Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Ekonomi Perpajakan”

Dosen Pengampu:

Ayu Febri Puspitasari, M.AB

Disusun Oleh:
Kelompok 3

1. Tutut Dwi Yanti (126402202164)


2. Uswatun Khasanah (126402202165)
3. Risma Ayu Oktaviani (126402203174)
4. Adelya Permata Salshabilla (126402203175)
5. Fredi Dwi Prastyo (126402203187)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH 5D


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2022
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PEMBAHASAN .................................................................................... 1


A. Pemotongan PPh pasal 21..................................................................... 1
B. Wajib pajak PPh pasal 21 ..................................................................... 4
C. Tarif pajak dan penerapannya............................................................... 7
D. Kasus dan Pembahasan PPh Pasal 21...................................................13
BAB II PENUTUP ............................................................................................ 18
A. Kesimpulan ........................................................................................... 18
B. Saran ..................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 20

ii
BAB I

PEMBAHASAN

A. Pemotong Pajak PPh Pasal 21


Pemotong PPh Pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 17 Tahun 2000 dan terakhir UU No. 36 Tahun 2008 untuk memotong PPh
Pasal 21. Termasuk pemotong PPh Pasal 21 dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/ KMK.03/2008 adalah:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari:
a. orang pribadi dan badan,
b. cabang, perwakilan, atau unit dalam hal yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi tang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, dan unit tersebut.
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa
pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan
lain yang membayar uang uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar:
a. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk
dan atas nama persekutuannya.

1
b. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
subjek pajak luar negeri.
c. Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
pelatihan, dan magang.
5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apa pun kepada wajib pajak orang pribadi dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:
a. Kantor perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan
pekerejaan rumah tanga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas;
d. jika organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan tersebut, organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.1

Adapun hak dari pemotong PPh Pasal 21 yaitu:


a. Pemotong Pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal 21 yang
terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam 1 (satu) tahun takwim
lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 21 yang telah disetor. Jumlah kelebihan
tersebut akan diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji untuk

1
Siti Resmi, Perpajakan: Teori dan Kasus, (Jakarta: Salemba Empat, 2016), hal. 182—183

2
bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa
kelebihan, diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
b. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21. Permohonan
diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim
berikutnya dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh
Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21
yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.
c. Pemotong Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan
permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak.2

Sedangkan kewajiban pemotong PPh Pasal 21 adalah:


a. Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau
Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
b. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam
rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau
Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
c. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21
yang terutang untuk setiap akhir bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milk Daerah (BUMD), atau bank-
bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.
d. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut sekalipun
nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya
pada tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya.

2
Ibid., hal. 183

3
e. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta
maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi
bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan
hari tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
f. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada
pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan
formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan
setelah tahun pajak berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun
pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan tersebut diberikan oleh
pemberi kerja yang bersangkutan selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai
yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.3

B. Wajib Pajak PPh Pasal 21


Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan:
1. Pegawai;
2. penerima uang pesangon, penasiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a. tenaga ahil yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman
lainnya;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;

3
Ibid., hal. 184

4
f. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan system
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g. agen iklan;
h. pengawas atau pengelola proyek;
i. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
j. petugas penjaja barang dagangan;
k. petugas dinas luar asuransi;
l. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
4. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada Pursahaan yang sama;
5. mantan pegwai; dan/atau
6. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu.
d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e. Peserta kegiatan lainnya.4

Yang tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21:
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia

4
Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2016), hal. 201—202

5
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak
menjalankan usahamatau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.5

Adapun beberapa hak-hak dari Wajib Pajak yaitu:


1. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada Pemotong
Pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari PPh untuk
tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
2. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak,
jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa
Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan
surat keberatan ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal
pemotongan, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan.
3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan alas an yang jelas, dan dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
Apabila badan peradilan pajak belum terbentuk, maka permohonan banding

5
Siti Resmi, Perpajakan: Teori dan Kasus……, 185—186

6
dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara6.

Sedangkan kewajiban dari Wajib Pajak yaitu:


1. Wajib Pajak (penerima penghasilan) wajib menyerahkan surat pernyataan kepada
Pemotong Pajak, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada suatu tahun
takwim, untuk mendapatkan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Penyerahan tersebut dilakukan pada saat mulai bekerja, atau pada
permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri, atau mulai pensiun, atau dalam
hal teriadi perubahan tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan
tahun takwim. Wajib Pajak berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan
PPh Pasal 21 kepada:
a. Pemotong Pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan
dipindahtugaskan.
b. Pemotong Pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah
kerja.
c. Pemotong Pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima
pensiun dalam tahun berjalan.
2. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang
Pribadi jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja.7

C. Tarif Pajak dan Penerapannya


PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak secara umum diformulasikan
sebagai berikut:

PPh Pasal 21 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

❖ Tarif PPh Pasal 21


Beberapa tarif berikut ini digunakan sebagai dasar menghitung PPh Pasal 21.

6
Ibid., hal. 186
7
Ibid., hal. 187

7
a. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang
saat ini sudah diperbarui dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh tahun 2021,
dengan ketentuan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Rp0 s.d. Rp60.000.000,- 5%
Di atas Rp60.000.000,- s.d. Rp250.000.000,- 15%
Di atas Rp250.000.000,- s.d. Rp500.000.000,- 25%
Di atas Rp500.000.000 s.d. Rp5 miliar 30%
Di atas Rp5 miliar 35%
Sumber: www.online-pajak.com 8
b. Tarif khusus
a. Tarif khusus yang diterapkan atas penghasilan dengan nama apa pun yang
bersumber dari APBN atau APBD yang diterima oleh Pejabat PNS,
anggota TNI/Polri, dan pensiunannya, yaitu sebagai berikut:
1) Tarif 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS
Golongan dan Golongan II, Anggota TNI/Polri Golongan Pangkat
Perwira Tamtama dan Bintara, dan pensiunannya.
2) Tarif 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalah bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI/Polri Golongan Pangkat Perwira Pertama,
dan pensiunannya.
3) Tarif 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalah bagi PNS
Golongan IV, Anggota TNI/Polri Golongan Pangkat Perwira
Menengah dan Tinggi, dan pensiunannya.

b. Tarif khusus diterapkan atas penghasilan berupa uang pensiun yang


diterima sekaligus, yaitu sebagai berikut:
1) Tarif 0% dari penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.
2) Tarif 5% dari penghasilan bruto di atas Rp50.000.000 sampai dengan
Rp100.000.000.

8
Online Pajak, “PPh Pasal 17” dalam https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/tarif-
pasal-17, diakses 12 September 2022

8
3) Tarif 15% dari penghasilan bruto di atas Rp100.000.000 sampai
dengan Rp500.000.000.
4) Tarif 25% dari penghasilan bruto di atas Rp500.000.000.

c. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan berupa uang manfaat


pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
1) Tarif 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.
2) Tarif 5% atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.

d. Tarif khusus 5% atas upah/uang saku harian, mingguan, borongan, satuan


yang diterima oleh tenaga kerja lepas yang mempunyai total upah sebulan
kurang dari Rp4.500.000,- (dibayarkan tidak secara bulanan).

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi lebih tinggi 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan NPWP. Artinya jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21. Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan
cara menunjukkan kartu NPWP. Pemotongan PPh Pasal 21 seperti ini hanya
berlaku untuk pemotongan PPh pasal 21 yang bersifat tidak final.9

❖ Penerapan Tarif PPh Pasal 21


Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Pasal 21
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
dari:
a. Pegawai tetap;
b. Penerima pensium berkala;

9
Siti Resmi, Perpajakan: Teori dan Kasus….., hal. 189—190

9
c. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender
telah melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah); dan
d. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar:


a. Bagi pegawai tetap
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar
penghasilan neto dikurangi PTKP. Sedangkan Penghasilan neto dihitung
seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
1) Biaya jabatan;
2) Iuran iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

PPh Pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif Ps 17 UU PPh


= (Penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan bruto - Biaya Jabatan - iuran pensiun
dan iuran THT/JHT yang dibayar sendiri - PTKP) x
tarif Ps 17 UU PPh

b. Bagi penerima pensiun berkala


Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi penerima pensiun berkala adalah
sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP. Besarnya penghasilan neto
adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun.
Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

10
PPh Pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan bruto - Biaya Pensiun- PTKP) x tarif Ps
17 UU PPh

c. Bagi pegawai tidak tetap yang dibayar secara bulanan


Bagi pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan
kalender telah melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu
rupiah), besarnya Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar penghasilan
bruto dikurangi PTKP. Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

PPh Pasal 21 = (Penghasilan bruto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh

2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan,
dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara
bulanan, tarif lapisan pertama Pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 450.000,00 (empat
ratus lima puluh ribu rupiah), atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenamya dalam hal jum
lah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah).
Dalam hal jumlah pengasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp 8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah, PPh Pasal 21
dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah Penghasilan
Kena Pajak yang disetahunkan.

3. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah kumulatif dari:


a. Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh

11
bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan,
yang memenuhi ketentuan:
- yang bersangkutan telah mempunyai NPWP,
- hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu
Pemotong PPh Pasal 21, serta
- tidak memperoleh penghasilan lainnya.

PPh Pasal 21 = 50% x (Kumulatif Penghasilan bruto - PTKP) x tarif


Ps 17 UU PPh

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka yang dijadikan dasar


adalah jumlah penghasilan bruto, yaitu:

PPh Pasal 21 = 50% x Kumulatif Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU


PPh

b. Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat


tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama.

PPh Pasal 21 = Kumulatif Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh

c. Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus


atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai.

PPh Pasal 21 = Kumulatif Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh

d. Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta


program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

12
PPh Pasal 21 = Kumulatif Penghasilan bruto x tarif Ps 17 UU PPh

4. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah penghasilan


bruto
a. Untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak
bersifat berkesinambungan;
b. Untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang
terima oleh peserta kegiatan.

Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan
atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan
negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.

Catatan: Dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang
melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah
penghasilan bruto ada lah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui
rumah sakit dan/atau klinik. sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh
rumah sakit dan/atau klinik.10

D. Kasus dan Pembahasan PPh Pasal 21


1. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai
Tetap dengan Gaji Bulanan
Contoh Soal (Kasus):
Hermawan pegawai pada perusahaan PT Sahrir Buana, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp. 2.000.000,00. PT Sahrir Buana mengikuti program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 30% dari

10
Mardiasmo, Perpajakan……, hal. 206—209

13
dari gaji, sedangkan Hermawan membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00%
dari gaji setiap bulan. Disamping itu, PT Sahrir Buana juga mengikuti program
pensiun untuk pegawainya. PT Sahrir Buana membayar iuran pensiun untuk
Hermawan ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan setiap bulan sebesar Rp. 100.000,00, sedangkan Hermawan membayar
iuran pensiun sebesar Rp. 50.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21:


Gaji sebulan Rp. 2.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp. 10.000,00
Premi Jaminan Kematian Rp. 6.000,00 +
Penghasilan Bruto Rp. 2.016.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan Rp. 100.800,00
2. Iuran Pensiun Rp. 50.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 40.000,00 +
Rp. 190.800,00

Penghasilan neto sebulan = Penghasilan bruto – Total pengurang


= Rp. 2.016.000,00 – Rp. 190.800,00
= Rp. 1.825.200,00
Penghasilan neto setahun = 12 × Rp. 1.825.200,00 = Rp. 21.902.400,00
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) setahun:
1. Untuk WP sendiri Rp. 15.840.000,00
2. Tambahan WP kawin Rp. 1.320.000,00 +
Rp. 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun = Penghasilan neto setahun – PTKP
= Rp. 21.902.400,00 – Rp. 17.160.000,00
= Rp. 4.742.400,00 atau dibulatkan Rp.
4.742.000,00
PPh Pasal 21 terutang:

14
5% × Rp. 742.000,00 = Rp. 237.100,00
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 237.100,00 ÷ 12 = Rp. 19.758,00
Catatan:
• Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang dapat
dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan atau tidak.
• Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memilih
NPWP.11

2. Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan


Berupa: Jasa Produksi, Tantiem Gratifikasi, Tunjangan Hari Raya atau
Tahun Baru, Bonus, Premi, dan Penghasilan Sejenis Lainnya yang Sifatnya
Tidak Tetap dan Pada Umumnya Diberikan Sekali Dalam Setahun.
Contoh Soal (Kasus):
Eko (tidak kawin) bekerja pada PT. Jayadika dengan memperoleh gaji sebesar Rp.
2.000.000,00 sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan Eko menerima bonus
sebesar Rp. 5.000.000,00. Setiap bulannya Eko membayar iuran pensiun ke dana
Pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp.
60.000,00.

Perhitungan PPh Pasal 21 atas bonus:


• PPh Pasal 21 atas Gaji dan bonus (setahun):
Gaji setahun (12 × Rp. 2.000.000,00) Rp. 24.000.000,00
Bonus Rp. 5.000.000,00 +
Penghasilan bruto setahun Rp. 29.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya jabatan Rp. 1.450.000,00

11
Rismawati Sudirman dan Antong Amirrudin, Perpajakan Pendekatan Teori dan Praktik di
Indonesia, (Malang: Empat Dua Media, 2012), hlm. 117—118

15
2. Iuran pensiun setahun Rp. 720.000,00 +
Rp. 2.170.000,00
Penghasilan neto setahun = Penghasilan bruto setahun – total pengurangan
= Rp. 29.000.000,00 – Rp. 2.170.000,00
= Rp. 26.830.000,00

PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak):


- Untuk WP sendiri Rp. 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun = Penghasilan neto setahun – PTKP
= Rp. 26.830.000,00 – Rp. 15.840.000,00
= Rp. 10.990.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% × Rp. 10.990.000,00 = Rp. 549.500,00

• PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun:


Gaji setahun (12 × Rp. 2.000.000,00) = Rp. 24.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya jabatan Rp. 1.200.000,00
2. Iuran pensiun setahun Rp. 720.000,00 +
Rp. 1.920.000,00
Penghasilan neto setahun = Penghasilan bruto setahun – total pengurangan
= Rp. 24.000.000,00 – Rp. 1.920.000,00
= Rp. 22.080.000,00
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak):
- Untuk WP sendiri Rp. 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun = Penghasilan neto setahun – PTKP
= Rp. 22.080.000,00 – Rp. 15.840.000,00
= Rp. 6.240.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% × Rp. 6.240.000,00 = Rp. 312.000,00

16
• PPh Pasal 21 atas Bonus
PPh Pasal 21 atas bonus
= PPh Pasal 21 atas Gaji dan bonus (setahun) – PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
= Rp. 549.500,00 – Rp. 312.000,00
= Rp. 237.500,0012

12
Ibid., hal. 124—125

17
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemotong PPh Pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan
oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 17 Tahun 2000 dan terakhir UU No. 36 Tahun 2008 untuk memotong
PPh Pasal 21.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan :
1. Pegawai
2. Penerima uang pesangon, penasiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi lebih tinggi 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP. Artinya jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21. Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu NPWP. Pemotongan PPh Pasal 21 seperti ini hanya berlaku untuk pemotongan
PPh pasal 21 yang bersifat tidak final. Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya
menurut ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah sebagai
berikut:
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
dari:
a. Pegawai tetap;
b. Penerima pensium berkala;

18
c. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah); dan
d. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah pengetahuan mengenai pajak penghasilan pasal 21. Kami menyadari
dalam penyusunan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, kami
berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah selanjutnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2019. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.


Online Pajak, “PPh Pasal 17” dalam https://www.online-pajak.com/tentang-pph-
final/tarif-pasal-17, diakses 12 September 2022.
Resmi, Siti. 2016. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Sudirman, Rismawati dan Antong Amirrudin. 2012. Perpajakan Pendekatan
Teori dan Praktik di Indonesia. Malang: Empat Dua Media.

20
21

Anda mungkin juga menyukai