Teori Bangunan Kapal
Teori Bangunan Kapal
Buku acuan:
V. V. Semyonov-Tyan-Shansky, “Statics and Dynamics of the Ship”, Peace Publishers, Moscow, 196?
R. F. Scheltema de Heere, A. R. Bakker, “Bouyancy and Stability of Ships”, George G. Harrap & Co.
Ltd., London, 1970
K. J. Rawson & E. C. Tupper, “Basic Ship Theory”, 5th Ed. Vol. 1, Butterworth-Heinemann, Oxford,
2001. Ada soal-soal untuk latihan.
Edward V. Lewis, Ed., “Principles of Naval Architecture”, Second Revision, Vol. I – Stability and
Strength, the Society of Naval Architects and Marine Engineers (SNAME), Jersey City, NJ, 1988.
“Code on Intact Stability for All Types of Ships Covered by IMO Instruments”, 2002 edition, IMO,
London, 2002
“International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974, and 1988 Protocol relating there to”,
Consolidated Edition, IMO, London, 2001
0. Nama bagian badan kapal (hull)
Bangunan Atas
Sekat blk. Sisi Sekat dpn Sekat blk. Sisi Sekat dpn
Geladak
Geladak Utama
Sekat
Ceruk Sekat Depan
buritan Kamar Mesin
Sekat
Ruang Muat Sekat
Ceruk
Haluan
Alas Dalam
Alas
Lambung Kanan
3
Kapal: suatu bangunan berdinding tipis, bukan benda pejal
lambung (shell)
o alas (bottom)
o sisi (side)
alas (bottom)
o alas tunggal (single bottom)
o alas dalam (inner bottom)
o alas ganda, dasar ganda (double bottom)
sisi (side)
sekat (bulkhead)
o sekat tubrukan (collision bulkhead)
o sekat ceruk buritan (after peak bulkhead)
o sekat kamar mesin (engine room bulkhead)
o dan sebagainya
geladak (deck)
o geladak utama (main deck)
o geladak antara (tween deck)
o geladak cuaca (weather deck)
palkah (hold) dibatasi oleh 2 sekat, 2 sisi, alas dan geladak: ruangan untuk muatan
Ruang Mesin (engine room) dibatasi oleh 2 sekat, 2 sisi, alas dan geladak: ruangan untuk permesinan
lubang palkah (hatchway)
o ambang palkah (hatchway coaming)
bangunan atas (superstructure)
o akil, agil (forecastle)
o anjungan (bridge)
o kimbul (poop)
bagian bangunan atas
o geladak bangunan atas (superstructure deck)
o sisi bangunan atas (sides of superstructure)
o sekat ujung bangunan atas (end bulkheads of superstructure)
rumah geladak (deckhouse)
o geladak sekoci (boat deck)
o geladak navigasi (navigation deck, bridge deck)
o geladak kompas (compass deck)
o dan sebagainya
bagian rumah geladak
o geladak rumah geladak (deck of a deckhouse)
o sisi rumah geladak (sides of a deckhouse)
o sekat ujung rumah geladak (end bulkheads of a deckhouse)
ceruk (peak)
o ceruk buritan (after peak)
o ceruk haluan (fore peak)
Konstruksi sisi
gading (frame)
gading besar (web frame)
senta sisi (side stringer)
Konstruksi geladak
balok geladak (deck beam)
balok besar geladak (strong beam)
cantilever
penumpu geladak (deck girder)
balok ujung palkah (hatch end beam)
ambang palkah (hatchway)
Jika kita ingin menyebutkan letak suatu titik dalam bidang secara teliti, kita membutuhkan 2 garis acuan
yang biasanya disebut system koordinat. Kita sebutkan jarak titik ke sumbu X (yang menjadi harga y) dan
jarak titik tersebut ke sumbu Y (yang menjadi harga x). Misalnya kita punya suatu segitiga dengan titik-titik
sudutnya adalah titik A (0,0), titik B (10,2) dan titik C(4,6) dan gambarnya adalah sebagai berikut:
Y
C(4,6)
B(10,2)
A(0,0) X
GAMBAR segitiga
Siapapun yang menggambar mengikuti koordinat yang diberikan di atas, akan menghasilkan gambar segitiga
yang sama.
Untuk menyebutkan letak suatu titik dalam ruang, kita membutuhkan 3 bidang acuan yang membentuk
sistem koordinat XYZ. Jarak titik ke bidang YOZ menjadi harga x, jarak titik ke bidang XOZ menjadi harga
y dan jarak titik ke bidang XOY menjadi harga z. Karena kita hanya dapat menggambar pada bidang datar,
maka sistem sumbu 3 dimensi kita gambar dalam bentuk tampak depan: yang digambar hanya koordinat x
dan y, tampak samping: yang digambar hanya koordinat x dan z, tampak atas yang digambar hanya
koordinat y dan z.
Misalkan kita pilih sumbu X ke arah memanjang benda, sumbu Y ke arah kiri dan sumbu Z ke arah atas.
Suatu benda dibatasi oleh titik-titik berikut ini:
Titik A (0,-10,10), titik B(0,10,10), titik C(0,-8,2), titik D(0,8,2), titik E(0,0,0).
Titik A’(10,-7,10), titik B’(10,7,10), titik C’(10,-5.3,4.6), titik D’(10,5.3,4.6), titik E’(10,0,3)
Benda dibatasi oleh bidang AA’B’BA, bidang AA’C’CA, bidang CC’E’EC, bidang EE’D’DE, bidang
BB’D’DB, bidang ACEDBA, bidang A’C’E’D’B’A’. Gambar ketiga pandangan adalah sebagai berikut:
Kapal adalah benda 3 dimensi yang dibatasi oleh bidang datar maupun bidang lengkung. Maka cara di atas
tidak sepenuhnya dapat dipakai. Untuk menggambarkan kelengkungan bidang, harus dipakai penampang-
penampang sehingga bentuk garis lengkung dapat dinyatakan lebih jelas. Penampang-penampang ini dibuat
sejajar dengan system sumbu koordinat, jadi ada penampang-penampang yang dibuat sejajar bidang XOY,
penampang-penampang ini disebut bidang air atau waterplane, ada juga yang sejajar bidang YOZ dan
disebut station dan yang sejajar bidang XOZ yang disebut buttock plane.
GAMBAR Lines Plan
Bentuk badan kapal dalam proyeksi
bidang dasar (base line) BL
bidang tengah bujur (centerline) CL
garis tegak belakang (after perpendicular) AP
garis tegak depan (forward perpendicular) FP
bidang tengah lintang (amidships) ⊗
body plan – pandangan depan-belakang
o station
o gading (frame)
o deck side line
o kubu-kubu (bulwark)
GAMBAR amidships
amidships
o flat of keel, half siding
o rise of floor, deadrise
o bilga (bilge)
o jari-jari bilga (bilge radius)
o tumblehome
o flare
o lengkung lintang geladak (camber, round of beam)
GAMBAR waterlines
waterlines plan – pandangan atas
o garis air (waterline)
o parallel middle body
o run
o entrance
o deck side line
o kubu-kubu (bulwark)
sheer plan – pandangan samping
o buttock lines
o lengkung bujur geladak (sheer)
o deck center line
o deck side line
o kubu-kubu (bulwark)
Gambar di atas disebut Rencana Garis (Lines Plan) suatu kapal
Kedudukan kapal
sarat rata (even keel) >< trim
tegak (upright) >< oleng (heel)
1a. Perhitungan dan kurva hidrostatik (hydrostatic curves and
calculations) – Bagian I
Semua koefisien, luas, titik berat luasan, volume, titik berat volume dan lain-lain berubah harganya menurut
sarat kapal. Padahal harga-harga tersebut dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Maka dibuat suatu diagram
yang menunjukkan harga-harga tersebut sebagai fungsi sarat: kurva hidrostatik.
Sistem sumbu:
z
y
GAMBAR sistem sumbu
sumbu X pada perpotongan bidang dasar dengan bidang tengah bujur, positif ke arah haluan kapal
sumbu Y pada perpotongan bidang dasar dengan bidang tengah lintang, positif ke arah lambung kiri
sumbu Z pada perpotongan bidang tengah bujur dengan bidang tengah lintang, positif ke arah atas
Kedudukan kapal: tidak trim, tidak oleng.
1. Luas garis air WPA
2. titik berat garis air LCF
3. TPC
4. WSA
5. Volume kulit
6. Luas gading besar
7. Kurva Bonjean
8. displasemen moulded (volume)
9. displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air tawar)
10. displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air laut)
11. tinggi titik apung KB
12. letak memanjang titik apung LCB
13. Koefisien blok
14. koefisien prismatic
15. Koefisien prismatic
16. koefisien gading besar
17. LBM
18. TBM
19. MTC
20. DDT
luas garis air (waterplane area)
A WL=2 ∫ ydx
LWL
dengan y = setengah lebar garis air. Satuan: m2
momen statis garis air terhadap bidang tengah lintang (midships)
M WY =2 ∫ xydx
LWL
dengan x = lengan terhadap sumbu Y. Satuan: m3
titik berat garis air terhadap bidang tengah lintang (center of flotation)
M WY
LCF , x F =
A WL
LCF berharga positif jika letaknya di depan midships. Bentuk lain: MWY = LCF.AWL.
Satuan: m
ton (force) per centimeter immersion
AWL× ρg
TPC=
100
dengan ρ = massa jenis air (tawar atau laut) dan g = percepatan gravitasi. Satuan: N/cm
GAMBAR
Contoh soal
Hitung segitiga, trapezium, setengah lingkaran dll.
luas permukaan basah (wetted surface area)
WSA=2 ∫ hG dx
LWL
dengan hG = half girth. Satuan: m2
volume kulit (shell displacement)
V sh=2 ∫ hG tdx
LWL
dengan t = tebal pelat kulit. Satuan: m3
GAMBAR
Contoh soal
luas gading besar (midship area)
WL
A M =2 ∫ ydz
0
Satuan: m2
kurva luas station atau kurva Bonjean (Bonjean curves)
WL
A ST =2 ∫ ydz
0
Satuan: m2
GAMBAR Bonjean
Contoh soal
displasemen (volume) moulded (moulded displacement)
WL
∇= ∫ A WL dz= ∫ A ST dx
0 LWL
3
Satuan: m . Sebaliknya
d∇ d∇
A WL= A ST =
dz
dan dx
displasemen (volume) total (displacement including shell)
∇ TOT =∇+V SH
3
Satuan: m
displasemen (gaya) total di air tawar (total displacement in fresh water)
Δ FW =∇ TOT ρFW g
dengan ρFW = massa jenis air tawar. Satuan kN atau MN.
displasemen (gaya) total di air laut (total displacement in salt water)
Δ SW =∇ TOT ρ SW g
dengan ρSW = massa jenis air laut. Satuan kN atau MN.
cadangan gaya apung (reserve buoyancy): tambahan muatan atau air yang akan menyebabkan kapal
tepat tenggelam. Jika volume badan kapal di atas garis air sampai geladak dikalikan massa jenis dan
percepatan gravitasi, hasilnya adalah cadangan gaya apung.
GAMBAR
Contoh soal
momen statis volume terhadap bidang dasar
WL
M ∇ X = ∫ zA WL dz
0
dengan z = lengan terhadap bidang dasar. Satuan: m4
tinggi titik apung (vertical center of buoyancy)
M
VCB , KB , z B = ∇ X
∇
Satuan: m.
Bentuk lain:
M ∇ X =∇ . KB . Jika KB kita turunkan terhadap z, kita dapat:
dKB dz B 1 dM ∇ X d∇ A
dz
= =
dz ∇ dz( −z B
dz ∇ )
= WL ( z−z B )
Harga ini tidak mungkin nol, karena zB selalu kurang dari z. Jadi tidak ada harga ekstrem.
momen statis volume terhadap bidang tengah lintang
WL
M ∇ Y = ∫ xA ST dx= ∫ M WY dz
LWL 0
dengan x = lengan terhadap bidang tengah lintang. Satuan: m4
letak memanjang titik apung (longitudinal centre of buoyancy)
M
LCB , x B = ∇ Y
∇
LCB berharga positif jika terletak di depan midships. Satuan: m.
Jika LCB diturunkan terhadap z, kita peroleh
dLCB dx B 1 dM ∇ Y d∇ A WL
dz
=
dz ∇
=
dz( −x B
dz
=
∇ ) ( x F −x B )
Harga ekstrem terjadi jika turunan ini berharga 0, yaitu jika xF – xB = 0.
d∇
dz=
Mengingat bahwa AWL maka turunan di atas dapat ditulis sebagai
dx B 1
= ( x −x )
d∇ ∇ F B
Kapal dengan panjang L = 50 m, lebar B = 10 m dan sarat T = 5 m dengan bentuk seperti pada gambar di
atas. Hitunglah pada sarat 2m dan 5m:
Luas garis air WPA titik berat garis air LCF TPC
WSA Volume kulit Luas gading besar
Kurva Bonjean displasemen moulded (volume)
displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air tawar)
displasemen moulded ditambah displasemen kulit (volume & gaya di air laut)
tinggi titik apung KB letak memanjang titik apung LCB Koefisien blok
koefisien prismatic Koefisien prismatic koefisien gading besar
1
trapesium II: A 1 = 2 h( y 1 + y 2 )
1 1
Jumlah A= h( 2 y 0 + y 1 + 2 y 2 )
Jika dipakai banyak trapesium dengan jarak ordinat
h yang sama untuk semua trapesium:
1 1
A=h( 2 y 0 + y 1 + y 2 +. ..+ 2 y N )
Rumus Simpson I atau rumus 3 ordinat: garis lengkung didekati dengan beberapa potongan parabola
dengan bentuk persamaan y = ax2 + bx + c. Tiap potongan parabola mencakup 3 titik pada garis
lengkung.
Untuk mudahnya diambil x0 = -h, x1 = 0 dan x2 =
h. Maka y0 = ax02 + bx0 + c = ah2 – bh + c dan
seterusnya.
h
A= ∫ (ax 2 +bx +c )dx=
−h
1 3 1 2 h 2
ax + bx +cx|−h = ah 3 +2 ch
3 2 3
Misalkan luas dapat dinyatakan sebagai A = Ly0 +
My1 + Ny2. Masukkan harga y0, y1 dan y2:
A=L( ah2 −bh+c )+Mc+N (ah 2 +bh+c )=
ah 2 ( L+N )+bh(−L+N )+c ( L+M+ N )
Kedua luas ini harus sama besar, sehingga didapat
3 persamaan berikut:
2 2
h2 (L+ N )= h 3 → L+ N= h
o koefisien untuk a: 3 3
o koefisien untuk b: h(−L+N )=0→−L+ N =0
o koefisien untuk c: L+ M + N =2 h
1 4 1
L= h , M = h , N= h
Dari 3 persamaan ini didapat 3 3 3
Jika hanya dipakai 1 parabola dengan jarak ordinat h, luas parabola A menjadi
1
A= h( y 0 +4 y 1 + y 2 )
3
Jika hanya dipakai 2 parabola dengan jarak ordinat h yang sama, jumlah luas parabola A menjadi
1
A 0 = h( y 0 +4 y 1 + y 2 )
parabola I: 3
1
A 1 = h( y 2 +4 y 3 + y 4 )
parabola II: 3
1
A= h( y 0 + 4 y 1 +2 y 2 + 4 y 3 + y 4 )
Jumlah 3
Jika dipakai banyak parabola dengan jarak ordinat h yang sama untuk semua parabola:
1
A= h( y 0 +4 y 1 +2 y 2 +4 y 3 +.. .+4 y n−1 + y n )
3
Rumus Simpson II atau rumus 4 ordinat: garis lengkung didekati dengan beberapa potongan
polinom pangkat 3 dengan bentuk persamaan y = ax3 + bx2 + cx + d. Tiap potongan parabola
mencakup 4 titik pada garis lengkung.
Jika hanya dipakai 1 polinom pangkat 3 dengan
jarak ordinat h, luas polinom A menjadi
3
A= h( y 0 + 3 y 1 + 3 y 2 + y 3 )
8
Jika hanya dipakai 2 polinom pangkat 3 dengan
jarak ordinat h yang sama, jumlah luas polinom
A menjadi
3
A 0 = h ( y 0 +3 y 1 +3 y 2 + y 3 )
polinom I: 8
3
A 1 = h( y 3 +3 y 4 + 3 y5 + y 6 )
polinom II: 8
Jumlah
3
A= h( y 0 +3 y 1 +3 y 2 +2 y 3 +3 y 4 +3 y 5 + y 6 )
8
Dalam rumus-rumus di atas, dihitung luas gambar yang dibatasi oleh kurva, sumbu koordinat dan
ordinat-ordinat ujung. Jika ingin dihitung luas gambar bagian kiri atau kanan saja, maka kita pakai
Rumus Simpson III atau rumus 5,8 minus 1: garis lengkung didekati dengan sebuah potongan
parabola dengan bentuk persamaan y = ax2 + bx + c. Parabola mencakup 3 titik pada garis lengkung.
GAMBAR
1
A KIRI = h(5 y 0 +8 y 1 − y 2 )
Luas bagian kiri saja adalah 12
1
A KANAN = h (− y 0 +8 y 1 +5 y 2 )
Luas bagian kanan saja adalah 12
Rumus Newton-Cotes
Rumus Tchebycheff
Rumus Gauss
CONTOH SOAL
Kapal dengan panjang L = 50 m, lebar B = 10 m dan sarat T = 5 m dengan bentuk seperti pada gambar di
atas.
Pendahuluan
Pada waktu bongkar muat maupun pada waktu berlayar, kapal selalu mendapat gaya-gaya baik dari muatan
yang sedang dibongkar-muat maupun dari benda dan alam sekitarnya: ombak, arus, angin, tumbukan dengan
dermaga, kapal lain atau kandas. Gaya-gaya ini menyebabkan kapal mengalami oleng dan gerakan-gerakan
lain. Dalam cuaca buruk, gaya-gaya ini akan menjadi semakin besar dan akan menyebabkan oleng dan
gerakan lain yang besar dan cepat, bahkan dapat menyebabkan kapal terbalik. Jadi kita perlu tahu
kemampuan kapal menghadapi gaya-gaya tersebut dan kemungkinan kapal terbalik.
dx dx dx
Sistem sumbu yang dipakai: sumbu X pos ea rah haluan kapal, sumbu Y pos ea rah kanan (starboard)
kapal dan sumbu Z pos ea rah atas.
z z
y
Gambar Derajat bebas kapal terapung
Suatu kapal yang terapung bebas mempunyai 6 derajat bebas, yaitu 3 translasi ke arah sumbu X, Y dan Z
serta 3 rotasi, memutari sumbu // sumbu X, Y dan Z.
Gerakan translasi ke arah sumbu Z (vertikal) atau heave: keseimbangan stabil
Gerakan translasi ke arah sumbu X dan Y (horisontal) atau surge dan sway: keseimbangan netral atau
indiferen
Gerakan rotasi memutari sumbu // sumbu Z (vertikal) atau yaw: keseimbangan netral atau indiferen
Gerakan rotasi memutari sumbu // sumbu X dan Y atau heel dan pitch: tidak tentu, mungkin
keseimbangan stabil, labil atau netral.
Jadi yang perlu dibahas adalah gerakan rotasi memutari sumbu // sumbu X dan Y saja, karena keadaan
keseimbangannya tidak tertentu.
Karena suatu sebab, tongkang ini oleng sebesar 5 derajat = 0.087266 radian. Karena tidak ada perubahan
pada berat tongkang dan muatannya, maka gaya apung juga tidak berubah, berarti volume displasemen akan
tetap. Gambar penampang melintangnya sekarang menjadi:
GAMBAR
Dari gambar dapat kita hitung bahwa luas penampang dalam air adalah A=0. 5 B (T KIRI +T KIRI + B tan θ ) ,
sedang luas semula A = B.T, sehingga supaya luasnya tetap:
sarat kiri adalah
B
T KIRI =T − tan θ
2
dan sarat kanan adalah
B
T KANAN =T + tanθ
2
Setelah harga T, B dan tan θ dimasukkan, didapat TKIRI = 4.5626 m dan TKANAN = 5.4374 m.
Demikian juga titik apung berpindah tempat, sehingga sekarang koordinatnya adalah:
B(T KIRI +2T KANAN ) B(3T +0 . 5 B tanθ )
y B= =
dihitung dari sisi kiri 3(T KIRI +T KANAN ) 3T
B(T KANAN −T KIRI )
y B=
dihitung dari CL 6(T KIRI +T KANAN )
dan
2
B
T 2KIRI +T KIRI . T KANAN +T 2KANAN 3T 2 + tan2 θ
4
z B= =
dihitung dari alas 3 (T KIRI +T KANAN ) 3T
Setelah T, B dan tan θ dimasukkan, didapat yB = 0.145814 m dihitung dari CL dan zB = 2.506379 m.
Dalam keadaan ini, arah gaya berat maupun gaya apung tidak lagi sejajar CL, tetapi berubah, yaitu tegak
lurus muka air, sehingga kedua gaya ini membentuk momen kopel. Untuk menghitung lengan momen kopel
ini, sumbu koordinat kita putar sebesar 5 derajat = 0.087266 radian, sehingga koordinat baru titik berat
menjadi:
y GB = y GL cosθ+z GL sinθ
dan
z GB=− y GL sin θ+z GL cos θ
Koordinat titik apung menjadi:
y BB = y BL cos θ+ z BL sin θ
dan
z BB =− y BL sin θ+z BL cos θ
GAMBAR
Setelah harga-harga dimasukkan, didapat koordinat titik berat setelah sumbu diputar sebesar
yGB = 0.348623 m dan zGB = 3.984779 m
yBB = 0.363705 m dan zBB = 2.484132 m.
Dari gambar terlihat bahwa lengan kopel sama dengan selisih yGB dan yBB sebesar 0.015082 m, dan juga gaya
berat ada di sebelah kiri dan gaya apung ada di sebelah kanan, berarti momen kopel yang ada akan memutar
kapal kembali ke kedudukan tegak.
Jadi kuncinya adalah mengetahui letak titik apung dalam keadaan oleng.
Bagaimana kalau lebar kapal kita rubah, sedang ukuran yang lain tetap?
Misalkan lebar kapal dirubah menjadi 9 m. Dengan cara seperti di atas, kita dapatkan
TKIRI = 4.606301 m dan TKANAN = 5.393699 m. Selanjutnya yB = 0.11811 m dan zB = 2.505167 m.
Kemudian sumbu koordinat kita putar sehingga koordinat titik apung dan titik berat menjadi:
yBB = 0.336 m dan zBB = 2.48534 m
yGB = 0.348623 m dan zGB = 3.984779 m. Maka lengan kopel menjadi -0.01262 m, dan momen kopel tidak
mengembalikan kapal ke kedudukan semula.
Oleng kecil dengan displasemen tetap
Suatu kapal yang berlayar di laut akan mengalami oleng. Kita lihat suatu keadaan oleng tetapi tanpa trim.
Karena tidak ada perubahan muatan, maka oleng terjadi pada displasemen tetap. Kapan oleng terjadi pada
displasemen tetap? Jika volume baji masuk sama dengan baji keluar.
yk
yk tanø Am WL1
Ak ø
ym ym tanø dx
WL
GAMBAR 2
(1) m k v =v
Untuk kapal berdinding tegak, dari segitiga keluar kita dapat
1
dv k = 2
y k⋅y k tan θ dx
sehingga
L
2
1
vk = ∫ 2
y k ¿ y k tan θ dx
−L
2
dan
v k =M Sk tanθ
v k =v m →M Sk tanθ=M Sm tanθ
dan setelah tan θ dicoret, kita dapatkan
(4) Sk M =M
Sm
Jadi volume baji masuk sama dengan volume baji keluar berarti juga momen statis bagian garis air keluar
terhadap sumbu X sama dengan momen statis bagian garis air masuk terhadap sumbu X.
Ini berarti bahwa
jika kapal oleng sedemikian sehingga garis potong dua garis air tersebut melalui titik berat garis air
tegak dan oleng, maka displasemennya tetap
atau
supaya displasemennya tetap, kapal harus oleng sedemikian sehingga garis potong kedua garis air
harus melalui titik berat garis-garis air tersebut.
yk
2 ym
/3
WL1
2 yk
/3
ym WL
GAMBAR 4
Jadi dalam hal kapal oleng tadi, titik berat baji keluar bergerak ke titik berat baji masuk, maka titik apung
kapal akan bergerak sejajar arah gerak tersebut. Besar perubahan momen terhadap sumbu X akibat
v
pergerakan titik berat baji adalah volume baji k kali jarak pergerakan titik berat baji 0 1 . Besar
gg
perubahan momen terhadap sumbu X akibat pergerakan titik apung kapal adalah volume kapal V kali
BB
jarak pergerakan titik apung kapal 0 1 . Perubahan momen akibat baji dan perubahan momen akibat
pergerakan titik apung harus sama besar, jadi
v k g 0 g1 =VB0 B1
sehingga
vk
B 0 B 1= g0 g1
(5) V
( g 0 g1 ) y =2 3 ( y k + y m ) v k didapat
Dari gambar untuk komponen gerakan ke arah Y kita lihat bahwa dan
dari rumus di atas, sehingga
L L
2 2
2 1 2 3
v k ( g0 g1 ) y = 3 2 y k tan θ ∫ y ¿ y k dx=
2 k
tan θ ∫ y k dx =I xx tan θ
−L 3 −L
2 2
(13)
I =2 ∫ x 2 ydx
yy
Sumbu acuan untuk momen inersia ini biasanya tidak melewati titik berat garis air, sehingga syarat garis
potong melalui titik berat biasanya tidak dipenuhi. Momen inersia terhadap sumbu yang melalui titik berat
dan // sumbu Y bisa didapat dengan rumus pergeseran sumbu
(14) I yF =I yy − y 2F AWL
dengan
A WL= luas garis air
y F = jarak titik berat garis air dari sumbu acuan Y
y
y θ=
Untuk garis air oleng dengan sudut θ tanpa trim cos θ sehingga
y3 I xx
I xθ =2 3 ∫ y 3θ dx =2 3 ∫ dx=
cos 3 θ cos3 θ
I xx
I xθ =
(15) cos3 θ
y I yy
I yθ=2∫ x 2 y θ dx=2∫ x 2 dx=
cos θ cos θ
I yy
I yθ=
(16) cos θ
dan
I yy A
I yF θ = − y 2F WL
(17) cos θ cosθ
Metasenter dan jari-jari metasenter
Jika garis kerja gaya apung pada keadaan tegak dan garis kerja gaya apung dalam keadaan miring
dilanjutkan, keduanya akan berpotongan di suatu titik. Titik potong ini kita beri nama M, singkatan dari
metasenter.
M
G
WL1
θ
WL
B0
Bθ
GAMBAR 4
I xx
Δy B = θ
Kita lihat segitiga MB0B1. Komponen datar dari B0B1 adalah V dan jika dianggap segitiga
MB0B1 adalah segitiga siku-siku, maka kita dapat
B 0 B 1= Δy B =MB0 sin θ=MB 0 θ , berarti
I xx
MB0 =r T =
(18) V
Dari rumus ini kita lihat bahwa MB0 bukan fungsi θ, berarti untuk sudut kecil, MB0 tetap harganya, jadi titik
M tidak berpindah. MB0 yang tetap besarnya ini diberi nama jari-jari metasenter. Untuk gerak oleng, harga
ini disebut jari-jari metasenter melintang dan besarnya menurut rumus di atas, sedang untuk gerak angguk
atau trim, besarnya jari-jari metasenter adalah
I yF
M L B 0 =r L=
(19) V
dan disebut jari-jari metasenter memanjang. Baik jari-jari metasenter melintang maupun memanjang selalu
berharga positif.
Karena panjang kapal beberapa kali lebih besar dari lebarnya, maka IyF banyak lebih besar dari Ixx sehingga
MLB0 juga banyak lebih besar dari MB0.
Momen penegak
Pada waktu kapal tegak, garis kerja gaya berat dan gaya apung berimpit dan berada pada CL kapal dan
kapal dalam keadaan seimbang atau diam. Pada waktu kapal oleng, jika tidak ada muatan yang bergeser
atau muatan cair, maka titik berat kapal tidak bergeser. Sebaliknya, dari pembahasan di atas, jelas bahwa
titik apung akan bergeser. Ini berarti ada sepasang gaya sama besar (gaya berat dan gaya apung) yang
membentuk kopel dan kopel ini disebut momen penegak (righting moment), karena seharusnya akan
menegakkan kapal kembali.
Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi:
θ V
V
θ
θ V
GAMBAR 5
Yang kita inginkan tentu saja Kasus 1, sedang yang lain kita hindari.
ZG
B0 WL
Bθ
zB V
GAMBAR 6
atau tinggi metasenter sama dengan tinggi titik M di atas lunas dikurangi tinggi titik berat
MG=KM −KG=z M −z G
atau tinggi metasenter sama dengan jari-jari metasenter dikurangi tinggi titik berat di atas titik apung
(21) MG=MB−BG=r T −a
dengan a = BG = KG – KB.
Rumus analitis untuk menghitung koordinat titik apung dan titik metasenter
Kita lihat suatu kapal dengan displasemen V dalam keadaan oleng dengan sudut oleng θ1. Diketahui pula
koordinat titik apung xB, yB, dan zB dan koordinat metasenter xM, yM, dan zM.
Kemudian sudut oleng ditambah dengan dθ menjadi θ1+dθ. Dari yang lalu, kita dapat:
perubahan momen statis akibat pergeseran titik berat baji ke arah X adalah displasemen V dikalikan
perubahan titik apung ke arah X:
I yF θ
ΔM yz=V ( V )
dθ =I yF θ dθ
perubahan momen statis akibat pergeseran titik berat baji ke arah Y adalah displasemen V dikalikan
komponen datar perubahan titik apung dalam bidang YOZ:
I xθ
ΔM xz =V ( )
V
dθ cos θ=I xθ cos θdθ
perubahan momen statis akibat pergeseran titik berat baji ke arah Z adalah displasemen V dikalikan
komponen tegak perubahan titik apung dalam bidang YOZ:
I xθ
ΔM xy =V ( V dθ) sin θ=I xθ sinθdθ
Vx B + I yF θ dθ I yF θ
x Bθ= =x B + dθ
V V
Vy B + I xθ dθ I xθ
y Bθ = = y B+ cos θdθ
V V
Vz B + I xθ dθ I xθ
z Bθ= =z B + sin θdθ
V V
Dengan demikian jika kapal oleng dari sudut θ1 sampai sudut θ2, maka koordinat titik apung dapat diperoleh
dengan
θ2 θ2 θ2
I yF θ I xθ I xθ
x B 2 =x B 1 +∫ dθ y B 2 = y B 1 +∫ cos θdθ z B 2 =z B 1 +∫ sin θdθ
θ V θ V θ V
1 1 1
I xθ
Harga V kita sebut rTθ yaitu jari-jari metasenter melintang pada sudut θ
I
r Tθ = xθ
(24) V
I yF θ
sedang V kita sebut rLθ yaitu jari-jari metasenter memanjang pada sudut θ. Dengan demikian rumus-
rumus di atas akan menjadi
θ2
x B 2 =x B 1 +∫ r Lθ dθ
θ1
(25)
θ2
y B 2 = y B 1 +∫ r Tθ cos θdθ
θ1
(26)
θ2
z B 2 =z B 1 +∫ r Tθ sin θdθ
θ1
(27)
Rumus-rumus di atas dapat kita turunkan secara geometris murni. Kita lihat kapal oleng sebesar φ, lalu
ditambah lagi sebesar dφ.
z
ym Mφ
φ
dφ
WL
rφ
Zm
B2
E
B0 B1
zB2
zBo zB1
K
y
GAMBAR 7
Diketahui koordinat titik apung pada keadaan tegak sebesar (yB0, zB0) dan keadaan oleng dengan sudut φ
sebesar (yB1, zB1), serta koordinat titik metasenter M pada keadaan oleng ini sebesar (yMφ, zMφ). Pada waktu
sudut oleng ditambah sebesar dφ, titik M dianggap tidak berpindah. Kita lihat segitiga kecil B1B2E. Karena
dφ kecil, maka ∠B 1 B2 E≈ϕ dan
dy=B1 E=B 1 B 2 cosϕ dz=EB 2 =B 1 B 2 sin ϕ
sedang
B 1 B 2=r ϕ dϕ , sehingga
(28)
dy=r ϕ cosϕ dϕ
(29) ϕ dz=r sin ϕ dϕ
dan untuk mendapatkan yB2 dan zB2 kita mengintegral pers. (28) dan (29) dari θ1 sampai θ2 dan kita dapatkan
pers. (26) dan (27).
Selanjutnya kita cari koordinat titik metasenter M. Dari gambar kita lihat bahwa
(30)
y Mθ= y Bθ−r Tθ sinθ
(31)
z Mθ =z Bθ +r Tθ cosθ
Lengan stabilitas statis. Momen penegak
Setelah koordinat titik apung dan titik metasenter kita dapatkan, maka selanjutnya kita hitung lengan
stabilitas pada sudut oleng θ. z
θ
z
G
R
Q
θ E B1
F zB1 - zB0
θ
B0
P
K y
GAMBAR 8
Dari gambar kita lihat bahwa lengan momen penegak adalah
l=GZ=B 0 Q+QR−B0 E
dan bahwa
B 0 Q= y Bθ cosθ QR=( z Bθ−z B 0 )sinθ B 0 E=a sin θ
Kalau semua ini kita masukkan dalam rumus di atas, kita dapat
(32) l= y Bθ cos θ +( z Bθ −z B 0 )sin θ−a sin θ
Kita masukkan lagi rumus-rumus (24), (25) dan (26) dengan θ1 = 0, menjadi
θ θ
l=cos θ ∫ r ϕ cos ϕdϕ+sin θ∫ r ϕ sin ϕdϕ−a sin θ
0 0
Dengan memakai rumus trigonometri rumus di atas dapat ditulis menjadi
θ
l=∫ r ϕ (cosθ cosϕ+sinθ sin ϕ )dϕ−a sin θ
0 dan
θ
l=∫ r ϕ cos (θ−ϕ)dϕ−a sin θ
(33) 0
dan dengan integrasi parsial akhirnya didapat
r Tθ
( dθdl )
θ=0
=r 0 −a=MG
Jadi turunan pertama lengan stabilitas statis terhadap sudut oleng pada keadaan tegak adalah tinggi
metasenter awal. Kalau kita perhatikan, turunan ini mempunyai satuan panjang. Untuk mencari penggal
garis yang mana, lihat gambar berikut:
GAMBAR 9
Misalkan pada sudut oleng θ letak titik metasenter M dan titik berat G diketahui. Jika dari G ditarik garis
tegak lurus garis kerja gaya apung, didapat lengan stabilitas statis pada sudut oleng θ berupa penggal garis
GZ. Jika kemudian sudut oleng ditambah dengan dθ, titik M tidak berpindah tempat, tetapi untuk garis kerja
gaya apung yang baru, titik Z akan berpindah ke Z1.
Untuk dθ→0, maka
dl
=MZ
(36) dl=MZd θ atau dθ
MZ yang diukur dari titik metasenter ke titik potong lengan dengan garis kerja gaya apung, disebut tinggi
dl
=MZ=0
umum metasenter. Pada waktu lengan stabilitas statis mencapai maksimum, maka dθ , berarti
titik M dan titik H berimpit.
Untuk mengolengkan kapal, juga dibutuhkan kerja. Pada setengah silinder di atas, titik tempat reaksi
tumpuan bekerja tidak berubah tingginya sehingga kita hanya perlu melihat selisih tinggi titik berat saja.
Tetapi pada kapal, titik tempat reaksi tumpuan adalah titik apung kapal dan selama proses oleng, ketinggian
titik ini berubah terus. Jadi jarak vertikal titik apung ke titik berat juga selalu berubah dan jarak vertikal
inilah yang disebut lengan stabilitas dinamis dan kerja yang dilakukan adalah
E=Dl d
l
dengan d adalah lengan stabilitas dinamis.
Kerja untuk mengolengkan kapal juga dapat dilihat sebagai kerja dari suatu momen kopel yang
mengolengkan kapal sampai sudut dφ:
dE=M r dϕ
Jika Mr diganti dengan rumus (22), kita dapatkan
dE=Dld ϕ
Dalam ruas kanan, harga l berubah terus menurut harga φ, sehingga untuk mengolengkan kapal dari
keadaan tegak ke sudut oleng θ dibutuhkan kerja sebesar
θ θ
E=∫ Dld ϕ=D∫ ld ϕ
0 0
Kalau kita bandingkan kedua rumus kerja di atas, kita peroleh
θ
l d =∫ ld ϕ
(37) 0
Ternyata lengan stabilitas dinamis adalah integral lengan stabilitas statis sampai sudut θ tertentu dan
sebaliknya lengan stabilitas statis adalah turunan pertama stabilitas dinamis terhadap sudut oleng.
Marilah kita turunkan rumus lengan stabilitas dinamis.
Dalam diagram stabilitas statis, momen penegak dapat juga dipakai sebagai ordinat, dan karena momen
penegak adalah displasemen dikalikan lengan stabilitas dinamis, maka bentuk diagram akan tetap, hanya
skalanya yang berubah. Demikian juga kerja atau usaha dapat dipakai sebagai ordinat dalam diagram
stabilitas dinamis dan merubah skala ordinatnya.
Di atas telah disebutkan bahwa ada hubungan diferensial-integral antara lengan stabilitas statis dan dinamis.
Pada θ = 0, lengan stabilitas statis berharga 0 dan lengan stabilitas dinamis menunjukkan minimum. Pada
saat lengan stabilitas statis mencapai maksimum, lengan stabilitas dinamis mempunyai titik belok (inflexion
point). Pada saat lengan stabilitas statis mencapai harga 0 lagi, lengan stabilitas dinamis mencapai
maksimum. Sudut oleng pada saat itu disebut sudut batas stabilitas. Lewat sudut ini kapal akan terus terbalik
(capsize).
Pada sudut kecil, besar lengan stabilitas statis diberikan oleh rumus (20)
l=GZ=MG sin θ
Jika kita ambil turunan pertamanya terhadap θ, kita peroleh
dl
=MG cos θ
dθ
sehingga kemiringan garis singgung pada θ = 0 adalah MG. Jadi untuk menggambar garis singgung di θ = 0,
kita ukurkan MG tegak lurus pada absis 1 rad (=57.3 derajat) dan hubungkan ujungnya dengan titik 0, maka
kita dapat garis singgungnya.
Karena simetri badan kapal, maka kurva lengan stabilitas statis akan ada juga untuk sudut negatif dan bentuk
di bagian sudut negatif ini akan sama dengan bentuknya di bagian sudut positif, karena besar lengan tak
dipengaruhi oleh arah oleng kapal. Jadi lengan stabilitas statis adalah fungsi ganjil.
GAMBAR 13
Gambar-gambar di atas menunjukkan tiga jenis diagram stabilitas statis untuk bentuk badan kapal atau
Rencana Garis yang paling sering dijumpai.
Jenis I adalah bentuk diagram stabilitas statis yang paling sering dijumpai. Kurva ini hanya
mempunyai 1 titik balik pada daerah lengan positif. Sudut batas stabilitasnya biasanya antara 60
sampai dengan 90 derajat dan MG awalnya antara 0.5 sampai 1.0 m atau lebih.
Jenis II adalah bentuk diagram stabilitas statis kapal dengan MG awal yang kecil, 0.4 m atau kurang,
tetapi dengan lambung bebas yang besar. Kurvanya berada di atas garis singgung awal dilanjutkan
dengan titik balik. Meskipun MG awal kecil, tetapi stabilitasnya cukup baik karena luasnya besar dan
sudut batas stabilitas yang besar.
Jenis III adalah bentuk diagram stabilitas statis untuk kapal dengan MG awal negatif. Garis singgung
awal berarah ke bawah. Kurvanya berada di atas garis singgung diikuti titik minimum lalu memotong
sumbu datar pada sudut θ1 diikuti dengan titik balik. Ini berarti bahwa pada sudut oleng 00, kapal
mempunyai keseimbangan labil dan baru stabil dengan sudut oleng θ1. Meskipun luas kurva mungkin
besar dan sudut batas stabilitasnya besar, bentuk ini sekarang tidak diijinkan lagi.
GAMBAR 14
Kita lihat kapal tanpa trim dan suatu garis air WL dengan sudut oleng besar θ dan garis air W1L1 dengan
sudut oleng θ1 yang berpotongan di titik sembarang. Dengan demikian garis air WL akan memotong sumbu
Z pada titik T dan garis air W1L1 memotong sumbu Z pada titik T1. Antara θ dan θ1 serta antara T dan T1 ada
hubungan
θ1 =θ+dθ
T 1 =T +dT
Tinggi elemen baji h (diukur // sumbu Z) yang dibatasi oleh kedua garis air itu adalah
h=dT + y( tan θ1 −tan θ )= y {tan(θ+dθ )−tan θ}
sehingga
yd θ
h=dT +
cos2 θ
Sedangkan harga z dapat dihitung dengan rumus
z=T +h=T + y tan θ
setelah suku-suku kecil diabaikan.
Luas elemen baji dS diukur pada proyeksi elemen baji pada bidang XOY atau bidang dasar.
Maka perubahan volume dan momen statis adalah
dθ
dV =∫ hdS=dT ∫ dS + ∫ ydS
S S cos 2 θ S
Sy F
dV =SdT + dθ
(40) cos2 θ
dθ
dM yz =∫ xhdS=dT ∫ xdS + ∫ xydS
S S cos 2 θ S
I xy
dM yz =Sx F dT + dθ
(41) cos2 θ
dθ
dM xz=∫ yhdS=dT ∫ ydS+ 2 ∫
y 2 dS
S S cos θ S
Ix
dM xz=Sy F dT + dθ
(42) cos 2 θ
yd θ yd θ
dM xy=∫ zhdS=∫ z dT +
S S
( 2
cos θ )
dS=∫ (T + y tan θ )dTdS+∫ (T + y tan θ) 2 dS=
S S cos θ
dθ dθ
=TSdT + Sy F tan θ dT +TSy F 2
+ I x tan θ
cos θ cos 2 θ
dθ
dM xy =(TS +Sy F tan θ )dT +( TSy F + I x tan θ )
(43) cos2 θ
Untuk kasus khusus dengan kedua garis air WL dan W1L1 membatasi displasemen yang sama, berarti bahwa
dV = 0 dan pers (40) menjadi
yF
dT =− dθ
cos 2 θ
Cara pertama
GAMBAR
Pada cara pertama, garis air dengan sudut oleng 10o, 20o dan seterusnya dibuat melalui satu titik, yaitu titik
potong CL dengan garis air tegak. Untuk suatu sudut, biasanya volume baji masuk tidak akan sama dengan
volume baji keluar, sehingga garis air harus digeser dengan sudut tetap supaya kedua volume baji sama
besar. Besar pergeseran adalah sedemikian sehingga volume air di antara kedua garis air sama dengan selisih
volume baji masuk vm dan volume baji keluar vk. Dari gambar kita dapatkan
εS=v m−v k
dengan
ε = jarak penggeseran garis air
S = luas garis air awal
Rumus ini hanya tepat jika kapal berdinding tegak, tetapi untuk ε kecil kesalahannya akan kecil juga. Besar ε
kita hitung dengan rumus
v m−v k
ε=
S
Karena semua garis air melalui titik yang sama pada sumbu Z, maka tidak ada perubahan sarat, dT = 0,
sehingga dari rumus (40) kita dapat menghitung perubahan volume
Sy F
dv= dθ
cos2 θ
Faktor pertama ruas kanan dapat dilihat juga sebagai momen statis garis air oleng terhadap sumbu olengnya,
sehingga
dv=M x dθ
Dengan demikian, vm – vk menjadi
θ
v m −v k =∫ M x dθ
0
sehingga ε menjadi
θ
1
ε= ∫ M x dθ
(44)
S0
Pada rumus ini, momen statis garis air dapat dihitung dengan rumus
L/2
1
M x = ∫ ( y 2m− y 2k )dx
2 −L/2
dan luas garis air S dapat dihitung dengan rumus
L/2
S= ∫ ( y m+ y k )dx
−L/2
Setelah ε didapat, maka garis air oleng dengan displasemen tetap telah didapatkan. Dengan garis air ini, kita
menghitung momen inersia garis air oleng dengan rumus
L/2
1
I x = ∫ ( y 3m + y 3k )dx
3 −L/2
Tetapi momen inersia ini tidak melewati titik berat garis air oleng, jadi masih harus dikoreksi
2
I xF =I x− y F S
Setelah momen inersia didapat, dihitung jari-jari metasenter dengan rumus (24). Kemudian koordinat titik
apung dihitung dengan rumus (26) dan (27) dan terakhir komponen lengan stabilitas bentuk dan komponen
lengan stabilitas berat dihitung dengan rumus (31) dan (32) dan lengan stabilitas dinamis dengan rumus (38).
Ini dilakukan untuk tiap sudut oleng dan setelah itu dibuat diagram stabilitas statis dan dinamis.
Langkah pelaksanaan
a) Diketahui: Panjang L, lebar B, sarat T, displasemen V, tinggi titik berat KG, tinggi titik apung awal
KB0. dan Rencana Garis
b) Buat garis air dengan keolengan 0o.
c) Buat garis air dengan keolengan 10o. Titik potong garis air dengan CL kita sebut A.
d) Cari titik potong garis air ini dengan Station ujung depan atau ujung belakang. Hitung ym dan yk
dengan titik awal titik A.
e) Ulangi untuk semua station.
f) Hitung luas garis air S dan momen statis MX garis air 10o terhadap sumbu memanjang lewat A.
g) Hitung ε.
ε
o
h) Letakkan titik B pada CL juga sejarak cos 10 di bawah titik A.
o
i) Buat garis air dengan kemiringan 10 melalui titik B.
j) Cari titik potong garis air ini dengan Station ujung depan atau ujung belakang. Hitung ym dan yk
dengan titik awal titik B.
k) Ulangi untuk semua station.
l) Hitung luas garis air S, momen statis MX dan momen inersia IX garis air 10o terhadap sumbu
memanjang lewat B. Hitung titik pusat garis air yF.
m) Hitung momen inersia garis air IXF terhadap sumbu memanjang melewati titik pusat garis air
n) Hitung jari-jari metasenter rθ pada 10o.
o) Ulangi langkah c) sampai dengan n) untuk sudut 20o, … 90o.
θ θ
l=cosθ ∫ r ϕ cos ϕdϕ+sin θ∫ r ϕ sin ϕdϕ−a sin θ
p) Hitunglah lengan stabilitas dengan rumus 0 0
q) Buat grafik lengan stabilitas statis
Cara kedua
Pada cara kedua, garis air baru dibuat melewati garis air sebelumnya, misalnya garis air dengan kemiringan
300 dibuat melalui titik berat garis air dengan kemiringan 200 dan seterusnya. Karena selisih sudut (= 100)
cukup kecil, maka integral dalam rumus (44) cukup didekati dengan rumus trapezium
1 Δθ
ε= ( M x 1 +M x 2 )
S 2
Karena sumbu oleng dibuat melalui titik berat garis air pertama, maka Mx1 = 0, sehingga
M x Δθ
ε=
S 2
dan Mx adalah momen statis garis air bantu terhadap sumbu oleng. Faktor pertama ruas kanan sama dengan
jarak titik berat garis air bantu terhadap sumbu oleng, jadi rumus di atas dapat ditulis sebagai
y
ε = F Δθ
2
Setelah ε didapat, langkah selanjutnya adalah menghitung lengan stabilitas statis dan dinamis seperti pada
cara pertama. Ada beberapa penyederhanaan yang dapat dilakukan, karena ε biasanya kecil. Untuk
mendapatkan titik berat dan momen inersia garis air, dapat diambil harga ym dan yk dari garis air bantu dan
bukan dari garis air displasemen tetap. Ini berarti bahwa letak titik berat garis air displasemen tetap dan titik
berat garis air bantu dianggap berjarak sama ke sumbu putar. Setelah itu langkah berikutnya sampai akhir
sama dengan langkah pada cara pertama.
Tetapi untuk menggambar garis air oleng berikutnya, harus dibuat melalui titik berat garis air displasemen
tetap.
Dalam rekomendasi di atas tidak diberikan harga maksimum, tetapi harus diingat bahwa MG yang besar
mengakibatkan percepatan yang besar juga dan dapat membahayakan kapal, anak buahnya, peralatannya dan
muatannya.
Selain itu, ditentukan juga kondisi apa saja yang harus diperiksa stabilitasnya. Dalam Appendix II Standard
Conditions of Loading to be Examined diberikan:
1 LOADING CONDITIONS
1) Kapal penumpang:
i. Kapal dalam kondisi berangkat dengan muatan penuh, dengan penumpang penuh bersama barang
bawaannya, dengan persediaan dan bahan bakar penuh
ii. Kapal dalam kondisi datang dengan muatan penuh, dengan penumpang penuh bersama barang
bawaannya, tetapi persediaan dan bahan bakar tinggal 10 % saja
iii. Kapal dalam kondisi berangkat tanpa muatan, dengan penumpang penuh bersama barang bawaannya
dan dengan persediaan dan bahan bakar penuh
iv. Kapal dalam kondisi datang tanpa muatan, dengan penumpang penuh bersama barang bawaannya
tetapi persediaan dan bahan bakar tinggal 10 % saja
2) Kapal barang:
i. Kapal dalam kondisi berangkat dengan muatan penuh, dengan muatan tersebar merata dalam semua
ruang muat dan dengan persediaan dan bahan bakar penuh
ii. Kapal dalam kondisi datang dengan muatan penuh, dengan muatan tersebar merata dalam semua
ruang muat, tetapi persediaan dan bahan bakar tinggal 10 % saja
iii. Kapal dengan ballast dalam kondisi berangkat tanpa muatan, dengan persediaan dan bahan bakar
penuh
iv. Kapal dengan ballast dalam kondisi datang tanpa muatan, tetapi dengan persediaan dan bahan bakar
tinggal 10 % saja
Sejarah
Pada akhir abad 19, biro klasifikasi menetapkan peraturan empiris untuk pemasangan sekat pada kapal
niaga, terutama sekat ceruk buritan dan sekat ceruk haluan serta sekat yang memisahkan ruang permesinan
dari ruang muat. Tetapi peraturan ini tidak didasarkan pada kemampuan kapal bertahan pada keadaan bocor.
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, bangsa-bangsa maritim besar mulai mempelajari masalah ketahanan
terhadap bocor. Hal ini dipicu oleh bertambah seringnya kecelakaan di laut yang mengambil korban jiwa
yang besar, dan sebagai puncaknya adalah tenggelamnya kapal Titanic dengan korban 1430 jiwa dalam
tahun 1912.
Pada tahun 1913 diadakan konferensi international untuk Safety of Life at Sea yang membahas usulan dari
Inggris, Jerman dan Perancis. Hasilnya adalah kompromi dari ketiga usulan itu, tetapi tidak pernah
dilaksanakan karena meletusnya Perang Dunia I.
Pada tahun 1929 diadakan lagi International Conference on Safety of Life at Sea. Disetujui sistem
penyekatan faktorial (factorial system of subdivision) dan dipakai criterion of service. Sistem ini banyak
kekurangannya dan stabilitas tidak diperhatikan.
Setelah itu ada lagi International Conference on Safety of Life at Sea pada tahun 1948 dan 1960. Hanya ada
sedikit perubahan dan disyaratkan standard yang lebih tinggi untuk kapal yang membawa banyak
penumpang dalam pelayaran pendek dan lebih banyak kapal yang harus memenuhi syarat dua kompartemen
bocor.
Perubahan peraturan yang ada didorong terutama atas tenggelamnya kapal “Andrea Doria” yang dibuat
memenuhi persyaratan tahun 1948 yang terbukti tidak cukup baik. Pada konferensi 1960 ada usulan konsep-
konsep baru yang nantinya akan dibahas. Pemikiran pertama adalah bahwa keselamatan kapal dapat diukur
dari besarnya kerusakan yang dapat ditanggungnya. Pemikiran kedua adalah kemampuan menanggung
kerusakan dengan dasar probabilitas. Sementara itu Intergovernmental Maritime Consultative Organization
dibentuk pada tahun 1958 yang bernaung di bawah PBB dan studi mengenai hal-hal di atas dapat dilakukan
lebih intensif.
Sebelum tahun 1970, peraturan yang ada hanya untuk kapal penumpang (banyaknya penumpang paling
sedikit 12 orang) dan kapal tanker. Setelah tahun itu, IMCO mengeluarkan peraturan untuk bulk chemical
carriers dan liquefied gas carriers, lalu untuk tanker, mobile offshore drilling unit (MODU) dan offshore
supply vessel, Untuk kapal ikan besar ada konvensi 1977 kemudian juga untuk kapal-kapal khusus lain.
Semua peraturan ini tidak lagi mengikuti sistem faktorial, tetapi berdasarkan konsep-konsep baru tersebut di
atas. Peraturan yang berlaku sekarang dimuat dalam SOLAS Consolidated Edition 2000.
Dasar pemikiran
Kapal dianggap masih belum tenggelam jika geladaknya masih berada di atas air, meskipun hanya sedikit.
Menurut perjanjian, jarak ini diambil 76 mm (atau 3 inci) dan garis yang sejajar geladak ini disebut garis
batas atau margin line. Di atas sudah disebut bahwa cara paling efektif supaya kapal tidak mudah tenggelam
adalah dengan membuat sekat-sekat lintang. Persoalannya adalah berapa banyak sekat dan diletakkan di
mana?
Kita lihat dua keadaan:
B1 B2 B1
T V1 V2 V1
GAMBAR 1
Pada keadaan I, kapal pada sarat rancang dengan sarat T1. Ada beberapa sekat di kapal ini, tetapi yang
digambar hanya dua, membatasi suatu ruangan kosong.
Pada keadaan II, ruangan tersebut bocor dan air masuk sehingga sekarang air di luar menyinggung margin
line.
Untuk mengetahui banyaknya air yang masuk, kita perlu mengetahui volume displasemen pada kedua
keadaan itu, kita sebut V1 dan V2. Maka banyaknya air yang masuk adalah
v=V 2−V 1
Jika kedua sekat dapat kita geser-geser dengan volume tetap sama dengan v, supaya air luar tepat
menyinggung margin line, di mana kedua sekat harus diletakkan?
Keadaan II dapat kita lihat sebagai gabungan keadaan I dan air yang masuk. Dari fisika, kita dapat rumus
untuk titik berat gabungan:
V x +vx V
x B 2= 1 B 1
V 1 +v
Jadi kita perlu mencari LCB dari kedua keadaan tersebut, untuk keadaan I kita sebut xB1 dan untuk keadaan
II kita sebut xB2 diukur dari AP misalnya. Dalam persamaan ini, semua volume diketahui atau dapat dihitung,
juga xB1 dan xB2 sudah dihitung, sehingga xV dapat dihitung.
V dVH
dVB
AP dx xB xH dV FP
Gambar 2
Dari fisika kita juga tahu, bahwa momen statis suatu luasan atau volume terhadap sumbu yang melalui titik
beratnya sama dengan nol. Jadi sekat depan dan sekat belakang harus kita letakkan sedemikian sehingga
momen statis volume di belakang xV
VB
M B=∫ ldV
0
sama besar dengan momen statis volume di depan xV
VD
M D =∫ ldV
0
dengan jumlah volume sama dengan v. Cara ini dapat kita ulang sehingga kita mengetahui letak pasangan
sekat untuk sebarang xV. Panjang ruangan atau jarak sepasang sekat yang bersebelahan sebagai hasil
perhitungan di atas disebut panjang kebocoran (floodable length).
Dari pembahasan di atas kita lihat bahwa jika sarat makin rendah, volume air yang masuk bisa lebih banyak
untuk air sampai menyinggung margin line, sehingga jarak pasangan sekat bisa lebih jauh dan sebaliknya.
Jadi jarak sekat banyak ditentukan oleh besar sarat. Karena itu waktu perhitungan dilakukan, sejak awal sarat
ini harus sudah ditentukan dan disebut sarat penyekatan (subdivision load line).
Masih ada beberapa definisi yang diambil dari SOLAS 1974 Chapter II-1 Construction – Subdivision and
stability, machinery and electrical installations, Part A – General:
Regulation 2 Definitions
sarat penyekatan terdalam (deepest subdivision load line): sarat terbesar yang diijinkan
persyaratan penyekatan yang berlaku untuk suatu kapal
panjang kapal adalah panjang garis air pada sarat penyekatan terdalam
geladak sekat (bulkhead deck): geladak teratas yang dicapai oleh semua sekat lintang.
garis batas (margin line): garis yang dibuat pada sisi kapal, paling sedikit 76 mm di bawah
permukaan atas geladak sekat
Pembahasan di atas mengandaikan bahwa ruang yang bocor itu kosong. Dalam praktek jarang terjadi bahwa
ruang muat sama sekali kosong dalam suatu pelayaran. Adanya muatan dan/atau benda lain tentu saja
mengakibatkan banyaknya air yang bisa masuk berkurang. Perbandingan volume air yang bisa masuk dalam
ruangan berisi dengan volume ruang kosong disebut permeabilitas (permeability), dinyatakan dalam %
diberi tanda (mu). Jika banyaknya air yang masuk berkurang, ini berarti bahwa jarak antara sekat lintang
dapat diperbesar sebelum air di luar mencapai margin line. Harga permeabilitas berbagai ruangan tentu saja
berbeda-beda, tergantung apa isi ruangan tersebut.
Untuk kapal yang membawa penumpang lebih dari 12 orang, SOLAS 1974 Chapter tersebut di atas Part B –
Subdivision and stability, menentukan:
2.1 Permeabilitas rata-rata uniform untuk Ruang Permesinan dihitung dengan rumus berikut:
μ=85+ 10 ( a−cv )
dengan
a = volume ruang penumpang menurut Regulation 2, yang terletak di bawah margin line dan dalam
batas-batas ruang permesinan
c = volume ruang geladak antara yang terletak di bawah margin line dan dalam batas-batas ruang
permesinan yang dipakai untuk muatan, batubara atau gudang
v = volume seluruh ruang permesinan di bawah margin line
2.3 Untuk kapal-kapal yang memenuhi persyaratan III/20.1.2, permeabilitas rata-rata uniform untuk ruang di
depan dan di belakang Ruang Permesinan dihitung dengan rumus berikut:
b
μ=95−35
v
dengan
b = volume ruangan di bawah margin line dan di atas wrang, alas ganda atau tangki ceruk yang
disediakan dan dipakai untuk tempat muatan, bahan bakar atau batubara, gudang, ruang bagasi dan
surat pos, kotak rantai dan tangki air tawar, di depan atau di belakang Ruang Permesinan.
Panjang kebocoran ruang berisi sama dengan panjang kebocoran ruang kosong dibagi dengan permeabilitas
ruangan tersebut atau
LF
LFμ =
μ
3. Criterion of service
Apakah suatu kapal terutama dipakai untuk mengangkut barang atau penumpang, diukur dengan criterion
service.
Sebelum menghitung criterion of service, kita harus menghitung P1 terlebih dahulu.
L = panjang kapal dalam meter menurut Regulation 2
M = volume Ruang Permesinan dalam m3 menurut Regulation 2, dengan ditambah bunker minyak
permanen yang boleh terletak di atas alas ganda dan di depan atau di belakang Ruang Permesinan
P = seluruh volume Ruang Penumpang di bawah margin line dalam m3 menurut Regulation 2
V = seluruh volume badan kapal di bawah margin line dalam m3
Selanjutnya
N = jumlah penumpang yang akan ditulis dalam sertifikat
K = 0.056L
3
PU = seluruh volume Ruang Penumpang di atas margin line dalam m ,
Untuk kapal dengan panjang tertentu, factor penyekatan ditentukan oleh criterion of service numeral dan
selanjutnya disebut criterion numeral CS. Criterion numeral dihitung sebagai berikut:
M +2 P1
C S =72
V + P1 −P jika P > P
1
M +2 P
C S =72
V jika P1 <=P
dengan
CS = criterion numeral
Faktor penyekatan
Pengaruh panjang kapal dinyatakan oleh faktor A dan B. Faktor A adalah untuk kapal yang panjang dan
terutama mengangkut barang dan factor B adalah untuk kapal yang pendek dan terutama mengangkut
penumpang. Faktor A dan B dihitung dengan rumus berikut:
58 . 2
A= +0 . 18
L−60 untuk panjang kapal 131 m atau lebih
30 .3
B= +0 . 18
L−42 untuk panjang kapal 79 m atau lebih
Besarnya faktor penyekatan dihitung sebagai berikut
Untuk L >= 131 meter, F untuk ruangan di belakang ceruk haluan:
o CS <= 23, F=A
o CS >= 123, F=B
( A−B)(C S −23 )
F=A−
o 23 > CS < 123 100
o Jika CS >= 45 dan 0.5 < F <= 0.65, maka F = 0.5
o Jika F < 0.4 dan dapat ditunjukkan bahwa tidak mungkin memenuhi harga F ini untuk Ruang
Permesinan, maka F boleh diperbesar, tetapi tidak boleh lebih dari 0.4.
Untuk 79 <= L < 131 meter, F untuk ruangan di belakang ceruk haluan:
3 .574−25 L
S=
o Jika 13 dan CS = S, F = 1
o CS >= 123 F=B
( 1−B )(C S −S )
F=1−
o Untuk S < CS < 123 123−S
o Untuk CS < S F=1
Untuk L < 79 meter F=1
Setelah faktor penyekatan didapat, kita hitung panjang yang diijinkan LP:
LF F
LP =L Fμ . F=
μ
Penerapan rumus ini dilakukan sepanjang kapal.
Untuk kapal yang melakukan pelayaran international jangka pendek berlaku peraturan-peraturan berikut.
Pelayaran internasional jarak pendek (short international voyage) adalah pelayaran internasional yang
- selama pelayarannya kapal tidak pernah lebih dari 200 mil dari suatu pelabuhan atau tempat lain
untuk menurunkan penumpang dan ABK supaya selamat.
- Jarak antara pelabuhan singgah terakhir dalam negara tempat kapal mulai pelayarannya dengan
pelabuhan akhir pelayarannya maupun jalur pulangnya tidak boleh melebihi 600 mil.
Cara perhitungan berikut ini diberikan oleh Dipl. Ing. F. Shirokauer (1928).
Untuk sarat penyekatan terdalam, dihitung volume displasemen V1 dan letak titik apung xB1.
Dibuat garis air datar yang menyinggung garis batas (margin line). Tinggi dari garis dasar (base line)
sampai garis air datar ini disebut DML.
Kemudian dari titik potong garis air datar dengan AP dan diukurkan ke bawah jarak h sebesar (lihat
PNA I)
h=1.6 DML −1.5 T
Jarak h ini dibagi tiga. Demikian juga dari titik potong garis air datar dengan FP dilakukan hal yang
sama.
Dari tiap titik dibuat garis air yang menyinggung margin line, sehingga ada 7 garis air
o Untuk tiap garis air dihitung volume displasemen V2 dan letak memanjang titik apung xB2.
o Kemudian dihitung volume air yang masuk v dan letak titik berat air masuk xV dengan rumus
di atas.
o Dibuat grafik dengan absis adalah panjang kapal dan ordinat adalah volume
o Ketujuh pasang v dan xV digambar pada grafik ini dan dihubungkan membentuk suatu grafik.
Grafik ini menunjukkan besar v untuk sebarang xV.
o Jika titik-titik yang didapat terlalu mengumpul sehingga bagian ujung kapal tidak ada
titiknya, ditambah titik (satu atau lebih sesuai kebutuhan) di bawah ujung jarak h di atas.
o Jika titik-titik yang didapat terlalu menyebar sehingga melewati ujung kapal, ditambah titik
(satu atau lebih sesuai kebutuhan) di tengah dua titik yang sudah ada.
Dibuat grafik
V =∫ Adx sepanjang kapal dengan A adalah luas station sampai margin line.
GAMBAR
o Ditarik garis tegak ke atas lewat suatu xV sampai memotong grafik V. Sebut titik potong ini
titik A.
o Dipilih letak sekat belakang pada sumbu X dan dari sini ditarik garis ke atas sampai
memotong grafik V. Sebut titik potong ini titik B.
o Dari titik B dibuat garis datar sampai memotong garis tegak lewat xV tadi. Sebut titik potong
ini titik C.
o Dengan bantuan grafik V ditentukan letak sekat depan. Dari sini ditarik garis ke atas sampai
memotong grafik V. Sebut titik potong ini titik D.
o Dari titik D dibuat garis datar sampai memotong garis tegak lewat xV tadi. Sebut titik potong
ini titik E.
o Maka luas bidang ABC adalah momen statis volume di belakang xV dan luas bidang ADE
adalah momen statis volume di depan xV. Hitung res = momen statis volume di belakang xV -
momen statis volume di depan xV.
o Ulangi untuk dua titik letak sekat belakang, hingga ada res1, res2, res3, tetapi ada res yang
berlawanan tanda (pos, pos, neg atau neg, neg, pos)
o Gambarkan res1 pada absis letak sekat belakang 1, res2 pada absis letak sekat belakang 2,
res3 pada absis letak sekat belakang 3
o Hubungkan ketiga titik dengan suatu kurva. Kurva ini memotong sumbu X di titik yang kita
cari, yaitu letak sekat belakang ruangan yang volumenya = v dan titik beratnya di xV.
o Letak sekat depan didapat dengan bantuan grafik V. Jarak sekat belakang ke sekat depan kita
sebut LF.
o Cari titik tengah antara sekat depan dan belakang dan dari titik tengah ini gambarkan LF ke
atas dengan skala yang sama dengan skala sumbu X.
Ulangi langkah di atas untuk harga-harga xV lain, lalu hubungkan titik ujung atas untuk semua LF
hingga didapat grafik sepanjang kapal, yaitu grafik panjang bocor (curve of floodable length)
Masukkan pengaruh permeabilitas dan faktor penyekatan hingga mendapatkan panjang yang
diijinkan (curve of permissible length).
Berdasarkan kurva panjang yang diijinkan, periksalah apakah peletakkan sekat pada kapal sudah memenuhi
syarat.
Stabilitas kapal berpenampang trapezium
Lebar geladak = BDEK, lebar alas = BALAS, tinggi geladak = H, sarat awal = T
Kapal oleng sebesar θ dengan displasemen tetap, bidang air memotong CL setinggi TM.
Luas Penampang semula
T T T
B AWAL=B ALAS +
H
(B DEK −B ALAS )= 1− B ALAS + B DEK
H H ( )
T T
Luas gading besar =
1
2
1
T (B AWAL + B ALAS )= 2 T 2−
H
B ALAS + B DEK
H (( ) )
Persamaan bidang air
Titik potong bidang air dengan CL: (0, TM)
Persamaan bidang air: y tan θ−z=−T M
z−T M
y=
tan θ atau z= y tan θ+T M
Perpotongan bidang air dengan sisi kanan
1 1
Ujung kanan geladak ( 2 B DEK , H ) , ujung kanan alas ( 2 B ALAS , 0 ) .
z ( B DEK −B ALAS )
2 y− =B ALAS
Persamaan garis sisi kanan: H
Matrix:
tan θ −( B DEK −B ALAS )
[ ]
−1
[ 2
−( B DEK −B ALAS )
H ] inverse
H
2 H −( B DEK −B ALAS ) tan θ
H
−2
1
tan θ
Titik potong
−( B DEK −B ALAS )
H
2 H −( B DEK −B ALAS ) tan θ
[
tan θ
Titik potong
−1
(B DEK −B ALAS )
H ] inverse
H
2 H +( B DEK −B ALAS ) tanθ [ H
−2
1
tan θ ]
( BDEK −B ALAS )
H
2 H +( B DEK −B ALAS ) tan θ
Luas kiri
1 1
Trapesium 2
z KI ( 2 B ALAS − y KI )
1
Segitiga − 2 y KI (T M −z KI )
1 1
Jumlah 4
B ALAS z KI − 2 y KI T M
Luas kanan
1 1
Trapesium 2
z KA ( 2 B ALAS + y KA )
1
Segitiga 2
y KA ( z KA −T M )
1 1
Jumlah = 4 B ALAS z KA + 2 y KA T M
1 1
Jumlah seluruhnya 4
B ALAS ( z KI + z KA )+ 2 T M (− y KI + y KA )
Karena displasemen tetap, jumlah luas ini harus sama dengan luas semula
T T
1
B
1 1
(( )
( z + z KA )+ 2 T M (− y KI + y KA )= 2 T 2− B ALAS + B DEK =A AWAL
4 ALAS KI H
2
H )
4 HT M ( B DEK −B ALAS )+ 4 H B ALAS
− y KIRI + y KANAN =
4 H 2 −( BDEK −B ALAS ) tan 2 θ