E BOOK PengembanganBahanKarbondariBiomassa
E BOOK PengembanganBahanKarbondariBiomassa
net/publication/329801102
CITATIONS READS
0 3,212
3 authors:
Retno Asih
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
36 PUBLICATIONS 67 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Synthesis of functional powders from natural resources by simple method View project
All content following this page was uploaded by D. Darminto on 20 December 2018.
i
penyempurnaan untuk edisi berikutnya. Selamat membaca dan
semoga bermanfaat.
ii
Daftar Isi
Pengantar i
Daftar isi iii
Bab 1 : Karbon dan Biomassa
1.1 Grafena dan Hadiah Nobel 1
1.2 Sumber Biomassa 3
1.3 Isi Buku 6
Referensi Bab 1 7
Bab 2 : Ikatan Atom Karbon
2.1 Elektron Valensi Atom Karbon 9
2.2 Ikatan Kovalen 11
2.3 Ikatan Karbon dalam Kristal 16
Referensi Bab 2 17
Bab 3 : Aplikasi Senyawa Karbon
3.1 Grafit dan Intan 19
3.2 Karbon Nanotube 23
3.3 Bola Fullerene 29
3.4 Karbon Aktif 34
3.5 Grafena 35
Referensi Bab 3 43
Bab 4 : Sintesis Senyawa Karbon dari Biomassa
4.1 Potensi Biomassa sebagai Sumber Karbon 49
4.2 Sintesis Senyawa karbon dari Bio-limbah 55
iii
4.3 Sintesis Senyawa Karbon dari Bio-produk 63
4.4 Proses lanjutan karakterisasi struktur
senyawa karbon 65
Referensi Bab 4 80
Bab 5 : Sifat Fisi Senyawa Karbon dari Biomassa
5.1 Grafena Oksida Tereduksi Berukuran Nano 83
5.2 Penyerapan Cahaya 87
5.3 Kemampuan Penyimpanan Muatan 95
5.4 Sifat Anti-pantul Gelombang Mikro 103
5.5 Kemagnetan 113
Referensi Bab 5 121
iv
BAB 1 : KARBON DAN BIOMASSA
________________________________________
1
(GO dan rGO) kini sangat intesif dikembangkan untuk berbagai
aplikasi.
Senyawa grafena yang terkesan sangat mudah untuk disintesis,
seperti dalam ilustrasi di atas, sesungguhnya tidaklah semudah itu
terutama untuk membuat material grafena yang bagus dan siap untuk
aplikasi tertentu. Yang terpenting, senyawa “sederhana” tersebut
telah memenangi Hadiah Nobel bidang Fisika pada tahun 2010, oleh
dua fisikawan penemunya, yaitu Andre K. Geim dan Konstantin
Novoselov. Setelah beberapa tahun penemuan ini, sampai sekarang
sudah terbit ribuan makalah publikasi internasional terkait senyawa
grafena, turunannya, dan berbagai aspeknya. Apabila pembaca
memerlukan pustaka lebih lanjut, tulisan mereka berdua seputar
penemuan grafena dapat diakses gratis [1].
Kehadiran grafena tersebut segera memperkaya pengetahuan dan
ketersediaan akan pilihan senyawa karbon bagi para ilmuwan dan
insinyur material. Dari yang paling tradisional, intan (diamond) dan
grafit sudah sangat lama dikenal orang. Belum terlalu lama
berselang, para ahli menemukan dua senyawa karbon, yaitu molekul
bola sepak (Fullerence, bucky-ball) dan karbon tabung
berukuran nano (carbon nanotube, CNT). Disebut molekul bola
sepak karena karbon membentuk molekul yang persis seperti bola
yang dipakai sepak-bola, terbangun dari susunan segi-enam
diselingi segi-lima (pentagon), di mana atom karbon berada di setiap
sudut segi-segi tersebut dan berjumlah total 60 buah. Oleh
karenanya, molekul ini sering disebut juga C-60. Yang kedua
molekul karbon berbentuk tabung, di mana dinding tabung
merupakan susunan berbentuk segi-6 atom-atom karbon, dengan
diameter tabung sekitar ~2 nm dan panjangnya dapat dibuat sesuai
kebutuhan sampai berorde sub-mikrometer (ratusan nanimeter).
Seperti halnya grafena, senyawa-senyawa keluarga karbon ini sudah
sangat banyak diteliti dan menghasilkan ribuan makalah dan aplikasi
teknologinya dalam bentuk berbagai piranti.
2
Selain ke 5 anggota senyawa keluarga karbon di atas, masih ada
lagi senyawa karbon yang tidak membentuk susunan teratur
kristalin; atom-atom karbon membentuk ikatan yang keteraturannya
hanya sampai tetangga kedua (second nearest neighbors) dan
dikenal sebagai karbon amorf (amorphous carbon). Material ini
juga berpotensi sebagai material konduktif, mengikuti silikon amorf
yang sudah terkenal terlebih dahulu. Karbon dan silikon (Si)
kebetulan berada dalam satu golongan dalam Tabel Periodik Unsur,
sehingga ada kemiripan sifatnya.
3
Gambar 1.1. Salah satu penulis berkesempatan “numpang berfoto”
bersama Prof. Andre Geim (kanan), dalam salah satu konferensi di
Singapura tahun 2011.
PRODUK LIMBAH
Gambar 1.2. Beberapa contoh dari produk (kiri) dan limbah (kanan)
biomassa.
4
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 1.3. Keluarga palem: (a) kelapa; (b) lontar; (c) enau; (d)
nipah; dan (e) sawit [2].
5
nipah (Nypa fruticans) dengan buah yang kecil dan keras. Di daerah
Kepulau Riau (bagian Barat Indonesia) ada sebuah pulau bernama
Pulau Nipah, tentu dengan "hutan" nipah yang lebat. Seluruh
tanaman jenis palem ini menghasilkan nira, yang dapat diolah lebih
lanjut menjadi minuman, gula merah dan bahkan alkohol. Buahnya
terbungkus oleh kulit keras yang disebut batok, mulai berukuran
kecil (nipah) sampai dengan yang besar (kelapa). Batok terbungkus
oleh sabut yang kaya akan serat (fiber). Selain keluarga palem yang
telah disebutkan, mendominasi di daerah Kalimantan, Sumatera dan
wilayah Malaysia, adalah kelapa sawit (Elaeis), tanaman yang
dikenal sebagai penghasil minyak dan bio-diesel. Dalam Gambar 1.3
ditunjukkan tanaman keluarga palem, berturut - turut : kelapa, lontar,
enau, nipah dan sawit.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa kaya sumber
biomassa di Indonesia sebagai daerah tropis, dan itu baru satu
keluarga palem. Gambaran ini dapat diperluas hampir tak terbatas
pada jenis-jenis flora lainnya. Dapat dibayangkan bahwa tanaman
tersebut menyediaan produk (daging buah, nira, kayu yang sudah
tua) dan limbah (daun, batok, lidi, sabut) sebagai sumber biomassa
dalam waktu yang lama, dan lebih penting, bersifat terbarukan, yaitu
bahwa tanaman yang sudah tua dapat digantikan yang baru. Dari
biomasa yang terbarukan inilah dapat dihasilkan senyawa karbon,
yakni produk "green carbon".
6
pembaca akan menemukan bahasan tentang berbagai senyawa
karbon yang saat ini banyak diteliti di berbagai laboratorium di dunia
internasional dan gambaran aplikasinya. Hasil-hasil riset kami
disajikan dalam 2 bab terakhir, yaitu Bab 4, yang memuat sintesis
senyawa karbon, dan Bab 5, yang merinci sifat-sifat senyawa karbon
berdasarkan hasil karakterisasinya.
Referensi Bab 1
[1] Geim, A. K, & K. Novoselov, “The Rise of Graphene”,
(https://arxiv.org/ftp/cond-mat/papers/0702/0702595.pdf,
diakses pada 4 Oktober 2018).
[2] Wikipedia Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/, diakses
pada 4 Oktober 2018).
7
8
BAB 2 : IKATAN ATOM KARBON
________________________________________
n = 1 --- ℓ = 0
n = 2 --- ℓ = 0, 1
n = 3 --- ℓ = 0, 1, 2
n = 4 --- ℓ = 0, 1, 2, 3 .....dst.
9
Orbital yang dicirikan oleh ℓ diberi nama : s (ℓ = 0), p (ℓ = 1), d (ℓ
= 2), f (ℓ = 3), g (ℓ = 4), dan seterusnya. Dengan penamaan ini,
selanjutnya dinyatakan orbital (nℓ ) yang mencakup : 1s, 2s, 2p, 3s,
3p, 3d, 4s, 4p, 4d, 4f, dan seterusnya. Susunan orbital diurutkan dan
dimulai dari yang berenergi terkecil (1s) yang paling dekat dengan
inti-atom. Orbital berikutnya bisa saja tidak seperti urutan di atas,
misalnya orbital 4s dapat memiliki energi yang lebih kecil daripada
orbital 3d. Setiap orbital ℓ dapat diisi oleh sejumlah 2(ℓ +1) buah
elektron, sehingga masing - masing orbital dapat menampung : s (2
elektron), p (6 elektron), d (10 elektron) dan f (14 elektron), dan
seterusnya. Penjelasan lebih rinci terkait aturan pengisian elektron
dalam orbital atom tidak disajikan di sini. Apabila pembaca berminat
mempelajari lebih lanjut dapat disimak, misalnya, buku Fisika
Modern [1]. Sebagai catatan, dalam Fisika Modern bilangan -
bilangan yang menandai kulit atom (n) dan orbital (ℓ) berturut - turut
disebut bilangan kuantum utama dan bilangan kuantum orbital.
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, elektron - elektron dari
atom karbon akan mengisi orbital - orbital sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 2.1. Kulit K tersusun oleh sebuah orbital 1s dengan 2
buah elektron, tanda panah menunjukkan arah spin elektron (panah
ke atas dan panah ke bawah). Dua buah elektron dalam sebuah
orbital yang sama harus memiliki arah spin yang berlawanan
(prinsip eksklusi Pauli). Orbital 1s mempunya tingkat energi
terendah. Pada tingkat berikutnya, orbital 2s juga terisi 2 buah
elektron, sama dengan orbital 1s. Masih tersisa 2 buah elektron (dari
total 6 buah elektron) akan menempati orbital 2p (memenuhi aturan
Hund). Bagi atom C, orbital dengan nomer kulit n = 2 (orbital 2s dan
2p) merupakan orbital terluar, dengan jumlah elektron yang tidak
penuh (masih kurang 4 elektron untuk memenuhi orbital 2p), disebut
orbital valensi. Oleh karena orbital valensi berisi 4 elektron (2 buah
elektron di orbital 1s, dan 2 buah elektron di orbital 2p), maka atom
C disebut bervalensi 4, dengan orbital valensi 2s2-2p2 atau disingkat
s2p2.
10
1s 2s 2p
Gambar 2.1. Konfigurasi elektron dalam orbital atom karbon.
11
antara orbital s dan orbital p, dengan satu buah elektron di orbital 2s
dan tiga buah elektron di orbital 2p, atau disingkat hibridisasi sp3.
2s 2p
Gambar 2.2. Hibridisasi sp3 : 1 buah elektron di orbital 2s berpindah
ke orbital 2p.
12
s p
y 1 2
p p
z x 3 4
H
3
C 1H
2
H H
4
13
berikatan. Luas area tumpang-tindih ini mencerminkan kekuatan
ikatan. Hal lain yang dapat juga dilihat bahwa struktur tetrahedral
ikatan kovalen tetap terindentifikasi jika dilihat dari posisi atom C,
yang dikelilingi oleh 4 buah atom tetangga terdekat.
Ikatan
Ikatan
Orbital hibrida sp3 Orbital s
14
konfigurasi sp2 ini, bangun molekul berubah dari tetrahedral menjadi
planar, artinya seluruh atom C dan H terletak dalam satu bidang.
Dengan dasar pemikiran yang sama sebagaimana diuraikan di
atas, orbital hibrida sp dapat terbentuk bersama 2 buah ikatan yang
berasal dari orbital p sisanya. Dalam skema ini, antar atom C
terbentuk ikatan rangkap tiga, seperti dapat diperhatikan pada
molekul C2H2, yang memiliki rumus bangun : HCCH. Seluruh
atom C dan H dalam molekul ini terletak segaris, sehingga struktur
ikatannya linier. Ikatan rangkap tiga antar atom C tersusun dari satu
buah ikatan dan dua buah ikatan , lihat Gambar 2.7.
Orbital pz Ikatan
Ikatan
H H
C C
H H
Orbital sp2
Orbital sp Ikatan
15
2.3. Ikatan Karbon dalam Kristal
Dalam fasa padatan, ikatan atom karbon bertipe sp2 dan sp3
banyak ditemukan. Sebagai ilustrasi, dua buah contoh dari bahan
karbon dapat disebutkan yaitu grafit (sp2) dan intan (sp3). Dalam
Gambar 2.8 (a) dan (b), ikatan 6 buah atom C membentuk struktur
heksagonal (segi-6), di mana ikatan atom - atomnya berselang -
seling antara ikatan tunggal () dan ikatan rangkap (-), yang
menyusun kisi dua dimensi. Lembaran - lembaran heksagon dapat
bertumpuk yang berikatan lemah (gaya Van der Waals) sesamanya
menyusun bahan grafit (Gambar 2.8c). Di pihak lain, ikatan yang
tersusun dari orbital hibrida sp3 membentuk kristal karbon
tetrahedral menghasilkan bahan intan (Gambar 2.8d).
Ikatan
Ikatan
(a) (b)
(c) (d)
16
C Tetahedral C:H Tetahedral
C Grafitik
Dengan variasi ikatan dan struktur bahan ini, karbon berbeda dari
unsur satu golongan (IVA) yang lain, seperti silikon (Si) dan
germanium (Ge), yang hanya memiliki struktur tetrahedral dengan
orbital hibrida sp3 saja. Dengan fakta tersebut, kini dapat dibuat
bahan karbon dengan variasi struktur, dan tentu sifatnya, menurut
diagram fasa seperti dalam Gambar 2.9, yang dapat diatur
kandungan orbital sp2/sp3 bersangkutan, juga keterlibatan atom H di
dalamnya.
Referensi Bab 2
[1] A. Beiser, "Concept of Modern Physics", 6th Ed., McGraw-Hill
Co., Boston, 2003.
[2] M. Ali Omar, "Elementary Solid State Physics : Principle and
Applications", 4th Ed., Addison-Wesley, NY, 1994.
[3] J.S. Blakemore, "Solid State Physics", 2nd Ed., Cambridge
University Press, 1985.
17
[4] Darminto & Z. Arifin, "Fisika Zat Padat", Departemen Fisika,
ITS, Surabaya, 2010.
[5] W.D. Callister, "Fundamenal of Materials Science and
Engineering", John Wiley & Sons, NY, 2001.
[6] E. Generalic, https://glossary.periodni.com/.
[7] https://sites.google.com/site/ed350201003/Task.
[8] https://teaching.ncl.ac.uk/bms/wiki/index.php/Covalent.
[9] https://chemistry.stackexchange.com/
[10] Robenston, Mater. Sci. Eng. (2001) 129-281.
18
BAB 3 : APLIKASI SENYAWA KARBON
______________________________________________
19
digunakan sebagai bahan untuk beberapa aplikasi industri berskala
besar, seperti CBN, elektroda baterai, panel sel surya dan aplikasi
lain dalam industri. Karena tingginya permintaan, konsumsi grafit
sintetis saat ini telah meningkat secara signifikan. Penelitian
ekstensif terkait grafit telah mengungkapkan bahwa kombinasi unik
dari sifat fisiknya berasal dari struktur makromolekulnya, yang
terdiri dari lapisan-lapisan susunan heksagonal karbon sp2, seperti
diperlihatkan pada Gambar 3.1.
20
ilmuwan Amerika, Edward Acheson pada tahun 1896. Grafit
dicirikan oleh warna hitam berkilau dan secara eksperimental dapat
menjadi sangat fleksibel tetapi tidak elastis.
Perlu dicatat bahwa atom karbon dalam grafit terstruktur secara
heksagonal dalam sistem cincin planar. Selain itu, lapisan-lapisan itu
ditumpuk sejajar satu sama lain dengan ikatan kovalen mengikat erat
atom-atom karbon di dalam struktur heksagonalnya. Lebih lagi,
antar lapisan secara longgar terikat bersama melalui gaya Van der
Waals. Berdasarkan kekhasan dari ikatan lemah antar-lapisan yang
disebabkan oleh gaya Van der Waals ini, lapisan-lapisan tersebut
mampu bergerak melewati satu sama lain secara paralel dan ini
penyebab fleksibilitas dari grafit. Dengan demikian, bahan ini dapat
dipakai sebagai bahan pelumas pada dinamo dan motor listrik.
Meskipun kesulitan memproduksi grafit dalam bentuk partikel nano
(nanoparticles) atau lembaran nano (nanosheets), namun, pada
tahun 2002, suatu proses baru telah berhasil dikembangkan. Proses
ini secara efektif digunakan untuk mengelupas serpihan grafit alami
ke dalam nanosheet dengan ketebalan mulai dari 30 hingga 80 nm.
Sama seperti grafit, intan telah dikenal sejak zaman kuno.
Namun, penggunaannya hanya terbatas pada dekorasi ruangan dan
perhiasan pada saat itu. Sebagai salah satu sifat yang sangat populer,
intan dikenal memiliki konduktivitas termal tertinggi jika
dibandingkan dengan material lain. Hal ini dikaitkan dengan
hamburan fonon dan ikatan kovalen kuat yang mengikat atom-atom
karbonnya. Konduktivitas termal intan alami dilaporkan sekitar 2200
W/(mK), di mana 5 kali lipat dari tembaga. Berdasarkan sifat
konduktivitas termal yang tinggi, intan banyak digunakan dalam
industri semikonduktor untuk mencegah silikon dan bahan
semikonduktor lainnya dari panas yang berlebih (overheating).
Produksi intan sintetis menurut sejarahnya dimulai sejak tahun 1950-
an. Intan dikenal sebagai semikonduktor dengan celah pita lebar
mencapai 5,5 eV, dan dapat diberi takmurnian (doping) ke tipe-p
atau tipe-n.
21
Intan secara kimia dan fisika sangat kuat dan keras. Oleh karena
itu, perangkat elektronik yang terbuat dari intan tidak hanya bagus
dari sisi tampilan tetapi juga mampu beroperasi di lingkungan yang
ekstrim. Sehubungan dengan stabilitas termal, intan (sebagai
senyawa karbon) dapat teroksidasi di udara ketika dipanaskan lebih
dari 700 C. Namun, dalam aliran gas argon kemurnian tinggi atau
lebih tepatnya tanpa adanya oksigen, dapat dipanaskan hingga 1700
C. Shatskiy dkk. [2] melaporkan bahwa material ini dapat bertahan
pada suhu 3000 C atau bahkan lebih tinggi. Secara umum, sifat-sifat
gabungan ini membuka jalan bagi aplikasi industri intan untuk
digunakan sebagai alat pemotong dan pemoles, penyebar panas, dan
aplikasi sebagai bahan detektor optik, dan pisau intan.
22
berbasis karbon lainnya, ND ini sebagian besar tersusun dari gugus
tetrahedral karbon-sp3, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2. Pada
permukaan ND, dapat dilapisi dengan berbagai gugus fungsi atau
karbon-sp2 untuk stabilitas koloid, di mana dimungkinkan
modifikasi kimia untuk menempelkan obat, pengiriman gen serta
pelabelan jaringan. Lien et al. [3] menyatakan bahwa ND yang
berpendar dan ND yang bersifat magnetik baru-baru ini digunakan
untuk pelabelan sel. Zhang et al. [4] juga menunjukkan bahwa
polyethyleneimine (PEI)-ND terkonjugasi sangat efektif sebagai
pembawa gen.
23
ditingkatkan (misalnya, diameter, panjang, berdinding tunggal dan
multi-berdinding, fungsionalisasi permukaan, dan chirality). Karena
beragam sifat yang berguna, CNT telah dieksplorasi untuk
digunakan dalam banyak aplikasi industri. Sebagai contoh, CNT
dikenal karena kekuatan mekaniknya yang luar biasa yakni
kekakuan dan fleksibilitasnya yang terukur cukup besar
dibandingkan dengan beberapa material berkekuatan tinggi yang
tersedia secara komersial (misalnya, baja high tensile, serat karbon,
dan Kevlar®). Dengan demikian, CNT telah dipakai sebagai elemen
penguat untuk material komposit seperti plastik dan paduan logam
dalam beberapa produk komersial [5]. Namun, kemungkinan
komposit yang memfungsikan CNT sebagai pengisi (filler)
berkekuatan super belum digunakan secara efektif, karena
interaksinya yang buruk dengan matriks, yang akan menyebabkan
transfer beban yang tidak efisien dari matriks ke CNT.
24
Selain sebagai pengisi untuk bahan komposit, upaya penelitian
terbaru telah diarahkan untuk memfungsikan CNT ke berbagai
aplikasi yang memanfaatkan multi-fungsi CNT (sifat konduktif
listrik dan termal, serta sifat optik). Sebagai contoh, sifat listrik yang
sangat baik dari CNT sangat berguna dalam rangkaian elektronik
berukuran nano. Di samping itu, CNT memiliki medan listrik dengan
batas ambang rendah sebagai emisi medan (field emission), daripada
emiter pada umumnya. Dengan demikian, CNT secara aktif
dieksplorasi sebagai perangkat emisi elektron dengan efisiensi tinggi
seperti pada mikroskop elektron, panel layar datar, dan tabung
lucutan gas. CNT juga menampilkan luminesensi yang kuat,
sehingga dapat digunakan dalam elemen pencahayaan.
Semikonduktor SWNT telah digunakan dalam transistor efek
medan (field-effect transistor, FET), lihat Gambar 3.4, untuk
mendeteksi spesies biologis di bawah suhu dan kondisi normal.
Nanotube field-effect transistors (NTFET) diperoleh dengan
penggantian gerbang (gate, G) dengan lapisan bio-molekul
teradsorpsi yang memodulasi konduktansi nanotube. Ada dua desain
perangkat NTFET klasik. Desain pertama menggunakan CNT
tunggal sebagai saluran elektron antara elektroda sumber (source, S)
dan elektroda saluran (drain, D). Pada tipe kedua, satu set CNT
berfungsi sebagai saluran kolektif antara S dan D. Interaksi antara
nanotube dan bio-molekul memiliki salah satu dari dua efek. Efek
pertama adalah transfer muatan dari bio-molekul ke CNT. Dalam
mekanisme kedua, bio-molekul teradsorpsi di dinding CNT
menurunkan konduktansi [7]. Perbedaan antara kedua jenis
mekanisme ini diperoleh melalui pengukuran transistor. Jika transfer
muatan terjadi, ambang tegangan menjadi jauh lebih positif (melepas
elektron) atau lebih negatif (menyumbangkan elektron).
Dalam kasus penyimpanan energi, CNT telah digunakan sebagai
superkapasitor karena konduktivitas listrik yang tinggi, luas
permukaan yang besar, kekuatan mekanik yang baik, dan ringan.
Selain itu, kemungkinan memodifikasi CNT dalam sintesis kimia
25
dan kombinasinya dengan nanomaterials lain sangat penting untuk
meningkatkan kinerja superkapasitor [9-11]. Keuntungan lainnya
adalah fleksibilitas dan transparansi secara optik. Hal ini
memungkinkan pengembangan perangkat elektronik yang fleksibel,
sebagai contoh telepon atau komputer yang lebih lentur. Untuk
aplikasi ini, superkapasitor yang hanya berisi CNT menghasilkan
konduktivitas listrik yang sangat baik dan luas permukaan yang luas
namun tidak mencapai yang diharapkan karena adanya resistansi
kontak antara elektroda dan kolektor. Oleh karena itu, suatu oksida
logam (termasuk partikel nanonya) yang dimasukkan ke dalam
nanotubes dapat mengurangi resistansi kontak dan meningkatkan
densitas penyimpanan superkapasitor.
26
Kemungkinan menggunakan CNT sebagai pelabelan dan
pencitraan dalam bidang biomaterial telah dibahas karena sifat unik
optiknya. Karbon nanotube memiliki transisi optik di daerah
inframerah-dekat (near-infrared, NIR). Hal ini telah terbukti
bermanfaat dalam jaringan biologis karena NIR memiliki kedalaman
penetrasi yang lebih besar dan hamburan eksiton yang lebih rendah.
Selain itu, fluoresensi di wilayah NIR menampilkan autofluoresensi
jauh lebih rendah dari daerah ultraviolet atau cahaya tampak. Sifat-
sifat ini membuat pencitraan kuat oleh CNT dengan resolusi yang
lebih tinggi dan kedalaman jaringan yang lebih besar untuk
mikroskopi fluoresensi NIR dan tomografi koherensi optik.
Sistem pengiriman obat merupakan satu kemajuan dalam
nanoteknologi khususnya biomaterial. Karbon nanotube juga telah
diteliti secara luas sebagai sistem pengiriman obat, karena CNT telah
terbukti berinteraksi dengan berbagai biomakromolekul (yaitu,
protein dan DNA) melalui adsorpsi fisik. Karbon nanotube
ditunjukkan secara efektif terdispersi dalam media berair dalam
keberadaan DNA beruntai tunggal (single-stranded DNA, ssDNA).
Analisis spektroskopi dan mikroskopik memberikan bukti adanya
interaksi kuat antara molekul DNA dan CNT, yang menghasilkan
dispersi individual. Pemodelan dinamika molekuler menunjukkan
bahwa basis ssDNA berinteraksi dengan permukaan CNT melalui
ikatan π – π, menghasilkan pembungkus heliks dari rantai-rantai
ssDNA di sekitar CNT. Penelitian ini menyoroti potensi penggunaan
CNT untuk pengiriman gen, serta teknik pemisahan spesifik-DNA
untuk elektronika molekuler.
Penggunaan CNT sebagai penguat komposit untuk rekayasa
jaringan hingga saat ini difokuskan pada peningkatan sifat
mekaniknya. Bahan bahan yang umum digunakan, seperti hidrogel
dan bahan berserat, pada dasarnya bersifat lunak untuk meniru
kekakuan jaringan alami, mengatasi kekurangan kekuatan dan
memberikan dukungan struktural. Memasukkan CNT ke dalam
bahan-bahan ini telah terbukti meningkatkan sifat mekanik mereka.
27
Misalnya, Shin et al. [12] menunjukkan bahwa menggabungkan
CNT ke dalam hidrogel gelatin yang dapat disisipkan menghasilkan
peningkatan yang signifikan dalam kekuatan tariknya.
CNT telah dimasukkan untuk membuat bahan konduktif.
Sebagian besar biomaterial yang digunakan untuk aplikasi rekayasa
jaringan adalah berupa isolator listrik, karena umumnya terbuat dari
polimer non-konduktif. Namun, dalam aplikasi tertentu, seperti
jaringan saraf dan jantung, akan sangat diuntungkan oleh bahan
konduktif karena dapat merambatkan sinyal listrik secara efektif di
seluruh jaringan dan membangun fungsi elektrofisiologi yang tepat.
Sebagai contoh, Kam dkk. [13] telah menerapkan stimulasi listrik
untuk neural stem cells (NSC) yang ditumbuhkan pada film
komposit CNT-laminin, dan mendemonstrasikan peningkatan
potensial aksi NSC dan diferensiasi ke dalam jaringan syaraf
fungsional. Selain itu, kultur sel otot jantung pada hidrogel gelatin
yang diperkuat CNT telah diteliti dan teramati peningkatan
elektrofisiologinya dan akhirnya mengembangkan jaringan jantung
fungsional. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa CNT telah
berhasil memberikan konduktivitas listrik pada biomaterial non-
konduktif.
Sebagai kesimpulan singkat, CNT dapat digunakan dalam
industri plastik untuk material komposit, industri elektronik untuk
layar monitor atau film transparan konduktif, industri semikonduktor
untuk transistor, industri energi untuk baterai atau sel surya, dan
industri biomedis untuk biosensor. Penambahan nanomaterial CNT
dapat meningkatkan sifat struktural material komposit. Karena
konduktivitas listrik mereka, CNT juga memiliki aplikasi untuk
pembuatan solar sel murah, elektronik, dan material komposit
antistatik. Beberapa aplikasi potensial CNT kimiawi terkait dengan
gugus ikatan kovalen dan sifat spesifik lainnya dirangkum dalam
Tabel 3.1.
28
Tabel 3.1 Aplikasi potensial dari CNT yang telah dimodifikasi.
Tabel diadopsi dari Ref. [1].
Modifikasi fungsional CNT Area Aplikasinya
Modifikasi lokal pada struktur pita Alat elektronik, seperti diode
elekteonik nano
Pengenalan analit secara selektif Biokimia / sensor kimia
Penahan molekul / nanopartikel Mendukung katalis
logam
Penggabungan kimia dalam Komposit yang diperkuat secara
matriks mekanik
Interaksi kimia yang selektif Tips yang sensitif secara kimia
dengan permukaan untuk memindai pada probe
mikroskopi
Pengurangan fungsi kerja untuk Aplikasi untuk emisi medan
elektron di ujung tabung
Kontrol peralihan molekul / ion Aplikasi untuk filtrasi nano
melalui efek stearic atau interaksi
coulombic
Stabilisasi mekanik film nanotube Otot buatan
melalui ikatan silang kovalen
Biokompatibilitas; pengakuan sidik Pelepasan obat terkontrol
jari biologis
Penghambatan enzimatik / Aplikasi di farmakologi
pemblokiran saluran ionik di
membran sel
Interaksi khusus dengan Pertumbuhan sel yang diarahkan
permukaan sel pada permukaan
29
Harry Kroto (University of Sussex, The UK) dan Richard Smalley
(Rice University, USA). C60 terdiri dari struktur karbon berukuran
bervariasi dan susunan molekul yang menyerupai bola atau tabung
berongga. C60 telah dipelajari secara komprehensif dalam kaitannya
dengan CNT, dan bersama-sama membuka teknologi pada skala
nano sebelum munculnya grafena pada tahun 2004. Secara umum
diketahui bahwa berturut - turut C60 dan CNT adalah material
berdimensi nol dan berdimensi satu. Ini memicu upaya untuk
eksplorasi lebih lanjut struktur dan sifat unik mereka.
Material yang ditemukan pada tahun 1985 ini mengarah pada
pengungkapan sifat elektronik, yang berasal dari strukturnya yang
sangat simetris, dan aplikasi potensial lainnya. Dapat dikatakan
bahwa perburuan ilmiah material nano berbasis karbon dan aplikasi
potensialnya dimulai dengan penemuan C60 ini. Popularitas C60
telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir dengan munculnya
material nano berbasis karbon yang lebih berdimensi dan praktis
seperti CNT dan grafena. Namun, ukuran dan bentuk seragamnya
serta ketersediaan untuk modifikasi secara kimia menyebabkan
banyak ilmuwan yang telah banyak mengembangkan turunan dari
C60 ini untuk tujuan terapeutik.
C60 dapat diterapkan di beberapa bidang dan, saat ini, paling
menonjol dalam sel surya organik. Afinitas elektron yang tinggi dan
kemampuan untuk membawa muatan, membuat C60 sebagai
akseptor muatan listrik terbaik untuk perangkat tipe ini. C60
memiliki orbital molekul kosong terendah (LUMO) dengan energi
rendah dibandingkan dengan donor muatan organik lain yang
memiliki afinitas elektron tinggi [13,14]. Dengan energi LUMO ini,
C60 dapat dikurangi secara reversibel hingga enam elektron, yang
menunjukkan kemampuannya untuk menstabilkan muatan negatif.
Campuran polimer yang dikombinasikan dengan C60 menunjukkan
transfer muatan foto-terinduksi ultra-cepat (pada sekitar 45 femto
detik = 45×10-15 detik). Sejauh ini, efisiensi terbesar untuk sel surya
polimer adalah karena sambungan majemuk (heterojunction)
30
polimer/C60, perhatikan Gambar 3.6. C60 bertindak sebagai
semikonduktor tipe-n (akseptor elektron) dan dikombinasikan
dengan polimer tipe-p (donor elektron), biasanya polythiophene.
campuran polimer/C60 diendapkan sebagai film untuk bertindak
sebagai lapisan aktif untuk menciptakan apa yang dikenal sebagai
bulk heterojunction[15,16].
Efisiensi sel surya selama beberapa tahun ini terus meningkat.
Meskipun efisiensi konversi energi sel surya heterojunction
polimer/C60 masih rendah (sekitar 10%), dibandingkan dengan sel
silikon konvensional (efisiensi 20%), biaya produksi sel surya jenis
ini mungkin jauh lebih rendah. Selanjutnya, sel surya organik dapat
fleksibel, digulung, dan tersebar di permukaan apa pun. Perangkat
fotovoltaik plastik dapat digunakan untuk menutupi dinding internal
dan eksternal bangunan. Selain itu, dye solar cell dengan tekstur
tertentu dapat diproduksi. Misalnya, ponsel dapat dicat dengan
bahan ini, dan baterainya dapat diisi saat seseorang berjalan saat hari
yang cerah. Sel surya organik juga diharapkan akan digunakan
dalam iklan, seperti pada spanduk ringan, display kristal cair, dan
kemasan makanan.
31
Gambar 3.6 Skematik aplikasi C60 untuk sel surya organik. Gambar
diadaptasi dari Ref. [17].
32
memasukkan atom, C60 cocok sebagai pembawa obat. Selain itu,
gas mulia dapat dikemas dalam C60 untuk digunakan dalam
resonansi magnetik nuklir (Nuclear Magnetic Resonance, NMR).
C60 juga merupakan antioksidan dan bereaksi dengan radikal bebas,
sehingga mencegah kerusakan sel atau kematian. Misalnya, C60
memiliki kinerja antioksidan 100 kali lebih efektif daripada vitamin
E. Dalam rekayasa logam, C60 digunakan untuk memperkuat
paduan logam [19].
Aspek aplikasi dari C60 yang paling menarik dan sangat
menjanjikan adalah aktivitas anti-human immunodeficiency virus
(HIV). Schinazi dkk. [20] pertama kali menemukan sekelompok
turunan C60 larut dalam air yang mampu menghambat aktivitas
protease HIV dengan mengikat ke situs aktifnya, karena adanya
struktur molekul unik dan hidrofobisitasnya. Berbagai turunan C60
telah dikembangkan dan menampilkan aktivitas anti-HIV dengan
menargetkan enzim HIV penting lainnya, seperti reverse
transcriptase. Hasil ini menunjukkan bahwa turunan C60 dapat
menjadi kelompok kuat untuk terapi AIDS di masa depan.
Secara umum, C60 dan turunannya telah menjadi kandidat
potensial untuk sejumlah aplikasi sebagai berikut: (I) Hidrogenasi
C60 menghasilkan hidrida. Reaksinya reversibel dan dapat
dikatalisis dengan logam pada tekanan rendah. (ii) C60
mengkatalisis konversi metana menjadi hidrokarbon dan mencegah
reaksi kokas (batu arang). (iii) Kapasitor berbasis C60 dapat
digunakan sebagai sensor untuk mendeteksi H2S dalam N2 dan air
dalam isopropanol pada tingkat ppm. (iv) C60 dapat diubah menjadi
intan pada tekanan tinggi pada suhu kamar dan juga dapat digunakan
sebagai pusat nukleasi intan selama proses CVD. (v) C60 digunakan
untuk memperkuat, mengeras, dan meningkatkan konduktivitas
listrik dari suatu paduan. (vi) turunan C60 beberapa aplikasi dalam
bidang biomedis seperti penghambatan replikasi HIV manusia;
antioksidan biologis (spons radikal); mengikat antibiotik spesifik
untuk struktur bakteri resisten dan bahkan menargetkan jenis sel
33
kanker tertentu seperti melanoma; dan agen antimikroba yang
diaktifkan cahaya.
34
Banyak faktor seperti variasi pada materi awal, metode pengaktifan
dan kondisi operasional yang berbeda dapat menghasilkan material
karbon aktif dengan sejumlah sifat dan luas permukaan dalam
rentang yang luas. Sifat ini diyakini langsung dipengaruhi oleh
distribusi ukuran pori di permukaan yang diaktifkan dan jenis
kelompok fungsional yang ada dalam pori-porinya.
3.5 Grafena
Gafena adalah material nano berbasis karbon terbaru yang
memiliki potensi aplikasi yang sangat luas. Penemuan oleh Geim
dan Novoselov memberikan metode sederhana untuk mengekstraksi
grafena dari grafit melalui penyayatan lapisan dan mengeksplorasi
sifat listriknya yang unik [21], di mana secara skematik strukturnya
ditunjukkan dalam Gambar 3.7. Grafena dan CNT memiliki sifat
listrik, optik, dan termal yang sama, tetapi lembar atom dua dimensi
struktur grafena memungkinkan karakteristik elektronik yang lebih
beragam; keberadaan efek kuantum Hall dan fermion Dirac tak
bermassa membantu menjelaskan eksitasi muatan energi rendah
pada suhu kamar dan transparansi optik dalam rentang inframerah
dan spektrum cahaya tampak. Selain itu, grafena secara struktural
kuat namun sangat fleksibel, yang membuatnya menarik untuk
domanfaatkan pada teknik lapisan tipis dan bahan yang fleksibel.
35
Grafena, lembaran atom-atom karbon sp2-terhibridisasi tersusun
secara heksagonal, memicu sifat listriknya yang luar biasa karena
mobilitas elektroniknya yang tinggi, kemampuan mekanik yang luar
biasa, dan karakteristik optik yang unik. Aplikasi berbasis grafena
seperti elektroda transparan, sel surya, dan photodetector ultra cepat,
dan phototransistor baru-baru ini telah diterapkan. Dispersi linear
grafena dan tidak adanya celah pita, bersama dengan sifat
pendopingan yang tidak biasa, membuatnya menjadi bahan yang
luar biasa potensial untuk aplikasi perangkat optoelektronik. Grafena
adalah konduktor yang sangat tipis, secara mekanis sangat kuat,
transparan, dan mudah terbakar. Konduktivitasnya dapat
dimodifikasi melalui berbagai cara baik oleh doping kimia atau oleh
medan listrik. Mobilitas grafena sangat tinggi membuat material itu
sangat menarik untuk aplikasi elektronik frekuensi tinggi. Baru-baru
ini, lembaran besar grafena dengan lebar 70 cm telah dapat
diproduksi dengan menggunakan metode pendekatan-industrial.
Karena grafena adalah konduktor transparan, maka dapat digunakan
dalam aplikasi seperti layar sentuh, panel cahaya, dan sel surya, di
mana ia dapat menggantikan kaca oksida indium (ITO) yang mahal.
Elektronik fleksibel dan sensor gas adalah aplikasi potensial lainnya.
Efek kuantum Hall dalam grafena juga mungkin berkontribusi pada
standar ketahanan yang lebih akurat dalam metrologi. Grafena tidak
hanya lebih ringan, lebih kuat, lebih keras, dan lebih fleksibel
daripada baja, namun juga merupakan produk yang dapat didaur
ulang dan berkelanjutan serta ramah lingkungan dan hemat biaya.
Hal ini akan memungkinkan pengembangan mobil dan pesawat yang
lebih ringan dan kuat yang menggunakan lebih sedikit bahan bakar.
Perusahaan luar angkasa besar seperti Boeing sudah mulai
mengganti logam dengan serat karbon dan bahan berbasis karbon
lainnya.
Grafena dan turunannya dapat digunakan dalam sumber energi
terbarukan dan elektroda transparan pada dye-sensitized solar cell.
Karena doping dapat mengubah posisi tingkat energi Fermi, grafena
36
dapat bertindak baik sebagai elektron akseptor dan donor. Dengan
biaya lebih rendah untuk menghasilkan grafena melalui
pengelupasan fasa cair atau termal, hal ini dapat meningkatkan
penggunaan grafena pada dye-sensitized solar cell, terutama di
aplikasi dimana fleksibilitas mekanis sangat penting [23].
Grafena telah dipelajari sebagai baterai ion-lithium generasi
berikutnya dan untuk katoda dengan konduktivitas listrik tinggi.
Dengan morfologi yang mirip dengan lembaran, grafena dapat
bertindak sebagai membran konduktif dan membentuk core-shell
atau kompoait nano dengan struktur tipe sandwich. Kenaikan
konduktivitas listrik dari morfologi mengandung grafena ini dapat
membantu mengatasi keterbatasan baterai ion-lithium, yakni
densitas daya yang rendah. Selain itu, dengan konduktivitas termal
yang tinggi, grafena dapat membantu untuk muatan arus tinggi yang
menghasilkan sejumlah panas yang signifikan dalam baterai.
Sebagai anoda, lembaran nano grafena dapat digunakan untuk
memasukkan kristal lithium di lapisan-lapisannya [24].
Perangkat elektrokimia dari material nano berbasis karbon
seperti grafena sebagai superkapasitor (perhatikan Gambar 3.8), sel
bahan bakar (fuel cell), dan sebagainya secara khusus dikenal
sebagai teknologi penyimpanan energi yang digunakan untuk
aplikasi tenaga listrik dan prosesnya dicapai melalui elektrolisis.
Ketika kita melihat jauh ke dalam pandangan energi global, timbul
masalah akibat dari penipisan cepat dari reservoir bahan bakar fosil.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahan bakar fosil sebagai
sumber energi tidak ramah lingkungan, berkelanjutan dan umumnya
tidak terbarukan. Perangkat elektrokimia seperti superkapasitor, sel
bahan bakar, dan sebagainya ini dianggap aman dan ramah
lingkungan karena tidak menghasilkan gas berbahaya (biasanya gas
rumah kaca) yang umumnya dianggap merugikan atmosfer.
Keunggulan terbaik dari material nano berbasis karbon adalah
harganya murah dibandingkan dengan logam seperti platinum untuk
37
aplikasi katalis. Telah dilaporkan bahwa grafena quantum dots dapat
dibuat dan dirakit sendiri menggunakan grafena melalui proses
hidrotermal yang menghasilkan plat nano hibrida baru dengan sifat
katalitik yang sangat baik bahkan lebih tinggi daripada Pt/C
komersial dalam media alkalin. Dengan demikian, prospek yang
mencolok dari pembuatan material nano berbasis karbon dari sumber
terbarukan mungkin dapat memenuhi permintaan energi pada abad
ke-21, sehingga dapat menggantikan sumber bahan bakar fosil.
Kualitas dan waktu pengisian ulang yang lebih cepat dan besar
pada superkapasitor, serta superkapasitas pada baterai hibrida dan
baterai lithium yang telah teruji secara eksperimental dapat
meningkatkan sifat-sifatnya melalui mengkombinasikannya dengan
material nano berbasis karbon ini (karbon nanotube, grafena, karbon
aktif, dan material turunannya). Telah dilaporkan bahwa grafena
oksida berporos telah teruji memberikan kapasitas yang sangat tinggi
38
283 Farad/g dan 234 Farad/cm3. Menariknya, dengan
menggabungkan grafena dengan Mangan dioksida (MnO 2),
kapasitansi yang dicapai menjadi 1100 Farads/cm 3. Sangat menarik
juga untuk dicatat bahwa bahan-bahan ini mungkin dapat digunakan
untuk menyimpan sejumlah besar listrik lebih efisien yang
dihasilkan dari energi matahari melalui panel sel surya. Demikian
pula dalam hal rentang dan waktu pengisian enegi listrik akan
menjadi ditingkatkan dan jauh lebih murah.
Grafena sangat cocok untuk superkapasitor karena
fleksibilitasnya, transparansi, konduktivitas listrik yang tinggi, luas
permukaan yang besar, ketahanan mekanis, dan berat yang rendah,
yang dapat memungkinkan pengembangan perangkat elektronik
fleksibel yang dapat dimasukkan dalam pakaian atau ponsel dan
memungkinkan pengembangan lebih lanjut untuk komputer lentur.
Selain itu, grafena dapat dikombinasikan dengan nanomaterial
lainnya untuk mencari sinergi dan aplikasi lanjutan lainnya
[26,27].Oksida logam (dalam jumlah besar atau partikel nano) dapat
dimasukkan ke dalam grafena untuk menurunkan resistansi kontak
dan meningkatkan kapasitansi spesifik serta densitas energi
superkapasitor. kombinasi grafena dan oksida dalam komposit nano
dapat menghasilkan superkapasitor dengan kinerja tinggi, namun
oksida harus memiliki biaya dan toksisitas rendah. Dalam aspek ini,
magnesium oksida mungkin lebih disukai daripada rutenium oksida
karena harganya lebih murah.
Sifat elektronik unik grafena menyediakan kemampuan dalam
sirkuit logika berkinerja tinggi pada dekade mendatang, misalnya,
dalam transistor logika, transistor frekuensi tinggi, perangkat
elektronik fleksibel, seperti layar sentuh dan kertas elektronik (e-
paper), dan dioda organik pemancar cahaya (LED). Grafena juga
dapat digunakan dalam fotonik, detektor cahaya, modulator optik,
pengontrol polarisasi optik, laser solid state, dan isolator [23].
39
Grafena dapat lebih berguna daripada CNT, terutama karena
struktur dua dimensinya memfasilitasi fungsionalisasi untuk
penggabungan biomolekul dan nanopartikel. Grafena juga memiliki
biokompatibilitas yang lebih tinggi dan luas permukaan yang lebih
besar, yang dapat menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada
CNTS atau bahan karbon lainnya di aplikasi biosensor
[28,29].Karena luas permukaan ultra tinggi (sekitar 2630 m 2/g) dan
struktur sp2 hibridisasi area karbon, grafena (material nano karbon
yang sangat berlimpah) telah diaplikasikan sebagai pembawa obat
yang sangat baik untuk memuat sejumlah besar molekul obat pada
kedua sisi lembar lapisan atomnya. Aplikasi untuk pengiriman obat
ini dikonsep oleh Dai et al. [30]. Para penulis ini melaporkan bahwa
physisorption melalui π-stacking dapat diterapkan untuk memuat
obat anti kanker SN38. Selain itu, grafena berfungsi menghasilkan
perangkat ultra-sensitif yang cepat dan mampu mendeteksi molekul
biologis, seperti glukosa, kolesterol, hemoglobin, dan DNA.
Senyawa grafena bersifat biokompatibel dengan berbagai tipe sel
(seperti sel mamalia dan bakteri) baik secara in vitro maupun in vivo
dan menghasilkan efek antibakteri [31]. Perlu dicatat bahwa grafena
dan material lain yang terkait dengan grafena serta turunannya
sekarang telah banyak diteliti di bidang biomedis dan menunjukkan
masa depan yang sangat menjanjikan di bidang ini.
Penelitian dalam memanfaatkan grafena untuk aplikasi biomedis
telah berkembang hingga saat ini, namun penelitian grafena sendiri
masih dalam proses studi lebih lanjut. grafena oksida (GO), yang
dihasilkan oleh oksidasi grafit dalam kondisi asam, lebih umum
digunakan, karena menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan
menggunakan grafena murni. Pertama, GO terdispersi dalam media
berair, yang penting untuk aplikasi biologis. Kedua, GO menyajikan
gugus fungsi hidrofilik yang memungkinkan fungsionalisasi kimia.
Ketiga, GO memiliki rentang sifat fisik yang lebih luas daripada
grafena murni karena heterogenitas strukturalnya. Beberapa aplikasi
biomedis termasuk agen pelabelan seluler suntik, sistem pengiriman
40
obat, dan penguatan bahan telah dieksplorasi menggunakan GO,
sebagaimana juga dilakukan pada CNT. Sebagai contoh, penelitian
oleh Zhang et al. [32] bahwa GO difungsikan dengan asam folat
(FA) sebagai molekul penargetan kanker. FA-GO yang berisi obat
menunjukkan peningkatan kemampuan penargetan kanker dan
aktivitas anti-kanker dibandingkan dengan obat yang dikirim sendiri
atau obat-obatan yang dibawa dengan GO yang tidak termodifikasi.
Sun dkk. [33] juga menunjukkan bahwa poli(ethylene glycol)-GO
terkonjugasi dengan molekul penargetan dapat digunakan sebagai
sensor seluler dengan memanfaatkan sifat photoluminescence
intrinsik dari GO di wilayah NIR. Dalam studi lain, Zhang et al. [34]
memasukkan GO ke dalam hidrogel poli(vinil alkohol) untuk
meningkatkan kekuatan mekanisnya.
Di bidang teknologi biosensor, berbagai biosensor berdasarkan
mekanisme penginderaan yang berbeda termasuk sinyal optik dan
elektrokimia telah dibangun dari material nano berbasis karbon
(misalnya, bahan berbasis grafena) [35]. Teknik elektrokimia telah
dilaporkan sebagai salah satu metode yang paling menguntungkan
untuk deteksi biomolekul. Hal ini dikarenakan pada kesederhanaan
operasionalnya, kepekaan yang sangat baik, tidak mahal dan respon
yang cepat. Karena sifat elektrokimia yang menarik dari grafena ini,
sekarang digunakan sebagai bahan elektroda untuk meningkatkan
deteksi biomolekul. Sebagai contoh, grafena telah menunjukkan
aktivitas elektrokatalitik yang sangat baik terhadap H2O2, sehingga
membuka jalan bagi kristal karbon dua dimensi (2D) ini untuk
digunakan sebagai bahan elektroda untuk biosensor berbasis
oksidase. Jelas bahwa deteksi kadar glukosa dalam tubuh pasien
secara klinis penting untuk diagnosis diabetes. Oleh karena itu,
deteksi elektrokimia glukosa dalam darah dapat dicapai dengan
menggunakan glukosa oksidase sebagai mediator atau elemen
pendeteksi [36].
Pengembangan material nano berbasis karbon baru seperti
grafeba, karbon nanotube, dan sebagainya tidak diragukan lagi telah
41
mempromosikan ilmu nanoteknologi dalam beberapa tahun terakhir.
Sifat unik material ini tak ternilai dalam berbagai teknologi seperti
elektronik, optik, penyimpanan energi, biomedis, dan banyak
aplikasi lainnya. Secara umum, semua ini telah dicapai karena
keunikan bahan-bahan ini yang sangat terkait dengan sifat
spesifiknya yang difasilitasi oleh struktur berskala nano yang tak
luar biasa dibandingkan material lain yang diketahui. Tabel 3.2
adalah rangkuman sifat luar biasa dari material nano berbasis karbon
dan kaitannya dengan aplikasinya di dunia nanosains dan
nanoteknologi.
Tabel 3.2. Variasi tipe aplikasi material nano berbasis karbon (CBN)
dihubungkan dengan sifat-sifatnya.
Sifat-sifat CBN Aplikasi
Struktur nano, tipis, kuat, ringan, Aplikasi nanoteknologi, seperti
konduktivitas termal tinggi, pada pesawat luar angkasa,
kekuatan fisik tinggi, pertahanan, dan otomotif.
konduktivitas elektrik tinggi,
bersifat metalik/semikonduktif.
Luas permukaan spesifik yang Aplikasi bioteknologi, seperti
tinggi, adsopsi yang kuat, ikatan system pengiriman obat, bio
afinitas yang tinggi. sensor, memperkokoh jaringan
atau sel.
Mobilitas electron tinggi, Aplikasi alat elektronik, seperti
konduktivitas ternal tinggi, transistor, lapisan tipis
densitas arus tinggi, sifat konduktif transparan, dan sebagainya.
dan transparan, sifat
metalik/semikonduktif.
Struktur berskala nanometer, Aplikasi penyimpan energi,
adsopsi ionik, luas permukaan seperti sel bahan bakar,
spesifik yang tinggi, mendukung superkapasitor, baterei ion
proses katalisis. Lithium.
42
Referensi Bab 3
[1] Kumar, N., Kumbhat, S.: Carbon-Based Nanomaterials. In:
Essentials in Nanoscience and Nanotechnology. pp. 189-236.
Wiley Online, (2016)
[2] Shatskiy, A., Yamazaki, D., Morard, G., Cooray, T., Matsuzaki,
T., Higo, Y., Funakoshi, K.-i., Sumiya, H., Ito, E., Katsura, T.:
Boron-doped diamond heater and its application to large-
volume, high-pressure, and high-temperature experiments.
Review of Scientific Instruments 80(2), 023907 (2009).
doi:10.1063/1.3084209
[3] Lien, Z.-Y., Hsu, T.-C., Liu, K.-K., Liao, W.-S., Hwang, K.-C.,
Chao, J.-I.: Cancer cell labeling and tracking using fluorescent
and magnetic nanodiamond. Biomaterials 33(26), 6172-6185
(2012). doi:https://doi.org/10.1016/j.biomaterials.2012.05.009
[4] Zhang, X.-Q., Chen, M., Lam, R., Xu, X., Osawa, E., Ho, D.:
Polymer-Functionalized Nanodiamond Platforms as Vehicles
for Gene Delivery. ACS Nano 3(9), 2609-2616 (2009).
doi:10.1021/nn900865g
[5] Obradović, V., Stojanović, D.B., Živković, I., Radojević, V.,
Uskoković, P.S., Aleksić, R.: Dynamic mechanical and impact
properties of composites reinforced with carbon nanotubes.
Fibers and Polymers 16(1), 138-145 (2015).
doi:10.1007/s12221-015-0138-2
[6] Gooding, J.J.: Nanostructuring electrodes with carbon
nanotubes: A review on electrochemistry and applications for
sensing. Electrochimica Acta 50(15), 3049-3060 (2005).
doi:https://doi.org/10.1016/j.electacta.2004.08.052
[7] Allen, B.L., Kichambare, P.D., Star, A.: Carbon Nanotube
Field-Effect-Transistor-Based Biosensors. Advanced Materials
19(11), 1439-1451 (2007). doi:doi:10.1002/adma.200602043
[8] Peng, L.-M., Zhang, Z., Wang, S.: Carbon nanotube electronics:
recent advances. Materials Today 17(9), 433-442 (2014).
doi:https://doi.org/10.1016/j.mattod.2014.07.008
43
[9] Li, X., Wei, B.: Supercapacitors based on nanostructured carbon.
Nano Energy 2(2), 159-173 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.nanoen.2012.09.008
[10] Yu, G., Xie, X., Pan, L., Bao, Z., Cui, Y.: Hybrid nanostructured
materials for high-performance electrochemical capacitors.
Nano Energy 2(2), 213-234 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.nanoen.2012.10.006
[11] Lee, S.W., Kim, J., Chen, S., Hammond, P.T., Shao-Horn, Y.:
Carbon Nanotube/Manganese Oxide Ultrathin Film Electrodes
for Electrochemical Capacitors. ACS Nano 4(7), 3889-3896
(2010). doi:10.1021/nn100681d
[12] Shin, S.R., Bae, H., Cha, J.M., Mun, J.Y., Chen, Y.-C., Tekin,
H., Shin, H., Farshchi, S., Dokmeci, M.R., Tang, S.,
Khademhosseini, A.: CNT Reinforced Hybrid Microgels as
Scaffold Materials for Cell Encapsulation. ACS Nano 6(1), 362-
372 (2012). doi:10.1021/nn203711s
[13] Kam, N.W.S., Jan, E., Kotov, N.A.: Electrical Stimulation of
Neural Stem Cells Mediated by Humanized Carbon Nanotube
Composite Made with Extracellular Matrix Protein. Nano
Letters 9(1), 273-278 (2009). doi:10.1021/nl802859a
[14] Ramsden, J.J.: Chapter 9 - Carbon-Based Nanomaterials and
Devices. In: Ramsden, J.J. (ed.) Nanotechnology. pp. 189-197.
William Andrew Publishing, Oxford (2011)
[15] Thompson, B.C., Fréchet, J.M.J.: Polymer–Fullerene
Composite Solar Cells. Angewandte Chemie International
Edition 47(1), 58-77 (2008). doi:doi:10.1002/anie.200702506
[16] Günes, S., Neugebauer, H., Sariciftci, N.S.: Conjugated
Polymer-Based Organic Solar Cells. Chemical Reviews 107(4),
1324-1338 (2007). doi:10.1021/cr050149z
[17] Ganesamoorthy, R., Sathiyan, G., Sakthivel, P.: Review:
Fullerene based acceptors for efficient bulk heterojunction
organic solar cell applications. Solar Energy Materials and Solar
Cells 161, 102-148 (2017). doi:https://doi.org/10.1016
/j.solmat.2016.11.024
44
[18] Withers, J.C., Loutfy, R.O., Lowe, T.P.: Fullerene Commercial
Vision. Fullerene Science and Technology 5(1), 1-31 (1997).
doi:10.1080/15363839708011971
[19] Shenderova, O.A., Zhirnov, V.V., Brenner, D.W.: Carbon
Nanostructures. Critical Reviews in Solid State and Materials
Sciences 27(3-4), 227-356 (2002). doi:10.1080/
10408430208500497
[20] Schinazi, R.F., Sijbesma, R., Srdanov, G., Hill, C.L., Wudl, F.:
Synthesis and virucidal activity of a water-soluble,
configurationally stable, derivatized C60 fullerene.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy 37(8), 1707-1710
(1993). doi:10.1128/aac.37.8.1707
[21] Bhuyan, M.S.A., Uddin, M.N., Islam, M.M., Bipasha, F.A.,
Hossain, S.S.: Synthesis of graphene. International Nano
Letters 6(2), 65-83 (2016). doi:10.1007/s40089-015-0176-1
[22] Ke, Q., Wang, J.: Graphene-based materials for supercapacitor
electrodes – A review. Journal of Materiomics 2(1), 37-54
(2016). doi:https://doi.org/10.1016/j.jmat.2016.01.001
[23] Novoselov, K.S., Fal′ko, V.I., Colombo, L., Gellert, P.R.,
Schwab, M.G., Kim, K.: A roadmap for graphene. Nature 490,
192 (2012). doi:10.1038/nature11458
[24] Li, Y., Wu, J., Chopra, N.: Nano-carbon-based hybrids and
heterostructures: progress in growth and application for lithium-
ion batteries. Journal of Materials Science 50(24), 7843-7865
(2015). doi:10.1007/s10853-015-9429-7
[25] Bo, Z., Shuai, X., Mao, S., Yang, H., Qian, J., Chen, J., Yan, J.,
Cen, K.: Green preparation of reduced graphene oxide for
sensing and energy storage applications. Scientific Reports 4,
4684 (2014).
[26] Liu, W.-w., Yan, X.-b., Xue, Q.-j.: Multilayer hybrid films
consisting of alternating graphene and titanium dioxide for
high-performance supercapacitors. Journal of Materials
Chemistry C 1(7), 1413-1422 (2013). doi:10.1039
/C2TC00563H
45
[27] Zhi, M., Xiang, C., Li, J., Li, M., Wu, N.: Nanostructured
carbon–metal oxide composite electrodes for supercapacitors: a
review. Nanoscale 5(1), 72-88 (2013).
doi:10.1039/C2NR32040A
[28] Kuila, T., Bose, S., Khanra, P., Mishra, A.K., Kim, N.H., Lee,
J.H.: Recent advances in graphene-based biosensors.
Biosensors and Bioelectronics 26(12), 4637-4648 (2011).
doi:https://doi.org/10.1016/j.bios.2011.05.039
[29] Shao, Y., Wang, J., Wu, H., Liu, J., Aksay, I.A., Lin, Y.:
Graphene Based Electrochemical Sensors and Biosensors: A
Review. Electroanalysis 22(10), 1027-1036 (2010).
doi:doi:10.1002/elan.200900571
[30] Liu, Z., Robinson, J.T., Sun, X., Dai, H.: PEGylated
Nanographene Oxide for Delivery of Water-Insoluble Cancer
Drugs. Journal of the American Chemical Society 130(33),
10876-10877 (2008). doi:10.1021/ja803688x
[31] Pinto, A.M., Gonçalves, I.C., Magalhães, F.D.: Graphene-based
materials biocompatibility: A review. Colloids and Surfaces B:
Biointerfaces 111, 188-202 (2013). doi:https://doi.org/10.1016
/j.colsurfb.2013.05.022
[32] Zhang, L., Xia, J., Zhao, Q., Liu, L., Zhang, Z.: Functional
Graphene Oxide as a Nanocarrier for Controlled Loading and
Targeted Delivery of Mixed Anticancer Drugs. Small 6(4), 537-
544 (2010). doi:doi:10.1002/smll.200901680
[33] Sun, X., Liu, Z., Welsher, K., Robinson, J.T., Goodwin, A.,
Zaric, S., Dai, H.: Nano-Graphene Oxide for Cellular Imaging
and Drug Delivery. Nano research 1(3), 203-212 (2008).
doi:10.1007/s12274-008-8021-8
[34] Zhang, L., Wang, Z., Xu, C., Li, Y., Gao, J., Wang, W., Liu, Y.:
High strength graphene oxide/polyvinyl alcohol composite
hydrogels. Journal of Materials Chemistry 21(28), 10399-10406
(2011). doi:10.1039/C0JM04043F
46
[35] Liu, Y., Dong, X., Chen, P.: Biological and chemical sensors
based on graphene materials. Chemical Society Reviews 41(6),
2283-2307 (2012). doi:10.1039/C1CS15270J
[36] Kang, X., Wang, J., Wu, H., Aksay, I.A., Liu, J., Lin, Y.:
Glucose Oxidase–graphene–chitosan modified electrode for
direct electrochemistry and glucose sensing. Biosensors and
Bioelectronics 25(4), 901-905 (2009). doi:https://doi.org/
10.1016/j.bios.2009.09.004
47
48
BAB 4 : SINTESIS SENYAWA KARBON
DARI BIOMASSA
________________________________________
49
merupakan salah satu cara untuk mengurangi kerusakan lingkungan
yang disebabkan dari siklus karbon. Skematik siklus karbon
ditunjukan dalam Gambar 4.1. Karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan dari proses respirasi makhluk hidup, pembakaran bahan
bakar fosil dan penguraian limbah organik digunakan tumbuhan
dalam proses fotosintesis dan merubahnya menjadi Oksigen.
Berlebihnya karbon dioksida di atmosfer terutama akibat
pembakaran bahan bakar fosil dapat menimbulkan pengaruh buruk
terhadap lingkungan seperti pengingkatan suhu bumi atau
pemanasan global. Karena biomassa diproduksi dari bahan-bahan
organik yang mudah terurai maka polusi akibat CO 2 berlebih dapat
dikurangi serta energi alternatif yang terbarukan dapat diciptakan.
50
Sumber biomassa yang menjadi fokus pembahasan dalam buku
ini adalah kelapa (cocos nucifera). Dalam bahasa Spanyol,
cocos/koko berarti “wajah monyet” karena lekukan pada buah
kelapa yang menyerupai kepala dan wajah seekor monyet, dan
nucifera berarti “biji berbuah”. Pohon kelapa termasuk dalam
kingdom Plantae (tumbuhan), divisi Magnoliophyta (biji tertutup),
kelas Liliopsida (monokotil/ berkeping satu), ordo Arecales
(palem/palma), keluarga Arecaceae (pinang-pinangan), dan genus
Cocos. Kelapa merupakan tumbuhan tahunan yang dapat berbunga
dan menghasilkan buah sepanjang tahun. Pohon ini tumbuh dengan
sangat baik di daerah tropis pada ketinggian 0 – 600 m di atas
permukaan laut [2], dengan suhu rata-rata 27 oC dan distribusi curah
hujan sekitar 1.300 – 2.500 mm per tahun. Secara umum varietas
kelapa dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu kelapa genjah
dan kelapa dalam. Kelapa genjah dapat menghasilkan buah dalam
waktu yang relatif pendek, antara usia 4 – 6 tahun. Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah kelapa gading (varietas Eburnia), kelapa
raja (varietas Regia), kelapa raja Malabar (varietas Pretiosa) dan
kelapa puyuh (varietas Pumila). Sedangkan kelapa dalam dapat
menghasilkan buah dalam waktu yang relatif lama yaitu setelah
mencapai usia 15 tahun. Pohon dari jenis ini dapat mencapai
ketingggian hingga 30 meter. Kelapa hijau (varietas Viridis) dan
kelapa merah (varietas Rubescens) termasuk dalam kelompok kelapa
dalam. Selain kedua jenis tersebut, terdapat jenis kelapa baru yang
disebut sebagai kelapa hibrida. Kelapa hibrida merupakan hasil
persilangan antara kelapa genjah dan kelapa dalam yang memiliki
sifat-sifat unggul dari keduanya [4].
Hampir seluruh bagian tanaman kelapa, termasuk akar, batang,
daun dan buah, dapat dimanfaatkan dan oleh karenanya pohon ini
mendapat julukan sebagai “tree of life” [5]. Buah kelapa terdiri dari
35% sabut (mesocarp dan epicarp), 12% tempurung (endocarp),
28% daging buah (endosperm) dan 25% air [7]. Gambar 4.2
menggambarkan neraca biomassa dalam pengolahan kelapa. Baik
51
produk maupun limbah yang dihasilkan dari pengolahan kelapa
merupakan sumber biomassa sekaligus sebagai sumber karbon.
Kandungan kimia tempurung kelapa terdiri dari selulosa (34%),
hemiselulosa (21%) dan lignin (27%), sedangkan komposisi
unsurnya terdiri dari karbon (74,3%), oksigen (21,9%), silikon
(0,2%), kalium (1,4%), sulfur (0,5%) dan fosfor (1,7%) [8].
Tempurung kelapa tua memiliki kualitas yang lebih baik untuk
dijadikan sebagai sumber karbon dari pada tempurung kelapa muda
karena kandungan unsur non-karbonnya yang lebih rendah.
Karbon dioksida
(CO2)
Fotosintesis di atmosfer Pembakaran
Respirasi
Bahan bakar
fosil
52
BUAH
KELAPA
100 %
Produk utama Produk samping
DAGING TEMPURUNG
KELAPA 12 %
MINYAK SABUT
KELAPA 35 %
AMPAS
DAGING
53
atau pamyra palm) merupakan salah satu tumbuhan palma bergenus
Borassus L. yang paling banyak dijumpai Asia selatan dan Asia
tenggara [12]. Tumbuhan ini masih dala satu keluarga yang sama
dengan pohon kelapa yaitu keluarga Arecaceae (pinang-pinangan).
Sebagaimana pohon kelapa, hampir semua bagian dari lontar dapat
dimanfaatkan. Lontar juga dikenal dengan sebutan siwalan, buah
lontar yang memiliki daging buah berwarna putih, kenyal, manis dan
berair.
54
Pohon lontar mulai berbunga setelah mencapai umur 12 – 20
tahun dengan tinggi sekitar 15 – 40 meter. Di Indonesia, tanaman
lontar tumbuh melimpah di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) provinsi NTT
pada tahun 2009, jumlah populasi lontar di NTT sekitar 10406,409
ha [13]. Nira hasil ekstraksi dari batang lontar merupakan produk
lontar yang tersedia dalam jumlah besar. Pohon lontar yang telah
produktif dapat menghasilkan nira rata-rata 6 liter/ hari atau sekitar
720 liter/pohon setiap tahunnya. Nira dari pohon lontar/ siwalan
mengandung mineral yang tinggi sebagaimana ditunjukan dalam
Tabel 4.3. Nira siwalan dapat diolah (direbus) menjadi produk
minuman yang disebut dengan legen, difermentasikan menjadi
alkohol dan dikristalisasikan menjadi gula [11]. Dalam buku ini, bio-
produk yang digunakan sebagai sumber karbon meliputi nira kelapa,
nira siwalan, legen dan gula merah.
55
260 C, diikuti dengan selulosa (240 – 340 C) dan lignin (280 – 500
C). Ketika suhu mencapai 500 C, reaksi pirolisis hampir selesai.
Proses ini menghasilkan residu padatan berupa arang sekitar 10 –
25 %. Proses pirolisis yang dilakukan dalam air panas terkompresi
pada suhu sekitar 300 C dan tekanan sekitar 10 MPa disebut sebagai
pencairan hidrotermal [1].
Sebagaimana proses pembakaran, karbonasi juga merupakan
proses konversi energi klasik dari biomassa. Perbedaan mendasar
dari keduanya adalah dalam proses karbonasi pemanasan dilakukan
tanpa oksigen (oksigen dibatasi) sehingga hanya senyawa yang
mudah menguap saja yang akan hilang dan hanya tersisa unsur
karbon berupa arang. Tujuan utama dari proses karbonasi adalah
untuk meningkatkan nilai kalor dari produk arang. Proses karbonasi
serupa dengan proses pirolisis yang dilakukan di dalam suatu gas
seperti nitrogen. Misalnya untuk bio-limbah kayu, hampir semua
kandungan air diuapkan pada suhu di bawah 200 C, selanjutnya
selulosa, hemiselulosa dan lignin terdekomposisi menghasilkan
fraksi cair dan gas yang terdiri atas CO dan CO 2 pada suhu 200 –
500 C dan menyebabkan penurunan berat yang signifikan. Dalam
tahap ini, komponen berbobot molekul rendah dipecah menjadi
produk cair dan gas, sedangkan komponen berbobot molekul tinggi
yang terbentuk melalui proses kondensasi diarangkan bersama
dengan bagian yang tidak terdekomposisi. Di atas 500 C,
kehilangan berat semakin kecil dan karbon aromatik
terpolikondensasi meningkat disertai dengan evolusi H2 sampai suhu
700 C. Dengan peningkatan suhu lebih lanjut, struktur karbon
terpolikondensasi semakin berkembang dan jumlah unsur karbon
meningkat tanpa disertai peningkatan H2. Gambar 4.3 menunjukan
skema dari proses karbonasi berdasarkan model Broido-Shafizadeh.
Pada tahap pertama terjadi dekomposisi dari volatil primer yang
dihasilkan dari bio-limbah kayu menjadi fraksi padat (arang), cair
(tar) dan gas. Dekomposisi lebih lanjut dari fraksi cair (tar) terjadi
pada tahap kedua. Distribusi produk dari proses karbonasi
56
bergantung pada kedua tahapan tersebut serta ratio antara konstanta
kelajuan pada tahap pertama (K2) dan tahap kedua (K3). Selain itu,
kelembaban dan ukuran bahan, laju pemanasan, suhu dan tekanan
juga berpengaruh pada distribusi produk. Pada suhu pemanasan yang
lebih tinggi, produk arang yang dihasilkan semakin sedikit [1].
57
berbagai variasi suhu dan lingkungan atmosfer untuk mendapatkan
fasa dari senyawa karbon yang diharapkan. Metode sintesis ini
selanjutnya dinamakan sebagai metode 1. Tabel 4.4 menunjukan
hasil pengujian EDX dari serbuk tempurung kelapa tua yang
mengindikasikan bahwa unsur karbon merupakan unsur yang paling
dominan dengan persentase massa 51 %. Oksigen merupakan unsur
terbanyak kedua setelah karbon dengan persentase sekitar 48 wt%.
Cara lain dalam sintesis senyawa karbon adalah dengan
melakukan pembakaran terhadap tempurung kelapa untuk
memperoleh arang. Arang yang dihasilkan kemudian dihaluskan
dengan menggunakan mortar lalu diayak menggunakan ayakan
berukuran 200 mesh untuk mendapatkan serbuk dengan ukuran yang
homogen. Serbuk arang ini selanjutnya diberi perlakuan panas lebih
lanjut untuk memperoleh fasa tertentu dari senyawa karbon. Metode
kedua ini relatif lebih mudah karena arang hasil pembakaran lebih
mudah untuk dihaluskan dibandingkan dengan tempurung kelapa
mentah. Pembakaran tempurung kelapa menjadi arang dapat
meningkatkan kandungan karbon hingga 50 %. Mozammel dkk. [14]
melaporkan bahwa tempurung kelapa mengandung komponen
karbon sebesar 18,29%, moisture sebesar 10,46%, volatil sebesar
67,67% dan abu sebesar 3,58%, sedangkan arang tempurung kelapa
mengandung komponen karbon sebesar 76,32%, volatil sebesar
10,60% dan abu sebesar 13,08%. Hal ini menunjukan bahwa
pembakaran tempurung kelapa menjadi arang dapat meningkatkan
kandungan karbon, mengurangi kandungan volatil, sedikit
meningkatkan kandungan abu dan menghilangkan kelembaban
(moisture). Rangkaian proses sintesis senyawa karbon dari
tempurung kelapa tua ditunjukan pada Gambar 4.4. Alur 1 dan 2
berturut-turut menggambarkan skema sintesis senyawa karbon dari
tempurung kelapa dengan metode pertama dan kedua.
Analisis thermal dilakukan pada serbuk tempurung kelapa
untuk mengetahui perubahan sifat fisik dan thermal, termasuk
perubahan massa, suhu dan fasa, yang terjadi terhadap perubahan
58
suhu yang diberikan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
Differential Thermal Analysis (DTA) dan Thermogravimetric
Analysis (TGA). DTA merupakan suatu teknik dimana suhu dari
suatu sampel dibandingkan dengan material standart. Pada mulanya
suhu sampel dan material pembanding sama sampai dengan adanya
kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan,
penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu keduanya
berbeda. Apabila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu material
pembanding maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal dan
begitu pula sebaliknya. TGA merupaka suatu teknik yang mengukur
perubahan massa dari suatu material sebagai fungsi suhu.
Kurva hasil pengujian DTA/TGA dari serbuk tempurung kelapa
ditunjukan pada Gambar 4.5. Berdasarkan kurva TGA, diketahui
bahwa penurunan massa terjadi dua kali pada rentang suhu 250 – 340
C sebagaimana diindikasikan dengan adanya dua puncak pada
kurva turunan pertama dari grafik TGA [Gambar 4.5 (b)]. Penurunan
massa pertama terjadi pada suhu 256,25 – 301,90 C sebanyak 2,26
mg, dan penurunan kedua terjadi pada suhu 315,81 – 336,53 C
sebanyak 2,87 mg. Kurva DTA menunjukan adanya penurunan
berkelanjutan pada suhu 300 – 1000 C. Penurunan pada kurva
DTA menandakan adanya proses endotermik (penyerapan kalor)
sehingga terjadi proses penguraian melalui pemutusan beberapa
ikatan molekul yang mengakibatkan perubahan fasa dari serbuk
tempurung kelapa hingga menjadi arang. Berdasarkan pengujian
DTA/TGA, analisis thermal pada serbuk tempurung kelapa dapat
dijelaskan secara umum sebagai berikut:
pada suhu 100 – 120 C terjadi penguapan air (moisture
content) yang terkandung dalam serbuk tempurung kelapa,
pada suhu 200 – 600 C terjadi penguraian selulosa,
hemiselulosa, lignin berupa senyawa alifatik dan aromatik
hidrokarbon seperti asam asetat dan fenol serta bau khas
berupa gas serta cairan coklat pekat (bio-oil). Perubahan wujud
59
menjadi arang juga terjadi pada rentang suhu ini. Pada suhu
600 C, beberapa atom Oksigen dan Hidrogen terlepas dari
ikatan antar atomnya menjadi CO2, CO dan CH4.
pada suhu 600 – 1000 C terjadi pengurangan senyawa-
senyawa pengotor yang terbawa oleh adanya pengeringan gas
sehingga mengalami tahap pemurnian atau peningkatan kadar
karbon [15].
Berdasarkan hasil analisa tersebut, maka dipilih suhu 400 C sebagai
suhu pemanasan karena pada sekitar suhu inilah terjadi perubahan
signifikan pada sampel. Selain itu juga dipilih suhu 600, 800 dan
1000 C sebagai pembanding yang diharapkan dapat lebih
mengurangi gugus fungsi Oksigen dan Hidrogen dan meningkatkan
jumlah ikatan karbon.
60
Tabel. 4.4 Kandungan unsur dari serbuk tempurung kelapa tua
berdasarkan hasil analisis Energy Dispersive X-ray Spectroscopy
(EDX).
Unsur Persen Massa (%) Persen Atom (%)
Karbon (C) 51,09 58,38
Oksigen (O) 48,22 41,37
Sulfur (S) 0,13 0,06
Khlorin (Cl) 0,11 0,04
Kalium (K) 0,46 0,16
61
Gambar 4.4. Skema sistesis senyawa karbon dari tempurung kelapa
tua. Metode pertama (1) dilakukan dengan membuat serbuk
tempurung kelapa yang selanjutnya dipanaskan untuk mendapatkan
serbuk karbon. Metode kedua (2) dilakukan dengan pembakaran
tempurung kelapa sehingga diperoleh arang. Arang tersebut
selanjutnya dihaluskan dan diayak untuk menghasilkan serbuk arang.
Serbuk arang ini selanjutnya dipanaskan dengan berbagai variasi
suhu sehingga diperoleh senyawa karbon dengan fasa yang
diharapkan.
62
Gambar 4.5. (a) Kurva DTA (merah) dan TGA (hitam) dari serbuk
tempurung kelapa tua. (b) Kurva TGA dan turunan pertamanya yang
menunjukan penurunan massa yang signifikan pada suhu sekitar 250
- 340 C.
63
Komposisi unsur dari serbuk yang dihasilkan kemudian
dianalisis menggunakan EDX. Tabel 4.6 menunjukan hasil analisis
unsur dari serbuk hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen
dan gula merah. Terlihat jelas bahwa unsur karbon (C) merupakan
unsur terbanyak yang terkandung dalam serbuk tersebut diikuti
dengan unsur oksigen (O). Serbuk hasil pemanasan legen hanya
mengandung kedua unsur utama tersebut, sedangkan serbuk hasil
pemanasan nira dan gula merah mengandung unsur lainnya seperti
kalium (K), natrium (Na), dan klorin (Cl). Sejumlah kecil fosfor (P),
sulfur (S) dan silikon (Si) juga ditemukan dalam serbuk hasil
pemanasan nira siwalan. Variasi unsur yang terkandung dalam
serbuk-serbuk tersebut menunjukan bahwa kandungan unsur dari
hasil pengolahan bio-produk tergantung pada bahan baku yang
digunakan. Kesemua serbuk hasil pemanasan ini selanjutkan
dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, FTIR dan SEM untuk
mengetahui fasa karbon, ikatan gugus fungsi dan struktur mikro
yang terbentuk.
Tabel 4.6. Hasil analisis unsur dari serbuk hasil pemanasan nira
kelapa, nira siwalan, legen dan gula merah menggunakan EDX.
(%wt: persen massa, %at: persen atom)
Nira kelapa Nira siwalan Legen Gula merah
Unsur
%wt %at %wt %at %wt %at %wt %at
C 51,92 60,54 53,66 61,94 50,67 57,78 59,84 66,90
O 42,68 37,36 41,36 35,84 49,33 42,22 38,91 32,66
Cl 1,27 0,50 1,73 0,68 - - 0,28 0,11
Na 0.35 0,21 1,35 0,81 - - 0,04 0,02
K 3,34 1,19 1,34 0,48 - - 0,92 0,32
P - - 0,40 0,18 - - - -
S 0,44 0,19 0,13 0,06 - - - -
Si - - 0,03 0,01 - - - -
64
Gambar 4.6. Skema sistesis senyawa karbon dari nira kelapa, nira
siwalan, legen dan gula merah. (a) Bahan-bahan tersebut diaduk dan
dipanaskan pada suhu 100 C selama 8 jam sehingga didapatkan (b)
karamel. Karamel dipanaskan pada suhu 250 C selama 1,5 jam
menghasilkan arang (c). Arang ditumbuk untuk mendapatkan serbuk
karbon (d).
65
oksigen pada permukaan lapisannya dan oleh karenanya rGO
memiliki puncak yang lebih lebar dan lemah dibandingkan GO [17].
Dengan mencocokkan pola diffraksi yang teramati dengan pola
referensi tersebut dapat diketahui jenis senyawa karbon yang
terbentuk dalam sampel.
66
Tabel 4.7. Jenis ikatan berdasarkan bilangan gelombang pada
pengujian Fourier Transform Infrared /FTIR [19].
Ikatan Tipe senyawa Bilangan gelombang Intensitas
(cm-1)
2850-2970 Kuat
CH Alkana
1340-1470 Kuat
3010-3095 Sedang
CH Alkena CC
675-995 Kuat
CH Alkuna CC 3300 Kuat
3010-3100 Sedang
CH Cincin aromatik
690-900 Kuat
3590-3650 Berubah-
Fenol, monomer
ubah
alkohol, alkohol ikatan
3200-3600 Berubah-
hidrogen, fenol
ubah
OH
Monomer asam 3500-3650 Sedang
karboksilat, ikatan 2500-2700 Melebar
hidrogen asam
hidroksilat
NH Amina, Amida 3300-3500 Sedang
CC Alkena 1610-1680 Berubah-
ubah
CC Cincin aromatik 1500-1600 Berubah-
ubah
CC Alkuna 2100-2260 Berubah-
ubah
CN Amina, Amida 1180-1360 Kuat
CN Nitril 2210-2280 Kuat
CO Alkohol, Eter, Asam 1050-1300 Kuat
karboksilat, Ester
CO Aldehid, Keton, Asam 1690-1760 Kuat
karboksilat, Ester
1500-1570 Kuat
NO2 Senyawa Nitro
1300-1370 Kuat
67
Tabel. 4.7 menunjukan daftar jenis-jenis ikatan berdasarkan
bilangan gelombangnya. Jenis ikatan gugus fungsi yang terbentuk
dalam sampel dapat diketahui dengan mencocokan bilangan
gelombang dari setiap puncak yang terdeteksi terhadap referensi.
68
puncak ini meningkat, dan posisi puncak bergeser ke daerah 2 yang
lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa kristalinitas rGO
semakin baik, semakin banyak lapisan karbon heksagonal, dan jarak
antar lapisan heksagonal tersebut menjadi semakin lebar. Tidak ada
perbedaan signifikan antara sampel dengan dan tanpa proses
pencucian dengan aquades.
Grafik FTIR dari semua sampel ditunjukan pada Gambar 4.9.
Pola FTIR dari serbuk grafit murni (®Merck, M = 12,01 g/mol) dan
lapisan tipis oksida grafena (®XFNANO) juga ditampilkan sebagai
pembanding. Pola FTIR dari serbuk tempurung kelapa menunjukan
adanya ikatan gugus fungsi lain seperti CH, CO, CC, CO,
CH dan OH selain ikatan rangkap CC. Vibrasi regangan CC
terdeteksi pada rentang bilangan gelombang 1430 – 1680 cm-1 yang
termasuk dalam kelompok senyawa aromatik dan gugus fungsi
alkena. CC merupakan ikatan karbon heksagonal dengan keadaan
terhibridisasi sp2. Hibridisasi sp2 berarti bercampurnya elektron
dalam orbital 2s dan 2p sehingga menghasilkan hibridisasi pada tiga
orbital gabungan yaitu antara orbital 2s dengan 2px dan 2py serta satu
orbital 2pz yang tak terhibridisasi. Tiga orbital 2p yang terhibridisasi
membentuk struktur trigonal yang menunjukan adanya tiga atom
karbon dengan tiga orbital sp2 dan satu orbital p tak terhibridisasi
yang tegak lurus dengan orbital sp2. Hibridisasi sp2 ini merupakan
dasar dari semua struktur grafena dan senyawa aromatik. Ikatan
rangkap lain yang juga termati adalah CO yang merupakan gugus
karbonil. Gugus karbonil berbentuk planar di sekeliling atom karbon
sp2 trigonal. Vibrasi regangan CH teramati pada dua rentang
bilangan gelombang, yaitu pada 600 – 1000 cm-1 dan 1300 – 1400
cm-1. Keduanya memiliki jenis tekukan ikatan yang berbeda, rentang
pertama merupakan tekukan keluar bidang (out of bending)
sedangkan rentang kedua merupakan tekukan pada bidang (in plane
bending).
Sebagaimana lapisan tipis oksida grafena, serbuk tempurung
kelapa juga memiliki vibrasi regangan gugus fungsi hidroksil (OH)
69
dengan puncak transmitansi yang dalam dan lebar. Hal ini
mengindikasikan adanya energi serapan yang besar dari spektrum
inframerah terhadap sampel. Melalui proses pemanasan, baik dalam
atmosfer nitrogen maupun udara bebas, vibrasi regangan OH
menjadi semakin lemah yang mengindikasikan adanya proses
deoksigenisasi selama pemanasan. Dengan semakin meningkatnya
suhu pemanasan, intensitas puncak-puncak transmitansi semakin
melemah yang menyebabkan vibrasi regangan yang terdeteksi
semakin sedikit. Hal ini menunjukan bahwa proses pemanasan dapat
menghilangkan gugus fungsi oksigen.
Gambar 4.8. Pola difraksi dari serbuk karbon yang dipanaskan pada
berbagai variasi suhu, 400, 600, 800 dan 1000 C, di dalam atmosfer
(a) Nitrogen, (b) udara bebas tanpa pencucian dan (c) udara bebas
dengan pencucian menggunakan.
70
(a) (b)
(d) (c)
71
Vibrasi regangan ikatan OH tetap muncul pada semua variasi suhu
pemanasan di dalam atmosfer udara bebas yang diikuti dengan
proses pencucian/pembilasan menggunakan aquades. Puncak
transmitansi CO2 yang teramati merupakan kontribusi dari
background yang muncul pada posisi bilangan gelombang sekitar
2350 cm-1 dan 667 cm-1. Tabel 4.8 menampilkan perincian dari
puncak puncak transmitansi yang terdeteksi pada sampel hasil
pemanasan di dalam atmosfer nitrogen dan udara bebas dengan dan
tanpa proses pencucian.
72
CC 1512; 1599 1551 1533 1560
CO 1697 1691
CH 2922
OH 3398; 3998 3433
Atmosfer: Udara bebas dengan pencucian menggunakan aquades
Posisi/ bilangan gelombang (cm-1)
Ikatan
400 C 600 C 800 C 1000 C
CH (out of 698; 754; 824; 752; 808; 611; 700;
bending) 883 874 872
CO 1199 1211; 1224 1094 1148
CH (in plane 1423
bending)
CC 1564 1524; 1570 1547
1533; 1572
CO 1690 1691
Kombinasi NH 2010; 2041
dan OH
OH 3526 3398 3381; 3412
3998
73
Gambar 4.10. Foto hasil pengujian Transmission Electron
Microscopy (TEM) pada serbuk karbon dari hasil pemanasan serbuk
tempurung kelapa tua pada suhu 400 C di dalam atmosfer udara
bebas tanpa proses pencucian menggunakan aquades. (c) Bagian
berstruktur kristalin dari serbuk karbon dan (d) pola difraksi elektron
(Electron Diffraction Pattern/ EDP) yang menunjukan adanya titik-
titik putih berkaitan refleksi bidang [002] dan [100]. (e) Bagian
berstuktur amorf dan (f) pola difraksi elektronnya.
74
Keberadaan titik-titik putih pada gambar EDP ini menandakan
bahwa bagian sampel yang diamati memiliki struktur kristalin yang
berupa lapisan-lapisan karbon heksagonal. Pada bagian lain dari
sampel, struktur amorf juga teramati sebagaimana ditunjukan dalam
Gambar 4.10 (d) dan (e). Walaupun secara morfologi serupa dengan
bagian kristalin, tetapi tidak ada titik-titik putih yang termati pada
pola difraksi elektron. Ini mengindikasikan bahwa fasa yang
terbentuk pada bagian ini adalah fasa amorf. Fasa amorf ini
dimungkinkan akan tersusun membentuk fasa kristalin yang lebih
teratur seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan.
75
Gambar 4.11. Pola difraksi dari serbuk karbon hasil pemanasan nira
kelapa, nira lontar/ siwalan, legen dan gula merah.
76
Gambar 4.12. Pola transmitansi Fourier Transform Infrared (FTIR)
dari serbuk karbon hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen
dan gula merah.
77
bengkokan ke luar bidang dari gugus fungsi alkena CH muncul.
Perincian dari puncak-puncak transmitansi pada setiap sampel
ditunjukan pada Tabel 4.9.
Tabel. 4.9. Daftar puncak pada pola transmitansi FTIR dari serbuk
karbon hasil pemanasan nira kelapa, nira siwalan, legen dan gula
merah.
Posisi/ bilangan gelombang (cm -1)
Ikatan Nira kelapa Nira Legen Gula merah
siwalan
OH 3408 3412 3408 3433
CH 2943 2930 2930 2916
(regangan 2895 2893 2850
asimetris)
1587 1630 1514 1640
CC
1589 1614
CH 1408 1408 1379
(regangan 1309
simetris)
1217 1213 1205 1207
1080 1076 1159
CO
1045 1057 1105
1087
927 981 783 789
CH
862 925
78
lempengan tipis dengan ketebalan sekitar 10 µm, sedangkan sampel
dari hasil pemanasan gula merah menunjukan morfologi bongkahan
yang memiliki ketebalan sekitar 100 µm. Ketidakhadiran pengotor
garam KCl dalam sampel hasil pemanasan legen membuat
penampakan morfologi yang lebih jelas, begitu pula dalam sampel
hasil pemanasan gula merah yang mengandung sedikit pengotor KCl.
Proses penyayatan lebih lanjut diperlukan ntuk mendapatkan
lempengan yang lebih tipis dari senyawa karbon ini.
79
Referensi Bab 4
[1] Yokayama, S. and Matsumura, Y.: Panduan untuk produksi dan
pemanfaatan biomassa- proyek bantuan untuk pembangunan
kerjasama Asia untuk pertanian sadar lingkungan. Kementrian
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, the Japan Institute of
Energy (2008).
[2] Allen, James A.: Cocos Nucifera L. In: Vozzo, J., ed. Tropical
Tree Seed Manual: Part II, Species Descriptions. Agric. Handb.
712. pp. 399-401. Washington DC. Department of Agriculture
(2002).
[3] Tersedia online di http://www.biomass.net/Biomass-and-The-
CarbonCycle.html, diakses pada 31 Mei 2018, pukul 08.15
WIB.
[4] Arsa, M.: Kandungan Natrium dan Kalium larutan isotonik
alami air kelapa (Cocos Nucifera) varietas Eburnia, Viridis dan
Hibrida. Denpasar. Universitas Udayana (2011).
[5] Sutardi, Umar Sant, Anggia.: Pengaruh pemanasan kelapa parut
dan teknik pengunduhan terhadap rendemen dan mutu virgin
coconut oil (VCO). Jurnal Keteknikan Pertanian 22(2), 135-
142 (2008).
[6] Tajalli, Arief.; Panduan penilaian potensi biomassa sebagai
sumber energi alternatif di Indonesia. Penabulu Alliance
(2015).
[7] Palungkung, R.: Aneka produk olahan kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta (2004).
[8] Bledzki, A.K., Mamun, A.A., Volk, J.: Barley husk and coconut
shell reinforced polypropylene composites: The effects of fibre
physical, chemical and surface properties. Composite Science
and Technology. 70, 840-846 (2010).
[9] Wijaya, I., Arthawan, I., dan Sari, A.N.: Potensi nira kelapa
sebagai bahan baku bioetanol.” Bumi Lestari 12 (1), 85 – 92
(2012).
80
[10] Mukhlisin, Imam.: Laporan praktikum pengetahuan bahan
pangan. Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman (2013).
[11] Cahyaningsih, Ho Efie.: Identifikasi bakteri aslam laktat dari
nira lontar serta aplikasinya dalam medis. Bogor, Institut
Pertanian Bogor (2006).
[12] Bayton, R. P.: A revision of Borassus L. (Arecaceae). Kew
Bulletin, 561-585 (2007).
[13] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (BPPK)
Kementrian Kehutanan.: Lontar (Borassus Flabellifer) sebagai
sumber energi bioetanol potensial (2010).
[14] Mozammel, H.M., Masahiro, O., Bhattacharya, S.C.: Activated
charcoal from coconut shell using ZnCl2 activation. Biomass
and Bioenergy 22, 397-400 (2002).
[15] Rampe, M. J., Setiaji, B., Trisunaryanti, W., dan Triyono.: The
effect of temperature on the crystal growth of coconut shell
carbon. The third international conference and natura science
(ICMNS) ITB Bandung, 276-284 (2010).
[16] Islamiyah, W., Nashirudin, L., Baqiya, M.A., Cahyono, Y., dan
Darminto.: Sulfuric acid intercalated-mechanical exfoliation of
reduced graphene oxide from old coconut shell. AIP Conf. Proc.
1945, 020054 (2018). doi: 10.1063/1.5030276
[17] Sarkar, S.K., Raul, K.K., Pradhan, S.S., Basu, S., dan Nayak,
A.: Magnetic properties of graphite oxide and reduced graphene
oxide. Physica E. 64, 78-82 (2014).
[18] Mishra, S.K., Tripathi, S.N., Choudhary, V., Gupta, B.D.: SPR
based fibre optic ammonia gas sensor utilizing nanocomposite
film of PMMA/reduced graphene oside prepared by in situ
polymerization. Sensor and Actuators B. 199, 190-200 (2014).
[19] Skoog, D.A., Holler, F.J., dan Nieman, T.A.: Principle of
Instrumental Analysis. Philadelphia: Saunders College Pub.;
Orlando, Fla.: Harcourt Brace College Publishers (1998).
[20] Nugraheni, A.Y., Nashrullah, M., Prasetya, F.A., Astuti, F.,
Darminto.: Study on phase, molecular bonding, and bandgap of
81
reduced graphene oxide prepared by heating coconut shell.
Materials Science Forum 827, 285-289 (2015).
82
BAB 5 : SIFAT FISIS SENYAWA KARBON
DARI BIOMASSA
________________________________________
83
Selain proses reduksi secara thermal, proses penyayatan
(exfoliation) juga dilakukan untuk menipiskan lapisan rGO. Proses
penyayatan dilakukan secara mekanik menggunakan ultrasonic
cleanser. Dalam proses ini, lama waktu penyayatan dan medium
yang digunakan dapat divariasikan. Medium yang umum digunakan
dalam proses penyayatan adalah aquades dan larutan asam seperti
HCl dan H2SO4. Islamiyah dkk. [2] melaporkan bahwa penggunaan
H2SO4 dalam proses penyayatan dapat mengecilkan ukuran partikel
rGO yang terbentuk secara lebih efektif dibandingkan dengan
medium HCl. Melalui penambahan H2SO4 dan HCl, atom S, O
maupun Cl akan menyisip diantara lapisan rGO yang kemudian
dapat melemahkan atau bahkan memecah ikatan Van der Waals dan
akan berikatan dengan atom C.
Gambar 5.1. (a) Pola FTIR dari sampel rGO-400 setelah melalui
proses penyayatan dalam medium H2SO4 1 M selama 6 jam. (b)
Grafik distribusi ukuran partikel rGO setelah melalui proses
penyayatan dalam medium HCl dan H2SO4 yang diamati
menggunakan Particle Size Analyzer/PSA.
84
Gambar 5.2. (a) Spektrum Raman dari rGO hasil sintesis melalui
pemanasan serbuk arang tempurung kelapa pada suhu 400 C (rGO-
400), 600 C (rGO-600), 700 C (rGO-700), 800 C (rGO-800) dan
1000 C (rGO-1000) selama 5 jam diikuti dengan proses penyayatan
mekanik dalam medium aquades selama 10 jam. (b) Perbandingan
antara intensitas puncak D dan G (ID/IG) pada semua sampel terhadap
variasi lama pemanasan.
85
penambahan H2SO4 menunjukan puncak dominan pada ukuran
partikel 10 nm, sedangkan distribusi partikel dengan penambahan
HCl menunjukan puncak dominan pada ukuran partikel yang lebih
besar yaitu 200 nm. Ion SO42- yang berukuran lebih besar dari pada
Cl- diperkirakan mampu memecah ikatan Van der Waals antar
lapisan rGO secara lebih efektif. Teramatinya beberapa puncak
dengan orde ukuran yang berbeda-beda baik dalam puluhan dan
ratusan nanometer bahkan mikrometer menunjukan ukuran partikel
dalam larutan uji PSA cukup beragam dan tidak homogen.
Pengujian lain yang juga penting untuk mengkonfirmasi
keberadaan ketidakteraturan (disorder), cacat (defect) dan struktur
sp2 (graphitic) adalah spektroskopi Raman. Spektroskopi ini
merupakan alat penting untuk mengkarakterisasi material berbasis
karbon yang memiliki keteraturan dan ketidakteraturan dalam
strukturnya. Spektrum Raman dari rGO secara umum menunjukan
adanya puncak D dan puncak G serta sebuah puncak kecil 2D.
Puncak D berada pada daerah panjang gelombang 1350 cm-1 yang
menunjukan keberadaan cacat dalam material. Cacat ini dapat
berupa ganguan pada ikatan sp2 yaitu kekosongan, kerutan (wrinkle),
heptagon dan pentagon, dan juga adanya gugus fungsional lain
seperti O dan H. Puncak G berada pada panjang gelombang 1550
cm-1 yang menunjukan adanya karakteristik grafitik dari material.
Puncak ini muncul karena adanya pergerakan peregangan dari ikatan
sp2 pada atom karbon. Puncak lemah 2D terletak pada daerah
panjang gelombang yang lebih besar 2700 cm-1. Puncak ini
menandakan terbentuk struktur 2 dimensi dari ikatan sp 2 karbon.
rGO memiliki puncak D dan G yang lebar, menunjukan bahwa rGO
memiliki ketidakteraturan yang lebih besar dari pada grafit. Pada
rGO, intensitas puncak D lebih tinggi dari pada puncak G, sedangkan
pada oksida grafit, intensitas puncak D lebih rendah dari pada
puncak G [3].
Gambar 5.2 (a) menunjukan spektrum Raman dari rGO yang
disintesis melalui pemanasan serbuk arang tempurung kelapa pada
86
suhu 400 C (rGO-400), 600 C (rGO-600), 700 C (rGO-700), 800
C (rGO-800) dan 1000 C (rGO-1000) selama 5 jam diikuti dengan
proses penyayatan mekanik dalam medium aquades selama 10 jam.
Puncak D dan G teramati pada semua sampel, dimana intensitas
puncak D lebih tinggi dari puncak G sebagaimana referensi.
Perbandingan antara intensitas puncak D dan G (ID/IG) pada semua
sampel terhadap variasi lama pemanasan ditunjukan pada Gambar
5.2 (b). Perbandingan ini menandakan jumlah relatif cacat di dalam
sampel. Pada umumnya rGO memiliki nilai ID/IG>1 dikarenakan
intensitas puncak D lebih besar dari pada puncak G, sebaliknya
oksida grafit biasanya memiliki nilai ID/IG<1. Rajagopalan dan
Chung [4] melaporkan bahwa oksida grafena (GO) dan rGO yang
direduksi secara kimia memiliki nilai ID/IG berturut-turut 0,97 dan
1,4. Penelitian lain oleh Liu dkk. [5] melaporkan nilai ID/IG pada GO
dan rGO yang disintesis dengan metode Hummer berturut-turut 0,90
dan 1,12. Sebagaimana terlihat pada Gambar 5.2 (b), nilai ID/IG
meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini
menandakan bahwa pemanasan dapat menginduksi peningkatan
jumlah cacat di dalam sampel rGO. Keberadaan cacat ini
diperkirakan dapat mempengaruhi sifat magnetik dan elektronik dari
rGO. Dalam sub-bab selanjutnya akan dibahas beberapa sifat rGO
hasil sintesis dari tempurung kelapa meliputi sifat penyerapan
cahaya, kemampuan menyimpan muatan, sifat anti pantul
gelombang mikro dan kemagnetan.
87
mengeksitasikan elektron untuk berpindah ke tingkat energi yang
lebih tinggi di dalam atom. Ketika cahaya (monokromatis) diarahkan
ke sebuah sampel, elektron-elektron di dalam sampel akan menyerap
cahaya sehingga terjadi peningkatan energi sebesar ha dan eksitasi
elektron valensi dari keadaan dasar (ground state, S0) ke keadaan
dengan tingkat energi yang lebih tinggi (excited state). Ketika
elektron sudah mencapai keseimbangannya, maka kelebihan energi
akan dilepaskan melalui proses emisi cahaya (radiasi) yang disebut
dengan fotoluminensi dan elektron kembali ke keadaan dasar.
88
T1 ke S0), maka PL yang terjadi dinamakan fosforesensi (P). Disini
S merujuk pada keadaan spin singlet, sepasang elektron yang
memiliki arah spin yang berlawanan, sedangkan T merujuk pada
keadaan spin triplet yaitu sepasang elektron dengan arah spin yang
sama.
Pada kebanyakan molekul, fluorosensi lebih sering terjadi dari
pada fosforesensi. Fluorosensi terjadi dalam waktu yang sangat
singkat (10-5 sampai 10-8 detik), sedangkan fosforesensi terjadi
dalam jangka waktu yang lebih lama (10-4 detik bahkan sampai
beberapa jam). Selain proses radiasi berupa fluoresensi (F) dan
fosforesensi (P), proses deaktivasi non radiatif yang mengkin terjadi
adalah konversi internal (Internal Conversion; IC) yaitu transisi
tanpa radiasi antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang sama,
dan persimpangan antar sistem (Intersystem Crossing; ISC) yaitu
transisi tanpa radiasi antar keadaan yang memiliki keadaan spin yang
berbeda [6]. Spektrum PL direkam dengan mengukur intensitas
emisi radiasi sebagai fungsi dari panjang gelombang eksitasi atau
panjang gelombang emisi. Spektrum PL memberikan informasi
tentang energi transisi yang dapat digunakan untuk menentukan
tingkat energi elektronik. Intensitas PL memberikan informasi
ukuran tingkat relatif dari rekombinasi radiasi dan non radiasi [7].
Oksida grafena memiliki sifat PL yang menarik dan bervariasi.
Suspensi dan lapisan tipis padat dari oksida grafena hasil sintesis
menunjukan fluoresensi energi-rendah dalam rentang panjang
gelombang merah sampai mendekati infra merah yaitu pada 600 -
1100 nm [8,9]. Lapisan tunggal grafena yang disiapkan dengan
perlakuan plasma oksigen dan eksfoliasi mekanik menunjukan
perilaku luminensi yang lebar pada panjang gelombang 400 – 800
nm [10]. Fluorosensi pada daerah panjang gelombang biru dengan
lebar pita yang relatif sempit terdeteksi pada rGO yang direduksi
secara kimiawi dan pada quantum dots grafena [12,13]. Chien dkk.
[11] melaporkan evolusi PL dan mekanisme emisi dari oksida grafit
ke rGO. Proses reduksi oksida grafit dilakukan melalui iradiasi
89
lampu Xenon (Xe) dengan daya tetap (500 W) sehingga proses
transformasi dari oksida grafit ke rGO dapat dikontrol secara akurat
dengan mengatur waktu paparan. Dengan menggunakan X-ray
Photoemission Spectroscopy (XPS), mereka mengkonfirmasi bahwa
fraksi karbon dengan ikatan sp2 (C=C) meningkat dengan
meningkatnya waktu paparan.
90
proses reduksi, yaitu dengan meningkatnya waktu paparan. Selain
itu, warna dari emisi PL juga secara bertahap berubah dari merah
kekuningan pada larutan oksida grafit menjadi biru pada larutan rGO
setelah proses reduksi selama 3 jam sebagaimana terlihat pada
Gambar 5.4 (b). Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku PL pada
rGO dapat diatur dengan mengontrol proses reduksi.
Gambar 5.5. Usulan mekanisme emisi PL dari (a) emisi IP1 dominan
dalam oksida grafit yang berasal dari keadaan terlokalisasi yang
diinduksi oleh ketidakteraturan, dan (b) emisi IP2 dominan dalam
rGO yang berasal dari kluster-kluster domain sp2 (gambar diadaptasi
dari Ref. [11]).
91
berkaitan erat. Melalui analisis lebih lanjut, Chien dkk. [11]
mengusulkan sebuah mekanisme untuk menjelaskan evolusi PL dari
oksida grafit akibat proses reduksi sebagaimana ditunjukan pada
Gambar 5.5. Oksida grafit terdiri dari sejumlah besar cacat yang
diinduksi oleh ketidakteraturan di dalam celah -* dan memiliki
spektrum PL yang lebar berpusat pada daerah panjang gelombang
yang lebih besar [Gambar 5.5 (a)]. Setelah proses pelepasan oksigen
akibat reduksi, jumlah cacat dalam celah -* berkurang dan terjadi
peningkatan jumlah kluster dari domain sp 2 terisolasi yang baru
terbentuk [Gambar 5.5 (b)]. Rekombinasi elektron-hole diantara
kluster sp2 ini memiliki fluoresensi biru pada daerah panjang
gelombang yang lebih pendek dengan celah pita yang lebih sempit.
Oleh karena itu, kemampuan berubah dari spektrum PL selama
proses reduksi dikaitkan dengan variasi perbandingan intensitas
relatif dari emisi PL yang berasal dari dua keadaan elektronik
tereksitasi yang berbeda, sebagai akibat dari perubahan
keheterogenan struktur elektronik dengan hibridisasi sp 2 dan sp3
yang berubah melalui proses reduksi [11]. Pengaruh doping
Nitrogen terhadap perilaku PL rGO telah dilaporkan oleh Ming dkk.
rGO murni memiliki PL ultraviolet yang kuat pada panjang
gelombang 367 nm. PL dari rGO dapat dipadamkan dengan doping
N, dan efisiensinya (quenching efficiency) bergantung pada jumlah
piridina [C5H5N] [14].
Pengujian PL juga telah dilakukan pada sampel rGO hasil
sintesis dari tempurung kelapa. Gambar 5.6 menunjukan spektrum
PL dari suspensi rGO hasil sintesis dari serbuk tempurung kelapa
dengan proses reduksi termal pada suhu 800 C. Konsentrasi larutan
yang digunakan dalam pengujian PL harus cukup rendah (0,001 –
0,003 mg/ml) untuk mencegah terjadinya penyerapan radiasi yang
tidak seragam. Pengujian dilakukan dalam beberapa variasi panjang
gelombang eksitasi (ex) untuk membuat elektron-elektron dalam
material rGO teremisikan. Elektron-elektron tersebut memancarkan
emisi cahaya berupa panjang gelombang emisi (em) yang terdeteksi
92
pada detektor. Panjang gelombang eksitasi yang digunakan berada
dalam kisaran panjang gelombang 296 – 352 nm. Sebagaimana
terlihat dalam Gambar 5.6 (a)-(c), spektrum emisi bergeser ke arah
panjang gelombang yang lebih besar, bergeser ke daerah merah,
dengan meningkatnya ex yang diberikan. Selain itu, intensitas emisi
juga berkurang secara bertahap.
Gambar 5.6 (d) menunjukan spektrum PL dari suspensi rGO-
800 dalam berbagai konsentrasi pada ex = 343 nm. Pada semua
konsentrasi larutan, puncak emisi PL teramati pada rentang panjang
gelombang 650 – 710 nm, yaitu di dalam rentang daerah merah pada
spektrum cahaya tampak, tanpa disertai dengan adanya pergeseran
puncak. Intensitas PL cenderung meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi larutan. Peningkatan intensitas ini menandakan bahwa
jumlah elektron yang mampu tereksitasi dan teremisi menjadi lebih
banyak. Keadaan tereksitasi merupakan keadaan yang tidak stabil,
dimana elektron hanya bertahan beberapa saat pada keadaan ini.
Elektron akan kembali ke keadaan dasar mengisi kembali
kekosongan yang semula ditinggalkan (rekombinasi/ de-eksitasi).
Pada proses rekombinasi ini, sejumlah energi digunakan elektron
untuk mengalami vibrasi sebelum kembali ke keadaan dasar,
akibatnya elektron akan berada di level-level energi di dalam daerah
energi gap. Dalam proses ini, terjadi transisi radiatif yaitu dengan
memancarkan gelombang elektromagnetik (spektrum emisi). Dalam
hal ini, hasil intensitas emisi yang meningkat menandakan bahwa
pada keadaan tersebut elektron-elektron berada pada keadaan
maksimum di level-level energi pada daerah energi gap
Spektrum emisi PL pada beberapa sampel rGO pada ex = 343
nm dalam berbagai konsentrasi larutan ditunjukan dalam Gambar
5.7. Puncak emisi teramati pada rentang panjang gelombang emisi
650 – 710 nm. Dalam suspensi rGO dengan konsentrasi 0,001 mg/ml,
pergeseran kecil ke daerah panjang gelombang yang lebih besar
teramati pada sampel rGO-600, rGO-800 dan rGO-1000. Pergeseran
ini dimungkinkan akibat meningkatnya jumlah cacat dalam sampel
93
rGO yang dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi. Tidak ada
pergeseran berarti yang teramati pada suspensi rGO dengan
konsentrasi 0,002 mg/ml dan 0,003 g/ml, tetapi terjadi peningkatan
intensitas pada sampel rGO-1000.
94
Gambar 5.7. Spektrum emisi dari suspensi rGO (rGO-400, rGO-600,
rGO-800 dan rGO-1000) pada panjang gelombang eksitasi ex = 343
nm pada konsentrasi (a) 0,001 mg/ml, (b) 0,002 mg/ml dan (c) 0,003
mg/ml (gambar diadaptasi dari Ref. [15]).
95
terobosan dalam bidang energi karena superkapasitor memiliki
kapasitas penyimpanan yang jauh lebih besar dari kapasitor biasa,
proses pengisian yang relatif cepat serta tahan lama. Superkapasitor
memanfaatkan permukaan elektroda yang luas dan bahan dielektrik
yang tipis untuk mencapai nilai kapasitansi yang jauh lebih besar
dari pada kapasitor konvensional.
Gambar 5.8 (a) menunjukan skematik struktur sebuah
superkapasitor yang tersusun dari dua elektroda (electrode) berbasis
karbon, pemisah (separator) dan elektrolit [16]. Ketika elektroda
terpolarisasi akibat adanya tegangan, ion-ion dalam elektrolit akan
berdifusi melintasi dinding pemisah masuk ke dalam pori-pori
elektroda dan selanjutnya membentuk lapisan ganda elektrik yang
memiliki polaritas berlawanan terhadap polaritas elektroda.
Elektroda dengan polaritas negatif akan memiliki lapisan yang
tersusun dari ion-ion positif, sebaliknya elektroda dengan polaritas
positif memiliki lapisan yang tersusun dari ion-ion negatif. Adanya
lapisan ganda ini meningkatkan luas permukaan dan mengurangi
jarak antar elektroda sehingga superkapasitor memiliki rapat energi
yang lebih besar dari pada kapasitor konvensional.
(a) (b)
96
Gambar 5.8 (b) menampilkan grafik Ragone yang menunjukan
rapat daya dari beberapa perangkat penyimpan energi.
Superkapasitor menempati daerah diantara kapasitor konvensional
dan baterai. Superkapasitor memiliki rapat energi yang lebih kecil
dan rapat daya yang lebih besar dibandingkan baterai, sehingga
superkapasitor dapat digunakan sebagai alternatif ketika ada
kebutuhan daya yang mendesak.
Berdasarkan mekanisme penyimpanan energinya,
superkapasitor dikelompokan menjadi dua jenis yaitu kapasitor
elektrokimia dwi lapis (electrochemical double layers capacitors/
EDLC) dan pseudokapasitor. EDLC tersusun atas dua elektroda
berbasis karbon, pemisah dan elektrolit sebagaimana ditunjukan
pada Gambar 5.8 (a). EDLC menyimpan muatan secara elektrostatis
(non-Faradaic) tanpa ada transfer muatan antar elektroda dan
elektrolit, dan oleh karenanya proses penyimpanan muatan pada
EDLC bersifat reversible yang memungkinkan muatan mencapai
kestabilan siklus [18]. Pada umumnya EDLC beroperasi dengan
performa yang stabil dengan banyak siklus pengisian-pelucutan
(charging-discharging) bahkan terkadang mencapai 106 siklus.
Karena sifatnya yang stabil ini, EDLC sangat cocok digunakan pada
wilayah yang sulit dijangkau seperti laut dan pegunungan. Performa
EDLC dapat disesuaikan dengan mengubah sifat elektrolit. Larutan
elektrolit yang biasa digunakan dalam EDLC adalah H2SO4 dan
KOH, karena kedua larutan ini memiliki resistansi-seri-efektif
(effective series resistance/ ESR) yang lebih rendah dan memiliki
ukuran pori yang lebih kecil [19]. Pseudokapasitor menyimpan
muatan secara Faradaic yaitu melalui transfer muatan antara
elektroda dan elektrolit yang terjadi melalui proses electrosorption,
reaksi reduksi-oksidasi dan proses interkalasi. Proses penyimpanan
muatan pada pseudokapasitor ini memungkinkan mencapai nilai
kapasitansi dan rapat energi yang lebih besar dibandingkan EDLC.
Material yang biasa digunakan dalam menyimpan muatan pada
pseudokapasitor adalah polimer konduktif dan oksida logam [20].
97
Di dalam buku ini, kemampuan penyimpanan muatan dari rGO
yang disintesis dari tempurung kelapa akan dibahas secara khusus.
Proses penyayatan mekanik dari serbuk rGO dilakukan di dalam
medium asam khlorida (HCl) menggunakan ultrasonic cleanser.
Glukosa ditambahkan bersama rGO untuk membuat komposit
rGO/Glukosa. Dalam komposit ini, glukosa bertindak sebagai
matriks serta sebagai pemberi sekat (spacer) antar lapisan rGO
sehingga dapat meningkatkan luas permukaan dan pada akhirnya
juga meningkatkan nilai kapasitansi rGO. Untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi HCl sebagai medium penyayatan/eksfoliasi
dan pengaruh penambahan glukosa terhadap nilai kapasitansi
komposit rGO, disiapkan beberapa sampel dengan rincian dan
penamaan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5.1. Beberapa
penelitian terdahulu telah melaporkan potensi rGO sebagai bahan
elektroda superkapasitor. Ma dkk. [21] melaporkan bahwa komposit
Sugar-derived/Carbon graphene memiliki kapasitansi tinggi
mencapai 203 F/g. Penambahan nikel (Ni) dilaporkan meningkatkan
nilai komposit rGO/Glukosa secara signifikan, dimana komposit
rGO/Glukosa dan rGO/Glukosa/Ni memiliki kapasitansi berturut-
turut 50 F/g dan 251 F/g [22]. Putra dkk. [23] melaporkan kapasitansi
rGO yang disintesis dari tempurung kelapa sebesar 13 F/g.
Penambahan sukrosa justru mengurangi nilai kapasitansi rGO
menjadi 4 F/g.
Pengukuran nilai kapasitansi dilakukan dengan menggunakan
voltametri siklik (cyclic voltammetry/CV). Pengujian ini akan
menghasilkan kurva respon arus terhadap tegangan yang diberikan
pada elektroda uji [24]. CV mempunyai 3 buah elektroda yang
bekerja secara simultan yaitu elektroda referensi (reference
electrode) untuk mengukur beda potential, elektroda uji (working
electrode), dan elektroda penghitung (counter electrode). Larutan
KOH 6 M digunakan sebagai parameter pengujian. Pengujian
dilakukan pada rentang tegangan (potential window) dengan batas
bawah sebesar -1 Volt dan batas atas sebesar 1 Volt, serta
98
menggunakan scan rate 50 mV/s. Nilai kapasitansi spesifik (C) dan
rapat energi (W) dihitung menggunakan Persamaan (5.1) dan (5.2).
𝑍 𝑉2
𝐶= ∫ 𝐼(𝑉 )𝑑𝑉 (5.1)
𝑚𝑣 𝑉1
1
𝑊 = 𝐶𝑉 2 (5.2)
2
99
Gambar 5.9 menampilkan kurva kebergantungan arus respon
terhadap tegangan masukan (kurva voltammogram) dari hasil
pengujian CV pada semua sampel dengan berbagai variasi. Gambar
5.9 (a) merupakan kurva voltammogram dari sampel rGO:HCl (RC)
dengan variasi konsentrasi HCl. Tidak ada “duck shape” yang
teramati pada kurva tersebut, yang ditandai dengan ketidakhadiran
puncak arus katoda dan puncak arus anoda. Arus respon secara
umum meningkat dengan meningkatnya tegangan yang diberikan,
akan tetapi peningkatannya tidak linear. Pada daerah tegangan
tertentu, peningkatan arus yang terukur cukup tajam, dan pada
daerah lain, arus meningkat secara perlahan. Hal ini mengakibatkan
adanya sebuah lekukan/gundukan yang teramati pada kurva
voltammogram yang dihasilkan. Pada analisis voltammetri, arus
yang diukur terjadi akibat adanya reaksi redoks (reduksi-oksidasi)
pada permukaan elektroda. Oleh karenanya adanya lekukan ini
diindikasikan berkaitan dengan adanya reaksi antara larutan
elektrolit dengan ikatan-ikatan utama dari rGO, seperti C=C, C=O,
C-H, C-O dan O-H. Luasan kurva terukur ditunjukan pada Gambar
5.9 (b). Terlihat jelas bahwa luasan kurva bertambah besar dengan
meningkatnya konsentrasi HCl yang digunakan dalam proses
eksfoliasi/penyayatan. Sampel RC-110 memiliki luasan kurva
terbesar dibandingkan dua sampel lainnya, yaitu sekitar 0,0043. Satu
hal yang perlu dicatat bahwa massa elektroda rGO yang digunakan
dalam pengujian CV tidaklah tepat sama, sehingga nilai
kapasitansinya tidak serta merta sebanding dengan luasan kurva.
Dengan menerapkan persamaan (5.1), nilai kapasitansi sampel RC-
11, RC-15 dan RC-110 berturut-turut sebesar 20,8 F/g, 17,4 F/g dan
21,3 F/g. Nilai kapasitansi ini sedikit lebih besar dari pada elektroda
rGO yang disiapkan tanpa proses eksfoliasi di dalam medium HCl
yang memiliki kapasitansi sebesar 13 F/g [23]. Hal ini
mengindikasikan penggunaan HCl dapat membantu meningkatkan
nilai kapasitansi elektroda rGO yang disiapkan dari tempurung
kelapa. Dalam hal ini, HCl dimungkinkan lebih efektif sebagai
medium eksfoliasi untuk memecah lapisan rGO.
100
Gambar 5.9. Kurva voltammogram hasil pengujian cyclic
voltammetry (CV) pada (a) sampel rGO:HCl (RC) dengan variasi
konsentrasi HCl, (b) sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan
variasi konsentrasi HCl, dan (c) sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG)
dengan variasi massa glukosa dan rGO. Luas daerah masing-masing
kurva secara bersesuaian ditunjukan dalam (b), (d) dan (f).
101
Gambar 5.9 (c) dan (d) menunjukan kurva voltammogram dari
sampel rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan variasi HCl. Dengan cara
yang sama, nilai kapasitansi spesifik dari sampel RCG-111, RCG-
151 dan RCG-1101 secara berturut-turut adalah 39,7 F/g, 32,3 F/g
dan 29,7 F/g. Nilai kapasitansi ini lebih besar jika dibandingkan
dengan sampel rGO tanpa penambahan glukosa. Glukosa sebagai
spacer atau pemberi sekat antar lapisan rGO dapat meningkatkan
luas permukaan, dan sebagai hasilnya dapat meningkatkan nilai
kapasitansi spesifik. Kurva voltammogram dari sampel
rGO:HCl:Glukosa (RCG) dengan variasi massa rGO dan glukosa
ditunjukan dalam Gambar 5.9 (e) dan (f). Nilai kapasitansi spesifik
berkurang secara signifikan ketika massa glukosa yang ditambahkan
lebih kecil dari pada massa rGO (sampel RCG-221). RCG-221
memiliki nilai kapasitansi spesifik sebesar 2,3 F/g.
Tabel 5.2. Nilai kapasitansi spesifik dan rapat energi pada setiap
sampel dengan berbagai variasi.
102
Tabel 5.2 menunjukan nilai kapasitansi spesifik dan rapat energi
dari setiap sampel. Berdasarkan hasil ini, nilai kapasitansi terbaik
diperoleh pada sampel rGO/glukosa yang dieksfoliasi dalam
medium HCl dengan perbandingan rGO:HCl:Glukosa sebesar 1:1:1.
Selain RCG-221, nilai rapat energi elektroda rGO yang disiapkan
dari tempurung kelapa berada dalam kisaran 0,2 – 0,5 Wh/g. Nilai
ini termasuk ke dalam rentang rapat energi untuk superkapasitor
EDLC yang berada dalam kisaran 0,1 – 5 Wh/g. Riset lebih lanjut
sangat diperlukan untuk meningkatkan performa rGO hasil sintesis
dari bahan alam (tempurung kelapa) sebagai bahan elektroda
superkapasitor.
103
C-, X-, Ku-, K-, Ka-, Q-, U-, V-, W-, F- dan D- bands. X-band yang
biasanya digunakan dalam aplikasi radar berada dalam rentang 8 –
12 GHz. Panjang gelombang pendek dari X-band mampu
menghasilkan pencintraan dengan resolusi tinggi untuk diskriminasi
dan identifikasi target [26]. Dalam hal ini, rGO dapat digunakan
sebagai material penyerap radar (Radar Absorbing Material/ RAM).
Penyerapan gelombang mikro terjadi karena adanya interaksi antara
gelombang dengan material absorber, sehingga akan menghasilkan
disipasi energi dalam bentuk panas. Material absorber dibagi
menjadi dua yaitu dielektrik dan magnetik. Pada bahan dielektrik,
energi gelombang elektromegnet disepar oleh dipol-dipol listrik
sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik luar.
Arah polarisasi ini akan berubah seiring dengan perubahan arah
gelombang yang mengakibatkan terjadinya gesekan antar molekul
dan menimbulkan panas. Hal yang sama terjadi pada bahan magnetik
[27].
Besar kemampuan suatu material dalam menyerap gelombang
mikro direpresentasikan dengan nilai rugi refleksi (Reflection Loss/
RL) sebagaimana dinyatakan dalam persamaan 5.3. Z0 adalah
impedansi udara yang besarnya sekitar 377 , dan Zin adalah
impedansi karakteristik dari bahan yang besarnya dinyatakan dalam
persamaan 5.4.
𝑍𝑖𝑛 − 𝑍0
𝑅𝐿 = 20 log | | (5.3)
𝑍𝑖𝑛 + 𝑍0
𝜇𝑟 2𝜋𝑓𝑑
𝑍𝑖𝑛 = √ tanh {𝑗 ( ) √𝜇𝑟 𝜀𝑟 } (5.4)
𝜀𝑟 𝑐
104
negatif. RL akan bernilai besar ketika nilai impedansi karakteristik
dari material absorber (Zin) mendekati nilai impedansi medium
gelombang yang dalam hal ini berupa udara (Z0). Oleh karenanya
material absorber yang baik memiliki nilai µ r dan ɛr yang sesuai
dengan permeabilitas (µ) dan permitivitas (ɛ) udara. Kesesuaian
impedansi (impedance matching) ini merupakan faktor penting
selain karakteristik lain seperti rugi dielektrik atau magnetik [29].
rGO dilaporkan memiliki kemampuan menyerap gelombang
mikro yang lebih baik dibandingkan grafit. Lapisan rGO dengan
ketebalan 2 mm menghasilkan rugi refleksi yang lebih besar dari
pada grafit, yaitu mencapai -6.9 dB pada frekuensi 7 GHz
sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.10 [30]. Nilai ini masih
relatif kecil sebagai material penyerap gelombang mikro.
Untuk meningkatkan nilai rugi refleksi dari rGO, strategi efektif
yang dapat dilakukan yaitu dengan mencampurkan material
magnetik. Ma dkk. [31] melaporkan bahwa komposit Co3O4/rGO
merupakan material penyerap gelombang elektromagnetik yang baik.
Rugi refleksi mencapai -61 dB pada frekuensi 11 GHz mampu
diperoleh pada perbandingan Co3O4 : rGO sebesar 2:1. Frekuensi
absorpsi juga dapat disesuaikan dengan mengatur rasio Co 3O4 : rGO
dan ketebalan lapisan komposit. RL dari komposit ini relatif stabil,
dan lebar pita menjadi semakin besar meliputi hampir seluruh
rentang frekuensi pengamatan (2 – 18 GHz) dengan meningkatnya
suhu yaitu pada 80 – 200 C. Hasil ini mengindikasikan bahwa
komposit Co3O4/rGO merupakan penyerap gelombang mikro yang
efisien bahkan pada lingkungan yang ekstrim. Zhang dkk. [32] juga
melaporkan bahwa penambahan partikel magnetik berupa NiFe 2O4
pada lapisan rGO mampu mengoptimalkan kemampuan penyerapan
gelombang mikro sehingga diperoleh rugi refleksi mencapai -58 dB.
Dengan berkurangnya partikel magnetik pada lapisan rGO, puncak
absorpsi bergeser dari 4.6 ke 16 GHz mencakup hampir 72% dari
rentang ferkuensi terukur. Karena daerah frekuensi serapan yang
lebar ini, NiFe2O4-rGO dapat dijadikan sebagai alternatif material
105
penyerap gelombang mikro multiguna dalam berbagai bidang mulai
dari penggunaan sipil dan komersial hingga teknologi militer dan
kedirgantaraan.
Gambar 5.10. Nilai rugi refleksi dari grafit dan oksida grafena
tereduksi/rGO (gambar diadopsi dari Ref. [30]).
106
Gambar 5.11 menunjukan beberapa situasi dari respon material
penyerap gelombang mikro berbasis karbon terhadap gelombang
elektromagnetik. Material absorber ideal ditunjukan pada Gambar
5.11 (b) yang memiliki kesesuaian impedansi yang baik dan atenuasi
yang kuat. Loncatan (hopping) elektron diindikasikan dengan anak
panah putus-putus berwarna hitam, sedangkan hamburan jamak
elektron ditunjukan dengan anak panah berwarna kuning. Ketika
rasio material absorber tidak cukup banyak dalam lapisan pelindung,
maka kapasitas atenuasi akan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan
gelombang yang menembus permukaan lapisan tidak dapat
terdisipasi secara sempurna, dan akan dipantulkan kembali oleh
permukaan logam dan selanjutnya akan terdeteksi oleh radar
[Gambar 5.11 (a)]. Sebaliknya, ketika rasio meterial absorber yang
terdapat dalam lapisan pelindung terlalu banyak, maka akan memicu
adanya ketidaksesuaian impedansi yang selanjutnya dapat memicu
munculnya sinyal kuat dari gelombang pantul yang dapat dideteksi
oleh radar [Gambar 5.11 (c)]. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan material absorber yang ringan dengan
efisiensi tinggi dan lebar pita yang besar adalah melalui pembuatan
lapisan jamak [29].
Pengujian rugi refleksi (RL) pada serbuk rGO hasil sintesis dari
tempurung kelapa telah dilakukan dengan menggunakan Vector
Network Analyzer (VNA). Grafik hasil pengukuran berupa
hubungan antara frekuensi dan rugi refleksi sebagaimana ditunjukan
dalam Gambar 5.12. Beberapa puncak absorpsi teramati pada
rentang frekuensi pengukuran yaitu pada 7 – 14 GHz. Serbuk arang
hasil pembakaran tempurung kelapa (fasa rGO) dan serbuk rGO
hasil pemanasan pada suhu 400 C (rGO-400) dengan berbagai
variasi lama pemanasan memiliki puncak absorpsi yang tajam
dengan rugi refleksi maksimum mencapai -40 dB pada frekuensi 8
GHz. Berbeda dengan rGO-400, serbuk rGO yang dipanaskan pada
suhu 1000 C (rGO-1000) dengan berbagai variasi lama pemanasan
memiliki puncak absorpsi lemah dengan nilai rugi maksimum sekitar
107
-15 dB pada frekuensi 8 GHz. Pada daerah frekuensi X-band (8,2 –
12,4 GHz), rugi refleksi maksimum sebesar -26,5 dB pada frekuensi
10,63 GHz teramati pada sampel rGO-400 yang disiapkan dengan
pemanasan selama 4 jam (rGO-400 4 jam). Sampel rGO-1000
memiliki rugi refleksi yang relatif kecil pada rentang frekuensi X-
band, yaitu sekitar -7 dB pada frekuensi 10,36 GHz. Nilai RL ini
hanya sekitar 1/3 dari nilai RL pada sampel rGO-400.
108
memiliki gugus fungsi oksigen dan C=C yang lebih sedikit dan
jumlah cacat yang lebih banyak dibandingkan rGO-400. Hal ini
mengindikasikan bahwa rGO-1000 memiliki luas lapisan
heksagonal sp2 yang lebih kecil dari pada rGO-400, sehingga
dimungkinkan dapat memperlemah kapasitas atenuasi.
109
pengukuran dan lebih besar dibandingkan lebar-pita sampel rGO
yang disiapkan tanpa melalui proses eksfoliasi. Walaupun demikian,
nilai RL yang dihasilkan lebih kecil. Nilai RL terbesar teramati pada
serbuk arang tempurung kelapa dengan nilai sekitar -10 dB pada
frekuensi 10,5 GHz. Pada proses eksfoliasi dalam medium HCl
dengan perbandingan rGO:HCl = 1:1, RL bernilai sekitar -8,42 dB
pada frekuensi 10,52 GHz untuk rGO-400, dan -5,69 dB pada
frekuensi 10,46 GHz untuk rGO-700. Dalam semua variasi
konsentrasi HCl, rGO-700 memiliki nilai RL yang lebih kecil dari
pada rGO-400. Berkurangnya jumlah gugus fungsi dan
bertambahnya jumlah cacat pada lapisan rGO akibat proses
pemanasan dan eksfoliasi diduga sebagai penyebab berkurangnya
nilai RL.
110
Gambar 5.14. (a) Grafik hubungan frekuensi terhadap rugi refleksi
(reflection loss, RL) dari beberapa sampel rGO yang disintesis
melalui proses pemanasan tempurung kelapa pada suhu 400 C
(rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses eksfoliasi
dalam medium H2SO4 dengan berbagai variasi konsentrasi. (b)
Distribusi ukuran partikel dari serbuk arang, dan rGO-400 dan rGO-
700 pada perbandingan konsentrasi rGO:H2SO4 = 1:1.
111
kearah ukuran yang lebih kecil dengan meningkatnya suhu
pemanasan sebagaimana Gambar 5.13 (b).
Pengaruh medium eksfoliasi berupa larutan asam sulfat
(H2SO4) terhadap kemampuan anti pantul gelombang mikro juga
diamati. Gambar 5.14 menunjukan grafik nilai rugi refleksi pada
sampel rGO yang disiapkan melalui proses pemanasan pada suhu
400 C (rGO-400) dan 700 C (rGO-700) diikuti dengan proses
eksfoliasi dalam medium H2SO4. Posisi puncak absorpsi serta nilai
RL secara terperinci ditunjukan dalam Tabel 5.4. Sebagaimana yang
teramati pada sampel rGO yang dieksfoliasi dalam medium HCl,
nilai RL berkurang dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Suhu Frekuensi
H2SO4 : rGO RL (dB)
pemanasan (GHz)
Tanpa perlakuan 10,64 -10,62
1:1 10,44 -5,47
400 C 1:5 10,42 -5,92
1:10 10,48 -7,19
1:1 10,48 -2,51
700 C 1:5 10,54 -1,95
1:10 10,54 -2,68
112
dimungkinkan berpengaruh terhadap berkurangnya nilai RL.
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hal ini. Dari hasil
pengujian RL yang didapatkan saat ini, secara umum diketahui
bahwa proses reduksi rGO melalui metode pemanasan pada suhu
tinggi dan eksfoliasi pada medium asam pekat dapat mengurangi
nilai rugi refleksi dan pada akhirnya mengurangi kemampuan anti
pantul gelombang mikro dari sampel rGO.
5.5 Kemagnetan
Sifat kemagnetan material berbasis karbon telah menjadi pokok
bahasan yang sangat menarik baik dari sisi teori fundamental
maupun aplikasinya. Karbon memiliki konfigurasi elektron pada
keadaan dasar berupa 1s2 2s2 2p2. Ini menunjukan bahwa pada
keadaan dasar karbon memiliki dua spin yang tak berpasangan dalam
orbital p terluar. Walaupun demikian, karbon memiliki sifat
diamagnetik karena sifat ikatan yang terbentuk antar atom karbon.
Berdasarkan konsep dari teori orbital molekular (the molecular
orbital theory), empat elektron dapat berpasangan di dalam orbital
ikatan karbon, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.15. Ini
berarti bahwa karbon selalu membentuk empat buah ikatan sehingga
tidak ada elektron tak-berpasangan. Hal inilah yang menyebabkan
momen magnetik dari karbon hanya menunjukan kontribusi
diamagnetik, yang berasal dari gerakan elektron-elektron dalam
orbital, tanpa adanya kontribusi paramagnetik. Itulah sebabnya
semua alotrop karbon, yang memiliki ikatan antar atom karbon
dengan sifat serupa, tidak memiliki fitur magnetik apapun. Perilaku
diamagnetik pada grafit dan grafena murni, yang memiliki
hibridisasi sp2, disebabkan oleh delokalisasi elektron yang bergerak
sepanjang rantai grafitik pada bidang (delokalisasi ikatan ). Grafit
memiliki suseptibilitas diamagnetik yang sangat anisotropik karena
kontribusi dari pergerakan elektron dalam arah tegak lurus rantai
grafitik sangat kecil. Intan (hibridisasi sp3) dan carbyne (hibridisasi
sp) juga bersifat diamagnetik [33].
113
Gambar 5.15. (a) Diagram tingkatan-energi orbital molekular secara
umum untuk dua tingkat energi pertama yang menunjukan
pembentukan orbital molekul ikatan/ bonding (, ) dan orbital
molekul antiikatan/ antibonding (*, *). (b) Skema ikatan untuk
dua atom karbon yang membuktikan bahwa semua spin berpasangan,
mengkonfirmasikan sifat diamagnetik dari C-C (gambar diadopsi
dari Ref. [33]).
114
dapat berupa gangguan topologi lokal, kekosongan, cacat Stone-
Wales (SW), pasangan pentagonal-oktagon, substitusi atom non-
karbon dalam kisi grafena, adatoms (atom yang menempel pada
permukaan lapisan grafena), hibridisasi campuran sp 2/sp3
(fungsionalisasi sp3 kovalen) dan tepi dengan bentuk zigzag.
115
mekanisme kemagnetan yang diinduksi oleh keberadaan berbagai
cacat pada grafena secara lebih detail, pembaca disarankan merujuk
pada ulasan artikel oleh Tuček dkk. [33].
Keberadaan cacat telah diprediksikan secara teoretik dapat
menginduksi medan magnet lokal yang memiliki interaksi
feromagnetik dan antiferomagnetik. Perilaku feromagnetik
diprediksikan muncul pada grafena dengan tepi berbentuk zigzag
(zigzag-edge graphene) dan pada lapisan grafena yang
terhidrogenasi sebagian [34,35]. Sebuah cacat atom tunggal dapat
menginduksi feromagnetisme dalam grafena berstuktur acak dan
grafit teriradiasi [36]. Momen magnetik sebesar 1 B dapat
berkembang karena adanya cacat berupa kekosongan dan
chemisorption hidrogen [37]. Selain jenis cacat, konsentrasi cacat
juga berpengaruh terhadap interaksi magnetik yang teramati.
Apabila konsentrasi cacat relatif kecil, akan teramati perilaku
paramagnetik karena momen magnetik terinduksi mampu terpisah
dengan baik [38]. Sebaliknya, apabila konsentrasi cacat tinggi,
perilaku feromagnetik dan/atau antiferomagnetik akan terinduksi
melalui interaksi pertukaran (exchange interaction) atau interaksi
Ruderman-Kittel-Kasuya-Yosida (RKKY) [39-41]. Hal ini
mengindikasikan bahwa sifat kemagnetan grafena bergantung pada
metode penyiapannya. Sarkar dkk. [42] melaporkan bahwa oksida
grafit dan oksida grafena tereduksi (rGO) yang disintesis melalui
metode kimia standar memiliki sifat superparamagnetik lemah.
Sampel rGO yang disiapkan melalui proses anealing suhu tinggi
pada oksida grafena dalam lingkungan oksidasi lemah dilaporkan
memiliki feromagnetisme suhu ruang yang lebih kuat dari pada
sampel rGO yang disiapkan dalam lingkungan oksidasi kuat [43].
Melalui proses reduksi thermal, Khurana dkk. [44] melaporkan
bahwa suhu anealing dapat mengontrol jumlah cacat yang dapat
menginduksi kemagnetan rGO. Pada suhu tertentu (600 C), proses
anealing mendorong terjadinya mekanisme perbaikan diri sehingga
jumlah cacat berkurang dan ikatan sp2 meningkat.
116
Untuk sampel rGO yang disiapkan dengan metode green
synthesis melalui proses pemanasan tempurung kelapa, Kurniasari
dkk. [45] dan Darminto dkk. [46] mengkonfirmasi bahwa
kemagnetan rGO diinduksi oleh keberadaan cacat di dalamnya.
Konsentrasi cacat meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Sebagaimana ditunjukan pada Gambar 5.17 (a), rGO yang disiapkan
melalui proses pemanasan pada suhu 1000 C (rGO-1000) memiliki
magnetisasi yang lebih kuat, dimana nilai magnetisasi saturasi (Msat)
meningkat sekitar 35 kali dari pada rGO yang disiapkan pada 400 C
(rGO-400) dan 600 C (rGO-600). rGO-400, rGO-600 dan rGO-
1000 memiliki nilai Msat berturut-turut 2,2 emu/g, 0,06 emu/g dan
0,07 emu/g. Gambar 5.17 (b) menunjukan perbesaran kurva
magnetisasi sebagai fungsi medan magnet [M(H)]. rGO-1000
memiliki kurva histeresis magnetik yang lebih lebar dari pada rGO-
400 dan rGO-600. Sebagaimana Msat, nilai magnetisasi remanensi
(Mr) dan medan koersivitas (HC) meningkat drastis pada rGO-1000
menjadi 0,3 emu/g dan 140 Oe.
Pengukuran x-ray fluorescence (XRF) mengkonfirmasi bahwa
konsentrasi maksimum dari impuritas magnetik, berupa Fe dan Ni,
sebesar 0,07 %, serta tidak ada peningkatan yang signifikan dari
impuritas magnetik dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Esquinazi dkk. [47] melaporkan bahwa 1 g impuritas Fe per 1 gram
grafit berkontribusi sekitar 2,2 10-4 emu/g terhadap magnetisasi
apabila terbentuk dalam kluster Fe, atau sekitar 1,4 10-4 emu/g
apabila terbentuk dalam kluster Fe3O4. Jika diasumsikan Ni
memberikan kontribusi magnetik yang sama sebagaimana Fe, maka
0,07% impuritas magnetik hanya akan berkontribusi terhadap
magnetisasi sekitar 0,3 10-2 emu/g. Dengan demikian, nilai
magnetisasi yang teramati pada sampel rGO sebagian besar berasal
dari sifat intrinsik sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa
peningkatan M(H) disebabkan adanya peningkatan jumlah cacat.
117
Gambar 5.17. (a) Magnetisasi sebagai fungsi medan magnet, M(H),
dari serbuk arang, rGO-400, rGO-600, dan rGO-1000 pada suhu
ruang (300 K). Gambar sisipan menampilkan kebergantungan suhu
pemanasan terhadap nilai saturasi magnetisasi (Msat). (b) Perbesaran
M(H) pada serbuk arang, rGO-400 dan rGO-1000. Gambar sisipan:
kebergantungan suhu pemanasan terhadap magnetisasi remanensi
(Mr) dan medan koersivitas (HC). (c) M(H) dari serbuk arang pada
suhu 300 K dan 5 K. Gambar sisipan menunjukan perbesaran kurva.
(d) M(H) dari rGO-600 yang menunjukan adanya kontribusi
diamagnetik (Mdia) dan feromagnetik (MFM) dengan Msat 0,07
emu/g. Pada seluruh kurva yang ditampilkan, kontribusi
diamagnetik dari plastik parafilm dan kapsul pembungkus sampel
telah dikurangkan (gambar diadaptasi dari Ref. [46]).
118
Pada suhu 300 K, M(H) sedikit berkurang pada daerah medan
magnet H 3 kOe, yang mengindikasikan adanya kontribusi
diamagnetik. Perilaku diamagnetik ini merupakan sifat intrinsik
karena kontribusi diamagnetik yang berasal dari plastik parafilm dan
kapsul pemungkus sampel telah disubtrak pada semua kurva M(H).
Pada suhu 5 K, kontribusi diamagnetik tidak lagi muncul, tetapi
teramati kenaikan kurva M(H) pada daerah medan magnet tinggi
yang mengindikasikan karakteristik paramagnetik. Kontribusi
diamagnetik teramati pada semua sampel pada suhu ruang. Gambar
5.17 (d) menunjukan kurva M(H) pada rGO-600. Terlihat bahwa dua
fitur magnetik, diamagnetik dan feromagnetik, terdapat dalam rGO-
600. Komponen ferromagnetik berkaitan erat dengan keberadaan
cacat, sedangkan komponen diamagnetik pada sampel rGO
dimungkinkan berasal dari lapisan grafena yang acak. Kontribusi
diamagnetik grafena sangat bergantung pada sudut antara medan
magnet yang diberikan saat pengukuran dan lapisan grafena, dan
akan mencapai minimum ketika sudutnya mendekati 0 atau
keduanya paralel [47].
Gambar 5.18 menampilkan kurva kebergantungan suhu
terhadap suseptibilitas magnetik, (T) = M(T)/H dari serbuk arang
dan rGO-1000 ketika diberikan medan magnet luar berturut-turut
100 Oe dan 10 Oe. Pengukuran dilakukan dalam kondisi
pendinginan tanpa medan magnet (zero field cooling, ZFC) dan
dengan medan magnet (field cooling, FC). Pada serbuk arang, kurva
ZFC dan FC secara bertahap terpisah degan semakin berkurangnya
suhu pengukuran. Kenaikan kedua kurva pada suhu dibawak 20 K
menandakan munculnya kontribusi paramagnetik, sebagaimana
yang diindikasikan pada Gambar 5.17 (c). Pada rGO-1000,
terpisahnya kurva ZFC dan FC telah teramati pada suhu 300 K.
Dengan turunnya suhu pengukuran, kurva FC meningkat secara
perlahan sedangkan kurva ZFC semakin berkurang. Pengurangan
secara progresif dari kurva ZFC diawali pada suhu 120 K. Sebuah
puncak lebar yang lemah teramati pada kurva FC pada suhu 60 K,
119
yang menandakan adanya order magnetik yang statik dibawah suhu
ini. Pemisahan kurva ZFC dan FC pada kurva (T) ini dapat
dikaitkan dengan dua hal. Pertama adalah adanya ketidakteraturan
spin atau momen magnetik yang anisotropi sebagaimana yang
teramati pada sistem magnetik frustrasi, dan yang kedua berkaitan
dengan adanya kluster feromagnetik yang berasal dari cacat.
120
Referensi Bab 5
[1] A. Y. Nugraheni, M. Nashrullah, F. A. Prasetya, F. Astuti,
Darminto: Study on phase, molecular bonding, and bandgap od
reduced graphene oxide prepared by heating coconut shell.
Materials Science Forum 827, 285-289 (2015).
[2] W. Islamiyah, L. Nashirudin, M. A. Baqiya, Y. Cahyono,
Darminto: Sulfuric acid intercalated-mechanical exfoliation of
reduced graphene oxide from old coconut shell. AIP Conf.
Proc.1945 (020054), 1-5 (2018).
[3] B. Wen, M. Cao, M. Lu, W. Cao, H. Shi, J. Liu, X. Wang, H.
Jin, X. Fang, W. Wang, and J. Yuan: Reduced Graphene
Oxides: Light-Weight and High-Efficiency Electromagnetic
Interference Shielding at Elevated Temperatures. Adv. Mater.
26, 3484-3489 (2014).
[4] B. Rajagopalan, J.S. Chung: Reduced chemically modified
graphene oxide for supercapacitor electrode. Nanoscale Res.
Lett. 9, 535 (2014).
[5] H. Liu, G. Zhang, Y. Zhou, M. Gao, F. Yang: One-step
potentiodynamic synthesis of poly(1,5-diaminoanthraquinone)/
reduced graphene oxide nanohybrid with improved
electrocatalytic activity. J. Mater. Chem. A. 1, 13902-13913
(2013). doi:10.1039/C3TA13600K
[6] T.G. Chasteen. 1995. http://www.shsu.edu/chm_tgc/
chemilumdir/JABLONSKI.html, diakses pada tanggal 3 Agustus
2018, pukul 11.50 WIB.
[7] D. Harvey. 2016. https://chem.libretexts.org/Textbook_
Maps/Analytical_Chem-istry/Book%3A_Analytical_ Chemistry
_2.0_(Harvey)/10_Spectroscopic_Methods/10.6%3A_Photolu
minescence_Spectroscopy, diakses pada tanggal 6 Agustus
2018, pukul 10.30 WIB.
[8] X. Sun, Z. Liu, K. Welsher, J.T. Robinson, A. Goodwin, S.
Zaric, and H. Dai: Nano-Graphene Oxide for Cellular Imaging
and Drug Delivery. Nano Res.1(3), 203-212 (2008).
121
[9] Z. Luo, P.M. Vora, E.J. Mele, A.T.C. Johnson and J.M.
Kikkawa: Photomininescence and band gap modulation in
graphene oxide. Applied Physics Letters 94 (111909), 1-3
(2009).
[10] T. Gokus, R. R. Nair, A. Bonetti, M. Böhmler, A. Lombardo,
K. S. Novoselov, A. K. Geim, A. C. Ferrari, amd A. Hartschuh:
Making Graphene Luminescent by Oxygen Plasma Treatment.
ACS Nano 3(12), 3963-3968 (2009).
[11] C.-T. Chien, S.-S. Li, W.-J. Lai, Y.-C. Yeh, H.-A. Chen, I.-S.
Chen, L.-C. Chen, K.-H. Chen, T. Nemoto, S. Isoda, M. Chen,
T. Fujita, G. Eda, H. Yamaguchi, M. Chhowalla, and C.-W.
Chen: Tunable Photoliminescence from Graphene Oxide.
Angew. Chem. Int. Ed. 51, 6662-6666 (2012).
[12] G. Eda, Y.-Y. Lin, C. Mattevi, H. Yamaguchi, H.-A. Chen, I.-
S. Chen, C.-W. Chen, and M. Chhowalla: Blue
Photoluminescence from Chemically Derived Graphene Oxide.
Adv. Mater. 21, 1-5 (2009).
[13] D. Pan, J. Zhang, Z. Li, M. Wu: Hydrothermal route for cutting
graphene sheets into blue-luminescent graphene quantum dots.”
Adv. Mater. 22(6), 734-738 (2010).
[14] L. Ming, Z. Wu, W. Ren, H. Cheng, N. Tang, W. Wu, W.
Zhong, Y. Du: The doping of reduced graphene oxide with
nitrogen and its effect on the quenching of the material’s
photoluminescence. Carbon 50, 5286-5291 (2012).
[15] D. N. Jayanti, A. Y. Nugraheni, Kurniasari, M. A. Baqiya and
Darminto: Photoluminescence of reduced graphene oxide
prepared from old coconut shell with carbonization process at
varying temperatures. IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng.
196(012005), 1-4 (2017).
[16] V. K. Yadav and N. Bhardwaj: Introduction to Supercapacitors
and Supercapacitor Assisted Engine Starting System.
International Journal of Scientific & Engineering Research 4,
issue 8, 583 (2013).
122
[17] R. Kötz and M. Carlen. Principles and applications of
electrochemical capacitors.” Electrochimica Acta 45, issues 15-
16, 2483-2498 (2000).
[18] B.E. Conway: Electrochemical Supercapacitors: Scientific
Fundamentals and Technological Applications.” New York:
Kluwer-Plenum, (1999).
[19] I.-H. Kim and K.B. Kim: Ruthenium Oxide Thin Film
Electrodes for Supercapacitors. Electrochem. Solid-State Lett.
4(5), A62-A64 (2001).
[20] M. Mastragostino, C. Arbizzani, F. Soavi. Polymer-based
Supercapacitors. J. Power Sources 97, 812-815 (2001).
[21] Jia Ma, Tao Xue, and Xue Qin: Sugar-derived
Carbon/Graphene Composite Materials as Electrodes for
Supercapacitors. Electrochimica Acta 115, 566-572 (2014).
[22] Minh-Hai Tran and Hae-Kyung Jeong: One-pot Synthesis of
Graphene/Glucose/Nickel Oxide Composite for the
Supercapacitor Application. Electrochimica Acta 180, 679-689
(2015).
[23] G. B. A. Putra, H. Y. Pradana, D. E. T. Soenaryo, M. A. Baqiya
and Darminto: Synthesis of green Fe 3+/glukosa/rGO electrode
for supercapacitor application assisted by chemical exfoliation
process from burning coconut shell. AIP Conf. Proc. 1945,
020040 (2018). doi: 10.1063/1.5030262.
[24] N. Elgrishi, K. J. Rountree, B. D. McCarthy, E. S. Rountree, T.
T. Eisenhart, and J. L. Dempsey: A Practical Beginner’s Guide
to Cyclic Voltammetry. J. Chem. Educ. 95, 197-206 (2018).
[25] B. Wen, M. Cao, M. Lu, W. Cao, H. Shi, J. Liu, X. Wang, H.
Jin, X. Fang, W. Wang, and J. Yuan: Reduced Graphene
Oxides: Light-Weight and High-Efficiency Electromagnetic
Interference Shielding at Elevated Temperatures. Adv. Mater.
26, 3484-3489 (2014).
[26] R. Sorrentino and Bianchi, Giovanni (2010) Microwave and
RF Engineering, John Wiley & Sons, p. 4, ISBN 047066021X.
diakses pada tanggal 27 Agustus 2018 pukul 17.11 WIB.
123
[27] K. Gaylor: Radar Absorbing Materials – Mechanism and
Materials. Australia: DSTO Materials Research Laboratory
(1989).
[28] Z. Durmus, D. Ali, K. Huyesin: Synthesis and Characterization
of Structural and Magnetic Properties of Graphene/Hard Ferrite
Nanocomposites as Microwave Absorbing Material. New York:
Springer Science, (2015). doi: 10.1007/s10853-014-8676-3.
[29] M. Cao, C. Han, X. Wang, M. Zhang, Y. Zhang, J. Shu, H.
Yang, X. Fang, and J. Yuan: Graphene nanohybrids: excellent
electromagnetic properties for the absorbing and shielding of
electromagnetic waves.” J. Mater. Chem. C 6, 4586-4602
(2018).
[30] C. Wang, X. J. Han, et al.: The electromagnetic property of
chemically reduced graphene oxide and its application as
microwave absorbing material. China: Department oof
Chemistry Laboratory Center, Harbin Institute of Technology
(2011).
[31] J. Ma, X. Wang, W. Cao, C. Han, H. Yang, J. Yuan, M. Cao: A
facile fabrication and highly tunable microwave absorption of
3D flower-like Co3O4-rGO hybrid-architectures. Chemical
Engineering Journal 339, 487-498 (2018).
[32] Y. Zhang, X. Wang, and M. Cao: Confinedly implanted
NiFe2O4-rGO: Cluster tailoring and highly tunable
electromagnetic properties for selective-frequency microwave
absorption. Nano Research 11(3), 1426-1436 (2018).
[33] J. Tuček, P. Błoński, J. Ugolotti, A. K. Swain, T. Enoki, and R.
Zbořil: Emerging chemical strategeis for imprinting magnetism
in graphene and related 2D materials for spintronic and
biomedical applications. Chem. Soc. Rev. 47, 3899-3990
(2018).
[34] D. Soriano, F. Muñoz-Rojas, J. Fernández-Rossier, J.J.
Palacios: Hydrogenated graphene nanoribbons for spintronics.
Phys. Rev. B 81, 165409 (2010).
124
[35] J. Zhou, Q. Wang, Q. Sun, X.S. Chen, Y. Kawazoe, P. Jena:
Ferromagnetism in semihydrogenated graphene sheet. Nano
Lett. 9(11), 3867-3870 (2009).
[36] O. V. Yazyev: Magnetism in disordered graphene and irradiated
graphite. Phys. Rev. Lett. 101(3), 037203 (2008).
[37] O. V. Yazyev and L. Helm: Defect-induced magnetism in
graphene. Phys. Rev. B, Condens. Matter 75(12), 125408
(2007).
[38] M. Sepioni, et al.: Limits on intrinsic magnetism in graphene.
Phys. Rev. Lett. 105(20), 207205 (2010).
[39] Y. Wang, et al.: Room-temperature ferromagnetism of
graphene. Nano Lett. 9(1), 220-224 (2009).
[40] H.S.S.R. Matte, K. S. Subrahmanyam, and C. N. R. Rao: Novel
magnetic properties of graphene: Presence of both
ferromagnetic and antiferromagnetic features and other aspects.
J. Phys. Chem. C 113(23), 9982-9985 (2009).
[41] L. Xie, et al.: Room temperature ferromagnetism in partially
hydrogenated epitaxial graphene. Appl. Phys. Lett. 98(19),
193113 (2011).
[42] S. K. Sarkar, K. K. Raul, S. S. Pradhan, S. Basu, and A. Nayak.:
Magnetic properties of graphite oxide and reduced graphene
oxide. Phys. E, Low-Dimensional Syst. Nanostruct. 64, 78-82
(2014).
[43] S. Qin, X. Guo, Y. Cao, Z. Ni, and Q. Xu: Strong
ferromagnetism of reduced graphene oxide. Carbon 78, 559-
565 (2014).
[44] G. Khurana, N. Kumar, R. K. Kotnala, T. Nautiyal, and R. S.
Katiyar: Temperature tuned defect induced magnetism in
reduced graphene oxide. Nanoscale 5(8), 3346–3351 (2013).
[45] Kurniasari, et al.: Defect and magnetic properties of reduced
graphene oxide prepared from old coconut shell. Proc. IOP
Conf. Mater, Sci. Eng.196, 012021 (2017).
[46] Darminto, R. Asih, Kurniasari, M. A. Baqiya, S. Mustofa,
Suasmoro, T. Kawamata, M. Kato, I. Watanabe, Y Koike:
125
Enhanced magnetism by temperature induced defects in
reduced graphene oxide prepared from coconut shells. IEEE
Transactions on Magnetics 54(10), 1-5 (2018). doi:
10/1109/TMAG.2018.2864946.
[47] P. Esquinazi, et al.: Ferromagnetism in oriented graphite
samples. Phys. Rev. B, Condens. Matter 66(2), 024429 (2002).
126
View publication stats