Anda di halaman 1dari 41

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM KESEHATAN RUMAH SAKIT

Dosen pembimbing:

Fresley Hutapea, SH, MH, MARS

Disusun oleh:

Sri Astuti - 20190309116

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

2021
SOAL MID TEST (UTS) – S2 MARS UEU 2021

Di salah satu kota ada suatu RS kls B dengan jumlah 215 tt dan 570 pegawai yang dimiliki
sebuah Yayasan Pendidikan yang sudah lama berdiri dan melakukan pelayanan kesehatan baik
pelayanan asuransi kira kira 20 % , dan juga pelayanan BPJS 65 % dan sisa pelayananan
umum dengan rata rata BOR 60 setiap bulannya dengan keunggulan pelayanan Cancer
Terpadu .
Dalam kenyataannya RS selalu mengalami kerugian dan selalu melakukan peminjaman uang
setiap bulan untuk menutupi biaya operasional dan biaya SDM sehingga dipandang perlu diteliti
secara cermat bagaimana mengatasainya . Masalah lain yang dihadapi RS adalah masalah
pelayanan.masalah keuangan terutama krn belum adanya penyesuaian tarif RS dengan tarif
dalam pelayanan BPJS serta belum adanya pemisahan pelayanan Asuransi dan pelayanan BPJS
dengan pelayanan umum Jumlah pegawai terlalu banyak sehingga biaya SDM sangat besar
maka dipandang perlu dilakukan Analisis Beban Kerja (ABK) sesuai dengan tupoksi dan
kompetensi masing masing pegawai Keinginan Pimpinan RS melakukan pemisahan Pelayanan
umum dan Pelayanan Eksekutif terlebih dahulu melakukan ABK di RS
Permasalahan yang dihadapi RS tersebut tadi adalah bagaimana cara dan prosedurnya untuk
mendirikan dan menyelenggarakan Pelayanan Umum dan Pelayanan Eksekutif dengan
membedakan tempat pelayanan dan fasilitasnya , membedakan tarif dan juga membedakan
SDM dengan komposisi yang sesuai kebutuhanya serta sarana prasarana serta alat apa yang
dibutuhkan yang diperlukan termasuk diperlukan adanya aturan aturan seperti Standar
Pelayanan dan SOP/SPO yang sesuai kebutuhan yang tentunya harus disusun dalam suatu Study
Kelayakan atau Feasibility Study Pengembangan Pelayanan

Untuk itu meminta bantuan saudara sebagai Lulusan Magister Managemen RS yang dianggap
sebagai konsultan dlm bidang Perumahsakitan dengan imbalan yang dapat disepakati bersama
Pertanyaan :
A. MATERI UMUM

1. Dalam setiap penyelenggaraan RS selalu tekait dengan Etika,Norma,Displin dan Hukum


Coba sdr jelaskan bagaimana penerapan Etika,Norma ,Displin dan Hukum dalam
bidang pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit berikan dengan Contoh contoh kontrit

2. Bagaimana tanggapan saudara terhadap masalah masalah yang terjadi di Rumah sakit
baik Permasalahan Manajerial di RS, Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan
Manajerial RS dan Permasalahan tehnis medis yang berkaitan dengan Hukum pada
saat ini. Uraikan secara singkat dan jelas
.
3. Dalam permasalahan tehnis medis sering ditemukan istilah PMH ( Perbuatan Melawan
Hukum),Malpraktek,Kelalain medis KTD,KNC dll termasuk istilah Resiko medis
Coba sdr jelaskan bagaimana pandangan saudara tentang Risiko medis dilihat dari aspek
hukum Kesehatan

4. Dalam setiap Rumah sakit harus melaksanakan Clinical Covernance ,Jelaskan Clinical
Governance dengan Karakteristiknya dan Cakupannya serta Standar standar yang
diperlukan dalam pelasanaannya

5. Bagaimana pendapat saudara tentang Permenkes 3 Th 2020 tentang Klasifikasi dan


perizinan RS dan PP 47 Th 2021 dikaitkan dengan Peraturan yg berlaku selama ini
.Uraikan secara tegas dan jelas

6. Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan harus dilakukan berdasarkan Patien Safety dan


berorientasi dengan Patien Center Care (PCC) Coba sdr jelaskan maksud dari hal
tersebut didukung dengan indicator indicator pelaksanaannya

7. Bagaimana pendapat saudara terhadap Persyaratan tehnis utk menjadi


Pimpinan/Direktur RS sesuai yang diatur dalam Permenkes 971/2008 dikaitkan dengan
kebutuhan sekarang ini. Jelaskan pandangan saudara.

8. Uraikan pandangan saudara terhadap pelaksanaan Hak Hak Pasien dikaitkan dengan
pelaksanaan BPJS sekarang ini .Jelaskan dan contoh

9. Perlindungan Hukum bagi Nakes sangat mendasar dan penting dalam tugas pelayanan
kesehatan .Bagaimana tanggapan saudara perlindungan Nakes dalam penanganan
Covid 19. Pada saat sekarang ini. Jelaskan

10. Dalam penanganan Covid 19 sekarang ini boleh melakukan OMS ( Online Medical
Service ) yang d lakukan dengan Telemedicine . Jelaskan bagaimana hal ini dikaitkan
dengan Permenkes No 290 th 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran . Jelaskan

II .B.ANALISIS KASUS

1. Sebagai Lulusan Magister Managemen RS tentunya saudara dapat memberikan


pertimbangan-pertimbangan pada Perusahaan/ Yayasan tersebut untuk mendirikan dan
menyelenggarakan Pengembangan Pelayanan Rumah Sakit. ..Uraikan pertimbangan-
pertimbangan Saudara secara lengkap dan jelas sesuai kondisi RS
2. Dalam proses Pengembangan Pelayanan Rumah Sakit diperlukan adanya Studi
Kelayakan (feasibility study), sesuai peraturan yang berlaku, Bagaimana prosedur
membuat Study Kelayakan pengembangan pelayanan RS dengan rincian kebutuhan
dalam hal itu sehinga dapat diketahui
a. Analisis kebutuhan pelayanan (program fungsi)
b. Analisis kebutuhan SDM (kompetensi masing-masing)
c. Analisis kebutuhan Sarana, Prasarana dan Alat (SPA)
d. Analisis kebutuhan biaya

Susunan secara lengkap Study Kelayanannya yang didukung data dan perhitungan
serta pertimbangan yang tegas dan secara lengkap.

3. Mengingat banyaknya pegawai diperlukan adanya Analisis Beban Kerja .Jekaskan


tatacara pelaksanaanya sehingga dapat tercipta efisiensi dan efektifitas dalam
pelaksanaan tugas di RS

4. Uraikan Tata Kelola RS meliputi Good Covernance baik Good Corporate


Covernance maupun Good Clinical Covernance yang sesuai dengan Pengembangan
Pelayanan dimaksud Jelaskan

5. Jelaskan pula aturan aturan dan Standar apa yang diperlukan termasuk kebijakan,
pedoman dan berapa SOP/SPO yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
Pengembangan Pelayanan RS tersebut. Uraikan secara lengkap
JAWABAN :

I. MATERI UMUM :
1. Etika :
Etika adalah ilmu yang mecari orientasi (ilmu yang memberarah dan pijakan pada tindakan
manusia). Apabila manusia memiliki orientasi yang jelas, dia tidak akan hidup dengan
sembarang cara atau mengikuti berbagai pihak tetapi dia sanggup menentukan nasibnya
sendiri. Dengan demikian, etika dapat membantu manusia untuk bertanggung jawab atas
kehidupannya. Berdasarkan pengertian tadi, dapat dirumuskan pengertian etika menjadi tiga,
pertama etika merupakan sistem nilai, yakni nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pegangan (landasan, alasan, orientasi hidup) seseorang atau kelompok orang dalam
mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kumpulan asas–asas akhlak (moral) atau semacam
kode etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk. Hal ini
terjadi apabila nilai-nilai, norma-norma moral, asas-asas akhlak (moral), atau kode etik yang
terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat menjadi bahan refleksi (pemikiran) secara
menyeluruh (holisti), sistematis, dan metodis. Etika merupakan pemikiran kritis tentang
berbagai ajaran dan pandangan moral. Etika sering disebut filsafat moral, karena
berhubungan dengan adat istiadat, norma-norma, dan nilai-nilai yang menjadi pegangan
dalam suatu kelompok atau seseorang untuk mengatur tingkah laku.
Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh
masyarakat tertentu dan menjadi norma. Ada 4(empat) macam etiket, yaitu :
1) Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Contoh: Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus
menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya
dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
2) Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di
sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka
etiket tidak berlaku. Contoh: Saya sedang makan bersama teman sambil meletakkan
kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau
saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket
jika saya makan dengan cara demikian.
3) Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh: makan dengan tangan atau
bersendawa waktu makan.
4) Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket
bisa juga bersifat munafik. Contoh: Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu
ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etiket juga merupakan aturan-aturan konvensional melalui tingkah laku individual
dalam masyarakat beradab, merupakan tatacara formal atau tata krama lahiriah untuk
mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status sosial masing-masing individu.
Etiket didukung oleh berbagai macam nilai, antara lain;
a. Nilai-nilai kepentinganumum
b. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan kebaikan
c. Nilai-nilai kesejahteraan
d. Nilai-nilai kesopanan, harga-menghargai
e. Nilai diskresi (discretion: pertimbangan) penuh piker. Mampumembedakan
sesuatu yang patut dirahasiakan dan boleh dikatakan atau tidak dirahasiakan

Dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral sama
dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
seseorang, atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Berbicara mengenai
tingkah laku seseorang, maka ini pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan
oleh seseorang dalam memaknai dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Disinilah
manusia membedakan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan tidak boleh
dilakukan walaupun tindakan ini bersifat kejam. Sebagai contoh adalah aborsi, di dalam
keadaan medis tertentu seorang dokter terpaksamelakukan aborsi untuk menyelamatkan
salah satu nyawa. Namun moralitas tidak dapat membenarkan tindakan tersebut, karena
seorang dokter tidak punya hak atau wewenang untuk memilih mana yang harus
diselamatkan si ibu atau si anak. Atas pertimbangan apa seorang dokter berlaku sebagai
Tuhan yang menentukan siapa berhak hidup dan siapa harus mati? Hal tersebut sampai
hari ini masih menjadi polemik diantara kelompok pro choice dan pro life.

Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan


kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin (Gakin).
Persamaan etika dan hukum :

a. Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakan

b. Objeknya tingkah laku manusia

c. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.

d. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi

e. Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior


Etika disusun oleh pengalaman senior. Hukum disusun oleh yang memiliki kekuasaan
Perbedaan etik dan hukum :

ETIKA HUKUM :

1. Berlaku untuk lingkungan professional

2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi

3. Tidak seluruhnya tertulis

4. Pelanggaran diselesaikan oleh majelis kehormatan etik

5. Sanksi pelanggaran tuntunan

6. Penyelesaian pelanggaran tidak selalu disertai bukti fisik

7. Berlaku untuk umum

8. Disusun oleh badan pemerintah / kekuasaan

9. Tercantum secara rinci dalam kitab UU dan lembaran/berita negara

10. Pelanggaran diselesaikan melalui pengadilan

11. Sanksi pelanggaran tuntutan

12. Penyelesaian pelanggaran memerlukan bukti fisik

2. Pengertian Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan. hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban
menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan masyarakat) maupun dari
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar
pelayanan medik dan lain-lain. Sebagai subjek hukum, pelaku di sektor kesehatan seperti
dokter, dokter gigi, direktur RS, kepala dinas kesehatan, kepala bidang, kepala Puskesmas
selalu melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan apabila bertentangan
dengan regulasi yang berlaku maka akan menimbulkan adanya sanksi hukum. Setiap subject
hokum di bidang kesehatan harus memahami mengenai hukum kesehatan. Kurangnya
pemahaman terhadap hukum kesehatan mengakibatkan sering terjebak dalam perbuatan
hukum yang dilakukannya.
Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hubungan antara tenaga
medik, rumah sakit dan pasien diatur tersebar dalam dalam beberapa Undang-undang. Di
antaranya adalah UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit; UU No.23 Tahun 1992 dan UU
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu hubungan ini juga terkait
dengan KUHP, KUHAP, dan UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo UU No.51
Tahun 2009 Peradilan TUN Tanggung jawab hukum yang meliputi 3 (tiga) bidang hukum,
yaitu :
1) Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hokum perdata. Hal ini terkait dengan
aturan-aturan / pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mencakup 2 (dua) hal yaitu:
a. Tanggung jawab hukum perdata dokter kepada pasien karena wanprestasi terkait
dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dimana syarat ke-3 (tiga) mengenai obyeknya
harus tertentu tidak dapat terpenuhi, mengingat obyek perikatan antara dokter
dengan pasien berupa upaya dokter untuk menyembuhkan pasien secara cermat,
hati-hati dan penuh ketegangan (inspanningsverbintenis) sehingga Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat serta merta diterapkan dalam
perikatan antara dokter dengan pasien.
b. Tanggung jawab hukum perdata dokter karena perbuatan melawan hukum.
Tanggung jawab hokum perdata dokter karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) ini diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa dokter harus bertanggung jawab atas
kesalahannya yang merugikan pasien dan untuk mengganti kerugian, selain itu
dokter harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kelalaian dan
kurang hati-hati dalam menjalankan tugas profesionalnya serta dokter harus
bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya yang
atas perintahnya melakukan perbuatan tersebut.
2) Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hokum pidana. Tanggung jawab ini
timbul bila karena ada kesalahan profesional yaitu kesalahan baik dalam diagnosa dan
terapi maupun tindakan medik tertentu yang harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu
Duty of Care (kewajiban perawatan), Dereliction of That Duty (penyimpangan
kewajiban), Damage (kerugian), Direct Causal Relationship (ada kaitannya dengan
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang timbul) yang terdiri dari baik
kesengajaan maupun kealpaan.
3) Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hokum administrasi. Yaitu tanggung
jawab dokter yang berkaitan dengan persyaratan administrasi yang menyangkut
kewenangan dokter dalam menjalankan tugas profesinya.
Ada beberapa macam pola yang berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja
antara dokter dan Rumah Sakit, antara lain:
a. Dokter sebagai employee
b. Dokter sebagai attending physician (mitra)
c. Dokter sebagai independent contractor

Sedangkan Hubungan hukum antara dokter dengan pasien selama ini adalah bersifat
vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows
best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dalam hubungan ini kedudukan
dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena
dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan
penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien
menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter. Namun dalam dinamika perkembangan saat
ini, pola hubungan pasien dan dokter cenderung ke arah horisontal kontraktual yang bersifat
“inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum
(pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak
yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau
kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Beberapa
hambatan yang ditemukan diantaranya adalah:
a. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak selaras satu dengan lainnya
sehingga menyulitkan dalam penegakannya. Misalnya, Menurut UU No.44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Pasal 32 huruf r dikatakan Setiap pasien mempunyai hak:
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidaksesuai dengan standar pelayanan melalui
media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tetapi dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE pasal 27 ayat 3 menyatakan “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” adalah perbuatan
termasuk perbuatan yang dilarang.
b. Dalam hubungan dokter dan pasien, tidak bisa serta merta diketahui hubungan seorang
dokter dengan rumah sakit, apakah sebagai employee, attending physician (mitra) atau
independent contractor . Hal ini menyulitkan pihak yang dirugikan menentukan siapa
yang bertanggung jawab.
c. Ada hubungan antar tenaga medik, terutama dokter dan perawat yang masih memerlukan
pengaturan lebih jelas, terutama mengenai kewenangan yang didelegasikan dan siapa
yang bertanggung jawab
3. Kelalaian dalam hukum pidana disebut juga dengan kealpaan. Kelalaian dalam hukum medis
sering disebut dengan Negligence. Negligence adalah hal yang manusiawi yang sering
dialami oleh manusia karena manusia tidaklah sempurna. Seseorang dikatakan lalai apabila ia
bertindak acuh atau tidak pedulian.Tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana
lazimnya di dalam tata-pergaulan hidup masyarakat. Pengertian kelalaian medis sendiri secara
harfiah dapat berarti bad practice atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek
penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung
ciri ciri khusus. karena malpraktik berkaitan dengan “how to practice the medical science
and technology” yang sangat erat hubungan dengan sarana kesehatan atau fasilitas kesehatan
dan orang yang melakukan pelayanan kesehatan. sehingga beberapa ahli menyebutnya dengan
istilah lain yaitu maltreatment. Malpraktek bukan sinonim dengan kelalaian.
Malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti
malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian, dapat juga
karena ada unsur kesengajaan. Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas
daripada kelalaian, namun akibat yang timbul memang bukan menjadi tujuannya. pada
umumnya terjadi miskonsepsi yang menganggap setiap kegagalan praktek medis
tersebut sebagai akibat adanya tindakan dokter yang dapat dikategorikan sebagai
malpraktek medis atau akibat kelalaian medis dan akibatnya pasien yang merasa tidak
puas dan mengadukan / melaporkan kasus tersebut melalui jalur hukum. Kelalaian medis
merupakan kondisi dimana seorang dokter atau tenaga medis melakukan penyimpangan
terhadap kode etik kedokteran,standar profesi dokter dan standar operasional prosedur
(SOP) saat melakukan tindakan medis terhadap pasiennya sehingga mengakibatkan kerugian
yang diderita pasien akibat dari tindakan medis tersebut.
Seorang dokter akan bertanggungjawab dan dipersalahkan atas dasar profesional
negligence apabila sikap tindaknya tidak berdasarkan standar profesi yang berlaku umum.
Seorang dokter dalam menjalankan keprofesiannya itu harus mendasarkan kepada standar
yang telah berlaku, baik itu standar profesi maupun standar pelayanan medis. Oleh sebab itu,
salah satu ukuran kelalaian medis adalah ketika dokter tidak melaksanakan pelayanan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan atau yang telah menjadi ukuran umum. Setiap profesi itu
mempunyai ciri-ciri khusus, misalnya profesi kedokteran yang mempunyai ciri khusus
bersifat otonom memiliki identitas tertentu, memiliki kelompok atau komunitas tertentu, dan
yang terpenting adalah memiliki sistem nilai yang akan dapat mengikat perilaku dokter, baik
kepada sesama koleganya maupun terhadap anggota masyarakat. Sistem nilai inilah yang
melahirkan etika kedokteran. Sementara itu, sifat otonom profesi dokter melahirkan standar
profesi dan standar prosedur sebagai pedoman dan memberi arah praktik kedokteran.
Pengingkaran terhadap isi standar profesi dan standar prosedur serta nilai etika dapat terjebak
pada masalah kelalaian medis manakala menyebabkan satu kerugian atau bahkan
menimbulkan luka dan atau kematian pasien.
Malpraktek sebagaimana definisi yang ada bukanlah suatu rumusan hukum yang
diatur dalam undang-undang, melainkan suatu kumpulan dari berbagai perilaku menyimpang
yang dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran /
ketidak kompetenan yang tidak beralasan (profesional misconduct).
Siapakah yang berhak untuk menentukan standar profesi. Tidak lain adalah kalangan
dokter itu sendiri. Profesi dokter bersifat otonom, segala ketentuan yang menyangkut
pelaksanaan pekerjaan profesi ditentukan sendiri oleh kelompok profesi. Kelompok profesi
menentukan sendiri isi dari standar pelayanan yang dianggap benar. Pemerintah disini sekedar
menentukan kewajiban dokter untuk melaksanakan dan mentaati isi dari standar profesi
kedokteran dan perobatan yang dibuat oleh kelompoknya melalui peraturan perundang-
undangan dan juga memberikan ancaman sanksi hukum terhadap yang melanggar.
Tolok ukur satu kelalaian medis adalah diperlukan bagi mengetahui mana tindakan
dokter yang salah dan mana yang tidak. Dalam satu proses perobatan tidak selalu sesuai
dengan harapan pasien. Adakalanya proses pengobatan atau tindakan medis dokter tidak
berhasil atau dengan kata lain dokter mengalami satu kegagalan medis. Seringkali kegagalan
medis diidentikan dengan satu kesalahan atau kelalaian dokter. Dalam dunia kedokteran
dikenali satu istilah yang biasa disebut sebagai risiko medis, adalah suatu keadaan yang tidak
dapat dijangka sebelumnya,atau satu keadaan yang secara medis sudah tidak dapat dilakukan
langkah-langkah pencegahan.
Setiap manfaat yang akan kita dapat selalu ada risiko yang harus kita hadapi. Satu-
satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Pada dasarnya
setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak ada yang bebas dari risiko. Oleh karena
yang demikian, untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan, seorang profesional harus
selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko-risiko yang
mungkin terjadi. Suatu hasil yang tidak diharapkan terjadi di dalam paktek kedokteran
sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada
hubungannya dengan tindakan medik yang dilakukan dokter. Risiko yang tidak dapat
diketahui sebelumnya. Risiko seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh
karena sifat ilmu empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan
terhadap pengaruh eksternal
2. Hasil dari suatu risiko yang tidak dapat dihindari. Risiko yang meskipun telah dapat
diketahui sebelumnya, tetapi dianggap dapat diterima, dan telah diinformasikan kepada
pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan, yaitu
1. Risiko yang derajat probabilitasnya dan keparahannya cukup kecil, dapat
diantispasi, diperhitungkan, atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping dari
obat, pendarahan, dan infeksi pada pembedahan dan lain-lain
2. Risiko yang derajat probabilitasnya dan tingkat keparahannya besar pada keadaan
tertentu, yaitu apabila tindakan medik yang berisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh, terutama dalam
keadaan gawat darurat.

Pada dasarnya risiko medis adalah tidak dapat dimintakan


pertanggungjawaban kepada dokter yang telah menyebabkan terjadinya risiko
tersebut sepanjang dokter telah melakukan tindakan sesuai dengan standar
prosedur, dan sesuai dengan ketentuan pengobatan yang telah diterima secara betul
oleh khalayak dokter. Di negara-negara Common Law terdapat suatu doktrin yang biasa
digunakan sebagai alasan pembenaran dokter terhadap satu kegagalan medis, yaitu:

Risiko didalam pengobatan (Risk of treatment),

1. Risiko yang melekat,


2. Risiko dari akibat reaksi alergi,
3. Risiko komplikasi yang telah timbul dalam tubuh pasien;
4. Kecelakaan atau (mishap, accident, misadventure, mischance);
5. Kekeliruan dalam penilaian klinis atau (non negligent error of clinical judgment);
6. Volent non fit iniura; Contributory negligence

4. Komite medik berdasarkan Permenkes 755 tahun 2011 adalah perangkat rumah sakit untuk
menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga
profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan
pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis. Komite medik terdiri atas Subkomite
kredensial, Subkomite mutu profesi, dan Subkomite etika dan disiplin profesi. Tujuan komite
medik untuk menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu
pelayanan medis dan keselamatan pasien lebih terjamin dan terlindungi. Komite medik
mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis yang bekerja dirumah sakit
dengan cara:
a. melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis
di rumah sakit
b. memelihara mutu staf medis
c. menjaga displin, etika dan perilaku profesi staf medis
Program kerja komite medik dalam menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) melalui:
1) Sub Komite kredensial: bertugas menapis profesionalisme staf medis.
Adapun program kerja dari subkomite kredensensial adalah :
a) Penyusunan dan pengkompilasian daftar kewenangan klinis sesuai dengan
masukan dari kelompok staf medis berdasarkan norma keprofesian yang berlaku.
b) Menyelenggarakan pemeriksaan dan pengkajian kompetensi, kesehatan fisik dan
mental, perilaku dan etika profesi.
c) Mengevaluasi data pendidikan profesional kedokteran/ kedokteran gigi secara
berkelanjutan.
d) Melakukan wawancara terhadap pemohon kewenangan klinis.
e) Melakukan penilaian dan pemutusan kewenangan klinis.
f) melakukan pelaporan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi
kewenagan klinis kepada ketua komite medik.
g) melakukan proses rekredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat
penugasan klinis dan adanya permintaan dari komite medik.
h) membuat rekomendasi kewenangan klinis dan menerbitkan surat penugasan
klinis.

2) Sub Komite mutu profesi; bertugas mempertahankan kompetensi dan profesionalisme


staf medis.
Adapun program kerja dari subkomite mutu profesi staf medis adalah :
a) Melaksanakan audit medis ( audit individu, audit kasus insidental, audit 10
penyakit terbanyak)
b) Merekomendasikan pendidikan berkelanjutan bagi staf medis baik kegiatan
pendidikan internal maupun kegiatan eksternal rumah sakit misalnya sharing
knowledge
c) Merekomendasikan proses pendampingan (proctoring) bagi staf medis yang
membutuhkan
d) Menyusun clinical pathaway sebagai standar pelayanan medis dan asuhan
keperawatan yang berbasis bukti
3) Sub Komite etika dan displin profesi; bertugas menjada disiplin, etika, dan perilaku
profesi staf medis.
Adapun program kerja dari subkomite etika dan disiplin profesi adalah :
a) melakukan pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran
b) melakukan pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin
c) merekomendasikan pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit
d) memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis
pasien.

5. Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menggantikan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit karena perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Permenkes 3
tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Izin
Mendirikan Rumah Sakit adalah izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan
atas nama menteri, gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit melakukan
pendaftaran sampai sebelum pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan memenuhi persyaratan
dan/atau komitmen menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Permenkes 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit juga
menyebutkan bahwa Izin Operasional Rumah Sakit atau Izin Operasional adalah izin
komersial atau operasional yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota setelah pemilik Rumah Sakit mendapatkan Izin Mendirikan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit ditetapkan oleh Menkes Terawan Agus Putranto di Jakarta pada tanggal 14 Januari
2020. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit diundangkan Dirjen Peraturan Perundang-Undangn Kemenkumham Widodo
Ekatjahjana pada tanggal 16 Januari 2020 di Jakarta, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3
tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ditempatkan pada Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 21. Agar setiap orang mengetahuinya. Klasifikasi
Rumah sakit sesuai Permenkes 3 Tahun 2020.
Rumah Sakit Kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah, rumah sakit ini telah ditetapkan
sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut juga rumah
sakit pusat. Kita mengenal pelayanan BPJS menggunakan sistem berjenjang, ika tidak bisa
ditangai di faskes tk1 (puskesmas, poliklinik, doktr pribadi) maka akan dirujuk ke fasks tk 2
(rumah sakit kabupaten), jika di faskes tingkat 2 masih belum juga bisa ditangani maka pasien
akan di rujuka ke faskes tinggak 3 yaitu rumah sakit tipe A.
Rumah sakit Tipe B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas. Rumah sakit tipe B ini
direncanakan akan didirikan di setiap ibukota propinsi (provincial hospital) yang dapat
menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang
tidak termasuk tipe A juga diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.
Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam pelayanan spesialis disediakan yakni
pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan
kebidanan dan kandungan. Rumah sakit kelas C ini adalah rumah sakit yang didirikan di Kota
atau kabupaten-kapupaten sebagai faskes tingkat 2 yang menampung rujukan dari faskes
tingkat 1 (puskesmas/poliklinik atau dokter pribadi).
Rumah Sakit Kelas D adalah rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat
akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit tipe D
hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan
rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D juga menampung pelayanan yang berasal dari
puskesmas
Rumah Sakit Kelas E merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak tipe E
yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru,
rumah sakit jantung, dan rumah sakit ibu dan anak.
Menurut saya berdasarkan pengelompokan rumah sakit yang diatur berdasarkan
undang-undang seharusnya pemerintah bisa menerapkan dan membantu setiap rumah sakit
agar memiliki semua fasilitas yang memenuhi setiap kebutuhan dari pasien. Hal ini
dikarenakan setiap pasien gawat darurat akan selalu membutuhkan fasilitias yang dimiliki
rumah sakit tipe A. kemudian mahalnya pembiayaan ataupun perawtan juga mempengaruhi
tingakatan rumah sakit. Dengan sistem BPJS seperti sekarang ini maka diharuskan dengan
rujukan vertical yang terarah. Sehingga perawatannya berjenjang.

6. Pelayanan Berfokus Pasien (Patient centered care) Menurut Institute for Patient-Family
Centered Care (2012) Pelayanan yang berpusat pada pasien dan keluarga adalah suatu
pendekatan dalam perencanaan, pemberian dan evaluasi pelayanan kesehatan yang berbasis
pada kemitraan yang saling memberikan manfaat antara penyedia pelayanan, pasien, dan
keluarga. Menurut Australian Commision on Safety and Quality in Health care (ACSQHC)
patient centered care adalah suatu pendekatan inovatif terhadap perencanaan, pemberian, dan
evaluasi atas pelayanan kesehatan yang didasarkan pada kemitraan yang saling
menguntungkan antara pemberi layanan kesehatan, pasien dan keluarga. Patient centered
care diterapkan kepada pasien dari segala kelompok usia, dan bisa dipraktekkan dalam setiap
bentuk pelayanan kesehatan.

1. Perbedaan Model Tradisonal dengan Patient centered care

Pada model tradisional dalam pelayanan kesehatan, dokter merupakan unit sentral
atau pusat dalam model pelayanan kesehatan. Pada model tradisional pelayanan
kesehatan ini, pasien dan keluarga “dibangun” patuh tanpa syarat kepada keahlian pada
profesional layanan kesehatan yang peternalistik. Model patient centered care merupakan
pendekatan yang lebih modern dalam pelayanan kesehatan sekarang. Model ini telah
menggeser semua pemberi pelayanan kesehatan menjadi di sekitar pasien dan berfokus
kepada pasien. Pada model patient centered care ini diberlakukan kemitraan yang setara.

Konsep Inti Patient centered care


Ada 4 Konsep inti yang ada dalam konsep PCC (Patient Centered Care) dalam
PFCC 2007, Benchmarking Project, Executive Summary and Strategy Map yaitu :
martabat dan respek, berbagi informasi, partisispasi, dan kolaborasi.

1. Martabat dan Respek

Dalam aspek ini, sikap seorang tenaga kesehatan mendengarkan, peduli dan
menghormati pilihan pasien. Pengetahuan, nilai-nilai yang dianut, dan background
Pasien, Perawat, Fisioterapi, Analis Dokter apoteker Lainnya Ahli Gizi budaya pasien
ikut berperan penting selama perawatan pasien dan menentukan outcome pelayanan
kesehatan kepada pasien. Kultur (kebudayaan) adalah determinan paling fundamental
dari keinginan dan perilaku seseorang. Seorang anak memperoleh serangkaian nilai,
persepsi, preferensi dan perilaku melalui keluarganya. Aspek martabat dan respek dalam
konsep patient centered care adalah perilaku seorang perawat yang mencerminkan sikap
caring saat melaksanakan pelayanan kesehatan. Perilaku caring mengandung 3 hal yang
tidak dapat dipisahkan yaitu perhatian, tanggung jawab, dan dilakukan dengan ikhlas.
Perilaku caring memiliki inti yang sama yaitu sikap peduli, menghargai dan menghormati
orang lain,member perhatian, dan mempelajari kesukaan seseorang serta cara berpikir
dan bertindak.

2. Berbagi Informasi Komunikasi

Dalam menginformasikan sesuatu kepada konsumen layaknya dilakukan dengan


efektif. Tanpa komunikasi yang efektif di berbagai pihak, pola hubungan yang kita sebut
organisasi tidak akan melayani kebutuhan seorang konsumen dengan baik. Dalam hal ini,
mengkomunikasikan dan menginformasikan secara lengkap mengenai kondisi pasien dan
hal- hal yang berkaitan dengan pasien, maupun program perawatan dan intervensi yang
akan diberikan kepada pasien. Memberikan Informasi secara lengkap dapat membantu
dalam perawatan pasien, meningkatkan pengetahuan pasien dan pembuatan keputusan.

3. Partisipasi

Pasien dan keluarga dilibatkan dan di-support untuk ikut serta dalam perawatan
dan pembuatan keputusan. Partisipasi adalah hal yang dapat mendorong peran serta
pasien dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan, dan harapan pasien. Keterlibatan atau partisipasi adalah status motivasi yang
menggerakkan serta mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saatn
mereka mengambil keputusan.

4. Kolaborasi
Tenaga kesehatan mengajak pasien dan keluarga pasien dalam membuat
kebijaksanaan, perencanaan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi
program yang akan didapatkan oleh pasien.

Planetree, pemimpin patient centered care yang diakui secara internasional telah
menunjukkan langkah besar dalam memajukan konsepnya. Model perawatan planetree
adalah pendekatan holistic berpusat pada pasien yang mempromosikan penyembuhan
mental, emosional, spiritual, social, dan fisik, sebagian dengan memberdayakan pasien
dan keluarga melalui pertukaran informasi.

Salah satu model desain dari patient centered care adalah Planetree model yang
mempunyai konsep :

a) Pasien memiliki hak untuk membuka dan komunikasi yang jujur dalam kepedulian dan
kehangatan lingkungannya.
b) Para pasien,keluarga dan staf professional mempunyai peran yang vital dalam tim.
c) Pasien bukan unit yang diisolasikan namun anggota dari keluarga,komunitas dan sebuah
budaya.
d) Pasien adalah seorang individu dengan hak, tanggungjawab, dan pilihan tentang gaya
hidup.
e) Sebuah lingkungan yang mendukung, ramah dan peduli adalah komponen penting yang
memberikan kesehtan berkualitas tinggi.
f) Lingkungan fisik sangat penting untuk proses penyembuhan dan harus dirancang untuk
mempromosikan penyembuhan dan pembelajaran, serta pasien dan keluarga
berpartisipasi dalam perawatan.

1. Aspek Patient Centered Care

Standar Akreditasi RS versi 2012 mengharuskan menyelenggarakan pelayanan terintegrasi pada


pelayanan-pelayanan. Kelompok standar pelayanan berfokus pasien yaitu :

• Akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan (APK)


• Hak Pasien dan Keluarga ( HPK)
• Assesmen Pasien (AP)
• Pelayanan Pasien (PP)
• Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)

6) Manajemen Penggunaan Obat (MPO)

7) Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)

Konsep lama System-centered care


Konsep lama dari system-centered careyaitu :

1) Konsep keluarga dipertentangkan

2) Definisi keluarga masih dipertentangkan

3) Ketidakmampuan pasien dan keluarga

4) Majunya teknologi dan biomedis, meletakkan nilai interaksi manusia dalam


perawatan kesehatan pada posisi bawah

5) Digerakkan oleh system.

Fokus baru Patient centered care

Fokus baru patient centered care yaitu :

1) Menghormati
2) Kekuatan
3) Pilihan
4) Fleksibel
5) Informasi
6) Support
7) Kolaborasi
8) Pemberdayaan

Alasan dilakukanpatient centered care:

a) Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol


b) Berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber keluarga daripada kelemahan keluarga
c) Mengakui keahlian keluarga dalam merawat pasien seperti sebagaimana professional
d) Membangun pemberdayaan daripada ketergantungan
e) Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan pasien, keluarga, dan pemberi
pelayanan daripada informasi hanya diketahui oleh profesional.
f) Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku

Deklarasi Patient Centered Healthcare


Deklarasi patient centered healthcare berdasarkan International Alliance of
Patients Organization( IAPO) yaitu :

1) Sistem kesehatan di semua bagian dunia ada dibawah tekanan dan tidak dapat
mengatasinya bila mereka terus memusatkan perhatian pada penyakit dan bukan pada
pasien.
2) Merek membutuhkan keterlibatan dari pasien secara individual yang melekat terhadap
pengobatan mereka, membuat perubahan perilaku dan kelola diri.
3) Layanan kesehatan yang patient centered bisa jadi merupakan cara yang paling efektif
biaya untuk meningkatkan hasil kesehatan bagi pasien.
4) Prioritas pasien, keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan berbeda dalam setiap Negara
dan dalam setiap negara dan dalam setiap area penyakit, tetapi dari keberagaman ini kita
mempunyai kesamaan prioritas.

7. Persyaratan Pemimpin Rumah Sakit


Pengangkatan pegawai ke dalam suatu jabatan struktural kesehatan dilakukan setelah
memenuhi persyaratan kualifikasi serta standar kompetensi jabatan yang akan dipangkunya
melalui proses rekruitmen dan seleksi sesuai peraturan perundang-undangan. Standar
kompetensi jabatan meliputi kompetensi dasar, kompetensi bidang dan kompetensi khusus.
Kompetensi dasar sebagaimana dimaksud meliputi:

o Integritas o
Kepemimpinan o
Perencanaan o
Penganggaran o
Pengorganisasian
o Kerjasama o
Fleksibel.
Kompetensi Bidang sebagaimana dimaksud meliputi:

• Orientasi pada pelayanan;

• Orientasi pada kualitas;

• Berpikir analitis;

• Berpikir konseptual;
• Keahlian tehnikal, manajerial, dan profesional; 
Inovasi. Kompetensi Khusus sebagaimana dimaksud meliputi:
o Pendidikan o
Pelatihan o
Pengalaman
jabatan.

Direktur Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan
keahlian di bidang perumahsakitan. Direktur Rumah Sakit telah mengikuti pelatihan
perumahsakitan meliputi Kepemimpinan, Kewirausahaan, Rencana Strategis Bisnis, Rencana
Aksi Strategis, Rencana Implementasi dan Rencana Tahunan, Tatakelola Rumah Sakit,
Standar Pelayanan Minimal, Sistem Akuntabilitas, Sistem Remunerasi Rumah Sakit,
Pengelolaan Sumber Daya Manusia. Pelatihan harus dipenuhi sebelum atau paling lama satu
tahun pertama setelah menduduki jabatan structural. Pengalaman jabatan Direktur diutamakan
meliputi :

a. Direktur Rumah Sakit Kelas A pernah memimpin Rumah Sakit Kelas B dan/atau pernah
menjabatsebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Kelas A paling singkat selama 3 (tiga)
tahun.
b. Direktur Rumah Sakit Kelas B pernah memimpin Rumah Sakit Kelas C dan/atau pernah
menjabatsebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Kelas B paling singkat selama 3 (tiga)
tahun.
c. Direktur Rumah Sakit Kelas C pernah memimpin Rumah Sakit Kelas D dan/atau pernah
menjabatsebagai Kepala Bidang Rumah Sakit Kelas C paling singkat selama 1 (satu)
tahun.
d. Direktur Rumah Sakit Kelas D pernah memimpin Puskesmas paling singkat selama 1
(satu) tahun
Menurut pandangan saya mengenai peraturan direktur yang telah diatur di
undang-undang sangat berpengaruh dengan kelangsungan rumah sakit dan keberhasilan
rumah sakit. Rumah sakit dari persyaratan untuk rumah sakitdenga tipe A total harus
memiliki pengalmaan 8 tahun memimpin rumah sakit dengan kelas dibawahnya. Jadi
seorang direktur rumah sakit tidak hanya mengerti cara mengolah tapi juga mengerti alur
operastional dari setiap pekerjaan yang dilakukan oleh para karyawan dan bawahnnya.
Dalam menjadikan direktur rumah sakit banyak beban yang perlu ditanggung oleh orang
tersebut maka diperlukan seleksi yang mendetail dari setiap lini untuk menjadi seorang
pemimpin.

8. Pelaksanaan Hak Hak Pasien dikaitkan dengan pelaksanaan BPJS.

Semua Rumah Sakit (RS) memiliki standar yang baku dalam pelayanan gawat darurat.
Hal ini menjadi acuan bagi daerah dalam mengembangkan pelayanan khususnya di Instalasi
Gawat Darurat (IGD). Pasien pun diminta untuk mengetahui hak, kewajiban, dan prosedur di
setiap RS. Menurut PMK No.85 Tahun 2015 terdapat perbedaan soal biaya antara rumah sakit
negeri dan swasta. Pasal 2 menyatakan tarif rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah pusat
ditetapkan oleh menteri atas usul kepala atau direktur rumah sakit. Sementara tarif swasta, yang
diatur dalam Pasal 4, ditetapkan oleh kepala atau direktur rumah sakit dengan persetujuan
pemilik rumah sakit. Maka, wajar apabila tarif RS swasta lebih mahal dibandingkan tarif rumah
sakit Negeri.

Kewajiban yang perlu dilakukan oleh pasien berbeda-beda. Untuk pasien kategori umum
ketika masuk IGD adalah mengurus pendaftaran ke loket, dan langsung membayarnya di kasir
RS. Dengan prosedur membawa kartu identitas dan kartu berobat (bila ada). Pasien yang
memiliki kartu Jamkesda (Jaminan kesehatan daerah) harus membawa surat dari Dinas
kesehatan, rujukan Puskesmas, Kartu identitas, Kartu Keluarga. Masing – masing difotocopy 5
rangkap. Dan mengurus persyaratan penjaminan biaya perawatan. Kemudian pasien yang
merupakan anggota asuransi Jasa Raharja perlu membawa kartu berobat, kartu identitas, surat
perintah mondok, surat laporan dari kepolisian, dan surat jaminan dari Jasa Raharja. Dengan
mengurus penjaminan biaya di kasir. Berbeda dengan pasien yang memiliki Kartu BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Pasien harus membawa Kartu Indonesia Sehat (KIS), kartu identitas dan Surat Egibilats
Pasien(SEP) yang diterbitkan oleh rumah sakit. Oleh sebab itu, biaya pasien yang merupakan
anggota BPJS dapat digratiskan. Dan RS akan mengklaim biaya ganti rugi ke pihak BPJS. Hal
ini berlaku bagi rumah sakit negeri maupun swasta. Namun, terkadang beberapa RS swasta
lebih memilih menyuruh keluarga pasien BPJS melakukan rujukan ke rumah sakit yang
bermitra dengan BPJS. Padahal dalam pasal 29 ayat 1 UU No 44 Tahun 2009 poin J, yang
memiliki kewajiban untuk melakukan rujukan adalah rumah sakit. Sedangkan menurut Maria
Margaretha, kepala bidang pelayanan kesehatan Dinkes DKI Jakarta, rumah sakit dilarang
menyuruh pasien atau keluarga pasien untuk mencari tempat rujukan. Sementara, rujukan
hanya boleh dilakukan ketika rumah sakit tidak memiliki alat yang canggih untuk penanganan
pasien.

Pada pasal 32, hak pasien adalah mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman dan
bermutu dari rumah sakit, dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi atau membeda-
bedakan. Selain itu, pasien juga memperoleh layanan yang efektif dan efisien, sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi.

Apabila hak pasien tidak dipenuhi, pasien dapat menggugat dan/atau menuntut RS yang
bersangkutan, terdapat pada pasal 32 poin Q. Kemudian Dinas Kesehatan berhak memberi
sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah
sakit.
9. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
sertamemiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan pada Pasal 1
angka 6 UU No. 36 tahun 2009.

Hak-hak tenaga kesehatan tercantum dalam Pasal 57 UU 36/2014, yakni: Tenaga Kesehatan
dalam menjalankan praktik berhak:

a) memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar


Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;

b) memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya;

c) menerima imbalan jasa;

d) memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
e.mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;

e) menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan
dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional,
atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

f) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Rumah Sakit (RS) merupakan institusi pelayanan kesehatan yang


menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Hal ini Sebagaimana tertuang dalam
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 44 tahun 2009 tentang RS.

Tanggung jawab Rumah sakit

a) Memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

b) Memberikan APD yang sesuai prosedur saat melayani pasien covid 19 sesuai dengan
zona pelayanan
c) Memberikan insentif

d) Melakukan screening terhadap tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien covid.
Pemeriksaan rapid/PCR Swab rutin setiap bulan

e) Memberikan multivitamin

f) Mengatur jam kerja dan memastikan tenaga kesehatan tidak kelebihan jam kerja agar
tidak kelelahan

10. Seiring dengan pemerintah yang terus berupaya untuk memitigasi penyebaran Covid-19,
penting sekali bagi perusahaan kesehatan untuk memberikan layanannya dalam rangka
membantu pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pengembangan layanan telemedicine telah
datang pada saat orang sangat membutuhkannya.

Selama penanganan pandemi covid-19, sudah banyak rumah sakit yang over
capacity. Oleh karena itu, pemerintah ingin memastikan hanya pasien prioritas saja yang
diperbolehkan datang ke rumah sakit, sedangkan pasien yang tidak membutuhkan rawat inap
dapat ditangani melalui layanan online. Jika kondisi pasien memburuk, dokter online akan
merujuk pasien ke rumah sakit. Kami juga melakukan pelatihan komprehensif kepada tim
medis dalam menghadapi krisis. Pentingnya layanan telemedicine telah diakui di berbagai
negara, salah satunya di Indonesia, bahkan sebelum krisis ini. Indonesia meiliki jumlah
populasi yang sangat besar, terkadang mereka yang tinggal di pedesaan seringkali tidak
memiliki akses layanan kesehatan dan informasi kesehatan

Layanan telemedicine dapat menghemat waktu dan biaya bagi masyarakat Indonesia,
serta membantu pasien memutuskan apakah cukup hanya di rumah saja, atau perlu
mengunjungi dokter, atau harus masuk ruang gawat darurat saat sakit. Bertemu dokter bisa
keputusan yang sulit karena jam perjalanan dan biaya yang besar bagi masyarakat yang
tinggal di daerah pedesaan. Dengan menggunakan layanan telemedicine, pasien dapat
berkonsultasi secara online dengan spesialis terkualifikasi untuk membicarakan pilihan
layanan kesehatan, di mana pasien akan mendapatkan informasi kesehatan penting dengan
efisien dan cepat.

Di tengah pandemi serta penerapan self-isolation dan physical distancing, layanan


kesehatan digital mampu membuktikan kemampuannya dalam membantu masyarakat
Indonesia. Layanan digital serta solusi kecerdasan buatan seperti chatbot mampu menjawab
berbagai pertanyaan pasien seputar virus, serta memberikan kemudahan untuk mendapatkan
informasi yang akurat terkait apa saja hal-hal yang dapat meningkatkan risiko terjangkit
Covid-19 dan menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan secara mandiri.

Satgas penanganan Covid-19 di Indonesia serta pemerintah daerah, mengakui bahwa


layanan telemedicine sangatlah bermanfaat. Satgas bekerja bersama dengan perusahaan
teknologi kesehatan seperti kami untuk memastikan bahwa masyarakat Indonesia dapat
mengakses informasi dengan mudah dan faktual melalui konsultasi online. Pemerintah daerah
juga terus meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai layanan telemedecine dalam rangka
menyebarkan informasi kesehatan yang akurat.

Layanan telemedicine dikaitkan dengan Permenkes No 290 th 2008 Tentang


Persetujuan Tindakan Kedokteran jelas berbeda, untuk saat ini layanan telemedicine hanya
bersifat informasi serta edukasi dalam bentuk konsultasi saja dan apabila membutuhkan suatu
tindakan dimana dokter memberikan informed consent untuk merujuk pasien dan penjelasan
kondisi pasien bisa langsung saat dilakukan telemedicine. Karena setiap tindakan
membutuhkan persetujuan dengan adanya bukti tanda tangan.

Menurut (PerMenKes-No-290, 2008) Informed consent adalah persetujuan tindakan


kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan di lakukan terhadap
pasien tersebut

II. B. ANALIS KASUS

1. Sebelum mendirikan rumah sakit perlu diperhatikan beberapa aspek sebagai berikut :

a. Aksesibilitas : memudahkan penduduk untuk mengakses pelayanan kesehatan. Perlu


diperhatikan berapa jarak rumah sakit yang direncanakan dengan rumah sakit yang ada.
Jika letaknya berjauhan maka pendirian rumah sakit ini adalah upaya yang tepat.
Pendirian rumah sakit baru merupakan solusi untuk mengatasi masalah minimnya
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
b. Morbiditas dan mortalitas. Angka kesakitan dan kematian merupakan salah satu faktor
yang perlu menjadi pertimbangan didirikannya rumah sakit. Jika angka kesakitan dan
kematian di suatu daerah melebihi standar/cenderung tinggi, maka ini merupakan salah
satu indikasi perlunya rumah sakit di daerah tersebut, walaupun perlu pengumpulan data
yang lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena akses ke rumah sakit yang sulit
c. Segmen pasar merupakan aspek yang berkaitan dengan peluang pasar untuk suatu produk
yang akan di tawarkan oleh suatu proyek tersebut dalam hal ini rumah sakit. Perlu
dipertimbangkan jumlah konsumen potensial yaitu konsumen yang mempunyai
keinginan atau hasrat untuk membeli serta daya beli masyarakat. Daya beli merupakan
kemampuan konsumen dalam rangka membeli barang yang dipengaruhi kebiasaan,
preferensi konsumen, kecenderungan permintaan masa lalu, dll.
d. Legalitas yaitu suatu aspek yang terkait dengan aspek legal yang meliputi ketentuan
hukum yang berlaku termasuk izin lokasi dan izin usaha
e. Bisnis. Dengan pendirian rumah sakit, nilai bisnis wilayah disekitarnya meningkat. Selain
itu menambah peluang kerja masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar rumah sakit
sehingga dapat meningkatkan income per capita penduduk setempat. Namun letak antar
rumah sakit perlu dipertimbangkan agar jangan terlampau dekat dengan rumah sakit
lainnya sehingga profit bisa dimaksimalkan
f. Dari sisi budaya yaitu mengkaji tentang dampak keberadaan proyek terhadap kehidupan
masyarakat setempat, kebiasaan adat setempat.
g. Dari segi sosial yaitu Apakah dengan keberadaan proyek wilayah menjadi semakin
ramai, lalu lintas semakin lancar, adanya jalur komunikasi, penerangan listrik dan
lainnya, pendidikan masyarakat setempat. Maka untuk mendapatkan itu semua dapat
dilakukan dengan cara wawancara, kuesioner, dokumen, dll. Untuk melihat apakah suatu
proyek layak atau tidak dilakukan dengan membandingkan keinginan investor atau pihak
yang terkait dengan sumber data yang terkumpul.
h. Aspek lingkungan telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak dari
suatu usaha terhadap lingkungan. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bagaimana
dampak pendirian rumah sakit ini terhadap resiko pencemaran lingkungan dan
pencegahannya sehingga lingkungan disekitar rumah sakit bisa terjaga dari bahaya
pencemaran.
i. Aspek Finansial.

j. Pemilihan teknologi. Kriteria pemilihan teknologi pada dasarnya adalah menetapkan


teknologi yang paling efisien secara teknis dan ekonomis. Faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi yaitu :
- Kesesuaian teknologi dengan material

- Biaya investasi dan perawatan

- Kemampuan SDM

2. Analisis kebutuhan merupakan analisis mengenai kebutuhan yang harus disediakan oleh
Rumah Sakit secara keseluruhan yang disesuaikan berdasar analisis permintaan yang telah
dilakukan. Analisis kebutuhan ini dapat memberikan gambaran mengenai rencana
pengembangan dari Rumah Sakit tersebut dilihat dari aspek :

Kebutuhan Pelayanan
Tahapan pengkajian :

• Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran laporan yang diterima - menjamin


validitas dan akurasi data secara statistik

• Adanya pemahaman bahwa yang diperhatikan adalah pelayanan yang jelek saja
sedangkan yang baik tidak perlu diperhatikan

• Untuk mendapatkan gambaran umum dari data yang terkumpul, perlu disusun tabel
umum, Bar chart dan line graph untuk seluruh bulan. Pada visualisasi data tersebut
dapat dipilih kecenderungan dari tingkat mutu pelayanan yang diukur

• Untuk mengetahui apakah tingkat mutu pelayanan yang dicapai pada bulan tertentu
perlu diketahui beberapa angka sederhana yang ada pada statistic deskriptif  angka
rata-rata (mean), angka simpangan (SD, standar deviasi), dan rentang (Range).
Pengukuran cara sederhana ini disebut. Time Series Analysis (analisis kecenderungan
menurut waktu)

• Bila telah diketahui permasalahannya, perhatian ditujukan secara lebih khusus


misalnya per Paviliun, atau per Departemen

• Kemudian masalah spesifik yang telah ditemukan ini dibawa ke GKM untuk
mendapatkan kesepakatan tentang cara untuk mengatasinya.

• Kebutuhan Sarana dan Prasarana

Analisa kebutuhan rumah sakit didasarkan kepada Program Ruang Rumah Sakit. Sedangkan
Kebutuhan ruang secara keseluruhan dari rumah sakit yang disesuaikan dengan bentuk dan
klasifikasi rumah sakit. Berikut Sarana dan Prasaran Rumah Sakit

(1) Sarana :

• Massa bangunan dan block plan.

• Bentuk bangunan dan fasilitas bangunan.

• Zonasi.

• Program ruang dan persyaratan teknis ruang.


(2) Prasarana :

• Sistem tata udara.

• Sistem kelistrikan.

• Sistem pencahayaan.

• Sistem proteksi kebakaran.

• Sistem komunikasi.

• Sistem gas medik dan vakum medik.

• Sistem sanitasi.

• Sistem pengendalian terhadap kebisingan.

• Jalur sirkulasi.

• Aksesibilitas penyandang cacat (disable).

Kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam hal pemenuhan ketenagaan atau Sumber Daya Manusia (SDM) perlu
mempertimbangkan/ memperhitungkan tenaga seefisien dan seefektif mungkin agar
menjadikan suatu Manajemen Pengelolaan Rumah Sakit yang optimal. Kajian kebutuhan
Sumber Daya Manusia dengan menentukan terlebih dahulu jam operasional pelayanan rumah
sakit dan kebutuhan ruang, baik untuk pelayanan IGD, rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan
penunjang. Menjelaskan asumsi yang digunakan untuk menentukan jumlah pasien per hari
yang dapat dilayani oleh dokter per klinik

Kebutuhan Biaya

Kebutuhan Biaya memberikan gambaran tentang rencana penggunaan sumber anggaran yang

dimiliki, sehingga dapat diketahui tingkat pengembalian biaya yang akan diinvestasikan.
Dengan demikian maka pihak pemilik/ investor dapat melihat tingkat keuntungan yang
mungkin akan diperoleh.
Adapun aspek kebutuhan biaya yang akan dianalisis terdiri dari:

1) Rencana Investasi dan Sumber Dana

2) Proyeksi Pendapatan dan Biaya dalam hal ini estimasi dan proyeksi Pendapatan
Pelayanan Rumah Sakit serta estimasi dan proyeksi Biaya Belanja Modal yang
mencakup namun tidak terbatas belanja modal Bangunan dan Prasarana (Pekerjaan
Standar & Non Standar) serta Pengadaan Alat Kesehatan.

3) Proyeksi Cash Flow

4) Analisis Keuangan : Break Event Point (BEP), Internal Rate of Return (IRR), dan Net
Present Value (NPV)

5) Analisis sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.08/2016 yang antara


lain terdiri dari rencana proyek dan kebutuhan pembiayaan, perhitungan rasio-rasio
keuangan, rencana penarikan pinjaman, dan menfaat proyek secara ekonomi dan
sosial.

6) Total kebutuhan biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat


dengan mempertimbangkan jenis pelayanan yang diberikan, kelas rumah sakit dan
lingkungan sosial & ekonomi.

7) Kajian tarif pelayanan rawat jalan, rawat darurat dan rawat inap rumah sakit
berdasarkan besaran biaya satuan (unit cost) yang dibandingkan dengan tarif INA
CBGs pasien Jaminan Kesehatan nasional (JKN).

RS Kelas B Milik Yayasan Pendidikan perlu melakukan pengkajian dalam Analisa


Kebutuhan Pelayanan, Sumber Daya Manusia , sarana prasarana , dan juga Analisa kebutuhan
biaya . Hal ini terkait masalah RS yang selalu mengalami kerugian. Kerugian bisa dilihatnya
jumah SDM yang terlalu banyak dan tidak adanya perhitungan yang sesuai untuk Pelayanan
Umum dengan Pelayanan Eksekutif.

Untuk meninjau hal tersebut diperlukan data yang akurat mengenai sumber pendanaan
dan juga program apa saja yang akan diserlenggarakan. Berdasarkan nilai BOR pada RS
yakni 60%. Nilai ini sudah dalam kategori ideal adalah antara 60-85% (DepKes RI, 2005)

Namun karena ketidaksesuaian dalam penganggaran kebutuhan pelayanan , maka


untuk RS Tipe B Yayasan Pendidikan disarankan untuk : Membuat kebutuhan biaya
didasarkan berdasarkan :
- Pendanaan RS Tipe B , apakah dari Yayasan Pendidikan sendiri atau terdapat
sumber lain

- Untuk Logistik Rumah Sakit , biaya sarana dan prasarana perlu diperhitungkan
secara lebih rinci karena dalam kenyataannya RS masih mengalami kerugian

- Pihak manajemen perlu memperhatikan Analisa beban kerja dengan baik ,


mengingat jumlah SDM yang masih terlalu banyak. Pengaturan beban kerja juga
disesuaikan dengan pembagian shift di rumah sakit. Mengingat tterdapat 570
pegawai dengan bed terdapat 215

3. Efektivitas diartikan suatu kegiatan yang dilaksanakan dan memiliki dampak serta hasil sesuai
dengan yang diharapkan. Efektivitas adalah manfaat sumber daya, sarana dan prasarana dalam
jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya. Tercapainya tingkat efektivitas
yang tinggi perlu memperhatikan kriteriakriteria efektivitas sebagaimana yang dikemukakan
produktivitas, kemampuan berlaba dan kesejahteraan pegawai. Adapun kondisi yang
menunjukkan masalah mutu dan keefektifan yang ada di rumah sakit yakni adanya keluhan
yang sering terdengar dari pihak pemakai layanan kesehatan yang biasanya menjadi sasaran
ialah sikap dan tindakan dokter atau perawat, sikap petugas administrasi, selain itu juga
tentang sarana yang kurang memadai, kelambatan pelayanan, persediaan obat, tariff
pelayanan kesehatan, peralatan medis dan lain-lain.
Standar pelayanan kesehatan wajib dimiliki oleh setiap penyelenggara layanan
kesehatan untuk menjamin diberikannya pelayanan yang berkualitas oleh penyedia layanan
kesehatan. Pemberi layanan yang berkualitas ketika di dukung oleh sumber daya manusia
yang berkualitas pula. Pengertian konsep kualitas (quality) dan pengertian konsep pelayanan
umum (public service) secara umum, berikutnya akan coba dibahas secara mendalam tentang
pengertian konsep kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan sebagai:
Tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut
untuk memenuhi keinginan pasien”. Ini berarti apabila jasa atau pelayanan yang diterima
(perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan
kesehatan dipersepsikan baik dan memuaskan. Sebaliknya, apabila jasa atau pelayanan yang
diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan akan
dipersepsikan buruk. Inti dari efektivitas pelayanan kesehatan terkait dengan upaya untuk
memenuhi atau bahkan melebihi harapan yang dituntut atau yang diinginkan oleh pasien.
Semakin tinggi tingkat pemenuhan harapan tersebut, semakin tinggi pula tingkat kualitas
pelayanan yang diberikan, dan sebaliknya semakin tidak memenuhi harapan pelanggan atau
pemohon layanan, berarti semakin tidak berkualitas pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh pemberi layanan dalam hal ini Rumah Sakit atau para medis.

Efektivitas pelayanan rumah sakit merupakan pelayanan setiap saat secara cepat
dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu
melaksanakan pelayanan kesehatan. Suatu pelayanan dapat dikatakan berkualitas apabila
menunjukkan sejumlah ciri atau karakter, seperti cepat, memuaskan, sopan, ramah dan
profesional. Kombinasi dari berbagai ciri pelayanan ini secara simultan dikatakan sebagai
pelayanan yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang berkualitas diharapkan dapat
memberikan manfaat, bukan saja bagi masyarakat yang menerima pelayanan, tetapi juga bagi
organisasi atau pemerintah yang menyelenggarakan layanan.
Manfaat yang diperoleh dari optimalisasi pelayanan kesehatan yang efisien adalah:
”Secara langsung dapat merangsang lahirnya respek pasien atas sikap profesional Rumah
Sakit dan Para Medis. Pada tingkat tertentu kehadiran birokrat yang melayani masyarakat
secara tulus akan mendorong terpeliharanya iklim kerja keras, disiplin dan kompetitif.
Metode Work Load Analysis (WLA) dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi
kerja berdasarkan total prosentase beban kerja dari job yang diberikan dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Dan dapat menentukan jumlah karyawan yang sebenarnya untuk dipekerjakan
dalam bagian produksi langkah – langkahnya sebagai berikut :
Dimana beban kerja dapat diperoleh dari :
a. Mengetahui struktur organisasi dan job description tiap jabatan
b. Menentukan aktivitas dan waktu penyelesaian aktivitas tiap posisi jabatan.
Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan pada job description yang dilakukan oleh aktivitas
terkait. c. Melakukan pengamatan untuk menghitung besarnya prosentase produktif dan non
produktif.
d. Menentukan jumlah menit pengamatan
e. Penentuan Allowance dan Performance Rating.
f. Perhitungan besarnya beban kerja dengan menggunakan rumus di bawah ini :
Beban Kerja = ( % Produktif x Performance Rating )x( 1 + Allowance )xTotal
Menit Pengamatan /Total Menit Pengamatan
Beban Kerja = ( % Produktif x ∑ menit pengamatan ) x P x ( 1 + L ) x Y / Y x ∑
menit pengamatan = % produktif x P (1+L)

4. Good corporate governance merupakan konsep untuk meningkatkan transparasi dan


akuntabilitas yang saat ini dianjurkan dipergunakan pada lembaga usaha. Diharapkan dengan
penggunaan corporate governance akan ada system manajemen yang meningkatkan efisensi.
Pengertian efisiensi ini yaitu bagaimana cara meningkatkan hasil semaksimal mungkin.
Secara umum, sistem corporate governance bertujuan untuk memberikan pedoman strategis
dan mengopera- sionalkan sebuah dewan yang melakukan monitoring terharap pekerjaan
manajer (OECD, 2001). Konsep corporate governance berasal dari sektor perusahaan dalam
mencari keuntungan. Perlu dicatat bahwa tujuan perusahaan memperoleh keuntungan adalah
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan berusaha mempunyai kemampuan yang
cukup dalam mencapai tujuan sesuai dengan lingkungannya. Laba akan dibagi ke pemilik
modal atau pemegang saham. Namun, lembaga nonprofit pun dapat menggunakan model
corporate governance untuk meningkatkan efisiensinya. Rumah sakit nonprofit yang
mengambil bentuk lembaga usaha perlu mempertimbangkan konsep corporate governance.

Secara rinci fungsi kuncinya antara sebagai berikut:

1) Melakukan review dan mengarahkan strategi lembaga usaha, rencana besar, kebijakan
risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan indikator kinerja, monitoring
pelaksanaan dan kinerja lembaga usaha serta mengawasi pengeluaran modal

2) Memilih dan memberikan konpensasi, memonitor dan apabila perlu mengganti


direktur dan mengawasi perencanaan penggantian

3) Mengkaji pembayaran eksekutif dan dewan direktur

4) Memonitor dan mengelola berbagai konflik yang potensial dalam manajemen

Sistem corporate governance pada rumah sakit for profit tujuannya yaitu
meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, sistem corporate governance pada
rumah sakit nonprofit bertujuan menjamin agar tujuan rumah sakit dapat tercapai seefisien
mungkin. Board of Directors pada rumah sakit nonprofit sering disebut sebagai Board of
Trustees.

Secara keseluruhan rumah sakit nonprofit di Indonesia cenderung lebih kompleks


perilakunya dengan sistem aturan yang kurang jelas di banding rumah sakit for profit. Dalam
hal ini sistem corporate governance pada rumah sakit nonprofit mungkin akan lebih sulit
dibentuk apabila dibandingkan dengan rumah sakit for profit. Sebagai gambaran, sebagian
lembaga usaha swasta nonprofit yang bergerak di rumah sakit ternyata tidak mempunyai
pemisahan antara pemilik dengan pengelola. Beberapa kasus muncul seperti:

Terjadi perangkapan jabatan pada yayasan dengan direksi atau pelaku kegiatan di
rumah sakit sehingga menimbulkan conflict of interest; Para manajer yang tidak memahami
pentingnya system kontrol sehingga cenderung memutuskan sendiri walaupun untuk
keputusan yang sangat besar dan strategis; Anggota yayasan yang mengawasi rumah sakit
ternyata tidak mempunyai pemahaman mengenai rumah sakit. Hal ini terkait dengan kriteria
pemilihan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila muncul konflik antara yayasan
dengan direksi atau antaranggota yayasan atau antara anggota yayasan dengan pemilik
yayasan. Konflik antara anggota yayasan atau anggota keluarga (terutama untuk generasi-
generasi setelah pendirinya meninggal). Konflik tersebut terjadi pula di lembaga-lembaga
keagamaan. Struktur corporate governance mempunyai keuntungan dapat mencegah berbagai
konflik. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa struktur corporate governance merupakan
sistem formal yang mungkin tidak cocok dengan kultur kekeluargaan yang sekarang ini
mungkin dianut oleh yayasan keagamaan atau sosial. Struktur formal ini mungkin justru akan
membuat lebih banyak konflik. Oleh karena itu, penggunaan struktur corporate governance
pada rumah sakit swasta nonprofit benar-benar harus dipertimbangkan dengan seksama.

Clinical governance harus dibangun di atas sistem yang baik dan efektif serta harus
diintegrasikan sepenuhnya ke dalam sistem governance rumah sakit. Akan tetapi, disadari
bahwa untuk membangun kepercayaan dan menciptakan kelompok klinisi yang mempunyai
motivasi tinggi dalam kualitas perawatan klinisnya diperlukan perubahan sikap dan kultur
yang mendasar terutama pada lingkungan klinisi. Di Indonesia perubahan kultural ini sangat
diperlukan di kalangan klinisi.

5. SPO merupakan perangkat instruksi atau langkah-langkah prosedur yang dibakukan untuk
menyelesaikan proses kerja rutin tertentu. Jika dikaitkan dengan rumah sakit, maka instruksi
tersebut berarti segala hal terkait operasional rumah sakit, dari mulai struktural sampai
fungsional, dari mulai pelayanan dokter, perawat, farmasi sampai kepada security dan
cleaning service. Semua ada SPO-nya. Ada instruksi atau langkah-langkah prosedur yang
harus dibakukan demi terciptanya service excellence dan penjaminan mutu serta kualitas
pelayanan.

Tujuan SPO

Hal ini sesuai dengan tujuan dari penyusunan SPO itu sendiri yaitu agar berbagai
proses kerja rutin terlaksana dengan efisien,efektif, konsisten, seragam dan aman dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan melalui pemenuhan standar yang berlaku.

Manfaat SPO

Manfaat dari adanya SPO Rumah Sakit adalah :

1. Untuk memenuhi persyaratan standar pelayanan Rumah Sakit atau Akreditasi Rumah
Sakit;
2. Sebagai dokumentasi langkah-langkah kegiatan atau prosedur;
3. Untuk memastikan staf rumah sakit bekerja sesuai prosedur dan memahami bagaimana
pekerjaan tersebut seharusnya dilaksanakan.

Karena hal tersebut, sehingga perlu adanya standarisasi atau format baku yang
mengatur bagaimana SPO tersebut seharusnya dibuat dan disusun. Sehingga, terbitlah surat
edaran yang mengatur bagaimana sebuah SPO seharusnya dibuat dan disusun seperti berikut
ini ;

Format SPO Rumah Sakit Sesuai Standar Akreditasi

Karena SPO Rumah Sakit sangat berkaitan dengan urusan Hak Asasi Manusia
Tertinggi (nyawa manusia), terutama yang berada di pelayanan langsung, maka sesuai
dengan lampiran Surat Edaran Direktur Pelayanan Medik Spesialistik nomor
YM.00.02.2.2.837 tertanggal 1 Juni 2001 perihal bentuk SPO, terbentuklah format SPO baku
yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2002 sampai sekarang.

Format tersebut merupakan format minimal, sehingga dapat diberi tambahan materi
misalnya nama penyusun SPO, unit pemeriksa SPO dsb. Namun, tidak boleh mengurangi
item-item pokok yang ada di SPO.

Berikut adalah format SPO sesuai surat edaran tersebut ;

Penjelasan :
Penulisan SPO yang harus tetap didalam tabel / kotak adalah : Nama Rumah Sakit dan
Logo, Judul SPO. No Dokumen, No Revisi, Tanggal Terbit dan Tanda Tangan
Direktur Rumah Sakit. Sedangkan untuk pengertian, tujuan, kebijakan, prosedur dan
unit terkait boleh tidak diberi kotak/tabel.

Petunjuk Pengisian SPO Rumah Sakit

A. Kotak Heading

Masing-masing kotak (Rumah Sakit dan Logo, Judul SPO, No. Dokumen, No. Revisi,
Halaman, Prosedur Tetap, Tanggal Terbit, Ditetapkan Direktur) diisi sebagai berikut :

1. Heading dan kotaknya dicetak pada setiap halaman. Pada halaman pertama kotak
heading harus lengkap, untuk halaman-halaman berikutnya kotak heading dapat hanya
memuat : kotak Nama Rumah Sakit, Judul SPO, No. DOkumen, No. Revisi dan
Halaman.
2. Kotak RS diberi nama sesuai dengan nama Rumah Sakit dan Logo Rumah Sakit (bila
Rumah Sakit sudah mempunyai logo).
3. Judul SPO diberi judul/nama sesuai SPO yang sedang dibuat.
4. No. Dokumen diisi sesuai dengan ketentuan penomoran yang berlaku di Rumah Sakit
yang bersangkutan, dibuat sistematis agar ada keseragaman dan memudahkan
inventarisasi.
5. No. Revisi diisi dengan status revisi. Dianjurkan menggunakan huruf. Semisal, dokumen
baru diberi huruf A, dokumen revisi pertama diberi huruf B dan seterusnya. Atau bisa
menggunakan anga. Semisal dokumen baru diberi nomor 0, sedangkan dokumen revisi
diberi nomor 1 dan seterusnya sesuai dengan jumlah revisi.
6. Halaman diisi dengan nomor halaman dengan mencantumkan juga total halaman untuk
SPO tersebut. Semisal, sebuah SPO mempunyai 5 halaman. Maka untuk halaman
pertama ditulis 1/5. Halaman kedua 2/5. Halaman ketiga 3/5 dan seterusnya sampai
halaman terakhir 5/5.
7. SPO diberi penamaan sesuai dengan ketentuan (istilah) yang digunakan di Rumah Sakit.
Semisal : SPO, prosedur tetap, petunjuk pelaksanaan, prosedur kerja dan sebagainya.
8. Tanggal Terbit diberi tanggal sesuai dengan tanggal terbitnya atau
tanggal diberlakukannya SPO tersebut.
9. Ditetapkan Direktur diberi tanda tangan Direktur dengan nama jelasnya.
B. Isi SPO (Body SPO)

1. Pengertian : berisi penjelasan dan atau definisi tentang istilah yang mungkin sulit
difahami atau menyebabkan salah pengertian. Tulis sejelas mungkin tanpa
menimbulkan multi tafsir bagi siapapun yang akan menggunakan SPO tersebut.
2. Tujuan : berisi tujuan dari pelaksanaan SPO tersebut secara spesifik. Kata Kunci
yang biasanya digunakan : “Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk … “
3. Kebijakan : berisi kebijakan Direktur/Pimpinan Rumah Sakit yang menjadi dasar
dibuatnya SPO tersebut. Dicantumkan kebijakan yang mendasari SPO tersebut diikuti
dengan peraturan/keputusan dari kebijakan terkait.
4. Prosedur : bagian ini merupakan inti dari SPO yang menguraikan langkah demi
langkah kegiatan atau prosedur untuk menyelesaikan proses kerja tertentu.
5. Unit Terkait : berisi unit-unit yang terkait yang akan berkaitan dan menggunakan
SPO tersebut dan atau prosesur terkait dalam proses kerja tersebut.

Tata Cara Pengelolaan SPO

Karena akan ada banyak sekali SPO yang harus dibuat, disusun dan dikelola, maka seyogyanya
harus ada tim yang khusus mengelola SPO-SPO tersebut. Penyusunan Tim dapat dilakukan
dengan cara :

1. Rumah Sakit menetapkan siapa yang mengelola SPO


2. Pengelola SPO harus mempunyai arsip seluruh SPO Rumah Sakit
3. Pengelola SPO agar membuat tata cara penyusunan, penomoran, pendistribusian,
penarikan, penyimpanan, evaluasi dan revisi SPO.

Tata Cara Penyusunan SPO

A. Hal-hal yang perlu diingat

1. Siapa yang harus menulis atau menyusun SPO


2. Bagaimana merencanakan dan mengembangkan SPO
3. Bagaimana SPO dapat dikenali
4. Bagaimana memperkenalkan SPO kepada pelaksana dan unit terkait
5. Bagaimana pengendalian SPO-nya (nomor, revisi dan distribusi)

B. Syarat Penyusunan SPO


1. Identifikasi kebutuhan : identifikasi apakah kegiatan yang dilakukan saat ini sudah ada
SPO-nya atau belum. Jika sudah maka identifikasi, apakah SPO tersebut masih efektif
dan relevan atau tidak.
2. Perlu ditekankan bahwa SPO harus ditulis oleh mereka yang melakukan pekerjaan terkait
SPO tersebut. Tim atau panitia yang ditunjuk oleh Direktur/Pimpinan Rumah Sakit
hanya untuk menanggapi dan mengkoreksi SPO tersebut. Hal tersebut sangatlah penting
mengingat komitmen terhadap pelaksanaan SPO hanya diperoleh dengan adanya
keterlibatan personel/unit kerja terkait dimana SPO tersebut nantinya akan digunakan.
3. SPO harus merupakan flow charting dari suatu kegiatan. Pelaksana atau unit kerja agar
mencatat proses kegiatan dan membuat alurnya kemudian Tim/Panitia yang ditunjuk
diminta tanggapannya.
4. Didalam SPO harus dapat dikenali dengan jelas siapa melakukan apa, dimana, kapan dan
mengapa.
5. SPO jangan menggunakan kalimat majemuk dan multi tafsir. Sehingga antara
subjek, predikat dan objek harus jelas.
6. SPO harus menggunakan kalimat perintah/instruksi dengan bahasa yang dikenal oleh
pelaksana SPO tersebut.
7. SPO harus jelas, ringkas dan mudah dilaksanakan. Untuk SPO pelayanan pasien, maka
harus memperhatikan aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Untuk SPO
profesi, harus mengacu kepada standar profesi, standar pelayanan dengan mengikuti
perkembangan IPTEK dan memperhatikan aspek keselamatan pasien.

Proses Penyusunan SPO

SPO disusun dengan menggunakan format SPO sesuai dengan lampiran Surat Edaran Direktur
Pelayanan Medik Spesialistik No. YM.00.02.2.2.837 tertanggal 1 Juni 2001, perihal Bentuk
SPO.

Penyusunan SPO dapat dikelola oleh suatu Tim/Panitia dengan mekanisme sebagai berikut
:

1. Pelaksana atau uni kerja menyusun SPO dengan melibatkan unit terkait.
2. SPO yang telah disusun oleh pelaksana atau unit kerja disampaikan ke Tim/Panitia SPO.
3. Fungsi Tim/Panitia SPO :
o Memberikan tanggapan, mengkoreksi dan memperbaiki terhadap SPO yang telah
disusun oleh pelaksana/unit kerja baik dari segi bahasa maupun penulisan.
o Sebagai koordinator dari SPO yang sudah dibuat oleh masing-masing unit kerja
sehingga tidak terjadi duplikasi SPO / tumpang tindih SPO antar unit.
o Melakukan cek ulang terhadap SPO-SPO yang akan di tanda tangani oleh
Direktur Rumah Sakit.
4. Penyusunan SPO dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan SPO. Untuk SPO
pelayanan dan SPO administrasi, identifikasi kebutuhan bisa dilakukan dengan
menggambarkan proses bisnis di unit kerja tersebut atau alur kegiatan dari kerja yang
dilakukan pada unit tersebut. Sedangkan untuk SPO Profesi, identifikasi kebutuhan
dilakukan dengan mengetahui pola penyakit yang sering ditangani di unit kerja tersebut.
Dari hasil identifikasi kebutuhan SPO, maka di suatu unit kerja dapat diketahui berapa
banyak dan berapa macam SPO yang harus dibuat/disusun.
5. Untuk melakukan identifikasi kebutuhan SPO dapat pula dilakukan dengan
memperhatikan elemen-elemen penilaian pada standar akreditasi rumah sakit, minimal
SPO-SPO apa saja yang harus ada. SPO yang dipersyaratkan di elemen penilaian
adalah SPO minimal yang harus ada di rumah sakit. Sedangkan identifikasi SPO
dengan menggambarkan terlebih dahulu proses bisnis di unit kerja adalah keseluruhan
SPO secara lengkap yang harus ada di unit kerja tersebut.
6. Mengingat SPO merupakan flow charting dari proses kegiatan, maka untuk memperoleh
pengertian yang jelas bagi subjek, penulisan SPO dimulai dengan membuat flow chart
dari kegiatan yang dilaksanakan. Caranya adalah dengan membuat diagram kotak
sederhana yang menggambarkan langkah penting dari seluruh proses.

Contoh : diagram kotak untuk pembelian bahan yang digunakan di rumah sakit…

Setelah dibuatkan diagram kotak, maka diuraikan kegiatan di masing-masing kotak dan dibuat
alurnya.

Ingat :
1. Semua SPO harus ditandatangani oleh Direktur/Pimpinan Rumah Sakit.
2. Untuk SPO pelayanan dan SPO administrasi, sebagian memerlukan uji coba dan mungkin
beberapa revisi tergantung dari efektifitas dan efisiensi yang dihasilkan.
3. Agar SPO dapat dikenali dan diketahui oleh pelaksana, maka perlu dilakukan sosialisasi
SPO-SPO tersebut. Dan bila SPO tersebut rumit maka untuk melaksanakan SPO tersebut
perlu dilakukan pelatihan semisalin-house training dan sebagainya.

Faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan penyusunan SPO

1. Ada komitmen dari pimpinan Rumah Sakit yang terlihat dengan adanya dukungan
fasilitas dan sumber daya lainnya.
2. Ada fasilitator/petugas yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menyusun
SPO, jadi ada aspek pekerjaan dan aspek psikologis.
3. Ada target waktu yaitu target dan jadwal yang disusun dan disepakati bersama.
4. Adanya pemantauan dan pelaporan kemajuan penyusunan SPO.

Tata Cara Penyimpanan SPO

1. Yang dimaksud dengan penyimpanan adalah bagaimana SPO tersebut disimpan.


2. SPO asli agar disimpan di sekretariat Tim akreditasi RS atau Bagian sekretariat Rumah
Sakit, sesuai dengan kebijakan yang berlaku di RS tersebut tentang tata cara pengarsipan
dokumen. Penyimpanan SPO yang asli harus rapi, sesuai metode pengarsipan dokumen
sehingga mudah dicari kembai bila diperlukan.
3. SPO foto copy ada di simpan di masing-masing unit kerja dimana SPO tersebut
dipergunakan. Bila SPO tersebut sudah tidak berlaku lagi atau tidak dipergunakan lagi
karena di revisi atau hal lainnya maka unit kerja wajib mengembalikan SPO yang sudah
tidak berlaku tersebut ke sekretariat Tim Akreditasi/Bagian sekretariat Rumah Sakit
sehingga di unit kerja hanya ada SPO yang masih berlaku saja. Sekretariat Tim
Akreditasi/Bagian sekretariat Rumah Sakit dapat memusnahkan foto copy SPO yang
tidak berlaku tersebut, namun untuk SPO nya yang asli agar tetap disimpan, dengan lama
penyimpanan sesuai ketentuan dalam pengarsipan dokumen di Rumah Sakit.
4. SPO di unit kerja harus harus diletakkan ditempat yang mudah dilihat, mudah diambil
dan mudah dibaca oleh pelaksana.
5. Bagi rumah sakit yang sudah menggunakan e-file maka penyimpanan SPO sebagai
berikut :
o Setiap SPO harus di print-out dan disimpan sebagai SPO asli.
o SPO di unit kerja tidak perlu hard copy, SPO bisa dilihat di intranet di rumah
sakit. Namun untuk SPO penanganan gawat darurat tetap harus dibuatkan hard
copy-nya

Tata Cara Pendistribusian SPO


1. Yang dimaksud dengan distribusi adalah kegiatan atau usaha menyampaikan SPO
kepada unit kerja dan atau pelaksana yang memerlukan SPO tersebut agar dapat sebagai
panduan dalam melaksanakan kegiatannya. Kegiatan ini dilakukan oleh Tim Akreditasi
Rumah Sakit atau Bagian sekretariat Rumah Sakit sesuai kebijakan Rumah Sakit dalam
pengendaian dokumen.
2. Distribusi harus memakai buku ekspedisi dan atau formulir tanda terima
3. Distribusi SPO bisa hanya untuk unit kerja tertentu tetapi bisa juga untuk seluruh unit
kerja. Hal tersebut tergantung jenis SPO tersebut, bila SPO tersebut merupakan acuan
untuk melakukan kegiatan di semua unit kerja maka SPO ddistribusikan ke semua unit
kerja. Namun bila SPO tersebut hanya untuk unit kerja tertentu maka distribusi SPO
hanya untuk unit kerja tertentu tersebut dan unit terkait yang tertulis di SPO tersebut.
4. Bagi rumah sakit yang sudah menggunakan e-file maka distribusi SPO bisa melalui
intranet dan diatur kewenangan otorisasi di setiap unit kerja, sehingga unit kerja dapat
mengetahui batas kewenangan dalam membuka SPO

Tata Cara Evaluasi SPO

1. Evaluasi SPO dilaksanakan sesuai kebutuhan dan maksimal 3 tahun sekali.


2. Evaluasi SPO dilakukan oleh masing-masing unit kerja yang dipimpin oleh kepala unit
kerja.
3. Hasil evaluasi : SPO masih tetap bisa dipergunakan atau SPO perlu
diperbaiki/direvisi. Perbaikan/revisi bisa isi SPO sebagaian atau seluruhnya.
4. Perbaikan/revisi perlu dilakukan bila :
o Alur di SPO sudah tidak sesuai dengan keadaan yang ada
o Adanya perkembagan IPTEK
o Adanya perubahan organisasi atau kebijakan baru.
o Adanya perubahan fasilitas
5. Pergantian direktur/pimpinan RS, bila SPO memang masih sesuai/dipergunakan
maka tidak perlu di revisi.

SOP adalah standar operasional prosedur kerja yang dibuat oleh perusahaan untuk
mengatur, memonitor, dan menilai suatu kegiatan/bagian/cabang/unit bisnis agar sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan. Definisi Standar Operasional Prosedur (dalam bahasa
Inggris: Standard Operating Procedure) atau SOP adalah sebuah dokumen yang berisi
pedoman dan panduan bagaimana MELAKUKAN suatu pekerjaan atau juga
menggambarkan serangkaian instruksi yang harus dilakukan.

Tujuan dan Fungsi Standar Operasional Prosedur ( SOP )


Tujuan SOP adalah untuk mengatur semua aktivitas agar aktivitas perusahaan dapat
berjalan dan sesuai dengan tujuan, visi serta misi perusahaan. Dan fungsi SOP adalah
sebagai alat pandu. Walaupun fungsi utama SOP adalah sebagai alat pandu, namun demikian
fungsi SOP dapat juga digunakan untuk alat ukur, alat pantau, dan sebagai alat latih.

Penerapan SOP Terhadap Rumah Sakit

Langkah pertama untuk membuat standar operasional prosedur – SOP adalah


melakukan pemetaan proses bisnis perusahaan (business mapping). Proses adalah
serangkaian kegiatan yang merubah input menjadi output. Pemetaan proses bisnis
adalah gambaran yang menjelaskan bagaimana langkah-langkah perusahaan
menyelesaikan atau memproses bisnisnya. Untuk membuat SOP diperlukan komitmen
menyeluruh dari seluruh elemen di perusahaan, instansi ataupun organisasi. Kebutuhan
akan proses yang lebih rapi, teratur, terdokumentasi, dan disiplin menjadi kebutuhan
semua elemen perusahaan.

SOP memuat informasi tentang jangka waktu pelaksanaan kegiatan, pengguna


layanan, hirarkhi struktur organisasi, serta langka kerja dalam pelaksanaan suatu
kegiatan. Pelaksanaan SOP di rumah sakit memiliki multifungsi baik sebagai alat deteksi
potensi penyimpangan tugas pokok dan fungsi sebagai alat koreksi. Setiap penyimpangan
yang terjadi sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan kinerja yang efektif, efisien,
profesional, transparan dan handal. Kinerja satuan unit kerja yang efisien merupakan
syarat mutlak bagi rumah sakit untuk mencapai tujuan dan salah satu alat penting untuk
mewujudkan visi dan misi rumah sakit.

Evaluasi kinerja rumah sakit memiliki kekhususan tersendiri yang membedakan


dengan evaluasi kinerja pada organisasi provit orientet yang berorientasi pada pelayanan
yand didasari pada keuntungan. Pada unit kerja rumah sakit, standar penilaian kinerja
yang sifatnya eksternal didasarkan pada indikator responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas. Sementara standar penilaian kinerja yang sifatnya internal didasarkan pada
SOP dan pengendalian program kerja rumah sakit yang bersangkutan. Kedua jenis
standar ini diarahkan untuk menilai sejauhmana akuntabilitaskinerja instansi pemerintah
dapat dicapai. Artinya, standar eksternal maupun standar internal pada akhirnya akan
bermuara pada penilaian tercapain inputs, outputs, results, benefitsdan impactsyang
dikehendaki dari suatu program yang ada di rumah sakit. Pada prinsipnya, standar
operasional prosedur lebih diorientasikan pada penilaian kinerja internal kelembagaan,
terutama dalam hal proses kerja di lingkungan organisasi termasuk kejelasan unit kerja
yang bertanggungjawab. Standar operasional prosedur berbeda dengan pengendalian
program yang lebih diorientasikan pada penilaian pelaksanaan dan pencapaian
outcomedari suatu program.
Namun keduanya saling berkaitan karena standar operasional prosedur merupakan
acuan bagi rumah sakit dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, termasuk dalam
pelaksanaan program. SOP dapat digunakan untuk penilaian kinerja secara eksternal dan
pedoman yang sifatnya internal digabungkan dengan pedoman eksternal berupa
responsivit, responsibilitas, dan akuntabilitas untuk terwujudnya akuntabilitas kinerja
rumah sakit. Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja rumah sakit pada umumnya
didasarkan pada standar eksternal. Sebagai bentuk organisasi publik, rumah sakit
memiliki karakteristik khusus yang bersifat birokratis dalam internal rumah sakit. Oleh
karena itu, untuk menilai pelaksanaan mekanisme kerja internal tersebut unit kerja
pelayanan publik harus memiliki acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja rumah sakit
berdasarkan pada indikator teknis, administratif dan prosedural. Maka dari sesuai dengan
tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan dalam bentuk SOP. Pentingnya
SOP dalam penyenggaraan rumah sakit dan hasil kajian menunjukkan tidak semua satuan
unit kerja memiliki SOP dalam upaya meningkatkan akuntabilitas kinerja tentang
pedoman penyusunan SOP.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SOP sebagai alat
penilaian kinerja yang berorientasi pada penilaian kinerja internal kelembagaan, terutama
dalam hal kejelasan proses kerja di lingkunganorganisasi termasuk unit kerja yang
bertanggungjawab. Tercapainya kelancaran kegiatan operasional dan terwujudnya
koordinasi, fasilitasi dan pengendalian yang meminimalkan tumpang tindih proses
kegiatan di lingkungan subbagian organisasi yang bersangkutan. SOP berbeda dengan
pengendalian program yang lebih diorietasikan pada penilaian pelaksanaan dan
pencapaian outcomedari sudut kegiatan. Namun keduanya saling berkaitan karena SOP
merupakan acuan bagi aparat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban termasukdalam
pelaksanaan kegiatan program.Selama ini, penilaian akuntabilitas kinerja rumah sakit
pada umumnya didasarkan pada standar eksternal sebagai bentuk organisasi publik,
rumah sakit memiliki karakteristik khusus yakni sifat birokratis dalam internal
organisasinya.

Oleh karena itu apabila pedoman yang sifatnya internal ini jika digabungkan
dengan pedoman eksternal (penilaian kinerja organisasi publik di mata masyarakat)
berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas, maka akan mengarah pada
terwujudnya akuntabilitas kinerja rumah sakit. Hasil kajian menunjukkan tidak semua
satuan unit kerja rumah sakit memiliki SOP, karena itu seharusnya setiap satuan unit
kerja pelayanan publik rumah sakit memiliki SOP sebagai acuan dalam bertindak.
Melalui penerapan SOP ini akuntabilitas kinerja rumah sakit dapat dievaluasi dan terukur.

Anda mungkin juga menyukai