[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan
budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam
peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. Imam boleh melarang kebiasaan
ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[995] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.
Imam Nasai mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami
Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ja'far, dari Abu Imran, dari Yazid ibnu
Babanus yang mengatakan, "Kami pernah bertanya kepada Siti Aisyah Ummul Mu’minin,
'Bagaimanakah akhlak Rasulullah Saw.'?" SitAisyah r.a. menjawab: Akhlak Rasulullah Saw.
adalah Al-Qur'an. Kemudian Siti Aisyah r.a. membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman. (Al Mu‟minun: 1) sampai dengan firman-Nya: dan orang-orang
yang memelihara salatnya. (Al Mu‟minun: 9) Kemudian Siti Aisyah r.a. berkata, "Demikianlah
akhlak Rasulullah Saw."
Telah diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar, Mujahid, dan Abul Aliyah serta lain-lainnya, bahwa
setelah Allah menciptakan Surga 'Adn dan memberinya tanaman dengan tangan (kekuasaan)-Nya
sendiri, lalu Allah memandangnya dan berfirman kepadanya, "Berbicaralah kamu !" Maka Surga
'Adn mengucapkan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (al-Mu‟minun: 1)
Ka'bul Ahbar mengatakan, Surga 'Adn berkata demikian karena mengingat semua kehormatan
yang disediakan oleh Allah di dalamnya bagi orang-orang mukmin. Abul Aliyah mengatakan,
bahwa lalu Allah Swt. menyitirkan kalimat tersebut di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya.
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn.
Itulah keberuntungan yang besar.
13. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan
yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.
“Ya ayyuhal ladzȋna ȃmanȗ” (wahai, orang-orang beriman). Yang dipanggil disini adalah
orang-orang beriman, bukan hanya seorang Muslim. Pada awalnya ayat ini ditujukan kepada Nabi
Saw dan para Shahabat Ra, merekalah yang semula disebut sebagai orang-orang beriman itu.
Tetapi ayat ini juga berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, sampai akhir jaman. Orang Mukmin
memiliki kelebihan dibandingkan orang Muslim biasa. Orang Mukmin ialah orang yang
komitmen dengan amal-amal shalih secara mandiri. Untuk beribadah dan beramal kebaikan,
mereka tidak perlu disuruh-suruh, tidak perlu dipaksa-paksa, atau diberi ancaman, atau diberi
imbalan komersial. Mereka beramal shalih secara mandiri, secara ikhlas, tidak peduli ada
manusia yang mau menghargai amalnya atau tidak. Inilah orang-orang beriman. Mereka taat dan
patuh kepada Allah secara aktif, tanpa perlu didorong-dorong oleh orang lain.
Dalam Al Qur‟an disebutkan hakikat keimanan. “Bahwasanya orang-orang beriman itu
adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-
ragu, lalu mereka berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-
orang benar (perkataannya).” (Al Hujurat: 15). Iman jika sudah masuk ke dalam hati, terasa
manisnya, ia akan menggerakkan diri manusia untuk melaksanakan amal-amal shalih, dan
meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya, secara mandiri. Tanpa harus dipaksa-
paksa, didorong-dorong, diancam, atau diiming-iming dengan keuntungan materi tertentu.
Bahkan orang beriman itu rela mengorbankan kepentingan-kepentingannya demi meraih
keridhaan Allah Ta‟ala. Mereka tidak merasa rugi dengan pengorbanan itu, sebab Allah
menjanjikan pahala di Akhirat dan keberkahan hidup di dunia.
“Hal adullukum „ala tijaratin” (sukakah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan).
Kalimat ini sangat menarik, ia bisa bermakna, “Maukah kalian Aku tunjukkan dalil-dalil tentang
suatu kontrak?” Tijarah disini bukan jual-beli pada umumnya, tetapi jual-beli dalam lapangan
iman dan amal shalih. Disini Allah Ta‟ala menunjukkan kepada kita suatu METODE tertentu
dengan dalil-dalil yang jelas. Itulah metode atau manhaj yang sangat dibutuhkan setiap Muslim.
Begitu istimewanya manhaj itu, sampai disebut dengan kata perniagaan, perdagangan, jual beli,
transaksi, atau kontrak. Artinya, jika kita menjual (menjalani metode itu), maka Allah Ta‟ala akan
membeli jualan kita (dengan memberi anugerah-anugerah besar secara pasti dan meyakinkan).
“Tunjikum min „adzabin alim” (-suatu transaksi- yang akan menyelamatkan kalian dari adzab
yang pedih). Inilah dalilnya, mengapa ayat-ayat disebut sebagai metode golongan selamat. Disini
sangat jelas, bahwa transaksi atau kontrak yang Allah tunjukkan itu akan menyelamatkan kita dari
adzab yang pedih. Adzab ada dua jenis, di dunia dan di Akhirat. Jika kita menjalani metode
(transaksi) tersebut, maka sudah pasti kita akan mendapat keselamatan hidup, di dunia dan
Akhirat.
“Tu’minȗna billȃhi” (hendaklah kalian beriman kalian kepada Allah). Setelah Allah
menunjukkan betapa pentingnya metode keselamatan ini, lalu Dia memberitahu isi dari metode
yang dimaksud. Disini disebutkan, “Beriman kepada Allah.” Yang dimaksud beriman, bukanlah
sekedar perkataan, “Saya percaya kepada Allah.” Tidak sekedar itu, sebab iman oleh Salafus
Shalih didefinisikan sebagai: pembnaran dalam hati, ucapan dengan lisan, dan pengamalan
dengan perbuatan. Hakikat “beriman” dalam ayat ini: “Beribadah kepada Allah dengan keyakinan
tauhid, dan tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apapun.” Singkat kata, beriman kepada
Allah adalah BERIBADAH dan BERTAUHID kepada-Nya. Beribadah saja tanpa tauhid, amal-
amal kita akan tertolak; bertauhid saja tanpa ibadah, akan membuat kita menjadi kaum fasiq.
Na‟udzubillah minhuma.
“Wa rasȗlihi” (-dan beriman juga- kepada Rasul-Nya). Beriman kepada Rasulullah Saw. Beliau
adalah seorang Nabi, Rasul, Imam, Amir, Qudwah (Uswah), pemimpin mujahidin, masdar Syar‟i
(sumber syariat), dan lainnya. Mengimani Rasulullah ialah dengan meyakini kebenaran Syariat-
nya, membenarkan sabda-sabdanya (meyakini Al Hadits), mengamalkan Sunnah-sunnahnya
sekuat kemampuan, mempelajari jalan perjuangannya (Sirah Nabawiyyah), membela kehormatan
beliau, keluarga, dan Shahabatnya, membacakan shalawat untuknya, serta mencintainya.
“Wa tujȃhidȗna fȋ sabȋlillȃhi” (dan kalian berjihad di jalan Allah). Setelah bertauhid kepada
Allah, mengikuti Sunnah Nabi, lalu berjihad di jalan Allah. Ini adalah amal-amal yang penuh
berkah, satu sama lain terangkai dalam satu susunan yang mengagumkan. Makna asli berjihad
ialah berperang menghadapi musuh-musuh Islam, demi membela agama Allah. Contoh mudah
amalan jihad: perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab. Sebagian ahli tafsir menjelaskan, setiap
kata „jihad‟ dilekatkan dengan kata „fi sabilillah‟, itu artinya berperang. Hal-hal demikian mudah
dipahami di suatu negeri yang menegakkan sistem Islami. Tetapi di negeri di bawah sistem
sekuler (non Islam), makna jihad tidak semata-mata berperang. Mendakwahkan Islam, membina
Ummat, amar makruf nahi munkar, menentang Kristenisasi, menentang pemikiran sesat, melawan
penjajah, membuat media Islam, berjuang di lapangan politik Islami, dll. yang bisa dikatagorikan
sebagai amalan menolong agama Allah; semua itu adalah jihad. Namun tetap saja, setinggi-tinggi
jihad ialah berperang di jalan Allah. Nabi Saw mengatakan, “Man qatala li takȗna kalimatullȃh
hiyal ‘ulyȃ, wa huwa fi sabȋlillȃh” (siapa yang berperang dalam rangka meninggikan Kalimat
Allah, maka dia berada di jalan Allah).
“Bi amwȃlikum wa anfusikum” (-berjihad- dengan harta dan diri kalian). Perjuangan di jalan
Allah dimodali dengan segala kekuatan atau daya yang mampu diberikan. Modal itu berupa harta,
tenaga, pikiran, ilmu, keahlian, hingga puncaknya dengan pengorbanan jiwa (nyawa).
Demikianlah sifat dalam perjuangan Islam. Tidak bisa perjuangan hanya bermodal teori saja;
bermodal keringat saja; bermodal propaganda saja; bermodal diplomasi saja; tetapi seluruh
kekuatan yang mampu dikerahkan, harus dikerahkan demi kemenangan agama Allah. Allah swt.
berfirman dalam QS. al-Tawbah (9): 111, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang
mukmin, baim diri maupun harta mereka dengen memberikan Syurga untuk mereka. Mereka
berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar
dari Allah di dalam Twrat, Injil dan Al-Qur‟an, Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain
Allah? Maka bergembiraah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah
kemenangan yang agung.
“Dzȃlikum khairul lakum in kuntum ta’lamȗn” (yang demikian itu lebih baik bagi kalian, kalau
kalian mengetahui). Bertauhid kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, dan berjihad di jalan Allah,
semua itu adalah METODE TERBAIK yang harus dijalani oleh setiap Muslim. Andaikan kita
tahu ilmunya, tentulah kita tak akan melepaskan diri dari metode yang penuh berkah ini. Di
dalamnya banyak kebaikan-kebaikan yang akan kita peroleh.
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan penekanan
Allah Swt kepada orang-orang yang memiliki harta agar bersedekah dengan ikhlas di jalan Allah.
sedekah di jalan Allah itu bisa berupa membangun sekolah, kesehatan, jalan raya, membantu
korban bencana alam dan lain sebagainya untuk kepentingan umum. Beliau juga menambahkan
bahwa diksi 'masalu' dalam awal ayat tersebut merupakan kata yang sangat mengagumkan karena
mendorong manusia agar memperbanyak bersedekah. Terkait dengan penyebutan nominal angka
dalam ayat di atas, Quraish Shihab mengatakan bahwa hal itu bukan berarti membatasi kekuasaan
Allah. Akan tetapi, angka 700 kali lipat yang disebutkan merupakan iming-iming dari Allah
bahwa suatu harta yang disedekahkan di jalan Allah akan mendapat pahala yang sangat besar.
Adapun asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) ini adalah berkaitan dengan kejadian yang
dialami sahabat Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kedua sahabat yang terkenal kaya
raya ini menyumbangkan banyak hartanya untuk biaya perang Tabuk yang sempat berkecamuk.
Oleh sebab itu, turunlah ayat di atas yang menegaskan bahwa Allah Swt adalah Zat yang Maha
Kaya Raya sehingga kita umat Islam tidak perlu khawatir harta yang kita sedekahkan akan habis.
Nah, mulai dari sekarang mari kita memperbanyak bersedekah karena selain dijanjikan balasan
700 kali lipat oleh Allah, sedekah juga dapat membersihkan harta dan jiwa kita dari sifat rakus.
245. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Firman-Nya: man dzal ladzii yuqridlullaaHa qardlan hasanan fayudlaa‟ifaHuu laHuu „adl‟aafan katsiiran
(“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [Menafkahkan hartanya di
jalan Allah], maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak.”) Allah menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan Allah Ta‟ala. Allah
Ta‟ala telah beberapa kali mengulangi ayat ini dalam kitab-Nya yang mulia tidak hanya di satu tempat.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas‟ud, ia menceritakan, ketika turun ayat tersebut,
Abu Dahdah al-Anshari bertanya: “Ya Rasulullah, apakah Allah swt. mengharapkan pinjaman dari kita?”
“Ya, wahai Abu Dahdah,” jawab Rasulullah. Kemudian Abu Dahdah berujar. “Perlihatkan tanganmu
kepadaku, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah, mengulurkan tangannya dan Abu Dahdah berkata:
“Sesungguhnya aku akan meminjamkan kepada Rabbku kebunku.” Ibnu Mas‟ud menceritakan: “Di
dalam kebun itu terdapat enam ratus pohon kurma dan di sana tinggal pula ibu Abu Dahdah dan
keluarganya.” Ibnu Masud melanjutkan, kemudian Abu Dahdah datang dan memanggilnya: “Hai Ummu
Dahdah.” “Labbaik,” jawabannya. Dia berujar: “Keluarlah, karena aku telah meminjamkannya kepada
Rabbku.” Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih.
Firman-Nya: qardlan hasanan (“Pinjaman yang baik.”) Diriwayatkan dari Umar dan ulama salaf lainnya,
yaitu infak di jalan Allah. Ada juga yang mengatakan, yaitu pemberian nafkah kepada keluarga. Tetapi
ada juga yang berpendapat, yaitu tasbih dan “taqdis” (penyucian). Firman-Nya: fa yudlaa‟ifu laHuu
adl‟aafan katsiiratan (“Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak.”) Hal ini seperti firman Allah Ta‟ala yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan
(pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 261). Dan mengenai hal ini akan diuraikanlebih lanjut.
Firman-Nya selanjutnya: wallaaHu yaqbidlu wa yab-shuthu (“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
[rizki].”) Artinya, berinfaklah dan janganlah kalian pedulikan, karena Allah Mahamemberi rizki. Dia akan
sempitkan rizki siapa saja yang Diakehendaki, dan meluaskan rizki orang yang Dia kehendaki pula. Dan
dalam hal itu Dia mempunyai hikmah yang sangat sempurna.
Wa ilaiHi turja‟uun (“Dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”) Yaitu pada hari kiamat kelak.
Firman-Nya ( )ةوبرب ةنج لثمكmaksudnya, seperti sebuah kebun di dataran tinggi. Demikian
menurut jumhurul ulama. Rabwah berarti tanah tinggi. Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak
menambahkan, “Dan di dalamnya mengalir sungai-sungai.” Ibnu Jarir mengatakan, “Rabwah
terdapat dalam tiga bahasa yaitu tiga qira‟ah (bacaan). Penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak secara
keseluruhan membacanya, Rubwah (dengan didhomah “ra” nya) dan sebagian penduduk Syiria
(Ibnu Amir) dan Kufah („Ashim) membacanya, Rabwah (dengan difathah “ra” nya). Ada juga
yang mengatakan, Rabwah ini merupakan bahasa Kabilah Tamim. Juga dibaca, ribwah (dengan
dikasrah “ra” nya), dan disebutkan bahwa ini adalah qira‟ah Ibnu Abbas.
Firman-Nya ( )لباو اهباصأwaabilun berarti hujan lebat, sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya. Firman-Nya ( )نيفعض اهلكأ تتآفmaka kebun itu menghasilkan buahnya berlipat-
lipat jika dibandingkan dengan kebun-kebun lainnya. Firman-Nya ()لطف لباو اهبصي مل نإف
Adh-Dhahhak mengatakan, “thallun” berarti gerimis. Dengan hujan lebat itu, kebun tersebut tidak
akan pernah kering dan gersang, karena meskipun kebun itu tidak mendapatkan curahan hujan
lebat, ia telah mendapatkan percikan gerimis. Dan air gerimis itu pun sudah cukup memadai.
Demikianlah amal orang mukmin, tidak akan sia-sia, bahkan Allah Ta‟ala menerimanya dan akan
diperbanyak (pahalanya), serta dikembangkan sesuai dengan jerih payah orang yang beramal.
Firman-Nya ( )ريصب نولمعت امب هللاوmaksudnya, tidak ada sesuatu pun dari amal hamba-
hamba-Nya yang tersembunyi dari-Nya.
4. QS. al-Hadid (57): 10 dan 11
4.1 QS. al-Hadid (57): 10
10. Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah
yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-
orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-
masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Setelah Allah mencela mereka karena tidak mau beriman, maka pada ayat ini Allah mencela
mereka karena tidak mau berinfak di jalan-Nya. Mengapa manusia tidak mau membelanjakan
harta yang dikaruniai Allah pada jalan-Nya, sedangkan hartanya itu akan kembali kepada
Allah. Bila ia tidak menginfakkan pada jalan-Nya berarti ia tidak yakin bahwa semua harta
tersebut pada hakikatnya milik Allah, karena langit dan bumi serta semua isinya akan
kembali kepada-Nya. Allah memerintahkan kepada manusia menginfakkan hartanya pada
jalan Allah sebelum mati, agar menjadi simpanan di sisi Allah.
Hal yang demikian itu tidak dapat dilakukan manusia sesudah mati karena semua harta akan
kembali kepada Allah Pemilik sekalian alam. Selanjutnya Allah ﷻmenyatakan perbedaan
derajat yang diperoleh orang-orang yang berinfak karena perbedaan kondisi dan situasi
mereka dalam mengerjakannya. Bahwa derajat orang-orang yang berinfak dan hijrah sebelum
pembebasan Mekah lebih tinggi dari derajat orang yang berinfak dan berhijrah sesudah itu,
karena pada masa sebelum embebasan Mekah manusia dalam keadaan susah dan selalu
terancam. Tidak ada yang akan beriman dan berinfak kecuali orang-orang yang betul-betul
sadar, tetapi sesudah pembebasan Mekah, Islam telah berkembang dan manusia
berduyunduyun mengikutinya.
Derajat mereka yang berjihad dan berinfak sebelum pembebasan Mekah lebih besar dari
pahala yang diperoleh orang-orang yang berjihad dan berinfak sesudahnya.
Qatadah berkata, "Ada dua jihad, yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain, dan ada dua
macam infak yang satu lebih utama dari yang lain; jihad dan infak sebelum pembebasan
Mekah lebih utama dari jihad dan infak sesudahnya. Tetapi walau bagaimanapun untuk
masing-masing yang berjihad dan berinfak sebelum atau sesudah pembebasan Mekah ada
pahalanya meskipun terdapat perbedaan antara besar dan kecil pahala tersebut. Dalam ayat
lain yang hampir sama maksudnya.
Allah ﷻberfirman: Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut
berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa
halangan).Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.
(an-Nisa‟ [4]: 95)
11. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang
banyak.
Tugas: