Anda di halaman 1dari 40

BAB III

Pengabdian Dan Perjuangan

A. Mendirikan Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan Al-Khairiyah

Lahirnya pemikiran KH. Syam’un bersama dengan bangkitnya kesadaran kebangsaan


(Nasionalisme) yang pada waktu itu dipelopori oleh kaum terpelajar. Ketika ia kembali ke tanah
air tahun 1915 sebagai salah seorang dari kalangan terpelajar, yang tidak saja membawa faham-
faham kebangsaan dan keagamaan, ia berusaha mendirikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di daerahnya. Karena ia menyadari kondisi
umat Islam yang sudah jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain, terutama dari segi ilmu dan
teknologi. Karena itu, kemudian ia berusaha mengadakan suatu perubahan dalam pendidikan di
pesantren yang didirikan untuk mewujudkan cita-cita.1

Pesantren Citangkil yang berdiri pada tahun 1916 oleh KH. Syam’un kemudian pada
tahun 1925 diberi nama Al-Khairiyah. Kata “Al-Khairiyah” itu sendiri berasal dari bahasa Arab
yang diambil dari kata khoirun yang artinya baik. Kemudian menjadi Al-Khoiru yaitu lawan dari
kata As-Syarru yang artinya adalah berhasilnya sesuatu secara maksimal atau dengan kata lain
“yang banyak kebaikannya”. Dari pengertian Al-Khairiyah itu sendiri tersirat pengertian-
pegertian lain seperti “kemuliaan dan kehormatan” kemudian berkembang menjadi ”pilihan
utama yang lebih baik” dan akhirnya menjadi kata Al-Khairiyah yang artinya; kebajikan,
kesucian, kemurahan dan kelebihan.

Salah satu sumber yang menginpirasi KH. Syam’un untuk menetapkan nama Al-
Khairiyah bagi pesantrennya yaitu ketika beliau memperhatikan adanya suatu bendungan air di
Mesir, yaitu bendungan Sungai Nil, yang dari bendungan itu dapat mengairi sekian luas lahan
pertanian dan meningkatkan tingkat kesuburan di sekitar lembah sungai itu, sehingga dapat
mengangkat taraf hidup rakyat di negeri tersebut. Bendungan itu bernama “Al-Khairiyah”.2

1
Badiyah Zakiyatul, “Perjuangan Brigjen KH. Syam’un Studi Tentang Perguruan Islam Al-Khairiyah
Citangkil Cilegon”, dalam Jurnal: Laporan Hasil Penelitian Kelompok Jurusan Adab, STAIN SMH Banten (Januari,
2002), h. 16.
2
Herry Wiryono, “Perkembangan Perguruan Islam Al-Khairiyah Cilegon Banten (1916-1950)”, dalam
Jurnal Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Patanjala, Vol.4, No.1, Maret 2012, h.59.
Tujuan didirikannya pondok pesantren Al-Khairiyah untuk membina kader-kader bangsa
yang siap menghadapi perubahan zaman. Pada 1916-1923 KH. Syam’un dengan kegigihanya
telah mengajarkan kepada santri-santrinya tentang ilmu-ilmu keislaman sebagai basis utama
sebelum mengenal ilmu lain. Aktivitasnya dalam mengembleng dan mendidik santri-santri pada
tahap awal sangat giat dan serius. Awal pengkederan berlangsung pada tahun 1916 sampai
dengan 1923. Pada tahun 1924, KH. Syam’un melaksanakan ibadah haji, dan untuk pesantrennya
ditutup untuk sementara. Sementara itu santri-santrinya yang telah mendapat gemblengan
kembali ke kampungnya masing-masing untuk menyebarkan ilmunya. Sekembalinya dari Mekah
(1925), ia membuka kembali pesantrennya. Pada tahun yang sama ia mengundang santri-
santrinya yang telah digemblengnya itu untuk mendirikan kembali pesantren yang mengubakan
sistem pendidikan yang klasikal dengan tetap mempertahankan sistem sorogan dan bandongan.
Metode sorogan yang dimaksud adalah seorang santri mendatangi seorang Kiai yang akan
membacakan beberapa baris dan kitab-kitab yang berbahasa arab dan menterjemahkannya ke
dalam bahasa Jawa atau Sunda, kemudian santri tersebut mengulangi dan menterjemahkannya
kata demi kata semirip mungkin seperti yang dilakukan Kiainya. Sistem penejemahannya dibuat
sedemikian rupa sehingga para santri mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu
struktur kalimat bahasa Arab. Dengan demikian para santri dapat belajar tata bahasa Arab
langsung dari kitab-kitab tersebut. Metode sorogan diberikan oleh KH. Syam’un kepada santri-
santrinya yang memerlukan bimbingan individual. Metode sorogan ini dalam pengajaran di
pesantren Citangkil merupakan tahapan paling sulit dari keseluruhan sistem pengajaran di
pesantren, sebab metode ini menuntut kesbaran, kerajianan, ketaatan, dan kedisiplinan dari
santri-santri tersebut. Metode sorogan merupakan dasar bagi para santri untuk bisa mengikuti
dan memetik keuntungan dari metode bandongan yang sering kali digunakan oleh KH. Syam’un
dalam menyampaikan sejumlah pengajarannya kepada para santri. Penerapan metode soroagan
ini memiliki beberapa keuntungan yang cukup efektif, antara lain : (1) Kemajuan pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan kondisi dan kemampuan santri; (2) Evaluasi dan penguasaan terhadap
kitab-kitab yang di pelajari lebih mantap dan konkrit; (3) Hubungan antara Kiai dan santri
menjadi lebih dekat; (4) memudahkan santri yang baru pertama kali mempelajari kitab-kitab
agama.3

3
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, 1974, h.59.
Sedangkan metode bandongan atau metode wetonan yakni para santri mendengarkan
KH. Syam’un membaca, menterjemah-kan, menerangkan dan seringkali mengulas kitab-kitab
Islam klasik yang lain yang tertulis dalam bahasa Arab. Setiap santri memperhatikan kitabnya
masing-masing dan membuat catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau pikiran
yang sulit.

Masyarakat Banten mengharapkan agar ia sebagai ulama menguasai dengan baik tentang
hukum Islam, terutama yang menyangkut warisan. Hal ini bertujuan untuk menolong orang-
orang Islam dalam mengatur hidup mereka menurut syari’at. Memang sepintas lalu hanya
terlihat sekedar sebagai pembina pesantren Citangkil, tetapi peranan didalamnya cukup militan.
Dalam kaitan ini Sartono Kartodirdjo, menuliskan betapa besar peranan ulama dalam menunjang
para sultan melawan Belanda antara lain dinyatakan: (1) Ulama menjadi aparat yang sangat
bahaya ditangan penguasa-penguasa pribumi dalam melawan kepentingan kolonial Belanda: (b)
Ulama-ulama selalu tidak berubah dan selalu dijumpai dalam setiap pemberontakan atau
perlawanan bersenjata4

Dengan demikian ulama tidak hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi
telah diakui oleh Sartono Kartodirdjo, bahwa para ulama merupakan para penguasa dalam
melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian ulama memegang
peranan fungsi-fungsi termasuk bidang politik dan militer.5

Kehadiran KH. Syam’un dalam masyarakat Banten diterima sebagai pelopor


pembaharuan dan pengaruhnya pun semakin dirasakan setelah berhasil membina Pesantren
Citangkil yang kemudian diberi nama Perguruan Islam Al-Khairiyah. Reputasinya yang sangat
baik, membuatnya selalu dikenang pada generasi berikutnya hingga saat ini. Semenjak keinginan
KH. Syam’un untuk mendirikan pesantren kecil sampai menjadi besar yang kemudian disahkan
oleh pemerintah Belanda pada tanggal 5 Mei 1925. Dan tahun itu oleh pengurus Perguruan Islam
Al-Khairiyah Citangkil dijadikan sebagai hari jadi Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil
Cilegon Banten

Madrasah Al-Khairiyah merupakan hasil transformasi dari pesantren tradisional yang


didirikan KH. Syam’un, ia menyadari bahwa untuk mengimbangi sistem pendidikan kolonial
4
Sartono Kartodirdjo (ed.), Elit Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, 1983, h.123.
5
Sartono Kartodirdjo (ed.), Elit Dalam Perspektif Sejarah, h.124.
Belanda yang diskriminatif disatu sisi, dan untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada
pesantren tradisional, di sisi lain perlu diadakan pembaharuan. Sistem pendidikan hasil
pembaharuan ini mengadopsi sistem persekolahan yang didirikan oleh Kolonial Belanda.

Sistem ini telah membuka mata KH. Syam’un akan begitu tertinggalnya umat Islam
terhadap ilmu-ilmu pengetahuan umum. Selain itu, di dalam sistem persekolahan sudah terdapat
fasilitas belajar mengajar, kurikulum, metode pengajaran dan administrasi yang telah diatur
dengan baik. Hal itu membuat KH. Syam’un terinspirasi untuk meniru dan menerapkan sebagian
dari sistem pendidikan kolonial Belanda itu. Ia bersikap akomodatif dengan cara
menggabungkan sistem pesantren tradisional sehingga melahirkan lembaga pendidikan Islam
baru yaitu Pesantren Al-Khairiyah.

Berdirinya pesantren Al-Khairiyah di Citangkil dalam bentuk yang baru mengalami


perkembangan dan perubahan-perubahan dalam sistem pendidikannya yang disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Dimana pondok pesantren yang semula bukan
merupakan pendidikan sekolah atau madrasah, ini telah menjadi pesantren yang bernuansa
klasikal.

Walaupun demikian, tetap disadari bahwa pembaharuannya bukan semata-mata


merupakan lembaga pendidikan, melainkan juga dinilai sebagai lembaga kemasyarakatan. Justru
wataknya yang demikian, maka peranan pesantren dalam pendidikan dan pengembanganya
adalah sangat dominan. Di samping itu, pesantren yang secara historis dalam perkembangannya
memiliki fungsi pokok sebagai pencetak calon ulama dan ahli agama, sampai dewasa ini fungsi
pokok tersebut tetap terpelihara dan dipertahankan seperti yang dilakukan pesantren Al-
Khairiyah, walaupun pesantren itu sudah ditingkatkan menjadi pesantren modern yang
mengunakan sistem klasikal. Pemerintah Kolonial Belanda terus mengikuti gerak perkembangan
Pesantren Al-Khairiyah, dengan menyimpan kekhawatiran terhadap KH. Syam’un selaku
pimpinannya. Belanda dalam hal ini mengirimkan utusannya untuk mengawasi Perguruan Al-
Khairiyah yaitu Van der Plas sebagai-Residen Cirebon pada waktu itu.6

6
Rahayu Permana Dan Fahmi Hidayat, “Kesepakatan PB Al-Khairiyah Cilegon Dengan PT. KRAKATAU
STELL Tahun 1974-1978”, Jurnal: Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Pendidikan Dan Pengetahuan
Sosial Universitas Indraprasta PGRI (Maret, 2017), h. 2-3.
KH.Syam’un mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagai landasan berpikir yang
melatarbelakangi kebencian terhadap pemerintah kolonial Belanda akibat perlakuan diskrimatif
dan pembatasan gerak politik di kalangan Ulama. Sebagai seorang ulama, ia merasa prihatin atas
kondisi umat Islam Banten yang berada dalam kemandegan (Taklid) dan menganggap pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu suatu sikap meniru dan menerima pemahaman keagamaan, tanpa
mengetahui latar belakang dan landasan kekuasaan yang jelas.7

Pada tahun-tahun pertama 1925-1928, KH. Syam’un dibantu oleh santri-santrinya yang
mengabdikan diri untuk mengembangkan pesantren Al-Khairiyah agar menjadi maju dan
berkembang. Perencanaan-perencanaan yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar
diusahakan dengan kemampuan KH. Syam’un beserta alumni yang telah ditugaskan untuk
membantu mengatur program (baik kurikulum, bahkan sampai anggaran dasar anggaran rumah
tangga (AD/ART), juga administrasi) madrasah Al-Khairiyah.
Kurikulum klasikal dimana sistem penambahan pada mata pelajaran umum disamping
pada mata pelajaran agama. Kurikulum agama di pesantren ini adalah Al-Qur’an dan tafsirnya,
Aqaid dan ilmu Kalam, Fiqih dengan Ushul Fiqih, Hadits dengan Mustalah Hadits, Bahasa Arab
dengan Ilmu Nahwu (Saraf, Ma’ani, Badi, dan Arudh, Tarikh, Mantiq, Al-Fiyah dan
Jurumiyyah). Sedang-kan pelajaran umumnya adalah pelajaran, Ilmu Al-Jabar (menghitung),
Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Ilmu Kosmo-grafi, Ilmu Sejarah. Sistem Kelas di Madrasah
Al-Khairiyah ini dimulai dari: (1) Kelas nol (Awaliyah) selama satu tahun; (2) Kelas setengah
(Tahdiriyah) selama satu tahun; (3) Kelas I selama satu tahun; (4) Kelas II selama satu tahun; (5)
Kelas III selama satu tahun; (6) Kelas IV selama satu tahun; (7) Kelas V selama satu tahun; (8)
Kelas VI selama satu tahun; (9) Kelas VII selama satu tahun.

Gambaran sistem kelas tersebut, maka setiap santri Al-Khairiyah akan menempuh
pendidikan selama sembilan tahun. Dua tahun untuk kelas persiapan dan tujuh tahun untuk
program Madrasah. Sistem ini untuk menanggulangi salah satu kelemahan sistem tradisional
yang tidak bisa mengontrol kehadiran siswa dengan baik. Dalam kelas persiapan santri diberi
pengajaran bahasa Arab secara intensif sebagai dasar untuk dapat menerima pelajaran
selanjutnya. Kurikulum Madrasah ini berupa pelajaran agama ditambah pelajaran umum.
Kurikulum pelajarannya yang paling khas di Perguruan Islam Al-Khairiyah adalah Kitab Fiqih,

7
1617
seperti: kitab Kifayatul Ahyar, kitab Kifayatul Awam, dan kitab Jalalayin, ditambah dengan kitab
Al-Fiyah, kitab Jurmiyah dan kitab Qawaidul Lughawiyah. Yang semuanya ini wajib dipelajari
bagi santri.

Pada umumnya para santri tinggal di pondok yang telah disediakan oleh yayasan baik
santri yang berasal dari dalam atau dari luar Keresidenan Banten. Selain mendapatkan mata
pelajaran di madrasah setiap harinya, juga belajar di luar jam sekolahnya yaitu waktu yang telah
ditentukan untuk belajar “kitab-kitab kuning” dengan memakai sistem sorogan dan wetonan.
Umumnya para santri lebih tertarik tinggal di sana untuk mengaji “kitab-kitab kuning” yang
telah dijadual oleh pengurus pondok pesantren Al-Khairiyah Citangkil. Kurikulumnya disusun
sesuai dengan ting-katan umur sekolah.

Kurikulum pondok untuk tingkat ibtidaiyah yakni pelajaran Al-Qur’an (belajar membaca
Al Quran). Kemudian setelah dapat membaca al-Quran dengan baik dan lancar, maka dilanjutkan
dengan pelajaran: seperti Kitab safinah al-Naja (Fiqih), Qotr al-Ghayth (Tauhid), Nasa’ih al-
Ibad (Akhlak), al-Jurumiyyah (Nahwu), dan al-Kailani (Saraf). Setelah kitab tersebut dipejalari
dengan baik kemudian meningkat ke pelajaran kitab, yaitu: Minhaj al-Qawim (Fiqih), Ibrahim
al-Bajuri (Tauhid), Bidayatul al- Hidayah (Akhlaq), Sharah al-Imriti (Nahwu), Lamiyah al-
Af’al (Saraf).

Untuk menambah wawasan santri selama berada di Madrasah Al-Khairiyah, diadakanlah


kegiatan ekstrakurikuler, sebagai sarana menggembleng agar mampu berinteraksi dengan masya-
rakat sekitar lingkungan pesantren. Organisasi santri itu ialah seperti: kepanduan, kesenian
(musik rakyat) dan olahraga (pencak silat). Organisasi tersebut sifatnya hanya sampingan dan
tidak ada kewajiban mengikutinya.

Tahun 1929, KH. Syam’un berusaha memperluas dan menyempurnakan Perguruan Islam
Al-Khairiyah, sehingga madrasah pesantren Citangkil merupakan sebuah komplek pendidikan
kampus yang terdiri dari beberapa lembaga pendidikan. Untuk

Pada tahun 1934, KH. Syam’un merubah sistem pendidikan yang semula masa belajar ditempuh
selama sembilan tahun, diubah menjadi sebelas tahun dengan tiga tingkatan: madrasah ibtidaiyah
(sekolah dasar) dengan masa belajar enam tahun, madrasah Tsanawiyah dengan masa belajar tiga
tahun, madrasah Mualimin (Pendidikan Guru) masa belajar dua tahun. Jadi seluruhnya menjadi
11 tahun masa studinya. Guru-guru yang berkompeten direkrut dari lulusan Al-Khairiyah sendiri
ditambah dengan guru-guru yang datang dari Mekah.
Kurikulum pondok pesantren untuk tingkat madrasah Tsanawiyah kitabnya yaitu:
Kifayatul al-Akhyar (Fiqih), Waraqah (Ushul Fiqih), Taftazani (Tauhid), Nasaih al-Diniyah
(Akhlak), al-Mutammi-na (Nahwu), Tasrif al-Lughawi (Saraf), al-Tafsir (Tafsir), Muhtar al-
Hadits al-Nabawiyah (Hadits), Minhaj al-Muqhith (Mustalah Hadits), al-Somad (Fiqih), Lataif
al-Isharah (Ushul Fiqih), Kifayah al-Awam (Tauhid), al-Hikam (Akhlak), Bulugh al-Maram
(Hadits), al-Fiyah al-Suyuti (Mustalah Hadits), Dahlan al-Fiyah (Nahwu dan Saraf), al-
Jalalayin (Tafsir), Sharah al-Jauhari al-Ma’mun (Balaghah), dan Idah al-Mubham (Mantiq).
Sedangkan untuk kurikulum pondok pesan-tren tingkat Mualimin kitabnya seperti; Fath al-
Mu’in, Qalyubi wa ‘Amirah (Fiqih), al-Mustasfa, Nihayah ‘l-Saul (Ushul Fiqih), Sahih al-
Bukhari, Sahih al-Muslim (Hadits), Minhaj Dhawi ‘l- Nazar, Sharah al-Fiyah, al-Suyuti
(Mustalah Hadits), Sharah al-Talibin, Ihya’ Ulum al-Din (Akhlak), Ibnu Kathir, Ibnu Jarir al-
Tabari (Tafsir), Mi’yar al-‘Ilmi (Mantik), Umm al-Barahim (Tauhid).
Tampaknya KH. Syam’un berupaya keras untuk kemajuan madrasah ini. Menurutnya,
ajaran Islam secara tegas mewajibkan umat Islam akan sarana pendidikan ini makin disadari
dirasakan, ajaran Islam juga memberikan motivasi yang kuat terhadap pemeluknya untuk saling
membantu sesamanya, terutama kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan dibidang
pendidikan yang modern. Sementara itu lulusan-lulusan pesantren makin tergeser statusnya oleh
alumni pendidikan umum yang KH. Syam’un berusaha keras agar pesantrennya menjadi
madrasah modern.8

B. Mendirikan Holladsche Inlandshe School

Setelah sembilan tahun KH.Syam’un membina kadernya yang pertama dan dan utama
itu, pada tahun 1925, KH. Syam’un bersama-sama dengan murid dan masyarakat sekitarnya
dapat mendirikan gedung sekolah/madrasah terdiri atas lima lokal yang diberi nama “Madrasah

8
Rahayu Permana, KH. Syam’un (1883-1949) Gagasan Dan Perjuamganya, (Yogyakarta : Publishing,
Januari 2016), h. 31-36.
Al-Khairiyah Citangkil”. Pada tahun 1936 KH. Syam’un memperluas dan menyempurnakan
Madrasah Al-Khairiyah, sehingga Madrasah dan Pesantren Citangkil merupakan sebuah
komplek pendidikan yang terdiri dari beberpa lembaga pendidikan termasuk membuka
Hollandsche Inlandsche School ( HIS) Partikelir untuk menandingi dan mengimbangi sekolah
HIS Belanda yang ada di Cilegon. Tiga tahun sebelum lahirnya Sumpah Pemuda di Perguruan
Tinggi di Perguruan Islam Al-Khairiyah termasuk HIS-nya telah menggunakan bahasa pengantar
dengan bahasa Indonesia.

Sejak Al-Khairiyah ditingkatkan dari Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang


terorganisir pada tahun 1925, Al-Khairiyah mencapai kemajuan dan puncak keemasannya. Pada
saat itu, murid-murid yang datang bukan hanya dari daerah Banten, tetapi juga dari luar Banten,
antara lain dari Lampung dan Sumatera Selatan. Sekolah umum (HIS) menempuh masa belajar
selama 3 (tiga) tahun dan memiliki tenaga-tenaga guru sebagai berikut :

a. Meneer Chussnun Achyar, Grogol Pulomerak


b. Meneer Idris, Siswa Al-Khairiyah Citangkil, berasal dari Bandung Jawa Barat.
c. Meneer Abdurrohman, Siswa Al-Kahiriyah Citangkil, berasal dari Kupang Teba,
Tanjungkarang Lampung.
d. Meneer Sahdi, Siswa Al-Kahiriyah Citangkil, berasal dari Cianjur Jawa Barat.
e. Meneer Asyikin Hamim, Siswa Al-Kahiriyah Citangkil, berasal dari Kupang Teba,
Tanjungkarang Lampung.
f. Meneer Syahsiam, Siswa Al-Khairiyah Citangkil, berasal dari Cianjur Jawa Barat.

Pada tahun 1940 dua orang siswa Al-Khairiyah yang melanjutkan pendidikannya di
Mesir, kembali ke tanah air, karena telah menyelesaikan perkuliahannya dan telah lulus/berijazah
yaitu KH. Abdul Fatah Hasan dan KH. M. Syadeli Hasan, di samping lulus dari Al-Azhar
University, juga lulus dari Daarul Ulum University yang kemudian beliau mengajar di Al-
Khairiyah Citangkil pada tingkat Tsanawiyah dan Mu’alimin.9

C. Bergabung Dalam Perjuangan Kmerdekaan (PETA)

Dalam rangka membangun kekaisaran di Asia, maka Pemerintah Jepang telah meletuskan
perang di Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang dan membom Pearl
9
Herry Wiryono, “Perkembangan Perguruan Islam Al-Khairiyah Cilegon Banten (1916-1950)”, h.62.
Harbor, yakni pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang terbesar di Pasifik. Lima jam
setelah penyerangan itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang.10
Kemudian pemerintah Jepang mendaratkan tentaranya ke Indonesia untuk pencapaian
wilayah yang terdiri atas laut dan daratan, diperlukan sistem pendaratan yang dilakukan oleh
angkatan darat dan laut yang ditunjang oleh potensi udara dan diperhitungkan secara akurat.
Setelah membom Pearl Harbor, tindakan Jepang target utamanya terlebih dahulu melumpuhkan
pertahanan laut Inggris, Prince of Wales dan Repulse, 10 Desember 1941 yang berhasil
ditenggelamkan oleh serangan 50 pesawat pembom tarpedo Jepang. Betapa cepatnya gerakan
tentara Jepang, yang kemudian Jepang bergerak ke Selatan dan menyerang Indonesia, pada
tanggal 10 Januari 1942, tentaranya telah sampai di Tarakan, Kalimantan Timur.11
Dalam gerakannya ke Indonesia, tanggal 14 Februari 1942 diturunkan pasukan payung di
Palembang, dua hari kemudian yakni pada tanggal 16 Februari 1942 Palembang dan sekitarnya
berhasil diduduki. Setelah menghadapi kekalahan yang demikian itu, Sekutu mengadakan
konsolidasi pada tanggal 15 Januari 1942 membentuk kesatuan pertahanan yakni yang disebut
ABDACOM (America, British, Dutch, Australian Command) yang markas besarnya ada di
Lembang. H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL).
Pembentukan kesatuan pertahanan yang menda-dak ini di tengah kelemahan Sekutu, membuka
kesempatan Jepang dengan mudah menerobosnya. Hal ini akibat persiapan Jepang lebih lama
dari pada Sekutu. Setelah Jepang menduduki Manado langsung ke Kendari, Ujung Pandang terus
ke Bali. Sebagai serangan wilayah Indonesia tengah dari serangan Davao. Selanjutnya sisi timur,
dan Davao terus masuk ke Ambon, dilanjutkan ke Timor Dili dan Kupang. Serangan Jepang dari
udara dan laut pada daerah tersebut, menjadikan pertahanan ABDA tiada daya.
Tentara keenambelas Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitosyi Imamura, pada
tanggal 1 Maret 1942 mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, di Eretan Wetan
(Jawa Barat) dan di Kranggan (Jawa Tengah). Jenderal H. Ter Poorten, bersama Gubernur
Jenderal pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, menyerahkan
Indonesia tanpa syarat kepada Jepang, Letnan Jenderal Imamura, dalam kapitulasi Kalijati,
Subang Jawa Barat, pada tanggal 8 Maret 1942. Kemenangan Jepang ini, yang dicapai dengan
pendudukan, dan kedatangan Jepang hanya naik sepeda, disertai pula mendatangi mesjid-mesjid
10
Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta, 1975, h. 1.
11
Soeara Madjlis Islam A’laa Indonesia,15 Januari 1943, h.18.
dengan menyertakan tentara Jepang Islam, menjadikan rakyat Indonesia menyambut kedatangan
Jepang sebagai tentara pembebasan bangsa dari pemerintah kolonial Belanda. Mengenai
penyerahan tanpa syarat itu Jenderal H. Ter Poorten diperintahkan untuk mengumumkan sendiri
kepada pasukannya melalui radio, yang ternyata kemudian dibacakan oleh kepala stafnya. Sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, senjata-senjata harus sudah diletakkan di tempat-
tempat yang mudah dilihat sebelum pukul 12.00 tanggal 8 Maret 1942. Dengan demikian
berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi ditegakkan kekuasaan
kemaharajaan Jepang.
Untuk memulihkan ketertiban dan keamanan di Indonesia, tentara Jepang mengadakan
pemerintahan pendudukan militer di Pulau Jawa yang bersifat sementara yang sesuai dengan
Undang-Undang No. 1 Pasal 1, yang dikeluarkan oleh panglima Tentara keenambelas pada
tanggal 7 Maret 1942. Pemerintahan militer sementara ini disebut Gunseibu, yang masing-
masing meliputi Jawa Barat dengan pusatnya di Bandung, Jawa Tengah dengan pusatnya di
Surabaya.
Dalam mengisi kekosongan pemerintahan Jepang mengalami kekurangan pegawainya,
sehingga terpaksa mengangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia. pada tanggal 1 April 1942
pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai negeri
dan lokal. Peraturan lain yang diberlakukan Jepang adalah UU Nomor 4, 1942, yakni bahwa
hanya bendera Kokki Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar. Lagu kebangsaan yang
boleh diperdengarkan hanyalah lagu Kimigayo.12
Pada masa kekuasaan pemerintahan Jepang, administrasi pemerintahan ini diadakan
perubahan-perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat
pemerintah Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di negara Jepang. Berdasarkan
Undang-Undang No. 27 tanggal 5 Agustus 1942 (tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No. 28
tanggal 7 Agustus 1942 (tentang Pemerintahan syu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali
Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas daerah-daerah yang disebut: Syu, Syi, Gun, Sun, dan Ku.13
Syu adalah pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang Syucokan yang
kedudukannya sama dengan keresidenan (residentie). Dengan demikian provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dihapuskan. Sebagai gantinya pada tanggal 8 Agustus 1942 dibentuk
daerah pemerintahan Syu jumlahnya empat di Pulau Jawa. Pelantikan Syucokan secara resmi
12
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h.46.
13
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang, 1993, h. 216.
pada September 1942. Pemerintahan Jepang dalam usaha mempersatukan semua orang Asia
yang pro Jepang maka dibentuk suatu pergerakan yang bernama Tiga A yang dibentuk oleh
kantor propaganda tidak lama setelah pendaratan tentara Jepang di Jawa.15 Semangat semboyan
itu berbunyi Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia, di sini
pemerintah militer Jepang berusaha untuk menanamkan tekad penduduk agar berdiri sepenuhnya
di belakang pemerintah tentara Jepang. Tetapi gerakan itu tidak bertahan lama, karena gerakan
itu hanya dibentuk oleh pejabat sipil dalam propagandanya tanpa didukung oleh pejabat militer,
yang memandang gerakan itu dengan curiga.
Setelah Gerakan tiga A dibubarkan, sebagai gantinya adalah Poetera (Poesat Tenaga
Rakjat) pada tanggal 9 Maret 1943, para pemimpinnya diambil dari tokoh nasional yang populer
dan berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki
Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur yang keempatnya dikenal dengan Empat Serangkai.
Tetapi tidak lama Poetera pun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Djawa Hokokai
(Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa).
Pada akhir perang dunia kedua Jepang sudah merasa bahwa situasi dan kondisinya mulai
memburuk, di saat yang demikian itu memerlukan tambahan angkatan perangnya. Untuk itu
usaha mengorganisasi pemuda Indonesia akhirnya dilaksanakan. Secara umum dapat dibedakan
tiga jenis gerakan pemuda: (1)`Organisasi pemuda yang bersifat militer atau yang semi militer,
(2)`Organisasi pemuda di bawah tanah, dan (3) Organisasi pemuda yang dibentuk Jepang yang
kemudian secara diam-diam dibelokan oleh pemimpin pemuda menjadi gerakan bawah tanah
untuk kepentingan perjuangan Indonesia.
Untuk itu di Jawa, Sumatera, dan Malaya (Malaysia sekarang) yang bersifat militer
dilaksanakan pada tahun 1943. Beberapa diantaranya, Seinen Dojo, di Tangerang merupakan
tempat latihan pemuda pertama, yang telah memberikan latihan militer penuh kepada kurang
lebih 50 pemuda Indonesia. Kemudian pada tanggal 29 April 1943 berupa organisasi militer, di
antaranya yang terpenting ialah Keibodan (barisan bantu polisi) dan Seinendan (barisan
pemuda). Demikian pula dilakukan pengerahan tenaga Heiho (pembantu prajurit) yang semua
merupakan tenaga pekerja kasar tetapi kemudian dikerahkan untuk tugas-tugas bersenjata. Juga
pasukan Hizbullah, yang juga meneruskan eksistensinya sesudah akhir zaman pendudukan
Jepang dan yang memainkan peranan selama revolusi Indonesia serta perang kemerdekaan.
Organisasi semi militer yang terakhir ialah Gakutotai (Barisan Pelajar), sifatnya yang
paling tidak militer dibandingkan dengan yang lain. Barisan itu sesungguhnya merupakan satuan
latihan yang dikaitkan pada tiap sekolah lanjutan yang memberikan lati-han dasar kemiliteran
kepada para pelajarnya. Latihan dasar kemiliteran merupakan suatu kegiatan mingguan intra
kurikuler yang diselenggarakan selama dua jam pada akhir sesuatu hari dalam satu minggu.
Sesuai dengan tuntutan perang yang makin mendesak, pemerintah militer Jepang tidak
saja membatasi diri pada pembentukan barisan pra militer, tetapi kemudian meluas dengan
membentuk organisasi militer yang dikenal dengan nama tentara sukarela Pembela Tanah Air
(Peta) atau (Boei Giyugun). Usulan itu datang dari R. Gatot Mangkupraja melalui suratnya yang
ditujukan kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer) pada tanggal 7 September 1943 yang
antara lain meminta supaya bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah militer
Jepang tidak saja di belakang garis perang tetapi juga di medan perang. Pembentukan Peta
merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam perkembangan politik militer Indonesia,
karena di dalamnya umat Islam memegang peranan sejak dari pembentukannya. Walaupun
usulan pembentukan Peta tersebut oleh R. Gatot Mangkupraja kawan Soekarno. Tetapi
direalisasikannya pada akhir Oktober 1943, Jepang mengangkat para kiai sebagai daidanco dan
cudanco (komandan batalyon dan komandan kompi).
Pelaksanaan rencana itu setelah Jenderal Harada Kumakichi, panglima Tentara
keenambelas, segera memanggil stafnya untuk membicarakan rencana perumusan rencana
lengkap bagi pemben-tukan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Kebanyakan gagasan itu datang
dari dua kelompok di dalam lingkungan Beppan. Pertama dari para ahli Islam, Muhammad
Abdul Mun’im Inada serta Abdul Hamid Ono dan kedua dari Yanagawa. Inada dan Ono
menekankan bahwa satuan Indonesia yang akan dibentuk haruslah berdasarkan Islam, dan hal ini
sesuai dengan kebijakan Jepang kyi mengenai Islam. Dan untuk memahami dasar kebijakan
pembentukan Tentara Pembela Tanah Air, perlu dipahami terlebih dahulu tentang kebi-jakan
politik Islamnya Jepang. Hal ini sangat erat hubungan antara keduanya. Seperti yang
dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto, Jepang berusaha keras untuk memberi bantuan kepada
Tentara Pembela Tanah Air bersifat Islam, sehingga secara luarnya dari daidanki atau panji
tentara Peta pun berbentuk Bintang Bulan di tengah matahari terbit. Oleh karena itu diletakan
kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal sebagai kebijakan politik Islamnya Jepang yang
ditujukan mengeksploitasi potensi ulama desa. Menurut pemikiran Jepang pada waktu itu, unsur
Muslim di dalam pergerakan nasional Indonesia merupakan unsur yang secara politik paling
dipercaya pihak Jepang karena dinilai yang anti Barat, lagi pula pada waktu itu belum diizinkan
untuk berbicara menge-nai kemerdekaan Indonesia.
Usulan yang dimohonkan oleh R. Gatot Mangkupraja yang kemudian seluruh aparat
propaganda dikerahkan untuk mendukung Gatot Mangkupraja. Baik dari pemimpin Islam juga di
Sumat-ra dan Malaya terdengar suara yang menginginkan pasukan yang diusulkan R. Gatot
Mangkupraja. Bersama-sama, pernyataan-pernyataan dukungan itu merupakan kampanye pers
untuk mendesak pembentukan Peta. Dan dalam waktu yang tidak ada sebulan setelah
permohonan Gatot, dikeluarkan Osamu Seirei No. 4 pada tanggal 3 Oktober 1943, mengenai
pembentukan pasukan sukarela untuk membela Jawa. Pada bulan Oktober 1943 juga dilatih
puluhan calon perwira Indonesia di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Pelatihan
Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Jawa). Dari badan ini muncul satu golongan yang
memperoleh pendidikan militer dalam zaman Jepang, dan menerapkan menjadi kekuatan sosial
baru dalam masyarakat Indonesia. Perhatian penduduk terhadap Peta sangat besar, terutama dari
pemuda-pemuda yang telah mendapatkan pendidikan sekolah menengah dan tergabung dalam
Seinendan. Pembukaan Boei Giyugun Kanbu Renseitai di kota Bogor, pada tanggal 15 Oktober
1943. Nama Jepangnya kemu-dian diganti menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai dengan
arti yang sama. Disini ulama-ulama dilatih sebagai calon daidanco (Komandan Batalyon).
Menurut Yanagawa masa persiapan sebelum pembukaan Renseitai di Bogor dibagi atas
tiga tahap. Tahap pertama yang berlangsung 25 hari setelah usulan Gatot Mangkupradja.
Kegiatan yang dilakukan selama tahap ini adalah; propaganda, mencari calon pemimpin tentara
Peta, sehingga dengan ini mengirimkan alumni dan siswa Seinendojo ke daerahnya masing-
masing untuk mempropagandakan; dan akhirnya perbaikan asrama di Bogor. Tahap kedua, yang
berlangsung selama lima hari setelah berakhirnya tahap pertama dengan kegiatan sebagai
berikut; pemeriksaan calon-calon pemimpin bagi tentara Peta, pengerahan calon instruktur,
pemindahan alumni bagi Renseitai (pengemudi, juru masak, pesuruh, dll). Tahap ketiga yang
berlangsung selama sepuluh hari setelah berakhirnya tahapan kedua, dengan kegiatan
menyelesaikan pembentukan Renseitai di Bogor, pengerahan juru bahasa, perencanaan bagi
latihan perwira Peta.
Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia yang pada akhir perang
beranggotakan 37000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra. Tidak seperti heiho,
Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang, melainkan dimaksudkan sebagai
pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu. Korps perwiranya meliputi para
pejabat, para guru, para kiai, dan orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial
Belanda. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam
indoktrinasi. Anggota Peta berasal dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perwira-perwira
yang menjadi komandan batalyon biasanya dipi-lih dari pemimnpin masyarakat atau orang
terkemuka di daerahnya seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama atau kaum politikus.
Pembentukan Peta dimulai dengan memilih calon-calon perwira yakni calon daidanco
(Komandan Batalyon) cudanco (Komandan Kompi) dan shudanco (Komandan Peleton).
Pengerahan calon perwira dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat didalam
penjelasan komando tentara mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota
tentara Peta. Para calon perwira tidak perlu memenuhi syarat-syarat pendidikan, tetapi harus
memperhatikan bakat kepemimpinan dan harus pula memiliki jiwa yang sehat, stabilitas mental,
maupun fisik yang kuat. Bagi Letnan satu dan Letnan dua (agaknya yang dimaksudkan di sini
adalah komandan kompanyi dan komandan peleton Peta) usia maksimum adalah 30 tahun.
Pemilihan-pemilihan perwira akan dilaksanakan pada awal bulan Oktober, sedangkan latihan
akan dimulai pada pertengahan bulan Oktober. Mereka yang sudah mempunyai pekerjaan juga
boleh melamar asal saja memperoleh ijin dari atasannya. Pemeriksaan para pelamar akan
dilakasanakan di ibu kota setiap shu, antara lain: (1)` Untuk calon Shudanco umum-nya diambil
dari siswa sekolah, (2) Untuk calon Cudanco umumnya diambil dari kiai, pegawai negeri, guru
sekolah, dan (3) Untuk calon Daidanco umumnya diambil dari tokoh rakyat seperti, pimpinan
partai, pimpinan agama, kiai, pamong praja (wedana, asisten wedana, dan jaksa).
Di kalangan masyarakat kedudukan dalam Peta dianggap kedudukan yang tinggi. Dalam
kenyataannya, status mereka seringkali lebih tinggi dari seorang kepala daerah. Apabila
seseorang menjadi anggota Peta, maka statusnya menjadi naik.14
Pendidikan di Bogor berlangsung, untuk Daidanco hanya dilatih selama dua bulan,
berakhir di bulan November 1943. Sedangkan Cudanco dan Shudanco dilatih hingga bulan
Desember 1943. Pendeknya waktu latihan dan sedikitnya materi latihan ini merupakan
konsekuensi logis dari dasar pembentukan Tentara Peta.

14
Sudjito Sosrodihardjo, Perubahan Struktur Masyarakat di Jawa: Suatu Analisa, Yogyakarta, 1972, h.
106.
Pada masa pendudukan Jepang inilah kedudukan kaum ulama mengalami perubahan.
Islam diangkat dalam kedudukan resmi yang penting, yang pada masa Belanda diabaikan.
Harapan kaum ulama untuk memperoleh kedudukan politik yang lebih besar meningkat setelah
pemerintah mengizinkan mereka berpolitik. Perubahan itu terjadi setelah K.H. Tb. Achmad
Chatib dan KH. Syam’un diangkat sebagai daidanco (Komandan Batalyon) tentara Peta yang
berkedudukan di Banten. Tindakan Jepang di atas ini melihat umat Islam sebagai powerful
forces yang akan dimanfaatkan untuk kepentingannya, tetapi tidak akan memajukan masyarakat
muslim dan kehidupannya. Juga tidak memajukan kebudayaan kolonialismenya. Jepang
memandang efektif bila memasuki kehi-dupan spiritual umat Islam dan mempengaruhinya untuk
diarah-kan kepada tujuan perangnya.
Nampaknya cara rekrutmen merupakan faktor dalam mem-bentuk motivasi dan
gambaran dari para perwira Peta. Para daidanco dan cudanco hampir semuanya dibujuk secara
pribadi oleh para pejabat Beppan. Pembujukan oleh Abdulhamid Ono terhadap KH. Syam’un
dengan alasan bahwa KH. Syam’un mempunyai latar belakang pegerakan Islam sebagai
pemimpin pesantren di Banten. Pembujukan itu apabila KH. Syam’un menolak untuk ikut tentara
Peta, maka pesantrennya harus ditutup dan tidak boleh beroperasi lagi. Dengan alasan tersebut
akhirnya KH. Syam’un menuruti ajakan Jepang. KH. Syam’un yang dibujuk oleh Jepang tidak
dapat sepenuhnya menyingkirkan kecurigaan terhadap orang Jepang pada umumnya, meskipun
terdapat orang Jepang muslim. KH. Syam’un sendiri sebagai ulama yang pada masa Belanda
kegiatan-nya hanya mengajar di pesantren yang ia dirikan. Di masa Jepang inilah statusnya
selain ulama juga tentara Pembela Tanah Air (Peta) sebagai daidanco, dimana politik Jepang
untuk mendekati orang Islam yang berpengaruh di daerahnya dengan cara damai, yaitu dengan
memilih KH. Syam’un sebagai seorang ulama terkemuka di Banten.
Politik yang diterapkan balatentara Jepang dengan cara memahami situasi Indonesia yang
mayoritasnya adalah umat Islam. Oleh karena itu, diletakkan dasar kebijakan Jepang untuk
mengeksploitasi potensi ulama desa. Jepang menyadari adanya kekuatan Islam masih konkrit
aktif sampai dengan pendaratan Jepang adalah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai
Islam Indonesia (PII) dan organisasi sosial pendidikan dan dakwah seperti Al-Wasliyah di
Medan, Matlaul Anwar di Banten, Persarikatan Ulama di Maja, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah
(Perti) di Padang. Muhammadiyah di Yogyakarta, Persatuan Islam di Ban-dung dan Nahdlatul
Ulama di Surabaya. Ketiga organisasi yang terakhir ini membangun wadah kesamaan pada 1937
adalah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Keseluruhan organisasi ini dinilai oleh balatentara
Jepang akan menjadi batu penghalang penjajahan Jepang di Indonesia. Apalagi dengan kondisi
Timur Tengah yang memihak ke Sekutu. Padahal umat Islam Indonesianya sangat dipengaruhi
oleh perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Oleh karena itu bagaimana pun juga Jepang
berupaya sekuat dayanya untuk memilih satu-satunya pendekatan kepada umat Islam Indonesia.
Selama latihan di Bogor cara hidup Jepang tiap hari tidak dapat dikatakan sesuai dengan
usaha untuk menonjolkan persa-maan adat antara mereka dengan orang Indonesia. Yang
menying-gung perasaan kaum muslim adalah kebiasaan mereka bermabuk-mabukan dan desakan
mereka supaya kaum muslim Indonesia juga melakukan Saikerei (membungkukkan badan
dalam-dalam) ke arah istana Maharaja di Tokyo. Para pemimpin Muslim itu sama sekali tidak
gembira dengan kedudukannya sebagai perwira Peta, meski-pun pihak Jepang berusaha keras
untuk memberi kepada Peta suatu sikap Islam.Tetapi walaupun begitu tetap menjadi suatu
penga-laman bagi KH. Syam’un selama mengikuti pelatihan Peta. Karena ia yakin bahwa orang
Indonesia perlu memiliki keterampilan militer untuk saat datangnya kemerdekaan. Sebagaimana
perkata-annya yang dikutip dari harian Asia Raja :
Bahwa pendidikan Islam sesoeai dengan kemiliteran. Ini baik bagi pemoeda-pemoeda
kita. Dan saja sering mentjeritakan pada mereka tentang penghidoepan dan perjoeangan
pahlawan-pahlawan Islam.
Dalam bulan Nopember 1943 setelah dua bulan, kursus daidanco diakhiri. Pada tanggal 8
Desember para daidanco sudah dilantik pada suatu upacara yang khidmat dilapangan Gambir
(kini Medan Merdeka). Dalam upacara itu para daidanco diberi pedang jenis Jepang bikinan
Indonesia. Pedang itu bukan pedang Jepang sejati dan pedangnya kurang dari pedang yang
digunakan oleh perwira-perwira Jepang. Meskipun demikian telah diterima dengan
kebanggaan.Kemudian mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk ikut serta didalam
pembentukan daidanco. KH. Syam’un setelah mengikuti latihan Peta sebagai daidanco
(Komandan Bata-lyon) di Bogor, ia kemudian membentuk daidan di Banten, tepatnya Dai san
Daidan (Batalyon III) di daerah Serang.
Di Banten Shu terdapat empat daidan yang ditempatkan di Serang, Malingping, Labuan
dan pandeglang. Kehidupan prajurit Peta di lingkungan daidan di pusatkan di sekitar dua
kategori umum, yakni kewajibannya dan kesejahteraan pribadinya. Kewa-jibannya terdiri atas
dua kegiatan, yaitu latihan, dan membuat kubu-kubu. Perwira Peta dilatih pada pusat-pusat
pendidikan yang khusus terutama Renseitai dan Kyoikutai, dan para tentara dilatih pada
lembaga-lembaga yang diorganisasi per daerah, maka para prajurit tamtama, para giyuhei dilatih
di daidan daerahnya masing-masing oleh perwira dan bentaranya sendiri.
Latihan dasar (baris berbaris, urusan dalam, peraturan disip-lin dll) diberikan dalam
lingkungan cudan masing-masing. Tetapi diselenggarakan oleh shudannya sendiri. Latihan-
latihan tempur diberikan secara bertahap, dimulai dengan regu-regu, meningkat pada tarap
shudan dan akhirnya meningkat pada tarap cudan. Setelah latihan dasar selesai, beberapa cudan
didetasir diluar pang-kalan daidan, biasanya di tepi pantai atau dekat celah-celah gunung, di sana
mereka ditugaskan membanngun kubu-kubu yang berupa bangunan yang agak primitif yang
terbuat dari batang pohon kelapa ditutup dengan tanah. Seringkali dipergunakan goa-goa alam,
terutama di pantai. Ataupun mereka membuat lubang dalam batu karang yang kemudian ditutupi
dengan batang pohon dan tanah. Untuk tugas itu ditugaskan romusa. Rupa-rupanya pada
akhirnya cudan yang bersangkutan itu dibebani dengan tugas mempertahankan masing-masing
kubunya. Peranan yang diran-cang untuk tentara Peta dalam rangka pertahanan Jawa.
Sejak semula suasana Peta adalah suasana agama Islam. Selama di Bogor kesempatan
yang penuh kepada calon perwira untuk beribadah. Kebijakan itu juga dilanjutkan di daidan-
daidan. Setiap daidan mempunyai sebuah langgar atau musolla dan hari jumat para prajurit
disarankan untuk bersembahyang di mesjid setempat.
Jam komandan seringkali dicurahkan kepada ceramah-ceramah agama. Para daidanco
dan sering pula para cudanco bertindak seba-gai pemimpin rohani di dalam lingkungan daidan.
Apabila daidanco dan cudanco pemuka agama, isi pembicaraan formal maupun informal akan
berjiwa agama, sedang apabila mereka adalah pejabat pemerintah seperti kepala-kepala daerah,
jaksa, dan lain-lain, ceramahnya akan mengenai soal-soal umum.

1. Menjadi Komandan Batalyon III (Dai san Daidan) di Serang


Daidan yang ada di Banten shu terdiri dari empat daidan, antara lain:
1) Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H. Tb. Achmad Chatib, yang
berkedudukan di Labuan.
2) Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya, berkedudukan di
Kandangsapi.

3) Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh KH. Syam’un berkedudukan di Serang.

4) Dai yon Daidan (batalyon IV) dipimpin oleh Uding Surya Atmaja, berkedudukan di
Pandeglang sebagai daidan cadangan.

Bagi KH. Syam’un keberadaannya menjadi Tentara Pembela Tanah Air (Peta)
merupakan jalan untuk mendidik dan menggembleng pribadinya dalam bidang kemiliteran yang
dibentuk oleh Jepang pada bulan Oktober 1943. Menurutnya bahwa pendidikan kemiliteran
sesuai dengan ajaran Islam yang baik sekali bagi pemuda-pemuda Indonesia dalam
mempersiapkan diri dan mence-tak kader pejuang. KH. Syam’un merekrut santri-santrinya
semula yang belajar di Pesantren Citangkil.15
KH.Syam’un dan santrinya berperang memerlukan pelaku yang memiliki keberanian dan
jiwa rela berkorban. Dimana nilai mati dalam perang sebagai kematian yang sangat mulia.
Karena ulama dan santrinya memiliki kecintaan kehidupan tidak sebatas dunia, melainkan juga
akhirat. Membela kemerdekaan bagi KH. Syam’un dan santrinya sebagai kehormatan yang
mulia, sekalipun gugur dalam perangnya.
Peristiwa sejarah ini merupakan prestasi luar biasa dalam pengalaman KH. Syam’un,
tentu tidak dilihat dari sisi kerja samanya dengan Jepang, melainkan kelebihannya dari kebiasaan
pengajar Al-Qur’an dan As-Sunnah, terangkat untuk dipercayai memimpin organisasi
kesenjataan modern. Baginya pengalaman ini tidak hanya sebatas mampu mengelola Pesantren
Citangkil saja, melainkan juga meningkat pengalaman terjun dalam pembinaan organisasi
kesenjataan modern. Hal ini merupakan pengem-bangan kepemimpinannya di bidang bersenjata,
yang tidak didapa-ti pada masa penjajahan Barat. Ia mengikuti latihan pertama dalam tentara
Peta yang diadakan di Bogor (sekarang Pusat Pendidikan Zeni TNI AD).
Karena perang semakin mendesak Jepang, maka kewajiban yang harus atas perintah
pemerintah Jepang antara lain mengada-kan latihan bersama tentang pencegahan bahaya udara,
pemberantasan mata-mata musuh dan penyampaian berita pemerintah militer kepada penduduk,
menganjurkan penyetoran hasil bumi dan berbakti kepada pemerintah militer pada bidang lain.

15
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h.59.
Situasi Jepang semakin memburuk di bulan Agustus 1944, kekalahan Jepang di medan
perang, menyebabkan Jepang mencoba terus mengadakan pendekatan terhadap umat Islam. Pada
tahun 1944 ini juga telah menyebabkan moral masyarakat mulai mundur, produksi perang
merosot yang mengakibatkan kurangnya perse-diaan senjata dan amunisi, ditambah dengan
timbulnya soal-soal distribusi karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang.
Faktor-faktor yang tidak menguntungkan tersebut menye-babkan jatuhnya kabinet P.M. Tojo
pada tanggal 17 Juli 1944 dan diangkatnya Jenderal Kuniaki Koiso sebagai penggantinya. Salah
satu langkah yang diambilnya guna mempertahankan pengaruh Jepang di antara penduduk
negeri-negeri yang didudukinya ialah dengan cara mengeluarkan pernyataan janji kemerdekaan
Indo-nesia kelak di kemudian hari. Dengan cara yang demikian Jepang mengharapkan bahwa
Serikat akan disambut oleh penduduk, tidak sebagai pembebas rakyat, melainkan seba.ai
penyerbu ke negara merdeka. Janji perkenan kemerdekaan ini disambut oleh Masyumi dengan
menyiarkannya melalui majalah Suara Muslim Indone-sia. KH. Wahid Hasyim sebagai ketua
Masyumi mengadakan rapat akbar umat Islam di Taman Raden Saleh (Jakarta) tanggal 13-14
September 1944. Untuk lebih menyakinkan umat Islam terhadap janji tersebut dengan tiba-tiba
memberikan izin pembentukan Hizbullah yang pernah diajukan oleh MIAI pada tanggal 10 Sep-
tember 1943. Tetapi karena Jepang masih merasa sedikit kuat dalam menghadapi Sekutu,
permohonan tersebut dipetisikan. Dalam waktu yang hanya kurang dari dua bulan di seluruh
Keresidenan Jawa Barat saja telah terbentuk pasukan Hizbullah.
Sementara orang Jepang tidak nampak mempunyai rencana yang jelas mengenai
bagaimana mereka akan menggunakan Peta untuk mengisi kekosongan dan kekurangan man
powernya. Akan tetapi keterangan pihak Jepang mengenai peranan Peta dalam ber-bagai
rencananya mengenai pertahanan Jawa, tidak konsisten. Rupa-rupanya semula mereka
bermaksud menggunakan Peta sebagai mangsa bagi pasukan-pasukan pendarat Serikat,
sedangkan pasukan-pasukan Jepang akan dipusatkan di daerah pegunungan Pulau Jawa. Tetapi
di dalam rencana-rencana kemudian Peta tidak diikutsertakan di dalam operasi-operasi militer
yang sesungguh-nya. Mereka hanya akan digunakan untuk tugas kawal, mem-bangun kubu-kubu
dan pengawasan bahaya udara di sepanjang pantai.
Sebagaimana yang dialami di wilayah Keresidenan Banten, khususnya Dai san Daidan
(Batalyon III) yang dipimpin oleh Daidanco KH. Syam’un di Serang pernah ikut bertempur
melawan tentara sekutu yang menggunakan kapal selam di pantai Bojong Anyer51 tepatnya
Anyer Kidul, yakni ketika diserang dengan tembakan-tembakan gencar oleh kapal selam
Amerika dan tentara Sekutu. Pertempuran di Bojong ini mendapat perlawanan yang cukup berani
dari prajurit KH. Syam’un bahkan KH. Syam’un sendiripun ikut menembak dengan jukikanju.
Penyerangan ini terjadi pada tanggal 30 Juni 1945, dimana pada saat itu, sekitar pukul 14.00
sore, datang rombongan tentara Jepang yang dipimpin oleh opsir yang berpangkat Taii (Letnan
Satu) di wilayah Banten. Maksud kedatangannya adalah inpeksi pasukan, sekaligus meme-riksa
senjata. Tiba-tiba terlihat oleh mereka kapal selam Sekutu, tapi yang kelihatan hanyalah tiangnya
saja sekitar setinggi setengah untuk mengisi kekosongan dan kekurangan man powernya. Akan
tetapi keterangan pihak Jepang mengenai peranan Peta dalam ber-bagai rencananya mengenai
pertahanan Jawa, tidak konsisten. Rupa-rupanya semula mereka bermaksud menggunakan Peta
seba-gai mangsa bagi pasukan-pasukan pendarat Serikat, sedangkan pasukan-pasukan Jepang
akan dipusatkan di daerah pegunungan Pulau Jawa. Tetapi di dalam rencana-rencana kemudian
Peta tidak diikutsertakan di dalam operasi-operasi militer yang sesungguh-nya. Mereka hanya
akan digunakan untuk tugas kawal, mem-bangun kubu-kubu dan pengawasan bahaya udara di
sepanjang pantai.
Sebagaimana yang dialami di wilayah Keresidenan Banten, khususnya Dai san Daidan
(Batalyon III) yang dipimpin oleh Daidanco KH. Syam’un di Serang pernah ikut bertempur
melawan tentara sekutu yang menggunakan kapal selam di pantai Bojong Anyer51 tepatnya
Anyer Kidul, yakni ketika diserang dengan tembakan-tembakan gencar oleh kapal selam
Amerika dan tentara Sekutu. Pertempuran di Bojong ini mendapat perlawanan yang cukup berani
dari prajurit KH. Syam’un bahkan KH. Syam’un sendiripun ikut menembak dengan jukikanju.
Penyerangan ini terjadi pada tanggal 30 Juni 1945, dimana pada saat itu, sekitar pukul 14.00
sore, datang rombongan tentara Jepang yang dipimpin oleh opsir yang berpangkat Taii (Letnan
Satu) di wilayah Banten. Maksud kedatangannya adalah inpeksi pasukan, sekaligus meme-riksa
senjata. Tiba-tiba terlihat oleh mereka kapal selam Sekutu, tapi yang kelihatan hanyalah tiangnya
saja sekitar setinggi setengah meter dari permukaan air, sedangkan bobot kapalnya tidak nam-
pak. Opsir berpangkat Taii ini memerintahkan kepada Cudanco (komandan kompi) Samanhudi
untuk menembaki kapal selam Sekutu, tetapi perintah tersebut ditolaknya. Sampai kedua kalinya
opsir itu memerintahkan Samanhudi untuk memberikan komando penembakan terhadap kapal
selam Sekutu, tetapi tetap dotolak oleh Cudanco Samanhudi. Cudanco Samanhudi ini beralasan
bahwa Daidanco KH. Syam’un saja yang berhak memerintah sebagai Ko-mandan Batalyonnya
bukan opsir yang berpangkat Taii itu. Akhirnya opsir itu sendiri yang mengambil alih komando
untuk menembaki kapal selam Sekutu. Peluru bermuntahan dari mulut Jukikanju (senapan mesin
ringan), tetapi hasilnya nol. Kemudian Cudanco Samanhudi menyuruh Taii menghitung berapa
peluru yang hilang. Ketika itu Taii tidak komentar apa-apa, menurut saja dan melaksanakan
perintah sesudah itu ia pulang ke Serang.
Sepulang Taii itu, maka pada saat itu juga kira-kira pukul 04.00 sore Daidanco KH.
Syam’un untuk menanyakan kenapa ribut dengan Taii sebagai atasan. Cudanco Samanhudi
menjawab yang berhak memerintah saya hanyalah Daidanco KH. Syam’un sebagai pimpinan
saya, orang lain tidak berhak memerintah saya. Walau-pun setelah peristiwa kehadiran kapal
selam Sekutu itu, tentara Peta Dai san Daidan (Batalyon III) yang dipimpin oleh Daidanco KH.
Syam’un bersiap-siap penuh, siang dan malam menjaga kemung-kinan besar dari setiap ancaman
terhadap pendaratan Sekutu. Tetapi pada tanggal 1 Juni 1945 sekitar pukul 02.00 malam, seluruh
masyarakat di sekitar Anyer dikejutkan oleh suara tembakan dan dentuman meriam dan senapan
mesin besar sehingga membuat panik masyarakat Anyer. Kemudian suara tembakan itu baru
berhenti sekitar pukul 04.00 malam. Pertempuran yang terjadi pada saat itu tidak menjadikan
Dai san Daidan (Batalyon III) berubah pendiriannya dan tidak bergeser satu langkah pun,
mereka tetap mempertahankan tempat itu. Karena kurangnya perlengkapan senjata, akhirnya Dai
san Daidan (Batalyon III) tidak mampu meme-cahkan bobot kapal selam sekutu tersebut.
Setelah pertempuran selesai, ternyata mercusuar banyak berlubang dan retak-retak terkena
tembakan musuh. Satu prajurit mati dan dua prajurit luka-luka.54 Pada tanggal 19 Agustus 1945
para anggota staf Tentara keenambelas diperintahkan supaya keesokan harinya berkumpul di
markas besar pada pukul 12.00 untuk mendengarkan siaran radio yang sangat penting dari
Tokyo. Beberapa di antara mereka tidak mempunyai firasat bahwa yang disiarkan itu perintah
untuk menyerah, tetapi kebanyakan di antara mereka menolak untuk percaya bahwa mereka
pernah akan dipaksa menyambut angkatan perang Serikat sebagai penakluknya tanpa
memperoleh kesem-patan diri terhadap mereka.
Pada tanggal 15 Agustus siang hari Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita
penyerahan dan amanat yang disampaikan oleh Kaisar Hirohito sebagai Kepala Negara Jepang
melalui pemancar radio negara Jepang merupakan hasil perun-dingan antara kedua belah pihak.
Berita itu ditujukan kepada seluruh warga negara Jepang, termasuk yang berada di daerah-daerah
kedudukan. Siaran tentang penyerahan itu dipancarluaskan ke seluruh dunia oleh pemancar radio
negara-negara Sekutu tidak dapat didengar oleh rakyat Indonesia melaui pesawat radio mereka,
kecuali pesawat radio Gunseikan (kepala pemerintah militer) di Jakarta. Dalam amanatnya kaisar
menyerukan kepada semua warga negara Jepang yang berada di daerah pendudukan agar
menyerahkan diri dan menyerahkan senjatanya kepada komandan tentara Sekutu terdekat.
Selanjutnya sebagai tawanan perang mereka dipulangkan ke pemerintahan mereka di Tokyo.
Setelah mendengar berita penyerahan itu, Gunshireikan (Panglima Tentara Tinggi) pada
tanggal 16 Agustus 1945 mengada-kan rapat dengan para perwira tinggi stafnya untuk
merumuskan langkah-langkah yang harus mereka ambil sambil menunggu perintah resmi dari
markas besar Tentara Kemaharajaan di Tokyo. Dalam kenyataannya radiogram resmi dari Tokyo
baru diterima pada tanggal 18 Agustus 1945 malam. Acara pokok pada agenda rapat staf itu
adalah bagaimana caranya menjamin keamanan semua orang Jepang di daerah wewenang
Tentara keenambelas. Sehubungan dengan itu status satuan-satuan bersenjata Indonesia terasa
sebagai masalah yang besar, terutama dengan pemberon-takan Blitar masih besar dalam ingatan
mereka. Akhirnya secara aklamasi mereka sepakat untuk membubarkan satuan-satuan Peta
maupun heiho.Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dikeluarkan perintah kepada komandan-
komandan bawahan Jepang untuk membubarkan daidan-daidan Peta, dan pada tanggal 19
Agustus 1945 Letnan Jenderal Nogano Yuichiro, Panglima Tentara keenambelas yang terakhir di
Jawa, telah mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota Peta yang dibubarkan. Tanpa
terkecuali, semua daidan terkena pendadakan dan telah dilucuti tanpa mereka ketahui sebelum
terlambat.
Para daidanco di Keresidenan Banten yang memenuhi un-dangan itu adalah Daidanco
K.H. Djunaedi dari Daidan Pandeglang, dan Cudanco Samanhudi dari Cilegon mewakili
Daidanco KH.Syam’un yang sedang sakit. Tampaknya kondisi kesehatan KH.Syam’un yang
kurang baik sebelumnya, ia menghadiri konferensi wakil-wakil dari Daidan Peta se-Jawa di
Bandung tanggal 14 Agustus 1945. Kemudian setelah kembali menghadiri konferensi itu ia sakit.
Prosedurnya boleh dikatakan sama, mereka diperintahkan untuk menyerahkan senjatanya
kepada heiki shudanco (bagian peralatan) yang menyimpannya ke dalam gudang. Alasan yang
diberikan adalah bahwa mereka akan diberi senjata Jepang sebagai ganti senjata Belanda yang
hingga saat itu mereka gunakan. Hal itu dihubungkan dengan situasi perang yang gawat.
Kemudian mereka dikumpulkan pada lapangan parade dan diberi pidato yang panjang lebar.
Sementara itu prajurit-prajurit dari daitai Jepang setempat sudah siap, sebagian dari mereka
mengepung komplek daidan, sementara yang lainnya dengan cepat mengambil senjata dari
gudang dan mengangkutnya ke dalam truk-truk yang sudah menunggu. Ketika daidanco selesai
dengan apelnya, para prajurit Jepang sudah pergi dengan membawa senjata-senjata Peta. Untuk
keesokan harinya Sennin Shidokan untuk pertama kali mengum-pulkan para perwira dan
memberitahukan kepada mereka menge-nai kapitulasi Jepang dan keputusan pemimpin Tentara
keenambelas untuk membubarkan Peta. Tetapi mereka tidak diberi tahu bahwa Sukarno-Hatta
telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Maka kemudian seluruh anggota daidan
dikumpulkan dan diberi tahu mengenai keputusan untuk membubarkan Peta. Mereka diberi enam
bulan gaji, sedangkan semua bahan pakaian dan bahan makanan yang masih ada, dibagi-bagikan
kepada para anggota. Kemudian mereka bebas pulang. Dengan demikian dalam minggu-minggu
terakhir bulan Agustus 1945 para tentara perwira peta dan prajuritnya diberhentikan secara
besar-besaran dan dikirim pulang.
Kota-kota Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung dibanjiri oleh tentara Peta yang masih
menggunakan pakaian seragam yang dipulangkan dari daidan-daidan di Keresidenan Banten.
Pada sore itu juga senjata-senjata tentara Peta dibawa dengan truk ke tempat persenjataan tentara
Jepang XVI di Jakarta dikawal oleh dua orang instruktur setiap truk. Para daidanco Banten
setelah tiba kembali di tempat masing-masing menjumpai daidan mereka dalam keadaan kosong.
Kini sekonyong-konyong mereka tidak hanya mengetahui bahwa Jepang telah kalah perang dan
menyerah kepada serikat, tetapi juga bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemer-dekaan
yang telah demikian lama dinantikan dan didambakan, pada saat itu diancam oleh pihak Belanda
yang kembali dan setiap orang yang mereka kenal telah bertekad untuk mencegah kembalinya
orang Belanda.16

D. Memegang Jabatan Pemerintah

1. Pendiri BKR di Banten

Sejak Agustus 1945, desas desus berita akan dicetuskan proklamasi kemerdekaan
didengar oleh kalangan intelektual melalui pesawat radio. Tetapi berita itu hanya tersebar dari
mulut ke mulut. Berita proklamasi kemerdekaan baru tersebar luas di masyarakat Banten setelah
datangnya beberapa pemuda, yang bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang berada di
bawah pengaruh Chaeroel Saleh dari Jakarta ke Serang. Sebelumnya, pada tanggal 9 Agustus
16
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h. 67.
1945 telah diadakan pertemuan di rumah pemuda Tachril di Rangkasbitung. Dalam pertemuan
itu, Ilyas Hussen memberitahukan tentang perkembangan di Eropa dan oleh Chaeroel Saleh
untuk menyampaikan berita proklamasi ke Banten khususnya tokoh-tokoh masyarakat seperti
K.H. Tb. Achmad Chatib, K.H. Sjam’un, dan tokoh pemuda seperti: Ali Amangku dan Ajip
Dzuhri.
Berita itu pun kemudian disampaikan kepada masyarakat yang disambut dengan suka
cita. Tak lama setelah itu pekik kemerdekaan mulai berkumandang mulai dari daerah perkotaan
sampai ke perdesaan. Kibaran sang merah putih pun bermunculan, sekalipun menunjukkan
respons dan dukungan masyarakat Banten adanya bangsa Indonesia yang merdeka cukup besar.
Para pemuda API dari Jakarta itu juga menyampaikan pesan kepada para tokoh pemuda
setempat, agar segera menyusun rencana pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang. Sesuai
dengan anjuran itu, pada 22 Agustus 1945, seorang pemudi bernama Sri Sahoeli yang duduk
sebagai ketua bagian API putri dengan dibantu beberapa pemuda datang ke Hotel Vos, di Serang
dan menurunkan bendera Jepang yang berkibar di hotel tersebut. Keesokan harinya di beberapa
kantor pemerintahan terjadi aksi penurunan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera
Merah Putih.17
Aksi para pemuda tersebut diteruskan dengan melucuti dan merebut senjata dari tangan
tentara Jepang, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Disamping itu mereka
mulai mengambil alih pemerintahan sipil. Melihat tindakan-tindakan seperti itu banyak orang
sipil Jepang yang merasa kuatir atas keselamatannya, sehingga mereka memutuskan untuk
secepatnya melarikan diri ke Jakarta. Dalam pelarian itu juga terdapat Syucokan Banten Yuki
Yashii. Sebelum pergi ia sempat menyerahkan kekuasaannya itu kepada wakilnya, Fuku
Syucokan Raden Tumeng-gung Rangga Tirta Soejatna.
Atas dasar itulah, maka tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah pusat mengumumkan
pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dilanjutkan dengan instuksi untuk
membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di setiap daerah. Lima hari kemudian
pemerintah pusat juga mengumumkan pemben-tukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
seperti halnya KNID, maka pemerintah juga menginstruksikan agar setiap daerah segera
membentuk BKR. Tugas yang dibebankan kepada lembaga ini adalah untuk membantu

17
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h. 71.
pemerintah, terutama dalam menangani masalah ekonomi-politik dan militer. Pembentukan
KNID dan BKR itu tidak terbatas pada tingkat propinsi saja, melainkan pada tingkat kabupaten.
Di Banten pembentukan KNID dan BKR tidak bisa terlaksana secara cepat, sebab residen
Banten yang baru diangkat justru tidak ada di tempat alias telah melarikan diri ke Bogor. Satu-
satunya pejabat pemerintah yang masih tinggal di Banten adalah Raden Adipati Aria Hilman
Djajadiningrat pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Serang. Namun pejabat ini pun tidak
mempunyai keberanian untuk mengambil inisiatif mengingat dirinya juga berasal dari Priangan.
Akibatnya, di daerah Keresidenan Banten waktu itu praktis tidak ada pimpinan formal yang
mengatur pemerintah. Hal ini terasa terutama pada beberapa bulan menjelang akhir tahun 1945.
Keamanan dapat dikatakan sangat sulit dikendalikan. Isu-isu SARA yang ada sebelumnya
muncul begitu saja sebagai suatu permasalahan yang ramai dibicarakan, yang akhirnya
mendorong beberapa kelompok masyarakat bertindak beringas dan main hakim sendiri terhadap
kelompok lain yang dicap sebagai antek penjajah.Setelah pemuda Banten menye-barkan berita
proklamasi kemerdekaan, pada 20 Agustus 1945 kemudian menurunkan bendera Jepang dan
menaikkan bendera Merah Putih di kantor-kantor pemerintah. Melihat perkembangan situasi
yang kurang kondusif dan jabatan residen yang kosong, atas usaha pemuda yang tergabung
dalam beberapa badan-badan perjuangan di Keresidenan Banten tampil sebagai kelompok yang
berinisiatif untuk menjaga keamanan. Bagi para pemuda pada saat itu, langkah-langkah prioritas
yang harus segera dilakukan adalah mengatasi keadaan yang menjurus kearah yang khusus.
Adapun masalah pertanggungjawaban atas tindakan mereka dianggap nomor dua. Salah satu
kelompok yang cukup berpengaruh adalah kelompok API dibawah pimpinan Ali Amangku,
maka pada akhir bulan Agustus 1945 diselenggarakan pertemuan di antara para tokoh
masyarakat Banten untuk menangani masalah Pemerintahan Daerah. Pertemuan yang dihadiri
oleh para wakil golongan pemu-da, masyarakat jawara, dan wanita, bertempat di rumah Raden
Dzoelkarnaen Soeria Karta yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit Serang. Dalam pertemuan
itu antara lain memutuskan:
1. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang diserahkan kepada Raden Dzoelkarnaen
Soeria Karta Legawa.
2. Urusan yang ada hubungannya dengan bad an perjuangan atau organisasi pemuda
diserahkan kepada Ali Amangku.
3. Pertemuan secara aklamasi memilih K.H. Tb. Achmad Chatib sebagai Residen Banten
yang menangani pemerintahan sipil.
4. Untuk menangani masalah militer diserahkan kepada K.H. Sjam’un. Alasannya K.H.
Sjam’un sudah berpengalaman semasa menjadi tentara Peta.
K.H. Tb. Achmad Chatib yang terpilih menjadi Residen Banten menyusun personalia
pemerintahan di Keresidenan Banten. Selain itu residen membentuk Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Keresidenan Banten menurut pedoman dari Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Setelah pembentukan KNID Residen K.H. Tb. Achmad Chatib segera pula membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Keresidenan Banten sesuai dengan aturan pusat.19 KNIP dan
BKR dihasilkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang ketiga pada
tanggal 22 Agustus 1945, yaitu untuk membentuk tiga badan sebagai wadah perjuangan, yaitu
Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasio-nal Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan
Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Korban Perang (BPKP). Badan Keamanan
Rakyat (BKR) bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerah masing-masing.
Pembentukan BKR diumumkan bersama-sama pembentukan KNI dan PNI pada tanggal 23
Agustus 1945. Presiden dalam pidatonya menyerahkan kepada semua bekas tentara Peta
(Pembela Tanah Air), Heiho, Kaigun Heiho dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu
bekerja dalam BKR dan bersiap-siap dipanggil sebagai prajurit tentara kebangsaan jika datang
saatnya.18
Tujuan dibentuk BKR adalah untuk memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat.
Kepala-kepala BKR dari pusat sampai ke daerah menjadi anggota pengurus harian dari BPKP.
Mereka yang mau dan ingin membantu BKR dipanggil pada tanggal 29 Agustus 1945. Di tingkat
keresidenan, pimpinan dipegang oleh kepala BKR keresidenan di kabupaten atau kotapraja,
pimpinan dipegang oleh kepala BKR kewedanaan, dan di kelurahan pim-pinan dipegang oleh
kepala BKR kelurahan. Kepala BKR pusat diangkat oleh pengurus harian BPKP. Kepala BKR
Keresidenan ditetapkan dan disahkan oleh ketua pengurus besar BPKP atas usul pengurus harian
di keresidenan. BKR harus memelihara keamanan bersama-sama rakyat dan jawatan-jawatan
pemerintah yang ber-sangkutan. BPKP dan BKR ada di bawah pengawasan dan pim-pinan
Komite Nasional.

18
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h.77.
Di Keresidenan Banten, K.H. Sjam’un yang ditunjuk menangani bidang militer segera
merealisir pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Anggota BKR ini terdiri dari bekas
anggota Peta, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan barisan kelas karan lainnya. Susunan
organisasi BKR masih menggunakan ben-tuk yang terdapat dalam daidan (kesatuan batalyon)
pada Peta dimasa pendudukan Jepang. Atas usaha K.H. Sjam’un yang telah diserahi tanggung
jawab dibidang keamanan oleh suatu rapat di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa
di Serang, maka pada 10 September 1945 dilangsungkan rapat pembentukan BKR yang
bertempat di markas API di Cipare, Serang. Rapat yang dihadiri oleh hampir semua perwira Peta
dipimpin oleh K.H. Sjam’un dan Sukarahardja sebagai sekretaris. Rapat itu berhasil membentuk
BKR Keresidenan Banten, BKR Kabupaten Serang, BKR Kabupaten Pandeglang, dan BKR
Kabupaten Lebak. Sesuai dengan instruksi dan petunjuk dari BKR Pusat, BKR Keresidenan
Banten, dan BKR Kabupaten Serang dipimpin oleh K.H. Sjam’un. Beberapa hari kemudian,
terbentuk pula BKR Laut Banten yang diketuai oleh Gatot, terdiri dari dua bagian; Armada
Perikanan dan Pasukan Marinir. Pendirian BKR Laut Banten disahkan oleh K.H. Tb. Ahmad
Chatib selaku Residen Banten dan K.H. Sjam’un selaku ketua BKR Keresidenan Banten dan
BKR Kabupaten Serang.

2. Menjadi TKR sampai TRI di Banten


Setelah kejadian di Banten khususnya di Serang tidak menemui hal-hal yang kritis,
kecuali gerakan Tje Mamat ketua KNI yang merubah KNI bersama dewannya yang radikal dan
revolusioner. Tje Mamat mulai beraksi pada bulan Oktober setelah Serangan BKR bersama
badan-badan perjuangan di Banten terhadap markas Kenpeitai di Serang. Beberapa hari setelah
pertem-puran melawan Kenpeitai, atas perintah Komandemen I Jawa Barat. Pada tanggal 18
Oktober 1945 diadakan rapat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk daerah
Keresidenan Banten yang bertempat di bekas gedung sekolah guru, Serang. Rapat yang dihadiri
oleh hampir semua mantan perwira Peta dari daerah itu, Residen Banten, Bupati Serang, Bupati
Pandeglang, dan Bupati Lebak berhasil membentuk Divisi I TKR yang diberi nama Divisi 1000/I
yang di bawah Komandemen 1/Jawa Barat.19
Pembentukan TKR Banten ini sebagai pelaksanaan maklumat pemerintah RI tanggal 5
Oktober 1943 tentang pembentukan Ten-tara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut struktur

19
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h.83.
Organisasi TKR, dibawah Markas Tertinggi (MT) TKR terdapat Komandemen I yang meliputi
propinsi Jawa Barat, berkedudukan di Purwakarta, Komandemen memiliki juga divisi, salah
satunya adalah Divisi 1000/I, yang meliputi daerah di sebelah barat sungai Cisadane. Dua divisi
lainnya adalah Divisi II yang meliputi Keresidenan Jakarta dan Keresidenan Cirebon,
berkedudukan di Linggarjati, dan Divisi III yang meliputi Keresidenan Priangan, Kabupaten
Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur, berkedudukan di Bandung.
KH. Sjam’un yang sebelumnya menjadi ketua BKR Keresidenan Banten merangkap sebagai
ketua BKR Kabupaten Serang ditunjuk oleh suatu rapat yang dihadiri oleh semua mantan
perwira Peta, dari daerah itu untuk diangkat sebagai Panglima Divisi dengan pangkat Kolonel.
Alasannya bahwa K.H. Sjam’unlah yang pantas menjadi panglima Divisi 1000/1. Surat
pengangkatan K.H. Sjam’un sebagai Komandemen Divisi 1000/I disampaikan oleh Mayor
Soeroto Koento, utusan dari Komandemen I Jawa Barat, Jenderal Mayor Abdulkadir. Personalia
slagorde organik Divisi 1000/1 selengkapnya adalah sebagai berikut;
a. Panglima : Kolonel K.H. Sjam’un
b. Ajudan : Mayor Sukarahardja
c. Kepala Staf : Letnan Kolonel Soetalaksana
d. Kepala Bagian Penyelidik : Mayor Tb. Salim Setiadinata
e. Kepala Bagian Siasat : Mayor Tb. Samsoedin Noer
f. Kepala Bagian Organisasi : Mayor Koesendidjaja
g. Kepala Bagian Pembekalan : Mayor Hamdani
h. Komandan Detasemen/
i. Batalyon Pengintai : Mayor Ali Amangku.
Aksi dewan rakyat yang dilancarkan oleh Tje Mamat yang ingin mengoper praktis
kekuasaan pemerintah daerah, yang pada praktiknya berupa pengoperan kekuasaan dari pamong
praja dan polisi yang diisi oleh tenaga-tenaga alim ulama dibantu oleh kaum jawara atas nama
rakyat. Memang ketika Residen K.H. Tb. Achmad Chatib dalam menyusun pemerintahan daerah
tetap menggunakan pejabat dan pegawai lama dengan pertimbangan bahwa untuk menangani
administrasi pemerintah diperlukan orang-orang yang biasa menanganinya. Menurut pandangan
rakyat pada umumnya bahwa pejabat pamong praja lama dari bupati sampai dengan camat dan
para pegawainya, bahkan para lurah, kepolisian, kejak-saan harus diganti dengan pejabat-pejabat
baru yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat. Banyak orang yang datang menghadap residen
untuk memprotes dan meminta agar para pejabat lama itu segera diganti. Menanggapi tuntutan
itu, residen tetap pada pendi-riannya. Menurutnya, para pejabat dan pegawai lama yang
mempunyai keahlian di bidang administrasi sangat diperlukan agar pemerintah tetap berjalan,
manakala untuk mendapatkan pejabat dan pegawai baru yang memenuhi syarat untuk menggan-
tikan peran mereka tidaklah mudah. Tetapi karena tidak ada titik temu di antara kedua belah
pihak, maka rakyat secara sepihak menempuh caranya sendiri. Rakyat secara serentak dan besar-
besaran mendaulat para penjajah pemerintah khususnya Pamong praja.
Kaum komunis setempat tidak menentang pergantian personalia di jajaran Pamong praja,
kepolisian, dan kejaksaan oleh kaum ulama. Namun sebagai gantinya mereka memusatkan perha
tian pada pembentukan sebuah “Dewan”. Tje Mamat yang meru-pakan ketua KNI Serang yang
dipercayakan untuk memegang tampuk pimpinan KNIP tersebut, malah menentangnya dan
mem-belokkan KNI menjadi “Dewan”. Dengan ditariknya Jepang dari Banten, maka dengan
cepat “Dewan” melaksanakan fungsinya sebagai badan eksekutif utama. Ia menggunakan
kedudukannya sebagai ketua KNIP yang menyebarkan ideologi komunis di kalangan rakyat dan
merekrut mereka menjadi anggota. Kegiatan itu terutama dilakukan di tempat kelahirannya, yaitu
Anyer dan Ciomas. Pengikut “Dewan” ini adalah dari kalangan petani dan jawara. Kemudian
melancarkan operasi dewannya pada bulan Oktober 1945. Gerakan “Dewan” ini menuntut keras
agar orang-orang lama yang dicap sebagai warisan kolonial segera diganti dengan orang-orang
baru. Selain itu Tje Mamat juga menilai bahwa KNI tidak representatif dan demokratis. Tje
Mamat juga tidak mengakui adanya KNID di Keresidenan Banten. Oleh karena itu, Tje Mamat
membentuk lembaga serupa yang dipimpin sendiri dan diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan mempunyai pasukan yang dibentuknya sendiri diberi nama Laskar Gulkut. Akan
tetapi, begitu “Dewan” berkuasa, segera menghadapi kesu-litan untuk mengkonsolidasikan
kekuasaan mereka. Gelombang penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada bulan Desember
akhirnya memutuskan hubungan baik antara ulama dengan “Dewan”. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi “Dewan” itu terjadi bersamaan dengan semakin meningkatnya pertentangan pemerin-
tahan RI terhadap revolusi-revolusi sosial di daerah.
K.H. Sjam’un, selaku panglima TKR Keresidenan Banten dalam menanggapi sikap
perkembangan baru itu mengenai ge-rakan “Dewan” yang dilakukan oleh Tje Mamat. Pada
tanggal 30 Oktober 1945, K.H. Sjam’un menyatakan bahwa seluruh Keresi-denan Banten siap
mempertahankan kedaulatan RI. Dikatakan bahwa masyarakat Banten, semua kyai dan alim
ulama yang telah menduduki jabatan resmi di pemerintahan serempak berjuang untuk
mempertahankan kedaulatan negara, dikatakan pula bahwa masyarakat Banten adalah warga
negara Indonesia merdeka. Melihat aksi “Dewan” ini, K.H. Sjam’un selaku ketua TKR menya-
rankan kepada Residen K.H. Tb. Achmad Chatib agar melakukan tindakan keras terhadap aksi-
aksi “Dewan” yang semakin brutal. Kemudian Residen K.H. Tb. Achmad Chatib menerima
usulan tersebut, dan memerintahkan agar secepatnya melakukan tindakan untuk menumpas
gerakan “Dewan”. Merdeka, K.H. Sjam’un setelah mendapatkan instruksi dari Residen Banten
K.H. Tb. Achmad Chatib, agar menumpas gerakan “Dewan” ini yang telah menjadikan
kekacauan di Keresidenan Banten. Dengan alasan karena “Dewan” ini telah bertindak dengan
menyingkirkan orang-orang yang dinilai sebagai “warisan kolonial” antara lain:
a. Pada tanggal 31 Desember 1945, Dewan menangkap Letnan Kolonel Entol Ternaja,
Komandan Resimen III Divisi 1000/1, dan Oskar Koesoemaningrat, Kepala Kepolisian
Keresidenan Ban-ten. Keduanya diangkut ke markas “Dewan” di Ciomas untuk diadili.
b. Kemudian pada waktu yang bersamaan di Pandeglang terjadi pertempuran antara
pendukung “Dewan” melawan TKR setem-pat. Pertempuran itu terjadi karena pihak
“Dewan” berusaha merebut senjata milik TKR.
c. Tanggal 2 Januari 1946, “Dewan” di Rangkasbitung menuntut penggantian Bupati Lebak,
K.H. Tb. Abuhasan, dan menuntut sebuah pengangkatan direktorium untuk mengawasi
semua bagian pemerintahan dan semua pasukan bersenjata.

Untuk menangani “Dewan” ini langkah yang ditempuh oleh K.H. Sjam’un selaku ketua
TKR Keresidenan Banten Divisi 1000/1, yaitu segera memanggil Ali Amangku,sebagai
komandan batalyon pengintai, untuk menyusun siasat penumpasan. Setelah berunding dan
menyepakati siasat yang akan dilakukan untuk menumpas “Dewan” yang telah meresahkan
masyarakat Banten, maka siasat demi siasat dilakukan. Langkah dimulai dari pembebasan
tawanan yang didaulat oleh dewan seperti Bupati Raden Aria Adipati Hilman Djajadiningrat dari
penjara Serang yang tidak mengalami kesulitan, karena penjagaan Laskar Gulkut di tempat itu
tidak begitu kuat, kemudian langkah berikutnya menyerang markas “Dewan” di Ciomas yang
pada tanggal 8 Januari 1946 pasukan TKR dari Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung serentak
menyerang markas “Dewan”. Pertempuran itu memakan waktu lebih dari 24 jam, dan baru
berhenti sesudah adanya campur tangan pribadi Residen K.H. Tb. Achmad Chatib. Letnan
Kolonel Oskar Koesoemaningrat yang disekap di markas “Dewan” dapat diselamatkan.
Akhirnya, para pimpinan “Dewan” dapat ditangkap, kecuali Tje Mamat yang meloloskan
diri ke daerah Lebak dan bergabung dengan pasukan “Dewan” di sana. Kemudian TKR
melakukan pembersihan di desa-desa di Kewedanaan Ciomas. Mereka yang menyerah diberi
pengampunan dan digabungkan dengan Laskar Rakyat. Mayor Dudung Padmasoekarta selaku
pimpinan TKR Rangkasbitung, menjawab yang menuntut pembubaran “Dewan”, tetapi usahanya
gagal. Akhirnya, pertempuran pun terjadi, markas “Dewan” diserbu dan diduduki dengan mudah.
Tachril dan para pimpinan yang lainnya tertangkap dan dilucuti. Tje Mamat untuk kedua kalinya
lolos. Ia berhasil melarikan diri ke Bogor, bergabung dengan laskar rakyat di sana di bawah
pimpinan Kyai Narja. Di Bogor akhirnya Tje Mamat tertangkap, lalu diserahkan ke
Komandemen I/Jawa Barat di Purwakarta dan dibawa ke Yogyakarta. Setelah Tje Mamat
ditangkap maka Dewan rakyat yang ditinggalkan seperti anak ayam kehilangan induknya. Boleh
dikatakan tidak ada lagi perlawanan yang berarti, sehingga “Dewan” dengan mudah dapat
dibubarkan.20
Walaupun TKR gagal menyelamatkan Bupati Lebak R.T. Hardiwinangoen yang diculik
dan dibunuh oleh “Dewan”, juga pada Bupati Pandeglang yaitu Djoemhana, namun gerakan
“Dewan” ini dapat ditumpas dan dipadamkan dan tidak ada lagi rongrongan terhadap
pemerintahan Keresidenan Banten. Perkem-bangan selanjutnya setelah kejadian itu, di Serang
khususnya dan Banten umumnya berada dalam keadaan tenteram dan stabil. Walaupun masih
ada beberapa kerusuhan, namun dari segi kualitasnya relatif kecil dan mudah ditumpas.
Di bidang pemerintahan K.H. Sjam’un, sebagai ulama ia diangkat sebagai Bupati Serang
menggantikan Raden Hilman Djajadiningrat. Karena semenjak proklamasi kemerdekaan peme-
rintahan daerah mandeg yang membuat pamong praja terus menerus dalam keadaan bingung,
sedang keamanan perlu dipeli-hara dan urusan yang lain harus berjalan, akhirnya rakyat dengan
caranya sendiri melalui rapat-rapat terbuka mengangkat para pamong praja baru yang umumnya
terdiri dari kyai dan ulama. Pergantian pamong praja dijalankan dengan jalan damai dan
bijaksana. Demikian pula jabatan-jabatan wedana, camat, bahkan sampai tingkat kepala desa
mulai diganti dengan para alim ulama.

20
AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2, hlm. 522.
Naiknya K.H. Sjam’un di jajaran pemerintahan sipil, Nam-paknya dilihat dari latar
belakang sejarah, merupakan kesempatan yang telah lama diperjuangkan. Ia ingin menjadi tuan
di rumahnya sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kesempatan itu datang. Ketika rakyat
menghendaki K.H. Sjam’un tampil sebagai Amirul Mukmi-nin, mereka menerimanya. Memang
di bidang militer, K.H. Sjam’un sudah berpengalaman, paling tidak sejak ia aktif sebagai tentara
Peta di zaman pendudukan Jepang. Rupanya K.H. Sjam’un sedikit kesulitan dalam menangani
urusan administrasi pemerintahan sebagai bupati, karena kurang berpengalaman dalam bidang
tersebut. Hal ini tidak menjadi halangan, ia bersama Residen K.H. Tb. Achmad Chatib
menempuh jalan untuk mengisi tenaga admi-nistrasi tersebut dengan memberikan kesempatan
kepada para pejabat lama untuk tetap bekerja di tempat semula. Harapannya adalah agar kedua
macam pejabat dan pegawai itu bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing. Kemudian
diadakanlah pemba-gian tugas, yaitu kaum ulama menangani bidang keamanan, sedangkan
pejabat lama yang disebut sebagai intelek, menangani bidang administrasi pemerintahan.
Disamping soal administrasi merupakan pekerjaan yang asing bagi K.H. Sjam’un sebagai
ulama, ia hanya tahu huruf Arab, namun buta huruf latin. Keadaan itu mempersulitnya dalam
menangani pekerjaan di bidang administrasi pemerintahan. Banyak soal-soal yang diperlukan
oleh masyarakat tidak diurus dengan baik. Walaupun demikian tetap diambil hikmahnya oleh
K.H. Sjam’un karena kelemahannya di bidang baca tulis latin, dan men-jadikannya untuk dapat
belajar tulis latin agar mampu membaca dan menulis latin.
Sementara pada tanggal 7 Januari 1946 nama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) diubah
menjadi TKR (Tentara Keselamatan Rakyat). Sekalipun perubahan itu belum memuaskan, tetapi
lebih mempertegas pengertian tugas TKR, dan tidak lama kemudian nama itu diubah menjadi
Tentara Republik Indonesia (TRI). Dekrit perubahan nama itu dikeluarkan oleh Presiden pada
tanggal 24 Januari 1946. Di dalam dekrit itu selanjutnya disebutkan bahwa susunan organisasi
TRI akan disempurnakan oleh sebuah panitia. untuk membentuk panitia besar penyelenggaraan
organisasi tenta-ra. Tugas panitia ini adalah menyusun: (a) bentuk kementerian pertahanan; (b)
bentuk ketentaraan; (c) kekuatan tentara; (d) organisasi tentara; (e) menyempurnakan bentuk
peralihan dari TKR ke TRI dan menentukan status laskar dan badan perjuangan.21
TRI disusun atas dasar militer Internasional. Susunannya diperbaiki atas dasar dan bentuk
ketentaraan yang sempurna. Untuk melaksanakan tugas itu, pada tanggal 23 Februari 1946

21
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h. 93.
membentuk sebuah panitia besar penyelenggara organisasi tentara yang anggotanya terdiri dari
para ahli militer dan ahli bidang lainnya. Panitia besar reorganisasi ini beranggota 11 orang
dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia besar penyelenggaraan
organisasi diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946.
Perubahan nama itu, yang kemudian diikuti dengan peru-bahan susunannya
menyebabkan nama Komandemen I/Jawa Barat, diubah menjadi Divisi I/Siliwangi yang
dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor AH. Nasution. Wilayahnya meliputi Propinsi Jawa
Barat dikurangi Keresidenan Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya. Divisi I/Jawa Barat ini
mempunyai lima Brigade I/Tirtayasa, Brigade II/Suryakencana, Brigade III/Kian Santang,
Brigade IV/Guntur, dan Brigade V/Sunan Gunung Djati. Dengan reorganisasi itu, pada bulan Juli
1946 Divisi 1000/I dihapus, lalu dibentuk satu Brigade bernama Brigade I/Tirtayasa yang
wilayahnya meliputi Keresidenan Banten ditambah Kabupa-ten Tanggerang dan Kabupaten
Bogor, perubahan Divisi 1000/I menjadi Brigade Tirtayasa pada bulan Januari 1947. Kolonel
K.H. Sjam’un, mantan Panglima Divisi 1000/I tetap menjabat sebagai pimpinan yakni sebagai
Komandan Brigade. Susunan pimpinan Brigade Tirtayasa selengkapnya adalah:
Komandan: Kolonel K.H. Sjam’un; Kepala Staf: Letnan Kolonel Agus
Djajaroekmantara; Kepala Bagian I: Kapten Soepartowidjojo; Kepala Bagian II: Lettu Hanafi
Soetalaksana; Kepala Bagian III: Kapten Tb. Halimi; dan Kepala Bagian IV: Lettu M. Sani.
Tugas pemerintah daerah di bidang keamanan di wilayah Keresidenan Banten menjaga
dari gangguan pengacau, juga menjaga keamanan daerah Banten dari ancaman tentara NICA di
sepanjang daerah perbatasan Banten dengan Keresidenan Jakarta Raya dan Keresidenan Bogor.
Untuk menghadapi ancaman itu, pemerintah daerah menugaskan TRI dan badan-badan perju-
angan. Bagi K.H. Sjam’un, sebagai Komandan Brigade Tirtayasa, ketika Serangan NICA ke
perbatasan Banten, dengan dikuasainya kota Tangerang yang merupakan pintu masuk ke daerah
Banten, segera menginstruksikan beberapa batalyon TRI untuk memper-kuat pasukan di daerah
perbatasan. Di antara pasukan yang dikirim itu adalah Batalyon II Mayor Samanhudi yang
dipimpin langsung oleh Martono, Ajudan Komandan Batalyon II berkedudukan tiga kompi,
masing-masing ditempatkan Kompi I Sunaryo di Sarakan, Kompi II Akhmad Bakri di Cimone,
dan Kompi III Abdullah Isa di Jenggot. Disamping itu dikirim pula Polisi Tentara (PT) Batalyon
X/GM/Banten dipimpin oleh Yusuf dengan komandan-komandan kampanye: Haerkusuma
Djajamihardja, Salim Nonong, Ajip Dzuhri dan Sinting. Mereka ditempatkan di Kedaung Barat,
Karang Serang, Gagarawakopi, Sepatan, dimana operasinya sampai melintasi Cisadane ke
Sanggego, Kedaung Timur, Batu Ceper dan Bojong-Renged. Di daerah Balaraja ditempatkan
batalyon yang dipimpin oleh Supaat; di jurusan Curug Pasar Genjer dan di Binong ditempatkan
Kompi Subki, sedangkan di Cijantra ditempatkan Kompi Sanusi, yang kedua-duanya dari PT
batalyon XI Banten.
Mundurnya tentara Tangerang tanpa memberi perlawanan terhadap musuh mendapat
ejekan dari kalangan rakyat pejuang Banten, bahkan pernah mereka dikirimi bedak, cermin dan
lipstik. Karena Tangerang merupakan pintu gerbang untuk masuk daerah Banten, maka pada
tangal 23 Mei 1946 Laskar rakyat dari Banten berkekuatan 400 orang bergerak menuju
Tangerang dengan mksud menahan musuh jangan sampai memasuki daerah Banten. Pasukan
rakyat itu dipimpin oleh K.H. Ibrahim dari desa Sampeureum, Maja, bertujuan untuk menyerang
markas NICA di Serpong, Tangerang. Karena keadaan kekuatan dan kelemahan pasukan NICA
yang baru tiba dari Serpong belum diketahui. Juga diper-kirakan mereka masih dalam keadaan
siap tempur, maka Koman-dan TRI Divisi 1000/1 Kolonel K.H. Sjam’un yang berada
diperbatasan melarang adanya penyerangan tersebut. Namun didorong semangat laskar rakyat
dan keberanian kepada penjajah tanpa mengindahkan larangan itu, mereka tetap melanjutkan
rencana penyerbuan. Dalam perjalanan, rombongan bertambah dengan berga-bungnya pemuda-
pemuda dari Maja dan Cipinang. Sesampainya di Tenjo, pasukan K.H. Ibrahim bergabung
dengan pasukan Tenjo yang dipimpin oleh K.H. Harun, dengan kekuatan 300 orang. Kedua
pasukan itu berjalan kaki menuju Parung Panjang dan menginap di sana.
Pada tanggal 20 Mei 1946 sesuai dengan rencana, kedua pasukan pejuang bergerak
menuju sasaran. Jumlah laskar rakyat dari Jengkol yang dipimpin oleh Jaro Tiking. Sepanjang
jalan rombongan mengumandangkan takbir Allahu Akbar sambil menga-cung-acungkan senjata
yang dibawanya berupa golok, kelewang, tombak, panah dan bambu runcing. Di depan kubu
pertahanan NICA seorang serdadu NICA yang sedang membawa bendera putih didampingi dua
orang serdadu bersenjata menyetop dan mendekati rombomgam rakyat, dengan maksud hendak
me-nanyakan laskar rakyat itu. Namun tanpa dapat dikendalikan dibarengi dengan semangat
kebencian, pihak rakyat terus maju bahkan kemudian membacok serdadu NICA pembawa
bendera. Melihat keadaan tersebut, dua orang serdadu NICA yang lainnya segera menembak,
disusul dengan lemparan geranat dan mortir dari arah markas. NICA menyapu barisan laskar
rakyat, maka bergelimpangan pasukan rakyat, tumpang tindih, seruan takbir akhirnya tidak
terdengar lagi tersapu dentuman mortir dan geranat. Lebih dari 189 orang jenazah para pahlawan
itu semuanya dikubur masal dalam tiga lubang besar.22
Serangan serdadu NICA ke Jatiuwung memaksa TRI mundur ke Cikupa, pada tanggal 16
Juni 1946, dengan menggunakan senjata dan perlengkapan perang modern, NICA mengadakan
serangan mendadak ke Curug, Mawuk dan Balaraja, sehingga terpaksa pasukan resimen di
Tangerang kembali mundur sampai ke daerah Cikande untuk membantu Resimen 40 Tangerang,
Komandan Brigade I/ Tirtayasa, Kolonel K.H. Sjam’un pada tanggal 18 Juni 1946 segera
mengirimkan tambahan pasukan TRI dari Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor H. Abdullah dan
wakilnya Kapten Supaat, Batalyon II dipimpin oleh Mayor Samanhoedi bersama dengan
kesatuan-kesatuan laskar dan badan-badan perjuangan yang dipimpin oleh Ajip Dzoehri dan Ajip
Samim dari Hizbullah, Supri Djamhari dari Sabilillah dan Haji Djamra dari Laskar Rakyat.
Batalyon ini terdiri dari 4 kompi, yang masing-masing dipimpin oleh Kapten Sape’i Sofjan,
Kapten Sunaryo, Kapten Saleh Djaisan, dan Kapten Memed Hadi. Pengiriman pasukan TRI dari
Serang ke daerah perbatasan Tangerang dilakukan dengan jalan kaki, yang sebelumnya diadakan
acara pelepasan di alun-alun Keresidenan Banten dengan diiringi do’a dan taburan beras kuning
oleh K.H. Tb. Achmad Chatib, Residen Banten.
Penguasaan daerah Balaraja oleh serdadu NICA itu tidak berlangsung lama, karena
setelah itu merekapun kembali kepang-kalannya di Tangerang. Pemerintahan sipil Tangerang
kembali berfungsi dari Balaraja. Hal ini sampai pada bulan Desember 1946 pelebaran dan
rasionalisasi batalyon-batalyon lama belum dapat ditangani sampai menjadi batalyon tempur
yang bermutu. Oleh karena itu, Panglima Divisi I/Siliwangi, Jenderal Mayor AH. Nasution,
mengangkat Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala menjadi Komandan Brigade Tirtayasa
menggantikan Kolonel K.H. Sjam’un yang merangkap sebagai Bupati Serang.
Pengiriman Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala bersa-ma pasukan dan senjata ke
Banten dengan pertimbangan bahwa Banten pada suatu saat akan berdiri sendiri dalam
menghadapi Belanda. Pengiriman itu juga karena adanya penilaian negatif terhadap Banten,
mungkin dampak setelah terjadinya penyerangan laskar rakyat ke markas NICA yang tidak dapat
dicegah dan dinetralisir oleh Komandan Brigade Tirtayasa. Oleh karena itu, Panglima Divisi
I/Siliwangi A.H. Nasution perlu mengisi kekosongannya. Bulan Maret 1947 Letnan Kolonel
Soekanda Bratamenggala resmi menggantikan Kolonel K.H. Sjam’un sebagai Komandan

22
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h. 96.
Brigade Tirtayasa. para perwira itu ditugaskan ke Banten untuk menormalisasikan keadaan.
Pasukan yang dibawa terdiri dari satu kompi pimpinan Letnan R. Soekrokoesoemah, satu kompi
pimpinan Kapten Dadi Achdi, satu kompi pimpinan Kapten Sinedar, dan satu kompi Detasemen
Garuda pimpinan Kapten Sabith.76 Adanya sikap dari para anggotanya yang menimbulkan rasa
superior terhadap anggota tentara Banten, akhirnya menimbulkan perpecahan dan curiga
mencurigai. Hal ini memuncak ketika pada akhir bulan Maret 1947 Soekanda Bratamenggala
mengadakan reorganisasi secara drastis. Akibat pengurangan itu, banyak perwira senior dari
Banten yang tidak mendapat jabatan dan ada para para anggota yang tidak ditempatkan dalam
formasi. Reorganisasi yang berakibat rasionalisasi secara drastis itu menimbulkan rasa tidak puas
pada perwira Banten yang tersisihkan. Hal ini sampai tersebar di kalangan rakyat, yang
kemudian dimanfaatkan oleh golongan radikal dari bekas anggota “Dewan” pimpinan Tje
Mamat yang mulai tampak kegiatannya. Desas-desus yang menjurus pada sentimen kedaerahan
dilancarkan baik oleh kalangan tertentu maupun oleh Belanda. Terdapat poster-poster bahwa
Banten dijajah oleh Priangan, K.H. Sjam’un kuda tunggangan Brata Menggala. Didesus-
desuskan pula bahwa perwira-perwira Banten dianggap orang-orang bodoh dan bahwa senjata-
senjata yang dibawa oleh rombongan Sukanda Bratam-enggala sebetulnya untuk keperluan
keseluruhan brigade dan bukan untuk pasukan-pasukan bawahannya sendiri.Dengan
reorganisasi, pergantian terhadap K.H. Sjam’un sebagai Komandan Brigade Tirtayasa oleh
Soekanda Bratameng gala, maka aktifitas K.H. Sjam’un sebagai tentara dengan pangkat
terakhirnya hanya sampai Kolonel. Untuk selanjutnya ia sebagai Bupati Serang saja sampai masa
agresi militer I dan II Belanda di Banten.

3. Memegang Jabatan Birokrat Masa Agresi Militer Belanda (Pertama Dan Kedua)
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertama. Belanda tidak
langsung menyerang dan menduduki Banten, melainkan memusatkan perhatiannya pada daerah-
daerah lainnya, seperti Keresidenan Bogor, Priangan, dan Cirebon. Di Jakarta Barat, Belanda
hanya memperluas kedudukannya sejauh 10 sampai 15 km. Sukabumi dan Pelabuhan Ratu
dikuasainya, dan dengan didudukinya kedua daerah itu, maka blokade terhadap Banten makin
ketat. Dengan demikian, Banten juga harus meng-hadapi front baru yaitu front Banten Selatan
dengan sebutan front Cikotok. Garis pertahanan RI memanjang sepanjang kurang lebih 250 km,
mulai dari Mauk (di Pantai Utara Laut Jawa) melingkar ke daerah Parung Panjang, melengkung
ke daerah Leuwiliyang dan terus keselatan melalui daerah perbatasan Bogor Sukabumi mele-
wati Rabig dan Cibareno dan berakhir di pantai Samudra Indonesia.23
Blokade ini membuat Banten menjadi daerah yang tertutup. Berlanda menjaga ketat
daerah perbatasan terhadap arus orang dan barang kebutuhan sehari-hari yang masuk dan keluar
daerah Banten. Pihak RI yang menjaga di perbatasan itu juga melakukan hal yang sama. Dengan
penjagaan yang ketat tersebut, maka untuk masuk ke Banten dan sebaliknya tidak mudah,
bahkan berbahaya. Bagi orang yang mengetahuinya, mereka dapat masuk atau ke luar Banten
dengan melalui suatu daerah tidak bertuan antara desa Betung (di daerah pendudukan Belanda)
dan desa Cikupa (desa yang masih dikuasai RI). Perhubungan dengan pemerintah pusat di
Yogyakarta boleh dikatakan terputus sama sekali, perhubungan dengan Jakarta kebanyakan
melalui laut dengan menggunakan perahu dari pelabuhan-pelabuhan di Banten ke Pasar Ikan.
Perhubungan dengan Jakarta dengan menggunakan kereta api juga tidak begitu mendapat
gangguan, demikian pula perhubungan dengan daerah Sumatra (Lampung), menyeberangi Selat
Sunda dengan meng-gunakan kapal yang diselenggarakan untuk keperluan sipil diada-kan tiga
kali seminggu. Belanda dengan tidak menyerangnya daerah Banten ini dengan alasan, dari segi
ekonomi Banten bukan daerah yang menguntungkan, dari segi politik Belanda ragu-ragu apakah
daerah Banten ini setelah dikuasai dapat dijadikan daerah integrasi mengingat kebencian
masyarakat Banten terhadap Belanda.
Blokade ini mempunyai dampak yang luas bagi Banten. Akibat Blokade itu, beberapa
barang kebutuhan sehari-hari yang biasanya didatangkan dari luar daerah Banten, misalnya
Jakarta, semakin sulit diperoleh, akhirnya harga membumbung tinggi. Jabatan K.H. Sjam’un
pada agresi pertama Belanda adalah sebagai Bupati Serang. Bersama-sama dengan pejabat
instansi dan masyarakat berusaha mengatasi kebutuhan hidup masyarakat, dengan mendorong
masyarakat agar membuat barang tertentu dan menggunakan barang-barang lain sebagai
pengganti, ada pula beberapa barang yang diperoleh dengan cara mencari dan mem-belinya di
luar daerah Banten. Dalam keadaan yang sulit berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Banten
untuk mengatasinya, antara lain, mengeluarkan aturan terhadap penjualan barang-barang yang
dihasilkan oleh Banten. Orang Banten dibolehkan membawa keluar hasil-hasil Banten dalam
jumlah tertentu, untuk menghindari habisnya persediaan.

23
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h. 98.
Sesudah Renville ditandatangani, hubungan antara RI dengan Belanda tetap tegang. TNI
sudah memperkirakan bahwa Belanda pasti akan datang melakukan Serangan kembali, tetapi
waktunya saja yang tidak dapat ditentukan. Firasat tentang akan datangnya serangan tersebut,
telah dirasakan sebelumnya olehpimpinan TNI semenjak Belanda mencoba untuk mengulur
waktu tentang hal perundingan persetujuan itu.
Karena serbuan Belanda sudah diperhitungkan akan terjadi lagi, maka angkatan
bersenjata mengadakan persiapan-persiapan. Belajar dari pengalaman aksi militer/Belanda.
Sistem pertahanan linier dibuang dan diganti dengan sistem wehrkreise (perang wilayah), yang
pada pokoknya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri.
Dalam daerah wehrkreise ini semua tenaga manusia, materil dan bahan-bahan yang ada
diintegrasikan. Dalam segi militer, konsep strategis ini dilengkapi dengan taktik perang gerilya.
Selain itu pasukan-pasukan yang sebelumnya hijrah akibat dari persetujuan Renville, harus
menyusup ke daerah musuh untuk kembali ke daerah asalnya.
Pada tanggal 23 Desember 1948, kolonel pertama di pantai utara, berangkat dari
Tangerang pukul 06.00 menuju Serang dengan kekuatan satu batalyon infanteri yang diperkuat
oleh artileri medan, satu peleton mitraliur, dua peleton zeni, dan satu kompi angkutan bermotor
yang dipelopori oleh satu eskadron kavaleri lapis baja. Kolone utara itu dibagi menjadi dua, yaitu
sebagian lewat Mauk dan sebagian lain langsung menuju Serang. Dari Mauk sebagian pasukan
terus berangkat ke barat menuju Jenggot, dan selanjutnya membelok ke selatan menuju Balaraja
menuju Krasak untuk mengepung kota itu. Induk pasukan batalyon pimpinan Djaelani yang
bertugas untuk mempertahankan Balaraja terpukul oleh eskadron lapis baja Belanda yang
bergerak cepat. Balaraja diduduki Belanda, komandan batalyon dan stafnya tertangkap.
Eskadron kavaleri Belanda terus bergerak ke barat melewati jembatan sungai Cimanceuri
yang tidak dihancurkan oleh TNI. Sebelum melewati jembatan sungai Ciujung, sebagian kecil
pasukan membelok ke selatan menuju Pamarayan, dan selanjutnya menuju Rangkasbitung.
Pasukan yang ke barat, setelah melewati jembatan sungai Ciujung di Ciruas, sebagian kecil
menuju utara ke Pontang, sedangkan sebagian besar pasukan terus bergerak ke barat menuju
Serang.Pasukan Belanda sebelum memasuki kota Serang, sekitar pukul 09.00 pagi, dengan
pesawat terbang Belanda menjatuhkan pamflet di pasar Royal dan di asrama sekolah guru di
Serang. Selain menjatuhkan pamflet pesawat terbang itu juga melancarkan tembakan sehingga
ada orang yang menjadi korban. Sekitar pukul 12.00 pasukan Belanda masuk kota Serang
dengan didahului oleh panser yang kemudian diikuti oleh tank lapis baja, mobil-mobil
pengangkut pasukan, dan mobil-mobil pengangkut perlengkapan senjata mesinnya. Iring-iringan
mobil bergerak tanpa mendapat perlawanan, sambil bergerak pasukan melancarkan tembakan
jika terlihat ada sesuatu yang mencurigakan. Oleh karena itu, ada korban yang terkena peluru
nyasar. Tembakan juga dilancarkan ke kantor Kabupaten Serang. Setelah berhasil masuk tanpa
ada perlawanan sedikit pun, karena TNI telah mundur. Pada pukul 15.00 pasukan Belanda
menduduki kota Serang. Aparat pemerintah sipil telah diperingatkan oleh pimpinan militer agar
siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Persiapan pemerintah sipil tidak seperti militer. Pada
waktu Yogya diserbu oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, rencana yang tegas dan
sempurna belum tampak prihatinnya. Pada waktu Banten dimasuki oleh Belanda pada tanggal 23
Desember 1948, aparat pemerintah daerah sedang berunding di kantor Kabupaten Serang tentang
apa yang dilakukan dalam menghadang pasukan Belanda. Wakil Gubernur Jawa Barat, M.
Joesoep Adiwinata, Residen Banten, K.H. Tb. Achmad Chatib, dan beberapa pegawai sudah
berada di pos komando Brigade Tirtayasa. Bupati Serang Kolonel K.H. Sjam’un, Patih Serang,
Tb. Soeria Atmadja, dan beberapa pegawai lainnya terkurung di kantor Kabupaten Serang. Pada
malam harinya, kedua pejabat, yaitu K.H. Sjam’un dan Patih Soeria Atmadja dapat meloloskan
diri dengan berpura-pura mengelu-arkan mayat yang terkena peluru nyasar dari dalam rumah.
Oleh pimpinan pasukan Belanda Jenderal Spoor diizinkan. Kesempatan ini digunakan dengan
baik oleh K.H. Sjam’un dan Patih Soeria Atmadja untuk meloloskan diri menuju Tanjung, yaitu
ke rumah patih dan bermalam di sana. Pada pagi harinya K.H. Sjam’un pamit kepada patih
melalui jalan samping Kabupaten Serang (yang sekarang diberi nama Jalan Brigadir Jenderal
K.H. Sjam’un) melalui jembatan Kaujon dan terus ke Gunung Cacaban di Anyer untuk
menggabungkan diri dengan kaum gerilya di peleton Anyer yang dipimpin oleh Letnan Muda
Chaidir. K.H. Sjam’un pergi ke Gunung Sari (Taktakan) dimana di wilayah itu sedang terjadi
pertempuran sengit. Dari Tanjung kemu-dian ke jurusan daerah Anyer tepatnya Gunung Cacaban
dengan melalui jalan Mancak. K.H. Sjam’un bertemu dengan gerilyawan di Gunung Cacaban.
K.H. Sjam’un bergabung dengan gerilyawan di peleton Anyer, selama dua bulan berada di
Gunung Cacaban (Anyer) di sana ia wafat, dalam usia 64 tahun.110 Wafatnya bukan karena
tertembak ketika gerilya, tapi karena penyakit dada yang sudah lama dideritanya. Ia wafat
tanggal 2 Maret 1949 M/1 Rajab 1468 H,111 pukul 04.45 pagi. Pada siang hari sekitar pukul
14.00 oleh rakyat dan pasukan gerilyawan daerah peleton Anyer K.H. Sjam’un dimakamkan di
sana dengan upacara yang sederhana. Kemudian posisinya sebagai bupati Serang kosong dan
tidak ada yang menggantinya sampai tanggal 30 Desember 1949.24

24
Rahayu Permana, Kyai Haji Sjam’un (1883-1949): Gagasan dan Pejuangannya, h.111.

Anda mungkin juga menyukai