Anda di halaman 1dari 11

BAB I

I. Pendahuluan

Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, ternyata
memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas dan unik bernama pesantren. Dikatakan khas
karena pendidikan model pesantren hanya berkembang pesat di Indonesia. Sementara di
negara lain akan sulit model pendidikan seperti ini. Selain khas dan unik, pesantren juga
merupakan pendidikan Islam asli produk Indonesia. Bahkan ada yang mngatakan bahwa
pesantren adalah “bapak” pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena khas dan unik itulah maka sudah banyak ragam perpektif yang mengkaji
pesantren. Mulai dari yang bersifat general sampai spesifik. Diantaranya, tentang sejarah,
materi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian ini, maka pemakalah mencoba menguraikan sedikit tentang pesantren
dilihat dari aspek sejarah, tujuan, materi, metode pendidikan serta hubungannya dengan
kebudayaan Jawa.

II. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan makalah ini, pemakalah susun rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Pengertian Pondok Pesantren
2. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren
3. Peran Pondok Pesantren dalam Penyebaran Islam
4. Tradisi Pesantren

BAB II

III. Pembahasan

1. Pengertian Pondok Pesantren

Pengertian pondok pesantren terdapat berbagai variasi, antara lain:


Secara etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Pondok,
berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih
disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai
asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang
berarti tempat santri.[1] Sehingga dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah tempat
atau asrama bagi santri yang mempelajari agama dari seorang Kyai atau Syaikh.
Sedang dari pendapat para ilmuan, antara lain:

a. Ridlwan Nasir dalam bukunya mengatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan ilmu agama Islam.
b. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa pondok pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik,
dan indigenous (asli).[2]

c. Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe di depan
dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.[3]

2. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren

Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali Sembilan atau lebih dikenal
dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di pulau Jawa pada khususnya. Pada masa
Walisongo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di Indonesia.[4] Ketika itu Sunan Ampel
mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang
berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agam. Padepokan Sunan Ampel inilah
yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.
Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Walisongo, akan ditemukan bahwa kebanyakan
silsilahnya sampai pada Sunan Ampel.[5] Misalnya, Sunan Kalijaga, beliau adalah santri dari
Sunan Bonang yang merupakan putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak
menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga.
Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup maju pada masa Walisongo, masa-
masa suram mulai terlihat ketika Belanda menjajah Indonesia. Pemerintah Belanda
mengeluarkan kebijakan yang politik pendidikan dalam bentuk Ordonansi Sekolah Liaratau
Widle School Ordonanti yang sangat membatasi ruang gerak pesantren.[6] Tujuannya, pihak
Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan juga bertujuan
melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut mereka berpotensi memunculkan gerakan
subversi atau perlawanan di kalangan santri dan muslim pada umumnya. Hal seperti ini
akhirnya membuat pertumbuhan dan perkembangan Islam menjadi tersendat.
Sebagai respon penindasan Belanda tersebut, kaum santri mulai melakukan perlawanan yakni,
antar tahun 1820-1880 kaum santri memberontak di belahan Nusantara. Akhirnya, pada akhir
abad ke-19 Belanda mencabut resolusi tersebut, sehingga mengakibatkan pendidikan
pesantren sedikit lebih berkembang.
Setelah penjajahan Belanda berakhir, Indonesia dijajah kembali oleh Jepang. Pada masa
penjajahan Jepang ini, pesantren berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan
pemerintahan Jepang.[7] Hal ini ditentang keras oleh Kyai Hasyim Asy’ari sehingga ditangkap
dan dipenjara selama 8 bulan. Berawal dari sinilah terjadi demonstrasi besar-besaran yang
melibatkan ribuan kaum santri menuntut pembebasan Kyai Hasyim Asy’ari dan menolak
kebijakan Seikere. Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah mengusik dunia pesantren.
Pada masa awal kemerdekaan, kaum sanri kembali berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa wajib hukumnya
mempertahankan kemerdekaan.[8]
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, pondok pesantren kembali diuji, karena pemerintahan
Soekarno yang dinilai sekuler itu telah melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan
nasional.
Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam dan negara, Golongan
Karya (Golkar) sebagai kontestan Pemilu selalu membutuhkan dukungan dari pesantren. Dari
sinilah kemudian ada usaha timbal balik dari pemerintahan dan pesantren. Kondisi nyata seperti
itu mengakibatkan pesantren mengalami pasang surut hingga pada era pembangunan.

3. Peran Pondok Pesantren dalam Penyebaran Islam

Pesantren merupakan lembaga dakwah tertua di Indonesia yang dikembang untuk melakukan
penyiaran agama Islam. Pesantren memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam, sehingga
mengandung arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang
agar menjadi pribadi yang Islami. Karena itu lembaga pesantren dalam pendidikan Islam
dianggap sebagai sarana untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam,
sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam pendidikan agama pesantren berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik
mungkin dalam mentransfer ilmu agama terutama menyangkut nilai-nilai yang terdapat dalam
Islam, khususnya dalam pelaksanaan kegiatan dakwah mempunyai pola sebagai berikut :

1. Memberikan Contoh Teladan

Kata teladan dalam al-Qur'an indentik dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat
hasanah di belakangnya yang berarti contoh teladan yang baik. Kata uswah
dicontohkan pada Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim, "Dalam diri rasulullah itu
kamu dapat menemukan teladan yang baik."(Q.S. 33: 21). Metode teladan ini dianggap
penting karena aspek agama yang mengandung akhlak yang termasuk dalam kawasan
afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behaviroral).[1] Tentang keteladan
Nabi Ibrahim dijelaskan Allah;
)٤ :‫(الممتحنة‬...‫قد كانت لكم اسواة حسنة‬
Artinya: "Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang
baik bagimu…" (Q.S. 60: 4).[2]
Dalam surat al-Ahzab ayat 21 juga dijelaskan sebagai berikut:
)٢١ :‫ (األحواب‬... ‫لقد كان لكم فى رسول هللا اسوة حسنة‬
Artinya: " Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan yang baik …" (Q.S.
33: 21).[3]

2. Kisah-Kisah

Dalam al-Qur'an banyak diceritakan cerita-cerita atau kisah-kisah, bahkan secara


khusus terdapat nama surat al-Qashash. Kisah atau cerita sebagai suatu metode
dakwah ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari
sifat alamiyah manusia yang menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya besar
tehadap perasaan.[4] Oleh karena itu Islam mengangkat cerita itu untuk dijadikan salah
satu teknik berdakwah. Mengungkapkan berbagai jenis cerita seperti, cerita sejarah
faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia dimaksudkan agar
kehidupan manusia bisa seperti pelaku yang ditampilkan oleh contoh tersebut. Atau
kisah kehancuran umat masa lalu, dimaksudkan supaya manusia sekarang tidak
mengikuti perbuatan umat masa lalu tersebut.

3. Memberikan Nasihat

Al-Qur'an juga menggunakan kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia
kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian dikenal dengan nasihat. Tetapi
nasihat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan atau teladan dari
sipemberi atau penyampai nasihat itu. Ini menunjukkan bahwa antara satu metode yakni
nasihat dengan metode lain yang dalam hal ini keteladanan bersifat saling melengkapi.
Dalam pesantren nasihat itu terkait dengan para nabi kepada kaumnya. Sebagai contoh
nabi Shaleh ketika meninggalkan kaumnya berkata:

)٧۹ :‫فتولى عنهم وقال ياقوم لقد ابلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ولكن التحبون النصحين (األعراف‬
Artinya: "Maka Saleh meninggalkan mereka seraya berkata: Hai kaumku, sesungguhnya
aku telah menyampaikan kepadamu amanah Tuhanku, dan aku telah memberi
nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nesihat." (Q.
S 7: 79).[5]
Demikian juga dengan nabi Syu'aib kepada kaumnya;
)۹۳ :‫فتولى عنهم وقال يقوم لقد ابلغتكم رسالت ربي ونصحت لكم فكيف اسى على قوم كافرين (األعراف‬
Artinya: "Maka Syu'aib meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku
telah memberi nasihat kepadamu" (Q.S. 7: 93).[6]
Perbedaan terletak pada yang memberi nasihat, yaitu Syu'aib, sedangkan ayat
sebelumnya adalah Shaleh. Hal serupa juga terdapat dalam Q. S. 28; 20; 7; 29; dan
79.
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa al-Qur'an secara eksplisit menggunakan
nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur'an
berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat, situasi nasihat dan latar
belakang nasihat. Karena itu sebagai metode pengajaran nasihat dapat diakui
kebenarannya.[7]

4. Membiasakan

Pesantren juga memberikan pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara


bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Al-
Qur'an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik dalam pendidikan. Lalu ia
mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan
kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa
menemukan banyak kesulitan. Selain itu al-Qur'an juga menciptakan agar tidak
terjadinya kerutinan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus
mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin
hubungan yang dapat mengalirkan bekas cahaya ke dalam hati sehingga tidak gelap
gulita.
Karena itu pesantren menggunakan kebiasaan tidak terbatas yang baik dalam bentuk
perbuatan melainkan juga dalam bentuk perasaan dan pikiran. Dengan kata lain
pembiasan yang ditempuh pesantren juga menyangkut segi pasif dan aktif. Kedua segi
ini tergantung pada kondisi sosial ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang
berhubungan erat dengan akidah atau etika. Sedangkan yang bersifat aktif atau
menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan secara menyeluruh.[8]

5. Metode Hukum dan Ganjaran

Bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan
tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar, tindakan tegas itu
adalah hukuman.[9] Tahapan memberi hukuman ini terdapat pro kontra, setuju dan
menolak. Kecenderungan metode pendidikan modern memandang tabu terhadap
hukuman itu, tetapi dalam dunia pesantren memandang bahwa hukuman bukan
sebagai tindakan yang pertama kali yang harus dilakukan oleh seorang pendidik, dan
bukan pula cara yang didahulukan, akan tetapi nasehatlah yang paling didahulukan
Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan. Tidak membiarkan satu jendela pun
yang tidak dimasuki untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan
dan nasihat seta tarhib dan targhib, tetapi di samping itu juga menempuh cara
menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatannya, dari ancaman sampai
pada pelaksanaan ancaman itu.[10]
Dengan demikian, keberadaan hukuman dan ganjaran diakui dalam Islam dan
digunakan dalam rangka membina umat manusia dalam kegiatan dakwah. Hukuman
dan ganjaran ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus.
Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk
orang yang patuh dan menunjukkan perbuatan baik.

6. Khutbah

Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak di gunakan dalam
menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan.[11]
Dalam al-Qur'an kata-kata khutbah adalah:
)٦۳ :‫وعباد الرحمن الذين يمشون على االرض هونا واذا خاطبهم الجهلون قالواسلما (الفرقان‬
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) Keselamatan (Q.S. 25:
63).
Khutbah disebut juga tabligh atau menyampaikan sesuatu ajaran, khususnya dengan
lisan diakui keberadaannya, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah dalam mengajak
umat manusia ke jalan Tuhan.[12] Cara ini banyak digunakan termasuk dalam
pengajaran, karena metode ini paling murah, mudah dan tidak banyak memerlukan
peralatan. Model ini juga dipergunakan seorang guru dalam mengajar murid-murid di
lembaga pesantren.[13]

7. Metode Diskusi

Pesantren juga menggunakan metode ini dalam mendidik dan mengajarkan manusia
dengan tujuan lebih memantapkan pengertian, dan sikap pengetahuan mereka
terhadap sesuatu masalah.[14] Perintah Allah dalam hal ini, agar kita mengajak ke
jalan yang benar dengan hikmah dan mau'izhah yang baik dan membantah mereka
dengan berdiskusi yang baik.
)٤٦ :‫(العنكبوت‬...‫وال تجادلوا اهل الكتاب اال بالتي هي احسن‬
Artinya: "Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik…(Q.S. 29: 45).[15]
Diskusi yang baik adalah tidak memonopoli pembicaraan, saling menghargai pendapat
orang lain, kedewasaan pikiran, emosi, berpandangan luas dan lain-lain.

Dari sejumlah cara berdakwah di atas pesantren juga menggunakan metode perintah dan
larangan, metode pemberian suasana (situasional), metode mendidik kelompok (mutual
education), metode instrinsik, metode bimbingan dan penyuluhan, metode perumpamaan,
metode taubat dan ampunan dan metode penyajian

4. Tradisi Pesantren

Kata tradisi berasal dari bahasa inggris, tradition yang berarti tradisi. Dalam bahasa indonesia,
tradisi diartikan sebagai segala sesuatu ( seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan
sebagainya) yang turun-temurun dari nenek moyang hingga anak cucu.[1]7
Sedangkan kata pesantren, berasal dari kata pesantrian yang berarti asrama dan tempat murid-
murid belajar mengaji. Dalam pengertian yang umum digunakan, pesantren adalah salah satu
lembaga pendidikan islam tertua di indonesia yang di dalamya terdapat: pondok atau tempat
tinggal; kiai, santri, masjid kitab kuning.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa yang dimaksud dengan tradisi pesantren adalah
segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktikan dipesantren, yaitu berupa
nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan
dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan
lainnya.[2]

1. Tradisi Rihlah Ilmiah

Rihlah ilmiah secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam arti yang
biasa dipahami, rihlah ilmiah, adalah melakukan perjalanan dari sesuatu daerah ke daerah lain,
atau dari satu negara ke negara lain, baik dekat maupun jauh, dan terkadang bermukim dalam
waktu cukup lama, bahkan tidak kembali ke daerah asal, dengan tujuan pertam untuk mencari,
menimba, memperdalam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkanya dan
menuliskannya dalam berbagai kitab.
Rihlah ilmiah yang dilakukan para kiai pesantren tersebut menunjukan sebuah prestasi yang
luar biasa, mengingat untuk melakukan perjalanan keluar negeri pada saat itu bukanlah
merupakan pekeraan yang mudah, mengingat belum tersedianya sarana transportasi yang
memadai, belum adanya sistem keimigrasian yang tertata dengan baik, serta sarana dan
fasilitas pemukiman di makkah yang masih sederhana.

2. Tradisi Menulis Buku

Menulis buku merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren.Beberapa
ulama pimpinan pondok pesantren yang namanya tersebut diatas adalah termasuk para penulis
yang produktif.
Selanjutnya, tradisi menulis kitab juga dimiliki oleh k.h. hasyim asy’ari, walaupun jumlahnya tak
sebanyak nawawi al-bantani, mahfudz al-tirmisi dan yang lainnya. Di atara karya tulis yang
disusun oleh k.h. hasyim asy’ari banyak berkaitan dengan masalah hadist, akhlak, fiqh, dan
pendidikan anak.Dengan menyebutkan beberapa kiai pesantren dengan karyanya itu
menunjukan hal-hal sebagai berikut.Pertama, bahwa dikalangan kiai pondok pesantren terdapat
tradisi menulis yang kuat, walaupun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah kiai yang ada.
Kedua, bahwa kemampuan menulis yang dimiliki para kiai atau ulama indonesia saat itu telah
berhasil mengungguli kemampuan menulis yang dimiliki para ulama dari negara lainnya. Ketiga,
bahwa hasil karya tulis para kiai indonesia itutidak hanya di akui oleh umat islam di indonesia,
melainkan di seluruh dunia. Hal ini terbukti dari digunakannya kitab-kitab yang ditulis para
ulama indonesia itu di negara-negara di dunia, khususnya timur tengah dan asia tenggara.
Keempat, bahwa dengan adanya karya ilmiah tersebut, menunjukan usaha para kiai indonesia
dalam mengangkat citra indonesia di dunia internasional.

3. Tradisi Meneliti [3]

Dilihat dari segi sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali dan ‘irfani.
Penelitian bayani adalah penelitian yang berkaitan dengan kandungan al-qur’an al-sunnah
dengan bekal penguasaan bahasa arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan
berbagai cabangnya, ilmu hadis dan berbagai cabangnya, ilmu ushul al-fiqh, ilmu qawaid al-
fiqhiyah dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Penelitian burhani adalah penelitian yang berkaitan
dengan fenomena sosial denganbekal metodologi penelitian sosial, bahasa dan ilmu bantu
lainnya. Penelitian ijbari berkaitan dengan fenomena alam fisik jagat raya dengan
menggunakan eksperimen atau percobaan di laboratorium.Penelitian jadali berkaitan dengan
upaya memahami berbagai makna dan hakikat segala sesuatu dengan jalan menggunakan akal
dengan secara spekulatif, sistematik, radikal, universal, dan mendalam. Sedangkan penelitian
‘irfani adalah penelitian yang berkaitn dengan upaya mendapatkan ilmu secara langsung
dengan menggunakan kekuatan intuisi (instinct batin) yang dibersihkan dengan cara
mengndalikan hawa nafsu, menjalankan ibadah ritual, zikir, kontemplasi, wirid, dan
sebagainya.hasilnya adalah ilmu tasawuf.
4. Tradisi Membaca Kitab Kuning

Seorang peneliti asal belanda, martin van bruinessen, telah menunjukan dengan jelas tentng
adanya tradisi membaca kitab kuning di pesantrn. Melalui bukunya yang berjudul yellow book
(kitab kuning), bruinessen menginformasikan bahwa kitb-kitab karangan para kiai sebagaimana
tersebut di atas, khusunya karya nawawi al-bantani dan mahfuz al-tirmasi telah menjadi kitab
rujukan utama yang dipelajari di pesantren-pesantren di pulau jawa dan sekitarnya.
Melalui tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah berhasil mewarnai corak
kehidupan keagamaan masyarakatpada khususnya dan kehidupan sosial kemasyarakatan
pada umumnya.

5. Tradisi Berbahasa Arab

Seiring dengan adanya tradisi penulisan kitab-kitab oleh para kiai sebagaimana tersebut diatas
dengan menggunakan bahasa arab, maka dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi
berbahasa arab yang kuat dikalangan pesantren. Hal ii terjadi, karena para ulama yang
bermukim di makkah memiliki kemampuan tradisi berbahasa arab yang kuat.
Mereka mengetahui al-qur’an dan al-sunnah ditulis dalam bahasa arab. Demikian pula bahasa
arab yang digunakan ketika sholat dan berdo’a juga bahasa arab.

6. Tradisi Mengamalkan Thariqat

Dari berbagai sumber yang ada, masyarakat salafiyah yang dibangun oleh dunia pesantren itu
mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiousitas dan
etika.Dalam kaitan ini tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agama. Bahkan, jika
tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan masalah-masalah inti (batin), maka ia
juga berarti merupakan inti keagamaan (religiousity) yang bersifat esoteris. Dari sudut ini, maka
ilmu tasawuf tidak lain adalah penjabaran masalah nalar (nazhar) teori ilmiah tentang apa
sebenarnya takwa itu.[4]
Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf dalam bentuk thariqat di pesantren telah dibuktikan oleh
para peneliti. Abdurrahman mas’ud misalnya mengatakan: sebagaimana ahmad khatib as-
sambas (w.1878 m.) nawawi adalah penganut sufisme ghazali. Dia menyarankan kepada
masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf , seperti imam sa’aid bin muhammad abu
al-qasim al-junaid. Baginya, dia adalah pangeran sufisme dalam arti toritis dan praktis.
Kekuatan tradisi thariqat inilah yang pada tahap selanjutnya banyak yang mengkeramatkan
makam para kiai tersebut dan menjiarahinya untuk memperoleh berkah.

7. Tradisi Menghafal

Menghafal adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran. Caranya
dimulai dengan belajar mata teks kitab, memberi arti pada setiap teks, memahaminya dengan
benar, dan kemudian menghafalnya diluar kepala.Metode menghafal ini umumnya dilakukan
terhadap materi pelajaran tingkat dasar yang terdapat dalam kitb-kitab materi pokok atau yang
lebih dikenal dengan matan.Salah satu kitab yang wajib dihafal tersebut adalah matan alfiyah
ibn malik yang berjumlah 1000 bait. Kitab lainnya yang dihafal adalah matan imriti, matan
jurumiyah, masing-masing kitab tentang gamatika bahasa arab, dan matan fathul qarib dan
zubad, masing-masing dalam bidang fikih dan akhlak; matan tankih al-qaul dan matan hadis
arabi’in al-nawawiy dalam bidang hadis. Selain itu, mereka juga wajib menghafal al-qur’an
sebanyak 30 juz secara bertahap.

8. Tradisi Berpolitik

Berkiprah dalam politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu tradisi dikalangan
dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya nahdatul ulama (nu) pada tahun 1926 yang
selanjutnya pernah berubah menjadi salah satu partai politik yang ikut pemilu (pemilihan umum)
pada tahun 1970-an menunjukan kuatnya tradisi berpolitik di kalangan pesantren.[5]
Paham nasionalisme kh.Syaifuddin ini sejalan dengan paham nasionalisme kh. Syahid yang
mengatakan, bahwa makna nasionalisme lebih mengacu pada cinta tanah air yang dalam
bahasa arab lebih disamakan dengan tema al-wathaniyah

BAB III

IV. Penutup

A. Kesimpulan

Pengertian pondok pesantren secara etimologis, adalah gabungan dari pondok dan pesantren.
Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia
lebih disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar
sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-
santri-an yang berarti tempat santri. Menurut para ilmuwan dapat disimpulkan menjadi lembaga
keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan
menyebarkan ilmu agama Islam.
Sejarah pondok pesantren memiliki kaitan erat dengan peran Walisongo, yakni mengenai
silsilah ilmu para Walisongo, bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada Sunan Ampel.
Misalnya, Sunan Kalijaga, beliau adalah santri dari Sunan Bonang yang merupakan putra
Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga.

B. Penutup

Demikianlah yang dapat pemakalah sampaikan, pemakalah sadar sebagai manusia biasa,
tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karenanya, saran dan
kritik yang membangun dari pembaca sekalian sangat pemakalah harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, HA. Mukti, Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional: dalam Pembangunan
Pendidikan dalam Pandangan Islam, (Surabaya: IAIN sunan ampel, 1986).
Dhofier, zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982).
gembelite.blogspot.com/2011/10/makalah-perkembangan-pendidikan.html?m=1. Diakses pada
tanggal 27 Juni 2014 pukul 01.10 WIB.
Haedari, HM Amin, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD press, 2004).
Indra, hasbi, Pesantren dan Tranformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie
dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: penamadani, 2003).
Madjid, nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997).
Mahdi, adnan, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati:
Staimafa press, 2013).
Nafi’, M. Dian, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for training and
development (ITD) Amherst, 2007).
Nasir, ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005).
Sofwan, ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama media,
2004).
[1] Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), Hlm: 80
[2] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997), Hlm: 10
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), Hlm: 82
[4] Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati:
Staimafa press, 2013), Hlm: 10
[5] Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm: 11
[6] Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm: 11
[7] Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm: 12
[8] Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, Hlm: 13
[1]Muhammad Quthb, Sistem Pemikiran Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1984), hal. 183.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al-Qur’an, 1990), hal. 923
[3]Ibid., hal. 670
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hal. 179
[6]Ibid., hal. 181
[7]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 100.
[8]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1982), hal. 176.
[9]Muhammad Bukhari, Sistem dan Model Pendidikan Klasik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
hal. 54
[11]AM. Romli, Dakwah dan Siyasah, (Jakarta: Bina Rena Parawira, 2003), hal. 7.
[12]Hilmi Muhammadiyah, Dakwah dan Globalisasi, (Jakarta: ELSA, 2000), hal. 3.
[13]Zamaskuri Zarkashi, Pedoman Para Da'i, (Jakarta: Bulan Bintang, 19 85), hal. 52.
[14]Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Fjohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), hal. 26.
[15]Depertemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hal. 635
Nata, Abuddin, 2012, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2012 ), h. 314.
[2]Ibid, h. 315.
[3]Nata, Abuddin, Op Cit, h. 319-320.
[4]Ibid, h. 324.
[5]Nata, Abuddin, Op Cit., h. 325.

Anda mungkin juga menyukai