Anda di halaman 1dari 5

Nama : Gadis Ayu Sembadra Tugas Kelompok : 4 (Empat)

Nim : 00220010 Dosen Pengampu : Tri wahyuni sukiyaningsih,SE.,M.Ak


Jurusan : Akuntansi Hari/Tanggal : Kamis, 28 Oktober 2021

ANALISIS STUDI KASUS PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

1. Dasar Hukum

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang lainnya yang


mengatur tentang pajak penghasilan yang harus dibebankan kepada setiap warga negara
Indonesia yang memiliki penghasilan atas profesinya.

2. Hak Dan Kewajiban Pemotong PPH Pasal 21

Pada Pasal 22, pasal 23 dan pasal 24 PER-16/PJ/2016 mengtur tentang hak dan
kewajiban pemotongan yakni sebagai berikut:
 Pemotong PPh Pasal 21/26 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 Pemotong wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh yang 
terutang untuk setiap bulan kalender.
 Pemotong wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh untuk masing-
masing penerima penghasilan dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan
tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
meskipun jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
 Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21/26
yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh terutang
pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa.
 Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima
pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
 Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan
PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan
berhenti bekerja.
 Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh
Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun
berkala setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
 Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dapat
dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
 PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke kantor pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari  setelah Masa Pajak
berakhir.
 Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan
penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan
melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
 Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan batas waktu pelaporan PPh
Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21/26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Subjek pajak PPh pasal 21 adalah setiap penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal
21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima honorarium dan
penerima upah serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dari pemotong pajak. Pegawai adalah setiap
orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja
baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri
atau badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Pegawai dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau
memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk di dalamnya adalah
anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus-menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
b. Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya
menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
3. Bukan Subjek PPH Pasal 21
Pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
4. Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPH Pasal 21
a. Perhitungn PPH pasal 21

Penghasilan tidak teratur bagi pegawai tetap apabila kepada pegawai tatap diberikan jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain
semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh
Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut:

1. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
2. Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur tanpa tantiem, jasa produksi, dan
sebagainya.
3. Selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan b adalah PPh Pasal 21
atas penghasilan teratur tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya. Tarif pajak
yang digunakan sebagai tarif atas penghasilan yang terutang pajak penghasilan pasal
21, yaitu tarif pajak sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 1 Undang-undang
Perpajakan, kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah.
b. Penyetoran PPH pasal 21

Ada beberapa ketentuan dalam tata cara penyetoran PPh Pasal 21 yang dikutip dalam
Buku Bijak oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, antara lain:

1. Pembayaran dan penyetoran PPh dilakukan ke Kas Negara melalui: 1) layanan pada
loket/ teller (over the counter); dan/atau 2) layanan dengan menggunakan sistem
elektronik lainnya pada Bank Persepsi atau Pos Persepsi. Bank Persepsi adalah bank
umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan
negara bukan dalam rangka impor, meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri,
dan penerimaan bukan pajak. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk Menteri
Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
2. Pembayaran dan penyetoran PPh dilakukan dengan Surat Setoran Pajak (SSP) atau
sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yaitu dilakukan melalui sistem
pembayaran secara elektronik dengan menggunakan Kode Billing di teller bank/pos
persepsi, anjungan tunai mandiri (ATM), internet banking, atau EDC.
3. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran dengan sistem
pembayaran pajak secara elektronik tersebut diberikan Bukti Penerimaan Negara
(BPN) sebagai bukti setoran. BPN diterbitkan dalam bentuk:
 Dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk
pembayaran/penyetoran melalui teller dengan Kode Billing;
 Struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM dan EDC;
 Dokumen elektronik, untuk pembayaran/penyetoran melalui internet banking;
dan 4) teraan BPN pada SSP, untuk pembayaran melalui teller Bank/Pos
Persepsi dengan menggunakan SSP.
4. SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP tersebut
dinyatakan sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN)

Pajak penghasilan pasal 21 yang dipotong oleh pemotong, disetorkan dengan kode akun
pajak 411125 dan kode jenis setoran 100, dengan tanggal jatuh tempo penyetoran paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh
tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 21 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Menurut Pasal 9 Ayat 2a apabila pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atas penyetoran pajak
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
c. Pelaporan PPh Pasal 21

Menurut Waluyo (2013:79), pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 hanya menggunakan


Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21 yang diisi dengan benar, lengkap dan jelas di mana
jumlah pajak penghasilan harus sesuai dengan jumlah yang terutang di dalam Surat Setoran
Pajak (SSP) yang telah disetor, kemudian SPT tersebut ditandatangani oleh Manajer
Keuangan dengan melampirkan SPT yang telah di cap dinas terkait dan SSP yang telah di cap
oleh Bank yang telah ditunjuk serta melampirkan daftar bukti pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo penyetoran pajak yang terutang
untuk masa pajak bagi masing-masing jenis pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) hari
setelah akhir masa pajak.

5. Pencatatan PPh Pasal 21


Dalam buku yang dikutip oleh Karianto Tampubolon (2017:56), setelah melakukan
perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21, selanjutnya perusahaan
melakukan pencatatan akuntansi atau jurnal. Junal digunakan untuk mencatat
transaksitransaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Ayat jurnal yang dimaksud adalah sebagai
berikut: 7. Jika PPh Pasal 21 ditanggung oleh penerima penghasilan.

Anda mungkin juga menyukai