Bagian bawah dari formasi ini terdiri atas
yang sangat melelahkan berlangsung seperti biasanya. Kondisi lahan yang sangat termasuk di perbatasan dua desa, yaitu Desa Piga dan Anggota Tuf, dan bagian tengahnya adalah Anggota
kering menambah parah dampak terbangnya debu-debu tuf dari pahatan palu para Desa Mengeruda, Kecamatan So’a, Kabupaten Ngada. Batupasir. Anggota Tuf didominasi oleh tuf, pasir,
penggali fosil. Tiba-tiba, Andreas Boko, seorang di antara lebih dari 100 warga Cekungan So’a merupakan lembah luas yang berbukit- lanau tufan, dan kerikil batuapung, sedangkan
lokal yang membantu penggalian, datang menghampiri manajer penggalian nomor bukit dengan batas pandangan terjauh yang mencolok Anggota Batupasir didominasi oleh perselingan
adalah Gunung Welas di sebelah barat laut, Gunung batupasir fluvial dan batulanau tufan. Bagian atas
32D pada hari itu, Mika Puspaningrum. Ia menggenggam sebuah fosil gigi kecil di terdiri atas anggota Gero, yang terdiri dari pergantian
Inelika di barat, Gunung Ebulobo yang menjulang di
tangannya. selatan, dan Gunung Keli Lambo di timur. lapisan batu kapur dan lapisan tuf yang terendap

18 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 19


20 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 21
Gambar hal. 20, Konteks dan kronologi temuan fosil di Mata Menge, Cekungan So’a. a, b : Lokasi Cekungan So’a, Flores, c : Peta elevasi
digital (digital elevation map) dari Cekungan So’a dengan lokasi Mata Menge dan lainnya; d : Stratigrafi dan urutan dari interval utama
yang mengandung fossil dan kehadiran endapan Formasi Ola Bula di Mata Menge; e: gambar 3 dimensi (3D) menunjukkan stratigrafi
yang terungkap oleh penggalian (trench) E-32A hingga E-34B dengan elips berwarna menyatakan posisi fosil hominin in situ yang
digali dari unit batupasir, Lapisan II (kode fosil hominin yang ditemukan: SOA-MM1, 2 dan 4-6); dan f : gambaran 3D Mata Menge dan
sekitarnya dengan parit-parit penggalian diberi garis merah dan tanda. Untuk keterangan lebih lengkap, pembaca dapat merujuk ke
majalah ilmiah Nature edisi June, 2016.

Gambar hal. 21, Rahang bawah (mandible) fosil SOA-MM4 dibandingkan dengan spismen dari H. floresiensis Liang Bua, a- d :
kenampakkan dari, a : atas, b : samping, c : bawah, d : depan. MC : saluran rahang, aMF : lubang foramen. Foto e : kenampakkan samping
dari tulang rahang bawah manusia Liang Bua, kode LB6/1, dengan M1 : geraham pertama, M2 geraham kedua, M3 geraham ketiga. Skala
penggaris, 10 mm.

Gambar hal. 22, Gigi-gigi Manusia Purba dari Mata Menge, a : SOA-MM2 yaitu I1 (gigi seri pertama, atas), kiri; b : SOA-MM5 yaitu P3 (gigi
premolar ketiga atas), kanan; c : SOA-MM1 yaitu M1 (gigi geraham pertama bawah), kiri; d : SOA-MM7 yaitu dc (gigis susu bawah), kiri;
dan e : SOA-MM8 yaitu dc (gigi susu bawah) kanan. Untuk masing-masing baris dari kiri ke kanan, berturut-turut adalah kenampakkan
dari: atas (occlusal), depan (buccal/labial), belakang (lingual), samping dekat (mesial), dan distal (samping jauh, kecuali untuk c). Skala
penggaris, 10 mm.

dalam danau purba. Anggota tuf dan angota batupasir Homo floresiensis telah mengundang banyak
merupakan endapan lingkungan darat (sungai), yaitu perdebatan dan pertanyaan ilmiah di kalangan
endapan produk gunung api. ahli paleoantropologi. Hipotesis pun bermunculan
tentang siapa sebenarnya manusia tersebut. Ada
Batuan tempat ditemukannya fosil-fosil di Mata
yang menyatakan bahwa hominin ini adalah jenis
Menge adalah bagian tengah dari Formasi Olabula,
spesies baru dari keluarga manusia (Homo) yang
yaitu Anggota Batupasir. Di lapisan inilah tempat
telah punah. Ada juga yang menyatakan bahwa
ditemukannya semua fosil, baik artefak batu, fosil
hobbit itu mungkin tipe manusia modern yang
vertebrata (Stegodon, gajah purba yang punah,
mengalami kekerdilan karena penyakit (patologi).
komodo, burung, buaya dan tikus), maupun fosil
Pendapat lainnya mengatakan bahwa Homo floresiensis
hominin. Bagian atas dari anggota batupasir ditutupi
merupakan contoh kecil orang kerdil dari populasi
oleh lapisan abu gunung api yang diendapkan oleh
manusia modern. Kini, fosil manusia dari Mata Menge
lumpur (mud flow) di lingkungan sungai teranyam
yang ditemukan belakangan ini memberikan sedikit
(braided stream). Tebalnya sekitar dua meter. Lapisan
jawaban tentang asal-usul Hobbit Liang Bua itu.
mud flow ini ditutupi oleh tanah penutup (top soil)
tebal sekitar 30 cm. Fosil hominin terbaru dari Flores pada 2014 ini
ditemukan dari kotak galian (trench) nomor 32, di
Lahan penggalian di lapisan Anggota Batupasir pada situs Mata Menge di Desa Mengeruda, Kecamatan So’a.
lokasi fosil manusia disebut sebagai penggalian nomor Ini merupakan fosil yang telah lama ditunggu-tunggu
32, dan dibagi menjadi enam grid diberi kode A, B, sejak 2010 melalui proyek pencarian fosil nenek
C, D, E, dan F dengan ukuran masing-masing 5x5 moyang Homo floresiensis dari Liang Bua. Penelitian
m2. Temuan fosil hominin pada 2014 diperoleh pada terakhir ini berjudul “In Search of the First Hominins
grid A, B, C, D. Fosil yang ditemukan berupa gigi of Flores” atas kolaborasi para peneliti Indonesia dan
atas (premolar), gigi depan (incisor), pecahan rahang Australia di Cekungan So’a Flores, dan dibantu oleh
(mandible), dan taring atau gigi susu (canin). Selain peneliti dari beberapa negara lain.
fosil-fosil bagian dari hominin, pada lokasi yang
sama ditemukan pula fosil fauna seperti gajah purba Penggalian selanjutnya di Mata Menge yang
Stegodon, komodo, tikus, dan burung, godok dan menemukan beberapa fosil lainnya serta bukti-bukti
keong dan fosil tumbuan; serta artefak. peradaban seperti alat batu, memperkuat dugaan
bahwa manusia kerdil mirip Homo floresiensis itu
Fosil yang sudah Lama Ditunggu sudah hadir mendiami Flores dalam kurun waktu
Sebelumnya, manusia purba kerdil Flores atau Homo yang jauh lebih tua dari yang diketahui selama
floresiensis yang mendiami gua Liang Bua (74 km ini, yaitu sekitar 700.000 tyl. Perkiraan umur ini
ke arah barat dari Mata Menge) itu telah diteliti. didasarkan pada berbagai cara penentuan umur
Mereka hidup pada sekitar 100.000 – 50.000 tahun (dating), termasuk metode Argon-Argon terhadap
yang lalu. Namun, penemuan fosil dari Mata Menge mineral yang berasal dari lapisan tufa di bawah dan
yang ditemukan oleh tim geologi dan paleontologi di atas lapisan yang mengandung fosil. Selain itu,
gabungan dari Museum Geologi (Pusat Survei digunakan pula penentuan umur metode ‘fission-track’
Geologi) dengan tim paleontologi dan arkeologi dari atas mineral zirkon yang berasal dari endapan tufa
University of Wollongong, Australia, memberikan tersebut. Kemudian, fragmen gigi manusia dan gigi
pandangan baru tentang keberadaan manusia yang Stegodon dari kotak galian 32 juga dianalisis umurnya
mirip dengan Homo floresiensis. menggunakan metode Uranium dan Thorium yang

22 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 23


terkandung di dalam fosil. Hasil semua cara penentuan manusia purba Mata Menge memiliki kaitan
umur tersebut bersesuaian satu dengan yang lainnya. evolusi yang berasal dari Homo habilis atau bahkan
Australopithecus, yakni golongan hominin yang paling
Posisi dalam Silsilah Evolusi Manusia primitif dan berkembang sejak dua juta tyl di Afrika.
Spesimen manusia purba dari Mata Menge bukanlah Pandangan ini muncul karena fitur tubuh yang kecil
temuan postur tulang lengkap, tetapi hanya sebuah dan menyerupai hominin sangat purba yang paling
pecahan rahang bawah dan enam buah gigi dengan tua di Afrika. Namun, hal ini agak terbantahkan
beragam ukuran, orientasi dan titik lokasi penemuan. karena sejauh ini belum terdapat bukti penemuan
Material yang ditemukan memiliki tingkat fosilisasi fosil hominin yang mirip dengan Homo habilis dan
dan preservasi yang cukup baik dan temuan gigi Australopithecus di kawasan Asia.
berukuran kurang dari satu sentimeter. Berdasarkan
perhitungan jumlah individu minimal, manusia purba Titik Terang Nenek Moyang Hobbit Liang Bua
yang ditemukan di situs Mata Menge berjumlah Berdasarkan karakter spesifik pecahan rahang
tiga individu atau lebih. Pecahan rahang bawah bawahnya, manusia purba dari Mata Menge lebih
memperlihatkan karakter seorang individu dewasa dan memiliki karakteristik genus Homo daripada genus
beberapa gigi taring (gigi susu) yang menunjukkan Australopithecus. Apabila dilihat secara lateral,
umur belum dewasa. rahangnya memiliki ukuran yang lebih kecil dan tipis
dibandingkan dengan Homo floresiensis dari Liang
Karena karakteristiknya yang dapat mengungkap tren Bua. Secara umum, fosil-fosil gigi manusia purba
evolusi manusia, spesimen fosil yang ditemukan di yang ditemukan di Mata Menge memiliki kemiripan
Mata Menge dan kini disimpan di Museum Geologi spesifik dengan Homo habilis, Homo erectus dan
itu telah diobservasi dengan hati-hati oleh para ahli Homo floresiensis. Fitur dari gigi seri dan premolar
paleontologi dan paleoantropologi. Hal ini antara menunjukkan ciri-ciri yang memiliki kesamaan
lain pemeriksaan anatomi makro oleh peneliti dari dengan morfologi gigi pada Homo habilis fase lanjut.
Museum Geologi dan University of Wollongong,
serta analisis morfologi mikro menggunakan metode Dua fosil gigi taring yang ditemukan menunjukkan
pemindaian micro computed tomography (CT) di ukuran yang lebih kecil dari Homo sapiens, Homo
Museum of Nature and Science, Jepang. erectus dan Australopithecus. Adapun fosil gigi
geraham SOA-MM1, yaitu fosil manusia purba yang
Kompleksitas morfologi dari gigi manusia purba ini pertama kali ditemukan di Mata Menge ini, memiliki
dibandingkan dengan beberapa fosil gigi manusia kemiripan karakteristik yang kuat dengan fosil-fosil
purba yang mewakili periode kronologi sejak dua gigi geraham dari Homo erectus yang ditemukan di
juta tahun yang lalu hingga sekarang dan mewakili Tim penggalian fosil berskala besar di Mata Menge yang dibantu oleh lebih dari 100 warga lokal dari dua desa, Desa Mengeruda dan Desa
Jawa (Ngandong, Sambungmacan dan Ngawi). Tetapi, Piga, Kecamatan So’a, Flores. Foto: Adam Brumm, 2007.
tiap regional kawasan yakni Afrika, Asia dan ciri-ciri dari fosil gigi geraham ini juga memiliki
kepulauan Indonesia sendiri. Adapun spesies yang kemiripan dengan fosil gigi geraham dari Homo
dibandingkannya di antaranya Australopithecus floresiensis.
afarensis dan Homo habilis dari Afrika, serta Homo
erectus, Homo sapiens dan bahkan spesies manusia Dengan demikian, manusia purba dari Mata Menge
purba yang masih jadi perdebatan yakni Homo ini dapat dianggap sebagai nenek moyang hobbit
atau manusia Liang Bua (Homo floresiensis). Manusia Namun, efek proses kekerdilan yang terjadi di pulau- memiliki postur kerdil sama seperti manusia purba di
floresiensis. pulau terisolasi bukan sesuatu yang luar biasa. Dampak Mata Menge? Apabila tinggi manusia purba di Wolo
kerdil yang tingginya hanya sekitar satu meter dan
Diskusi tentang kejelasan posisi evolusi manusia diperkirakan usianya lebih tua setengah juta tahun dari dari proses ini dapat terlihat juga pada hewan lainnya Sege lebih besar, apakah memungkinkan selama durasi
purba dari Mata Menge sebagai sebuah spesies Homo floresiensis dan hampir 600 ribu tahun lebih tua seperti gajah atau rusa yang diketahui mengalami 300.000 tahun terjadi efek insular dwarfism ekstrem
masih belum berakhir. Namun demikian, ada dua dari fosil hobbit dari Liang Bua yang ditemukan pada efek kekerdilan hanya dalam jangka waktu 6.000 pada manusia purba? Hal ini masih menjadi bahan
pemodelan (opsi) yang dapat menggambarkan alur tahun 2004 silam. tahun. Bahan perdebatan lainnya adalah alur geografis penelitian di kalangan para ahli paleoantropologi.
proses evolusi manusia dari Mata Menge dari hominin dari Homo erectus sebelum memasuki Pulau Flores.
Selanjutnya, hasil temuan yang dimuat dalam Nature Ekskavasi paleontologi di Mata Menge akan terus
pendahulunya. Opsi pertama berpendapat bahwa Kemungkinan alur migrasi berasal dari Jawa atau
ini menunjukkan besarnya kemungkinan terjadinya berlanjut hingga tahun-tahun ke depan dengan fokus
manusia Mata Menge bertransformasi dari hominin Sulawesi masih menjadi bahan penelitian berdasarkan
pembalikan dalam evolusi manusia, di mana tubuh pada konsepsi holistik tentang kehidupan manusia
yang lebih besar yakni Homo erectus. Sedangkan, opsi bukti anatomi dan kemiripan peninggalan artefak.
manusia termasuk otaknya, mengalami pengerdilan. purba Flores. Pemeriksaan lokasi-lokasi dan titik baru
kedua berpandangan bahwa nenek moyang manusia Lebih jauh lagi, nenek moyang manusia purba Mata di sekitar temuan tahun 2014 akan terus dilakukan
purba Mata Menge berasal dari Homo habilis yang Proses pengerdilan itu kemungkinan disebabkan
karena manusia purba itu terdampar ke pulau dengan Menge diperkirakan sudah hidup berkembang di untuk mendukung aspek-aspek penelitian dari
berasal dari Afrika. pulau dan di daerah yang sama yakni di Cekungan temuan berharga ini. Gua-gua di Flores yang memiliki
ekosistem sederhana dan sedikit predator, sehingga
Berdasarkan morfologi dari fosil rahang bawah dan mungkin mereka tidak memerlukan ukuran otak yang So’a. Karena tidak jauh dari situs Mata Menge, ada kemungkinan menjadi tempat tinggal manusia purba
gigi geraham bawah yang ditemukan, karakteristik besar. situs lain bernama Wolo Sege yang di dalamnya juga akan menjadi tujuan studi selanjutnya.■
manusia purba Mata Menge lebih menunjukkan ditemukan banyak artefak berupa alat batu. Dengan
kemiripan dengan morfologi gigi geraham Homo Dengan kata lain, fitur kekerdilan yang dimilikinya temuan benda-benda budaya ini, diketahui bahwa Penulis, Iwan Kurniawan adalah Kepala Seksi Dokumentasi dan
erectus dengan versi yang lebih kecil. Rahang itu merupakan akibat dari efek Island dwarfism. Efek ini situs Wolo Sege ini kemungkinan sudah ditempati oleh Konservasi, Museum Geologi; Halmi Insani adalah Staf Seksi
adalah proses adaptasi organisme yang terdapat di manusia purba, jauh lebih dahulu sebelum adanya Dokumentasi dan Konservasi, Museum Geologi, Badan Geologi,
cenderung tipis dan vertikal dan tidak memiliki celah KESDM. Yousuke Kaifu adalah ahli paleoantropologi dari
seperti yang biasa dijumpai pada spesies manusia suatu ekosistem pulau yang mengalami kekurangan manusia purba di Mata Menge.
sumber makanan sehingga menyebabkan terjadinya National Museum of Nature and Science, Japan; Gerrit D. van
purba lain, Australopithecus. Beberapa pertanyaan bermunculan, di antaranya, den Bergh adalah ahli paleontologi dari University of Wollongong,
pengurangan ukuran tubuh secara ekstrem pada suatu
apakah manusia purba yang hidup di Wolo Sege Australia.
Di sisi lain, sebagian ahli berpendapat bahwa golongan organisme.

24 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 25


Bukti awal keberadaan fauna daratan Asia di Flores Sementara itu, Verhoeven (1960-an sampai
datang dari Cekungan So’a, ketika Desember 1956 dengan 1970-an) terus melakukan penelitian dan
Raja Nagekeo, Yosep Djuwa Dobe Ngole, menemukan pengumpulan fosil tidak hanya di daerah Ola Bula,
tulang raksasa (besar) di kampung lama Ola Bula dan tetapi meliputi daerah lainnya. Dalam ekskavasi di
melaporkannya ke Theodor Verhoeven. Hal ini sangat daerah Mata Menge dan Boa Lesa (1963), Verhoeven
menarik perhatian Verhoeven karena ternyata temuan menemukan in situ alat batu bersama Stegodon.
tersebut adalah fosil dan selanjutnya melakukan Berdasarkan keberadaan Homo erectus dan Stegodon
penelitian dan pengumpulan fosil lebih banyak lagi. yang hidup berdampingan (co-existed) di Jawa sekitar
750.000 tahun lalu, maka ditarik kesimpulan bahwa
Sebagian dari fosil-fosil itu dikirim ke D.A. Hoojer di “manusia awal” sudah ada di Flores pada kurun waktu
Leiden untuk dipelajari lebih lanjut. Menurut Hooijer yang sama sebagaimana laporan Verhoeven, 1968.
(1957), fosil tulang belulang ini merupakan sejenis
gajah purba yang dinamakan Stegodon trigonocephalus Kemudian Maringer dan Verhoeven (1970) dalam
florensis dan dianggap subspesies dari Stegodon beberapa seri publikasi di Journal Anthropos
trigonocephalus asal Jawa. Akan tetapi, menurut menyampaikan bukti dan implikasi temuan Stegodon
van den Begrh (1999), Stegodon di Jawa dan Flores dan alat batu di Flores, tetapi hal ini kurang mendapat
merupakan spesies yang terpisah, sehingga lebih layak perhatian dan diragukan oleh sebagian ahli arkeologi
dinamakan sebagai Stegodon florensis saja. sebagaimana dalam laporan Allen (1991 dan Bellwood
(1997). Hal ini tidak membantu menyelesaikan
Periode 1960 – 1980-an perselisihan antara Verhoeven dengan Hooijer dan van
Sebagai respons dari temuan Stegodon florensis ini, Hekeeren, bahkan mereka menganggap Verhoeven
Hartono (1960) dari Direktorat Geologi (sekarang adalah seorang amatir. Akan tetapi P.Y. Sondaar
Badan Geologi) melakukan penelitian geologi dan dari University of Utrecht yang menekuni fenomena
menyusun kerangka stratigrafi daerah Ola Bula dan kehidupan di pulau (island life) sangat tertarik dengan
Panorama Cekungan So’a dan Lokasi Temuan Stegodon pertama di Olabula.
sekitarnya. Urutan stratigrafi hasil penelitiannya dari temuan Verhoeven di Flores.
tua ke muda sebagai berikut: Formasi Ola Kile yang Tahun 1980, P.Y. Sondaar bersama S. Sartono, Yahdi
berupa endapan breksi volkanik, Formasi Ola Bula Zaim, Tony Djubiantono, Rochus Due Awe (Institut
yang terdiri atas anggota tuf, anggota batupasir dan Teknologi Bandung) melakukan ekspedisi singkat/

Perjalanan Panjang
anggota batugamping (Gero), dan Endapan vulkanik penelitian awal di daerah Cekungan So’a yang saat itu
dan alluvium berumur Resen. Fosil ditemukan dalam mereka menyebutnya sebagai Plato So’a. Di Tangi Talo
lapisan batupasir tufaan bagian bawah Formasi Ola (semula daerah ini disebut Bhisu Sau) yang secara

Menelusuri Jejak
Bula (Hartono, 1961). stratigrafi terletak 31 meter dibawah temuan Stegodon

Manusia Awal
di Flores
Oleh: Fachroel Aziz dan Iwan Kurniawan

Flores merupakan salah satu dari rangkaian Kepulauan Wallacea yang terletak
di antara tepian benua Asia (paparan Sunda) dan Australia (paparan Sahul) yang
meskipun adanya susut laut tetap terpisah satu dengan lainnya. Kondisi ini merupakan
penghalang utama bagi perpindahan atau penghunian fauna asal daratan (Asia) ke
Flores.

Asosiasi gading Stegodon dan alat batu yang ditemukan pada ekskavasi di Mata Menge,1994

26 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 27


dan Buaya
(Crocodilussp).
Secara sistematis
disini (Tangi
Talo) telah
pula dilakukan
pengambilan
contoh batuan
untuk studi
kemagnetan purba.
Hasil analisis
kemagnetan purba,
menunjukan
bahwa perubahan
arah polarisasi
Kiri: Lokasi penemuan gigi seri (incisor). Kanan: gigi seri yang ditemukan.
magnet
Matuyama-
kerja sama PPPG – UNE dengan menyertakan Kerja sama ini dipimpin bersama oleh pihak PSG,
Brunches terletak
Nasaruddin dan Jadmiko sebagai anggota tim dan ini Badan Geologi (BG), yaitu: Fachroel Aziz (2009
di bawah lapisan
adalah awal partisipasi Arkenas dalam penelitian di -2011), Iwan Kurniawan (2012), Erick Setiya Budi
yang mengandung
Cekungan So’a. (2013-2015) dan oleh SEES/UOW, yaitu: M.J.Morwood
fosil Stegodon
(2009-2014), G.D. van den Bergh (2015). Hingga kini
florensis dan alat Penelitian ini meliputi berbagai aspek geologi/
kerja sama penelitian terus berlanjut untuk periode
batu. Sehingga stratigrafi dan ekskavasi yang sistematis di berbagai
Tim Peneliti PPPG – Utrecht – Naturalis 2016 – 2020 yang dipimpin bersama oleh Ruli Setiwan
Stegodon florensis lokasi terpilh antara lain: Mata Menge, Dozo Dhalu,
(1992 -1994). (PSG/BG) dan G.D. van den Bergh (SEES/UOW).
dan alat batu Boa Leza, Tangi Talo dan Kopo Watu. Kemudian kerja
ditafsirkan berumur sekitar 750.000 tahun lalu sama penelitian ini berlanjut dengan judul, Astride the Tujuan utama kerja sama penelitian ini ialah untuk
(Sondaar, dkk., 1994; van den Bergh, 1999; Aziz, 2000). Wallace LineI (2003 – 2006) dan Astride the Wallace menemukan ‘‘Manusia Awal’’ pembuat dan pengguna
Disamping itu, penelitian menemukan pula lokasi baru Line – II (2006 – 2009) yang dipimpin bersama oleh alat batu di Cekungan So’a, Flores. Bagaimana dan
yang kaya akan fosil vertebrata di Dozo Dalu. Namun Fachroel Aziz (PSG) dan M.J. Morwood (UNE/UOW). seperti apa “Manusia Awal” yang bermigrasi ke Flores?
demikian, informasi ini masih belum ditanggapi Tujuan utama untuk melacak wujud dan keberadaan Apa penyebab mereka punah? Apakah mereka juga
serius oleh sebagian ahli arkeologi. Umumnya mereka “manusia awal” pembuat dan penguna alat batu yang menyeberang ke Australia? Apakah mereka sama
meragukan keabsahan identifikasi alat batu tersebut bermukim di Cekungan So’a. dengan Homo erectus di Jawa ataukah dari spesies lain?
karena tim yang melakukan penelitian itu tidak Penelitian ini meliputi pemetaan geologi,
disertai oleh ahli dengan latar belakang keahlian Untuk mencapai tujuan ini maka sejak 2012 ekskavasi
pengumpulan contoh batuan untuk berbagai analisis berskala besar dan rinci dilakukan di beberapa lokasi
arkeologi. laboratorium dan ekskavasi sistematis yang difokuskan terpilih, secara khusus di Mata Menge. Berkat dedikasi,
M. J. Morwood, 1997, ahli arkeologi dari University of di Mata Menge, Wolo Sege, Koba Tua dan Tangi Talo. ketekunan dan kerja keras tim dan serta didukung
New England (UNE), Australia setelah menganalisis- Penelitian ini belum berhasil menemukan kerangka oleh semua pihak baik pemerintah dan masyarakat
florensis di Ola Bula, mereka menemukan fosil pygmy
ulang alat batu yang dikumpulkan antara 1992 – 1994 wujudnya, akan tetapi memberikan petunjuk bahwa setempat, akhirnya dalam penelitian/ekskavasi pada
(kerdil) dari Stegodon dan kura-kura besar (Sondaar, keberadaan “manusia awal” di Cekungan So’a sekitar
1987). Akan tetapi, karena berbagai faktor, penelitian meyakini bahwa ternyata benar bahwa kumpulan 2014 telah ditemukan indikasi keberadaan manusia
itu adalah alat batu buatan manusia purba. Sebagai 1.000.000 tahun lalu. Hasil penelitian ini diterbitkan awal di Cekungan So’a dengan ditemukan spismen
ini tidak berlanjut. dalam bentuk monograf yang berjudul: Pleistocene
tindak lanjut, Aziz dan Morwood (1996) melakukan fosil gigi seri (incisor) manusia di parit (trench 32)
Periode 1990 – 2010 peninjauan singkat lapangan Flores dan pengambilan Geology, Palaeontology and Archaeology Of The ekskavasi Mata Menge. Temuan ini berlanjut dalam
contoh batuan untuk analisis “fission track”. Hasil Soa Basin, Central Flores, Indonesia sebagaimana kegiatan ekskavasi lanjutan (trench 32) di Mata Menge
Dalam kurun waktu (1992–1994) suatu kerja sama dipublikasikan oleh Aziz, Morwood and van den
analisis “fission track” menunjukkan bahwa kumpulan 2015. Seluruh temuan tersebut telah diterbitkan dalam
antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi – Bergh eds pada 2009.
fosil dan alat batu itu berumur 800.000 – 880.000 majalah Nature, Vol. 534, June 2016 dan secara resmi
University of Utrecht dan National Museum of Natural
tahun, sedangkan kumpulan fosil di Tangi Talo Periode 2010 – 2015 menuju 2016 - 2020 telah diumumkan melalui acara Press Confrence: Early
History (Naturalis) Leiden yang dipimpin bersama oleh berumur sekitar 900.000 (Morwood et al., 1999). Humans In Flores yang dilaksanakan oleh Pusat Survei
Fachroel Aziz (PPPG), P.Y. Sondaar (Utrecht) dan J. Untuk melanjutkan pelacakan “manusia awal” Geologi di Museum Geologi Bandung pada 8 Juni
De Vos (Naturalis). Tim berhasil menemukan kembali Kemudian (1997) rencana penelitian di Flores disusun Cekungan So’a, kerja sama penelitian dilanjutkan 2016.
lokasi (relokasi) ekskavasi Verhoeven di Mata Menge bersama oleh Aziz, Morwood dan J. De Vos membantu dengan payung bertajuk: ‘Kerja sama Penelitian
dan Boa Lesa. Ekskavasi ulang (melanjutkan ekskavasi menyiapkan draft proposal penelitian di Flores untuk Indonesia - Australia Berdasarkan Nota
Verhoeven, 1963) di Mata Menge juga menemukan diajukan ke Australian Research Council (ARC). Kesepemahaman (MoU) Badan Geologi dengan “… Kami hanya tulang-tulang yang berserakan
asosiasi Stegodon florensis dan alat batu seperti yang Proposal penelitian di Flores yang diajukan mendapat University of Wollongong tentang Earth Science”. Tapi adalah kepunyaanmu
telah dilaporkan oleh Verhoeven (1968) dan Maringer dukungan penuh dari ARC dalam bentuk proyek Sebagai implementasi MoU ini, Pusat Survei Geologi, Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang yang
dan Verhoeven (1970). kerja sama penelian Indonesia – Australia dengan Badan Geologi dan School of Earth and Environmental berserakan…”
judul: Archaeology and palaeontology of the Ola Bula Science, the University of Wollongong (SEES/UOW) (“Karawang – Bekasi”, Chairil Anwar 1948).■
Sedangkan ekskavasi di Tangi Talo menemukan fosil Formation, Central Flores, Indonesia (1998-2001) yang melaksanakan penelitian bersama dengan judul: In
Stegodon kerdil (Stegodon sondaari) dan Kura-kura dipimpin bersama oleh Fachroel Aziz (PPPG) dan M.J. Search Of The First Hominins (2010 – 2015) dengan Penulis, Fachroel Aziz adalah profesor riset bidang paleontologi
Darat Raksasa (Megalochelyssp yang semula disebut Morwood (UNE). Prof. Hasan Ambari, Kepala Pusat tujuan utama untuk menemukan ‘‘manusia’’ pembuat dan Iwan Kurniawan adalah Kepala Seksi Dokumentasi dan
Geochelone sp), Komodo (Varanus komodoensis), Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) mendukung dan pengguna alat batu di Cekungan So’a, Flores. Konservasi, Museum Geologi, Badan Geologi, KESDM.

28 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 29


Lapisan pembawa fosil dan alat batu berupa batupasir kerikilan kaya intraclast. Foto: R. Setiawan.

Kondisi Trench 32 di Mata Menge. Foto. R. Setiawan. Penelitian sebelumnya di sini yang mengkaji aspek Metode Penentuan Umur
geologi, paleontologi dan arkeologi, telah berhasil Untuk mengetahui umur fosil manusia purba dari
mengidentifikasi beberapa lokasi fosil dan lapisan Mata Menge, digunakan beberapa pendekatan,
pembawa fosil maupun alat batu, yang tersebar di antara lain kemagnetan purba, tephrochronology,
bagian barat, tengah maupun timur Cekungan So’a. dan penanggalan uranium pada fosil gigi manusia

Umur Manusia Purba


Data dari Wolosege menunjukkan bahwa alat batu purba. Metode kemagnetan purba didasari oleh
yang diperoleh pada lokasi ini berumur 1 juta tahun. arah kemagnetan bumi (polaritas) yang berubah-
Meskipun fosil manusia purba tidak ditemukan, dapat ubah dalam jangka waktu tertentu dan perubahan

Cekungan So’a
diduga bahwa manusia purba telah hidup di Cekungan tersebut dapat terekam oleh batuan, baik itu batuan
So’a sejak periode waktu tersebut. Tidak jauh dari beku, ubahan atau sedimen. Saat ini apabila kita
Wolosege, terdapat situs Mata Menge yang pertama menggunakan kompas, maka jarum utara kompas
kali diteliti dan dilakukan penggalian oleh seorang akan menunjukkan arah “utara” kutub magnet. Arah
pastor Belanda, Theodore Verhoeven, pada era 1950- kompas saat ini tersebut selanjutnya disebut polaritas
an. Hal yang menarik dari situs Mata Menge adalah normal (normal polarity). Namun, ada beberapa
Oleh: Ruly Setiawan dan Dida Yurnaldi fosil vertebrata dan alat batu ditemukan pada lapisan rentang waktu dimana arah utara kompas membalik
yang sama dan dapat dijumpai di beberapa lapisan, menunjuk ke arah selatan kutub magnet, yang
sehingga kegiatan penelitian dan penggalian terus kemudian disebut sebagai polaritas membalik (reverse
Cekungan So’a merupakan cekungan sedimen yang dikelilingi oleh gunung api purba dilakukan sampai sekarang. polarity).
maupun gunung api yang masih aktif. Secara stratigrafi, Cekungan So’a tersusun Pada periode tahun 2013 – 2015, kegiatan penggalian Perpindahan arah kemagnetan bumi dari reverse
oleh batuan-batuan dari Formasi Olakile, Formasi Ola Bula dan Endapan Vulkanik secara intensif dilakukan di Trench 32. Penggalian polarity ke normal polarity atau sebaliknya telah
Muda. Adapun Formasi Ola Bula terdiri dari tiga anggota formasi yaitu Anggota Tuf, berhasil menemukan fosil manusia purba berupa gigi dikonfirmasi menggunakan metode penentuan
Anggota Batupasir dan Anggota Batugamping “Gero”. Dalam beberapa tahun terakhir, geraham, gigi susu dan tulang rahang pada lapisan umur potasium argon (K-Ar), sehingga setiap batas
penelitian difokuskan pada Anggota Tuf dan Anggota Batupasir dari Formasi Olabula batupasir kerikilan. Pertanyaan selanjutnya adalah perpindahan arah kemagnetan bumi telah diketahui
berapa umur fosil manusia purba tersebut? Umur fosil umur pastinya. Berdasarkan hal tersebut disusun
karena pada kedua anggota formasi tersebut banyak ditemukan fosil vertebrata, dan menjadi sangat penting, karena dengan mengetahui sebuah skala waktu kemagnetan bumi (Geomagnetic
khususnya pada Anggota Batupasir selain fosil vertebrata juga ditemukan artefak (alat umurnya, maka dapat diperoleh gambaran mengenai Polarity Time Scale – GPTS) oleh Komisi Stratigrafi
batu). sejarah kehidupan manusia purba di Cekungan So’a Internasional (ICS) yang dijadikan acuan dalam
dan implikasinya terhadap kerangka evolusi manusia penentuan umur dengan metode kemagnetan
purba di Indonesia. purba. Dengan mengukur kemagnetan purba yang

30 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 31


Kiri atas: Endapan piroklastik yang
berperan sebagai lapisan kunci yang
digunakan dalam penentuan umur
lapisan pembawa fosil: Lapisan Wolosege
Ignimbrite berumur 1 juta tahun (atas,
kiri), Kanan atas: Lapisan Pumaso Tephra
berumur 810 ribu tahun. Bawah: Lapisan
Piga Tephra (tanda panah) berumur 650
ribu tahun. Foto: R. Setiawan.
Proses pengambilan sampel untuk analisis kemagnetan purba. Foto: D. Yurnaldi.

terekam pada batuan lalu memplot-nya dengan Selanjutnya metode tephrochronology diartikan sebagai
kedudukan stratigrafi batuan-batuan tersebut saat suatu pendekatan dengan memperhatikan perlapisan
ini, maka kita akan mendapatkan apa yang disebut batuan terutama lapisan endapan piroklastik atau
abu vulkanik (tefra) dan selanjutnya pada lapisan stratigrafinya, lapisan fosil
magnetostratigraphy.
manusia purba terletak sekitar
tersebut dilakukan penanggalan radioisotop. Endapan
Hasil magnetostratigraphy tersebut kemudian 10 m dibawah lapisan Piga
piroklastik ataupun abu vulkanik mudah dikenali
dibandingkan dengan tabel GPTS, dimana perubahan Tephra yang berumur 650 ribu
di lapangan dan dapat berfungsi sebagai lapisan
kemagnetan bumi purba yang terekam di lapangan tahun. Analisis kemagnetan
penciri (marker beds). Dengan mendeskripsi setiap purba menghasilkan polaritas
akan mencerminkan umur tertentu sehingga pada lapisan piroklastik maupun tefra dalam suatu sekuen
akhirnya umur batuan dapat ditentukan. Dalam normal yang menunjukkan umur
dan kemudian dibandingkan dengan posisi lapisan lebih muda dari 790 ribu tahun.
aplikasinya, metode kemagnetan purba ini sebaiknya pembawa fosil, maka dapat diketahui posisi relatif
tidak berdiri sendiri, perlu didukung dengan metode Selanjutnya dari penanggalan
lapisan pembawa fosil tersebut terhadap lapisan uranium memperlihatkan hasil
umur radiometrik seperti argon–argon, U–Th atau piroklastik maupun tefra.
luminescence agar perubahan polaritas kemagnetan umur minimal 550 ribu tahun.
Setelah posisi stratigrafinya diketahui, kemudian Memperhatikan data-data umur
yang diperoleh dapat diinterpretasi dengan tepat. purba tersebut antara 810 ribu sampai dengan 650 ribu
dikombinasikan dengan metode radioisotop, dalam tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa umur
Pengambilan contoh batuan di lapangan untuk analisis tahun. fosil manusia purba dari Mata Menge berumur sekitar
hal ini digunakan metode argon–argon sehingga
kemagnetan purba dilakukan secara khusus, yakni umur setiap lapisan piroklastik maupun tefra dapat 700 ribu tahun.
Untuk menguatkan hasil analisis penentuan umur
dengan metode pengambilan terorientasi untuk ditentukan. Secara teoritis, metode argon–argon dengan metode kemagnetan purba dan pendekatan Berdasarkan umurnya, fosil manusia purba dari Mata
mengisolasi arah kemagnetan purba yang terekam mengukur perbandingan nilai isotop 40Ar dan 39Ar tephrochronology, maka dilakukan analisis pada Menge merupakan fosil manusia purba pertama yang
pada contoh batuan yang diambil. Sampel diambil pada suatu mineral yang terkandung dalam batuan, fosil gigi manusia purba dengan metode Uranium ditemukan di Cekungan So’a. Kurang lebih 70 km ke
dalam bentuk kubus yang kemudian dimasukkan seperti misalnya hornblende, biotit atau felspar. series. Pada prinsipnya, metode ini mengukur arah barat dari Cekungan So’a, terdapat situs Liang
ke dalam kotak plastik berukuran 2 cm x 2 cm x nilai isotop 238U, 234U, 234Th dan 230Th. Metode ini Bua dimana fosil manusia kerdil “hobbit” ditemukan.
2 cm. Kotak itu selanjutnya diberi tanda arah dan Umur Fosil Manusia Mata Menge Fosil hobbit tersebut berumur antara 100 ribu hingga
bersifat non destructive, karena pengukuran nilai
jurus kemiringan pada permukaannya. Di lokasi Ada tiga lapisan vulkanik yang dapat dijadikan lapisan isotop menggunakan laser berukuran 10 nm yang 50 ribu tahun. Dengan demikian, fosil manusia Mata
Mata Menge, contoh batuan diambil pada lapisan kunci di Mata Menge, antara lain lapisan Wolosege ditembakan langsung pada bagian akar dari gigi Menge merupakan fosil manusia purba tertua di
yang berbutir halus (lempung – lanau) baik dibawah Ignimbrite yang berumur 1 juta tahun, lapisan Pumaso daratan Flores. Di dalam konteks regional, manusia
manusia purba. Berdasarkan rasio isotop U-Th, fosil
maupun diatas lapisan fosil. Hasil pengukuran Tephra yang berumur 810 ribu tahun dan lapisan Piga purba Mata Menge hidup pada masa yang sama
manusia purba minimal berumur 550 ribu tahun.
kemagnetan purba menunjukkan bahwa lapisan Tephra yang berumur 650 ribu tahun. Fosil manusia dengan Homo erectus di Jawa, yang hidup pada periode
fosil memperlihatkan polaritas normal, sehingga purba ditemukan pada lapisan batupasir kerikilan yang Hasil umur dari ketiga pendekatan tersebut waktu antara 1,5 juta sampai dengan 500 ribu tahun.■
diperkirakan fosil manusia purba berumur lebih muda posisinya terletak diantara lapisan Pumaso Tephra dan diatas kemudian digunakan sebagai dasar untuk Penulis, Ruly Setiawan dan Dida Yurnaldi, keduanya adalah
dari 790 ribu tahun. Lapisan Piga Tephra, sehingga umur fosil manusia menentukan umur fosil manusia purba. Dari posisi peneliti pada Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, KESDM.

32 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 33


Rekonstruksi fosil gajah purba dari Mata Menge koleksi Museum Geologi. Foto: Deni Sugandi

Fauna dan Lingkungan Atas: Lokasi penelitian: Peta indeks Pulau Flores dan Cekungan So’a (So’a Basin), Flores. Bawah: Peta elevasi digital (DEM) Cekungan So’a dan

Cekungan So’a
lokasi temuan fosil vertebrata. Sumber: Brumm, et al, 2010.

Salah satu dari pulau itu adalah Flores (kata Sahul. Meskipun demikian, sebagian elemen fauna asal
“flores” secara bahasa berarti bunga). Memang, Flores daratan Asia seperti gajah (Stegodon) dapat ditemukan
merupakan salah satu dari rangkaian gugus kepulauan di Flores.
Wallacea yang terletak di seberang timur garis Wallace
Fauna Cekungan So’a
Oleh: Erick Setiyabudi dan Ifan Yoga Pratama Suharyogi (Wallace’s line), garis pemisah klasik antara fauna asal
Asia (Indo-Malayan region), dan fauna asal Australia Bagaimana binatang Asia dapat sampai dan
(Austro-Malayan region). Namun, kondisi faunanya berkembang di Pulau Flores? Tentunya hal itu tidak
Penemuan fosil manusia purba dan fosil-fosil mamalia serta fauna lainnya di Mata banyak yang memiliki keunikan khas dari ciri fauna di serta-merta mereka berpindah dari Asia dan sampai
Menge, Cekungan So’a, Flores, menarik kita untuk mengkaji fauna di cekungan kepulauan Indonesia Tengah. di sana. Hanya binatang yang mampu menyeberangi
tersebut dan lingkungannya. Kondisi paleogeografi, tatanan pulau-pulau yang hambatan lautan dengan ombak yang besar serta
Pada Zaman Plistosen, Flores telah terisolasi dan tidak laut yang dalam dapat sampai ke Pulau Flores.
menghiasi nusantara yang termasuk daerah Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda pernah terhubung dengan Benua Asia, meskipun pada Hal itu dapat dibuktikan dengan keberadaan fosil
Islands) - tempat Flores berada - merupakan jajaran kepulauan yang eksotik di wilayah saat air laut berada pada titik yang paling rendah. vertebrata dari jenis tertentu. Kehadiran vertebrata
gugusan kepulauan wilayah Indonesia Tengah (Wallacea). Keunikan sumber daya alam Oleh sebab itu, jumlah spesies fauna di Flores, baik tersebut membuktikan keberhasilan mereka untuk
yang membedakan dengan pola yang berada di daerah bagian barat (Paparan Sunda) yang masih ada saat ini hingga yang telah punah sukses mencapai dan memenuhi insting hidupnya
maupun timur (Paparan Sahul). Masing-masing pulau di dalam kawasan Wallacea (menjadi fosil), sangatlah sedikit jika dibandingkan untuk berkembang biak. Gajah adalah salah satu dari
memiliki ciri yang khas. dengan pulau-pulau di Paparan Sunda dan Paparan binatang yang dapat berenang, sedangkan kura-kura

34 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 35


Geoemydidae), komodo (Varanus komodoensis),
buaya (Crocodilus sp.), dan tikus raksasa (Muridae).
Sedangkan elemen Fauna Mata Menge terdiri atas:
gajah berukuran besar (Stegodon florensis), tikus
raksasa (Hooijeromys nusatenggara), buaya (Crocodilus
sp.), komodo (Varanus komodoensis), katak, serta
beberapa spesies burung (Leptotilos robustus, Cygnus
sp., Bubo sp., Anas cf. gibberifrons, cf. Gallinula/Fulica,
Vanellus sp., dan cf. Hieraaetus) dan moluska air tawar
(Brotia testudinaria dan Tarebia granifera).
Lingkungan Cekungan So’a
Pada awalnya, Flores terbentuk oleh aktivitas
volkanisme bawah laut. Kemudian pada Miosen
Tengah, kl. 20 – 5 juta tahun yang lalu (tyl),
terendapkan batupasir dan batugamping di sekitar
gunung api tersebut yang menunjukkan telah terjadi
perubahan lingkungan dari laut dalam menjadi
laut dangkal. Pada 2,5 juta – 1,8 juta tyl, terdapat
aktivitas gunung api di barat laut dari Cekungan So’a
sekarang. Gunung api ini diperkirakan merupakan
gunung yang ada di Kaldera Welas saat ini. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkungan saat itu berada pada
daerah pinggiran gunung api. Aktivitas gunung api ini
menghasilkan batuan breksi andesit dengan sisipan
batupasir tufaan dan batulanau tufaan yang menjadi
Pola arus dari Pasifik menuju Samudera Indonesia yang batuan dasar pada Cekungan So’a.
mempengaruhi arah terdamparnya binatang hingga sampai ke
pulau-pulau. Sumber: Kuhnt, et al., 2004. Kemudian pada 1,1 juta – 1 juta tyl (Plistosen Awal)
terjadi pengangkatan tektonik yang membuat
Cekungan So’a menjadi lingkungan darat. Lingkungan
darat memiliki kemampuan mengapung dan terbawa ini masih dipengaruhi oleh adanya gunung api dan
arus. Kedua fauna tersebut dijumpai di Flores di masa sungai-sungai besar yang mengalir di sekitarnya.
lalu. Sungai-sungai ini sudah berada di daerah hilir yang
dapat dilihat dari hasil endapan batuan pada daerah
Berdasarkan hipotesis, jalur migrasi fauna vertebrata Tangi Talo yang masih didominasi oleh tuf batu apung
Flores dari arah utara yakni Asia – Filipina – Sulawesi dan endapan sungai. Dengan berubahnya lingkungan
– Kepulauan Sunda Kecil (Flores, Timor, Sumba dll). menjadi daratan, maka banyak fauna yang bermigrasi
Hal ini didasarkan kemiripan fosil yang ditemukan ke daratan baru ini. Suksesi Fauna Vertebrata di Cekungan So’a. Sumber: Puspaningrum et al., 2015.
di pulau-pulau tersebut dengan yang ada di Flores.
Selanjutnya, gelombang penyebaran binatang dari Lingkungan pada masa kehidupan Fauna Tangi Talo
Asia dapat dibuktikan dengan adanya data keberadaan merupakan kondisi pulau terisolir yang dibuktikan
binatang yang pernah hidup di Cekungan Flores yang oleh keberadaan fauna yang datang merupakan
dapat dikategorikan menjadi satuan fauna (fauna unit jenis unbalance fauna. Jenis fauna ini ditandai oleh
flood-flow tufan dengan ukuran sangat halus seperti
atau unit fauna). kehadiran binatang yang hanya dapat mencapai
terlihat di daerah Mata Menge. Dengan luas area
pulau dengan kondisi kemampuan binatang tersebut
Dari penelitian yang telah dilakukan, unit fauna yang berenang atau mengapung dari dataran Asia. Fauna daratan yang semakin bertambah luas, maka semakin
ditemukan di Cekungan So’a dapat dibagi menjadi tersebut dapat diketahui dari fosil yang terdapat di banyak fauna yang hadir, seperti fauna baru gajah,
dua: tertua adalah Fauna Tangi Talo yang berumur daerah Tangi Talo yakni gajah kerdil, kura-kura darat beberapa jenis biawak lain selain komodo, buaya besar
Plestosen Awal (900.000 tahun), dan yang muda raksasa, komodo, buaya kecil serta tikus raksasa. dan buaya kecil, serta beberapa jenis tikus, katak dan
adalah Fauna Mata Menge, memiliki kisaran umur Hingga kemudian pada 1 juta tyl terjadi letusan burung.
antara 880.000 tahun hingga 510.000 tahun. Selain gunung api yang menghasilkan endapan ignimbrit Pada sekitar 0,5 juta tyl, beberapa tempat seperti
di Mata Menge, elemen unit fauna Mata Menge juga yang kemungkinan membuat beberapa hewan seperti danau-danau kecil yang ada mulai meluas membentuk
ditemukan diantaranya di daerah Kobatuwa, Dozo gajah kerdil dan kura-kura darat raksasa menjadi sistem lakustrin yang dominan. Hal ini dapat dilihat
Dhalu, Boa Leza dan Ola Bula yang terletak di sekitar punah. dari adanya lapisan endapan danau dengan sisipan
Mata Menge, Cekungan So’a. endapan gunung api. Adanya beberapa lapisan
Pada 1 juta – 0,6 juta tyl, lingkungan mulai berubah
Beberapa spesies yang ditemukan di Tangi Talo (sekitar yang ditandai dengan beberapa sungai-sungai yang endapan gunung api menunjukkan bahwa Cekungan
2 km dari Mata Menge ke arah barat) di antaranya mengalir mulai memasuki danau, sehingga lingkungan So’a saat itu berada pada lingkungan vulkanik aktif.■
adalah: gajah kerdil (Stegodon sondaari), kura-kura fluvial lebih dominan. Hal ini terlihat dari endapan Penulis, Erick Setiyabudi adalah peneliti pada Museum Geologi;
darat raksasa (Megalochelys sp. semula disebut batuan yang ada di Cekungan So’a yang berupa Cekungan So’a kini dilihat dari udara dengan drone. Ifan Yoga Pratama Suharyogi adalah staf Seksi Dokumentasi dan
sebagai Geochelone sp.), kura-kura air tawar (Famili batupasir dan diatasnya terdapat lumpur lakustrin Foto: Ronald Agusta. Konservasi Museum Geologi; Badan Geologi, KESDM.

36 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 37


Teka-teki cerita tentang bagaimana kehidupan Didukung dari data fitolit, analisis fosil polen (serbuk
manusia purba Mata Menge hingga kini masih sari) dan spora yang dilakukan oleh A.A Polhaupessy
menjadi manifestasi yang menarik bagi para peneliti (1999) dari Pusat Survei Geologi (dulu P3G)
dari berbagai multidisiplin. Tercatat, situs-situs di lingkungan di sana di masa lalu juga menunjukkan
Cekungan So’a telah mengundang kedatangan para lingkungan yang cenderung kering. Polhaupessy
ahli diantaranya dari bidang biologi, bioanthropologi, mengajukan dua tipe lingkungan, yaitu lingkungan
sedimentologi, geokronologi, etnologi, vulkanologi yang didominasi oleh rumput disertai palem, tanaman
bahkan hingga seniman. Tak lengkap rasanya, paku dan semak kering; dan lingkungan air tawar
berlarut-larut membahas dan berdebat hanya yang disertai dengan tanaman paku. Analisis ini
tentang objek manusia purbanya saja. Lingkungan memperlihatkan kondisi umum lingkungan sabana
purba yang dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem yang tak berubah hingga sekarang dan bertahan
dengan manusia purba itu perlu juga dikaji untuk selama ratusan ribu tahun.
mengungkap sejarah kisahnya secara holistis. Hal ini Beberapa potongan fosil kayu juga terdapat di sekitar
demikian pula untuk manusia Mata Menge. lokasi situs dengan preservasi mineralisasi yang sangat
Beberapa data untuk merekonstruksi lingkungan baik. Walaupun umurnya belum diketahui, cetakan
purba Cekungan So’a telah diolah dengan daun dan rumput yang ditemukan mengindikasikan
menggunakan beberapa cara yang terukur dan bahwa lingkungan sekitar Mata Menge pernah
nilai saintifik yang dapat dipertanggungjawabkan. memiliki fitur tanah yang basah. Tidak sedikit pula
Rekonstruksi yang paling sering digunakan dan ditemukan bentukan menyerupai akar berwarna
paling mendekati bayangan ekosistem ratusan kuning pada bagian yang dianggap aliran sungai. Hal
ribu tahun yang lalu adalah berdasarkan flora dan ini mengindikasikan kemungkinan lingkungan yang
faunanya. Pendekatan yang pertama kali digunakan bersifat akuatik.
adalah metode tafonomi. Tafonomi adalah ilmu yang
mempelajari dinamika lingkungan sejak dari suatu Penelusuran Forensik Kematian Gajah
Gambaran kehidupan ekosistem fauna di Mata Menge yang didalamnya dapat ditemukan gajah Stegodon florensis, komodo Varanus organisme mati hingga terdepositkan, baik yang Fosil gajah Stegodon florensis merupakan elemen fosil
komodoensis, tikus Hooijeromys nusatenggara, buaya Crocodillus dan berbagai species burung. Sumber: PaleoArt. yang paling mendominasi temuan fosil fauna di Mata
terjadi alamiah maupun oleh intervensi organisme
lain (manusia dan hewan lainnya). Analisis ini dikenal Menge. Walaupun pecahan tulang ditemukan sangat
dengan nama analisis post-mortem. berlimpah, namun indikasi terbaik untuk menentukan
peristiwa yang mengubur gajah-gajah tersebut adalah
Rekaman pada Cetakan Daun dan Serbuksari dari fosil gigi dan gading. Tidak hanya berlaku

Merekonstruksi Berdasarkan tinjauan fosil flora, fitolit dari Mata


Menge yang diteliti oleh Gerrit van den Bergh dari
University of Wollongong Australia (2009), lingkungan
pada hewan gajah saja, gigi dan gading merupakan
indikator penentu umur dari semua binatang purba
bertulang belakang. Dari umur suatu populasi fauna,

Lingkungan Purba
Cekungan So’a menunjukkan vegetasi terbuka yang mekanisme matinya fauna dapat diketahui.
sedikit-sedikit ditumbuhi oleh pohon dan tipikal
Gajah Stegodon florensis di Mata Menge dipercaya
rumput-rumput tumbuh di bawahnya. Lingkungan

Cekungan So’a
sebagai material perburuan utama untuk dikonsumsi.
yang hampir serupa dengan gambaran lingkungan
Manusia purba biasanya hanya akan memilih gajah
yang berada sekarang.
dewasa untuk dimakan, sedangkan predator seperti
buaya dan komodo cenderung memangsa gajah
yang masih kecil. Umur gajah Stegodon florensis di
Mata Menge menunjukkan ragam umur dari gajah
kecil hingga dewasa, sehingga kurang bisa diketahui
Oleh: Halmi Insani dan Fachroel Aziz mekanisme terakumulasinya fosil-fosil yang ada, yakni
apakah akibat perburuan selektif atau karena proses
katasropik dari erupsi vulkanik yang mematikan gajah
kecil maupun gajah dewasa dengan sangat cepat.
Tak ubahnya seperti agen detektif, para peneliti paleontologi dituntut untuk mampu
mengungkap keseluruhan rekonstruksi kehidupan manusia purba Mata Menge Dengan menganalisis karbon stabil dan oksigen isotop,
kandungan karbonat δ13C pada enamel gigi gajah
dari berbagai perspektif. Tidak selalu bersandar pada anatomi fosil, seorang ahli dapat menentukan kecenderungan diet dari Stegodon
paleontologi dapat juga bertindak sebagai seorang ahli forensik yang harus mampu florensis asal Mata Menge ini. Melalui metode tesrebut,
mengumpulkan bukti dari saksi-saksi saintifik lintas keilmuan. Yang membedakan diketahui bahwa taxa fauna ini memiliki preferensi
dengan ahli forensik bidang lain, visum et repertum yang dikeluarkan oleh para makanan berupa rumput (C4) walaupun terkadang
ahli paleontologi adalah kejadian yang berlangsung ratusan ribu tahun yang lalu. memakan dedaunan dari pohon. Hal ini menunjukkan
Pekerjaan para ahli paleontologi itu berlaku pada rekonstruksi lingkungan purba dari gambaran vegetasi yang menutupi di Mata Menge
tempat fosil-fosil manusia dan flora fauna purba ditemukan. waktu itu yang mungkin berupa padang rumput
Sebaran fosil tulang dan gading gajah yang di Mata Menge yang
dengan beberapa pohon berdaun lebar.
dapat dianalisis tafonominya untuk mengetahui jumlah populasi
Dalam kotak galian Trench 32, yang berukuran 12 x
gajah, cara fauna mati dan mekanisme pengendapan kerangkanya.
Foto: Erick Setiyabudi. 18 m2 di situs Mata Menge, ditemukan beberapa jenis
fosil fauna vertebrata, di antaranya komodo Varanus

38 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 39


komodoensis, buaya air tawar Crocodillus, tikus raksasa Fosil tulang belulang gajah purba Mata Menge
Atas: Tim penggali di lubang penggalian Mata Menge
Hooijeromys nusatenggara, katak Anura dan berbagai Stegodon florensis (atas). Foto: Iwan Kurniawan.
yang terdiri dari masyarakat setempat sedang bekerja
Barisan fosil gigi komodo Varanus komodoensis yang
jenis burung. Keberadaan fosil komodo di Mata masih tersusun baik (bawah). Foto: Iwan Kurniawan.
. Foto: Erick Setiyabudi.
Menge, menunjukkan bahwa pulau Flores pernah
Bawah: Iwan Kurniawan (kanan) dan Dr. Adam Brumm
bersatu dengan Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang dan berkoloninya fauna. Hal ini dapat diketahui dari University of Wollongong, Australia (tengah)
kini dipisahkan oleh lautan. dari penentuan umur yang menunjukkan langsung berdiskusi mengenai temuan fosil gajah kerdil
Stegodon florensis yang diperkirakan memiliki tinggi
Lingkungan purba Mata Menge tidak bisa dilihat fase yang grafiknya sudah diketahui. Paleomagnet 1,9 m. Foto: Erick Setiyabudi.
sebagai peristiwa tunggal, namun sebuah perubahan bukan merupakan metode penentuan umur absolut
lingkungan yang dinamis dan kronologis. Dari yang menghasilkan angka umur, tetapi mampu
temuan fosil hewan gastropoda, di antaranya Brotia menghasilkan pengukuran yang lebih akurat.
testudinaria (von dem Busch, 1842) dapat disimpulkan kronologis, lingkungan fluvial di Mata Menge terjadi
bahwa Mata Menge pernah dialiri aliran air tawar yang Sejarah perubahan orientasi medan magnet bumi lebih dahulu daripada lingkungan purba. Berdasarkan
cukup berarus. Sedangkan berdasarkan temuan fosil dapat diketahui melalui orientasi magnetik partikel analisis paleosoil, dapat diketahui sebuah transisi
keong Tarebia granifera (Lamarck, 1882), diperoleh logam dalam batuan. Melalui metode paleomagnet, terjadinya proses pelapukan yang berlangsung cukup
indikasi bahwa sebuah terdapat sungai periodik yang posisi kronologis pembalikan kutub bumi secara lama (prolonged weathering) pada rentang ± 100.000
rentang umur 2 taxa fauna yang overlap berdasarkan tahun tersebut.
dapat mengalir stagnan pada periode tertentu di sana periodik dapat dianalisis. Metode ini memperlihatkan
Umur Mamalia Asia.
di masa lalu. posisi Mata Menge berada di dekat batas umur geologi Perpaduan hasil rekosntruksi yang dilakukan ternyata
Bruhnes-Matuyama yakni 781.000 tahun yang lalu Tanah yang melapuk dari batuan merupakan penunjuk memunculkan tambahan kompleksitas gambaran
Ekosistem akuatik atau semi-akuatik di Mata Menge adanya proses pelapukan yang cukup intensif dan
atau di awal Plistosen Tengah yang mengindikasikan dinamika perubahan lingkungan di Cekungan So’a.
juga diindikasikan dengan adanya temuan fosil buaya terekspos terhadap udara atau air dalam waktu cukup
dan katak yang biasa hidup di sekitar aliran air tawar. Namun, secara umum, hasil analisis para ahli lintas
lama. Lapisan tanah purba (paleosoil) dapat menjadi ilmu ini memperlihatkan bahwa Mata Menge adalah
Hal ini didukung tengan temuan fosil sebanyak enam titik terang kondisi lingkungan purba yang dapat
jenis burung yang menunjukkan lingkungan terbuka sebuah daerah dengan masukan (influx) aliran air yang
diukur berdasarkan kerentanan magnetnya (magnet sedemikian sehingga menjadi tempat yang nyaman
dengan komponen aliran air tawar di dekat padang succeptibility). Dinding lapisan pada galian berundak bagi fauna dan manusia purba untuk hidup. Suatu
rumput yang mengarah ke hutan tertutup. Fosil tulang (step trench) di Mata Menge memperlihatkan adanya ekosistem yang baik pun berkembang di sana yang
burung yang dikenali di antaranya angsa Cygnus sp. perselingan lapisan berwarna pink terang di antara kemudian secara lambat atau cepat berakhir oleh
dan burung hantu elang Bubo sp. Trench 34 yang diinterpretasikan sebagai lingkungan aktivitas vulkanik yang berlangsung dalam beberapa
fluvial dan Trench 35 dengan kecenderungan babak selama Plistosen, yaitu pada kl. 1.800.000 hingga
Pendeteksian melalui Paleomagnet dan
lingkungan danau dengan selisih umur ± 100.000 11.000 tahun yang lalu, terutama di sekitar 700.000
Paleosoil tahun. tahun yang lalu.■
Penentuan kondisi iklim purba dapat diketahui dari
kecenderungan temperatur global. Posisi kronologis Warna pink pada paleosoil tersebut diasumsikan Penulis, Halmi Insani adalah Staf Seksi Dokumentasi dan
suatu peristiwa berada dalam fase glasial dan sebagai warna mineral hematit yang merupakan Konservasi, Museum Geologi, Badan Geologi, KESDM; Fachroel
mineral sekunder dari goethit atau magnetit. Secara Aziz adalah professor riset bidang paleontologi.
interglasial sangat mempengaruhi lingkungan purba

40 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL UTAMA 41


Mimin Karmini
PROFIL

Setia di Jalan Mikropal


Oleh: Atep Kurnia

Sejak William Smith menemukan Hukum Suksesi Fauna hingga kini, penelitian
mikropaleontologi terus berkembang. Dalam pekerjaannya, ahli mikropal tidak jarang
harus berlama-lama di samudera, sehingga terkesan sangat kelaki-lakian. Salah
seorang perempuan Indonesia yang setia di jalan mikropal adalah Mimin Karmini,
profesor riset bidang geologi kelautan dan penemu mineral philipsit.

Karier Mimin Karmini di bidang Pada tanggal 19 Februari 1970, Mimin berhasil
mikropaleontologi malang melintang. Sejak bergabung menempuh ujian Sarjana Muda dari Jurusan Geologi,
ke Direktorat Geologi (kini Badan Geologi, KESDM) Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA), Unpad.
pada 1972 hingga memasuki masa purnabaktinya pada Oleh karena itu, ia berhak menempuh ujian sarjana
tahun 2008, ia tetap menekuni fosil-fosil renik yang ilmu pasti dan ilmu alam. Saat kuliah, kawan
ada di daratan dan perairan Indonesia. seangkatannya ada 24 orang. Di antaranya ada Sam
Supriatna (PSG), dan Aswan Yasin (mantan Kepala
Mimin dilahirkan di Kopo, Kota Bandung, 13 Oktober PPPGL).
1943 dari pasangan Sudinta dan Eha Djulaeha.
Ayahnya adalah polisi yang berdinas di bagian Namun, di antara kawan seangkatannya hanya
administrasi di Jalan Jawa, Kota Bandung. Sementara dialah perempuan yang bisa menyelesaikan studinya
ibunya bekerja sebagai pengrajin rajut di daerah Kopo. hingga selesai. “Di angkatan kuliah, saya menjadi
‘anak perawan di sarang penyamun’, karena hanya
Pendidikan dasar hingga menengahnya diselesaikan di satu perempuan di antara 25 orang jalu yang bisa laju
Kota Bandung. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya sampai ke finish, meskipun tersendat-sendat. Yang
dari Sekolah Rakjat Padjagalan 31/II, Kota Bandung penting, biar lambat asal selamat,” ujar istri ahli geologi
(1956). Pendidikan menengahnya diraih dari SMP Karsono Adisaputra ini.
Parki I, Bandung (1960), dan SMA Negeri IV Bandung
jurusan Ilmu Pasti dan Alam atau Jurusan B (1963).

42 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 PROFIL 43


saya tekuni menjadi lebih berkembang, yang tadinya bisa ikut. Karena ia harus mengalami operasi lutut.
daerah penelitiannya di darat waktu di PPPG, dengan Namun, dalam upaya memproses hasilnya, Mimin
objek penelitian foraminifera pada sedimen zaman ikut berperan mengolah hasil percontoh sedimen inti
Tersier, beralih ke laut, dengan objek yang sama yaitu dalam Ekspedisi BARAT.
mikrofauna laut, tapi terendapkan di zaman Kuarter.”
Sebagai tindak lanjut Ekspedisi Images, pada 2000,
Sebagai konsekuensinya, Mimin harus pula mengikuti Mimin kembali ke Prancis untuk mengolah data. Ia,
perjalanan mengarungi lautan demi pekerjaannya bersama putra bungsunya, Irni, kembali lagi ke Gif
itu. Ia tercatat antara lain pernah mengikuti Ekspedisi sur Yvette. Hasilnya, sebagian sudah dijadikan bahan
Snellius II (1985) dan Ekspedisi International Marine untuk melengkapi tugas akhir mahasiswa-mahasiswa
Global Changes Study atau IMAGES (1998). Ekspedisi ITB dan Trisakti, dan sebagian lagi siap diterbitkan.
Snellius II adalah proyek kerja sama antara pemerintah
Belanda dengan Indonesia di bidang geologi kelautan. Pengalaman lain di luar negeri yang berurusan dengan
Wilayah operasinya di perairan timur Indonesia. ihwal mikropal, yaitu pengalamannya mengikuti
Prof. Mimin di ruang kerjanya. Foto: Koleksi pribadi. Pelayarannya menggunakan Kapal Riset Tyro, milik Seminar International Geological Congress Program
Pemerintah Belanda. Ekspedisi Snellius II 1985. Foto: Koleksi pribadi. (IGCP) 355 di Kyoto, Jepang pada 1995 dan pada
Sebelum menyelesaikan sarjana, pada 1970, Mimin 1996, Mimin bersama Purnamaningsih dipercaya oleh
Pelayaran pertamanya di perairan Selat Makasar, juga aki-aki dan nini-nini para peneliti dari Prancis. Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral
melamar ke Direktorat Geologi. Kepala Seksi Ternyata, setelah pekerjaan dimulai, aki-aki dan
mengarahkannya ke bidang paleontologi. Di sana melibatkan para ahli di bidang geologi, geokimia, Adjat Sudradjat, sebagai wakil pihak Indonesia di
struktur geologi, biostratigrafi, dan mikro- nini-nini tersebut memperlihatkan kebolehannya. CCOP, untuk menghadiri lokakarya CCOP di Baguio
ia mengawalinya sebagai Calon Pegawai (1972) dan
paleontologi. Dan pelayaran Snellius II berikutnya, Dengan gesitnya, memotong core, menggotongnya, City, Filipina.
menjadi PNS sebagai asisten geologi (1973). Ia pun
pada tahun 1986, untuk kedua kalinya Mimin dan mengerjakan keaktifan lainnya seakan-akan tidak
diberi kesempatan ke lapangan. Hasilnya, pekerjaan Jalan Menuju Peneliti Utama
mengikuti pelayaran dari perairan Timor, terus ke mengenal lelah,” katanya.
lapangan tersebut antara lain dijadikannya skripsi
yang berjudul Stratigrafi dan Paleontologi daerah Pasir sebelah timur, kemudian ke selatan mengarungi Selain mengikuti pelayaran laut, Mimin terlibat pula Pelayaran dan pengolahan data yang digeluti Mimin
Pawon, Padalarang, Jawa Barat (1975). Pada saat itu Samudra Hindia. dalam pengolahan data hasil ekspedisi kelautan memang sangat bertaut dengan penelitian berikut
pula diangkat sebagai ahli geologi. baik yang diikutinya maupun yang tidak di Belanda, penulisannya sebagai bentuk pertanggungjawaban
Saat kali pertama melaut itu, Mimin merasa, “Pertama
Prancis, Inggris, dan Jerman. Pada 1986 dan 1987, kepenelitiannya. Hal ini dibuktikannya dengan
Ketertarikannya untuk mempelajari mikropaleontologi kali yang saya pikirkan kalau bekerja di laut itu,
Mimin berangkat ke Vrije Universiteit (Amsterdam) munculnya tulisan “Miogypsina cushmani and
tidak terlepas dari pengaruh dosen pembimbingnya takutnya mabuk, ih, malu-maluin. Tapi entah kenapa,
dan The Netherlands Institute of Sea Research, Texel, Miogypsina antillea from Jatirogo, East Java.” Tulisan
Harsono Pringgoprawiro. “Dulunya saya tidak tertarik entah karena gizinya baik, atau daya tahannya memang
untuk memproses data hasil Ekspedisi Snellius II. ini ditulis oleh Mimin bersama R. Smit dan E.J. Van
mempelajari foraminifera. Oleh karena itu, ketika ‘tangguh’, saya hanya pernah merasa pusing, yang tidak
Vessem serta dimuatkan pada Bulletin Geological
kuliah nilai untuk mata kuliah paleontologi pas-pasan. lebih dari setengah jam, setelah itu diistirahatkan,
Pada 1986 juga ia ikut memproses data hasil Ekspedisi Survey Indonesia (1978).
Hanya yang bagus itu kan dosennya dari ITB, Pak dibaringkan, Alhamdulillah setelahnya bisa bekerja
Snellius II di Hamburg Universität, Jerman. Ia
Harsono yang juga menjadi pembimbing saya itu kembali.” Saat mengikuti Ekspedisi Snellius II Mimin
diundang ke sana oleh E. Degens, yang menjadi Co-
mendorong untuk mempelajari mikropaleontologi. menulis “Paleontological analyses of the Savu and
Pada 1998, ia mengikuti lagi Ekspedisi IMAGES yang Chief Scientist dari Jerman saat mengikuti Ekspedisi
Jadi kita merasa tertarik mempelajarinya,” ujar ibu bagi Lombok Basins, and Argo Abyssal Plain” (1985).
merupakan proyek kerja sama antara Indonesia dan Snellius II. Katanya, “Selama di Hamburg, saya
Ismail Kurnianto, Darajat Arianto, Aisyah Myalina, Prancis. Saat itu, Mimin dan tim peneliti lainnya mengolah data Snellius II dengan Ms. Beate Buch
Nurul Hasanah dan Irni Shobariani ini. menggunakan Kapal Peneliti Marion Dufresne milik di Universitas Hamburg. Saya jadi ingat sewaktu di
Saat ada restrukturisasi Direktorat Geologi pada Prancis, yang berbobot 10.000 ton. Saat itu, wilayah PPPG, saya pernah kursus intensif bahasa Jerman
1979, Mimin menjadi staf di unit baru yaitu di Pusat operasinya meliputi Samudra Hindia, Laut Banda dan selama dua setengah tahun (1978-1980), sampai
Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG). Di Laut Sulawesi. fasih, tapi kenapa baru dapat kesempatan ke Jerman
unit baru ini, ia diberi kesempatan untuk mendalami Mimin saat itu terkesan dengan para peneliti dari sekarang.”
bidang Foraminifera Besar dengan mengikuti Prancis. “Hari pertama di kapal riset ini, banyak Pada 1987, Mimin ikut pula menghadiri Seminar
pelatihan di University of Western Australia, Perth, Nanoplankton hasil Ekspedisi Snellius II di London.
Australia, selama setahun (1981-1982). Saat itu, Mimin membawa nanoplankton dari Selat
Saat itu, katanya, “Seharusnya saya berangkat ke Makassar, hasil mengikuti Ekspedisi Snellius II.
Sydney pada 1980, tetapi karena pada waktu itu sedang
Antara 1992-1993 dan 2000, Mimin ikut memproses
hamil tua, ditunggu agar melahirkan dulu, perjalanan
data hasil Ekspedisi Shiva, Barat dan Images di Prancis.
diundur sampai bulan Maret 1981, pada waktu si
Ekspedisi Shiva adalah proyek kerja sama antara
bungsu berumur 40 hari, terpaksa saya tinggal.
Indonesia dan Prancis, yang dilaksanakan pada 1990.
Perjalanan yang membuat hati bimbang. Setelah
Meski Mimin tidak berpartisipasi dalam pelayarannya,
pulang dari sana, sebagai konsekuensinya, anak tidak
tetapi ia ikut menyusun Stratigrafi Kuarter berdasarkan
kenal sama ibunya, baru setelah kurang lebih sebulan,
dia sudah mulai mau mendekat.” Foraminifera plankton yang didapat dari percontoh
inti yang diambil selama pelayaran tersebut. Oleh
Mengarungi Samudra, Mengolah Data karena itu, antara 1992-1993, Mimin bekerja di The
Oceanography Laboratory of the University of Bordeaux
Pada 1984, berdiri unit Pusat Penelitian dan dan di The Laboratory of CEA-CNRS, Centre des Faibles
Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL). Mimin Radioactivités di Gif-sur-Yvette.
memutuskan untuk bergabung ke PPPGL dengan
alasan untuk menambah wawasan di bidang ilmu Pada 1994, saat ada kerja sama lagi antara Indonesia
geologi kelautan. “Sejak 1984, arah penelitian yang Saat di Kingswood College. Foto: Koleksi pribadi. dan Prancis dalam Ekspedisi BARAT, Mimin tidak Netherlands Wind Molen 1986. Foto: Koleksi pribadi.

44 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 PROFIL 45


dari genus dengan masing-masing parameternya bisa Prasetyo, dan M. Udiharto yang sama-sama berkarier
ditempatkan di dalam urutan stratigrafi tanpa harus di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya
mengenal nama spesiesnya secara rinci. Mineral (DESDM) dilantik oleh Ketua LIPI Umar
Anggoro Jenie menjadi Profesor Riset.
Selama ini, lanjut Mimin, hasil berbagai ekspedisi
geologi kelautan yang telah dikerjakan oleh PPPGL Menemukan Mineral Philipsit
yang telah bekerja sama dengan instansi lain baik Gelar Ahli Peneliti Utama dan Profesor Riset dari
di dalam maupun di luar negeri, telah memberikan LIPI kian memacu semangat Mimin untuk meneliti
gambaran secara umum mengenai Stratigrafi kekayaan foraminifera yang tersebar di perairan
Kuarter Dasar Laut di Indonesia yang didasarkan Indonesia. Hal ini dibuktikannya saat menyimak
atas kandungan foraminifera. Penelitian biozonasi pidato pengukuhan Profesor Riset Bidang Teknologi
foraminifera plankton Pada zaman Kuarter (kira-kira Pemrosesan Mineral yang disampaikan oleh Husaini
700.000 tahun yang lalu), telah dirintis sehingga dapat pada 2006. Saat itu, Husaini menyebutkan bahwa
dikenali batas-batas setiap subzonanya. bahwa mineral philipsit tidak dijumpai di Indonesia.
Namun, menurut Mimin, penelitian foraminifera Pernyataan tersebut mengusik minat ilmiah Mimin.
plankton Kuarter, baik sebaran horizontal maupun Ia sebelumnya, yaitu pada 2004, bersama Hartono,
vertikal untuk kepentingan biostratigrafi dan menulis “Late Miocene-Holocene Biostratigraphy
biozonasi Kuarter di perairan Indonesia belum of single core in Roo Rise, Indian Ocean South of Prof. Mimin di sebuah acara ketika di luar negeri.
banyak diungkap mengingat keterbatasan peneliti East Jawa”. Tulisan ini merupakan sebentuk laporan Foto: Koleksi pribadi.
di bidang, dibanding dengan luasnya Indonesia atas pengolahan data dari Ekspedisi Images (1998).
yang 70% ditutupi oleh lautan. Oleh karena itu, ia Dalam pelayaran dari Jakarta dan berakhir di Bitung gambaran adanya sedimen yang berumur Paleosen.
berharap, dengan kemajuan teknologi, penelitian Sedimen yang ditindih langsung secara selaras oleh
(Manado) itu, Mimin dan Hartono meneliti pemboran
kelautan dapat membuka tabir yang lebih luas lagi sedimen berumur Miosen Akhir, itu menunjukkan
MD982156 yang terletak pada koordinat 11˚ 33,31’S
mengenai kekayaan alam yang ada di dasar laut. Ia pun terjadinya rumpang waktu (hiatus) mulai dari
dan 112˚ 19,72’ T, di Tinggian Roo, Samudra Hindia,
Big Ben 1987. Foto: Koleksi pribadi. mengharap ilmu mikropaleontologi, yang menjadi Eosen sampai sebagian Miosen Tengah. Hiatus ini
Selatan Jawa Timur, di luar Parit (palung) Jawa.
bagian penting di dalam tatanan stratigrafi Indonesia, kemungkinan diakibatkan kegiatan gunung api,
Dan setelahnya, antara lain, muncul tulisan “Late
bisa dipertahankan di dunia pendidikan. Di dalam tulisannya, Mimin dan Hartono menyatakan mengingat di dalam sedimen tersebut banyak mineral
Quaternary Calcareous nannoplankton in the surface
masalah biostratigrafi berdasarkan foraminifera phillipsit, atau adanya penunjaman sedimen yang
sediments of Makasar and Flores Basins, Indonesia” Setelah posisi tertinggi diraih tidak berarti karier
plankton. Mereka menyatakan bahwa penampang berumur Eosen ke dalam Parit Jawa, karena di atasnya
(1988) dan “Planktonic Foraminifera in Recent Bottom kepenelitian Mimin berhenti, bahkan hal tersebut
pemboran di lokasi ini bisa dibagi ke dalam 5 zona langsung diendapkan sedimen yang berumur Miosen
Sediments of the Flores, Lombok and Sawu Basins, kian mendorongnya untuk bekerja lebih giat. Ini
dan 6 subzonasi, dan bahwa bagian bawah dari Akhir.
Eastern Indonesia” yang dimuat dalam The Netherlands dibuktikannya dengan tulisan-tulisan yang mengalir
pemboran antara kedalaman 30,30 m – 30 m di
Journal of Sea Res (1989). dari tangannya, juga yang ditulis bersama dengan Selanjutnya, pada 2009, terbit buku Penemuan Mineral
bawah dasar laut, sedimennya disebut nonbiogenik,
peneliti lainnya. Phillipsit berumur Paleosen di Roo Rise, Samudra
Jalur kepenelitiannya kian lempang, setelah Direktur karena sedimennya tidak mengandung foraminifera.
Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Adjat Pada 2000, saat menggelar orasi APU, misalnya, Sedangkan dari kedalaman 30 m ke bagian paling atas Hindia yang disusun oleh Mimin bersama dengan
Sudradjat membuka Jalur Peneliti pada tahun 1991. muncul tulisan “Recorded Recent Foraminifera in dari penampang merupakan sedimen biogenik karena D. Kusnida dan Adithiya. Di dalamnya, antara lain,
Katanya, “Sejak ada di jalur ini, saya bertekad untuk the surface sediment of Sunda Strait water” yang banyak mengandung foraminifera plankton. Metode mereka menyatakan bahwa dengan pembesaran SEM
dapat mencapai posisi tertinggi yaitu Ahli Peneliti ditulisnya bersama penelitian mereka dengan menggunakan mikroskop antara 1000 - 20.000 kali, mineral Phillipsite yang
Utama, kalau bisa sebelum masa pensiun umumnya.” D. Rostyati sebagai binokuler dengan perbesaran kurang dari 400x. diikat oleh matriks nanoplankton yang diteliti dari
hasil Ekspedisi Barat. pemercontoh inti Core MD982156, ternyata dapat
Mimin meraih posisi itu pada 1998. Selanjutnya pada Pada 2007, terbit lagi tulisan Mimin dan Hartono, “The digunakan sebagai alat sintesis untuk pengungkapan
Selain itu, tulisan
2000, ia menggelar orasi pengukuhan Ahli Peneliti Phillipsite mineral in deep sea sediment from single perkembangan tektonik di Samudra Hindia zaman
lainnya banyak
Utama, bersama dengan Tohap Simanjuntak dari core in Roo Rise, Indian Ocean South of East Java” Kenozoikum.
bermunculan di
PPPG. Saat itu, Mimin menyampaikan orasi berjudul (2007). Mereka menulis tentang mineral Phillipsit
dalam publikasi- Untuk lebih mempertajam lagi genesa mineral philipsit
“Mikropaleontologi Sebagai Penunjang Ilmu Geologi dengan menambah data beberapa bentuk dari mineral
publikasi ilmiah yang itu Mimin dan D. Kusnida menulis “Paleocene
Kelautan dan Pemahaman Aplikasinya.” tersebut, hasil penelitian mereka dengan menggunakan
terbit di dalam dan Postgenetic Accumulation of Nannoplankton on The
alat mikroskop electron, Scanning Electron Microscope
Di dalamnya, antara lain, ia menyatakan bahwa luar negeri. Phillipsite Minerals in Roo Rise, Indian Ocean” (2010).
(SEM). Ternyata dengan perbesaran yang diambil
jenjang-jenjang umur berdasarkan Foraminifera Saat Lembaga antara 1.000x sampai 20.000 x, ada banyak sekali
Besar yang sangat penting bagi tatanan Stratigrafi di Mineral Phillipsit yang ditemukan Mimin itu dapat
Ilmu Pengetahuan nanoplankton yang terakumulasi di atas mineral-
Indonesia telah diperkenalkan olah Van Der Vlerk dan digunakan dalam industri plastik, antara lain untuk
Indonesia (LIPI) mineral tersebut, bahkan kumpulan nanaplankton
Umbgrove (1927). Kedua peneliti itu membagi-bagi pembuatan resin termoaktif dan sebagai pemacu
menggelar profesor tersebut bersatu dengan lempung yang kemudian
zaman Tersier ke dalam Klasifikasi Huruf mulai dari dalam proses pengerasan. Selain itu, dapat juga
riset pada 2005, bertindak sebagai matrik yang merekatkan mineral-
Tersier-a sampai dengan Tersier-h (Ta-h). digunakan untuk menghilangkan kesadahan dalam
Mimin terpilih mineral tersebut menjadi berbagai bentuk.
industri deterjen, menjernihkan kelapa sawit,
Kemudian, dengan pendekatan biometrik terhadap sebagai seorang
Tulisan tersebut disusul dengan “Hiatus Pada Kala menyerap zat warna pada minyak hati ikan hiu,
Foraminifera Besar di Indonesia, melalui penelitian penerima anugerah
Eosen-Miosen Tengah di Tinggian Roo, Samudra sebagai katalisator pada proses gasifikasi batubara
Tan Sin Hok (1932), Drooger (1963), Van Der Vlerk itu. Pada tanggal 5
Hindia, Selatan Jawa Timur, Berdasarkan Biostratigrafi yang berkadar belerang dan/atau nitrogen tinggi yang
Januari 2006, Mimin
(1973), De Bock (1976), Adisaputra et al.(1978), Van Nanoplankton” yang ditulis oleh Mimin bersama M. menghasilkan gas bersih. Atas penemuan mineral
bersama Maizar
Vessem (1978), Chaproniere (1980), Adisaputra (1987, Hendrizan (2008). Kedua penulis itu menyimpulkan berjenis zeolit itu Mimin dianugerahi penghargaan
Rahman, Suprajitno
1992), penelitian genus-genus seperti Cycloclypeus, Prof. Mimin di menara Eiffel. bahwa studi biostratigrafi berdasarkan nanoplankton Wira Karya dari Presiden Republik Indonesia pada 20
Munadi, Hardi
Lepidocyclina, Miogypsinoides dan Miogypsina, evolusi Foto: Koleksi pribadi. di Tinggian Roo, di luar Parit Jawa, memberikan Juni 2008.

46 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 PROFIL 47


Prof. Mimin ketika dikukuhkan sebagai profesor riset. Foto: Koleksi pribadi.

Penerjemah Ilmiah in West Java” karya M.A. Hartmann (1938) menjadi Bersama para ahli dan para pengabdi di bidang geolog, diantaranya diwakili oleh keluarga, menerima penghargaan dari IAGI pada acara
ulang tahun IAGI, 2014. Foto: Koleksi pribadi.
Di samping itu, ada keistimewaan lainnya dalam “Kelompok Gunungapi di Sebelah Baratdaya Gunung
jejak langkah ilmiah Mimin Karmini yang jarang Salak, Jawa Barat.”
kita ketahui. Jejak itu berkaitan dengan upayanya Selanjutnya, pada 1991, Mimin menyusun buku
untuk menerjemahkan tulisan ilmiah ke dalam Panduan Foraminifera Besar untuk mahasiswa geologi Hingga kini, Mimin masih bergiat
bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Mimin pernah Unpad, yang salah satu bagiannya berasal dari hasil dalam kegiatan menulis karya
menerjemahkan tulisan Tan Sin Hok yang berjudul terjemahannya atas Bestimmungstabelle zu den ilmiah. Dan hasilnya pun kian hari
Zur Kenntnis der Miogypsiniden (1936). Grossforaminiferen Genera von Ost-Asien karya Mohler kian bertambah. Pada ulang tahun
Kesadaran untuk menjembatani jalan ilmiah ini lahir (1947). PPPGL yang ke-20 (2004), tulisan-
setelah Mimin mulai tertarik untuk mempelajari tulisan ilmiah Mimin dikumpulkan
Tetap Bergiat di Masa Purnabakti
foraminifera besar saat ia bekerja di Direktorat dan diterbitkan menjadi dua jilid
Geologi, Seksi Paleontologi, pada 1972. Katanya, Pada bulan November 2008, Mimin memasuki tebal dan diberi tajuk Karya Tulis
“Publikasi Foram Besar Indonesia yang ada di masa purnabakti. Sepanjang kariernya sebagai Mimin K Adisaputra, 1978-2003.
Direktorat Geologi, terutama di Seksi Paleontologi, peneliti geologi, pengalaman dan keilmuannya selain Seluruhnya berjumlah 34 tulisan,
pada waktu itu kebanyakan berbahasa Jerman. dituangkan dalam tulisan ilmiah, juga dibagikan yang pernah dimuat dalam jurnal-
Sungguh sangat disayangkan kalau aset ilmu yang dalam bangku kuliah. Ia tercatat pernah menjadi dosen jurnal ilmiah baik yang ada di dalam
penting ini tidak terbaca oleh para peneliti dari luar biasa di Jurusan Geologi Unpad (1997-2005) maupun di luar negeri.
generasi berikutnya. Dan saya sangat menghargai dan pada Program Pasca Sarjana (Magister) Jurusan
Geologi Unpad. Juga pernah menjadi pembimbing Sementara yang berbentuk buku,
kepada peneliti seperti Tan Sin Hok yang dengan Mimin bersama-sama dengan
peralatan sederhana yang tersedia waktu itu, tetapi mahasiswa S1 Geologi UNPAD, ITB, dan Trisakti serta
membimbing mahasiswa S3 Geologi ITB. M. Hendrizan dan Abdul Kholiq
dapat mengungkapkan evolusi dasar di dalam menyusun Katalog Foraminifera
Foraminifera Besar secara rinci. Sekarang, kita
Perairan Indonesia pada 2010 dan
bisa melihat bahwa hampir semua penulis yang
diterbitkan oleh Puslitbang Geologi
berkecimpung di dalam Foraminifera Besar mengacu
Kelautan. Pada 2012, terbit buku
kepada hasil karyanya.” Foto keluarga Mimin Karmini.
Album Foraminifera dan Nanoplankton
Untuk menerjemahkan karya Tan Sin Hok, Mimin Perairan Indonesia yang disusun oleh
Mimin bersama dengan IR Silalahi, R. Kapid, dan M. Di bidang geologi kelautan, ia masih bergiat dalam
belajar bahasa Jerman di Goethe Instituut Bandung
selama dua setengah tahun. Pada 1976 dengan Hendrizan. kerangka mengumpulkan data (collecting data) terkait
mendapat bantuan dari Robert Smit (Pusat Survei penentuan umur batuan berdasarkan kehadiran
Demikian pula pengalamannya ikut mengelola
Geologi Belanda), Mimin mulai menerjemahkannya. makhluk-makhluk hidup dalam batuan tersebut
publikasi ilmiah terbilang panjang. Mimin pernah
Namun, sayang karena kesibukannya, terjemahan (biostratigrafi). Untuk keperluan tersebut tidak
berkecimpung sebagai editor untuk Bulletin of the
bagian pertama tulisan Tan Sin Hok itu tidak selesai. jarang Mimin mengikuti kegiatan lapangan, seperti
Marine Geology (1988-2006), Jurnal Geologi dan
Baru pada 1997, bagian itu berhasil diterjemahkan
Sumber Daya Mineral (1991-2003), Jurnal Geologi ke Gunung Pabeasan, Pelabuhan Ratu, Laut Aru, dan
dan diperhalus bahasanya. Hasil terjemahannya
Kelautan (2003-2008), Jurnal Sumber Daya Geologi Lepas Pantai Bengkulu. Nyatalah dengan berbagai
sendiri berjudul Pengenalan terhadap Miogypsinid dan
(2005-2008), Jurnal Geologi Indonesia (2009-2011), aktivitas yang bernuansa ilmiah itu, Mimin menjadi
diterbitkan oleh Bidang Geologi Kelautan, PPPGL.
dan Majalah Geologi Indonesia (2009). Selain menjadi perempuan yang setia berkhidmat di jalan mikropal.■
Selain karya Tan Sin Hok, Mimin atas permintaan R. editor, kini dia menjadi mitra bestari (reviewer) untuk
Kama Kusumadinata pada 1982 mengalihbahasakan Menghadiri pengukuhan profesor riset untuk Dr. Tohap O. Jurnal Geologi Kelautan dan Majalah Teknik Geologi Penulis adalah penulis lepas, peminat kebumian, anggota Dewan
“Die Vulkangruppe im Sudwesten des Salakvulkans Simandjuntak. Foto: Koleksi pribadi. (ITB). Redaksi Geomagz, tinggal di Bandung.

48 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 PROFIL 49


Lokasi penelitian ekspedisi itu adalah titik sebelumnya bahwa Phillipsit adalah gelas vulkanik
pemboran MD 982156 yang terletak pada koordinat yang berasal dari gunung api daratan berdasarkan
11˚ 33,31’S dan 112˚ 19,72’ T, di Tinggian Roo, pada korelasi antara pola sebaran dari Phillipsit di
Samudra Hindia, Selatan Jawa Timur, di luar Palung Samudera Pasifik dan kegiatan gunung api global yang
Jawa. Chief Scientist dari fihak Perancis adalah Dr. sekarang ada.
Franck Bassinot, yang dibantu oleh wakilnya, François Menurut Bemat dan Goldberg (1969) dan lainnya,
Guichard dan Luc Beaufort, sedangkan dari pihak Phillipsit dipercaya terbentuk secara cepat pada
Indonesia adalah Safri Burhanuddin dari Universitas pertemuan sedimen/air laut dan terus tumbuh
Hasanudin, Makassar. Pada pemboran di laut ini, dalam kolom sedimen, meskipun mulai melarut
sebanyak 29 percontoh sedimen telah berhasil pada kedalaman yang ditunjukkan oleh muka-muka
dikumpulkan dengan panjang lebih dari 35 m. Tiga kristal yang teretsa, dan berkurangnya frekuensi
di antaranya, lebih dari 50 m, dan inti yang paling keterdapatan. Dengan bertambahnya kedalaman,
panjang mencapai 55.40 m (MD 982172). Phillipsit semakin jarang dijumpai pada kedalaman
Penelitian sebelumnya seperti dilaporkan oleh lebih dari 500 m. Klinoptilolit dijumpai pada
Nishida (1987), menyatakan bahwa daerah-daerah di kedalaman yang lebih dalam daripada Phillipsit. lijima
sebelah utara dari Palung Jawa secara biostratigrafi (1978), meragukan apakah Phillipsit bisa berubah
berdasarkan nanoplankton kesemuanya saling menjadi klinoptilolit pada sedimen yang lebih tua
berhubungan. Adisaputra dan Hartono (2004) atau yang terkubur lebih dalam. Indikasinya mungkin
menganalisis hasil penelitian di MD 982156 dan menunjukkan keadaan kecepatan vulkanisme basaltik
mengupas biostratigrafinya berdasarkan foraminifera dengan tingkat sedimentasi yang rendah.
plankton. Hasilnya, mereka menyatakan bahwa Dengan demikian maka Kedalaman Kompensasi
penampang pemboran di lokasi ini bisa dibagi ke Karbonat (CCD, carbonate compensation depth) di
dalam lima zona dan enam subzonasi. lokasi penelitian posisinya lebih dari 3914 m, karena
Selanjutnya, pada 2007, masih melanjutkan hasil nanoplankton masih terawetkan dengan baik sekali.
penelitian di MD 982156, Adisaputra dan Hartono Sementara bahan pembentuk fosil ini tersusun oleh
mengemukakan penemuan mineral Phillipsit dengan gamping yang kompak, tidak seperti foraminifera yang
menambah data beberapa bentuk dari mineral banyak porinya, jadi lebih tahan terhadap pelarutan.
tersebut berdasarkan pemeriksaan yang menggunakan Menurut Cronan (1980), Phillipsit tersebar luas di
Scanning Electron Microscope (SEM). Dengan dasar laut, terutama di daerah dengan kecepatan
perbesaran yang berkisar antara 1000 x untuk foto sedimentasi yang rendah dan di bawah kedalaman
kumpulan dan sampai 20.000 x. untuk foto individu, kompensasi kalsium. Biasanya, mineral ini dijumpai
maka matriks pada mineral Phillipsit jelas sekali di dalam tefra yang terubah, lempung merah, sedimen
terlihat. gampingan, silikatan dan lumpur terigen. Namun,
Dalam citra SEM tersebut, tampak bahwa Stonecipher (1976) secara statistik mencatat sekuen
sesungguhnya mineral Phillipsit diikat oleh sedimen jumlah Phillipsit yang berkurang sebagai fungsi
lempung yang mengandung nanoplankton, sedangkan litologi: lempung> vukanik> gampingan> silikatan.
mineralnya sendiri sesungguhnya mempunyai Beberapa peneliti menduga bahwa Phillipsit lebih
Mineral Phillipsit diperbesar 250 X, difoto menggunakan alat bentuk yang monoklin. Variasi bentuknya lebih banyak melimpah di dalam sedimen Samudera Pasifik
SEM (Scanning Electron Microscope) yang dapat memperbesar dicerminkan oleh kondisi pada
kenampakkan 1000X hingga 2000X. waktu sedimentasinya, yang

Penemuan
Foto: Koleksi Prof. Mimin
kemungkinan dipengaruhi pula
oleh kondisi arus atau faktor
mekanik lainnya. Di bawah ini

Mineral Phillipsit
identifikasi Phillipsit terutama
merujuk kepada Rothwell
(1989).
Identifikasi Philipsit
Selama ini Phillipsit diyakini
Oleh: Mimin K. Adisaputra oleh para peneliti seperti
Kastner dan Stonecipher (1978)
dan lainnya, berasal dari ubahan
Antara 18 Juni-16 Juli 1998, Ekspedisi MD III - IMAGES IV dihelat oleh Pemerintah yang ekstrem dari gelas vulkanik
Indonesia dengan Perancis menggunakan kapal penelitian Marion Dufresne. Kapal ini (glass shards) basaltik yang
mampu mengambil percontoh sedimen dengan penginti isap yang besar sekali (giant ada pada permukaan dasar
piston core). Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyusun biostratigrafi berdasarkan laut, melalui tahap percepatan
nanoplankton dan berbagai kejadian yang menyertainya selama pengendapan larutan, mungkin smektit atau
palagonit. Namun, Petzing dan
sedimen pada pemboran di lokasi yang diteliti. Chester (1979) memperkirakan
Geomarine, kapal riset milik P3G, Balitbang, Kementerian ESDM yang digunakan survey oleh
Prof. Mimin. Foto: Ronald Agusta

50 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 51


dan Samudera Hindia daripada di Samudera Atlantik, bermacam-macam seperti lurus, bentuk T, melintang
sedangkan Petzing dan Chester (1979) mencatat dan sebagainya. Menurut Adisaputra dan Hartono
konsentrasi yang tinggi yang mengandung lebih dari (2007), mineral ini hanya dijumpai sebagai authigenic
50% Phillipsit pada dasar yang bebas karbonat dari origin di laut dalam, yang kemungkinan berasal dari
Samudera Pasifik bagian tengah dan selatan. endapan tefra hasil kegiatan gunung api. Sebelumnya,
Husaini (2005) menyatakan bahwa mineral ini tidak
Keterdapatan Phillipsit di Samudera Hindia berada di
dijumpai di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena
Cekungan Hindia Tengah, sebagian Samudera Hindia
penelitiannya dilakukan atas sedimen yang berasal dari
Tengah, dan punggungan Ninety East. Di Samudera
darat.
Atlantik jarang sekali dilaporkan, tetapi sedimen yang
kaya akan Phillipsit telah dideskripsi dari Cekungan Setelah diketahui bahwa bagian ini banyak
Cape dan Verde, dari bagian selatan Dataran Abisal mengandung nanoplankton, penulis mencoba meneliti
Sohm dan dari Parit Kings. sedimen bagian atas yang menutupinya. Hasilnya,
ternyata fosil Phillipsit dijumpai pula dalam jumlah
Beberapa peneliti telah mencatat phillipsit sebagai
sangat melimpah sampai ke bagian paling atas
semen, sebagai cavity dan fracture fillings, dan sebagai
dari penampang tersebut. Maka di dalam studi ini
penempatan kembali (replacement) dari plagioklas.
urut-urutan stratigrafinya bisa diteliti berdasarkan
Kristal-kristal Phillipsit seringkali mengandung inklusi
nanoplankton, dengan urutan stratigrafi berdasarkan
(pengotoran) yang melimpah yang menandakan
foraminifera plankton sebagai pembanding.
adanya pertumbuhan kristal yang cepat. Bonatti
(1963) menduga bahwa bentuk kristal yang sangat baik Pada bagian bawah dari penampang antara kedalaman
menunjukkan pertumbuhan yang in-situ. 30,30 m – 30 m bawah dasar laut (below sea floor/bsf)
yang sedimennya tersusun oleh mineral Phillipsit,
Sebagai Penciri banyak dijumpai akumulasi nanoplankton, tetapi
Pada umumnya, sedimen pada lokasi MD 982156 sama sekali tidak mengandung foraminifera. Bagian
terdiri dari lempung gampingan dan lanau, berwarna ini tersusun oleh kumpulan nanoplankton dari umur
putih kecoklatan atau putih keabuan. Penyusun Paleosen yang dicirikan dengan adanya dominasi
lainnya adalah lempung tufaan, mengandung spesies Discoaster multiradiatus.
nanoplankton dalam jumlah yang melimpah sepanjang Contoh kenampakkan (foto hasil SEM) nano plankton, tempat ditemukannya mineral Phillipsit, perbesaran 4.000X hingga 10.000X.
kedalaman pemboran. Di atas 30 m bsf sampai bagian atas dari penampang, Foto: Koleksi Prof. Mimin
ada delapan kejadian penting yang bisa diungkapkan
Adisaoutra dan Hartono (2004 dan 2007) melaporkan melalui nanoplankton di dalam kurun waktu antara
bahwa di bagian dasar, pada kedalaman 30.30 m Miosen Akhir sampai Holosen di daerah penelitian.
sampai dengan 30.00 m (T-21), sedimen terdiri dari Pertama, Pemunculan Pertama (PP) dari Discoaster secara sejajar langsung diendapkan sedimen yang
dalam CN 12c/NN 17. Keenam, PA dari Discoaster
mineral Phillipsit yang berasal dari Kelompok Zeolit prepentaradiatus, yang berkisar dari Akhir Miosen berumur Miosen Akhir.
brouweri, ada di di dalam CN 12d. Ketujuh, PP dari
yang mempunyai bentuk yang bervariasi, dan bentuk sampai Awal Pliosen sampai Pliosen Awal. Kedua, PP Gephyrocapsa oceanica, dijumpai sampai bagian Dalam tataran pemanfaatannya, mineral Philipsit
lain dari masa kriptokristalin seperti Gibsit atau dari Discoaster asymmetricus, yang berasosiasi dengan bawah dari CN 15 atau di atas pemunculan pertama bisa digunakan sebagai penciri adanya minyak. Hal
Hidrargilit. Ketebalan dan pelamparan dari lapisan ini Discoaster pentaradiatus dan D. prepentaradiatus, dari Emiliania huxleyi, Helicosphaera hyalina dan ini terlihat, misalnya, dari akumulasi nanoplankton
masih belum diketahui. Untuk mengetahuinya perlu dan dijumpai di atas pemunculan pertama dari D. Gephyrocapsa muellerae. Kedelapan, PP dari Emiliania yang telah dikenal sebagai batuan induk di luar daerah
dilakukan beberapa pemboran lagi di sekitar lokasi prepentaradiatus. huxleyi, mulai muncul pada batas CN 14b/NN 20 dan telitian yang prospektif menghasilkan minyak adalah
penelitian.
Ketiga, Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster CN 15/NN 15. Cekungan Timur laut Jawa. Cekungan ini sekarang
Dengan pengambilan foto fosil yang menggunakan prepentaradiatus, ada di dalam CN 8b. Keempat, PP dioperasikan dan dianggap sebagai primadona dari
alat SEM, terlihat jelas berbagai mineral Phillipsit dari Pseudoemiliania lacunosa, ada di dalam T12 Implikasi dan Manfaat
Exxon Oil company. Kemungkinan daerah telitian
diikat oleh semen sebagai matriks yang didominasi dan berasosiasi dengan Discoaster prepentaradiatus. Kemunculan Phillipsit di bagian paling bawah dari juga bisa dianggap sebagai sedimen induk kalau
oleh nanoplankton. Bentuk ikatan yang terjadi Kelima, PA dari Discoaster asymmetricus, ada di inti M D982156 diperkirakan berasal dari aktivitas ditinjau dari segi umur (Paleosen berdasarkan adanya
vulkanik selama Paleosen. Mineral ini terbentuk Discoaster multiradiatus).
secara autigenik di laut dalam. Dari hasil urutan
stratigrafi tersebut juga menyatakan bahwa di daerah Di sisi lain, Hardjatmo dan Husaini (1997)
telitian dijumpai adanya rumpang waktu/hiatus atau menyatakan bahwa Phillipsit mempunyai arti penting
ketidakmenerusan waktu pengendapan sedimen, yang yang setara dengan mineral-mineral lainnya seperti
jika didasarkan atas foraminifera plankton seperti klinoptilolit, kabazit, mordenit and ironit. Husaini
yang dibahas oleh Adisaputra dan Hartono (2004), hal (2006) menyebutkan manfaat mineral ini di dalam
tersebut tidak terlihat. industri plastik, antara lain dapat dipakai dalam
pembuatan resin termoaktif dan sebagai pemacu
Rumpang waktu itu terjadi pada kala Eosen dalam proses pengerasan. Kelompok Zeolit ini
sampai minimal bagian bawah dari Miosen Akhir. juga digunakan untuk menghilangkan kesadahan
Mulajadinya diduga sebagai akibat dari suatu aktivitas dalam industri deterjen, menjernihkan kelapa sawit,
gunung api, seperti yang ditandai dengan banyaknya menyerap zat warna pada minyak hati ikan hiu,
mineral Phillipsit, yang menyapu sedimen di atas sebagai katalisator pada proses gasifikasi batubara
Paleosen sehingga mengakibatkan perubahan struktur yang berkadar belerang dan atau nitrogen tinggi yang
dasar laut, atau penunjaman sedimen ke dalam Parit menghasilkan gas bersih.■
Jawa. Setelah kejadian tersebut, di bagian atasnya,
Bentuk-bentuk lain dari mineral Phillipsit diperbesar 200X dan 220X. Foto: Koleksi Prof. Mimin Penulis adalah Profesor Riset bidang geologi kelautan dari LIPI

52 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 53


LANGLANG BUMI

Cekungan So’a dengan latar belakang Gunung Welas.

Lima Hari Menjelajah Setelah menimbang-nimbang, kami dengan mobil sewaan. Tidak banyak yang dapat dilihat
di sepanjang perjalanan, karena hari sudah malam.

Pulau Bunga
putuskan untuk melihat Mata Menge, Bena, Kelimutu,
dan kota Ende. Kunjungan ke Mata Menge juga Sekitar pukul 22.00, kami tiba di tujuan dan langsung
sekaligus untuk menengok kegiatan ekskavasi lanjutan menuju markas (base camp) tim peneliti Mata Menge
di ladang fosil, tempat ditemukannya beberapa di pusat Desa Mengeruda, Kecamatan So’a. Kami
fosil bagian dari manusia purba (hominid) Flores. disambut ketua tim peneliti, Gerrit D. van de Berg
Dengan demikian, lokasi yang sudah terkenal seperti dari University of Wollongong, Australia, dengan
Teks: Oman Abdurahman. Foto: Ronald Agusta Labuhanbajo, Pulau Komodo, Pulau Padar juga asistennya dan beberapa peneliti dari Pusat Survei
Pantai Riung direlakan untuk tidak dikunjungi dalam Geologi dan Museum Geologi.
Sudah lama Flores atau Pulau Bunga menjadi impian penjelajahan kami. Apalagi kesempatan perjalanan kali ini. Penggalian Fosil di Mata Menge
setelah ditemukannya fosil manusia purba di Mata Menge yang unik, niat berkunjung Pesawat kami tiba di bandara H. Hasan Aroeboesman, Penelitian di Cekungan So’a kali ini adalah tahap ketiga
ke Flores semakin kuat. Persoalannya, waktu yang tersedia hanya lima hari sudah Ende, hampir pukul 17.00 WITA. Keluar dari bandara sejak pertama kali pada 1993. Karena ditemukan
kami tak berlama-lama di Kota Ende, setelah makan artefak pada 1993 dan 2004, penelitian ini selanjutnya
termasuk perjalanan. Sebuah jalur perjalanan yang tepat perlu disusun untuk dapat siang yang sangat telat, segera saja kami berangkat difokuskan pada pencarian manusia purba. Benar,
mengunjungi sebanyak mungkin destinasi geologi juga budaya di sana. ke Mata Menge melalui jalur darat sejauh 120 km pada 2014 tim peneliti menemukan beberapa bagian

54 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 LANGLANG BUMI 55


Waktu tiba di penggalian utama, ekskavasi sedang
berlangsung dipimpin oleh Gerrit. Terlihat beberapa
pekerja yang direkrut dari penduduk setempat
sedang membersihkan fosil yang sudah tampak
seakan muncul dari dalam tanah, dengan sapu kecil
secara teliti. Fosil-fosil tersebut antara lain berupa
bagian geraham gajah purba, gading, tulang pinggul
(pelpis), dan tulang belikat. Beberapa pekerja lainnya
menyiapkan bahan (mollen) untuk melindungi fosil
yang akan diangkat dan dibawa ke Museum Geologi
Bandung untuk penelitian lebih lanjut.
Fosil hominid yang ditemukan pada 2014 berupa
Gedung yang diperuntukkan untuk galeri/museum fosil dan benda
purbakala dari Mata Menge dan sekitarnya
gigi atas (premolar), gigi depan (insicor), pecahan
rahang (mandible), dan taring atau gigi susu (canin).
Berdasarkan keterangan Gerrit yang diperkuat oleh
Hampir tengah hari, akhirnya kami tiba di lokasi
Iwan Kurniawan di Bandung, diketahui bahwa
penggalian fosil setelah jalan kaki yang cukup
fosil manusia purba yang ditemukan itu milik dari
melelahkan. Kawasan ini merupakan lembah diselingi
tiga individu yang berbeda, yaitu satu dewasa, dan
perbukitan kecil dengan tutupan berupa padang
dua lagi bayi. Siapakah ketiga manusia purba itu?
rumput yang gersang, mungkin karena sedang
Dari manakah asal-usulnya? Dan bagaimanakah
kemarau. Di beberapa tempat yang berupa ceruk
hubungannya dengan Manusia Liang Bua (sekitar
bekas aliran air tampak perdu dan pepohonan cukup
75 km ke arah Barat dari Mata Menge)? Inilah topik
rimbun. Lokasi penggalian utama berada di sebuah
yang menjadi bahan diskusi bersama Gerrit dan para
lembah kecil yang diduga bekas alur sungai, berukuran
peneliti lainnya.
Lembah dan perbukitan doi Cekungan So’a dengan Gunung api Ebulobo di batas selatan. 20 x 10 m2 dan kedalaman 20 - 30 cm. Lokasi
penggalian kedua terletak di sebelah atasnya ke utara Berdasarkan bukti-bukti yang ada, baik Gerrit maupun
fosil hominid yang telah dipublikasikan antara lain purbakala dari kawasan Mata Menge dan sekitarnya.
oleh majalah ilmiah dunia, Nature, edisi Juni 2016. sekitar 100 meter dari lokasi penggalian utama. Iwan menyimpulkan bahwa manusia purba yang
Gedung tersebut dibangun dengan biaya dari skema
Penelitian 2015 dan 2016 pun menemukan fosil ditemukan di Mata Menge ini secara morfologi dan
kerja sama. Sayang, gedung ini masih dalam tahap
manusia purba yang kini masih diteliti. finishing dengan pembiyaan berasal dari APBD Ngada. umur (sekitar 700.000 tahun yang lalu), termasuk
manusia (Homo erectus), mungkin keturunan dari
Oleh karena itu, malam itu juga, di markas segera Sesaat kemudian, kami tiba di mata air panas, “Mata Homo erectus asal Jawa (Java man). Sedangkan secara
terjadi diskusi tentang hasil penelitian di Mata Menge. Air Panas Mengeruda” namanya. Ini mata air panas
Gerrit dengan sabar menjelaskannya mulai dari latar fisik, menunjukkan jenis hobit (Homo fluorensis). Ada
yang luas biasa besar, debitnya sekitar 30 hingga 40 dugaan kuat, manusia purba ini merupakan leluhur
belakang hingga ke posisi terakhir temuan dari lokasi
penggalian dan maknanya bagi ilmu pengetahuan. m3 /detik. Namun, airnya belum dimanfaatkan secara dari hobit (Homo fluorensis) dari Liang Bua yang
Anggota tim penelitian lainnya menambahkan serius, kecuali untuk kolam pemandian air panas berumur 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu.
informasi dari kekhususan bidang kajiannya di sana, di dekatnya yang tampak sepi. Air panas besar ini
seperti analisa flora, fauna dan lingkungan, metode mengalir begitu saja ke sungai yang berjarak sekitar Sore hari, sekitar pk 17.00, diantar oleh mobil tim
penentuan umur, serta analisa artefak. Diskusi ini sepuluh meter di hilirnya. Di wilayah Desa Mengeruda peneliti, kami segera bergegas menuju Bajawa untuk
membuat tak sabar, ingin segera berkunjung ke tempat dan sekitarnya memang banyak mata air panas menginap di sana. Setibanya di penginapan, sebelum
penggalian. berdebit kecil seperti sebelumnya terlewati di kiri istirahat, segera kami mengontak mobil sewaan yang
Hari kedua di Flores, pagi-pagi sekali kami berangkat jalan. kemarin untuk kembali kami gunakan esok hari.
Penggalian di Mata Menge, So’a
ke lokasi penggalian, sejauh tiga kilometer dengan
berjalan kaki. Mata Menge, yang secara geografis
terletak di Cekungan So’a dan secara administratif
menempati wilayah dua desa, yaitu Desa Figa dan
Desa Mengeruda, Kecamatan So’a, Kabupaten Ngada.
Bisa saja kami naik motor langsung, tapi di perjalanan
ada rencana singgah di lokasi mata air panas dan
bangunan yang telah dibuat Pemda setempat untuk
semacam galeri temuan fosil.
Sekitar setengah jam dari markas, kami tiba di
lapangan seukuran lapangan sepak bola. Di tepi
utara lapangan ini ada bangunan gedung satu
lantai berukuran 8 x 15 m2. Inilah gedung yang
diperuntukkan sebagai galeri atau museum yang akan
memperagakan hasil-hasil temuan fosil dan benda Mata Air Panas Mengeruda. Fosil yang sekan muncul dari dalam tanah, setelah dibersihkan Fosil tulang gajah purba Matamenge.

56 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 LANGLANG BUMI 57


Stone Heritage di Kampung Adat Bena pandang berupa tugu berundak, “Tugu Soekarno”,
Pagi hari di hari ketiga, selepas sarapan, kami menuju di puncak Kelimutu. Penamaannya sangat layak,
Bena. Udara terasa sejuk, lebih sejuk dari Lembang mengingat Bung Karno yang sempat diasingkan ke
di utara Bandung. Memang, karena letaknya cukup Ende.
tinggi (kl. 1.100 m dpl.) dan dikelilingi pegunungan. Kelimutu, secara etimologi berarti gunung (keli)
Menjelang pukul 10.30, tibalah di perkampungan yang mendidih (mutu). Toponimi ini menyiratkan
adat Bena yang terkenal karena budaya megalitik, asal-usul terbentuknya gunung api aktif dan ketiga
rumah-rumah berarsitektur kuno, dan masyarakat- kawahnya tersebut, atau aktivitas ketiga kawah itu yang
adatnya. Lokasinya persis dilewati jalan raya Bajawa sering berubah-ubah warna. Ya, Gunung Kelimutu
- Labuhan Bajo, sekitar 18 km ke arah selatan dari memiliki tiga kawah berair yang warnanya berbeda-
Bajawa dan secara administratif termasuk Desa beda. Masyarakat menyebutnya “Danau Tiga Warna”
Tiwuriwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada. karena berwarna putih, hijau, dan merah. Memang
Mobil diparkirkan di depan gerbang perkampungan, ini keunikan kawah yang terletak pada kl. 1.639 m
di sebelah utara yang tak dapat dilalui kendaraan. Rumah-rumah berarsitektur kuno di Bena. Lanskap kampung adat Bena arah utara-selatan yang menyerupai
bentuk perahu.
dpl. dengan luas sekitar 1.000.000 m2 dan volume air
Di sebelah kanan, tampak Inerie dekat sekali, seolah sekitar 1.300 m3.
menaungi kampung ini. Budaya megalitik sangat berkaitan dengan
ketersediaan batuan di sekitarnya, seperti di Pemburu matahari terbit (sunrise) di puncak Kelimutu
Kampung Bena menempati lahan sekitar setengah pagi itu cukup padat, sehingga harus sabar menanti
Pulau Nias. Selain batu, kehadiran gunung api
hektar, berarah utara - selatan, berupa lahan berundak giliran. Sekitar satu jam lamanya di tengah sapaan
aktif mempengaruhi pula adat istiadatnya. Hal ini
dengan bagian rendah di sebelah utara dan titik angin puncak Kelimutu, terpaku di tugu itu, takjub
sebagaimana pemilihan lokasi kampung Bena dan
tertinggi berada di selatan di puncak sebuah bukit dengan keindahan sekitar. Memandang ke arah timur
upacara adatnya yang menjadikan Gunung Inerie
berbatuan andesit. Bukit itu tingginya sekitar 75 meter agak menganan, tampak dua buah kawah berair
sebagai poros kehidupan mereka. Masyarakat
dari titik terendah di perkampungan ini. Dinding berdampingan yang hanya dibatasi oleh selapis tipis
Bena meyakini keberadaan Yeta, yaitu dewa yang
selatan bukit sangat terjal menghadap ke sebuah dinding terjal, mungkin tidak sampai satu meter
bersinggasana di gunung ini dan melindungi kampung
lembah yang cukup dalam. Benar, kampung adat ini lebarnya. Kedalaman air kawah dari muka tanah
menyerupai sebuah perahu besar dengan panjang mereka. Demikian pula kayu, bambu, ijuk, dan ilalang
untuk bahan bangunan rumah adat diambil dari hutan setempat sekitar 50 meter. Kawah paling dekat ke
sekitar 200 meter dan jarak terlebarnya sekitar 75 tugu airnya berwarna hijau toska dan disebut Tiwu
meter. Bentuk perahu dipilih, konon, karena fungsi di sekitar gunung api yang indah itu. Kesemuanya,
menandakan hubungan yang sangat erat dan harmonis Nuwa Muri Koo Fai (tiwu artinya kawah). Di sebelah
perahu dalam kepercayaan adat merupakan wahana Ngadhu dan Bhaga. kanannya, Tiwu Ata Polo yang berwarna merah gelap.
arwah menuju ke tempat tinggalnya. Kepercayaan antara alam dengan budaya Bena yang bertahan
Kawah satu lagi, Tiwu Ata Mbupu, agak terpisah dari
seperti ini ciri khas masyarakat megalitikum. hingga sekarang.
kedua kawah ini, ada di barat tugu. Pagi itu air di Tiwu
Rumahnya dibuat dari bahan kayu, bambu dan ilalang di atas atapnya. Sedangkan rumah laki-laki identik Berburu Sunrise di Kelimutu Ata Mbupu, nun jauh di bawah sekitar 150 meter dari
di bagian atap. Bentuknya seperti joglo. Menurut dengan Ngadhu yang berfungsi pula sebagai tempat Walau sangat menyenangkan di Bena, siang hari itu tempat kami berdiri, sedang berwarna putih.
adat, ada tiga jenis rumah, yaitu Sao Saka Puu (dapat menambatkan hewan kurban pada upcara adat. kami harus segera meninggalkannya untuk menuju Masyarakat setempat percaya, saat air Danau Kelimutu
disebut sebagai rumah perempuan), Sao Saka Lobo Saat ini Kampung Bena terdiri atas 40 buah rumah Moni di sebelah timur Ende. Tiada lain karena jarak berubah warna, mereka harus memberikan sesajen
(rumah laki-laki), dan sao Wua Ghao. Sementara adat dari sembilan suku yang merupakan bagian perjalanan yang cukup jauh yang harus kami tempuh, bagi arwah orang-orang yang telah meninggal.
itu, di halaman rumah yang berbentuk segi empat dari suku Bajawa. Rumah-rumah itu ditempatkan yaitu 123 km Bena - Ende, dan 66 km Ende - Moni. Menurut mereka, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai
(Kisanata) ada beberapa jenis bangunan rumah mini di kiri-kanan mengelilingi perkampungan yang Kami tidak ingin kemalaman di jalan. Melalui jalur merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-
yang dua di antaranya menonjol dan disebut Ngadhu berundak-undak, masing-masing menghadap ke selatan, sekitar pukul 17.00, kami tiba di Moni, yakni mudi yang telah meninggal. Sedangkan Tiwu Ata
dan Bhaga. Karena merupakan masyarakat matrilineal, Kisanata di bagian tengah. Urutan penempatan rumah desa di kaki Gunung Kelimutu. Para wisatawan yang Polo merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa
rumah-rumah yang berukuran paling besar adalah berdasarkan asal-usul dan garis keturunan suku hendak mendaki Kelimutu hampir selalu menginap orang yang telah meninggal dan selama hidup selalu
Sao Saka Puu yang ditandai ornamen miniatur Bhaga mereka yang dibedakan oleh undak-undak lahan, di sini dan dini hari keesokannya, mereka mendaki
yakni setiap satu undak menunjukkan satu suku. dengan diantar mobil sampai tempat parkir di kawasan
Rumah suku Bena berada di tengah-tengah karena Kawah Kelimutu. Jaraknya sekitar 13 km.
dianggap paling tua dan pendiri kampung adat itu, Sekitar pukul 03.30, sudah bangun. Di luar sudah
sehingga kampungnya bernama “Bena”. Penduduk cukup ramai, yang sedang siap-siap mendaki.
umumnya berladang, ditambah bertenun bagi Beberapa di antaranya sudah begerak. Tak berapa
kalangan perempuan. lama, kami beranjak menembus dingin menuju kawah
Salah satu yang menarik di Bena yang merupakan Kelimutu. Waktu subuh, kami tiba di pintu penjagaan
tinggalan dari masa megalitik adalah tegakan yang dan membayar tiket masuk. Terbaca di tiket itu nama
disusun dari batuan beku, umumnya andesit. Hampir kawasan dalam bahasa Inggris: “Kelimutu National
setiap rumah di sana memiliki struktur tegakan batuan Park, Ende-Flores, East Nusa Tenggar”. Sejurus
ini. Demikian pula tempat upacara adat, tersusun kemudian kami memasuki lapangan parkir kawasan
dari kombinasi batuan tersebut, kayu, bambu dan Kelimutu yang cukup luas. Dari sinilah wisatawan
ijuk. Warisan batuan (stone heritage) ini khas untuk harus berjalan kaki sekitar satu kilometer. Kondisi
setiap perkampungan adat di Flores dan perlu terus jalan mula-mula tanjakan ringan. Namun, tak lama
dikonservasi. Dari manakah asal mula batuan di Bena kemudian harus menempuh jalan cukup terjal dan
ini? Kemungkina besar dari bukit yang dijadikan sempit sekitar 50 meter. Akhirnya, setelah berjalan
pemukiman yang memang tersusun oleh batuan sekitar setengah jam, ketika fajar hampir habis, tetapi Penduduk lokal dengan pakaian khas batik setempat di tepi Kawah
Kampung Bena di kaki Inerie andesit. matahari masih belum muncul, kami tiba di lokasi Kelimutu.

58 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 LANGLANG BUMI 59


Pemandangan mentari terbit dari tugu Sukarno di puncak Kelimutu Bunga Tururawa (Rhondodenron renschianum), flora khas kawasan Rumah pengasingan Bung Karno di Ende yang kini dijadikan Personifikasi Bung Karno yang sedang merenung semasa
Kelimutu. museum. pembuangannya di Ende, ditempatkan di sebelah pohon sukun di
Taman Renungan, Ende.
garugiwa (Pachycephala mudigula) terdengar berkicauan, Kami bergegas memasuki taman itu, ingin segera
memanjakan telinga. Inilah ikon fauna kawasan yang melihat pohon sukun yang bersejarah. Dari arah
telah ditetapkan menjadi “Kawasan Konservasi Alam pintu masuk di tepi jalan raya, terlihat papan nama
Nasional” sejak 26 Februari 1992 itu. Burung arwah, bertuliskan “Taman Renungan Bung Karno”. Segera
demikian masyarakat setempat menyebutnya, ini kami mencari-cari pohon sukun itu. Sejurus kemudian
unik karena konon memiliki 22 jenis kicauan dan tampak kolam kecil yang ditinggikan dan di ujungnya
berkicau hanya di pagi hari. Kami pun menemukan ada patung orang berpakaian pantalon dan peci
flora khas Kelimutu, yaitu Tururawa (Rhondodenron khas Indonesia sedang merenung. Tentu saja, patung
renschianum). Bunganya cantik, berwarna jingga itu adalah personifikasi Bung Karno yang sedang
kemerahan. Sebelum ke tempat parkir, kami tergoda merenung.
untuk melihat tepian sebelah selatan Tiwu Ata Polo Tak jauh dari patung tadi, pohon sukun itu tegak
dari dekat. di tanah berpagar tembok setengah badan ukuran
Rumah Pengasingan dan Taman Renungan 3 x 3 m2. Pohon itu pendek saja, sekitar 10 meter.
Bung Karno Entah pohon sukun generasi ke berapa. Di dinding
tembok yang menghadap ke kolam ada tulisan, “Di
Hari keempat, kami tiba di Ende sekitar tengah hari. Kota Ini Kutemukan Lima Butir Mutiara, Di Bawah
Tiwu Nuwa Muri Koo Fai berwarna biru berdampingan Kami bergegas menuju rumah pengasingan Bung Pohon Sukun Ini Pula Kurenungkan Nilai-nilai Luhur
dengan Tiwu Ata Polo yang merah Karno di Jl. Perwira yang kini sudah menjadi museum. Pancasila”. Kiranya di sekitar inilah Bung Karno
Siang itu, rumah bersejarah ini sepi pengunjung, berkontempelasi memikirkan nasib bangsa Indonesia
melakukan kejahatan/tenung. Yang ketiga, Tiwu Ata sehingga bisa leluasa meresapi berbagai tinggalan Bung
Mbupu menjadi tempat jiwa-jiwa orang tua yang yang bermuara pada terumuskannya gagasan
Karno selama diasingkan ke kota terbesar di Flores itu. Pancasila. Maka, merentanglah sejarah Pancasila sejak
telah meninggal. Demikian, dalam tradisi, gunung
selalu dikaitkan dengan tempat kembalinya arwah Koleksi museum kecil ini, yakni benda-benda yang mulai ia pikirkan di Bandung pada akhir dasawarsa
berkaitan dengan Bung Karno saat diasingkan ke 1920-an, dimatangkan di Flores pada 1934-1938,
yang secara halus juga menyiratkan bahwa gunung
Ende, 1934-1938, cukup terawat. Tampak lukisan hingga dipidatokan di Jakarta pada 1 Juni 1945.
merupakan sumber kehidupan.
Bung Karno tahun 1935 tentang upacara adat Bali. Lebih dari itu, buku kecil itu menyebutkan, Bung
Mengapa air tiga kawah itu berubah-ubah warna? Ada surat-surat riwayat pernikahannya dengan Inggit Karno selama pengasingannya di Ende juga sering
Inilah pertanyaan yang hampir pasti menghinggapi Garnasih, dan naskah-naskah drama yang ditulis berekreasi melihat alam sekitar (ekowisata/geowisata).
setiap pengunjung Kelimutu. Jawaban yang cukup selama di Ende. Di bagian belakang, ada perigi (sumur) Dalam kegiatan ini ia biasanya mengunjungi pantai
memuaskan diperoleh dari papan penjelasan yang dan kamar mandi yang digunakan Bung Karno. Di dan sungai-sungai di kota Ende, bahkan ke luar kota.
berada di depan Tugu Soekarno yang bersumber sekitar dapur ini juga ada perpustakaan kecil. Sebelum Bung Karno pun ternyata pernah mendaki Kelimutu,
dari Direktorat Vulkanologi, Ditjen Geologi dan keluar museum, kami membeli dua buku ukuran saku. bahkan dijadikannya nama grup tonil selama di Ende,
Sumber Daya Mineral, Tahun 1990. Singkatnya, Pohon Sukun yang bersejarah
Salah satunya berjudul Bung Karno dan Pancasila, Toneel Club Kelimutu. Bahkan nama Kelimutu (dalam
perubahan warna air kawah erat kaitannya dengan Ilham dari Flores untuk Nusantara (Tim Nusa Indah, versi lain ditulis “Gelimutu”), yang dijadikannya juga
aktivitas vulkanik dari Gunung Kelimutu, tetapi budaya pun menjadi media. Melalui grup drama
2015). sebagai judul salah satu naskah tonil di masa-masa bentukannya yang secara teratur dipentaskan ke
pola perubahannya belum diketahui dengan jelas, awal grup itu, menunjukkan betapa menginspirasinya
Dari bacaan itu, “Taman Pancasila” atau “Taman tengah masyarakat Ende itu, ia diam-diam terus
bergantung kepada kegiatan magmatiknya. Faktor- alam bagi Bung Karno.
Renungan Bung Karno” adalah sebuah taman di Kota menyebarkan semangat melawan penjajah. Agaknya,
faktor penyebabnya adalah kandungan kimia berupa
Ende yang dikembangkan dari tempat Bung Karno Pagi hari di hari kelima, di saat siap-siap kembali perpaduan antara suasana alam dan perenungan
garam besi dan sulfat, mineral lainnya serta tekanan
merenung, di bawah sebuah pohon sukun. Buku itu ke Bandung, perjuangan Bung Karno selama akan cita-cita luhur memang menjadi media yang
gas vulkanik dan sinar matahari. efektif untuk menghasilkan gagasan besar dan strategi
juga mencatat, ”Di bumi Flores, tepatnya di Endelah di Ende terbayang terus. Ia berhasil mengubah
Keasyikan menikmati keindahan Kelimutu harus Bung Karno menemukan penjelmaan konkret dari tekanan pengasingan menjadi energi positif dengan berjuang. Hal ini setidaknya dibuktikan Bung Karno
segera diakhiri karena siang hari ini kami harus idenya tentang ‘dasar dan tujuan’ yang dapat berfungsi mengombinasikan antara perenungan dengan aksi selama pengasingannya di Ende.■
sudah di Ende, kami pun harus segera kembali ke sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang sedemikian nyata. Tak kehilangan akal dalam menyalurkan Penulis adalah Kepala Museum Geologi juga Pemimpin Redaksi
Moni. Di perjalanan menuju tempat parkir, burung majemuk”. semangat perjuangan melawan penjajah, sarana Geomagz, Badan Geologi.

60 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 LANGLANG BUMI 61


80 24’ 19.64” S
U

120 0 49’ 2.22” E

24,1 KM

Monti

Matamenge

Kelimutu

Bajawa

Rumah Pengasingan
Bung Karno

Bandara Udara
H. Hasan Aroeboesman
Kampung
Tradisional Benna
PETA GEOTREK LIMA HARI
DI PULAU BUNGA (FLORES)

Laut Lokasi

Hutan Jalan Raya

121 0 53’ 18.84” E


Pemukiman Jalan Setapak

90 3’ 16.29” S

62 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 LANGLANG BUMI 63


MUSEOLOGI

Ladang Fosil
Moluska
Cijurey-Tonjong
Oleh: Anita Galih Ringga Jayanti dan Rahajeng Ayu Permana Sari

Moluska merupakan kelompok hewan bertubuh lunak, tidak bersegmen, dan biasanya
dilapisi oleh bagian tubuh yang keras (cangkang). Bagian keras itulah yang terawetkan
menjadi fosil. Kadang-kadang hanya ditemukan berupa cetakan, tetapi masih dapat
diidentifikasi. Saat ini diperkirakan ada 35 ribu jenis moluska dalam bentuk fosil.
Hewan yang termasuk dalam kelompok invertebrata ini, dapat hidup di berbagai
lingkungan, baik lingkungan terestrial (darat) maupun lingkungan akuatik (tawar,
payau, maupun laut).

Filum terbesar kedua setelah Artropoda ini Jawa Tengah 6830, Jawa Timur 2431, Sumatra 31593
Pembagian Jenjang Neogen Pulau Jawa (Oostingh,1938)
merupakan kelompok hewan yang mempunyai sampel, Kalimantan 4814, Sulawesi 780, Maluku 412,
kemampuan adaptasi yang tinggi dengan ukuran Flores 190, Papua 370, dan Timor 931 sampel. Koleksi
dan bentuk tubuh bervariasi. Kemunculannya didominasi oleh koleksi yang berasal dari Pulau Jawa, Cirebonian (Pliosen Awal) dengan fosil indeks Cirebon, karena sebelumnya, Museum Geologi telah
dimulai sejak Zaman Kambrium hingga sekarang. karena Tim Moluska Museum Geologi ingin fokus Turritella acuticarinata, Jenjang Sondian (Pliosen mempunyai koleksinya dan saat ini tersimpan di
Penemuan fosilnya sangat penting khususnya melengkapi koleksi berdasarkan pembagian jenjang Akhir) dengan fosil indeks Turritella tjikumpalensis, storage. Beberapa di antara koleksi fosilnya merupakan
untuk merekonstruksi lingkungan purba dan umur Neogen Pulau Jawa. dan Jenjang Bantamian (Pleistosen Awal) dengan fosil spesies holotipe (tipe orisinal) yang tersimpan di
suatu lapisan batuan, karena beberapa kelompok indeks Turritella bantamensis. tempat penyimpanan khusus yang tahan api, tahan
moluska hanya hidup pada lingkungan dan rentang Jenjang Cirebonian gempa, dan terpisah dari koleksi lainnya. Spesies
Kegiatan penelitian fosil Moluska yang baru-baru
umur tertentu. Dan sebagian besar fosil moluska Pembagian jenjang Neogen Pulau Jawa ini disusun holotipe merupakan spesimen tunggal yang ditentukan
ini dilakukan Museum Geologi dilakukan di daerah
dapat dikenali langsung di lapangan. Fosil moluska oleh Oostingh (1938) berdasarkan fosil indeks Cirebon. Penelitian terdahulu pernah dilakukan sebagai dasar penamaan suatu spesies/subspesies
makro berguna untuk mengetahui posisi stratigrafi, Gastropoda dari Famili Turritellidae. Fosil ini dipilih di daerah ini, di antaranya oleh Oostingh (1933) atau sebagai dasar waktu pertama kali mengusulkan
sedangkan moluska mikro dimanfaatkan untuk sebagai fosil indeks karena Gastropoda berkembang tentang fosil moluska holotipe jenjang Cirebonian, nama jenis baru. Koleksi holotipe dari Cirebon ini
penelitian biostratigrafi bawah permukaan. cukup baik di daerah tropis. Pada setiap jenjang yang van Bemmelen (1949) penelitian geologi, Silitonga, ditemukan di daerah Cijurey dan termasuk dalam
disusun oleh Oostingh terdapat fosil penunjuk/penciri dkk. (1996) melakukan pemetaan geologi dan Formasi Kalibiuk Jenjang Cirebonian.
Museum Geologi sebagai tempat yang menyimpan yang berasal dari Famili Turritellidae.
berbagai jenis koleksi fosil memiliki puluhan ribu berhasil membuat Peta Geologi Lembar Cirebon, Selain Cijurey, lokasi penelitian pada bulan April 2016
spesimen fosil moluska. Koleksinya meliputi koleksi Pembagian jenjang Neogen Pulau Jawa yang dimulai serta penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan itu juga difokuskan di daerah Maneungteung. Sayang,
sejak Zaman Penjajahan Belanda hingga koleksi dari Miosen Awal hingga Plistosen Awal terdiri dari Lumbanbatu (2010) tentang analisis bentang alam kondisi singkapan di beberapa titik lokasi pengamatan
dari kegiatan lapangan saat ini. Koleksi fosilnya enam jenjang yaitu Jenjang Rembangian (Miosen kuarter daerah Cirebon berdasarkan genesanya. tertutup oleh longsoran tanah. Memang bulan itu
sebagian besar disimpan di storage dan didominasi Awal) dengan fosil indeks Turritella subulata, Jenjang Penelitian kali ini difokuskan untuk mengetahui curah hujan cukup tinggi sehingga banyak tebing yang
oleh fosil dari Kelas Gastropoda dan Pelecypoda. Preangerian (Miosen Tengah) dengan fosil indeks persebaran dan keanekaragaman fosil Moluska mengalami longsoran, bahkan singkapan di pinggiran
Lokasi penemuannya tersebar di berbagai wilayah di Turritella angulata, Jenjang Odengian (Miosen Akhir) Jenjang Cirebonian. Penelitian ini juga berguna sungai juga tertutup akibat air sungai yang meluap.
Indonesia. Di Jawa Barat ditemukan 70.272 sampel, dengan fosil indeks Turritella cramatensis, Jenjang untuk melengkapi koleksi fosil Moluska dari daerah Oleh karena itu, data yang didapatkan dirasa kurang

64 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 MUSEOLOGI 65


maksimal. Meski demikian, masih banyak titik lokasi Selain itu, pada endapan batupasir di daerah Tonjong
pengamatan dengan kondisi singkapan yang bagus ditemukan fosil moluska berupa Batissa sp. yang hidup
sehingga proses penelitian dan pengambilan data di daerah transisi (bakau). Pada endapan sedimen yang
lapangan dapat terus berjalan. lebih kasar yaitu batupasir karbonatan dengan sisipan
konglomerat terdapat kandungan fosil moluska berupa
Lingkungan Pengendapan Melanoides sp. yang merupakan freshwater mollusk
Lokasi penelitian terdiri dari dua satuan batuan yaitu (moluska air tawar). Hal ini menandakan bahwa
satuan batupasir karbonatan (Formasi Kalibiuk) lingkungan pengendapan pada lokasi ini berubah lebih
yang berumur Pliosen Awal dan satuan perselingan ke arah daratan (terestrial).
konglomerat dan batupasir kasar non karbonatan Satuan perselingan konglomerat dan batupasir kasar
(Formasi Cijolang) yang berumur Pliosen Tengah. nonkarbonatan termasuk dalam Formasi Cijolang
Satuan batupasir karbonatan termasuk dalam Formasi yang menurut Silitonga, dkk. (1996) berumur
Kalibiuk yang menurut Silitonga, dkk. (1996) berumur Pliosen Tengah. Satuan batuan ini terendapkan di
Pliosen Awal sampai awal Pliosen Tengah. atas satuan batupasir karbonatan Formasi Kalibiuk
Berdasarkan kandungan moluskanya, formasi ini dengan hubungan yang selaras. Satuan perselingan Kenampakan
termasuk dalam Jenjang Cirebonian yang berumur konglomerat dan batupasir kasar nonkarbonatan ini Makromoluska Batissa sp.
yang tersingkap di daerah
Pliosen Awal (Oostingh, 1938). Satuan batupasir ditemukan di dua titik lokasi penelitian yaitu daerah Tonjong. Foto: Irman
karbonatan pada singkapan batupasir karbonatan Cijurey dan daerah Tonjong. Abdurohman
dengan sisipan batulempung, merupakan sedimen Pada satuan batuan ini tidak ditemukan adanya fosil
halus dengan kandungan fosil moluska berupa moluska dan sedimennya tidak bersifat karbonatan.
Turritella sp., Natica lineata, dan Placuna sp. Inilah Di tempat lain di sekitar Cijurey ditemukan fosil
kelompok moluska yang hidup di laut (marine vertebrata berupa dental vertebrate. Lapisan sedimen
mollusk) dengan kedalaman yang bervariasi hingga yang kasar berupa konglomerat dan adanya fosil
220 m, sehingga dapat diketahui bahwa lingkungan vertebrata pada daerah ini dapat mengindikasikan
pengendapan pada daerah ini termasuk dalam zona bahwa lingkungan pengendapan daerah ini
inner neritic (neritik dalam). merupakan lingkungan darat (terestrial).
Lapisan batupasir cukup tebal, khususnya yang Pada lokasi penelitian Cijurey, Maneungteung hingga
ditemukan di lokasi Maneungteung ditunjang Tonjong, ditemukan fosil moluska makro sebanyak
dengan ditemukannya coquina bedding, dapat 80 variasi spesies dengan total jumlah spesimennya
mengindikasikan bahwa daerah ini terendapkan sebanyak 182 spesimen yang terdiri dari 161 spesimen
di daerah transisi (beach) dengan energi laut yang utuh dan 21 spesimen yang berupa fragmen.
cukup besar. Dengan demikian, dapat mengendapkan Ditemukan juga fosil moluska mikro sebanyak 47
cangkang Ostrea dan membentuk coquina bedding. variasi spesies dengan total jumlah spesimennya

Kenampakan
Makromoluska Batissa sp.
setelah melalui proses
preparasi dan pengeditan
foto. Foto: Irman
Abdurohman

sebanyak 137 spesimen yang terdiri dari 129 spesimen yang tertimbun dan terendapkan dalam waktu yang
utuh dan 8 spesimen yang berupa fragmen. Selain fosil sangat lama, sehingga membentuk semacam ladang
moluska, ditemukan juga fosil invertebrata lainnya bagi fosil moluska. Tentu saja, penelitian lanjutannya
(crustaceae, balanus, koral, echinodermata, dentalium,
sangat perlu dilakukan guna memperdalam
dan foram besar), fosil vertebrata (dental vertebrate),
dan fosil kayu. pemahaman atas fungsi fosil moluska sebagai fosil
indeks.■
Dari penelitian tersebut, hasilnya ternyata
mempertegas bahwa antara Cijurey, Maneungteung, Penulis adalah staf peneliti pada Seksi Dokumentasi dan
Coquina Bedding pada batupasir tufan. Foto : Irman Abdurohman dan Tonjong sangat kaya dengan fosil-fosil moluska Konservasi Museum Geologi, Bada Geologi, KESDM.

66 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 MUSEOLOGI 67


MUSEOLOGI

Cangkang Kanan Tridacna (Tridacna) gigas Linnaeus 1758 Setangkup Tridacna (Tridacna) gigas Linnaeus 1758

Mollusca
Phylum :
Bivalvia/Pelecypoda
Kelas :
Heterodonta Neumayr 1884
Subkelas :
Veneroida H & A. Adams 1856
Ordo :
Superfamili : Tridacnacea Lamarck 1819
Tridacnidae
Famili :
Tridacna Bruguiere 1797
Genus :
Subgenus : Tridacna s str.
Tridacna (Tridacna) gigas Linnaeus
Spesies :
Ukuran : Panjang 99 cm, lebar 63 cm, dan tebal 50 cm
Habitat : Hidup di antara terumbu karang yang melekat pada karang laut
yang mati dengan bisusnya, dalam lingkungan laut dangkal (neritic),
dimana sinar matahari masih dapat menembus sampai ke dasar laut.
Kolektor : Ir. Andri Kristanto (1982)
Cangkang Kiri Tridacna (Tridacna) gigas Linnaeus 1758 Determinator : Elina Sufiati (5 Februari 2013)

Kima Raksasa Menurut Andri fosil tersebut ditemukan pada


tahun 1982 di tempat penjual bahan bangunan di
Sukamiskin, Bandung dalam gundukan batugamping
pemerintah memberikan penghargaan tinggi pada
upaya-upaya semacam ini.
Berdasarkan informasi bahwa fosil kima raksasa
dari Padalarang yang berasal dari Padalarang, bandung. Beliau
membeli fosil tersebut dengan harga cukup mahal dan
selama ini fosil itu disimpan di rumahnya, Kompleks
tersebut ditemukan di antara tumpukan batu gamping
dari Padalarang, maka diperkirakan keterdapatan
Oleh: Elina Sufiati dan Aji Sopanji Gunung Rahayu B7, Cimahi. fosil tersebut adalah di sekitar daerah Padalarang.
Secara geologi dapat diasumsikan bahwa fosil tersebut
Andri tergerak hatinya untuk menyerahkan kima terdapat pada batugamping dari Anggota Batugamping
koleksinya ke Museum Geologi setelah melihat Formasi Rajamandala dalam peta geologi Lembar
Museum Geologi mendapatkan koleksi baru berupa setangkup fosil kima raksasa fosil sejenis dipasang dalam sebuah pameran di mal Cianjur skala 1:100.000 (Sudjatmiko, 1972). Dengan
yang disumbangkan oleh Ir. Andri Kristanto, seorang pengunjung dan pemerhati Parijs van Java, Bandung. Timbul dalam pikirannya, demikian fosil tersebut diduga berumur Oligosen
“Fosil kima punya saya lebih besar dan lebih bagus Akhir – Miosen Awal atau sektar 30 hingga 20 juta
Museum Geologi yang berprofesi sebagai arsitek. Fosil tersebut diserahkan kepada
daripada yang ini. Mengapa tidak diserahkan saja ke tahun yang lalu. Lingkungan pengendapan tempat
Museum Geologi pada tanggal 4 Februari 2013 dengan status dititipkan dalam jangka Museum Geologi agar dapat dipamerkan kepada umum kima itu hidup dulu adalah laut busur muka. Setelah
waktu yang tidak terbatas. sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak, dibersihkan, maka diperi ciri-ciri morfologi fosil
khususnya bagi ilmu pengetahuan?” Pemahamannya ini
sebagaimana di dalam box. ■
merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat
pada usaha penyelamatan data ilmiah. Seyogyanya Penulis adalah Staf Museum Geologi, Badan Geologi, KESDM.

68 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 MUSEOLOGI 69


ARTIKEL Alfred Russel Wallace (1823 – 1913), naturalis tentang gambaran keanekaragaman hayati yang luar
Inggris menjelajahi Kepulauan Indonesia – umumnya biasa mengisi setiap sudut Kepulauan Indonesia.
dengan berjalan kaki dan berperahu – selama 8 tahun Keunikan dan sebaran keanekaragaman hayati yang
Alfred Russel Wallace O.M, F.R.S (8 Januari 1823 – 7 diamati Wallace di Kepulauan Indonesia menjadi ciri
November 1913) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah,
(1854 – 1862) berturut-turut dari Semenanjung
pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi dari Britania Malaka dan Singapura (1854); Kalimantan utara khas biogeografi Indonesia.
Raya (Inggris). Ia terkenal sebagai orang yang mengusulkan (1855-1856); Bali, Lombok dan Sulawesi (1856 ); Wallace menemukan orang-utan hanya di Indonesia
sebuah teori tentang seleksi alam. Dari penjelajahannya di Kepulauan Kei dan Kepulauan Aru, Sulawesi, Banda
Nusantara (1854 – 1862), Wallace menulis buku berjudu “The bagian barat, sebaliknya mendapati burung
(1857); Ternate, Ambon, Papua dan Bacan (1858);
Malay Archipelago”. Dalam penjelajahannya itu, Wallace juga cendrawasih (the bird of paradise) hanya di Indonesia
menemukan sebuah garis imajiner – dikenal kemudian sebagai Seram, Timor, Ternate dan Jailolo (Halmahera) (1859);
bagian timur. Tidak ada di tempat manapun di
“garis Wallace” - yang membagi flora dan fauna di Indonesia Seram, Gorong, Ternate, Matabela, Waigeo (1860);
dunia ini yang keanekaragaman hayatinya memiliki
secara geografi menjadi dua bagian besar. Wallace adalah Makassar, Timor, Seram, Banda, Buru, Jawa, Sumatra
“Bapak Biogeografi Indonesia”. Sumber : Museum Geologi. kekontrasan biogeografi dalam jarak yang sangat
(1861); Singapura sebelum kembali ke London (1862).
sempit, kecuali di Kepulauan Indonesia. Karena
Salah satu buku bacaan yang memuat informasi hasil Wallace lebih banyak melakukan pengamatan binatang
penjelajahan Wallace di Kepulauan Indonesia adalah daripada tumbuhan, biogeografi Indonesia yang
The Malay Archipelago, terbit pada tahun 1869. Inilah digambarkannya lebih menonjolkan keanekaragaman
satu-satunya buku karya Wallace yang diterbitkan binatang atau zoogeografi. Gajah, tapir, kera, beruang
di Indonesia, diterjemahkan menjadi “Menjelajah madu, banteng, harimau, badak, bekantan, orangutan
Nusantara” (2000) dan “Kepulauan Nusantara” (2009) adalah contoh binatang yang diketahui menghuni di
oleh penerbit yang berbeda. Setidaknya ada dua hal Pulau Jawa, Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan.
paling menonjol yang mengingatkan dunia akan
kejeniusan Wallace, yaitu gagasannya tentang teori Sebagian besar diantara jenis binatang itu tersebar
evolusi berdasarkan seleksi alam; dan temuan garis di bagian Asia Selatan dan Tenggara. Hewan-hewan
hipotetik yang memisahkan kumpulan fauna di bagian tersebut menunjukkan pernah adanya hubungan
barat Kepulauan Indonesia dengan yang di bagian darat di antara pulau-pulau besar Jawa, Sumatra dan
timurnya. Kalimantan dan dengan Semenanjung Malaka. Seperti
dijelaskan Wallace, “setelah kita memeriksa zoologi
Garis Wallace hingga Garis Weber negeri-negeri ini, kita menemukan bukti bahwa pulau-
Teori evolusi yang diusulkan Weber sudah seringkali pulau yang besar ini pada suatu masa merupakan
diperbincangkan bahkan sampai kepada kronologi bagian dari Benua Asia dan mungkin terpisah
cerita dibalik temuan teori itu. Teori evolusi pada masa yang belum lama berlalu (at very recent
berdasarkan seleksi alam memberi pesan: individu geological epoch). “
yang sehat, kuat dan cerdik dalam beradaptasi dengan Sebaliknya, spesies mamalia dan burung yang hidup
alamlah yang sukses mempertahankan hidup ( the dibelahan timur Indonesia (Papua, Kepulauan Aru,
fittest would survive). Ketika ia menetap di Ternate Misool dan Waigeo ) memiliki jenis serupa seperti
(1858), gagasan kunci Wallace mengenai teori evolusi yang di Australia, misalnya: walabi, kanguru pohon,
ini ditulisnya dan diposkan kepada Charles Darwin
emu, platipus, wombat, kasuari dan cendrawasih.
(1809 – 1882) berupa esai yang kemudian dikenal
“Adanya perbedaan yang mendasar di Kepulauan
dengan “Surat dari Ternate.”
Ide akbar Wallace ini bersamaan dengan persoalan
evolusi yang juga dipikirkan Darwin. Maka, esai
Wallace menjadi ilham bagi Darwin dan pada tahun
1859 Darwin menuangkan perihal teori evolusi ke

Wallace
dalam bukunya, “On the Origin of Species” (Asal-usul
Species). Ketika Darwin mendapat kehormatan atas
karyanya dalam teori evolusi, Wallace masih berada
di hutan-hutan di Kepulauan Indonesia, dan sampai
beberapa puluh tahun berikutnya nama Wallace

dan Biogeografi Indonesia


berada di bawah bayang-bayang popularitas Darwin.
Pengamatan mata rantai asal-usul spesies dan
hewan endemik yang ditemuinya juga tidak lepas
Oleh: Munasri dari gagasanya mengelompokkan fauna Indonesia
dengan garis demarkasi yang tegas. Garis hipotetik
Pada dinding di sebuah gang di Kota Ternate ada goresan grafiti bertuliskan “A.R. yang diciptakan Wallace tahun 1859 memotong
Wallace – ilmuwan Ternate kelahiran Inggris.” Begitu tingginya rasa memiliki Kepulauan Indonesia dari utara ke selatan di antara
pulau Kalimantan dan Sulawesi dan di antara pulau
masyarakat setempat terhadap Wallace sehingga mengakuinya sebagai ilmuwan Bali dan Lombok, kemudian dikenal sebagai Garis
warga Ternate. Namun, sejauh mana keakraban orang Indonesia kepada Wallace, Wallace. Sub-judul buku The Malay Archipelago yang
mengingat buku bacaan dan publikasi menyangkut kisah perjalanan kehidupan berbunyi ‘The land of the orang-utan, and the bird Orang Utan, fauna dari wilayah sebelah barat Garis Wallace, yang
keilmuan Wallace sangat terbatas? of paradise’ memberi aba-aba kepada pembacanya unik, hanya terdapat di Pulau Kalimantan. Foto: Ronald Agusta.

70 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 71


Wallaby dari Papua, fauna di sebelah timur Garis Wallace yang
sangat dekat hubungannya dengan fauna wilayah Australia.
Kepulauan Indonesia dan Garis Wallace yang Foto: Deni Sugandi
membagi flora dan fauna Indonesia menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok di kanan/
sebelah timur yang memiliki hubungan
dengan Asutralia dan kelompok di kiri atau Halmahera - Pulau Seram dengan Pulau Misool dan
sebelah barat Garis Wallace yang memiliki Papua; antara Kepulauan Tanimbar -Kepulauan Kai
hubungan dengan Asia. Weber dan Lydekker dengan Kepulauan Aru, yang dikenal sebagai Garis
kemudian membagi lagi terutama flora dan
fauna di wilayah antara Sulawesi dan Papua
Lydekker.
masing-masing dengan Garis Weber dan Garis
Lydekker. Sumber: Museum Geologi. Bukti Lain Sundaland Salah satu spesies hewan Asia, lalat sungai (Drosophila barobusta)
yang ditemukan di Sumatra Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur
Para ahli biogeografi masa kini memikirkan tentang sebagaimana dalam Suwito & Watabe (2010), Entomological
Indonesia sehingga saya berkesimpulan bahwa bila (1852 - 1937) ahli zoologi Jerman belum bersepakat kawasan diantara Garis Wallace dan Garis Weber atau Science 13 (4), 381–391. Foto: Koleksi Awit Suwito.

sebuah garis ditarik di antara pulau-pulau, kepulauan atas garis demarkasi yang diusulkan Wallace. Weber, Garis Lydekker sebagai zona peralihan yang meliputi
itu akan terbagi dua, setengah bagian termasuk Asia Sulawesi, Nusa tenggara dan Maluku. Pada masanya, dan Kalimantan dengan daratan Asia) dan daratan
berdasarkan hasil Ekspedisi Siboga (1899-1900)
dan setengah lagi termasuk Australia. Bagian yang di kawasan peralihan itu Wallace menemukan Sahul atau Sahulland ( Pulau Papua dan pulau-pulau
berteori bahwa garis pemisah zoogeografi itu bukan burung maleo, anoa, babirusa di Pulau Sulawesi dan
pertama disebut Indo-Melayu dan bagian kedua melintasi Selat Makassar dan Selat Lombok melainkan di sekitarnya menyatu dengan benua Australia). Salah
komodo dragon di Pulau Komodo. Kawasan transisi satu bukti modern adalah ditemukannya 6 spesies baru
disebut Austro-Melayu,” tulis Wallace dalam buku lebih ke timur antara Sulawesi dan Maluku dan antara ini dikenal juga sebagai Wallacea. Dibandingkan
Menjelajah Nusantara. Pulau Bali – yang hanya Pulau Timor dan Australia. Ke arah barat dari garis lalat sungai (Drosophilla) yang penyebarannya hanya
dengan bentangan wilayahnya yang seluas 347.000
berjarak 35 km dari Pulau Lombok -digolongkan itu ia menghitung ada lebih dari 50% hewan yang dijumpai di hutan-hutan di Jawa, Sumatra, Kalimantan
km2, Wallacea menjadi rumah bagi spesies endemik
sebagai kawasan zoogeografi Asia (Indo-Melayu) mirip dengan hewan Asia, dan di sebelah timur garis dan Bali (Suwito and Watabe, 2010). Bagaimana lalat
paling tinggi di dunia. Sebanyak 1.500 dari 10.000 jenis
karena beberapa spesies burung di Bali tidak dijumpai memiliki lebih dari 50% hewan Australia. Garis itu tumbuhan dan 525 dari 1142 jenis binatang di kawasan sungai yang berukuran 3 mm itu bisa menyebrangi laut
di Lombok dan sebaliknya. Wallacea adalah spesies endemik – yaitu jenis mahluk di antara pulau-pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan
dikenal sebagai Garis Weber. Sebelumnya, pada tahun
hidup yang berkembang hanya di suatu kawasan bila tidak ada ‘jembatan’ dan makanan di antara pulau-
Sampai di sini urusan penggolongan dua kawasan 1895 Richard Lydekker (1849 – 1915) mengusulkan
sempit tertentu. pulau itu.
zoogeografi selesai. Namun Max Carl Wilhelm Webber garis pemisah itu lebih ke timur lagi, antara Pulau
Apa yang Wallace ‘ramalkan’ tentang menyatunya Indonesia memang negara kepulauan yang kaya
pulau-pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan dengan raya, gemah ripah loh jinawi. Tetapi ketika diminta
semenanjung Malaka di masa lampau berdasarkan menyebutkan di bidang apa dan di bagian mana
temuan sebaran hewan-hewan di sana - daratan yang Indonesia kaya raya, kita tidak mudah begitu saja
bersatu itu kini disebut sebagai Sundaland - menjadi menyebutnya. Keanekaragaman hayati dengan
kebenaran ilmu pengetahuan sampai di era modern keunikan biogeografi yang diperi oleh Wallace adalah
ini. Para ahli kebumian masa kini percaya bahwa kekayaan alam Indonesia yang harus diketahui
zaman es - sebagian besar muka Bumi ditutupi es - orang Indonesia. Dalam buku The World of Life
yang terakhir pernah terjadi pada zaman Pleistosen (1911, tidak terbit di Indonesia) Wallace menulis,
Akhir sampai kira-kira 18.000 tahun yang lalu (Voris, bahkan seperti meramalkan : “Pertimbangan-
2000). Ketika itu selain muka air laut diantara pulau- pertimbangan ini seharusnya membawa kita untuk
pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan semenanjung melihat pada semua karya alam, yang hidup atau mati,
Malaka menyusut, lapisan es menutupi seluruh diinvestasikan dengan kesakralan tertentu, untuk
kawasan Sundaland. Lapisan es menjadi jembatan bagi digunakan oleh kita tapi tidak disalahgunakan, dan
hewan-hewan saling bermigrasi ke antara pulau-pulau untuk tidak pernah secara sembrono dihancurkan
itu. Hal serupa terjadi antara benua Australia dengan atau dirusak. Mencemari suatu sumber air atau
Pulau Papua dan pulau-pulau kecil di dekatnya – yang sungai, memusnahkan seekor burung atau binatang,
disebut sebagai Paparan Sahul. seharusnya dianggap sebagai pelanggaran moral dan
Peta-peta yang menggambarkan paleogeografi zaman kejahatan sosial.”■
Pleistosen memperlihatkan daratan Sunda atau Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Geologi di Pusat Penelitian
Komodo, fauna sangat khas/langka yang terdapat di wilayah sebelah timur Garis Wallace. Foto: Deni Sugandi Sundaland (menyatunya pulau-pulau Jawa, Sumatra Geoteknologi LIPI.

72 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 73


Sebaran Fauna Indonesia Sejak Zaman Es hingga Sekarang. Sumber: Museum Geologi.

74 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 75


ARTIKEL

Ali, pembantu setia


merangkap asisten
Wallace selama
penelitiannya di
wilayah Maluku. Rumah Wallace di Jl. Alfred Russel Wallace (sebelumnya, Jl. Nuri)
Sumber: Natural di Ternate, diresmikan pada 3 Desember 2008, sebagai sebuah
History Museum. penghargaan kepada Wallace. Sumber: seatrek.com

Rumah itu terdiri dari 4 kamar, ruang tengah dan 2 dipandang dari sekitar Benteng Kalamata. Karena dari
beranda, yang dikelilingi oleh pohon buah-buahan. Benteng Kalamata bentuk pantai berarah timur-laut
Ada sumur yang dalam dengan air yang jernih lagi sampai pelabuhan Bastiong. Yang tidak cocoknya
sejuk. Cukup lima menit berjalan kaki ke pasar dan adalah, “ditengah kota ada bangunan istana Sultan,”
pantai. Di bawah dekat rumah Wallace ada benteng karena istana Sultan berada lebih dekat dengan
yang dibangun oleh Portugis. Di bawah benteng Benteng Tolukko.
merupakan ruang terbuka hingga ke pantai. Dari sana
Pada saat peresmian rumah Wallace, 3 Desember 2008,
kota memanjang sekitar satu mil ke timur laut yang di
nama Jalan Nuri diganti menjadi Jalan Alfred Russel
tengahnya ada bangunan istana Sultan.
Wallace. Di halaman rumah itu pun telah disiapkan
Nah, dimanakah letak rumah Wallace sekarang? lubang sebagai rencana pondasi monumen tugu
Berdasarkan catatan terkait sepak terjang Wallace, Wallace yang peletakan batu pertamanya di lakukan
Pulau Ternate, tempat Wallace pernah tinggal sekitar tiga tahun dalam rangka
penelitian flora dan fauna Nusantara. Foto: Godwin Latuputty banyak orang berkepentingan - baik dari dalam oleh Ketua LIPI, Profesor Dr. Anggara Jenie bersama
dan luar negeri - ingin melihat kembali jejak rumah Walikota Ternate, Syamsir Andili. Namun pada tahun
Wallace. Pada November 2008, dalam rangka 2010 nama jalan itu diganti menjadi Jalan Juma Puasa;
persiapan acara pra-simposium peringatan 150 tahun dan monumen itupun tidak kunjung dibangun hingga

Di mana “Surat dari Ternate” di Ternate, saya berkesempatan


menelusuri keberadaan rumah Wallace berdasarkan
sekarang.
Banyak orang tidak meyakini letak rumah Wallace

Rumah Wallace?
catatannya di buku The Malay Archipelago. Dari yang diresmikan itu. Walaupun demikian belum ada
petunjuk: di bawah, dekat rumahnya ada benteng; yang menemukan jawaban, dimana sebenarnya rumah
dan lima menit berjalan kaki ke pasar dan pantai, Wallace? Satu hal yang boleh jadi belum ditelusuri,
maka rumah Wallace sepertinya layak berada dekat yaitu mencari keterangan dari anak-cucu keturunan
Benteng Oranje di Kelurahan Santiong, Ternate Ali. Siapa dia? Ali adalah pemuda yang menjadi
Oleh: Munasri Tengah. Masalahnya, Benteng Oranje dibangun oleh pembantu setia merangkap sebagai asisten Wallace.
Belanda (1807) bukan benteng Portugis seperti yang Ali lah yang mengurusi keperluan Wallace termasuk
disebut Wallace. Melalui perdebatan, rumah warga di
Pagi-pagi 8 Januari 1858, Sir Alfred Russel Wallace tiba di Pulau Ternate. Melalui merawat koleksinya. Ali yang dilaporkan masih hidup
Jalan Nuri - tidak jauh dari Benteng Oranje - akhirnya sampai tahun 1907 oleh ahli binatang dari Harvard,
bantuan Mr. Duivenboden - penduduk Ternate keturunan Belanda yang kaya, ditetapkan oleh Pemerintah Kota Ternate sebagai
berpendidikan, dan dijuluki raja Ternate - Wallace bisa menyewa tempat tinggal, Amerika Serikat yang ketika itu berkunjung ke Ternate
lokasi rumah Wallace pada 3 Desember 2008, tetapi - disebut sebagai yang merawat dan menyelamatkan
sebuah rumah yang cocok dengan kebutuhannya. Rumah itu dekat ke kota dan bukan karena dekat benteng Oranje. Alasannya, di Wallace dari serangan malaria. Ketika Wallace
memiliki akses jalan yang memudahkannya pergi ke penjuru negeri ataupun ke seberang jalan depan rumah itu (bukan “Just below meninggalkan Ternate pada 1862, ia membuat foto
gunung. Di rumah itu Wallace merasa nyaman untuk memulihkan kesehatannya; my house is the fort, built by the Portuguese,” seperti Ali berpakaian ala barat dan memberi tanda mata
sebagai tempat untuk kembali setelah pelayarannya ke berbagai pulau; membuat kata Wallace) ada bekas puing-puing bangunan yang perpisahan berupa dua senjata api (double barreled
diyakini sebagai tinggalan bangunan Benteng Portugis. guns), perkakas, perbekalan, bermacam barang dan
persiapan untuk perjalanan masa depan; dan tempat mengemas koleksi temuannya. Pertimbangan lain, rumah itu memiliki sumur tua
Dalam buku the Malay Archipelago, Wallace mendeskripsi rumah yang disewanya koin uang Inggris. Bila Ali memiliki keturunan, maka
yang diduga sumur yang diceritakan Wallace. Dari saat ini ketururnan ke-4 Ali berusia 50 tahunan.
selama 3 tahun (I retained this house for three years) seperti pada umumnya model 6 atau 8 benteng yang pernah dibangun di Ternate, Seandainya serpihan barang kenangan itu masih
rumah di Pulau Ternate. Rumah satu lantai itu berdinding batu setinggi tiga kaki. kini hanya ada 4 benteng yang dipugar sebagai benda tersimpan di antara anak-cucu Ali, termasuk cerita-
Dinding bagian atas – kecuali bagian beranda – terbuat dari susunan rapat pelepah sejarah, yaitu Benteng Tolukko, Benteng Oranje, cerita yang diturunkan, bukan mustahil kisah tentang
daun sagu yang sekaligus sebagai penopang atap rumah dan terpasang rapih pada Benteng Kalamata dan Benteng Kastela. Ali menuju jalan ke rumah Wallace bisa ditelusuri.■
kayu pengikiat. Lantainya dari plesteran (stucco) dan langit-langitnya serupa dengan Wallace menyebut, kota melampar sejauh kira- Penulis adalah Peneliti Madya, di Pusat Penelitian Geoteknologi
dinding pelepah daun sagu. kira satu mil ke arah timur-laut, hanya cocok bila LIPI

76 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 77


ARTIKEL Beberapa karang terdapat menempel di atas
batuan granit yang menjadi ciri dari pulau yang
termasuk wilayah Provinsi Bangka-Belitung ini.
Dijumpai pula fosil-fosil fauna pantai seperti kepiting
dan lainnya. Karang di antara batuan granit ini
tersebar seperti di Pulau Kelayang, Pantai Tanjung
Tinggi, dan Siantu di wilayah Sijuk, Kabupaten
Belitung; serta pantai-pantai di wilayah Membalong
dan wilayah Simpang Pesak di Kabupaten Belitung
Timur.
Tulisan ini dari seorang yang bukan ahli geologi,
namun berkeinginan kuat untuk memahami fenomena
alam pulau tempat kelahiran sendiri. Informasi satuan
batuan dan geologi lainnya dalam tulisan ini mengacu
kepada Peta Geologi Lembar Belitung, Sumatera oleh
Baharudin dan Sidarto (1995). Sedangkan nama-nama
fosil biota laut didasarkan kepada kesamaan dengan
bentuk-bentuk yang ditemui di internet. Karena itu,
masukan dari para ahli geologi untuk koreksi atau
perbaikan penjelasan geologi dalam tulisan ini sangat
dinantikan. Batu Gerude sebagai ikon pariwisata Pulau Belitong. Guratan dan
lekukan pada batu tersebut adalah hasil pengikisan oleh air dan
Karang Tua dan Granit Ungu Pulau Kelayang angin serta cuaca selama jutaan tahun.
Pulau Kelayang adalah sebuah pulau kecil yang sangat
indah. Letaknya di Dusun Tanjung Kelayang, Desa yang melekat pada batuan granite. Bahkan di areal
Keciput, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Berada ini ditemukan juga sisa kulit kerang yang melekat
di sisi utara Belitung, Pulau Kelayang yang luasnya pada bebatuan granit di ketinggian tiga meter di atas
sekitar dua hektar, menyimpan berbagai fenomena permukaan laut (dpl) sekarang ketika surut. Bebatuan
alam di tengah hamparan pasir putih dan laut jernih. granit yang berhimpitan melindunginya dari ganasnya
Batuan granit yang seakan bermunculan dari dalam hempasan gelombang air laut di musim angin kencang.
laut menambah eksotisme pulau kecil ini. .
Di area ini juga terdapat batuan granit yang berwarna
Koral Jenis Siderastrea sidereal berada di ketinggian 1 meter diatas permukaan air laut sekarang. Pulau Kelayang terletak di Satuan Granit Formasi ungu. Susunan batuan granit yang berwarna beda dari
Tanjungpandan yang merupakan batuan granit tertua warna granit pada umumnya itu terdapat di sekitar
di Belitung, yaitu berumur Trias atau sekitar 240 juta sisa-sisa karang tua di dekat gua granit. Warna ungu

Jejak
tahun yang lalu (tyl). Gubal-gubalnya sangat besar dan ini adalah pigmen yang berasal dari terumbu karang
memiliki beragam bentuk yang unik. Salah satunya, tua.
Batu Gerude yang berbentuk seperti kepala burung
yang terletak di sisi timur Pulau Kelayang. Teritip Purba Pantai Tanjung Tinggi

Laut Holosen
Pantai Tanjung Tinggi di Desa Tanjung Tinggi,
Selain itu, di Pulau Kelayang juga terdapat beberapa
Kecamatan Sijuk, memiliki panorama pantai yang
gua yang terbentuk dari tumpukan batuan granit.
menakjubkan. Pantai ini juga dipenuhi oleh batuan
Gua tersebut menjadi tempat tinggal burung walet
granit raksasa dan pasir putih seperti pantai-pantai
dan koloni salah satu spesies langka yaitu kelelawar
andalan pariwisata lainnya di Pulau Belitung.
putih. Di areal gua inilah terdapat sisa-sisa karang

di Pulau Belitung tua peninggalan laut Kala Holosen (kl. 10.000 tyl).
Diantaranya, sisa koral spesies Siderestrea sidereal
Laut di Pantai Tanjung Tinggi dangkal dan landai serta
berteluk sehingga aman bagi wisatawan yang ingin
Oleh: Meggi Rhomadona

Pulau Belitung, sebuah pulau kecil (kl. 480.010 hektare) di Selat Karimata, Sumatera
bagian selatan, memang mempunyai banyak kejutan. Selain gubal-gubal (bongkah-
bongkah) granit dan timahnya yang mendunia, di pulau ini juga banyak dijumpai
karang perairan laut dangkal di Kala Holosen, ketika permukaan laut lebih tinggi
sedikit dari keadaan sekarang.

Fenomena granite di Pulau Kelayang dengan 2 warna yang berbeda.

78 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 79


menaruh telur dimasa kehamilan.
Melihat kondisi fisik spesimen terumbu karang tua
dan kerang yang tidak banyak mengalami perubahan
pigmen/warna pada cangkangnya, muncul dugaan
bahwa penyebab kematian karang tersebut bukan
susut laut, melainkan sebab lain. Sebab, jika proses
perubahan lautan menjadi daratan yang terjadi dalam
waktu yang lama sebagai penyebab kematiannya, maka
terumbu karang dan kerang itu akan mati perlahan
dan akan mengalami proses pengeruhan warna.
Namun, kenyataannya spesimen terumbu karang yg
ditemukan masih dalam kondisi baik, tidak keropos
dan warnanya masih mencolok. Ada kemungkinan
penyebab kematian karang-karang itu adalah peristiwa
yang mendadak seperti banjir besar yang melanda
daerah itu sehingga tanah yang hanyut akibat banjir
tersebut langsung menutupi ekosistem terumbu karang
tua di lautan dangkal di sekitar Kulong Karang Tua
Kulong Karang Tua Sijok,Pulau Belitong.Terdapat lapisan terumbu
Sijok.
karang yang menjemari dengan batuan granite. Adapun lapisan asli yang mengandung terumbu
karang tua dan kepiting yang sudah membatu tersebut
Lokasinya hanya sekitar satu hingga empat kilometer berada di kedalaman antara dua meter sampai empat
dari bibir pantai Sengkeli, Desa Sijuk dan luas meter di bawah permukaan tanah. Lapisan yang
sebarannya sekitar dua hingga sepuluh hektar. menimbum ekosistem karang tua tersebut merupakan
Beberapa jenis koral dari Kulong Karang Tua Sijok lapisan tanah bercampur lumpur hasil erosi dan
diantaranya adalah Acropora sp, Montipora sp, Fungia mengandung timah. Oleh sebab itu, areal tersebut
sp, Polyphyllia talpina, Oxypora laceva, Siderastrea juga ditambang oleh masyarakat setempat sebagai
sidereal, Herpolitha limax dan banyak lagi jenisnya. sumber mata pencaharian. Di sekitar area tersebut
Beberapa diantaranya bahkan hidup melekat lanskapnya sudah menjadi hutan kayu putih (gelam)
dibebatuan granit yang ada di area tersebut. Jenis dan mangrove.
kerang-kerangan diantaranya Kerang Dara (Anadara Karang Tua di Mentigi, Membalong
granosa), Kerang Venus, Kerang Conus (Conus sp),
Keindahan Pantai Tanjong Tinggi. Airnya jernih berpadu dengan batuan granite. Kima (Tridachna sp), dan masih banyak lagi. Tidak hanya di Pulau Belitung bagian utara, jejak laut
purba juga ditemukan di bagian selatan pulau ini.
Di lokasi ini juga ditemukan berbagai jenis kepiting Tepatnya di Desa Mentigi, Kecamatan Membalong,
menikmati kejernihan pantai. Selain keindahannya, Sijuk, Kulong Karang Tua Sijok memiliki fenomena laut yang telah membatu dan dolar pasir (Clypeaster Kabupaten Belitung, sebuah ekosistem karang tua
pantai yang juga dinamakan Pantai Pelabuhan Bilik paleontologi yang unik. Di bekas penambangan sp). Kepiting-kepiting tersebut juga terangkat oleh peninggalan laut dangkal dijumpai. Lapisan terumbu
oleh warga setempat ini, juga menyimpan sisa-sisa laut timah ini dapat dijumpai karang tua yang disusun aktivitas pertambangan timah. Kepiting yang sudah karang tua di sini diperkirakan juga tertimbun oleh
purba jaman dahulu, yaitu lapisan kerang teritip yang oleh pecahan dari berbagai jenis terumbu karang membatu itu rata-rata ditemukan tidak insitu dan pasir hasil erosi dari bukit di sekitarnya seiring dengan
melekat pada bebatuan pantai. dan kerang, serta kepiting yang sudah membatu. keadaaannya rusak akibat penambangan. Tiga spesies kondisi ketinggian air laut yang menurun pada kala
Kesemuanya terangkat ke permukaan akibat aktivitas kepiting, yaitu Kepiting Batu (“Rock Crab”, Liocarcinus itu.
Kerang Teritip adalah salah satu jenis kerang laut yang
pertambangan timah dengan sistem ponton rajuk vernalis), Kepiting Hantu (Ketam Keranjang atau
hidupnya menempel di bebatuan maupun di kayu yang Berbagai macam jenis terumbu karang dan kerang-
maupun tambang timah darat yang membuka ”Ghost Crab”, Ocypode sp) dan satu lagi jenis kepiting
hanyut di lautan. Area hidupnya adalah batas antara kerangan khas laut tropis dangkal juga bisa ditemukan
tambang dengan cara mengeruk tanah lapis demi lapis yang belum diketahui spesiesnya, telah dijumpai dari
level air pasang naik dan level air pasang surut (tidal
dengan eskavator. kawasan ini.
area) di ekosistem pantai.
Kulong Karang Tua Sijok semula adalah daratan Secara keseluruhan, di areal kulong Karang Tua Sijok
Di pantai Tanjung Tinggi inilah terdapat sisa cangkang dan rawa yang didominasi hutan mangrove, hutan ini diperkirakan terdapat lebih dari 1.000 spesimen
kerang teritip yang hidup di kala muka air laut cemara laut, dan hutan rawa dengan ekosistem kayu kepiting berbagai ukuran dan kondisi yang sudah
berada diatas ketinggian air laut sekarang. Jenisnya putih (“Hutan Gelam” dalam bahasa setempat). membatu. Diperkirakan masih banyak spesimen yang
adalah Balanus sp. yang sisa-sisanya masih melekat Saat ini kesemuanya berubah menjadi sebuah areal melekat pada batuan induknya di lokasi mengingat
di bebatuan granit Pantai Tanjung Tinggi. Kerang dengan banyak danau bekas pertambangan timah luasan sebaran terumbu karang tua di DAS Sengkeli
Teritip ini saat ini ditemukan berada di ketinggian dua (“kulong”). Aktivitas penambangan timah inilah yang Sijuk ini mencapai sekitar 10 hektar.
meter dpl. Di yang disebut juga sebagau “Pantai Laskar menyebabkan tersingkapnya lapisan karang yang
Pelangi” ini ada beberapa titik singkapan sisa-sisa Untuk kepiting yang paling banyak ditemukan adalah
berada di kedalaman sekitar 2 - 5 meter di bawah
teritip purba dan terumbu karang tua. Kepiting Hantu atau Ketam Keranjang. Sangat mudah
lapisan tanah yang posisnya saat ini ini sekitar tiga
menemukannya ditumpukan pasir tailing hasil dari
Kulong Karang Tua Sijok meter dpl.
pertambangan timah. Bahkan dapat dikenali kepiting
Terletak di kompleks pertambangan timah Gunong Secara geologi, Kulong Karang Tua Sijok terletak jantan yang memiliki capit yang besar dan cangkang
Gasing, areal Hutan Lindung Pantai (HLP) dan Daerah diujung Satuan Granit dari Formasi Tanjung Pandan perut yang ramping, dan kepiting betina dengan ciri
Aliran Sungai (DAS) Sengkeli, Desa Sijuk, Kecamatan yang berbatasan dengan Satuan Lava Bantal Siantu. capit yang kecil dan cangkang perut yang lebar untuk Kerang jenis Sympyllin agaricin dipinggiran sungai di Desa Mentigi.

80 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 81


di areal ini. Lapisan terumbu karangnya berada
sekitar dua meter dari atas permukaan tanah dan
tereskavasi ke permukaan oleh aktivitas pembuatan
jalan dan tambang pasir di desa tersebut. Sisa-sisa
kerang ditemukan pada jarak terjauh dari bibir pantai
sekarang 150 meter ke arah daratan Desa Mentigi.
Secara geologi, lapisan terumbu karang tua Mentigi
berada diatas Satuan Aluvium yang berbatasan
dengan satuan batuan Granite Adamelit Baginda
yang mendominasi Pulau Belitung bagian selatan.
Luasannya belum diketahui secara pasti.
Karang Tua di Siantu
Siantu adalah sebuah pantai yang terpencil di sisi utara
Pulau Belitung. Berada di Dusun Piak Aik, Desa Sijuk,
Kabupaten Belitung, pantai ini hanya berjarak tujuh
Susunan batu granite di Pantai Pulau Pandan,Tanjung Kelumpang yang berdiri tegak bersama
kilometer dari Kulong Karang Tua Sijok. Pantai Siantu pepohonan mangrove. Pantainya berlumpur tidak seperti pantai di Pulau Belitong pada umumnya.
belum begitu terkenal seperti Pantai Tanjung Kelayang Karang Tua Tanjung Kelumpang
karena akses untuk menuju pantai ini masih berupa Pantai Punai, salah satu pantai wisata yang ada di
jalan setapak yang biasa dipakai oleh nelayan setempat Kabupaten Belitung Timur dan pantai-pantai lainnya
untuk mencari ikan. Selain masyarakat setempat,
di wilayah Desa Tanjung Kelumpang, ternyata
hanya beberapa wisatawan minat khusus yang
juga menyimpan sisa-sisa laut purba berumur
singgah berlabuh dan beberapa peneliti yang pernah
Holosen berupa karang tua dan lapisan tanah yang
berkunjung ke pantai ini.
mengandung cangkang kerang. Karang-karang itu
Siantu mulai dikenal terutama oleh para ahli geologi diperkirakan dahulu tumbuh di atas batuan Granit
karena di pantai ini tersingkap sebuah fenomena Adamelit Baginda ini. Seperti halnya Pantai Siantu,
geologi yang unik, yaitu batuan lava bantal (pillow Pantai Punai juga memiliki batu-batu karang tua yang
lava) yang tersusun oleh basalt. Terdapat juga breksi. masih kokoh berdiri tegak di pantai tersebut..
Keduanya berasal dari gunung api purba. Pantai Siantu
Beberapa diantara karang tersebut tertimbun pasir
tidak seperti pantai di Pulau Belitung pada umumnya
yang memiliki batuan granit dan pasir pantai yang pantai dan sebagian lagi mencuat keluar sehingga
berwarna putih, pasir pantainya berwarna kuning mudah untuk dikenali. Sisa koral jenis Siderastrea
kemerahan.. sidereal juga ditemukan masih melekat pada granit di
pantai ini. Meskipun belum ditemukan kepiting yang
membatu seperti di Kulong Karang Tua Sijok, tapi
diyakini di kawasan ini juga terdapat fosil kepiting tua.
Peta geologi lembar Belitung buatan
Sebaran Laut Holosen di sekitar Belitung Baharudin dan Sidharto yang telah dibubuhi
Mengacu kepada Peta Geologi lembar Belitung oleh beberapa penanda lokasi peninggalan laut
Baharudin dan Sidarto (1995) yang menjadi rujukan kala Holosen oleh penulis.
tulisan ini, batuan penyusun Pulau Belitung dan
sekitarnya terdiri atas beberapa satuan batuan. Yaitu, bagian selatan, yaitu di Mentigi, Membalong (4), dan yang terpisah dengan pulau induk Belitung. Begitu
satuan Granit Tanjungpandan (Trtg) di bagian utara, Dukong, Tanjung Kelumpang (6). Adapun luasanya pula daerah Tanjung Ru (ii) yang ditempati oleh
satuan Granit Adamelit (Jma) di bagian selatan, satuan diperkirakan lebih dari 100 hektar berdasarkan Formasi Kelapa Kampit di barat pulau Belitung di kala
batuan Granodiorit Burung Mandi (Kbg) di bagian luasan dataran rendah sepanjang garis pantai Pulau itu juga terpisah dari pulau induk Belitung. Sedangkan
timur, Formasi Tajam (PCTm), Formasi Kelapa Kampit Belitung dan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang daerah Air Buding/Simpang Tiga (iii) yang berada di
(PCks), satuan batuan Pasir Berkarbon Pasir (Qpk) memungkinkan menjadi laut dangkal pada kala itu. tengah pulau Belitung sekarang, dulunya merupakan
dan Aluvium (Qa) yang berwarna putih pada peta sebuah danau besar yang kemudian diisi endapan hasil
tersebut. Penyusun peta tersebtut juga menemukan Menurut penulis, hampir di seluruh pesisir Pulau
Belitung pada batuan dengan posisi tiga meter erosi dari bukit-bukit di sekitarnya.
lapisan terumbu karang satuan Aluvium (Qa) di
daerah Sengkeli Sijuk, Belitung utara (huruf AI pada di bawah muka laut saat ini dapat ditemukan Tidak diragukan lagi bahwa dataran rendah Pulau
Pantai Siantu dengan batuan Lava Bantal nya. Pulau didepan itu
adalah Pulau Siantu. peta); dan di daerah Gantung, Belitung timur (B). peninggalan lingkungan laut di Kala Holosen. Penulis Belitung yang berbatasan dengan patai-pantai Pulau
juga berpendapat bahwa bentuk Pulau Belitung pada Belitung sekarang, dengan lebar antara satu hingga
Untuk mengetahui sebaran laut purba (Holosen, kl. Kala Holosen, ketika posisi muka air laut di atas posisi 10 kilometer dari bibir pantai saat ini, dahulu di Kala
Selain lava bantal, di Pantai Siantu juga terdapat 10.000 tyl) di sekitar Belitung, penulis telah mensurvei muka air laut sekarang adalah bentuk Pulau Belitung Holosen memang merupakan laut dangkal yang kaya
memiliki sebuah fenomena sisa-sisa karang tua jejak peninggalan laut hampir di seluruh Pulau yang berwarna, yaitu Belitung tanpa lapisan formasi
Belitung dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hasilnya, akan biota laut. Hal ini merupakan fenomena yang
(micro atol) dari laut purba kala Holosen yang pernah Aluvium (Qa) Peta Geologi Lembar Belitung.
hidup diatas satuan batuan beku yang mendominasi tanda-tanda laut di Kala Holosen dijumpai di (kode menarik untuk studi berbagai disiplin ilmu seperti
are,. Sisa-sisa karang tua yang berupa batuan karang angka sebagaimana pada peta) wilayah Belitung bagian Dengan demikian, kala itu daerah Penyabong dan Batu geologi, paleontologi, dan perubahan iklim.■
dengan diameter mencapai dua meter itu bisa dilihat utara, yaitu di Sijuk (1), Tanjung Tinggi (2), Sengkeli, Baginde (tanda ! pada peta) termasuk dalam Satuan Penulis adalah pemerhati alam dan lingkungan serta geologi Pulau
ketika air laut dalam kondisi surut. Sijuk (3); dan Siantu, Sijuk (5); dan wilayah Belitung Granit Adamelit Baginda di selatan pulau Belitung Belitung, tinggal di Belitung.

82 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 83


ARTIKEL lainnya. Hal ini karena Indonesia tidak lagi memiliki
lahan lain yang luas, datar, dan kaya sumber air untuk
pengembangan berbagai lingkungan binaan, selain
lahan gambut. Namun, pengembangan lahan gambut
sebenarnya lebih cocok untuk penyediaan sumber air
dan sumber energi. Sementara itu, sifat gambut yang
mudah terbakar dan akibat penambangan atasnya
menjadi ancaman keberadaan lahan gambut dan
lingkungannya, sehingga konservasi menjadi sangat
diperlukan.
Pengertian
Gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman
purba yang telah mati dan mengalami perombakan
(secara kimia, fisika, dan biologi) yang mengandung
minimal 12% sampai dengan 18% karbon organik,
dengan ketebalan minimal 50 cm. Dalam taksonomi
ilmu tanah, ada juga yang disebut tanah gambut. Istilah
gambut dapat bermakna ganda yaitu sebagai bahan
organik (peat), dan sebagai tanah organik (peat soil).
Gambut sebagai bahan organik adalah sumber
energi dan media perkecambahan biji tanaman dan
pupuk organik. Sedangkan sebagai tanah organik,
gambut digunakan untuk lahan bagi berbagai kegiatan
pertanian yang dapat dikelola dalam sistem usaha
tani. Terdapat tiga macam bahan organik tanah
yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan
tanaman aslinya, yaitu fibrik, hemik dan saprik.
Mirip dengan pengertian itu adalah definisi
sebagaimana dideklarisasikan dalam Kongres Ilmu
Tanah Internasional di Rusia pada 1930, yakni gambut
(peat) adalah sebagai bahan organik tanah dengan
kedalaman 0,5 meter dan luasnya minimal satu hektar.
Selanjutnya, Anderson (1964) menambah pengertian
tersebut di atas dengan kalimat: “jumlah mineral
maksimum 35%”. Apabila komposisi mineral antara
35% sampai dengan 65% disebut gambul (muck).
Buckman dan Brady (1956) membedakan gambul dan
gambut berdasarkan kandungan bahan organik, bila
Foto Hamparan Gambut di Ketapang Kalimantan Barat. kandungan organik antara 18% hingga 50% dinatakan
sebagai gambul dan jika lebih disebuit gambut.

Gambut Indonesia
Menurut Kanapathi (1975) kandungan fraksi mineral
Pada awal pelaksanaan program Pelita tanah gambut kurang dari 35%, sedangkan gambul
(Pembangunan Lima Tahunan) Pertama 1969/1970- antara 35% hingga 55%.
1974/1975, lahan gambut di Desa Gambut, Kabupaten
Banjar, dijadikan persawahan untuk meningkatkan Sedangkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990

Luas Tersebar dan Mudah Terbakar produksi padi melalui program swasembada pangan. tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Kepres No.
Pemerintah kemudian membuka lahan sejuta hektar 32/1990) menyatakan bahwa kawasan bergambut
di Pulang Pisau, Kalimantan Selatan. Bahkan pernah adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya
dikembangkan untuk pembangkit tenaga listrik, yaitu sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang
Oleh: Teuku Ishlah tertimbun dalam waktu yang lama dan kritera berupa
di Palangkaraya, dengan bantuan teknik dari Finlandia
pada 1986. Sejak itu, perubahan lahan gambut menjadi tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih
Di Indonesia, gambut sudah lama dimanfaatkan. Lahan gambut digunakan untuk perkebunan, terutama sawit, dimulai. Kini, banyak yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.
lokasi bandar udara di berbagai tempat di Pulau Kalimantan. Bandara Syamsuddin Nur lahan gambut telah menjadi perkebunan sawit, Sebaran Gambut
di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, menjadi bandara pertama di atas lahan gambut seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan
Kalimantan. Gambut terdapat di seluruh permukaan bumi dengan
pada masa penjajahan Belanda. Untuk membangunnya digunakan kayu ulin sebagai luas sekitar 394 juta hektar (Ha). Lahan gambut terluas
bahan dasar konstruksi landasan pacu, sehingga dikenal sebagai Bandara Ulin. Belanda Dari perjalanan waktu, tampak bahwa lahan gambut terdapat di Kanada, 170 juta Ha, Rusia (150 juta Ha),
juga mengubah lahan gambut menjadi kebun sawit di Deli (Sumatra Utara) dan Bumi telah menjadi pilihan untuk pengembangan lahan Amerika Serikat (40 juta Ha), Indonesia (26 juta Ha),
Tamiang (Aceh). transmigrasi, perkebunan, perumahan, pengairan, dan Finlandia (10,40 juta Ha), dan sisanya tersebar di

84 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 85


Pembentukan gambut di Sumatra, Kalimantan, dan air. Di tempat lain mungkin terbentuk gambut
Semananjung Malaysia dimulai sesudah Zaman topogenus atau eutropic, yaitu gambut yang dibentuk
Glasial Panas yang mencairkan es kutub utara dan pada lembah dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang
kutub selatan bumi. Saat itu air dalam jumlah besar hidupnya pada tanah mineral yang kaya kandungan air
mengalir ke lautan bebas mengakibatkan sebagaian yang berasal dari penghumusan sisa-sisa tumbuhan.
besar dataran rendah di Pulau Sumatra, Kalimantan
tergenang air. Pulau-pulau pun terbentuk diikuti Pembentukan kubah gambut (peat domes) biasanya
terbentuknya dataran pantai dan rawa-rawa, seperti dimulai dengan gambut topogenus. Selanjutnya
yang ada di daerah pantai timur dan pantai barat gambut bertambah tebal, akar tanaman bertambah
Sumatra, dan bagian selatan Kalimantan. Dataran sukar untuk mencapai tanah, dan bersamaan itu juga
pantai dan rawa ini ditumbuhi oleh berbagai jenis terjadi banjir yang mengakumulasikan gambut dalam
tumbuhan yang cocok dengan kondisi pada saat itu. bentuk kubah sebagai gambut ombrogenus. Kadar abu
Pada awalnya tumbuhan rawa sejenis bakau tumbuh dari gambut ini adalah asli (inherent) dari tumbuhan
dengan cepat mengisi cekungan-cekungan. Tumbuhan itu sendiri dan dikenal sebagai gambut oligotrophic
ini adalah bahan pembentuk gambut. Adanya proses atau gambut miskin bahan nutrisi. Oleh karenanya
sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai tumbuhan kurang subur dan lambat pertumbuhannya.
cenderung bertambah maju ke arah laut, daratan pun Perlu juga diketahui bahwa endapan gambut mungkin
meluas. berupa tumpukan tanaman. Gambut di Ketapang,
Saat permukaan laut stabil, terjadi pengendapan Kalimantan Barat, misalnya, memperlihatkan
organik bercampur lumpur liat seperti lempung, lanau tumpukan kayu. Dalam kondisi normal, kayu
dan pasir dan membentuk dataran pantai yang luas mengapung di permukaan air dan mengikuti
dengan lumpur atau lempung halus yang mengandung asas isostasi. Maksudnya, di dalam air kayu akan
pirit (FeS2) bertekstur halus, tidak berkapur di bawah muncul sepertiga di permukaan dan duapertiganya
tanaman bakau. Sungai-sungai lebar memotong lagi tenggelam. Jadi, dengan kaidah isostasi, bisa
dataran rendah dengan membentuk tanggul lumpur diperkirakan ketebalan minimal gambut.
liat di antara dua sungai besar yang menbentuk Sifat fisik yang harus terpelihara pada (lahan) gambut
cekungan-cekungan sedimentasi yang penuh dengan adalah basah. Gambut mudah kering bila sumber
Gambar Penggunaan lahan gambut dengan kanalisasi tanpa sekat yang mengakibatkan air bertambah rendah sehingga permukaan gambut
kering dan mudah terbakar. Tampak jejak kayu dalam endapan gambut.

berbagai negara. Finlandia merupakan negara yang Dengan demikian terdapat perbedaan-perbedaan
membangun pembangkit listrik berbahan bakar angka. Sesungguhnya, sebaran dan luas lahan gambut
gambut terbaik di dunia. sukar dibatasi dengan penyelidikan dan pemetaan
Di daerah tropis, terhampar gambut seluas 31 juta biasa di lapangan. Perkiraan luas gambut akan
Ha yang tersebar di Asia, Amerika, dan Afrika. Di lebit akurat jika dibantu dengan foto sateli teknik
Indonesia, gambut merupakan jenis tanah terluas penginderaan jauh. Teknik pengideraan jauh dapat
kedua yang tersebar di pantai timur Sumatra, menentukan batas-batas sebaran hutan primer, hutan
pantai selatan dan barat Kalimantan, pantai selatan rawa, hutan campuran dan padang alang-alang, juga
Papua, dan sedikit di Sulawesi, Maluku, dan Jawa. kubah (dome) gambut. Bahkan kerapatan vegetasi,
Berdasarkan Peta Tanah Indonesia (1976), gambut tingkat kesuburan, dan pola aliran air sungai, dan
termasuk dalam satuan lahan rawa yang luasnya geomorfologi gambut juga dapat dikenal dengan baik
mencapai 35,0 juta Ha yang terdiri dari lahan pasang melalui penggunaan teknik inderaja ini.
surut, lahan gambut dan lahan mineral (marin dan
tawar). Pembentukan dan Sifat
Secara geologis gambut dapat terjadi di daratan
Menurut Polak (1952), lahan gambut di Indonesia
rendah, daratan tinggi, atau pegunungan dengan
diperkirakan mencapai 16 juta Ha. Sedangkan
iklim tropis, sedang dan dingin. Karena itu, jenis
berdasarkan perkiraan Departemen Pertambangan dan
gambut bergantung lingkungan pengendapan
Energi (1989) luas gambut Indonesia mencapai 17 juta
Ha dengan perkiraan cadangan mencapai 170 miliar bahan penyusunnya. Komposisi tumbuhan juga
meter kubik gambut dengan asumsi ketebalan rata- tergantung adaptasinya terhadap iklim sehingga
rata 1,0 meter. Dengan terbitnya SNI Cadangan dan endapan gambut yang dihasilkan juga berbeda. Untuk
Sumber Daya Mineral dan Batubara, cadangan gambut mengetahui terjadinya dan jenis gambut, maka harus
ini diklasifikasikan sebagai sumber daya hipotetik. direkonstruksi kejadiannya pada masa lampau dengan
Saat ini Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, sekala waktu ribuan tahun lalu, terutama saat sejumlah
menerbitkan Peta Sebaran Lokasi Gambut Indonesia besar air laut masuk kedaratan yang tinggi bahkan
Satus 2011 sekala 1:5.000.000, yang memuat sebanyak sampai ke pegunungan es yang tinggi. Selanjutnya,
62 lokasi keterdapatan gambut, disertai keterangan direkontruksi pula saat air surut dan meninggalkan
sumber daya dan nilai kalorinya masing-masing. massa tumbuh-tumbuhan berukuran raksasa. Suasana saat malam hari, kebakaran kubah gambut yang ketebalan lebih dari 5 meter.

86 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 87


Kelompok Petani karet di Desa Jabiren, Kecamatan Gambut perlu dikonservasi sebab eksploitasi gambut
Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau berhasil dikhawatirkan akan menyebabkan gambut lepas dari
mempertahankan kebun karet mereka yang berada dasar dudukannya karena gaya isostasi. Lahan gambut
dalam kawasan lahan gambut yang terbakar pada 2015. sebenarnya merupakan sebuah rakit besar yang
Sejak 2012, Kelompok ini membagun 18 sumur bor terbuat dari batang kayu, dahan kayu, daun tumbuh-
untuk menyemprot lahan perkebunan supaya gambut tumbuhan yang mengapung dalam air. Sebagai
tetap basah, berpatroli siang-malam, dan berjibaku gambaran, gambut dengan tebal sembilan meter, maka
memadamkan api pada periode Agustus-Oktober tigameter daripadanya berada diatas muka air tanah
2015. Sebanyak 1.500 hektar areal gambut pun di permukaan. Bila lahan gambut di permukaan ini
akhirnya berhasil diselamatkan. Caranya, satu sumur ini dipanen/ditambang, maka sisa gambut di bawah
bor yang dibuat di tepi kebun yang berbatasan dengan permukaan yang setebal enam meter akan terangkat
lahan terlantar dan rawan terbakar mengamankan 50 ke atas akibat gaya isostasi hidrostatik. Dari enam
Ha kebun karet. Kedalaman sumur bor tersebut antara meter gambut yang terangkat ini, setebal dua meter
24 meter hingga 30 meter dengan jarak antar sumur akan berada diatas muka air, dan sisanya setebal empat
400 meter. Sumur bor dibuat karena saluran air kering meter akan terlepas dari dasar tanah yang sangat
dalam musim kemarau. membahayakan untuk pertambangan dan kegiatan
Kebakaran lahan gambut menjadi sangat menarik lainnya. Bergelombangnya jalan raya antara Pontianak
perhatian. Hal ini disebabkan karena lahan gambut dan Mempawah di Sungai Raya adalah akibat endapan
Lahan gambut setelah terbakar dengan ketebalan kurang dari satu meter.
di Indonesia telah ditetapkan sebagai hutan lindung gambut di bawah badan jalan tersebut.
dan dijadikan komitmen pemerintah Indonesia dalam
Permasalahan penambangan gambut sama dengan
airnya hilang akibat pembuatan kanal yang memotong lebih. Kebakaran ini disebabkan terjadinya fenomena rangka penurunan emisi gas karbon sebesar 26%
kontur rupa bumi. Bila kanal tidak dibuat sejajar hingga 41% sampai tahun 2020 dengan dukungan panas bumi. Istilah penambangan dan ijin usaha
el-Nino yang ditandai dengan musim kemarau yang
kontur rupa bumi supaya air tertahan, maka bisa dana dari lembaga internasional. Komitmen ini pertambangan perlu ditinjau ulang. Kalau memang
tidak normal yang terjadi secara periodik antara 4 - 5
mengakibatkan gambut yang letaknya lebih tinggi merupakan salah satu hasil dari Konfrensi Negara- harus direstorasi, ada baiknya gambut dikeluarkan
tahun. El-Nino terparah sebelumnya terjadi pada
akan kering. Bila sangat kering, maka gambut tidak negara G-20 pada Oktober 2009 di Pitsburg Amerika dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang
1997/1998 yang mengakibatkan lahan gambut dan
akan bisa basah kembali. Hal ini disebabkan gambut hutan terbakar. Kebakaran gambut juga terjadi karena Serikat. Dalam konfrensi ini, Indonesia mendapatkan memasukkan gambut sebagai bagian dari batubara.
tidak mampu menyerap air kembali (irreversible). disengaja untuk pembuatan kebun sawit. Terbakarnya dana hibah sebesar satu miliar dolar AS melalui Di sisi lain, pemikiran bahwa gambut itu adalah
Secara kimiawi, gambut juga mengandung sulfur yang gambut secara sengaja terjadi pada Perang Vietnam Program Reducing Emmission Deforestation and Forest sumber energi biomassa kiranya lebih tepat karena
terbentuk dari mineral pirit bertekstur halus, dan nilai sebagai strategi menghancurkan lawan. Degradation Plus (REDD+) dari Norwegia dan potensi gambut secara fisik merupakan kumpulan limbah kayu
panas atau kalori. Oleh karenanya, gambut harus basah dagang karbon untuk perbaikan lahan gambut. yang terbentuk secara alami. Sementara itu, gambut
selamanya. Usaha pemadaman api di lahan gambut, jika diminati juga sebagai bahan bakar untuk keperluan
terlambat dilakukan, atau apinya telah jauh Akibatnya Badan Geologi, mulai 2010, tidak
sumber energi PLTU, terutama di daerah terpencil.
Berdasarkan hasil pengumpulan data oleh BPP Teknologi masuk kelapisan dalam gambut, akan sulit untuk melakukan penelitian endapan gambut untuk
Berdasarkan sebuah kajian, gambut di daerah terpencil
(1994), diketahui bahwa beberapa endapan gambut di kepentingan rekomendasi wilayah izin usaha
dipadamkan. Selain itu, hambatan utama yang dihadapi akan mampu bersaing dengan pembangkit listrik
Indonesia memiliki kadar belerang (S) yang tinggi dalam pertambangan gambut sebagaimana diatur dalam
dalam usaha pemadaman adalah sulitnya memperoleh BBM.
kondisi kering (adb). Kadar S pada gambut di Rawa UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
air di dekat lokasi kejadian dalam jumlah besar
Mesuji, Tulang Bawang, Lampung, berkisar 0,72% - 5,2%; dan Batubara. Padahal beberapa negara Nordik Pada 2016 Pemerintah membentuk Badan Restorasi
serta akses menuju lokasi kebakaran sangat berat. seperti Finlandia telah menggunakan briket gambut
di Desa Gambut, Banjar, Kalsel, antara 0,4% - 6,20%; di Pemadaman api di lahan gambut yang kebakarannya Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor
Riau 0,10% - 0,60%; di Jambi 0,21% - 0,77%, di Sumatera dan endapan gambut tanpa olahan sebagai sumber 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.
sudah parah/meluas hanya dapat ditanggulangi secara energi primer untuk pembangkit listrik dengan
Selatan 0,10% - 0,54%, dan Kalampangan, Kalimantan BRG dibentuk dalam rangka percepatan pemulihan
alami oleh air hujan yang deras. Hal ini terbukti pada sistem panen gambut secara berencana dan teratur.
Tengah 0,04% - 0,16%. kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan
kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Walau demikian, Badan Geologi tetap menerbitkan
Menurut penulis, kadar belerang ini yang Riau yang bisa padam hanya setelah hujan besar gambut akibat kebakaran secara khusus, sistematis,
Peta Sebaran Lokasi Gambut sekala 1: 5.000.000
mengakibatkan gambut mudah terbakar. Proses melanda kedua daerah tersebut. terarah, terpadu dan menyeluruh.
pada 2011 yang meliputi 62 lokasi. Walau pun tidak
kejadiannya hampir sama dengan kebakaran batubara terlalu rinci, namun data geologi, potensi, ketebalan, Dalam lima tahun, BGR ditargetkan melakukan
berkadar belerang yang terjadi dalam tongkang dan Luas kebakaran gambut pada 1997 diperkirakan
melebihi 1 juta Ha. Menurut Tacconi (2003), luas dan lingkungan pengendapan gambut seperti kubah restorasi ekosistem gambut seluas 2.000.000 Ha. Lokasi
stockpile batubara, akibat panasnya sinar matahari. gambut yang disajikan Badan Geologi ini setidaknya pelaksanaannya dimulai di empat kawasan gambut
Gambut pada musim kemarau sangat panas, karena hutan payau dan gambut Indonesia yang terbakar
dapat digunakan sebagai acuan dalam program prioritas, yaitu Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
mengalami kenaikan tempertur. Bila tercapai kondisi pada 1997/1998 diperkirakan mencapai 2.124.000
restorasi gambut. Tengah; Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten
tertentu, maka akan terbakar. Sifat fisik batubara atau Ha. Kebakaran di lahan gambut sangat sulit diatasi
dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di Dilema Konservasi Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, dan Kabupaten
gambut yang mengandung belerang sama halnya Kepulauan Meranti, Riau. Di keempat daerah prioritas
dengan bahan peledak yang terbuat dari arang kayu/ daerah bukan gambut. Api yang terdapat di dalam Mengingat kerugian yang besar akibat kebakaran
lapisan lahan gambut (ground fire) yang berada di ini, Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya
batubara yang dicampur dengan berlerang yang biasa lahan gambut, dan kalaupun dapat dipadamkan hal
bawah permukaan sangat sulit diketahui sebarannya Geologi (kini Pusat Sumber Daya Mineral Batubara
digunakan untuk pembuatan korek api dan bom ikan. itu memerlukan biaya yang besar, maka lahan gambut
karena tidak dapat dilihat dari permukaan. Lahan dan Panas Bumi) juga telah memetakan potensi
perlu dilindungi dan yang rusak akibat kebakaran
Kebakaran gambut miskin dengan unsur hara yang berguna untuk gambut untuk kepentingan bahan bakar. Terlepas dari
dan perubahan fungsi lahan perlu direstorasi. Tujuan
Kebakaran lahan gambut menjadi berita tanpa akhir tanaman, namun sekarang lahan gambut di Sumatera perlindungan lahan gambut, sebagaimana Keppres pertentangan antara konservasi dan penambangan,
dan menjadi bencana besar dalam sekala regional Asia dan Kalimantan menjadi lahan pertanian dan No. 32/1990, adalah untuk mengendalikan hidrologi yang pasti endapan gambut di keempat wilayah
Tenggara dan Asia Selatan. Tahun 2015, kebakaran perkebunan sekala besar akibat kebakaran hebat dan wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan tersebut saat ini telah terbakar dan rusak parah. ■
lahan gambut sangat luas dan menimbulkan kerugian luas pada 2015 yang sebenarnya telah dimulai sejak pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas Penulis adalah Perekayasa Madya Pusat Sumber Daya Mineral
ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp. 200 trilyun 2014. Kebakaran beruntun ini termasuk sangat parah. di kawasan yang bersangkutan. Batubara dan Panas Bumii, Badan Geologi, KESDM.

88 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ARTIKEL 89


RESENSI BUKU

Bapak Biogeografi
di Nusantara mengakuinya sebagai berikut: “Catatan saya ini
didasarkan pada catatan perjalanan mengenai sejarah
alam yang ditulis Wallace sendiri, yakni The Malay
Karena tersengat bacaannya pada makalah Edward
Forbes (1815-1854), akhirnya Wallace menulis
makalah bertajuk “On the Law which has Regulated the
Oleh: Atep Kurnia Archipelago, buku yang ditulisnya setelah antara 1854 Introduction of New Species”, yang dikemudian dikenal
hingga 1862, ia hidup di Malaysia, Indonesia, dan sebagai Sarawak Law (Hukum Sarawak). Hukum ini
Papua, seringnya ke tempat yang belum disinggahi menyaran kepada waktu dan tempat evolusi: bahwa
oleh orang-orang Eropa” (1997: xiii). evolusi, yang secara geografi berdekatan dan spesies
yang mirip, terjadi secara konstan.
Ada sebelas bab yang menyusun buku Where Worlds
Collide. Secara berturut-turut bisa disebutkan sebagai Selain itu, hukum ini didasarkan kepada karya Sir
berikut: “Blind to the Rising Sun”, “Wallace’s Line”, Charles Lyell (1797-1875), Principles of Geology,
“Where Worlds Collide”, “Fire-spitting Mountain”, yang menyatakan bahwa masa kini adalah kunci ke
“Stegoland”, “Islands in the Sea”, “Islands in the Sky”, masa lalu. Dalam pengertian, keadaan benda-benda
“The Ultimate Island”, “The Butterfly Effect”, “The Red mati sekarang ini adalah akibat dari perubahan
Ape of Asia”, dan “Wallace in Wonderland”. yang konstan yang terjadi di masa awal waktu dan
DATA BUKU berlangsung hingga kini. Dan hukum inilah yang
Judul Buku Where Worlds Collide: The Wallace Line
Dalam bab “Blind to the Rising Sun”, antara lain memaksa Charles Darwin mempercepat publikasi
dinyatakan bahwa setelah menjelajahi Amazon antara Origin of Species tahun 1859. Karena pada Juni 1858,
Penulis Penny van Oosterzee 1848 hingga 1852 dan menjadi orang Eropa pertama Darwin menerima tulisan Wallace yang berkaitan
Tebal xiv+234 halaman yang menjelajahi bagian hulu Rio Negro, Wallace “tahu dengan asal-usul spesies yang dikirimkan dari Ternate
bahwa kunjungan naturalis pertama ke Kepulauan dan berjudul “On the Tendency of Varieties to Depart
Penerbit Red Books, Australia
Nusantara hanya terjadi pada 1776 dan sejak itu Indefinitely from the Original Type” (1997: 13-19).
Tahun Terbit 1997 bisa dikatakan tidak ada eksplorasi lagi. Itu yang
menyebabkan Wallace di 1854, pada usia 31 tahun, Mengenai Garis Wallace sendiri, Wallace
pergi untuk menyingkap dunia baru ini dengan ilmu menemukannya secara tidak sengaja. Pada Mei 1856,
pengetahuan” (1997: 3). dari Singapura, Wallace hendak ke Makassar. Sayang
tidak ada kapal yang langsung mengantarkannya ke
Selain itu, di masa itu orang belum bisa menerangkan pulau di timur Indonesia itu. Untunglah, ada kapal
mengenai modifikasi tiada henti pada struktur, Rose of Japan milik saudagar Tionghoa yang dapat
Pada tahun 1997, Penny van Oosterzee menerbitkan buku mengenai perjalanan Alfred ukuran, dan warna spesies, demikian pula membawanya ke Bali, dan dari sana bisa mencari
Russel Wallace di Nusantara pada abad ke-19. Buku bertajuk Where Worlds Collide: The adapatasinya terhadap lingkungan. Orang masih tumpangan ke Sulawesi. Akhirnya, pada 25 Mei
menyakini mitos sebagai fakta. Mitos Kapal Nabi Nuh Wallace pergi dan tiba di utara Bali pada 13 Juni 1856.
Wallace Line yang diterbitkan Reed Books, Australia, ini memaparkan lakon perjalanan sebagai kebenaran. Pengenalan terhadap satwa pun
Wallace di sepanjang kepulauan Asia Tenggara, menjelaskan teori-teori Wallace dan sangat terbatas. Pada akhir abad ke-17 saja, orang Nah, yang menyebabkan dia menemukan perbedaan
hanya mengenal 500 spesies burung, 150 hewan satwa Oriental dan Australia itu ya di Pulau Lombok,
bagaimana teori tersebut diinterpretasi oleh para ahli biologi selanjutnya. karena setelah beberapa hari di Bali, Wallace
berkaki empat, dan 10.000 serangga (1997: 5).
meneruskan perjalananya ke Pulau Lombok sambil
Meski hanya bersekolah hingga usia 14 tahun, karena mencari tumpangan ke Sulawesi. Di Lombok, Wallace
ayahnya bangkrut, tetapi Wallace adalah seorang menemukan burung gosong (megapode) yang
pembaca buku yang rakus. Beragam topik yang merupakan satwa Australia, karena di Bali, Jawa,
Penny, penulis buku ini, selama ini dikenal sebagai Adapun maksud menyusun buku Where Worlds
disukainya termasuk ide-ide bebas, seperti sosialisme Sumatra, dan Kalimantan tidak ditemukan burung
pengarang buku ilmiah populer. Ia telah menulis Collide, Penny menerangkannya dalam “Preface”. seperti itu. Padahal antara Bali dan Lombok hanya
dan evolusi. Saat dia pergi ke Nusantara, Wallace
beberapa buku yang berkaitan dengan teori evolusi Katanya, “Buku ini mengenai orang terkemuka sesungguhnya seorang gembel terpelajar tanpa peluang berjarak 25 km (15 mil).
dan tema biogeografi, dari penjelajahannya ke bernama Alfred Russel Wallace, Bapak biogeografi. mendapatkan pekerjaan (1997: 11).
Australia Tengah hingga Garis Wallace, dan penemuan Buku ini mengenai kajian biogeografi dan Setelah kembali ke Inggris, pada 1863, Wallace
Hobbit (Homo floresiensis). Jelasnya, setelah buku perkembangan kajian-kajian yang terkait dengan Pada mulanya, Wallace yakin bahwa satwa diciptakan membacakan makalah di hadapan Royal Geographical
tentang Wallace di 1997, Penny menulis Dragon Bones: biogeografi, seperti evolusi, genetika dan lempeng sepenuhnya demi kebutuhan manusia, yang diberkati Society mengenai geografi kepulauan Nusantara.
The Story of Peking Man – A story of the search for tektonik. Benang yang mempertalikan semua topic dengan rasa keberterimaan dan estetis. Namun, Dalam makalah tersebut, ia membuat garis merah
the roots of humanity set against the Chinese civil war tersebut adalah penemuan Garis Wallace, pembatas penemuan spesies baru, yang dimulai dari Amazon yang melewati Selat Makassar. Ke arah baratnya ia
(1999), bersama dengan Mike Morwood menulis The dan berlanjut dalam bentuk yang sangat berlimpah namai “Indo-Malayan Region” dan ke timur disebutnya
satwa yang memisahkan satwa Oriental dari yang
Discovery of the Hobbit: The Scientific Breakthrough di Nusantara, menggantikan persepsi Wallace sebagai “Australo-Malayan Region”. Inilah yang
Australian: monyet dari kanguru, dan kuau dari nuri”
that Changed the Face of Human History (2007). Dan tentang kemanusiaan dan tempatnya di semesta. Dia menjadi asal-usul penemuan Garis Wallace yang
(1997: xiii). terkenal itu (1997: 34). ■
pada 2014, bersama kawan-kawannya, ia menerbitkan memikirkan yang tak terpikirkan: “Manusia bukanlah
buku A Natural History and Field Guide to Australia’s Dalam praktiknya, buku Penny ini disusun berada pusat dunia, melainkan bumi yang berada pada Penulis adalah penulis lepas, peminat kebumian, anggota Dewan
Top End. berdasarkan catatan Wallace sendiri. Penny sendiri pusat semesta” (1997: 12). Redaksi Geomagz, tinggal di Bandung.

90 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 RESENSI BUKU 91


ESAI FOTO

Merayap Perlahan
Kiri: Foto: Deni Sugandi. Kanan Atas: Foto: Deni Sugandi. Kanan Bawah: Foto: Deni Sugandi

di Bajawa
Dalam perjalanannya, operasi penambangan kemudian ditemui pula beberapa genanngan air
ini menunjukkan indikasi melanggar Surat Izin yang airnya langung merembes ke bagian bawahnya.
Pertambangan Nomor134/Kep/Distamben/2007, Menurut warga di desa Naru, penggalian ini sangat
16 Juli 2007. Dalam SIP tersebut dijelaskan bahwa mengkhawatirkan, apalagi menjelang hujan. Warga
penggelolah tambang rakyat tidak boleh menggunakan menuturkan, bila hujan besar, sering terjadi longsor
alat berat; dan peralatan yang diizinkan dalam kecil menimpa jalan, hingga menutupi batas desa.
Oleh: Deni Sugandi Longsor ini dapat dipastikan terjadi karena air masuk
penambangan di lokasi tambang rakyat adalah linggis,
sekop dan pakuwel. Sedangkan alat berat seperti louder melalui tanah yang merekah dan membawa material
Menjelang masuk Bajawa dari arah So’a, samar-samar kabut tersibak dan atau menyebabkan longsoran kecil ke badan jalan.
dan eksavator hanya digunakan untuk pengupasan
menampakan lereng bukit yang telah terkuak dikupas oleh kegiatan penambangan. permukaan tambang dan pembersihan lokasi. Ancaman longsor besar bisa terjadi di kawasan ini,
Bukit yang tidak terlalu tinggi ini berada di sebelah selatan dari gunung api aktif Meskipun aturan ini sudah ditetapkan, namun kedua dikarenakan tanah yang kurang padat, mengingat
Inelika, disebut Gunung Loboleke, di Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, tambang rakyat di Naru itu masih menggunakan alat kerucut sinder disusun oleh batuan endapan gunung
berat seperti louder dan eksavator. api yang berukuran pasir dan campuran antara kerikil,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Areal di kaki gunung yang memiliki ciri khas kerucut pasir dan lempung. Potensi lainya adalah lereng
Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa di
sinder ini, mulai diusahakan menjadi tambang sejak 2003, melalui Koperasi Unit yang terjal yang memperbesar gaya dorong. Namun,
kawsan tersebut kini terlihat ciri-ciri rayapan tanah
Desa Loboleke, salah satu unit usaha dan pengelola jasa penggalian batu dan pasir yang terjadi karena penggalian di lereng sebelah utara, ancaman yang telah tampak di depan mata adalah
pengikisan oleh kegiatan penambangan ke arah lereng,
tambang rakyat Naru. Namun, melalui kebijakan pemerintah yang membiarkan selatan dan barat. Gejala umum rayapan tanah terlihat
yang juga mempercepat longsor besar.
penggunaan alat berat, tenaga manusia tidak lagi diperlukan. Akibatnya, penggalian dari munculnya retakan di lereng yang sejajar dengan
arah tebing, tebing yang rapuh dengan kemiringan Peran pemerintah tentunya sangat penting untuk
bahan galian di sana semakin masif. Kini, kepemilikan tambang dikelola oleh swasta, kurang lebih 60 derajat, dan kerikil mulai berjatuhan. menumbuhkan kesadaran masyarakat, tentang
berlokasi di Wae Gemo dan Ikulewa, dengan memanfaatkan alat berat. Di lereng sebelah utara, pepohona sebagian miring, mitigasi bencana alam diantaranya bahaya gerakan

92 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ESAI FOTO 93


Foto: Deni Sugandi

Foto: Deni Sugandi.

tanah. Dengan demikian, pemahaman tersebut


menjadi modal dasar dalam upaya menghindari
atau memperkecil risiko bencana yang disebabkan
oleh kondisi alam yang dipicu secara langsung oleh
kegiatan manusia, dalam hal ini, yaitu penambangan.■
Penulis adalah editor foto Geomagz.

Foto: Deni Sugandi

94 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 ESAI FOTO 95


SKETSA

Gunung Sindoro
Menyapa Pagi
Bukit Sikunir di Dataran Tinggi Dieng merupakan tempat favorit untuk
mendapatkan pemandangan matahari terbit. Puncaknya yang mudah didaki,
membuat hampir setiap dini hari sudah dipenuhi oleh para pendaki untuk
menikmati kemunculan Sang Mentari. Saat semburat fajar menyeruak dari
Tamu Luar Angkasa
batas cakrawala, pemandangan yang menakjubkan segera terpampang
di hadapan kita. Lanskap G. Sindoro, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, Batu meteor Namibia koleksi Museum Geologi, Badan Geologi. Jatuh di sekitar
G. Telomoyo dan G. Ungaran berjejer dari kanan ke kiri. Awal Juni 2016, negara bagian selatan-barat benua Afrika. Batu meteor ini dikelompokkan dalam
kawah Sindoro meletupkan asapnya, seolah menyapa pagi yang menjelang.
kelas Meteorit batuan (Stony-iron meteorite) yang disusun oleh mineral besi dan
Sungguh agung lukisan alam. Di sinilah salah situs terbaik yang akan
diusulkan untuk Geopark Dataran Tinggi Dieng. silika. Ketika meteorid yang masuk ke atmosfer Bumi, kemudian pecah dan terbakar
sebelum mencapati permukaan bumi. Terjadi demikian karena mengalami tekanan
Sketsa dan Teks: Budi Brahmantyo
yang menghasilkan panas, dan menghasilkan pijaran sangat terang serta berkilauan.
Peristiwa jatuhnya benda langit ke bumi dianggap biasa, bahkan biasanya disertai
suara ledakan keras sebelum menghantam bumi.
Foto dan teks: Deni Sugandi

96 GEOMAGZ | SEPTEMBER 2016 97


“Kita yakin, manusia tidak seperti satir tentang ‘evolusi’
manusia (baca: kemanusiaan) ini. Untuk itu, hidup damai
dengan sesama dan membangun yang berwawasan
lingkungan harus menjadi pilihan.”

Sumber: Internet.

Anda mungkin juga menyukai