Anda di halaman 1dari 30

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

1. Hasil Penelitian

a. Analisis univariat

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi

frekuensi jarak kehamilan, berat badan lahir bayi, paritas, keterampilan

penolong persalinan dan kejadian rupture perineum. Hasil distribusi

frekuensi tersebut dapat dilihat pada tabel :

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Ruptur PerineumDiRSUDSiti Aisyah Kota


Lubuklinggau Tahun 2020

Kejadian Ruptur
No Jumlah (%)
Perineum
1 Ruptur 28 57,1
2 Tidak Ruptur 21 42,9
Total 49 100

Berdasarkan tabel diatas dari 49 responden terdapat sebanyak 57,1%

ibu melahirkan yang mengalami ruptur perineum dan 42,9% lainnya

tidak mengalami ruptur perineum.

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Paritas di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau
Tahun 2020

No Paritas Jumlah (%)


1 Beresiko 22 44,9
2 Tidak Beresiko 27 55,1
Total 49 100
Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 44,9 % ibu hamil

beresiko dan55,1% ibu yang tidak memiliki resiko.

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Jarak kehamilanDiRSUDSiti Aisyah Kota
Lubuklinggau Tahun 2020

No Jarak kehamilan Jumlah (%)


1 Beresiko 20 40,8
2 Tidak Beresiko 29 59,2
Total 49 100

Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 40,8 % ibu

memiliki jarak kehamilan yang beresiko, 59,2% ibu tidka memiliki

jarak kehamilan yang beresiko.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Berat Lahir Bayi di RSUD Siti Aisyah Kota
Lubuklinggau Tahun 2020

No Berat Lahir Bayi Jumlah (%)


1 > 4000 Gram 14 28,6
2 2500-4000 Gram 35 71,4
Total 49 100

Berdasarkan tabel 4.5 diatas dari 49 respondensebanyak 28,6 % ibu

melahirkan bayi >4000 Gram dan71,4% ibu melahirkan bayi dengan

berat 2500-4000 Gram.

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Keterampilan Penolong PersalinanDiRSUDSiti
Aisyah Kota Lubuklinggau Tahun 2020

Keterampilan Penolong
No Jumlah (%)
Persalinan
1 Tidak Terampil 16 32,7
2 Terampil 33 67,3
Total 49 100
Berdasarkan tabel diatas dari 49 responden sebanyak 32,7 % bidan

tidak terampil dalam menolong persalinan dan 67,3 % bidan terampil

dalam menolong persalinan.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan variabel

independen dan variabel dependen. Dalam penelitian ini yang diteliti

yaitu jarak kehamilan, Berat badan lahir bayi, paritas dan keterampilan

penolong persalinan sebagai variabel independen dan kejadian rupture

perineum sebagai variabel dependen. Dengan batas kemaknaan α =

0,05 pengertian bila ρ < 0,05 maka hubungannya bermakna

(signifikan). Uji statistik yang digunakan adalah chi-square, yang diuji

adalah sebagai berikut :


1) Hubungan Paritas dengan kejadian rupture perineum

Tabel 4.6
Hasil Analisis Hubungan Paritas Dengan Kejadian Rupture Perineum
di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau
Ruptur Perineum r
Paritas Jumlah % χ2
Ya % Tidak %
Beresiko 18 81,8 4 18,2 22 100
8,18 0,00
Tidak beresiko 2 4
10 37,0 17 63,0 27 100
Jumlah 28 57,1 21 42,9 49 100

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara paritas dengan

kejadian rupture perineum. Ternyata dari 22 ibu hamil dengan

paritas beresiko terdapat 18 ibu yang mengalami ruptur perineum

dan 4 lainnya tidak mengalami ruptur perineum. Sedangkan dari 27

ibu yang memiliki paritas tidak beresiko terdapat 10 ibu yang

mengalami ruptur perineum dan 17 tidak mengalami ruptur

perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni

8,182, hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,004, nilai ini < 0.05.

sehingga bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada

hubungan antara paritas dengan kejadian rupture perineum di

RSUD Siti Aiyah Kota Lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,410 dengan

approx, sig=0,007 < α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah


dari baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,410maka rasio

C/C max = 0,579 maka kategori hubungan sedang.

2) Hubungan Jarak Kehamilan dengan kejadian rupture perineum

Tabel 4.7
Hasil Analisis Hubungan Jarak Kehamilan Dengan Kejadian
Rupture Perineum Di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

Jarak Ruptur Perineum r


Jumlah % χ2
Kehamilan Ya % Tidak %
Beresiko 16 80,0 4 20,0 20 100
5,71 0,01
Tidak beresiko 8 7
12 41,4 17 58,6 29 100
Jumlah 28 57,1 21 42,9 49 100

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara Jarak

Kehamilan dengan kejadian rupture perineum. Ternyata dari 20 ibu

hamil yang memiliki resiko jarak kehamilannya terdapat 16 ibu

yang mengalami ruptur perineum dan 4 ibu tidak mengalami ruptur

perineum. Sedangkan pada ibu yang jarak kehamilannya tidak

beresiko terdapat 12 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 17

ibu tidak mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni

5,718, hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,017 , nilai ini < 0.05.

sehingga bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada

hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian rupture

perineum di RSUD siti aiyah kota lubuklinggau.


Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,358 dengan

approx, sig=0,000< α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah

dari baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,358maka rasio

C/C max = 0,506 maka kategori hubungan sedang.

3) Hubungan Berat Badan Lahir Bayi dengan kejadian rupture

perineum

Tabel 4.8
Hasil Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Bayi Dengan Kejadian
Rupture Perineum Di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

Berat Badan Ruptur Perineum r


Jumlah % χ2
Lahir Bayi
Ya % Tidak %
>4000 Gram 12 85,7 2 14,3 14 100
5,00 0,02
2500-4000
2 5
Gram 16 45,7 19 54,3 35 100

Jumlah 28 57,1 21 42,9 49 100

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara Berat Badan

Lahir Bayi dengan kejadian rupture perineum. Ternyata dari 14 ibu

yang melahirkan bayi >4000 gram terdapat 12 ibu yang mengalami

ruptur perineum dan 2 ibu tidak mengalami ruptur perineum.

Sedangkan dari 35 ibu yang melahirkan bayi dengan berat 2500-

4000 gram terdapat 16 ibu yang mengalami ruptur perineum dan

19 ibu tidak mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni

5,002, hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,025 , nilai ini < 0.05.
sehingga bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada

hubungan antara Berat Badan Lahir Bayi dengan kejadian rupture

perineum di RSUD Siti Aiyah Kota Lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,343 dengan

approx, sig=0,000< α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah

dari baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,343maka rasio

C/C max = 0,485 maka kategori hubungan sedang.

4) Hubungan Keterampilan Penolong Persalinan dengan kejadian

rupture perineum

Tabel 4.9
Hasil Analisis Hubungan Keterampilan Penolong Persalinan
Dengan Kejadian Rupture Perineum Di RSUD Siti Aisyah Kota
Lubuklinggau

Keterampilan r
Ruptur Perineum Jumlah % χ2
Penolong
Persalinan Ya % Tidak %
Tidak Terampil 15 93,8 1 6,3 16 100
10,8 0,00
Terampil 75 1
13 39,4 20 60,6 33 100
Jumlah 28 57,1 21 42,9 49 100

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara Keterampilan

Penolong Persalinan dengan kejadian rupture perineum. Ternyata

dari 16 bidan yang tidak terampil menolong persalinan terdapat 15

ibu yang mengalami ruptur perineum dan 1 ibu tidak mengalami

ruptur perineum. Sedangkan dari 33 bidan yang terampil menolong


persalinan terdapat 13 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 20

lainnya tidak mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2hitung yakni

10,875, hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,001 , nilai ini < 0.05.

sehingga bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada

hubungan antara Keterampilan Penolong Persalinan dengan

kejadian rupture perineum di RSUD siti aiyah kota lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,458 dengan

approx, sig=0,000< α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah

dari baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,396maka rasio

C/C max = 0,648 maka kategori hubungan sedang.

B. Pembahasan

1. Univariat

a. Jarak kehamilan

Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 40,8 % ibu

memiliki jarak kehamilan yang beresiko, 59,2% ibu tidka memiliki

jarak kehamilan yang beresiko.

Jarak kelahiran merupakan interval antara dua kelahiran yang berurutan

dari seorang wanita. Jarak kelahiran yang cepat atau cenderung singkat dapat

menimbulkan beberapa dampak negatif pada ibu dan bayi yang dilahirkan

(Safitri, 2014). Jarak atau interval kelahiran yang ideal adalah lebih dari dua

tahun, hal ini disebabkan karena kesempatan untuk memperbaiki persediaan,


selain itu pertumbuhan dan perkembangan janin juga akan terhambat jika

organ-organ reproduksi terganggu

b. Gambaran berat badan lahir bayi di RSUD Siti aisyah kota

Lubuklinggau

Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 28,6 % ibu

melahirkan bayi >4000 Gram dan 71,4% ibu melahirkan bayi dengan

berat 2500-4000 Gram.

Berdasarkan teori yang ada berat bayi yang dilahirkan ibu dapat

mempengaruhi terjadinya ruptur perineum terutama pada bayi lahir lebih dari

4000 gram. Hal ini terjadi karena semakin besar bayi yang dilahirkan akan

meningkatkan resiko terjadinya ruptur perineum dikarenakan berat badan

lahir yang besar berhubungan dengan besarnya janin yang dapat

mengakibatkan perineum tidak cukup kuat menahan rengangan kepala bayi

dengan berat badan lahir yang besar sehingga pada proses kelahiran bayi

dengan berat bayi lahir yang besar sering terjadi ruptur perineum.

Oxorn (2014) juga menggungkapkan bahwa semakin besar bayi yang

dilahirkan meningkatkan resiko terjadinya ruptur perineum. Robekan

perineum terjadi pada kelahiran dengan berat bayi lahir yang besar. Hal ini

terjadi karena semakin besar berat badan bayi yang dilahirkan akan

meningkatkan resiko terjadinya ruptur perineum karena perineum tidak

cukkup kuat menahan renggangan kepala bayi dengan berat bayi yang besar,

sehingga pada proses kelahiran bayi dengan berat bayi lahir besar sering

terjadi ruptur perineum. Kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh

beberapa hal diantaranya ibu menderita diabetes militus, ibu yang memiliki
riwayat melahirkan bayi besar, faktor genetik, pengaruh kecukupan gizi,

(Saifuddin, 2016).

Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang 24

jam pertama kelahiran. Semakin besar berat bayi yang dilahirkan

meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum. Bayi baru lahir

normal adalah bayi yang lahir dalam presentasi belakang kepala

melalui vagina tanpa memakai alat, pada usia kehamilan genap 37-42

minggu, dengan berat badan 2500-4000 gram, nilai Apgar >7 dan

tanpa cacat bawaan (Rukiyah, 2015).

Klasifikasi berat badan bayi baru lahir pada saat kelahiran

menurut Saifuddin, (2014) adalah bayi besar adalah bayi lebih dari

4000 gram, bayi cukup adalah bayi berat badan lebih dari 2500 sampai

4000 gram, bayi berat lahir rendah adalah bayi berat badan 1500

sampai 2500 gram dan bayi berat sangat rendah sekali adalah bayi

dengan berat badan 1000 sampai kurang dari 1500. Robekan perineum

terjadi pada kelahiran dengan berat badan bayi yang besar. Hal ini

terjadi karena semakin besar berat badan bayi yang dilahirkan akan

meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum karena perineum tidak

cukup kuat menahan regangan kepala bayi dengan berat badan bayi

yang besar, sehingga pada proses kelahiran bayi dengan berat badan

bayi lahir yang besar sering terjadi ruptur perineum.


c. Gambaran paritas ibu bersalin di RSUD Siti aisyah kota

Lubuklinggau

Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 44,9 % ibu

hamil beresiko dan 55,1% ibu yang tidak memiliki resiko.

Paritas ibu bersalin menurut data yang paling banyak adalah ibu

bersalin multipara. Banyaknya ibu bersalin dalam melahirkan dapat

dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman ibu bersalin tentang

kehamilan, persalinan dan merawat anak sehingga ibu yang sudah

pernah bersalin akan mempunyai pengalaman. Pengetahuan dan

pengalaman yang baik akan mempengaruhi jarak kehamilan, jumlah

kelahiran ibu dalam kehamilan (Manuaba, 2014). Paritas 2-3

merupakan paritas yang paling aman di tinjau dari kematian ibu.

Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka resiko kesehatan

dan kematian ibu yang lebih tinggi (Prawirohardjo, 2016).

d. Keterampilan penolong persalinan

Berdasarkan tabel diatas dari 49 respondensebanyak 32,7 % bidan

tidak terampil dalam menolong persalinan dan 67,3 % bidan terampil

dalam menolong persalinan.

Faktor penolong persalinan disebutkan dapat menyebabkan

ruptur perineum meliputi: cara memimpin mengejan, cara

berkomunikasi, keterampilan menahan perineum saat ekspulsi kepala,

serta ajuran posisi meneran (JNPK-KR, 2014). Menurut Mochtar

(2014), faktor yang menyebabkan ruptur perineum meliputi yaitu


paritas, umur ibu, jaringan parut pada perineum, kelenturan jalan lahir,

persalinan dengan tindakan.

Bidan merupakan tenaga lini terdepan harus mampu dan terampil

dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu dan bayi baru

lahir khususnya saat persalinan sesuai dengan asuhan kebidanan yang

ditetapkan, mengacu kepada kewenangan dan kode etik profesi serta

ditunjang dengan sarana dan prasarana yang terstandar. Untuk

mendukung peningkatan keterampilan bidan dalam memberikan

pelayanan yang berkualitas. Kemenkes telah menyusun berbagai

pedoman dan standar asuhan kebidanan sehingga dapat digunakan

sebagai acuan. Seiring dengan itu pula pemerintah dan berbagai pihak

di Indonesia terus mengembangkan pendidikan kebidanan yang

berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan baik

pendidikan formal maupun non formal (Kemenkes, 2015).

e. Gambaran kejadian rupture perineum pada ibu bersalin di RSUD

Siti aisyah kota Lubuklinggau

Berdasarkan tabel diatas dari 49 responden terdapat sebanyak

57,1% ibu melahirkan yang mengalami ruptur perineum dan 42,9%

lainnya tidak mengalami ruptur perineum.

Hal ini sesuai dengan teori Wiknjosastro (2016) bahwa ruptur

perineum hampir terajdi pada setiap persalinan pervaginam yang disebabkan

oleh berbagai faktor diantaranya berat bayi lahir, umur ibu, jarak kehamilan,

keterampilan penolong persalinan dan paritas. Robekan perineum adalah


robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan

menggunakan alat atau tindakan.

Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus,

panjangnya rata-rata 4 cm (Wiknjosastro, 2016). Perineum merupakan

daerah tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Perineum meregang

pada saat persalinan kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk

memperbesar jalan lahir dan mencegah robekan (Sumarah, dkk, 2018).

Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu

persalinan (Mochtar,2015). Perineum berperan dalam persalinan

karena merupakan bagian luar dasar panggul (Winkjosastro, 2016).

Faktor-faktor penyebab ruptur ada berbagai macam yaitu faktor

maternal yang terdiri dari partus presipitatus, mengejan terlalu kuat,

edema dan kerapuhan pada perineum, primipara, kesempitan panggul

dan CPD (chepalo pelvic disproportional), jaringan parut pada

perineum dan vagina, kelenturan Jalan Lahir dan persalinan dengan

tindakan (ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, versi ekstraksi, dan

embriotomi). Sedangkan faktor janin meliputi lingkar kepala janin,

Berat badan bayi. presentasi defleksi, letak sungsang dengan after

coming head, distosia bahu, kelainan congenital. Faktor penolong

persalinan meliputi cara berkomunikasi dengan ibu, cara memimpin

mengejan dan dorongan pada fundus uteri, anjuran posisi meneran,

ketrampilan menahan perineum (JNPK-KR, 2016).


2. Bivariat

a. Hubungan jarak kehamilan dengan kejadian rupture perineum di

RSUD Siti aisyah kota lubuklinggau

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara Jarak Kehamilan

dengan kejadian rupture perineum. Ternyata dari 20 ibu hamil yang

memiliki resiko jarak kehamilannya terdapat 16 ibu yang mengalami

ruptur perineum dan 4 ibu tidak mengalami ruptur perineum.

Sedangkan pada ibu yang jarak kehamilannya tidak beresiko terdapat

12 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 17 ibu tidak mengalami

ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni 5,718,

hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,017 , nilai ini < 0.05. sehingga bisa

dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara

jarak kehamilan dengan kejadian rupture perineum di RSUD siti aiyah

kota lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,358 dengan

approx, sig=0,000 < α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah dari

baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,358 maka rasio C/C max

= 0,506 maka kategori hubungan sedang.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosdiana yang berjudul Faktor-

faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Ruptur Perinium Pada Ibu Bersalin

Normal di PONED Darul Imarah Aceh Besar tahun 2013, didapatkan hasil

ada pengaruh jarak kehamilan terhadap kejadian ruptur perinium pada ibu
bersalin normal (P value=0,010). Hasil penelitian menunjukan ibu yang

berada pada kategori jarak kehamilan < 2 tahun lebih besar presentasenya

mengalami ruptur perinium (52,0%) dibandingkan dengan ibu yang

mempunyai jarak kehamilan ≥ 2 tahun (16,1%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muslimah (2018) di RSU

Imelda Pekerja Indonesia Medan didapatkan hasil ada hubungan jarak

kelahiran dengan kejadian laserasi jalan lahir pada ibu dengan persalinan

normal dari hasil uji chi square diperoleh nilai P value 0.043 < 0.05. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuni A (2017) yaitu ibu

bersalin dengan jarak kelahiran < dari 2 tahun akan cenderung mengalami

laserasi jalan lahir dibandingkan pada ibu bersalin dengan jarak > 2 tahun hal

ini disebabkan karena organ-organ reproduksi ibu belum kembali pulih pada

kondisi semula sebelum ibu hamil dan belum siap untuk proseskelahiran

tetapi sudah harus melahirkan kembali sehingga menyebabkan perineum

menjadi rapuh dan mudah ruptur. sedangkan pada jarak kelahiran> 2 tahun

konsisi sistem reproduksi sudah kembali pulih pada kondisi sebelum

kehamilan dan perineum sudah kembali pulih sehingga dengan

penatalaksanaan kala 2 yang baik dapat mengurangi terjadinya ruprur

perineum. Berdasarkan hasil penelitian terkait teori diatas dapat disimpulkan

bahwa kejadian laserasi jalan lahir salah satu faktor yang mempengaruhi

adalah jarak kelahiran.

b. Hubungan Berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum di

RSUD Siti aisyah kota lubuklinggau

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara paritas dengan

kejadian rupture perineum. Ternyata dari 22 ibu hamil dengan paritas


beresiko terdapat 18 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 4

lainnya tidak mengalami ruptur perineum. Sedangkan dari 27 ibu yang

memiliki paritas tidak beresiko terdapat 10 ibu yang mengalami ruptur

perineum dan 17 tidak mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni

8,182, hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,004, nilai ini < 0.05. sehingga

bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan

antara paritas dengan kejadian rupture perineum di RSUD Siti Aiyah

Kota Lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,410 dengan

approx, sig=0,007 < α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah dari

baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,410maka rasio C/C max =

0,579 maka kategori hubungan sedang.

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh ada hubungan antara

berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum di RSUD siti

aiyah kota lubuklinggau. Hasil penelitian juga sesuai dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Anita di BPS Fitriyani (2018)

menggunakan rumus kriteria keeratan maksimal adalah 0,707 dengan

criteria keeratan asosiatif pada nilai 0,707 dengan nilai keeratan 0,50

menunjukan tingkat kereratan yaitu erat sekali, hal ini berarti ada

hubungan antara berat badan bayi baru lahi dengan kejadian rupture

perineum pada persalinan normal ibu primigravida.


Hal ini sejalan dengan pendapat Gea (2013) yang menyatakan

bahwa Robekan perineum terjadi pada kelahiran dengan berat badan

bayi yang besar. Hal ini terjadi karena semakin besar berat badan bayi

yang dilahirkan akan meningkatkan risiko terjadinya laserasi perineum

karena perineum tidak cukup kuat menahan regangan kepala bayi

dengan berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses kelahiran

bayi dengan berat badan bayi lahir yang besar sering terjadi laserasi

perineum.

Penelitian ini juga sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh

Dian Irawati dengan judul penelitian hubungan berat badan bayi baru

lahir dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan normal

primipara di Puskesmas Tegalrejo. Hasil perhitungan dapat diketahui

nilai p value <0,05 dan bisa dibaca Ho ditolak dan Ha diterima yang

berarti ada hubungan berat badan bayi baru lahir dengan kejadian

ruptur perineum pada persalinan normal (Muslimah, 2018).

Sejalan dengan penelitian Damanik dengan judul penelitian

hubungan karakteristik ibu bersalin dengan ruptur perineum diklinik

bersalin Sapni Krakatau Medan dengan hasil penelitian ibu bersalin

yang paling sering mengalami ruptur perineum melahirkan bayi

dengan berat 2500-4000 gram. Hal ini dikarenakan berat badan bayi

berpengaruh dengan besarnya janin yang akan dilahirkan. Semakin

besar berat badan bayi maka semakin besar pula bayi yang akan

dilahirkan, sehingga mengakibatkan perineum tidak cukup kuat untuk


menahan regangan bayi pada proses kelahiran dan dengan berat badan

bayi yang besar meningkatkan terjadinya ruptur perineum pada ibu

bersalin. Namun jika berat badan bayi yang dilahirkan besar tetapi ibu

melahirkan lebih dari 5 kali maka semakin rendah resiko ruptur

perineum, hal ini disebabkan perineum sudah elastis dan lentur karena

telah terlewati oleh kepala bayi berkali-kali (Damanik, 2018).

Sejalan dengan pendapat Chalik (2015) yang mengatakan bahwa

Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya ruptur perineum

yang pada berat badan janin diatas 3500 gram, karena resiko trauma

partus melalui vagina seperti distosia bahu dan kerusakan jaringan

lunak pada ibu. Perkiraan berat janin tergantung pada pemeriksaan

klinik atau ultrasonografi dokter atau bidan. Pada masa kehamilan,

hendaknya terlebih dahulu mengukur tafsiran berat badan janin

(Chalik, 2015).

Hasil uji contingency coefficient didapat kategori hubungan

Lemah. Hal ini dikarenakan banyak faktor lain yang menyebabkan

ruptur perienum yaitu paritas, perineum kaku, meneran yang salah,

usia, persalinan dengan tindakan yaitu vakum dan forcep, letak

sungsang, dan persalinan yang terlalu cepat.

c. Hubungan keterampilan penolong persalinan dengan kejadian rupture

perineum di RSUD Siti aisyah kota lubuklinggau

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara Keterampilan

Penolong Persalinan dengan kejadian rupture perineum. Ternyata dari


16 bidan yang tidak terampil menolong persalinan terdapat 15 ibu yang

mengalami ruptur perineum dan 1 ibu tidak mengalami ruptur

perineum. Sedangkan dari 33 bidan yang terampil menolong persalinan

terdapat 13 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 20 lainnya tidak

mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2hitung yakni 10,875,

hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,001 , nilai ini < 0.05. sehingga bisa

dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara

Keterampilan Penolong Persalinan dengan kejadian rupture perineum

di RSUD siti aiyah kota lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,458 dengan

approx, sig=0,000 < α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah dari

baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,396 maka rasio C/C max

= 0,648 maka kategori hubungan sedang.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Siama (2017)

menyatakan bahwa ada hubungan keterampilan penolong persalinan

dengan kejadian ruptur perineum di Puskesmas Lepo-Lepo Kota

Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017, dimana penolong

persalinan yang tidak terampil melakukan pertolongan persalinan dapat

menyebabkan terjadinya ruptur perineum. Hasil penelitian ini sesuai

dengan hasil penelitian Hanny (2014) yang berjudul faktor-gaktor yang

mempengaruhi kejadian ruptur spontan di Bandung. Hasil penelitian


menyatakan bahwa ada hubungan keterampilan penolong dengan

kejadian ruptur spontan.

Hasil penelitian ini diperoleh data jumlah bidan

adalah 26 orang, yang berpendidikan diploma tiga kebidanan sebanyak

18 orang dan yang berpendidikan diploma empat kebidanan sebanyak

8 orang. Dari data tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan bidan

sudah baik. Bidan sudah mendapatkan pembelajaran tentang cara

pertolongan persalinan. Namun, berdasarkan hasil pengamatan peneliti

bahwa penyebab terbanyak terjadinya ruptur ketika bidan melakukan

penyokongan yang belum tepat dan saat melakukan biparietal sehingga

menyebabkan terjadinya ruptur perineum.

Bidan merupakan tenaga lini terdepan harus mampu dan terampil

dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu dan bayi baru

lahir khususnya saat persalinan sesuai dengan asuhan kebidanan yang

ditetapkan, mengacu kepada kewenangan dan kode etik profesi serta

ditunjang dengan sarana dan prasarana yang terstandar. Untuk

mendukung peningkatan keterampilan bidan dalam memberikan

pelayanan yang berkualitas. Kemenkes telah menyusun berbagai

pedoman dan standar asuhan kebidanan sehingga dapat digunakan

sebagai acuan. Seiring dengan itu pula pemerintah dan berbagai pihak

di Indonesia terus mengembangkan pendidikan kebidanan yang

berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan baik

pendidikan formal maupun non formal (Kemenkes, 2015).


Pendidikan formal bidan saat ini adalah pendidikan diploma tiga

kebidanan, diploma empat atau S1 kebidanan dan S2 kebidanan.

Pendidikan non formal berupa pelatihan, salah satu pelatihan untuk

menanggulangi kejadian ruptur perineum adalah pelatihan asuhan

persalinan normal (APN). Program ini bertujuan untuk menyelamatkan

ibu dan bayi dari kematian, khususnya dalam masa persalinan dan

pasca melahirkan. Selain program tersebut, pemerintah juga

mengembangkan program Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu

bagaimana membuat persalinan yang aman dan baik, sehingga bayi

yang dilahirkan ibunya dalam keadaan sehat setelah persalinan.

Tiga kunci dari MPS ini adalah setiap persalinan harus ditangani

oleh tenaga terlatih (paramedis), karena setiap persalinan tetap ada

risikonya dan jangan pergi ke Dukun. Setiap komplikasi harus

ditangani sebaik mungkin, setiap wanita usia subur harus memiliki

akses terhadap pelayanan kontrasepsi dan bila dihadapkan pada

masalah aborsi, wanita juga harus mendapatkan pelayanan kesehatan

(Kemenkes, 2015).

Program penekanan AKI yang telah dilakukan oleh program MNH

selama ini diantaranya adalah mengadakan pelatihan bagi para Bidan.

Jika Bidan kompeten dalam melaksanakan tugasnya, diprediksikan

50% kasus perdarahan dapat dicegah.


d. Hubungan paritas dengan kejadian rupture perineum di RSUD Siti

aisyah kota lubuklinggau

Berdasarkan tabel tampak tabulasi silang antara paritas dengan

kejadian rupture perineum. Ternyata dari 22 ibu hamil dengan paritas

beresiko terdapat 18 ibu yang mengalami ruptur perineum dan 4

lainnya tidak mengalami ruptur perineum. Sedangkan dari 27 ibu yang

memiliki paritas tidak beresiko terdapat 10 ibu yang mengalami ruptur

perineum dan 17 tidak mengalami ruptur perineum.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa χ2 hitung yakni 8,182,

hal ini juga terlihat pada nilai ρ 0,004, nilai ini < 0.05. sehingga bisa

dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara

paritas dengan kejadian rupture perineum di RSUD Siti Aiyah Kota

Lubuklinggau.

Hasil uji contingency coefficient didapat nilai C=0,410 dengan

approx, sig=0,007 < α=0,05 artinya signifikan. Nilai C tersebut

dibandingkan dengan nilai C max=0,707 ( karena nilai terendah dari

baris atau kolom adalah 2 ) karena nilai C=0,410maka rasio C/C max =

0,579 maka kategori hubungan sedang.

Berdasarkan hasil chi-square terlihat bahwa ada hubungan

antara Paritas dengan kejadian rupture perineum di RSUD Siti Aiyah

Kota Lubuklinggau.

Seorang Primipara adalah seorang wanita yang telah pernah

melahirkan satu kali dengan janin yang telah mencapai batas viabilitas,
tanpa mengingat janinnya hidup atau mati pada waktu lahir

(Harry&William, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Rusmawar (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan laserasi jalan

lahir dengan paritas. Hasil penelitian ini diperoleh laserasi pada

perineum spontan primigravida sebanyak 64 orang (51,6%) dan pada

multigravida sebanyak 60 orang (48,4%). Dari total sampel 230 orang

laserasi spontan pada perineum ditemukan sebanyak 124 orang

(53,9%) dan tidak terjadi laserasi spontan pada persalinan ditemukan

sebanyak 106 (46,1%). Secara statistik diperoleh bahwa ada hubungan

yang signifikan antara paritas dengan terjadinya laserasi (ρ=0,03). Dari

nilai OR nya dapat disimpulkan bahwa ibu melahirkan yang pertama

kali mempunyai resiko terjadi rupture perineum dibandingkan dengan

seorang ibu yang melahirkan lebih dari 1 kali.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Endriani (2012) mengenai hubungan umur, paritas dan berat bayi lahir

dengan kejadian rupture perineum di BPS semarang, ditemukan hasil

bahwa paritas berpengaruh terhadap kejadian rupture perineum dengan

nilai kemaknaan 0,001 menggunakan analisis chi-square.

Didukung juga oleh pendapat Soepardiman (2014) yang

menyatakan bahwa Robekan perineum terjadi hampir semua persalinan

pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada ibu

dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki resiko lebih besar

untuk mengalami robekan perineum dari pada ibu dengan paritas lebih
dari satu. Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang pernah dilalui

oleh kepala bayi sehingga otot – otat perineum belum meregang.

Didukung juga oleh varney (2010) bahwa pada multipara

dominasi fundus uteri lebih besar dengan kontraksi uterus lebih besar

dengan kontraksi lebih kuat dan dasar panggul yang lebih rileks

sehingga bayi lebih mudah melalui jalan lahir dan mengurangi lama

persalinan. Namun pada grandemultipara, semakin banyak jumlah

janin, persalinan secara progresif lebih lama. Hal ini diduga akibat

keletihan pada otot-otot uterus. Semakin tinggi paritas insiden plasenta

previa, perdarahan, mortalitas ibu dan mortalitas perinatal juga

meningkat.

Dipertegas oleh Siswosudarmo (2012) yang mengemukakan

bahwa Paritas yang ideal adalah 2-3, dengan jarak persalinan 3-4

tahun. Bila gravida lebih dari 5 dan umur ibu lebih dari 35 tahun maka

disebut grandemultigravida, yang memerlukan perhatian khusus.

Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik hidup

maupun mati. Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian robekan

perineum. Pada ibu dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki

resiko lebih besar untuk mengalami robekan perineum daripada ibu

dengan paritas lebih dari satu. Hal ini dikarenakan jalan lahir yang

belum pernah dilalui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum

belum meregang.
Pada primipara perineum utuh dan elastis, sedang pada

multipara tidak utuh, longgar dan lembek. Untuk menentukannya

dilakukan dengan menggerakkan jari dalam vagina ke bawa dan

samping vagina. Dengan cara ini dapat diketahui pula otot levator ani.

Pada keadaan normal akan teraba elastis seperti kalau kita meraba tali

pusat (Wiknjosastro, 2014).

Pada saat akan melahirkan kepala janin perineum harus ditahan,

bila tidak ditahan perineum akan robek terutama pada primigravida.

Dianjurkan untuk melakukan episiotomi pada primigravida atau pada

perineum yang kaku. (Wiknjosastro, 2014). Dengan perineum yang

masih utuh pada primi akan mudah terjadi robekan perineum (Mochtar,

2015). Laserasi perineum terjadi pada hampir semua persalinan

pertama dan tidak jarang pada persalinan berikutnya (Prawiroharjo,

2014).

Hasil uji contingency coefficient didapat kategori hubungan

sedang. Hal ini dikarenakan banyak faktor lain yang menyebabkan

ruptur perienum yaitu paritas, perineum kaku, meneran yang salah,

usia, persalinan dengan tindakan yaitu vakum dan forcep, letak

sungsang, dan persalinan yang terlalu cepat.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa masalah yang menyebakan

terjadinya ruptur perineum diantaranya :


a. Kurangnya pemahaman ibu dan keluarga tentang kehamilan yang

baik yaitu umur, jarak hamil, dll dikarenakan kurangnya pelayanan

konseling kehamilan dan dukungan dari petugas kesehatan,

b. Cara bidan mempimpin persalinan kurang benar sehingga dapat

menyebabkan ibu meneran salah yang dapat mengakibatkan

terjadinya robekan perineum,

c. Kurangnya pemahaman ibu hamil tentang pentingnya pemeriksaan

kehamilan oleh bidan, tenaga promkes, dan gizi, sehingga

masyarakat khususnya ibu hamil mengerti tentang kondisi

kehamilannya, faktor resiko dan pencegahan maupun penangan

terhadap masalah ibu hamil tersebut.

Solusi yang bisa diberikan untuk mengatasi masalah tersebut adalah :

a. Diadakannya pertemuan oleh tenaga kesehatan untuk memberikan

penyuluhan atau seminar untuk para calon ibu tentang perencanaan

kehamilan yang baik.

b. Perlunya peningkatan kemampuan bidan dalam memberikan

pelayanan dan pertolongan persalinan terutama pada kala

IIpersalinan melalui pendidikan dan pelatihan baik secara internal

yang diberikan dokter SpOG kepada bidan maupun eksternal

melalui seminar atau pelatihan khusus yang berkesinambungan

untuk mencegah terjadinya rupturperineum tingkat I, II dan III.

c. Tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas serta dapat

dijangkau oleh masyarakat untuk meningkatkan pelayanan dalam


menangani masalah kehamilan dengan cara memberikan

penyuluhan bagi ibu hamil dan calon ibu hamil untuk

meningkatkan kesadaran ibu pada waktu hamil agar selalu

memeriksakan kehamilannya secara teratur serta peningkatan mutu

pelayanan diberikan mulai dari ANC sampai penanganan

kegawatdaruratan persalinan
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit

Umum Daerah Siti Aisyah Kota Lubuklinggau tentang factor yang

berhubungan dengan kejadian rupture perineum dengan jumlah responden

49 orang dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat

disimpulkan sebagai berikut :

1. sebanyak 57,1% ibu melahirkan yang mengalami ruptur perineum dan

42,9% lainnya tidak mengalami ruptur perineum.

2. sebanyak 44,9 % ibu hamil beresiko dan 55,1% ibu yang tidak

memiliki resiko.

3. sebanyak 40,8 % ibu memiliki jarak kehamilan yang beresiko, 59,2%

ibu tidka memiliki jarak kehamilan yang beresiko.

4. sebanyak 28,6 % ibu melahirkan bayi >4000 Gram dan71,4% ibu

melahirkan bayi dengan berat 2500-4000 Gram.

5. sebanyak 32,7 % bidan tidak terampil dalam menolong persalinan

dan67,3 % bidan terampil dalam menolong persalinan.

6. Ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir bayi dengan

kejadian rupture perineum di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

7. Ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian rupture

perineum di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau


8. Ada hubungan yang signifikan antara jarak kehamilan dengan kejadian

rupture perineum di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

9. Ada hubungan yang signifikan antara keterampilan penolong

persalinan dengan kejadian rupture perineum di RSUD Siti Aisyah

Kota Lubuklinggau

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran kepada

beberapa pihak yang terkait :

1. Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Siti Aisyah kota Lubuklinggau

Perlunya peningkatan kemampuan bidan dalam memberikan pelayanan

dan pertolongan persalinan terutama pada kala II persalinan melalui

pendidikan dan pelatihan baik secara internal yang diberikan dokter

SpOG kepada bidan maupun eksternal melalui seminar atau pelatihan

khusus.

2. Bagi POLTEKKES KEMENKES Bengkulu

Disarankan agar menjadikan ruptur perineum sebagai salah satu

pengalaman belajar dan dapat dibahas secara lebih mendalam untuk

meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dalam menatalaksana

ruptur perineum dengan baik.

3. Bagi Peneliti lain

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya ruptur perineum tingkat I, II, III dan IV,

terutama bagi tenaga kesehatan agar lebih profesional dalam


memberikan pelayanan kesehatan tentang cara mengatasi ruptur

perineum tingkat I, II, III dan IV sehingga dapat memperkecil angka

morbiditas dan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai