Idealnya, pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses untuk memberdayakan potensi dan
kompetensi individu untuk menjadi manusia berdaya yang berkualitas sepanjang hayat.1 Hal
ini sesuai dengan definisi Pendidikan yang termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dir, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan Negara”.
2
Sebagai suatu kebutuhan dasar, pendidikan tentu tidak dapat dipisahkan dari pembiayaan
dalam perencanaan, penyusunan serta penyelenggaraannya. Sebab untuk membentuk
kegiatan pembelajaran yang berkualitas, tentunya lembaga pendidikan juga membutuhkan
sarana prasarana yang memerlukan sokongan finansial dalam pemanfaatannya. Namun yang
menjadi permasalahan adalah apabila lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk
menaikkan biaya pendidikan dengan alasan makin tingginya biaya untuk memenuhi sarana
prasarana tersebut, akan tetapi tidak diikuti dengan pelayanan pendidikan yang meaksimal
dalam pelaksanaannya. Alhasil, masyarakat tetap harus mengeluarkan biaya yang lebih besar
tanpa memperoleh pendidikan yang bermutu.
Bentuk komersialisasi pendidikan di jenjang perguruan tinggi dapat kita lihat dari
munculnya kebijakan yang memberikan otonomi sepenuhnya kepada perguruan tinggi untuk
mengatur dan mengelola keuangan mereka sendiri. Kebijakan ini akrab kita kenal dengan
Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH).