Anda di halaman 1dari 11

Artikel Ilmiah

PRAKTEK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA


Diajukan untuk memenuhi tugas UAS Bahasa Indonesia yang diampu oleh M. Fakhrur Saifudin,
M.P.d

Disusun oleh :
Nurhalimah Sarah 2000005101

PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2021
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DIINDONESIA

Mungkin kata komersialisasi sudah tidak asing lagi dalam dunia ekonomi, yakni suatu
kegiatan yang akan menghasilkan suatu manfaat dalam dunia bisnis, sedangkan menurut KBBI
komersialisasi merupakan perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Sementara
itu pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang menambah ilmu pengetahuan, keterampilan
melalui proses pengajaran sedangkan menurut (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Dari pengertian diatas apakah menjadi sesuatu yang wajar apabila komersialisasi terjadi
dalam didunia pendidikan, karena pada dasarnya tujuan dari pendidikan adalah untuk
membimbing para peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif yang
nantinya akan digunakan dalam menjalani kehidupan, sehingga pendidikan dikatakan berhasil
apabila siswa memperoleh perubahan kearah yang lebih yang baik dalam kehidupannya,
sedangkan tujuan dari komersialisasi adalah untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.
Sederhananya komersialisasi pendidikan didefinisikan sebagai praktik berbasis ekonomi yang
mencari keuntungan finansial di ranah pendidikan.

Pembiayaan dalam konteks pendidikan adalah pembiayaan guna mendanai seluruh unsur
serta kegiatan yang ada dalam pendidikan, sehingga seluruh program yang ada dalam pendidikan
bisa berjalan dengan baik dan bisa menjadikan ranah pendidikan lebih berkualitas, sebab tak
dapat dipungkiri bahwa untuk menghasilkan output yang berkualitas dibutuhkan suatu system
dan proses yang berkualitas pula yang mana semua aktivitas itu membutuhkan pembiayaan,
namun bukan berarti harus mahal, sebab pembiayaan pendidikan yang berkualitas belum tentu
menghasilkan sesuatu yang berkualitas pula. Karena pendidikan yang awalnya merupakan
bagian dari proses humanisasi kini telah banyak mengalami perubahan menjadi sebuah ladang
komersial untuk mendapatkan dan menumpuk kekayaan secara private. Dan salah satu indikator
komersial pendidikan adalah dimana mahalnya pembiayaan pendidikan tidak sebanding dengan
mutunya, karena memang ada beberapa lembaga pendidikan yang memang memiliki biaya
pendidikan yang mahal akan tetapi semua itu, akan sebanding dengan output yang dikeluarkan
contohnya International Islamic High School, IIHS merupakan sekolah bertaraf Internasional
yang memiliki fasilitas yang cukup lengkap, IIHS sendiri memiliki bis khusus yang bisa
digunakan untuk antar jemput. Fasilitas asrama yang tawarkan antara lain pendingin ruangan,
spring bed, lemari dan lainnya. Pihak asrama juga menyediakan ruangan laundry dan juga
menyediakan profesional chef untuk menyajikan makanan dengan kualitas dan gizi yang baik.
Fasilitas lain dari sekolah ini adalah kolam renang, lapangan tenis, futsal, dan lainnya. Untuk
biaya pendaftaran SMA ini diketahui senilai Rp1,5 juta. Lalu, jika dinyatakan lolos kita harus
membayar biaya sebesar lebih dari Rp70 juta untuk membayar uang masuk, seragam, kesehatan,
dan SPP 4 bulan pertama. Sedangkan ada biaya tambahan untuk program ke luar negeri yang
mencapai sekitar USD1500 atau sekitar Rp20 juta.

Dengan demikian, mahalnya pembiayaan pendidikan dapat disebabkan oleh berbagai


faktor, bukan semata-mata hanya untuk mendapatkan profit personal, ada beberapa faktor yang
menyebabkan mahalnya biaya pendidikan, yang pertama mahal karena biaya pendidikan yang
dibutuhkan untuk bisa menyediakan sarana dan prasarana dalam proses pendidikan agar
menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas, yang kedua mahalnya pembiayaan pendidikan
dikarenakan komersialisasi.

Karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari berbagai unsur
yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, dan pengaruh yang akan ditimbukan
tergantung kepada interaksi yang terjadi, singatnya bahwa semua kegiatan atau proses yang ada
dalam pendidikan saling mempengaruhi satu sama lain. Dan semua itu bergantung kepada unsur
yang terdapat dalam sistem pendidikan. dalam sistem pendidikan sendiri terdapat berbagai unsur
bukan hanya pendidik dan peserta didik, tetapi juga membutuhkan suatu tempat sebagai sarana
dan prasatana, serta waktu sebagai masa yang dibutuhkan dalam menjalanlan program-program
yang ditawarkan, dan semua itu tidak terlepas dari pembiayaan, sehingga berkualitasnya suatu
pendidikan bukan hanya bergantung kepada hasil, unsur-unsur dan prosesnya, tetapi juga
tergantung kepada pembiayaannya.

Komersialisasi pendidikan akan berdampak kepada biaya pendidikan yang sangat mahal
dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat yang berasal dari kelas ekonomi bawah. Jika hal ini
terus terjadi maka pendidikan akan dijadikan sebagai ladang bisnis oleh beberapa pihak yang
akan mengakibatkan pendidikan seperti supermarket yang menyediakan berbagai barang yang
diperlukan pelanggan, tentu sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dengan pendidik sebagai
kasir dan yang peserta didik sebagai pelanggannya. Tidak hanya itu komersialisasi pendidikan
juga akan berdampak pada diskriminasi pendidikan dimana hanya beberapa kalangan saja yang
bisa menikmati pendidikan yang baik dan berkualitas, sedangkan masyarakat yang tidak bisa
membayar lebih atau berada pada kelas ekonomi bawah hanya bisa mendapatkan pendidikan
“sederhana” yang disediakan pemerintah.

Dan faktanya bahwa Indonesia ternyata masuk kedalam 15 besar negara dengan biaya
pendidikan termahal menurut survey yang dilakukan oleh HSBC. Indonesia berada di peringkat
13, sementara posisi pertama diduduki oleh Hong Kong. Tidak heran hal ini bisa terjadi
dikarenakan inflasi pendidikan di Indonesia yang terus naik setiap tahunnya, Berdasarkan data
BPS, inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai 3,81%. Sedangkan kenaikan rata-rata
uang pangkal pendidikan di Indonesia mencapai 10-15% per tahunnya. Ini merupakan
rangkuman dari beberapa sekolah dalam negeri yang menggunakan kurikulum internasional,
dimana rata-rata biaya untuk uang muka sekolah mulai dari Taman Bermain hingga SMA
sederajat mulai dari Rp8 juta hingga Rp40 juta bahkan mungkin bisa lebih mahal dari itu. Biaya
tersebut belum termasuk biaya bulanan. Meski biaya pendidikan terus mengalami peningkatan,
Yunita Rusanti selaku Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS mengatakan, dalam
perhitungan inflasi, kenaikan inflasi pendidikan mayoritas terjadi pada sekolah swasta sementara
untuk sekolah negeri cenderung deflasi.

Meskipun Indonesia masuk kedalam salah satu negara dengan biaya pendidikan termahal
hal ini tidak menjamin Indonesia akan memiliki kualitas pendidikan yang baik karena faktanya
Indonesia berada di papan peringkat terbawah dalam penilaian pendidikan dunia pada tahun
2018 yang disusun International Student Assessment (PISA). Yakni di peringkat ke-72 dari 77
negara. Data ini menjadikan Indonesia berada di peringkat enam terbawah, masih jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Survei PISA ini merupakan
rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca,
matematika dan sains. Apa yang terjadi pada pendidikan di negara ini, masyarakat diperas
dengan biaya pendidikan yang sangat mahal dengan hasil kualitas pendidikan yang seperti ini?.
Walaupun demikian tentu banyak faktor yang menyebabkan Indonesia berada diperingkat
bawah, bukan hanya semata-mata faktor dari pembiayaan.
Terjadinya komersialisasi pendidikan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat mungkin
terjadi, baik itu disebabkan faktor internal maupun eksternal, ditambah dengan kondisi yang
memberi peluang bagi tumbuhnya komersialisasi. Berikut merupakan dua faktor yang
menyebabkan komersialisasi tumbuh subuh di Indonesia.

a. Faktor Eksternal.

Pada faktor eksternal ini komersialisasi pendididikan terjadi karena dampak dari
globalisasi, dimana karena adanya globalisasi ini tanpa sadar ideologi kapitalisme dan
liberalisme tumbuh sumbur pada negara-negara berkembang, salah satu contohnya adalah
semakin menjamurnya Mall, Supermarket, dan Pasar Modern yang ada di Indonesia sehingga
menyebabkan terus tergerusnya eksisitensi pasar tradisional. Dari sanalah kita dapat melihat
bahwa pihak yang memiliki modal besar akan semakin kaya, sedangkan ekonomi menengah ke
bawah cenderung akan lebih sulit. Dengan demikian, pada dasarnya globalisasi merupakan
fenomena komersial yang didorong oleh para ekonom yang kemudian akan menimbulkan
masalah sosial, politik, dan budaya yang sangat besar.

Salah satu masalah yang akan muncul dari ideologi kapitalis ini adalah masalah
pendidikan karena menurut ideologi ini pendidikan selayaknya harus diberi kebebasan untuk
mendapatkan profit sebagaimana bisnis pada dunia lainnya, contohnya adalah komersialisasi
pendidikan. karena menurut Phili H.Coombs (1985) globalisasi membawa akibat kompetisi yang
begitu ketat bagi dunia pendidikan, khususnya pergutuan tinggi yang dituntut untuk beroperasi
sebagai perusahaan dan dengan biaya korporat

Komersialisai pendidikan dalam konteks idiologi kapitalisme, berhubungan dengan


kualitas outputnya, profit yang didapatkan berasal dari prodak ilmu pengetahuan yang dapat
dijual, seperti suatu penelitian ilmiah yang dibutuhkan oleh pihak lain dalam mengembangkan
perekonomiannya. Dengan demikian, mahalnya pembiayaan pendidikan terjadi karena output
yang di hasilkan berkualitas, sehingga menjadi penyebab bagi tingginya biaya proses, bukan
hanya sekedar pembiayaannya saja yang mahal
b. Faktor Internal

1. Karena Keterbatasanya Anggaran

Alokasi anggaran negara untuk pendidikan di Indonesia sendiri masih terbatas pada
tingkat pendidikan dasar, itupun hanya merupakan standar minimal, untuk tahun 2020 ini
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah menetapkan anggaran senilai Rp
492,5 triliun. Alokasi tersebut merupakan 20% dari porsi keseluruhan kas keuangan negara.
Namun menurut Sri Mulyani "Anggaran pendidikan 20% dari APBN masih belum memadai.
Kami kecewa karena beberapa lulusan bahkan tidak sampai ke tingkat yang kami harapkan,".
Kekecawaan beliau sendiri bukan tanpa alasan, mengingat pendidikan di Indonesia masuk
kedalam peringkat 6 terbawah dunia ,Menurut Muhadjir "Jadi kalau dilihat dari perspektif
anggaran pendidikan, menurut saya meskipun Kemendikbud jadi leading sektor pendidikan, kita
tidak bisa berbuat banyak dengan anggaran segitu,". Sedangkan pada tingga SLTA terlebih pada
lembaga pendidikan non formal, lebih banyak diserahkan kepada orang tua/wali dan bahkan
pada beberapa Perguruan Tinggi yang membutuhkan pembiayaan pendidikan lebih justru malah
diberi hak otonomi.

Kondisi tersebut tentu memberikan peluang bagi lembaga pendidikan untuk mencari
pembiayaan dengan dalih meningkatkan mutu pendidkan, dengan program-program yang
ditawarkan misalnya seperi BHMN, dan BHP. Namun dengan strategi tersebut dapat
diminimalisir dengan cara-cara yang legal yang disepakti berdasarkan relugasi yang jelas dan
tidak ada pihak manapun yang berupaya untuk memperkaya diri, yang disertai dengan laporan
keuangan secara trasparan dan memiliki accountabilitas yang tinggi.

2. Mentalitas Rendah

Sebagian dari bangsa Indonesia sendiri cenderung memiliki sikap yang hanya semata-
mata materialistis. Terbukti dengan munculnya orang-orang yang diadili karena
menyalahgunakan keuangan (korupsi) dan hal itu bisa dilakukan oleh siapa saja, kapanpun, dan
pada sektor apapun, termasuk dalam dunia pendidikan.

Mentalitas seperti itu akan lebih berbahaya jika terdapat atau dimiliki oleh tenaga
pendidik dan kependidikan, sebab tugas utama pendidik adalah berkaitan dengan kualitas
manusia, dan jika para pendidik atau siapapun pihak yang ada dalam lingkungan pendidikan
hanya berorientasi pada materialis semata, maka ia pun akan bekerja hanya untuk memenuhi
tuntutan materialismenya yang dapat mendorong terjadinya komesialisasi pendidikan.

3. Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan pegawai, termasuk para pendidik yang ada di Indonesia sendiri
belum memadai dan tidak merata, padahal faktor kesejahteraan merupakan salah satu pendukung
performen kinerja yang berkualitas, terlebih masalah pemerataan. Kesejahteraan yang tidak
seimbang dan merata dapat menimbulkan kecemburuan sosial antar para pendidik. Kondisi
tersebut, dapat mengurangi tanggung jawab sebagai seorang pendidik/pekerja yang berapa pada
sektor pendidikan, di sisi lain juga dapat memicu untuk menyalahgunakan kewenangannya guna
menutupi kekurangannya, sehingga apa yang ia kerjakan hanya untuk mendapatkan hal hal yang
bersifat materialistisnya sementara tanggung jawab terhadap kewajibannya terabaikan.

Sumber : http://koranbogor.com/bogor-now/pendidikan-di-indonesia-yang-kurang-merata-
khususnya-daerah-yang-jauh-dari-kota/
Contohnya adalah daerah Indonesia bagian timur yang memiliki kesejahteraan
pendidikan yang masih jauh dari kata sempurna, bukan hanya kesejahteraan para pendidik yang
masih kurang tetapi sarana dan prasarana yang kurang membuat kualitas pendidikan didaerah ini
masih jauh dari kata baik. Di tambah lagi dengan para tenaga pengajar yang memang sengaja
tidak mau dipindahkan ke daerah terpencil padahal selayaknya sebagai seorang tenaga pengajar
harus mampu mempunyai rasa kepedulian yang tinggi. Tidak heran hal ini bisa terjadi
dikarenakan kesejahteraan para pendidik yang tidak dipedulikan oleh pemerintah membuat
mereka enggan untuk mengajar di daerah terpencil.
Pada akhirnya Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki khususnya dari sektor pendidikan, komersialisasi pendidikan
sendiri merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Namun jika di
lihat dari historynya pendidikan di Indonesia memiliki perkembangan secara bertahap, dimulai
dari system Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem pemerintahah Tidak Langsung ke Sistem
Pemerintahan Langsung), yang membawa perubahan di mana kebijakan pendidikan menjadi
tanggung jawab pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian pada masa pemerintahan
Daendels pada 1808, ia mengarahkan beberapa bupati-bupati di Jawa untuk mengorganisir
sekolah-sekolah untuk anak-anak yang berasal dari/pribumi dengan suatu kurikulum yang
mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak itu akan tumbuh hingga menjadi anak
Jawa yang baik. Hingga pada era reformasi sekarang dimana sistem pemerintahan yang super-
sentralistik diubah secara radikal menjadi sistem yang super-desentralistik sebagaimana tertuang
dalam dalam UU No.2/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta perangkat PP, Kepres, dan
Kepmen yang menyertainya. Selain kurikulum, reformasi pendidikan meliputi hampir semua
aspek dari sitem pendidikan nasional. Misalnya PP No 25/2000 menetapkan bahawa sekitar 80%
dari jenis-jenis urusan pendidikan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat dan
provinsi menjadi diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah
yang secara resmi mulai berlaku sejak tahun 2001. Bahkan tidak hanya itu, sekolah-pun
diberdayakan melalui ”Manajemen Berbasis Sekolah” (School-Based Management).

Terbukti untuk mencapai sesuatu yang sempurna perlu dilakukan perkembangan secara
bertahap dan semua itu tidak bisa dilakukan secara instan harus terdapat sebuah proses
didalamnya, lagi pula Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman budaya yang
ada didalam layaknya sebuah pohon, semakin tinggi pohon tersebut maka akan semakin kencang
pula angin yang menerpanya.

Munculnya komersialisasi pendidikan merupakan salah satu akibat dari pelepasan


tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan
tinggi dan pemberian hak otonomi pada pihak swasta tanpa adanya pengawasan. Perlu diketahui
bahwa banyaknya pembisnis yang menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak
utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan yang tentu saja dengan
tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti
yang tertera pada UUD 1945.

Solusi Alternatif Penanggulangan Komersialisasi Pendidikan adalah pembentukan


lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengawasi jalannya sistem pendidikan,
Pemberian beasiswa yang lebih gencar kepada para pelajar yang berprestasi dan tidak mampu
dalam hal biaya, Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga pendidikan (tingkat
dasar, menengah, dan perguruan tinggi), baik negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah
dan non pemerintah, Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat. Adanya dana BOS dari
Dinas Pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya untuk menunjang sarana
prasarana lembaga pendidikan.

Meskipun demikian secara etika tetap saja komesialisasi pendidikan tidak relevan karena
telah menggeser etika dan budaya. Karena terdapat sebuah kisah yang inspiratif dari bapak
Yohanes Surya yang melatih anak didiknya untuk mengikuti olimpiade internasional dengan
lebih 70 medali emas, tanpa terlalu memperdulikan seberapa besar biaya yang dikeluarkan dari
para muridnya karena Kalau mereka tidak punya dana, kita kasih gratis. Tapi untuk makan
dan penginapan mereka sendiri. Tapi untuk pemda yang punya uang, mereka
membiayainya dengan cara subsidi. Dan salah satu murid yang mendapatkan medali emas
adalah Made Agus Wirawan, orang bali yang dulunya hanya bisa jadi tukang pahat,
namun sekarang telah bekerja di IBM New York.

Ini membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya semata-mata tentang berapa


besar biaya yang dikeluarkan agar bisa mendapatkan/menghasilkan output yang
berkualitas tetapi semua itu tergantung pada seberapa besar niat kita untuk belaja r dan
rasa ingin tau dari para peserta didik, dan hal ini juga masih bergantung kepada
bagaimana cara pendidik mengajarkan sesuatu kepada para muridnya karena tidak dapat
dipungkiri bahwa kualitas pendidik merupakan salah satu aspek penentu dari out put ya ng
akan dikeluarkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa memang benar pembiayaan merupakan aspek yang
diperlukan dalam dunia pendidikan tetapi itu bukan berarti pembiayaan menjadi syarat
terjadinya suatu pendidikan yang berkualitas. Karena pendidikan yang berkualitas
bergantuk kepada seberapa besar niat para peserta didik untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dan bagaimana cara dari para pendidik dapat menyampaikan ilmu tersebut
dengan baik.
https://kbbi.web.id/komersialisasi
http://eprints.ums.ac.id/22996/2/BAB_I.pdf
https://www.merdeka.com/trending/fasilitas-4-sma-ini-mewah-biaya-masuknya-bikin-
melongo.html?page=5
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tazkiya/article/view/208/210
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20180416125235-33-11142/ri-masuk-daftar-negara-
biaya-pendidikan-termahal-di-dunia
https://www.viva.co.id/arsip/1249962-survei-pendidikan-dunia-indonesia-peringkat-72-dari-77-
negara
https://finata.id/pengertian-kapitalisme/
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190313191021-4-60475/anggaran-pendidikan-belum-
optimal-mendikbud-kami-bisa-apa
http://koranbogor.com/bogor-now/pendidikan-di-indonesia-yang-kurang-merata-khususnya-
daerah-yang-jauh-dari-kota/
http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/menyingkap-perkembangan-pendidikan-sejak-masa-kolonial-
hingga-sekarang-perspektif-pendidikan-kritis/
https://www.suara.com/wawancara/2016/03/21/070000/yohanes-surya-kirim-anak-paling-bodoh-
sebodoh-bodohnya-ke-saya
dalam hal biaya, Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga pendidikan (tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi), baik
negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah, Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat. Adanya dana BOS dari
Dinas Pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya untuk menunjang sarana prasarana lembaga pendidikan. Meskipun demikian
secara etika tetap saja komesialisasi pendidikan tidak relevan karena telah menggeser etika dan budaya. Karena terdapat sebuah kisah yang
inspiratif dari bapak Yohanes Surya yang melatih anak didiknya untuk mengikuti olimpiade internasional dengan lebih 70 medali emas, tanpa
terlalu memperdulikan seberapa besar biaya yang dikeluarkan dari para muridnya karena Kalau mereka tidak punya dana, kita kasih gratis.
Tapi untuk makan dan penginapan mereka sendiri. Tapi untuk pemda yang punya uang, mereka membiayai si guru itu dengan cara
subsidi. Dan salah satu murid yang mendapatkan medali emAgus Wirawan, orang bali yang hanya bisa jadi tukang pahat, yang
sekarang telah bekerja di IBM New York. Ini membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya semata -mata tentang berapa besar
biaya yang dikeluarkan agar bisa mendapatkan/menghasilkan output yang berkualitas tetapi semua itu tergantung pada seberapa
besar niat kita untuk belajar dan rasa ingin tau dari para peserta didik, dan hal ini juga masih bergantung kepada bagaimana cara
pendidik mengajarkan sesuatu kepada para muridnya karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas pendidik merupakan salah satu
aspek penentu dari out put yang akan dikeluarkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa memang benar pembiayaan merupa kan aspek
yang diperlukan dalam dunia pendidikan tetapi itu bukan berarti pembiayaan menjadi syarat terjadinya suatu pendidikan yang
berkualitas. Karena pendidikan yang berkualitas bergantuk kepada seberapa besar niat para peserta didik untuk mendapatkan i lmu
pengetahuan dan bagaimana cara dari para pendidik dapat menyampaikan ilmu tersebut dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai