dirinya. Pertama-tama yang perlu dipelajari oleh seorang santri adalah ilmu yang paling
baik dan yang diperlukannya dalam agama pada saat itu. Kemudian baru ilmu-ilmu yang
diperlukannya pada masa yang akan datang.
Ilmu tauhid harus didahulukan, supaya santri mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil
yang otentik. Karena imannya orang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya, sekalipun sah
menurut pendapat kami, tetapi ia berdosa.
Para santri harus mempelajari ilmunya para salaf (baca: ilmu agama). Para ulama berkata,
tetaplah kalian pada ilmunya para nabi, (ilmu agama), dan tinggalkanlah ilmu-ilmu yang
baru. Tinggalkan ilmu debat yang muncul setelah meninggalnya para ulama. Sebab
perdebatan akan menjauhkan seseorang dari ilmu fiqih, menyia-nyiakan umur,
menimbulkan keresahan, dan permusuhan. Dan apabila umat Muhammad SAW. sudah
suka berbantah-bantahan di antara mereka, itulah tanda akan datangnya hari kiamat.
Tanda bahwa ilmu fiqih semakin menghilang. Demikian menurut hadis Nabi.
Adapun cara memilih guru atau kiai carilah yang alim, yang bersifat wara', dan yang lebih
tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau
(Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji ilmu
kepadanya.
Abu Hanifah berkata pula, Aku pernah mendengar seorang ahli hikmah dari negeri
Samarkan berkata
"Ada salah seorang penuntut ilmu bermusyawarah denganku ketika hendak pergi ke
Bukhara untuk menuntut ilmu".
Adapun orang yang benar-benar sempurna ialah orang yang pendapat-pendapatnya selalu
benar dan mau bermusyawarah. Sedangkan orang yang setengah sempurna ialah orang
yang pendapatnya benar, tapi tidak mau musyawarah. Dan orang yang tidak sempurna
sama sekali, ialah orang yang pendapatnya salah dan tidak mau musyawarah. Imam Ja'far
Shidik berkata kepada Sufyan Tsauri,
"Musyawarahkan urusanmu kepada orang yang takut kepada Allah."
Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarah
atau minta nasihat kepada orang alim penting, dan suatu keharusan.
Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala
urusan. Tapi jarang sekali orang mempunyai sifat-sifat tersebut, sebagaimana kata sebuah
syair artinya,
"Setiap orang pasti mempunyai hasrat memperloeh kedudukan atau martabat yang mulia,
namun jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet."
Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap kesulitan dan
penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani bertahan dan bersabar dalam
mengahi kepada seorang guru dan dalam membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya
sebelum tamat atau selesai. Tidak pindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu
ilmu ke ilmu yang lain. Padahal ilmu yang dipelajari belum ia kuasai, juga tidak pindah-
pindah dari satu daerah ke daerah lain, supaya waktunya tidak terbuang sia-sia.
Seorang santri tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsunya. Seperti kata sebuah syair,
"Sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barangsiapa terkalahkan oleh hawa nafsunya
berarti ia terkalahkan oleh kehinaan."
Seorang santri harus tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan
bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib ra.
berkata,
"Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu:
cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk atau bimbingan guru, dan waktu yang
lama."
Seorang santri harus memilih atau berteman dengan orang yang tekun belajar, bersifat
wara' dan berwatak Istiqamah. Dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan
hadis-hadis Nabi. Dan ia harus menjauhi teman yang malas, banyak bicara, suka merusak
dan suka memfitnah.
Seorang penyair berkata,
"Jangan bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena orang
itu biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera.
Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kau akan mendapat petunjuk."
Bagi pelajar, dalam masalah ilmu hendaklah memilih mana yang terbagus dan dibutuhkan dalam
kehidupan agmanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu yang akan datang.
Hendaknya lebih dahulu mempelajari ilmu tauhid, mengenali Allah lengkap dengan dalilnya.
Karena orang yang imannya hanya taklid sekalipun menurut pendapat kita sudah syah, adalah
tetap berdosa karena ia tidak mau beristidlal dalam masalah ini.
Hendaknya pula memiluh ilmi-ilmu yang kuna, bukan yang baru lahir. Banyak ulama berkata :
“Tekunilah ilmu kuna, bukan yang baru saja ada.” Awas, jangan sampai terkena pengaruh
perbantahan yang tumbuh subur setelah habisnya ualama besar, sebab menjurus untuk
menjauhkan pelajar dari mengenali fiqh, hanya menghabiskan usia dengan tanpa guna,
menumbuhkan sikap anti-pati/buas dan gemar bermusuhan. Dan itulah termasuk tanda-tanda
kiamat akan tiba serta lenyapnya fiqih dan pengetahuan-pengetahuan lain, demikianlah menurut
hadits.
Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, waro’ dan juga lebih tua usianya.
Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut,
maka menentukan pilihannya kepada tuan Hammad Bin Abu Sulaiman.
Dalam hal ini dia berkata : “beliau saya kenal sebagai orang tua yang budi luhur, berdada lebar
serta penyabar. Katanya lagi: saya mengabdi di pangkuan tuan Hammad Bin Abu Sulaiman, dan
ternyata sayapun makin berkembang.”
3. Bermusyawarah
Abu Hanifah berkata : Saya mendengar salah seorang ahli hikmah Samarkand berkata: Ada salah
seorang pelajar yang mengajakku bermusyawarah mengenai masalah-masalah mencari ilmu,
sedang ia sendiri telah bermaksud ke Bochara untuk belajar disana.
Demikianlah, maka seharusnya pelajar suka bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi.
demikian, karena Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw. Agar memusyawarahkan segala
halnya. Toh tiada orang lain yang lebih pintar dari beliau, dan masih diperintahkan musyawarah,
hingga urusan-urusan rumah tangga beliau sendiri.
Ali ra berkata : “Tiada seorangpun yang rusak karena musyawarah”, Ada dikatakan : “Satu orang
utuh, setengah orang dan orang tak berarti. Orang utuh yaitu yang mempunyai pendapat benar
juga mau bermusyawarah; sedang setengah orang yaitu yang mempunyai pendapat benar tetapi
tidak mau bermusyawarah, atau turut bermusyawarah tetapi tidak mempunyai pendapat; dan
orang yang tidak berarti adalah yang tidak mempunyai pendapat lagi pula tidak mau ikut
musyawarah.” Kepada Sufyan Ats-Tsuriy, Ja’far Ash-Shodik ra berkata: “Musyawarahkan
urusanmu dengan orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.”
Menuntut ilmu adalah perkara paling mulya, tetapi juga paling sulit. Karena itulah, musyawarah
disi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.
Al-Hakim berucap : “Jikalau engkau pergi ke Bochara, janganlah engkau ikut-ikut perselisihan
para imam. Tenanglah lebih dulu selama dua bulan, guna mempertimbangkan dan memilih guru.
Karena bisa juga engkau pergi kepada orang alim dan mulai belajar kepadanya, tiba-tiba
pelajarannya tidak menarik dan tidak cocok untukmu, akhirnya belajarmupun tidak dapat berkah.
Karena itu, pertimbangkanlah dahulu selama dua bulan untuk memilih gurumu itu, dan
bermusyawarahlah agar tepat, serta tidak lagi ingin berpindah ataupun berpaling dari guru
tersebut. Dengan begitu, engkau mendapat kemantapan belajar di situ, mendapat berkah dan
banyak kemampaatan ilmu yang kamu peroleh.”
Ketahuilah! Sabar dan tabah itu pangkal keutamaan dalam segala hal, tetapi jarang yang bisa
melakukan. Sebagaimana syaiir dikatakan:
Ada dikatakan : “Keberanian ialah sabar sejenak.” Maka sebaiknya pelajar mempunyai hati
tabah dan sabar dalam belajar kepada sang guru, dalam mempelajari suatu kitab jangan sampai
ditinggalkan sebelum sempurna dipelajari, dalam satu bidang ilmu jangan sampai berpindah
bidang lain sebelum memahaminya benar-benar, dan juga dalam tempat belajar jangan sampai
berpindah kelain daerah kecuali karena terpaksa. Kalau hal ini di langgar, dapat membuat urusan
jadi kacau balau, hati tidak tenang, waktupun terbuang dan melukai hati sang guru.
Sebaiknya pula, pelajar selalu memegangi kesabaran hatinya dalam mengekang kehendak hawa
nafsunya. Seorang penyair berkata :
Juga berhati sabar dalam menghadapi cobaan dan bencana. Ada dikatakan : “Gudang simpanan
cita, terletak pada banyaknya bencana.”
Di syairkan untuk saya ada yang berpendapat bahwa syair ini dari gubahan Ali bin Abu Tholib
sebagai berikut:
Memilih Teman
Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro, bertabiat jujur serta mudah
memahami masalah. Menyingkiri orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau
dan gemar memfitnah.
Syiir dikatakan:
• Jangan bertanya siapakah dia? Cukup kau tahu oh itu temannya.karena siapapun dia, mesti
berwataq seperti temannya.
• Bila kawanya durhaka, singkirilah dia serta merta.bila bagus budinya, rangkullah dia,
berbahagia!.
Disyi’irkan buatku :
• Jangan kau temani sipemalas, hindari segala halnya, banyak orang shaleh menjadi kandas,
sebab rerusuh sandarannya.
• Menjalar tolol kepada cendikia, amat cepat terlalu laksana api bara, ia padam di atas abu.
Nabi saw bersabda : Semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan kesucian islam, hanya kedua
orang tuanyalah yang membuatnya jadi yahudi, nasrani, atau majusi.
• Teman yang durhaka, lebih berbisa daripada ular yang bahaya Demi Allah Yang Maha Tinggi,
Nan Maha Suci.
• Teman buruk, membawamu ke neraka jahim Teman bagus, mengajakmu ke sorga na’im.
Ada Disyi’irkan:
• Bilakau ingin mendapat ilmu dari ahlinya Atau ingin tahu yang gaib dan memberitakannya.
• maka dari nama bumi, ambillah pelajaran tentang isinya dan dari oarang yang di temani,
ibaratkanlah tentang dia.