Anda di halaman 1dari 19

Gangguan Dissosiatif

Seorang individu dapat dikatakan sehat secara mental, salah

satunya apabila dia merasa dirinya utuh dengan dasar satu

kepribadian. Keutuhan diri terdiri dari integrasi atau gabungan

dari fikiran, perasaan, dan tindakan individu yang secara

bersamaan membentuk suatu kepribadian yang unik. Individu

harus mampu pula menyelaraskan pikiran, perasaan dan

tindakannya. Apabila integrasi atau keutuhannya tersebut

terganggu, salah satu akibatnya adalah munculnya gangguan

disosiatif (Fausiah dan Widury, 2008:39).

Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury

(2008:39) gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai

dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas,

memori atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan

ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa

penting
yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya

bahkan membentuk identitas baru.

Masalah utama pada gangguan disosiatif adalah individu

merasa kehilangan identitas diri, mengalami kebingungan

mengenai identitas diri atau bahkan memiliki beberapa (multiple)

identitas sekaligus. Biasanya gangguan ini muncul sebagai

pertahanan diri menghadapi peristiwa traumatik dalam kehidupan

(Fausiah dan Widury, 2008:40).

Menurut Semiun (2007:390) gangguan disosiatif adalah

gangguan atau perubahan dalam fungsi integratif yang normal

dari identitas, ingatan atau kesadaran. Dengan kata lain, dalam

gangguan-gangguan disosiatif, ada suatu pemisahan yang berat

atas fungsi-fungsi kepribadian sampai individu tidak menyadari

atau kehilangan kontak dengan aspek-aspek yang penting dari

kepribadiannya. Adapun penyebab terjadinya gangguan disosiatif

adalah adanya penyebab psikologis yang berkaitan dengan

kejadian stressful, trauma dan gangguan hubungan interpersonal.

Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury

(2008:40) gangguan disosiatif dibagi atas empat macam

gangguan, yaitu amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan

depersonalisasi dan gangguan identitas disosiatif (Dissociative

Identity Disorder).
2.3.1 Amnesia Disosiatif

Menurut Fausiah dan Widury (2008:43-43) gejala amnesia

merupakan gejala yang umum terjadi pada amnesia disosiatif,

fugue disosiatif dan gangguan identitas disosiatif. Diagnosis

amnesia disosiatif tepat apabila diberikan pada gangguan

disosiatif yang hanya menunjukan gejala amnesia saja.


Individu yang mengalami amnesia disosiatif dapat secara

mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali

informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi

yang sebelumnya telah ada dalam memori mereka. Biasanya hal

ini terjadi sesudah peristiwa yang menekan (stressful event)

seperti misalnya menyaksikan kematian seseorang yang dicintai.

Informasi yang hilang atau tidak mampu diingat oleh individu

biasanya menyangkut peristiwa traumatik dan menekan yang

terjadi dalam kehidupan individu.

Memori yang hilang biasanya paling sedikit meliputi beberapa

peristiwa selama masa traumatiknya, namun memori yang hilang

dapat pula meliputi seluruh kehidupan. Selain hilangnya memori,

biasanya individu dengan gangguan ini tetap memiliki

kemampuan untuk berbicara, membaca, ataupun melakukan

seluruh kemampuan yang telah diperolehnya selama ini. Individu

tetap memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mempelajari

berbagai informasi baru yang ada.

Gangguan amnesia ini dapat berlangsung hanya beberapa jam,

namun dapat pula bertahun-tahun. Gangguan ini dapat

menghilang dengan tiba-tiba sama seperti ketika dia muncul dan

individu akan sembuh sepenuhnya dengan kemungkinan

kekambuhan yang relatif kecil.


Menurut Semiun (2007:391) amnesia adalah ketidakmampuan

yang terjadi secara tiba-tiba untuk mengingat informasi pribadi

yang penting. Ketidakmampuan untuk mengingat itu tidak dapat

dijelaskan dengan kelupaan yang sifatnya biasa. Kemudian

menurut Gerald dan Davidson (2006:186) amnesia adalah

hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang

yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi

pribadi yang penting, biasanya kejadian itu terjadi setelah

seseorang itu mengalami stres.


Menurut PPDGJ III (1993:198) ciri utama amnesia adalah

hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang

baru terjadi, yang bukan disebabkan karena gangguan mental

organik dan terlalu luas untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaaan

yang umum terjadi atau sebagai kelelahan. Amnesia tersebut

biasanya terpusat mengenai kajadian traumatik seperti

kecelakaan atau kesedihan tidak terduga.

2.3.2 Fugue Disosiatif

Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury

(2008:44-46) pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh

lebih luas daripada amnesia disosiatif. Individu tidak hanya

kehilangan seluruh ingatannya (misalnya nama, keluarga, atau

pekerjaannya), mereka juga secara mendadak meninggalkan

rumah dan pekerjaan mereka serta memiliki identitas yang baru.

Individu dengan gangguan ini secara tiba- tiba dapat memiliki

nama yang baru, rumah serta pekerjaan yang baru, bahkan

membentuk karakteristik kepribadian yang baru. Individu bahkan

mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan

lingkungannya yang baru, walaupun identitas yang baru pada

fugue disosiatif tidaklah selengkap seperti individu yang

mengalami gangguan identitas disosiatif.


Individu yang mengalami fugue disosiatif sama sekali tidak

menyadari bahwa dirinya sudah melupakan segala hal mengenai

masa lalu dan identitasnya. Individu dengan fugue tidak tampak

bertingkah laku lain daripada yang lain (tidak menarik perhatian

dan tetap berlaku wajar) atau menampakan bukti-bukti adanya

memori atau ingatan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik

yang telah dialaminya. Individu yang mengalami fugue disosiatif

biasanya tenang, tampak biasa saja, bekerja pada


pekerjaan yang sederhana, hidup ala kadarnya, dan tidak menarik

perhatian orang lain.

Pada dasarnya penyebab dari gangguan fugue disosiatif adalah

masalah psikologis. Faktor yang mendorong munculnya

gangguan ini adalah keinginan yang sangat kuat untuk lari atau

melepaskan diri dari pengalaman yang secara emosional

menyakitkan individu. Individu yang mempunyai riwayat

kecelakaan kepala (head trauma) juga memungkinkan individu

mengalami gangguan fugue disosiatif.

Sedangkan menurut Semiun (2007:293-294) disosiatif fugue

adalah gangguan dengan gejala tiba-tiba meninggalkan rumah

atau tempat kerja dan tidak mampu mengingat masa lalunya yang

kemudian menggunakan suatu identitas yang baru. Penyebab dari

gejala disosiatif fugue adalah karena seseorang individu

mengalami stres psikologis yang berat, misalnya pertengkaran

dalam perkawinan, konflik militer, atau bencana alam. Keadaan

fugue bisa berlangsung beberapa jam, beberapa hari, beberapa

minggu, beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Pada gejala

fugue penderita melupakan bukan hanya sebagian, melainkan

seluruh situasi dan keberhasilan dari keinginannya itu terjamin

apabila dia melarikan diri atau meninggalkan rumahnya,

kampung halamannya, kota, atau tanah airnya. Penderita fugue


cenderung lari dari lingkungannya baik secara fisik maupun

psikologis (dalam angan-angan dan khayalannya).

Pada saat seseorang menderita fugue dia sama sekali tidak

sadar akan dirinya, meskipun dia melakukan segala sesuatu yang

tidak berbeda dengan orang normal. Penderita tidak ingat lagi

siapa dirinya, dari mana dia berasal, dan dimana dia berada

sekarang. Kemudian pada saat disosiatif fugu berakhir, penderita

akan kembali kepada identitasnya yang asli dan dia tidak dapat

mengingat lagi apa yang terjadi


selama fugue. Ciri lain dari fugue adalah individu tidak menyadari

sesuatu yang hilang dan menggunakan sesuatu yang baru (suatu

identitas baru) secara tepat.

2.3.3 Gangguan Depersonalisasi

Menurut Semiun (2007:396) gangguan depersonalisasi adalah

suatu ganguan yang menyebabkan penderita kehilangan atau

distorsi diri yang sifatnya sementara atau terjadi sekali-kali.

Individu yang mengalami gangguan ini merasa seolah-olah

ukuran kaki dan tangan mereka berubah, seolah-olah mereka

bertindak secara mekanik, seolah-olah mereka berada dalam

mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan

melihat diri mereka dari kejauhan. Menurut Sheila (2008:291)

gangguan depersonalisasi adalah gangguan dengan gejala

individu memiliki perasaan yang menetap dan berulang bahwa

dirinya terpisah dari tubuhnya.

Sedangkan menurut Zulkaida (2004:4) gangguan

depersonalisasi adalah gangguan dengan adanya perubahan

dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai dirinya.

Individu merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya dan cukup

menggangu dalam fungsi dirinya. Individu juga merasa perasaan

atau pengalamannya terlepas dari dirinya, jauh dan itu bukan


dirinya.

Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury

(2008:47-48) gangguan depersonalisasi ditandai dengan adanya

perubahan persepsi yang terjadi secara berulang atau menetap

tentang diri (self) sendiri, dimana mereka untuk sementara waktu

merasakan hilangnya keyakinan bahwa mereka merupakan

individu yang nyata. Individu dengan gangguan depersonalisasi

dapat berpikir bahwa dirinya adalah robot, merasa bahwa dirinya

sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa

melihat diri mereka dari kejauhan atau menonton diri mereka

sendiri dalam suatu film. Depersonalisasi berbeda dengan

derealisasi, dimana
depersonalisasi adalah perasaan bahwa tubuhnya atau dirinya

sendiri menjadi aneh atau tidak lagi nyata, sedangkan derealisasi

adalah persepsi individu tentang lingkungan sekitarnya yang

berubah menjadi aneh atau tidak nyata. Depersonalisasi sering

tampak pada individu yang mengalami gangguan kecemasan,

depresi dan skizofrenia.

Karakteristik utama dari gangguan depersonalisasi adalah

adanya perasaan pemisahan dan sesuatu hal menjadi tidak nyata.

Proses dalam tubuh individu dan peristiwa di lingkungan sekitar

sebenarnya berlangsung seperti biasa dan tidak ada perubahan

berarti, namun mereka merasakan adanya perbedaan. Mereka

merasakan bahwa beberapa bagian tubuhnya berubah menjadi

asing bagi mereka, misalnya menjadi lebih besar atau lebih kecil

daripada sebelumnya. Selain itu, mereka juga dapat merasa

bahwa sebagian tubuh mereka tidak ada dan tidak nyata.

2.3.4 Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity


Disorder)

Menurut Kendall dan Hammen dalam Semiun (2007:394)

gangguan identitas disosiatif adalah bentuk disosiasi yang

dramatis dimana penderita mengembangkan dua atau lebih

kepribadian yang terpisah dan biasanya jelas berbeda. Hal


tersebut disebabkan karena adanya kompleks kejiwaan dimana

tata susunan kepribadian yang satu menunjukan ciri-ciri yang

terpisah dan berlawanan dengan ciri-ciri tata susunan kepribadian

yang lain baik dalam segi emosional maupun dalam segi-segi

kognitif. Misalnya teliti dan ceroboh, alim dan gairah, acuh tak

acuh, dan sebagainya. Pergantian pribadi yang satu ke pribadi

yang lain mungkin berlangsung beberapa kali dalam sehari,

dalam satu minggu, atau dalam beberapa bulan. Penderita

biasanya tidak ingat apa yang terjadi atau mengalami amnesia.

Jika pribadi yang satu sedang berfungsi, maka pribadi yang lain

terdesak ke alam yang tidak sadar.


Pengertian dissociative identity disorder atau atau yang

sebelumnya dikenal multiple personality disorder menurut

Davidson, et al (2006:187) adalah:

A diagnosis of dissociative identity disorder (DID) requires


that a person have at least two separate ego states, or alters.
Different modes of being and feeling and acting that exist
independently of each other and that come forth and are in
control at diffrent times.

Terjemahan:

Diagnosis dissociative identity disorder (DID) adalah suatu


keadaan yang mengisyaratkan bahwa seseorang memilki
minimal dua kepribadian atau alter yang terpisah. Dengan
tipe, cara berpikir, merasa dan bertindak berbeda satu sama
lain dan muncul pada waktu yang berbeda.

Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury

(2008:50) gangguan identitas disosiatif merupakan gangguan

disosiatif yang kronis dan paling serius. Kemunculannya

biasanya berkaitan dengan adanya pengalaman traumatik dalam

kehidupannya. Individu dengan gangguan ini memiliki dua atau

lebih kepribadian yang berbeda, tingkah laku dan sikap yang

ditunjukan oleh individu sangat bergantung pada kepribadian

mana yang dominan pada saat itu serta berbeda antara satu

kepribadian dengan kepribadian yang lain.

Perubahan atau transisi dari satu kepribadian ke pribadian yang

lain biasanya berlangsung secara mendadak dan mengejutkan.


Individu biasanya mengalami amnesia terutama berkaitan dengan

apa yang dilakukan atau apa yang terjadi ketika suatu

kepribadian sedang menguasainya. Individu biasanya tidak

mampu mengingat apapun yang terjadi ketika kepribadian yang

lain sedang dominan. Namun kadangkala, ada satu kepribadian

yang tidak mengalami amnesia dan tetap memiliki kesadaran

yang penuh akan keberadaan dan aktivitas kepribadian yang lain.

Kemunculan kepribadian yang lain tersebut dapat secara

spontan. Kepribadian yang muncul tidak hanya satu jenis

kelamin saja, namun terkadang juga ada laki-laki dan

perempuan, berbagai macam usia dan ras, serta dari keluarga

yang sangat
berbeda dengan keluarga individu yang mengalami gangguan ini.

Pada umumnya kepribadian yang muncul sangat bertolak

belakang. Di suatu waktu muncul individu yang ekstrovert, di

lain waktu muncul individu yang introvert dan menarik diri.

Menurut Kaplan dan Sadock dalam Fausiah dan Widuri

(2008:52) berdasarkan suatu penelitian, menurut para ahli

diketahui bahwa populasi individu yang mengalami gangguan

identitas disosiatif berhasil diketahui bahwa 0,5 persen hingga 2

persen pasien gangguan kejiwaan yang dirawat di rumah sakit

jiwa mengalami gangguan ini dan 5 persen dari seluruh pasien

jiwa (baik yang dirawat maupun tidak) mengalami gangguan

identitas disosiatif. Dari seluruh sempel diketahui bahwa 90

hingga 100 persen individu dengan gangguan identitas disosiatif

adalah perempuan, namun peneliti memiliki keyakinan bahwa

laki-laki yang mengalami gangguan ini tidak terdeteksi atau tidak

dilaporkan karena kebanyakan laki-laki dengan gangguan ini

dimasukan kedalam penjara dan bukan kerumah sakit.

Selain itu diketahui pula bahwa dua pertiga dari seluruh

individu dengan gangguan identitas disosiatif pernah melakukan

percobaan bunuh diri ketika mereka mengalami gangguan ini.

Menurut Fausiah dan Widury (2008:52) penyebab gangguan

identitas disosiatif sejauh ini belum diketahui secara pasti, namun


berdasarkan riwayat kehidupan para psien, hampir seratus persen

dari para pasien memiliki peristiwa traumatik, terutama di masa

kanak-kanaknya. Peristiwa traumatik di masa kanak-kanak

biasanya meliputi penyiksaan fisik dan seksual. peristiwa

traumatik lainnya misalnya kematian saudara atau teman dan

menyaksikan kematian tersebut ketika individu masih kanak-

kanak. Terapi yang dilakukan dalam penyembuhan gangguan

identitas disosiatif adalah dengan menggunakan terapi

psikoanalisis. Terapi ini banyak dipilih untuk gangguan identitas

disosiatif di banding dengan gangguan psikologis lain. Terapi ini

di capa
melalui penggunaan teknik psikoanalitik dasar. Hipnosis umum digunakan

dalam penanganan gangguan identitas disosiatif (Kluff, 2003) .

Menurut Eagle (1998) terdapat beberapa jenis alat ukur yang

dapat digunakan untuk pemeriksaan psikologis bagi penderita

gangguan identitas disosiatif, yaitu Dissociative Experiences Scale

(DES), Dissociative Disorder Interview Schedule (DDIS), Brief

Symptom Inventory (BSI), Childhood Trauma Questionnaire

(CTQ), The Rorschach Test.

Menurut DSM-IV TR gejala gangguan identitas atau dissociative


identity disorder

adalah:

1. Muncul gejala Posttraumatic seperti mimpi buruk, kilasan-

kilasan kejadian (flashback) yang tidak nyaman, dan

respon-respon yang berlebihan.

2. Mutilasi diri, percobaan bunuh diri dan berlaku agresif pada

diri sendiri, dan orang lain mungkin muncul.

3. Memilki pola hubungan yang melibatkan penganiayaan fisik


dan seksual.

4. Mungkin mengalami konversi fisik seperti menjadi tahan


terhadap sakit.

5. Muncul gejala-gejala serupa dengan gangguan mood,

kecemasan, tidur, makan, dan seksual.


6. Menjadi impulsif

7. Intensitas yang tinggi dalam perubahan menjalin hubungan.

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-00354-%20JP%20Bab
%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai