Anda di halaman 1dari 11

Pertemuan Ke 15

MODAL DALAM MERAIH KESEJAHTERAAN


HAKIKI DI AKHIRAT

By: Iftitah Jafar

1. QS. al-Mu‟minun (23 ): 1 – 11


                

                 

               

               

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,


2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat,
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas.
8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
9. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
10. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan
budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam
peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. Imam boleh melarang kebiasaan
ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[995] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.

Imam Nasai mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami
Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ja'far, dari Abu Imran, dari Yazid ibnu
Babanus yang mengatakan, "Kami pernah bertanya kepada Siti Aisyah Ummul Mu’minin,
'Bagaimanakah akhlak Rasulullah Saw.'?" SitAisyah r.a. menjawab: Akhlak Rasulullah Saw.
adalah Al-Qur'an. Kemudian Siti Aisyah r.a. membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman. (Al Mu‟minun: 1) sampai dengan firman-Nya: dan orang-orang
yang memelihara salatnya. (Al Mu‟minun: 9) Kemudian Siti Aisyah r.a. berkata, "Demikianlah
akhlak Rasulullah Saw."
Telah diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar, Mujahid, dan Abul Aliyah serta lain-lainnya, bahwa
setelah Allah menciptakan Surga 'Adn dan memberinya tanaman dengan tangan (kekuasaan)-Nya
sendiri, lalu Allah memandangnya dan berfirman kepadanya, "Berbicaralah kamu !" Maka Surga
'Adn mengucapkan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (al-Mu‟minun: 1)
Ka'bul Ahbar mengatakan, Surga 'Adn berkata demikian karena mengingat semua kehormatan
yang disediakan oleh Allah di dalamnya bagi orang-orang mukmin. Abul Aliyah mengatakan,
bahwa lalu Allah Swt. menyitirkan kalimat tersebut di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya.

Adapun firman Allah Swt.:


}ٌَُُٕ ِ‫{لَ ْذ أ َ ْفه َ َخ ا ْن ًُؤْ ي‬
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu‟minun: 1)
Yakni sungguh telah beruntung, berbahagia, dan beroleh keberhasilan mereka yang beriman lagi
mempunyai ciri khas seperti berikut, yaitu:
}ٌَُٕ‫شع‬ ِ ‫{انَّ ِزٌٍَ ُْ ْى فًِ صَالذِ ِٓ ْى َخا‬
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Al Mu‟minun: 2)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya,
"Khasyi'un," bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah lagi tenang. Hal yang sama telah
diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri. Telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu
Talib r.a. bahwa khusyuk artinya ketenangan hati. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i. Al-
Hasan Al-Basri mengatakan, ketenangan hati mereka membuat mereka merundukkan pandangan matanya
dan merendahkan dirinya.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu sahabat-sahabat Rasulullah Saw. selalu mengarahkan
pandangan mata mereka ke langit dalam salatnya. Tetapi setelah Allah menurunkan firman-Nya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
salatnya. (Al Mu‟minun: 1-2) Maka mereka merundukkan pandangan matanya ke tempat sujud mereka.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa sejak saat itu pandangan mata mereka tidak melampaui tempat
sujudnya. Dan apabila ada seseorang yang telah terbiasa memandang ke arah langit, hendaklah ia
memejamkan matanya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu
Hatim. Kemudian Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui ibnu Abbas —juga Ata ibnu Abu Rabah—
secara mursal, bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal yang serupa (memandang ke arah langit)
sebelum ayat ini diturunkan.
Khusyuk dalam salat itu tiada lain hanya dapat dilakukan oleh orang yang memusatkan hati kepada
salatnya, menyibukkan dirinya dengan salat, dan melupakan hal yang lainnya serta lebih baik
mementingkan salat daripada hal lainnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang dapat merasakan
ketenangan dan kenikmatan dalam salatnya, seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui sahabat Anas dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:
َ ُ ‫ َٔ ُج ِعهَدْ لُ َّشج‬،‫سا ُء‬
"‫ع ًٍُِْ فًِ انص ََّال ِج‬ ّ ِ ‫إنً ان‬
َ ُِّ ‫طٍة َٔان‬ َّ ‫ة‬ َ ّ‫" ُد ِث‬
Aku dijadikan senang kepada wewangian, wanita, dan dijadikan kesenangan hatiku bila dalam
salat.

Firman Allah Swt.:


}ٌَُٕ‫{ٔانَّ ِزٌٍَ ُْ ْى ع ٍَِ انه َّ ْغ ِٕ ُيع ِْشض‬ َ
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (Al
Mu‟minun: 3)
Yaitu dari hal-hal yang batil yang pengertiannya mencakup pula hal-hal yang musyrik, seperti yang
dikatakan oleh sebagian ulama. Juga hal-hal maksiat seperti yang dikatakan oleh sebagian lainnya.
Mencakup pula semua perkataan dan perbuatan yang tidak berguna, seperti yang disebutkan oleh firman-
Nya:
}‫{ٔ ِإرَا َي ُّشٔا ِتانهَّ ْغ ِٕ َي ُّشٔا ك َِشا ًيا‬َ
dan apabila mereka bersua dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)
Qatadah mengatakan, "Demi Allah, mereka telah diberi kekuatan oleh Allah yang membuat mereka dapat
melakukan hal tersebut."
****
Firman Allah Swt.:
}ٌَُٕ‫{ٔانَّ ِزٌٍَ ُْ ْى نِه َّضكَا ِج فَا ِعه‬
َ
dan orang-orang yang menunaikan zakat. (Al Mu‟minun: 4)
Menurut kebanyakan ulama, makna yang dimaksud dengan zakat dalam ayat ini ialah zakat harta
benda, padahal ayat ini adalah ayat Makkiyyah; dan sesungguhnya zakat itu baru difardukan
setelah di Madinah, yaitu pada tahun dua Hijriah. Menurut makna lahiriahnya, zakat yang di
fardukan di Madinah itu hanyalah mengenai zakat yang mempunyai nisab dan takaran khusus.
Karena sesungguhnya menurut makna lahiriahnya, prinsip zakat telah difardukan sejak di Mekah.
Allah Swt. telah berfirman di dalam surat Al-An'am yang Makkiyyah, yaitu:

}ِِ‫{ٔآذ ُٕا َدمَّّ ُ ٌَ ْٕ َو َدصَا ِد‬ َ


dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin). (Al-
An'am: 141)
Dapat pula diartikan bahwa makna yang dimaksud dengan zakat dalam ayat ini ialah zakatun nafs
(membersihkan diri) dari kemusyrikan dan kekotoran. Sama pengertiannya dengan apa yang terdapat
dalam firman-Nya:
}‫ساَْا‬ َّ ‫اب َي ٍْ َد‬َ ‫ َٔلَ ْذ َخ‬.‫{لَ ْذ أ َ ْفه َ َخ َي ٍْ َصكَّاَْا‬
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:
}َ‫ ان َّ ِزٌٍَ ََل ٌُؤْ ذ ُٕ ٌَ ان َّضكَاج‬.ٍٍَِ‫{ٔ َٔ ٌْ ٌم ِن ْه ًُش ِْشك‬َ
dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang memper-sekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang
yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)
Hal ini menurut salah satu di antara dua pendapat yang mengatakan tentang tafsirnya. Dapat pula
diartikan bahwa makna yang dimaksud adalah kedua pengertian tersebut secara berbarengan, yaitu zakat
jiwa dan zakat harta. Karena sesungguhnya termasuk di antara zakat ialah zakat diri (jiwa), dan orang
mukmin yang sempurna ialah orang yang menunaikan zakat jiwa dan zakat harta bendanya. Hanya Allah-
lah yang Maha Mengetahui.
*****
Firman Allah Swt.:
}ٌَُٔ‫غٍ ُْش َيهُٕيِ ٍ ٍَ فَ ًَ ٍِ ا ْترَغَى َٔ َسا َء رَ ِنََ فَُُٔنَََِِ ُْىُ ا ْنعَاد‬
َ ‫اج ِٓ ْى ْأٔ َيا َيهَكَدْ أ َ ٌْ ًَاَُ ُٓ ْى فَ ِئَ َّ ُٓ ْى‬
ِ َٔ ‫ إَِل عَهَى أ َ ْص‬.ٌَُٕ‫ٔج ِٓ ْى دَافِظ‬ ِ ‫{ٔانَّ ِزٌٍَ ُْ ْى ِنفُ ُش‬ َ
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di
balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al Mu‟minun: 5-7)
Artinya, orang-orang yang memelihara kemaluan mereka dari perbuatan yang diharamkan. Karena itu
mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti zina dan liwat.
Dan mereka tidak mendekati selain dari istri-istri mereka yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, atau
budak-budak perempuan yang mereka miliki dari tawanan perangnya. Barang siapa yang melakukan hal-
hal yang dihalalkan oleh Allah, maka tiada tercela dan tiada dosa baginya. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:
} ََ‫غ ٍْ ُش َيهُٕيِ ٍٍَ فَ ًَ ٍِ ا ْترَغَى َٔ َسا َء رَ ِن‬ َ ‫{فَ ِئََّ ُٓ ْى‬
maka sesungguhnya mereka tidak tercela dalam hal ini. Barang siapa mencari yang di balik itu. (Al
Mu‟minun: 6-7)
Yakni selain istri dan budak perempuannya.
}ٌَُٔ‫{فَُُٔنَََِِ ُْىُ ا ْنعَاد‬
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (al-Mu‟minun: 7)
Imam Syafii dan orang-orang yang mendukungnya telah mengambil ayat ini sebagai dalil dari
pendapatnya yang mengatakan bahwa mastrubasi itu haram, yaitu firman-Nya: dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri atau budak yang mereka miliki. (al-
Mu‟minun: 5-6)
Imam Syafii mengatakan bahwa perbuatan mastrubasi itu di luar kedua perkara tersebut. Karena
itu, mastrubasi haram hukumnya. Dan sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Barang siapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (al-
Mu‟minun: 7) Mereka berdalilkan pula dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Hasan ibnu Arafah dalam kitab Juz-nya yang terkenal.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Sabit Al-Jazari, dari Maslamah ibnu Ja'far,
dari Hassan ibnu Humaid, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada tujuh
macam orang yang Allah tidak mau memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau
membersihkan mereka (dari dosa-dosanya), dan tidak menghimpunkan mereka bersama orang-
orang yang beramal (baik), dan memasukkan mereka ke neraka bersama orang-orang yang
mula-mula masuk neraka, terkecuali jika mereka bertobat; dan barang siapa yang bertobat,
Allah pasti menerima tobatnya. Yaitu orang yang kawin dengan tangannya (mastrubasi), kedua
orang yang terlibat dalam homoseks, pecandu minuman khamr, orang yang memukuli kedua
orang tuanya hingga keduanya meminta tolong, orang yang mengganggu tetangga-tetangganya
sehingga mereka melaknatinya, dan orang yang berzina dengan istri tetangganya.
Hadis berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang tidak dikenal karena
kemisteriannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Kawin dengan tangan maksudnya mencapai orgasme dengan menggunakan tangannya, kalau
pelakunya laki-laki maka perbuatannya disebut onani dan kalau pelakunya perempuan, lazim
disebut masturbasi. Bahkan menurut pendapat saya menonton film atau video blue termasuk
bagian dari perbuatan tercela ini. Selain berdampak ukhrawi, perbuatan ini juga mempunyai
dampak duniawi, yaitu aspek psikologis dan seksologis. Menunrut ahli psikologis perbuatan ini
dapat memengaruhi aspek psikologi manusia, sedangkan secara seksologis dapat menyebabkan
gangguan seksual, seperti ejakulasi dini (ED) bagi laki-laki.

Firman Allah Swt.:


}ٌَُٕ‫ع ْٓ ِذ ِْ ْى َساع‬ َ َٔ ‫{ٔانَّ ِزٌٍَ ُْ ْى أل َياََاذِ ِٓ ْى‬َ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (al-Mu‟minun: 8)
Yakni apabila mereka dipercaya, tidak berkhianat; bahkan menunaikan amanat itu kepada pemiliknya.
Apabila mereka berjanji atau mengadakan transaksi, maka mereka menunaikannya dengan benar, tidak
seperti sikap orang-orang munafik yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. mempunyai ciri khas berikut,
melalui, sabdanya:
َ َ‫ َٔ ِإرَا َٔعَ َذ أ َ ْخه‬،‫ب‬
."ٌَ‫ ٔإرا اؤذًٍ َخا‬،‫ف‬ َ َ ‫ ِإرَا َدذَّز َكز‬:‫ز‬ ِ ‫"آٌَحُ ا ْن ًَُُاف‬
ٌ ‫ِك ث َ َال‬
Pertanda orang munafik ada tiga, yaitu: Apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila
dipercaya, khianat.
****
Firman Allah Swt.:
}ٌَٕ‫ظ‬ُ ِ‫صه َ َٕاذِ ِٓ ْى ٌُذَاف‬
َ ‫عهَى‬ َ ‫{ٔانَّ ِزٌٍَ ُْ ْى‬ َ
dan orang-orang yang memelihara salatnya. (al-Mu‟minun: 9)
Maksudnya, mengerjakannya secara rutin tepat pada waktunya masing-masing. Seperti yang dikatakan
oleh sahabat Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia bertanya kepada Rasulullah Saw.:
‫ ثُىَّ أ َ ؟‬: ُ‫ لُ ْهد‬."‫ "انص ََّالجُ عَهَى َٔ ْلرَِٓا‬:َ‫َّللا؟ لَال‬
‫ " ِت ُّش‬:َ‫ي؟ لَال‬ ُّ ‫ي انْعَ ًَ ِم أَد‬
ِ َّ ‫َة إِنَى‬ ُّ َ ‫ أ‬،ِ‫َّللا‬
َّ ‫ ٌَا َسسُٕ َل‬: ُ‫سه َّ َى فَمُهْد‬
َ َٔ ِّ ٍْ َ‫عه‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ًَّ ‫سُ َ ْندُ انَُّ ِث‬ َ
."ِ‫َّللا‬ َ ًِ‫ "ا ْن ِجَٓادُ ف‬:َ‫ي؟ لَال‬
َّ ‫س ِثٍ ِم‬ َ‫ ث ُ َّى أ ؟‬: ُ‫ لُ ْهد‬."ٍِْ ٌ‫ا ْن َٕا ِن َذ‬
Aku pernah bertanya; "Wahai Rasulullah amal apakah yang paling disukai oleh Allah?" Rasulullah Saw.
menjawab, "Mengerjakan salat di dalam waktunya." Saya bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Saya bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab, "Berjihad pada jalan Allah.”
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing. Di
dalam kitab Mustadrak-nya Imam Hakim disebutkan seperti berikut:
"‫"انصالج فً أٔل ٔلرٓا‬
Mengerjakan salat pada permulaan waktunya.

kemudian Allah Swt. berfirman:


}ٌَُٔ‫ط ُْ ْى فٍَِٓا َخا ِنذ‬ َ َْٔ ‫{أُٔنَََِِ ُْ ُى ا ْن َٕ ِاسثُٕ ٌَ ان َّ ِزٌٍَ ٌَ ِشثٌَُٕ ا ْنف ِْشد‬
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka
kekal di dalamnya. (al-Mu‟minun: 10-11)
Di dalam kitabSahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"ٍِ ًَ ْ‫انشد‬
َّ ‫ش‬ُ ‫ َٔفَ ْٕلَّ ُ ع َْش‬،ِ‫ َٔيِ ُُّْ ذَفَ َّج ُش أ َ ََْٓا ُس ا ْن َجَُّح‬،‫سطُ ا ْن َجَُّ ِح‬
َ ْٔ َ ‫ فَ ِئََُّّ أ َ ْعهَى ا ْن َجَُّ ِح َٔأ‬،‫ط‬ ْ ‫َّللاَ ا ْن َجَُّحَ فَا‬
َ َْٔ ‫سَُنُُِٕ ا ْنف ِْشد‬ َّ ‫سُ َ ْنر ُ ُى‬
َ ‫" ِإرَا‬
Apabila kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus, karena
sesungguhnya Firdaus itu adalah surga yang tertinggi dan paling pertengahan, darinya
bersumberkan semua sungai surga, dan di atasnya terdapat 'Arasy (singgasana) Tuhan Yang
Maha Pemurah.

2. QS. al-Shaff (61): 10 – 13.

                  

                  

                     

10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn.
Itulah keberuntungan yang besar.
13. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan
yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.

“Ya ayyuhal ladzȋna ȃmanȗ” (wahai, orang-orang beriman). Yang dipanggil disini adalah
orang-orang beriman, bukan hanya seorang Muslim. Pada awalnya ayat ini ditujukan kepada Nabi
Saw dan para Shahabat Ra, merekalah yang semula disebut sebagai orang-orang beriman itu.
Tetapi ayat ini juga berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, sampai akhir jaman. Orang Mukmin
memiliki kelebihan dibandingkan orang Muslim biasa. Orang Mukmin ialah orang yang
komitmen dengan amal-amal shalih secara mandiri. Untuk beribadah dan beramal kebaikan,
mereka tidak perlu disuruh-suruh, tidak perlu dipaksa-paksa, atau diberi ancaman, atau diberi
imbalan komersial. Mereka beramal shalih secara mandiri, secara ikhlas, tidak peduli ada
manusia yang mau menghargai amalnya atau tidak. Inilah orang-orang beriman. Mereka taat dan
patuh kepada Allah secara aktif, tanpa perlu didorong-dorong oleh orang lain.
Dalam Al Qur‟an disebutkan hakikat keimanan. “Bahwasanya orang-orang beriman itu
adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-
ragu, lalu mereka berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-
orang benar (perkataannya).” (Al Hujurat: 15). Iman jika sudah masuk ke dalam hati, terasa
manisnya, ia akan menggerakkan diri manusia untuk melaksanakan amal-amal shalih, dan
meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya, secara mandiri. Tanpa harus dipaksa-
paksa, didorong-dorong, diancam, atau diiming-iming dengan keuntungan materi tertentu.
Bahkan orang beriman itu rela mengorbankan kepentingan-kepentingannya demi meraih
keridhaan Allah Ta‟ala. Mereka tidak merasa rugi dengan pengorbanan itu, sebab Allah
menjanjikan pahala di Akhirat dan keberkahan hidup di dunia.
“Hal adullukum „ala tijaratin” (sukakah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan).
Kalimat ini sangat menarik, ia bisa bermakna, “Maukah kalian Aku tunjukkan dalil-dalil tentang
suatu kontrak?” Tijarah disini bukan jual-beli pada umumnya, tetapi jual-beli dalam lapangan
iman dan amal shalih. Disini Allah Ta‟ala menunjukkan kepada kita suatu METODE tertentu
dengan dalil-dalil yang jelas. Itulah metode atau manhaj yang sangat dibutuhkan setiap Muslim.
Begitu istimewanya manhaj itu, sampai disebut dengan kata perniagaan, perdagangan, jual beli,
transaksi, atau kontrak. Artinya, jika kita menjual (menjalani metode itu), maka Allah Ta‟ala akan
membeli jualan kita (dengan memberi anugerah-anugerah besar secara pasti dan meyakinkan).

“Tunjikum min „adzabin alim” (-suatu transaksi- yang akan menyelamatkan kalian dari adzab
yang pedih). Inilah dalilnya, mengapa ayat-ayat disebut sebagai metode golongan selamat. Disini
sangat jelas, bahwa transaksi atau kontrak yang Allah tunjukkan itu akan menyelamatkan kita dari
adzab yang pedih. Adzab ada dua jenis, di dunia dan di Akhirat. Jika kita menjalani metode
(transaksi) tersebut, maka sudah pasti kita akan mendapat keselamatan hidup, di dunia dan
Akhirat.
“Tu’minȗna billȃhi” (hendaklah kalian beriman kalian kepada Allah). Setelah Allah
menunjukkan betapa pentingnya metode keselamatan ini, lalu Dia memberitahu isi dari metode
yang dimaksud. Disini disebutkan, “Beriman kepada Allah.” Yang dimaksud beriman, bukanlah
sekedar perkataan, “Saya percaya kepada Allah.” Tidak sekedar itu, sebab iman oleh Salafus
Shalih didefinisikan sebagai: pembnaran dalam hati, ucapan dengan lisan, dan pengamalan
dengan perbuatan. Hakikat “beriman” dalam ayat ini: “Beribadah kepada Allah dengan keyakinan
tauhid, dan tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apapun.” Singkat kata, beriman kepada
Allah adalah BERIBADAH dan BERTAUHID kepada-Nya. Beribadah saja tanpa tauhid, amal-
amal kita akan tertolak; bertauhid saja tanpa ibadah, akan membuat kita menjadi kaum fasiq.
Na‟udzubillah minhuma.
“Wa rasȗlihi” (-dan beriman juga- kepada Rasul-Nya). Beriman kepada Rasulullah Saw. Beliau
adalah seorang Nabi, Rasul, Imam, Amir, Qudwah (Uswah), pemimpin mujahidin, masdar Syar‟i
(sumber syariat), dan lainnya. Mengimani Rasulullah ialah dengan meyakini kebenaran Syariat-
nya, membenarkan sabda-sabdanya (meyakini Al Hadits), mengamalkan Sunnah-sunnahnya
sekuat kemampuan, mempelajari jalan perjuangannya (Sirah Nabawiyyah), membela kehormatan
beliau, keluarga, dan Shahabatnya, membacakan shalawat untuknya, serta mencintainya.

“Wa tujȃhidȗna fȋ sabȋlillȃhi” (dan kalian berjihad di jalan Allah). Setelah bertauhid kepada
Allah, mengikuti Sunnah Nabi, lalu berjihad di jalan Allah. Ini adalah amal-amal yang penuh
berkah, satu sama lain terangkai dalam satu susunan yang mengagumkan. Makna asli berjihad
ialah berperang menghadapi musuh-musuh Islam, demi membela agama Allah. Contoh mudah
amalan jihad: perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab. Sebagian ahli tafsir menjelaskan, setiap
kata „jihad‟ dilekatkan dengan kata „fi sabilillah‟, itu artinya berperang. Hal-hal demikian mudah
dipahami di suatu negeri yang menegakkan sistem Islami. Tetapi di negeri di bawah sistem
sekuler (non Islam), makna jihad tidak semata-mata berperang. Mendakwahkan Islam, membina
Ummat, amar makruf nahi munkar, menentang Kristenisasi, menentang pemikiran sesat, melawan
penjajah, membuat media Islam, berjuang di lapangan politik Islami, dll. yang bisa dikatagorikan
sebagai amalan menolong agama Allah; semua itu adalah jihad. Namun tetap saja, setinggi-tinggi
jihad ialah berperang di jalan Allah. Nabi Saw mengatakan, “Man qatala li takȗna kalimatullȃh
hiyal ‘ulyȃ, wa huwa fi sabȋlillȃh” (siapa yang berperang dalam rangka meninggikan Kalimat
Allah, maka dia berada di jalan Allah).

“Bi amwȃlikum wa anfusikum” (-berjihad- dengan harta dan diri kalian). Perjuangan di jalan
Allah dimodali dengan segala kekuatan atau daya yang mampu diberikan. Modal itu berupa harta,
tenaga, pikiran, ilmu, keahlian, hingga puncaknya dengan pengorbanan jiwa (nyawa).
Demikianlah sifat dalam perjuangan Islam. Tidak bisa perjuangan hanya bermodal teori saja;
bermodal keringat saja; bermodal propaganda saja; bermodal diplomasi saja; tetapi seluruh
kekuatan yang mampu dikerahkan, harus dikerahkan demi kemenangan agama Allah. Allah swt.
berfirman dalam QS. al-Tawbah (9): 111, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang
mukmin, baim diri maupun harta mereka dengen memberikan Syurga untuk mereka. Mereka
berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar
dari Allah di dalam Twrat, Injil dan Al-Qur‟an, Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain
Allah? Maka bergembiraah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah
kemenangan yang agung.
“Dzȃlikum khairul lakum in kuntum ta’lamȗn” (yang demikian itu lebih baik bagi kalian, kalau
kalian mengetahui). Bertauhid kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, dan berjihad di jalan Allah,
semua itu adalah METODE TERBAIK yang harus dijalani oleh setiap Muslim. Andaikan kita
tahu ilmunya, tentulah kita tak akan melepaskan diri dari metode yang penuh berkah ini. Di
dalamnya banyak kebaikan-kebaikan yang akan kita peroleh.

3. QS. al-Baqarah (2): 261, 245, dan 265

3.1 Q. al-Baqarah (2): 261.

                  

       

Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan penekanan
Allah Swt kepada orang-orang yang memiliki harta agar bersedekah dengan ikhlas di jalan Allah.
sedekah di jalan Allah itu bisa berupa membangun sekolah, kesehatan, jalan raya, membantu
korban bencana alam dan lain sebagainya untuk kepentingan umum. Beliau juga menambahkan
bahwa diksi 'masalu' dalam awal ayat tersebut merupakan kata yang sangat mengagumkan karena
mendorong manusia agar memperbanyak bersedekah. Terkait dengan penyebutan nominal angka
dalam ayat di atas, Quraish Shihab mengatakan bahwa hal itu bukan berarti membatasi kekuasaan
Allah. Akan tetapi, angka 700 kali lipat yang disebutkan merupakan iming-iming dari Allah
bahwa suatu harta yang disedekahkan di jalan Allah akan mendapat pahala yang sangat besar.

Adapun asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) ini adalah berkaitan dengan kejadian yang
dialami sahabat Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kedua sahabat yang terkenal kaya
raya ini menyumbangkan banyak hartanya untuk biaya perang Tabuk yang sempat berkecamuk.
Oleh sebab itu, turunlah ayat di atas yang menegaskan bahwa Allah Swt adalah Zat yang Maha
Kaya Raya sehingga kita umat Islam tidak perlu khawatir harta yang kita sedekahkan akan habis.
Nah, mulai dari sekarang mari kita memperbanyak bersedekah karena selain dijanjikan balasan
700 kali lipat oleh Allah, sedekah juga dapat membersihkan harta dan jiwa kita dari sifat rakus.

3.2 QS. al-Baqarah (2): 245

                 

245. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Firman-Nya: man dzal ladzii yuqridlullaaHa qardlan hasanan fayudlaa‟ifaHuu laHuu „adl‟aafan katsiiran
(“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [Menafkahkan hartanya di
jalan Allah], maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak.”) Allah menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan Allah Ta‟ala. Allah
Ta‟ala telah beberapa kali mengulangi ayat ini dalam kitab-Nya yang mulia tidak hanya di satu tempat.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas‟ud, ia menceritakan, ketika turun ayat tersebut,
Abu Dahdah al-Anshari bertanya: “Ya Rasulullah, apakah Allah swt. mengharapkan pinjaman dari kita?”
“Ya, wahai Abu Dahdah,” jawab Rasulullah. Kemudian Abu Dahdah berujar. “Perlihatkan tanganmu
kepadaku, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah, mengulurkan tangannya dan Abu Dahdah berkata:
“Sesungguhnya aku akan meminjamkan kepada Rabbku kebunku.” Ibnu Mas‟ud menceritakan: “Di
dalam kebun itu terdapat enam ratus pohon kurma dan di sana tinggal pula ibu Abu Dahdah dan
keluarganya.” Ibnu Masud melanjutkan, kemudian Abu Dahdah datang dan memanggilnya: “Hai Ummu
Dahdah.” “Labbaik,” jawabannya. Dia berujar: “Keluarlah, karena aku telah meminjamkannya kepada
Rabbku.” Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih.

Firman-Nya: qardlan hasanan (“Pinjaman yang baik.”) Diriwayatkan dari Umar dan ulama salaf lainnya,
yaitu infak di jalan Allah. Ada juga yang mengatakan, yaitu pemberian nafkah kepada keluarga. Tetapi
ada juga yang berpendapat, yaitu tasbih dan “taqdis” (penyucian). Firman-Nya: fa yudlaa‟ifu laHuu
adl‟aafan katsiiratan (“Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak.”) Hal ini seperti firman Allah Ta‟ala yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan
(pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 261). Dan mengenai hal ini akan diuraikanlebih lanjut.

Firman-Nya selanjutnya: wallaaHu yaqbidlu wa yab-shuthu (“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
[rizki].”) Artinya, berinfaklah dan janganlah kalian pedulikan, karena Allah Mahamemberi rizki. Dia akan
sempitkan rizki siapa saja yang Diakehendaki, dan meluaskan rizki orang yang Dia kehendaki pula. Dan
dalam hal itu Dia mempunyai hikmah yang sangat sempurna.
Wa ilaiHi turja‟uun (“Dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”) Yaitu pada hari kiamat kelak.

3.3 QS. al-Baqarah (2): 265


               

            

Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari


keridlaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran
tinggi yang disiram oleb hujan lebat, maka kebun itu mengbasilkan buahnya dua kali lipat. Jika
hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Mahamelihat apa
yang kamu perbuat.”

Firman-Nya (‫ )مهسفنأ نم اتيبثتو‬ini merupakan perumpamaan orang-orang yang beriman yang


menginfakkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah Ta‟ala. Maksudnya, mereka benar-benar
yakin dan teguh bahwa Allah Ta‟ala akan memberikan pahala atas amal perbuatan mereka
tersebut dengan pahala yang lebih banyak. Yang semakna dengan hal di atas makna sabda
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam dalam sebuah hadis sahih: “Barangsiapa berpuasa pada
bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah…” Artinya, ia beriman bahwa
Allah Ta‟ala yang telah mensyariatkannya dan ia mengharapkan pahala di sisi-Nya. Asy-Sya‟abi
mengatakan: “Artinya, percaya dan yakin.” Hal senada juga dikatakan Qatadah, Abu Shalih dan
Ibnu Zaid dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Mujahid dan Al-Hasan mengatakan, “Artinya mereka
benar-benar teguh ke mana menyerahkan sedekah mereka.”

Firman-Nya (‫ )ةوبرب ةنج لثمك‬maksudnya, seperti sebuah kebun di dataran tinggi. Demikian
menurut jumhurul ulama. Rabwah berarti tanah tinggi. Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak
menambahkan, “Dan di dalamnya mengalir sungai-sungai.” Ibnu Jarir mengatakan, “Rabwah
terdapat dalam tiga bahasa yaitu tiga qira‟ah (bacaan). Penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak secara
keseluruhan membacanya, Rubwah (dengan didhomah “ra” nya) dan sebagian penduduk Syiria
(Ibnu Amir) dan Kufah („Ashim) membacanya, Rabwah (dengan difathah “ra” nya). Ada juga
yang mengatakan, Rabwah ini merupakan bahasa Kabilah Tamim. Juga dibaca, ribwah (dengan
dikasrah “ra” nya), dan disebutkan bahwa ini adalah qira‟ah Ibnu Abbas.

Firman-Nya (‫ )لباو اهباصأ‬waabilun berarti hujan lebat, sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya. Firman-Nya (‫ )نيفعض اهلكأ تتآف‬maka kebun itu menghasilkan buahnya berlipat-
lipat jika dibandingkan dengan kebun-kebun lainnya. Firman-Nya (‫)لطف لباو اهبصي مل نإف‬
Adh-Dhahhak mengatakan, “thallun” berarti gerimis. Dengan hujan lebat itu, kebun tersebut tidak
akan pernah kering dan gersang, karena meskipun kebun itu tidak mendapatkan curahan hujan
lebat, ia telah mendapatkan percikan gerimis. Dan air gerimis itu pun sudah cukup memadai.
Demikianlah amal orang mukmin, tidak akan sia-sia, bahkan Allah Ta‟ala menerimanya dan akan
diperbanyak (pahalanya), serta dikembangkan sesuai dengan jerih payah orang yang beramal.
Firman-Nya (‫ )ريصب نولمعت امب هللاو‬maksudnya, tidak ada sesuatu pun dari amal hamba-
hamba-Nya yang tersembunyi dari-Nya.
4. QS. al-Hadid (57): 10 dan 11
4.1 QS. al-Hadid (57): 10

                 

                  

    

10. Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah
yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-
orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-
masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Setelah Allah mencela mereka karena tidak mau beriman, maka pada ayat ini Allah mencela
mereka karena tidak mau berinfak di jalan-Nya. Mengapa manusia tidak mau membelanjakan
harta yang dikaruniai Allah pada jalan-Nya, sedangkan hartanya itu akan kembali kepada
Allah. Bila ia tidak menginfakkan pada jalan-Nya berarti ia tidak yakin bahwa semua harta
tersebut pada hakikatnya milik Allah, karena langit dan bumi serta semua isinya akan
kembali kepada-Nya. Allah memerintahkan kepada manusia menginfakkan hartanya pada
jalan Allah sebelum mati, agar menjadi simpanan di sisi Allah.

Hal yang demikian itu tidak dapat dilakukan manusia sesudah mati karena semua harta akan
kembali kepada Allah Pemilik sekalian alam. Selanjutnya Allah ‫ ﷻ‬menyatakan perbedaan
derajat yang diperoleh orang-orang yang berinfak karena perbedaan kondisi dan situasi
mereka dalam mengerjakannya. Bahwa derajat orang-orang yang berinfak dan hijrah sebelum
pembebasan Mekah lebih tinggi dari derajat orang yang berinfak dan berhijrah sesudah itu,
karena pada masa sebelum embebasan Mekah manusia dalam keadaan susah dan selalu
terancam. Tidak ada yang akan beriman dan berinfak kecuali orang-orang yang betul-betul
sadar, tetapi sesudah pembebasan Mekah, Islam telah berkembang dan manusia
berduyunduyun mengikutinya.

Derajat mereka yang berjihad dan berinfak sebelum pembebasan Mekah lebih besar dari
pahala yang diperoleh orang-orang yang berjihad dan berinfak sesudahnya.
Qatadah berkata, "Ada dua jihad, yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain, dan ada dua
macam infak yang satu lebih utama dari yang lain; jihad dan infak sebelum pembebasan
Mekah lebih utama dari jihad dan infak sesudahnya. Tetapi walau bagaimanapun untuk
masing-masing yang berjihad dan berinfak sebelum atau sesudah pembebasan Mekah ada
pahalanya meskipun terdapat perbedaan antara besar dan kecil pahala tersebut. Dalam ayat
lain yang hampir sama maksudnya.

Allah ‫ ﷻ‬berfirman: Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut
berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa
halangan).Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.
(an-Nisa‟ [4]: 95)

4.2 QS. al-Hadid (57): 11


            

11. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang
banyak.

}َُّ‫سًُا فٍَُضَا ِعفَُّ ن‬


َ ‫َّللاَ ل َ ْشضًا َد‬ َّ ُ‫{ َي ٍْ رَا انَّزِي ٌُ ْم ِشض‬
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
memperlipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya:
} ً‫ٍِشج‬ َ ‫ضعَافًا َكث‬ ْ َ ‫{أ‬
dengan lipat ganda yang banyak. (QS. al-Baqarah (2): 245)
Adapun firman Allah Swt.:
‫ َٔنَُّ أَجْ ٌش ك َِشٌ ٌى‬.5
dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.
Yakni pahala yang baik dan rezeki yang memukaukan, yaitu surga kelak di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah
menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul
Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu
firman Allah Swt.: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya. (Al-Hadid: 11) Abud
Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah Allah menghendaki pinjaman dari
kita?" Rasulullah Saw. menjawab, "Benar, hai Abud Dahdah." Abu Dahdah berkata, "Wahai
Rasulullah, kemarikanlah tanganmu." Maka Abud Dahdah menjabat tangan Rasulullah Saw.,
lalu berkata, "Sesungguhnya aku pinjamkan kepada Tuhanku kebun kurmaku." Dia
mempunyai kebun kurma berisikan enam ratus tangkal kurma, dan Ummu Dahdah bertempat
tinggal di dalam kebun itu bersama anak-anaknya. Lalu Abud Dahdah datang dan memanggil
istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Istrinya menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata,
"Keluarlah kamu, sesungguhnya kebun ini telah kupinjamkan kepada Tuhanku."
Menurut riwayat yang lain, saat itu juga Ummu Dahdah berkata kepada Abud Dahdah,
"Beruntunglah bisnismu, hai Abud Dahdah," lalu Ummu Dahdah memindahkan semua
barang dan anak-anaknya dari kebun itu, sedangkan Rasulullah Saw. bersabda:
"‫َاح‬ِ ‫ع ْزق َسدَاح فًِ ا ْن َجَُّ ِح ِأل َ ِتً انذَّدْ ذ‬ َ ٍْ ِ‫"كَ ْى ي‬
Betapa banyaknya pohon kurma yang berbuah subur di dalam surga milik Abu Dahdah.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
"‫ب ََ ْخهَ ٍح ُيذ َََّل ٍج ع ُُشٔلَُٓا ُد ؟س ٌٔالٕخ ألتً انذدذاح فً انجُح‬ َّ ‫"س‬
ُ
Betapa banyak pohon kurma yang berjuntai buahnya berupa intan dan yaqut milik Abud
Dahdah di dalam surga.

Tugas:

Buat kesimpulan berkualitas berdasar materi kuliah ini, sebanyak 500kata!

Anda mungkin juga menyukai