Anda di halaman 1dari 15

PAPER

BUDIDAYA UDANG WINDU DENGAN TEHNIK POLIKULTUR

DISUSUN OLEH :
NAMA : NENA ENDASARI
NPM : 01011900046
PRODI : AFROTEKNOLOGI
DOSEN PENGAMPU : Dr. Etty Saafriyani,SP, M. Si

UNIVERSITAS MUSI RAWAS (UNMURA)


TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Budidaya perairan merupakan bentuk pembudidayaan organism air termasuk


ikan, udang, kerang, kepiting dan tumbuhan air. Pada dasarnya budidaya
cenderung menguasai ekosistem perairan agar memperoleh produksi yang lebih
tinggi dengan menerapkan teknologi pengelolaan secara terkontrol. Di Indonesia
kegiatan budidaya perairan dibagi menjadi 3 yaitu sistem tradisional, semi
intensif, dan intensif (direktorat jendral perikanan budidaya 2003).

Secara umum budidaya perairan dilakukan melalui ekosistem buatan


manusia satuan budidaya yang biasanya terdiri dari komponen biotik dan abiotik.
Komponen biotik terdiri dari ikan udang yang dibudidayakan, organism plankton,
organism lain yang hidup di dalam air seperti parasit, predator dan mikroba,
sedangkan komponen abiotik terdiri dari bahan kimia dan fisika baik dari tanah
maupun air sebagai media pembudidaya komponen ekosistem pembudidaya baik
biotik maupun abiotik memberikan fungsi ekologis dan berhubungan satu sama
lain.
Udang windu (Penaeus mondon fab) merupakan salah satu komoditas
primadona di subsektor perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan devisa
negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung meningkat serta sumber
daya yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat besar untuk
dapat dikembangkan budidayanya.
Budidaya udang windu sudah lama di kenal oleh masyarakat Indonesia,
sejak awal dekade 1970, pada awal-awal tahun (1970-1990) produksi udang
windu yang dihasilkan dari budidaya meningkat dengan pesat, namun seiring
dengan berjalannya waktu sampai sekarang budidaya udang windu mengalami
kemunduran. Hal ini dikarenakan pengembangan teknologi budidayanya
dilakukan tanpa dasar ilmiah yang kokoh maka banyak usaha budidaya udang
(lebih dari 60%) mengalami kegagalan, selain itu udang windu mengalami
kematian massal yang disebabkan kondisi lingkungan yang buruk dan terserang
penyakit. Sehingga banyak petani udang windu beralih usaha ke budidaya ikan
(bandeng atau nila) dan sebagian lain menelantarkan tambak akibat kerugian.
Di sisi lain, perkembangan teknologi budidaya Bandeng (Chanos chanos)
berjalan sangat lambat, tetapi bandeng tetap menjadi komoditas budidaya yang
paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Budidaya udang windu
lebih menguntungkan dari pada bandeng, karena harga jual udang windu lebih
tinggi. Sehingga untuk mengantisipasi agar kegiatan budidaya udang windu tetap
berlangsung, perlu diterapkan budidaya dengan cara polkultur. Kondisi ini
memungkinkan pemanfaatan tambak yang terlantar untuk membudidayakan
udang windu dan bandeng dalam satu lahan dengan cara polikultur.

Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk pemeliharaan


banyak produk dalam satu lahan. Dengan sistem ini diperoleh manfaat yaitu
tingkat produktifitas lahan yang tinggi. Pada prinsipnya terdapat beberapa hal
yang berkaitan dengan produk yang harus diatur sehingga tidak terjadi persaingan
antar produk dalam memperoleh pakannya, selain itu setiap produk diharapkan
dapat saling memanfaatkan sehingga terjadi sirkulasi dalam satu lokasi budidaya.
(Syahid dkk, 2006)
Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat meningkatkan
craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu, dimana
pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem
monokultur, petani hanya dapat memanen satu produk dalam satu periode. Namun
dengan polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan
pemanfaatan lahan luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan
penghasilan petambak (Syahid dkk, 2006).

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menerapkan budidaya polikultur?
2. Apa manfaat dari pengelolaaan budidaya dengan cara polikultur?
3. Apa kerugian dari polikultur?
4. Dampak yang ditimbulkan dari sistem polikultur itu sendiri?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Polikultur

Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang
mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.
Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal
individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan
alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran
(Gustiano, dkk, 2010). Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha
manusia melakukan pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi
lingkungan alam, dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang
dapat diukur dari pendapatan ekonomi (soekirman, dkk, 2007). Dasar
pengembangan polikultur adalah membangun keberagaman yang saling
menguntungkan. Semakin beragamnya populasi suatu kawasan maka semakin
stabil kondisi ekosistem yang berjalan di kawasan itu. jadi, pendekatan pertanian
polikultur merupakan wujud penerapan pertanian berkelanjutan. Konsep pertanian
berkelanjutan memiliki cirri-ciri, 1) bernuansa lingkungan (ecologically sound), 2)
layak secara ekonomi (economically viable), 3) adil secara sosial (socially just), 4)
manusiawi (humane), 5)mampu diadaptasikan (adaptable) (soekirman, dkk,
2007). Menurut Fitzgerald (1997) bahwa pola empang parit (tambak) merupakan
model silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air
tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini
mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan
mangrove dapat ditanam dibagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara
tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini
dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan
memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove,
sedangkan bagian caren atau parit dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan
sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di reforestasi dapat mencapai
sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan
jarak tanam 1x1 meter antar individu. Namun demikian menurut Fitzgerald
(1997), kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17 – 2,5
pohon/m². Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya
perikanan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada
bahan-bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan
vegetasi yang rendah diterapkan pada ikan bandeng, sedangkan kepadatan
vegetasi yang tinggi sesuai diterapkan pada budidaya ikan nila dan kepiting
bakau. Kanal untuk memelihara ikan nila berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman
sekitar 40-80 cm dari permukaan pelataran. Dengan berbagai modifikasi desain
dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk
memelihara ikan bandeng/ikan nila dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%.
Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang,
serta ikan nila dan kepiting bakau, dapat di pelihara secara intensif di kanal
tersebut. Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada
umumnya terdapat antara 7-8,5. Akan tetapi untuk kepiting menurut Soim (1999) ,
kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0 /00 atau di golongkan
ke dalam air payau. Selain itu menurut Rusmiyati (2011) Kriteria lokasi yang
ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan
kadar garam 15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Rukmana
(1997) menyatakan, bahwa ikan nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5-11 dapat di toleransi oleh
ikan nila, akan tetapi pH optimal untuk pertumbuhan untuk perkembangbiakan
dan dan pertumbuhan ikan nila adalah 7-8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam
keadaan air asin pada kadar salinitas 0-35 permil. Oleh karena itu ikan nila dapat
dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan
pembesaran. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010) pada salinitas 15 ppt ikan
nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat dengan tingkat adaptasi
yang tinggi. Selain itu ikan nila memiliki keunggulan komparatif dalam sifat
biologinya yang memberi peluang bagi pengembangan usaha budidaya intensif
yaitu, pertumbuhan nya cepat dan efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada
berbagai lingkungan (habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan dan
termasuk pemangsa segalah bahan (omnifora). Menurut Rusmiyati (2011) Sistem
pengelolaan tambak kepiting meliputi beberapa kegiatan diantaranya: Persiapan
Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka (kepiting cangkang
lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan
Penyakit. Sedangkan untuk ikan nila menurut Gustiano, dkk (2010) pengelolaan
pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan (kolam, tambak,
sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda (tunggal kelamin, campur
kelamin, tunggal jenis, campur jenis dan terpadu), dan sistem pemeliharaan
(ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif) yang dipergunakan.
Budidaya kepiting bakau diawali penangkapan benih-benih kepiting bakau dalam
perairan di sekitar hutang bakau, benih ini merupakan hasil peranakan alami dari
benih induk atau kepiting dewasa. Kemudian dimasukkan dalam lahan yang telah
disiapkan yaitu berupa keramba yang diletakkan dalam perairan di lahan tambak
atau perairan bakau (Gunarto dan Adi Hanafi, 2000). Pada persiapan pembuatan
kolam tambak, Rusmiyati (2011) menyatakan bahwa pengelolaan dasar tambak
dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap dasar tambak. Seperti
pengapuran dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar
tambak tidak menimbulkan pengaruh negative terhadap kualitas air tambak
selama pemeliharaan. Kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran,
pembalikan, dan pengapuran. Penjemuran tanah dilakukan hingga bagian
permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang
didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan mengikat
gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah. Proses
pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan tambak
juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur CaCO3
(Dholomit). Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk
menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga kisaran
pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan
pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Penebaran bibit
kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba. Pada budidaya
polikultur dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan kepadatan 2000-3000
ekor/ha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.000- 30000 ekor/ha untuk berat
0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam (1200m2 ). Untuk Pakan pada
kolam pemeliharaan Gustiano (2010) menyatakan bahwa pakan pada kolam
pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari pemupukan.
Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar , seperti cacing,
siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan ikan nila.
Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang terdapat pada
kolam. Pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10%
dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari.
Dalam siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar
70%. Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15% (Rusmiyati,2010).
Sedangkan menurut Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan
setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat
Pemberian Pakan (TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan
TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan
ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang
diberikan pada kepiting yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan
yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan
pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua
komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila
membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih
sedikit pakan, maka jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam
akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila. Budi daya kepiting di tujukan
untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan budi daya di kenal dengan
kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain pembesaran dan penggemukan
dikenal juga produksi kepiting lunak atau kepiting soka dan kepiting telur (Kordi,
2011). Kepiting soka adalah kepiting bakau yang sedang mengalami fase ganti
kulit (molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai cangkang
yang lunak “soft shell mud crab” sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Selain
tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisishkan, nilai nutrisinya
juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya
terdapat pada kulit dapat dimakan. produksi kepiting soka, dilakukan dengan
memelihara kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan
pada keramba hingga molting (Rusmiyati, 2011). Menurut Rusmiyati (2011),
kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk
dilakukan pemotingan (proses ganti kulit). Ukuaran cangkang kepiting yang
dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat
baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ tubuh lengkap tak ada
cacat dan luka. kepiting yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting
dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan. Selama masa pertumbuhan
kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara
17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak
dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar.
Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25% dari berat awal dengan
rata-rata berat awal penebaran 80-100 g/ekor dalam masa pemeliharaan 15-20
hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi
eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan.
Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang
membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak
dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid.
Selain itu penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan
sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan
dan kesehatan kepiting. Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat
jumlah maka dalam tempo 10 hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui
(Rusmiyati, 2011). Dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat
diperlukan. Hal ini memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya
kepiting. Penggantian air yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan
untuk menjaga kualitas air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak
layak digunakan ditandai dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak
yang mati. Pada kolam dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih
asam karena proses nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan
karbondioksida dan ion hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai
tumbuhan renik, yang dapat mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka
semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas.
Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA (Environtmental Protection Agency)
untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai
dengan semakin keruhnya air. Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh
terhadap tekanan osmotik air. Air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting
sebaiknya antara 15-35 permil.
BAB III
PEMBAHASAN

Baru-baru ini sedang marak dengan adanya budidaya polikultur atau


budidaya dua kultivan dalam satu tambak. Contohnya adalah budidaya ikan
bandeng dengan udang. Para pembudidaya berani melakukan gebrakan seperti ini
dikarenakan ikan bandeng dan udang jika di gabungkan dalam satu lokasi tambak
tidak akan terjadi persaingan. Tidak terjadi persaingan tersebut dikarenakan jenis
makanan dua kultivan tersebut berbeda.
Udang windu dan ikan secara biologis memiliki sifat–sifat yang dapat
bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena
merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah terhadap
lingkungan. Ikan bandeng sebagai pemakan plankton merupakan pengendali
terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Hubungan yang seperti ini dapat
menyeimbangkan ekosistem perairan (Murachman dkk, 2010).
Dalam budidaya polikultur harus di perhatikan juga persiapan dan keadaan
tambak itu sendiri. Karena budidaya ini melibatkan dua kultivan dan tiap kultivan
berbeda-beda kebutuhan dari habitat hidupnya. Persiapan tambak ini penting
mengingat kultivan akan beradaptasi dengan lingkungan baru, yang biasanya
kultivan tersebut hanya di budidayakan sendiri sekarang harus berbagi tempat
dengan kultivan lain. Harapannya tiap kultivan memiliki tugas masing-masing
dalam tambak tersebut dan saling menguntungkan satu sama lain.
Berdasarkan Adiwidjaya et al (2001), secara garis besar kegiatan usaha
budidaya polikultur bandeng dan udang tradisional meliputi persiapan tambak,
adaptasi benih, pemeliharaan dan panen :

1. Persiapan tambak
Tujuan Persiapan tambak adalah untuk memperoleh kondisi lingkungan
yang optimal bagi kultivan secara fisik, biologi dan kimia. Kegiatan ini meliputi
pemberantasan hama, pengeringan tambak, perbaikan pematang, perbaikan pintu
air, perbaikan caren dan saluran air, pengapuran tambak, pemasukan air dan
penyiapan air media.
Pemberantasan hama dilakukan pada saat masih ada air. Bahan yang
digunakan adalah pestisida sintetis (contoh; brestan, kaporit) dan pestisida nabati
(contoh; saponin,akar tuba, tembakau). Pestisida sintetis diberikan saat air dalam
kondisi macak-macak (5 cm) dengan disebar merata, kemudian dibiarkan selama
15-21 hari agar trisipan terbunuh total. Saponin bisa diberikan jika masih ada ikan
liar. Kaporit bisa diberikan untuk memberantas ikan dan krustase liar dengan
ketinggian air 15-25 cm.
Dasar tambak dikeringkan dengan kondisi lembab, kemudian lumpur
diangkat ke pematang sekaligus memperbaiki pematang yang bocor. Bila pH
tanah kurang dari 6,5 pengapuran perlu dilakukan dengan dosis 500-1000 kg/ha.
Kapur diberikan 60% sebelum pembalikan tanah dan 40% sesudah pembalikan
tanah (sedalam 25 cm). pengeringan total bisa dilakukan 7-10 hari jika intensitas
cahaya matahari mencukupi. Kegiatan yang seiring dengan proses ini adalah
perbaikan pintu dan pemasangan saringannya.
Penyiapan air media dianggap cukup jika kondisi kualitas air stabil.
Sebelum air dimasukkan kelayakan pH tanah harus dicek terlebih dulu. Air
dimasukkan pada saat pasang tinggi (1,2-2,4 m) dengan memeriksa kualitas
sumber air terlebih dulu. Air perlu dibiarkan 2-5 hari setelah terisi penuh untuk
mengetahui tingkat perembesan dan penguapan. Air kemudian diperiksa
kelayakannya. Jika kondisi kualitas air dinyatakan layak maka bisa dilakukan
pemberian pupuk anorganik (urea 50 kg/ha dan TSP/NPK 200-300kg/ha) atau
pupuk organik (kompos 3 ton/ha atau kotoran hewan 1-3 ton/ha). Dalam waktu 7-
10 hari pakan alami akan tumbuh (fitoplankton dan makroalga).
2. Adaptasi dan penebaran benih
Benih udang (benur) di pasaran umumnya adalah PL 12-25 sedangkan
benih bandeng (nener) berukuran 2-3 cm. Benih bisa dibeli langsung dari hatcheri
atau lewat perantara. Penebaran udang dilakukan terlebih dulu daripada bandeng.
Sebelum benih ditebar maka benih dalam kantong plastik ini perlu diaklimatisasi
yaitu pengadaptasian dulu dengan kondisi air dalam tambak (suhu, salinitas, pH)
selama 15-30 menit. Pengadaptasian dilakukan dengan cara mengapungkan
plastik di air tambak, mengisinya dengan air sedikit demi sedikit.
Jika ukuran masih dianggap kecil benih dapat terlebih dulu didederkan
sampai ukuran yang dinginkan. Dalam pendederan ini benih dipelihara dalam
sebuah petakan kecil dalam tambak yang disebut sebagai pinihan. Jika ukuran
yang diinginkan sudah tercapai maka bisa dilakukan penebaran dengan membuka
petakan dan membiarkan udang menyebar ke seluruh bagian tambak. Waktu
penebaran yang terbaik adalah pagi atau sore hari. Untuk budidaya tradisional
padat tebar udang maksimal adalah 3 ekor/m2 sedangkan bandeng 2.500-5.000
ekor/ha.
3. Pemeliharaan
Tahap pemeliharaan memerlukan waktu paling lama dibanding tahap
budidaya yang lain. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan
fitoplankton dan klekap, pengaturan air, monitoring hama dan penyakit, dan
pemupukan susulan. Warna air yang baik adalah hijau kekuningan yang
menandakan pertumbuhan alga hijau dan diatom. Klekap yang baik bertekstur
lembut tumbuh di dasar tambak dan tidak mengapung di air. Pertumbuhan klekap
yang pesat pada awal pemeliharaan dapat mengganggu gerak udang. Oleh karena
itu perlu dilakukan pemberian jalan dengan menyibak klekap. Jika kondisi air
kurang baik penggantian dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut.
Pada hari tertentu udang dan bandeng juga perlu diambil untuk melihat
pertumbuhannya. Pengamatan kesehatan dilakukan setiap hari untuk
mengantisipasi kematian massal. Pemupukan susulan bisa dilakukan jika kondisi
pakan alami dianggap berkualitas rendah.
4. Pemanenan
Pada umumnya pemanenan dilakukan pada umur 120 hari (DOC) tetapi
kenyataan di lapangan waktu pemanenan bergantung pada kondisi kultivan.
Pemanenan bisa dilakukan secara bertahap atau total. Udang lebih mudah dipanen
dengan bertahap daripada bandeng. Alat panen meliputi bubu dan sero untuk
panen sebagian dan jaring untuk panen total. Bubu dan sero lebih menjamin
kualitas fisik udang dan biasanya digunakan saat air pasang dimana udang
mencari air segar. Panen sebaiknya dilakukan pada dini hari atau sore hari saat
udara dingin.
5. Pasca panen
            Setelah baik udang windu maupun ikan bandeng selesai ditangkap, maka
tahapan berikutnya adalah pembersihan udang dan bandeng, setelah itu kita
siapkan peti yang sudah berisi gumpalan es. Ikan dan udang dimasukkan kedalam
peti tersebut, agar supaya kesegaran baik udang maupun ikan bandieng tetap
terjaga, dan siap dipasarkan.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang
mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.
Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal
individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan
alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran.

B. SARAN
Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat meningkatkan
craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu, dimana
pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem
monokultur, petani hanya dapat memanen satu produk dalam satu periode. Namun
dengan polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan
pemanfaatan lahan luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan
penghasilan petambak
DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, D., Kokarkin, C., Supito. 2001. Petunjuk Teknis Operasional


Tambak Sistem Resikulasi. Ditjen Perikanan Budidaya, Departemen
Kelautan dan Perikanan.Jepara.

Effendi. 1997. Metode Biologi Perikanan.Y a y a s a n Dewi Sri.


B o g o r Hal 112.

Murachman,Hanani, N., Soemarno, dan Muhammad, S,. 2010. Model Polikultur


Udang Windu (Penaeus monodon Fab), Ikan Bandeng (Chanos-chanos
Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria Sp.) Secara Tradisional. Program
Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

Anda mungkin juga menyukai