Gambaran Umum
A. Sejarah Kawasan
Sejarah lahirnya sebuah kawasan bernama Babakan Surabaya bermula dari berpindahnya pabrik
mesiu dari Ngawi dan pabrik senjata yang bernama Artillerie Constructie Winkel (ACW) dari Surabaya
ke Kota Bandung pada tahun 1898. Pada saat itu, para pekerja pabrik ditempatkan di daerah
Kiaracondong yang kini lokasinya menjadi Babakan Surabaya.
Kata ‘babakan’ sendiri berarti kampung baru. Bentuk permukiman semacam babakan di Kota
Bandung merupakan ciri-ciri pengelompokkan berdasarkan etnis dalam masyarakat (Kunto, 1984). Di
belakang kata babakan biasanya disebutkan daerah asal dari masyarakat yang tinggal di kawasan
tersebut.
B. Delineasi Wilayah
Delineasi wilayah penelitian kami adalah RW 06 Kelurahan Babakan Surabaya, Kecamatan
Kiaracondong, Bandung.
Gambar 2 Delineasi Wilayah Penelitian
Menurut Kasie Pengembangan Perumahan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung,
Isye Aisyah yang diliput dalam situs berita online Galamedianews.com, Kelurahan Babakan
Surabaya merupakan satu dari 20 kelurahan yang menjadi prioritas dalam penataan kawasan.
Babakan Surabaya sendiri memiliki skor 42 dalam pembobotan kriteria dan kelas kawasan
kumuh yang berarti termasuk dalam permukiman kumuh tinggi.
RW 06 yang menjadi tempat penelitian kami berada di pinggiran anak sungai yang melintasi
kelurahan ini. RW 06 terdiri dari 5 RT dan 168 kepala keluarga. Menurut ibu ketua RT 03 yang
merupakan salah satu warga yang di‘tua’-kan, komposisi warga RW 06 mayoritas merupakan
pendatang dari luar Bandung. Maka dapat diasumsikan bahwa kawasan padat penduduk RW 06
Kelurahan Babakan Surabaya disebabkan oleh terjadinya urbanisasi.
Santoso (2002) dalam KurniImas (2007) juga mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat
yang berpenghasilan rendah adalah : (Hutapea, 2012)
1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan,
minimal pekerjaan di sektor informal
2. Kualitas fisik rumah dan lingkungan tidak penting sejauh mImas dapat menyelenggarakan
kehidupan
3. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan tidak penting. Yang
penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah
adalah sebuah fasilitas
Definisi squatters secara umum adalah daerah permukiman di kawasan kota yang dihuni
oleh orang-orang yang sangat miskin yang tidak mampu mempunyai tanah sehingga
menempati tanah negara, tanah swasta, atau pun tanah per orangan (Depkimpraswil; 2002; 3).
Sedangkan, squatter (pemukim liar) menurut “The Concise” Oxford Dictionary adalah orang yang
menempati tanah Negara tanpa hak, orang yang mengambil kepemilikan tanpa persetujuan
terhadap tanah kosong. Daerah yang dihuni penduduk liar disebut permukiman liar. Ini berarti
bahwa permukiman liar bisa berupa rumah bata dan beton sampai dengan rumah kardus.
Definisi slum menurut Abrams adalah “The word slum is a catchall for poor housing of
every kind as a label for the environment.” (Abrams; 1964; 3). Berdasarkan definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud slum sangat berkaitan dengan lingkungan yaitu
perkampungan miskin dan perkampungan kotor yang melarat, tanah yang mereka tempati
sudah menjadi milik mereka dengan atau tanpa izin pemerintah atau pemilik tanah. Namun
karena kondisi ekonomi dan pendidikan mereka yang rendah, lingkungan permukiman tempat
mereka tinggal pun tidak terawat sehingga menjadi sangat kotor.
Ciri-ciri fisik daerah kumuh adalah penduduknya, jalan sempit berupa gang-gang kecil,
drainase tidak memadai bahkan ada yang tanpa drainase, tidak ada ruang terbuka diantara
rumahnya, fasilitas pembuangan air kotor atau tinja sangat minim, fasilitas sumber air bersih
sangat minim, tata bangunan yang sangat tidak teratur, sistem sirkulasi udara dalam rumah
tidak baik, tidak ada privasi bagi penghuni rumah, dan biasanya berlokasi di pusat kegiatan
ekonomi perkotaan. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana
Jurusan Arsitektur, Institut Universitas Universitas Sumatera Sumatera Utara Teknologi Sepuluh
November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk menentukan kekumuhan
suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :
1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur rumahnya,
pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian atau rumah dan bangunan dan tatanan
bangunan.
2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi,
ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada
tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non
fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan
permukiman.
1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah
2. Sulit mencari pekerjaan
3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga
yang rendah
6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) juga mengemukakan penyebab adanya
permukiman kumuh adalah sebagai berikut:
1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi,
ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat
2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia
fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang
tidak terencana dengan baik.
Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial,
dan budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh
dapat tercermin dari:
Foto diatas (foto terakhir) adalah foto setelah kami mewawancarai Bu Linda. Bu Linda yang
mengenakan baju putih, sedangkan disebelah kirinya adalah Bu Yani (ibu kandung dari Bu Linda). Saat
kami disana, suami Bu Linda dan Bapak Asep sedang bekerja sehingga kami hanya dapat berfoto
dengan dua anggota keluarganya. (Yang menggambil gambar ini adalah Freshky Pumars).
2. Rumah Ibu Titin
Kondisi Ekonomi
Pekerjaan Suami Bu Titin adalah penjual bubur lemu dengan berjualan di depan BTM (Bandung
Trade Mall). Biaya listrik dan air yang ditanggung di rumah ini sebanyak ± Rp 225.000,-/bulan,
sedangkan biaya belanja bulanan untuk semua anggota keluarga sebesar Rp 3.900.000,-/bulan. Setiap
kali keluarga ini berbelanja kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke pasar di Babakan Surabaya. Rumah
ini memiliki kulkas dan dua buah televisi yang masih berfungsi dengan baik ditambah dengan sebuah
komputer model tabung yang terlihat sudah cukup lama dan berdebu.
Kondisi Fisik
Rumah ini memiliki 4 kamar, 1 dapur dan 3 WC. Untuk 3 kepala keluarga dengan anak cucunya,
rumah ini tergolong sempit untuk dihuni. Cucu beliau yang masih kecil sulit untuk bermain dengan
lincah ketika tiga orang dari kami berada di dalam ruang tengah. Sumber air dirumah ini bukan berasal
dari sumur, namun menggunakan air PDAM yang didapat dari tetangga beliau sehingga iuran air
dibayar kepada tetangganya tersebut. Ventilasi yang terdapat di rumah ini berupa celah kotak yang
dilapisi jaring penutup yang berguna untuk mencegah serangga masuk ke dalam rumah dan tidak ada
jendela yang bisa dibuka untuk ventilasinya. Beberapa bagian lantai rumah beliau belum
menggunakan lantai keramik.
Jumlah kamar
:6 buah
Jumlah kamar mandi
:1 buah
Jumlah dapur
:2 buah
Gambar 8 Denah
Lantai 1 Rumah
Ibu Cucu
Sumber: Koleksi Pribadi, 2016
Kondisi Sosial
Pemilik Rumah yang kami wawancarai adalah Ibu Cucu. Berdasarkan Sejarahnya, rumah ini tidak
ditempati semenjak mereka lahir. Mereka (Ibu Cucu dan Pak Yeye) pindah ke rumah ini setelah mereka
berdua menikah. Dulunya rumah ini ditinggali oleh orang tua dari Pak Yeye.
Kondisi Ekonomi
Pekerjaan dari Pak Yeye adalah sebagai Pedagang sembako, Sementara untuk keluarga Pak
Idwan, Pak Idwan bekerja sebagai pegawai swasta. Untuk Keluarga Pak Yuda, Pak Yuda dan Ibu Sinta
keduanya sama-sama bekerja yakni keduanya bekerja sebagai pegawai Swasta. Pendapatan lain dari
keluarga yang berada di rumah ini adalah dari mengontrakan sebagian dari rumah mereka. Di bagian
depan rumah juga terlihat mereka menjajakan makanan (seblak) untuk menambah penghasilan mereka.
biaya penguluaran mereka untuk memenuhi listrik rumah ini sebesar Rp.200.000,00 per bulan.
Sementara untuk keperluan air keluarga mereka menggunakan air langsung dari PDAM. Biaya yang
mereka keluarkan untuk keperluan air kira-kira sebesar Rp.100.000,00 perbulannya . Untuk memenuhi
kebutuhan makan sehari-harinya keluarga ini memerlukan biaya kira-kira Rp.50.000,00. Di dalam rumah
ini juga terdapat beberapa fasilitas yang cukup lengkap seperti televisi, lemari, sofa, lemari es, dan lain-
lain. Kondisi dari fasilitas tersebut terbilang masih cukup baik.
Kondisi Fisik
Rumah ini memiliki 2 lantai dan 6 kamar tidur dengan 3 kamar tidur berada di lantai atas dan 3
kamar tidur berada di lantai bawah. Sebenarnya ada 1 kamar lagi di lantai bawah, namun ruangan itu di
sewakan (dikontrakan). Di rumah ini juga terdapat 1 kamar mandi dan dua dapur yang terletak agak ke
dalam. Dapur terdapat di lantai 1 dan lantai 2. Selain itu, pada rumah bagian bawah terbagi menjadi
dua, satu rumah dijadikan kontrakan oleh Pak Yeye sedangkan satunya lagi menjadi tempat tinggal bagi
Pak Yeye dan keluarga.
Gambar 10 Kondisi Rumah Pak Yeye
Sumber: Hasil Observasi, 2016
Hasil Analisis