Anda di halaman 1dari 16

PERAN PENTING KECERDASAN EMOSI PADA KONSELI DENGAN

GANGGUAN LOSS AND GRIEF

Oleh
Muhammad Najih Mabruk

*Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam


IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: muhammadnajihmabruk@gmail.com
Abstrak

Kehilangan (Loss) merupakan peristiwa yang siapapun individu pasti


pernah dan akan mengalaminya dalam kehidupannya, baik kehilangan harta
benda, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota tubuh atau fungsi dari anggota
tubuh, kehilangan tempat tinggal, ataupun kehilangan orang terdekat. tidak jarang
individu akan mengalami suatu gangguan seperti depresi, trauma, dan gangguan-
gangguan lain yang dapat mengahambat perkembangan ataupun aktivitas individu
akibat peristiwa kehilangan tersebut. Grief merupakan manifestasi yang muncul
ketika seseorang mengalami kehilangan. Diperlukan dukungan eksternal dan
internal, agar individu dapat kembali ke kondisi normal. Dukungan internal
diantaranya adalah kecerdasan emosi.

Keyword: Loss, Grief, Kecerdasan emosi

A. PENDAHULUAN

Kehilangan (Loss) merupakan peristiwa yang siapapun individu pasti


pernah dan akan mengalaminya dalam kehidupannya, baik kehilangan harta
benda, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota tubuh atau fungsi dari
anggota tubuh, kehilangan tempat tinggal, ataupun kehilangan orang terdekat
baik keseluruhan ataupun hanya sebagian, baik secara perlahan atupun tiba-
tiba, baik bersifat sementara ataupun selama-lamanya. Penyebab dari
kehilangan bisa karena ketidakwaspadaan, kecelakaan, bencana alam,
perceraian, ataupun kematian. Kehilangan (Loss) didefinisikan sebagai suatu
situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah
dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau
terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan (Hidayat,
2012)
Individu yang mengalami kehilangan akan berada pada keadaan
berduka (grief) karena kehilangan dan berduka merupakan suatu yang
integral., menurut Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi
emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik
karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah
bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama individu
melewati rekasi atau masa berkabung (mourning). Berduka (Grief) adalah
respon emosi yang diekspresikan ketika seseorang mengalami suatu
kehilangan yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain sebagainya (Suseno:2004)
Banyak faktor yang dapat menyebabkan loss and grief (kehilangan dan
berduka) tidak terselesaikan diantaranya adalah hubungan individu dengan
orang yang meninggalakannya, hubungan yang baik, dekat serta intim tentu
akan mempengaruhi respon berduka dari kehilangan, kedekatan yang positif
dan keintiman yang dalam akan membuat individu lebih sulit dan lama dalam
melalui tahapan dan proses loss and grief hingga individu bisa kembali pada
kondisi yang normal. Hal ini tentu akan sangat merugikan bagi kehidupannya,
selain aktifitas terhambat, perkembangan juga kesehatan akan terganggu,
apabila kondisi seperti ini dimana sedih dan kedukaan kian mendalam dan
seolah tidak kunjung berahir serta terus berlanjut tentu tidak hanya dirinya
yang akan terganggu tetapi orang disekitarnyapun turut memperoleh dampak
dan akibat buruk.
Agar individu dapat kembali ke kondisi normal diperlukan dukungan
eksternal dan internal. Dukungan eksternal dipengaruhi oleh lingkungan
sosial (Ginanjar,2009) dan intenal dipengaruhi oleh 3 macam faktor
kecerdasan yang dimiliki setiap individu, yaitu kecerdasan intelektual,
kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional (Agustian, 2002)
Kecerdasan emosional diharapkan mampu menjadi suatu sistem yang
dapat menjadikan individu lebih kuat dan mampu mengatasi segala tuntutan
dan tekanan yang datang kepadanya terutama tekanan pada kondisi
kejiwaanya, sehingga individu akan mengetahui bagaimana harus bertindak
dan bersikap dengan tepat serta tidak mengganggu dan menghambat
perkembangan dan aktivitasnya. Kecerdasan emosi sangat penting dalam
menjaga individu dari segala macam gangguan baik dari lingkungan ataupun
dari sesuatu yang timbul dari dalam diri sendiri seperti berduka (grief) yang
rumit akibat kehilangan orang terdekat.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Loss
Loss adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam
hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan (Hidayat, 2012). Loss
adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan (Iyus Yosep, 179). Loss merupakan pengalaman
yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda.
Dapat diambil kesimpulan dari definsi-definisi di atas bahwa
Loss adalah sebuah perasaan pada diri individu yang diakibatkan dari
peristiwa menjadi tidak adanya suatu hal baik orang atau apapun yang
sebelumnya ada. Peristiwa tersebut bisa berupa kematian, perceraian,
kecelakaan, bencana alam, PHK, dan lain lain. Kehilangan akibat
kematian merupakan kehilangan yang paling berat dan sulit diterima,
seperti yang diungkapkan oleh suntrock (2004) kehilangan dapat
datang dalam kehidupan dengan berbagai bentuknya seperti
perceraian, kehilangan pekerjaan, matinya binatang peliharaan, tetapi
tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian seseorang yang
dicintai dan disayangi seperti orang tua, saudara kandung, pasangan
hidup, sanak saudara atau teman.
b. Pengertian Grief
Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi
emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan
baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan
istilah bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama
individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning). Berikut ini
beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) :
1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk
sementara.
2. Berduka antisipatif, yaitu proses ‘melepaskan diri’ yang muncul
sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan di
dunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju
ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam
hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak
dapat diakui secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan
karena AIDS, anak yang mengalami kematian orang tua tiri, atau
ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

Glick, dkk (dalam Lemme, 1995: 201), menjelaskan bahwa tahap


grief dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Tahap inisial respon
Tahap pertama ini dimulai ketika peristiwa kematian
terjadi dan selama masa pemakaman dan ritual-ritual lain dalam
melepas kematian orang yang disayangi. Reaksi awal terhadap
kematian orang yang disayangi pada tahap ini meliputi shock atau
kaget dan mengalami perasaan tidak percaya.
Seseorang yang ditinggalakan akan merasa mati rasa,
bingung, merasa kosong, hampa, dan mengalami disorientasi atau
tidak dapat menentukan arah. Perasaan-perasaan yang muncul
sebagai reaksi awal tersebut berfungsi sebagai perisai yang
melindungi orang yang ditinggalkan dari rasa kehilangan, serta
memberi jalan bagi perasaan duka yang mendalam untuk beberapa
hari kedepan. Perasaan tersebut diekspresikan melalui menangis
dalam periode yang panjang dan bersamaan dengan itu orang
yang ditinggalkan merasa ketakutan dan mengalami generalized
anxiety. Symptom fisiologis yang terjadi meliputi: perasaan kosong
pada bagian perut, nafas menjadi pendek, merasa “ketat” (seperti
tercekik) pada tenggorokan dan menghilangnya otot- otot,
kehilangan nafsu makan, dan tidak mampu untuk tidur juga
merupakan hal yang umum. Simtom-simtom tersebut akan berkurang
frekuensi dan intensitasnya seiring dengan berjalannya waktu dan
berubah menjadi kondisi lain pada tahap berikutnya.
2. Tahap intermediate
Tahapan ini adalah lanjutan dari beberapa kondisi pada tahap
sebelumnya dan timbul beberapa kondisi baru yang merupakan
lanjutan atas reaksi kondisi sebelumnya. Kemarahan, perasaan
bersalah, kerinduan, dan perasaan kesepian merupakan emosi-emosi
yang umum terjadi pada tahapan ini. Ketiga perilaku tersebut adalah
mengulangi secara terus-menerus cerita tentang bagaimana kematian
orang yang disayangi terjadi dan andai saja peristiwa tersebut bisa
dicegah, melakukan pencarian makna dari kematian yang terjadi dan
masih terus mencari mendiang orang yang disayangi. Seseorang yang
ditinggalkan akan merasakan dengan kuat adanya kehadiran mendiang
orang yang disayangi dan mengalami halusinasi (seolah-olah melihat
atau mendengar mendiang). Perilaku-perilaku ini akan berkurang
seiring dengan berjalannya waktu.
2. Tahap recovery
Pada tahap ini, pola tidur dan makan sudah kembali normal
dan orang yang ditinggalkan mulai dapat melihat masa depan dan
bahkan sudah dapat memulai hubungan yang baru. Pada tahap ini
perilaku yang muncul yaitu sudah dapat mengakui kehilangan yang
terjadi, berusaha melalui kekacauan yang emosional, menyesuaikan
dengan lingkungan tanpa kehadiran orang yang telah tiada dan
melepaskan ikatan dengan orang yang telah tiada.
Grief yang telah dijelaskan diatas tidak harus dilalui secara
berurutan, melainkan bervariasi dalam intensitas, durasi, dan tidak
dialami oleh setiap orang (Aiken, 1994). Walaupun proses grief
yang dijabarkan telah umum, namun tidak menutup kemungkinan
bahwa proses grief yang dialami seseorang tidak mengikuti garis lurus
pola tersebut (Papalia, dkk 2008: 960).
Sebuah tim psikolog Worthman & Silver 1989 (dalam Papalia, dkk
2008: 960) mengulas studi reaksi terhadap kehilangan utama
kematian mereka yang dicintai atau kehilangan: Pertama, depresi
bukanlah suatu yang universal. Dari mulai tiga minggu sampai dua
tahun setelah kehilangan mereka, hanya 15 sampai 35 persen para
janda, duda yang menunjukkan depresi. Kedua, kegagalan
menunjukkan penderitaan diawal kehilangan tidak harus mengarah
pada adanya masalah. Mereka yang amat kecewa setelah kehilangan
baru merasa sangat bermasalah dua tahun kemudian. Ketiga, tidak
semua orang harus berusaha mengatasi kehilangan atau akan
mendapatkan manfaat dari melakukan hal tersebut, sebagian orang
yang melakukan pereda duka lebih intens memiliki lebih banyak
masalah dikemudian hari. Keempat, tidak semua orang kembali normal
dengan cepat. Lebih dari 40 persen orang yang ditinggalkan
menunjukkan kecemasan tingkat menengah sampai parah hingga
empat tahun setelah kematian orang yang dicintai, terutama apabila
hal tersebut berlangsung tiba-tiba. Kelima, orang-orang tidak
selalu dapat meredakan duka mereka dan menerima.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan grief (Aiken, 1994: 164)


yaitu:
a. Hubungan individu dengan almarhum
Yaitu reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang
dialami setiap individu akan berbeda tergantung dari hubungan
individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat dilihat
hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal
diasosiasikan dengan proses grief yang sangat sulit.
b. Kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan
Merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan
usia orang yang ditinggalkan. Secara umum grief lebih menimbulkan
stress pada orang yang usianya lebih muda.
c. Proses kematian
Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan
perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada
kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan
lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal
tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
mengatasi grief.

Mereka yang mengalami kematian orang yang disayangi


tentunya membutuhkan waktu untuk dapat melewati grief yang
dialami. Bagi orang yang mengamati, tampaknya orang yang
ditinggalkan dapat kembali normal setelah beberapa minggu, namun
sebenarnya dibutuhkan waktu lebih lama untuk menghadapi masalah-
masalah emosional yang dialami selama masa berduka. Proses dan
lamanya grief pada masing-masing orang berbeda satu sama lainnya.
Setidaknya dibutuhkan waktu satu tahun untuk orang yang berduka
dapat bergerak maju dengan kehidupannya tergantung dari faktor
yang bersifat individual.
c. Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan oleh
Salovey dan Mayer pada tahun 1990 (Goleman, 2005) yaitu sebagai
kemampuan dalam memantau perasaan dan mengenali perasaan sendiri
dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan seseorang. Kecerdasan emosional
meliputi kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, suatu kesadaran
dan pemahaman tentang emosi, dan kemampuan untuk mengatur dan
mengendalikannya (Alder, 2001).
Menurut Goleman (1997), emosi merupakan suatu perasaan
dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis,
dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Lebih lanjut
Goleman berpendapat, bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang dalam rangka memotivasi diri sendiri serta kemampuan
seseorang untuk bertahan dalam menghadapi frustrasi dan
mengendalikan dorongan hati serta tidak melebih-lebihkan
kesenangan. Kemampuan seseorang untuk bisa mengatur suasana hati
dan menjaga beban agar tidak stress.
Jadi, berdasarkan pendapat Goleman tentang kecerdasan emosi,
dapat diartikan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang
dalam rangka mengendalikan segala perasaannya dalam menghadapi
segala permasalahan yang menimpa dirinya. Orang yang mempunyai
kecerdasan emosi yang tinggi adalah orang yang mampu mengatur
emosinya dengan baik ketika dia mempunyai ataupun menghadapi
segala masalah, seberat apapun masalah itu.
Patton (2000) memberikan definisi kecerdasan emosi secara
sederhana, bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan,
membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Salovey dan
Mayer (Shapiro,1997) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
himpunan bagian dan kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada
orang lain , memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini
untuk membimbing pikiran dan tindakan. Salovay dan Mayer (Shapiro,
1997) juga mengungkapkan dalam kecerdasan emosi terdapat kualitas
emosional yaitu: empati, mengungkapkan dan memahami,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, diskusi, kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan keramahan dan sikap
hormat.

Salah satu ahli yang mengklasifikasikan kecerdasan emosional


ke dalam wilayah-wilayahnya adalah Salovey (dalam Goleman, 1997).
Dalam hal ini membagi wilayah kecerdasan emosional menjadi lima
komponen atau wilayah. Wilayah-wilayah tersebut adalah:
1. Kesadaran diri. Adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam rangka mengenali perasaannya sendiri pada waktu
perasaan itu terjadi, dan juga kemampuan seseorang untuk
mengetahui diri sendirinya secara keseluruhan, baik segala potensi
yang dimiliknya ataupun atas segala yang ia inginkan. Kesadaran
diri ini akan muncul pada seseorang pada saat orang itu merasakan
sesuatu, dan kesadaran diri akan digunakan oleh orang itu sebagai
panduan untuk mengambil keputusan terhadap masalah yang
timbul tadi, dengan melihat segala kemampuan dan kepercayaan
dirinya yang ia miliki. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran diri
ini adalah dengan memberi perhatian yang terus menerus terhadap
perasaan, dimana pikiran selalu mengamati, mengidentifikasi dan
menandai emosi yang muncul.
2. Penguasaan/pengaturan diri adalah kemampuan seseorang dalam
rangka menguasai dan mengelola atas segala kondisi yang timbul
pada dirinya, baik itu impuls, sumberdaya diri ataupun perasaan.
Kalau orang itu dapat mengelola segala kondisi dirinya (emosinya)
dengan baik, maka diharapkan akan berdampak positif pada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih
kembali dari tekanan emosi.
3. Memotivasi diri sendiri. Adalah kemampuan untuk mengarahkan
dan menata emosi dan segala hasrat yang paling dalam, supaya
emosi dan hasrat yang timbul itu dapat dituntun dan dibantu dalam
pengambilan inisiatif dan bertindak secara efektif, serta untuk
bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi.
4. Empati. Adalah kemampuan seseorang dalam memahami emosi
ataupun kemampuan seseorang dalam memahami dan ikut
merasakan terhadap apa yang sedang dialami oleh orang lain,
mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan
hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dan
bergaul dengan orang lain yang sangat kompleks perbedaannya dan
dengan berbagai karakter yang kompleks pula.
5. Ketrampilan sosial. Adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk mengelola dan menangani emosinya dengan baik
ketika dia berhubungan dengan orang lain, kemampuan mengamati
dan mencermati situasi dan jaringan sosial, kemampuan untuk
berinteraksi pada situasi sosial dengan lancar dan kemampuan
untuk menggunakan ketrampilan- ketrampilan yang dimiliki untuk
mempengaruhi dan memimpin dalam situasi sosial. Dapat
dikatakan pula bahwa ketrampilan sosial adalah seni dalam
membina dan menciptakan hubungan sosial, yang didalamnya
adalah merupakan kepintaran dalam menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain.
d. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode penelitian (Moloeng,2007). Bogdan dan taylor
mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kirk dan miller
mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengtahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan
dalam peristilahannya. Lebih jauh kualitatif yang diterapkan dalam
penelitian ini ialah menggunakan format kualitatif studi kasus tipe
pendekatan penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang
dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif.

Dalam penelitian studi kasus lebih menekankan pada


penyelidikan yang mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian
rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisasikan dengan
baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut (Azwar, 2010: 8). Hal
yang ingin diketahui melalui penggunaan metode studi kasus dalam
penelitian ini adalah peran penting kecerdasan emosi pada konseli
dengan gangguan loos and grief.

e. Data Loss and Grief Pada Konseli


Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap dua orang
konseli yakni lebih lanjut disebut S1 dan S2 di klinik Tumbuh
Kembang Yamet cirebon diperoleh mengenai aspek-aspek dari loss
and grief yang meliputi jenis, sifat, kategori, dan tahapan loss and
grief yang dialami oleh masing-masing konseli. Untuk memperoleh
data tersebut dilakukan deep interview kepada masing-masing konseli,
konselor yang pernah menangani konseli, serta keluarga konseli.
Sebelum melakukan interview peneliti membuat suatu pedoman
wawancara yang mengacu pada aspek-aspek yang ada pada loss and
grief. Selain data mengenai loss and grief didapat juga data mengenai
kecerdasan emosi konseli yang meliputi 5 komponen.
Untuk lebih mempermudah data akan disajikan dengan
tabel berikut:
Koding
KODING KETERANGAN
S1 Subjek primer pertama
S2 Subjek primer kedua
VN Subjek skunder

Profil subjek primer dan skunder


Sebjek S1 S2 VN
Usia sekarang 15 17 35
Usia saat kejadian 11 13 31
Pekerjan Pelajar Pelajar Perawat
Anak ke- 4 3 -

Kecerdasan emosi subjek

Komponen S1 S2
Kesadaran diri Lemah Lemah
Pengaturan diri Lemah Lemah
Motivasi diri Lemah Lemah
Empati Lemah Lemah
Ketrampilan sosial Cukup Lemah
Loss and grief subjek

Komponen S1 S2
Jenis loss Kehilangan hidup Kehilangan hidup
Sifat loss Tiba-tiba Berangsur-angsur
Jenis grief Rumit Rumit
Fase grief Inisial-intermediate- Inisial-Intermediate-
recovery-intermediate. Recovery-Intermediate

f. Kesimpulan
Grief yang dialami oleh kedua subjek adalah grief yang
termasuk rumit meski faktor yang mempengaruhinya berbeda, jika
pada S1 faktor yang menjadikan griefnya rumit adalah attachment atau
kedekatannya dengan ibunya, sedangkan S2 meski tidak terlalu dekat
dengan ibunya namun rasa bersalahnya kepada ibunya membuat grief
yang dialaminya menjadi rumit. Kerumitan grief yang dialami oleh
kedua subjek memberi efek pada prilaku subjek. Kedua subjek menjadi
lebih sering melamun pada awal-awal kematian ibunya tersebut. Pada
subjek S1 muncul halusinasi sehingga dia sering terdengar berbicara
sendiri di dalam kamarnya, jika pada S2 muncul juga halusinasi namun
tidak sampai menimbulkan prilaku yang tidak wajar, halusinasi S2
ialah dia sering mendengar ibunya memanggil dan dia sering
mendengar suara obat-obatan ibunya yang terjatuh, selain itu S2 juga
sering memimpikan ibunya.

Pada penelitian ini didapat bahwa kecerdasan emosi yang


dimiliki oleh kedua subjek baik S1 ataupun S2 cenderung lemah ketika
mereka menghadapi kematian ibunya. Oleh karena itu mereka seoalah
terjebak pada fase grief yang mereka alami. Hal ini menunjukan peran
penting dari kecerdasan emosi itu sendiri di dalam menghadapi loss
and grief.

Pada S1 ditemukan sedikit perbedaan, yakni S1 memiliki salah


satu dari kecerdasan emosi yaitu ketrampilan sosial, hal ini
membuatnya lebih mudah untuk beranjak ke fase recovery dari
griefnya karena dengan interaksi dan terjalinnya hubungan dirinya
dengan lingkungan sekitar, dia menjadi jarang melamun dan
memikirkan ibunya sehingga fase intermediate sedikit demi sedikit
dapat berkurang meski terkadang sesekali dirinya kembali ke fase
intermediate tersebut. Sedangkan pada S2 tidak ditemukan salah
satupun dari komponen kecerdasan emosi. Sehingga kesulitan S2
dalam menghadapi grief yang dialaminya semakin sulit

Penelitian ini menunjukan rendahnya kecerdasan emosi kedua


subjek sehingga fase-fase loss and grief yang dialami oleh kedua
subjek cukup lama dan cenderung berulang bahkan hingga saat ini
subjek terkadang masih kembali ke fase intermediatenya terutama pada
S2. Loss and grief merupakan peristiwa yang cukup besar melibatkan
emosi, jika emosi-emosi tersebut tidak bisa dikelola seperti yang
terjadi pada subjek maka emosi tersebut akan membuat kondisi
seseorang tertekan. Oleh karena itu dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosi sangat berperan penting untuk
mengelola segala emosi yang muncul pada saat terjadinya loss and
grief sehingga emosi-emosi tersebut tidak menjadikan seseorang dalam
kondisi tertekan.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L. R. 1994. Dying, Death and Bereavement (3ed). Massachussets: Allyn


dan Bacon
ed). Jakarta: Erlangga.
Ginanjar Ari, 2009, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual,
Jakarta:Arga Wijaya Persada

Goleman, Daniel. (2000). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT


Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan).


Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hidayat, A, Aziz Alimul. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan


Proses Keperawatan jilid 1. Jakarta : Salemba Medika.

Lemme, B. H. 1995. Development in Adulthood. USA: Allyn & Bacon.

Moleong, Lexy J, 2013, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi . Bandung:


Remaja Rosdakarya.

th
Santrock, J. W. 2004. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup (5
Saphiro, Lawrence E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak.
Jakarta : Gramedia.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Yosep Iyus, 2014, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Bandung: PT. Rafika Aditama

Anda mungkin juga menyukai