Anda di halaman 1dari 190

Pelatihan Teknis Pajak Dasar

Pemotongan dan Pemungutan


Pajak Penghasilan
BAHAN AJAR
Tahun 2018

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK


Jalan Sakti Raya No. 1 Kemanggisan Jakarta Barat
Telp. (021)5481155-5481476; Fax. (021) 5481394
Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pajak

Bahan Ajar Pemotongan


dan Pemungutan PPh
Pelatihan Teknis Pajak Dasar Tahun 2018

Dudi Wahyudi, Ak., MM (Widyaiswara Madya)

April 2018

Bahan ajar ini untuk digunakan dalam Pelatihan Teknis Pajak Dasar Tahun 2018

0
BAGIAN I: PPh PASAL 21

Pemotongan PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Pada dasarnya terdapat dua bentuk
pemotongan PPh Pasal 21 yaitu:

a. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan
kegiatan yang umum di mana sifat pengenaannya tidak bersifat final. Ketentuan yang
berlaku atas jenis PPh Pasal 21 yang ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian diatur
lebih teknis lagi dalam Pearturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi. Ketentuan lain yang terkait adalah:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya


Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Pegawai Tetap Atau Pensiunan;

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian


Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan


Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan
Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan
Pajak Penghasilan.

b. Pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah berdasarkan mandat Pasal 21 ayat (5) undang-undang Pajak Penghasilan.
Terdapat dua jenis pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final, yaitu:

1
1. PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan berupa uang pesangon, uang
manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminanhari tua yang dibayarkan
sekaligus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009; dan

2. PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pejabat Negara, PNS, anggota TNI, anggota Polri dan pensiunannya berupa
penghasilan selain penghasilan yang bersifat tetap dan teratur tiap bulan seperti
honorarium dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010.

1. Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 21

Berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 21 adalah
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:

a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;

b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan


pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;

c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;

d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;

e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan


suatu kegiatan.

Dengan demikian, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan jika memenuhi ruang lingkup sebagai
berikut:

2
a. Pemotong PPh Pasal 21 yang memberikan penghasilan adalah pemberi kerja yang
membayarkan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, bendahara pemerintah yang
membayarkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, dana
pensiun, badan yang membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, dan penyelenggara
kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pekerjaan;

b. Jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan; dan

c. Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri.

Apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka PPh Pasal 21 tidak dapat diterapkan.

1.1 Pemotong PPh Pasal 21

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, yang merupakan peraturan


pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21, menegaskan kembali bahwa pemotong PPh Pasal 21
adalah sebagai berikut (Pasal 2 ayat (1)).

a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun
cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

b. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas
kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan;

c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;

d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yangmembayar :

3
1) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.

2) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;

3) honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional


dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan.

Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah (Pasal 2 ayat (2) PMK
252/PKM.03/2008):

a. kantor perwakilan Negara asing;

b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)


huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;

c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan
rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagai organisasi


internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-undang PPh,
organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.

4
1.2 Wajib Pajak Yang Dipotong PPh Pasal 21

Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri. Kemudian Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008, merinci lagi bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:

a. pegawai;

b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;

c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:

1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

3) olahragawan

4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;

6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;

7) agen iklan;

8) pengawas atau pengelola proyek;

9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

10) petugas penjaja barang dagangan;

11) petugas dinas luar asuransi;

5
12) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;

d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:

1) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,

2) ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;

3) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

4) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan


tertentu;

5) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

6) peserta kegiatan lainnya.

Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21, adalah:1

a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukanwarga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

1.3 Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21

Secara umum, penghasililan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 merinci lagi penghasilan tersebut menjadi sebagai berikut.2

1
Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
2
Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

6
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur;

b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;

c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan


sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang
manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;

d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;

f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

a. bukan Wajib pajak;

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

Berikut ini adalah penghasilan yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21:3

a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;

3
Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

7
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali natura/kenikmatan yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, dan Wajib Pajak yang dikenakan PPh
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit);

c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;

d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat
yangdibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;

e. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak


Penghasilan

Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh
Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan. Dengan demikian, apabila
PPh yang ditanggung oleh Pemerintah diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, PPh yang
dutanggung tersebut tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 bagi
penerimanya.

2. PPh Pasal 21 Pegawai Tetap

2.1 Pengertian Pegawai dan Pegawai Tetap

Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap
atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam
jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan
periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,

8
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah.4

Berdasarkan definisi di atas, pegawai bisa dibagi menjadi dua jenis, yaitu pegawai tetap dan
pegawai tidak tetap. Pengertian pegawai tetap sendiri adalah sebagai berikut:5

Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas
yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta
pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

2.2 PPh Pasal 21 Terutang

Dasar pengenaan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap adalah Penghasilan Kena Pajak. 6

Sementara itu, tarif yang diterapkan adalah tarif sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
undang Pajak Penghasilan.7 Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk
pegawai tetap dilakukan dengan menerapkan Tarif Pasal 17 terhadap Penghasilan Kena Pajak
(PKP). Jadi, rumusnya adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 21 Terutang = Tarif Pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Besaran tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh adalah sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp50.000.000,00 5%
Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan 15%
Rp250.000.000,00
Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan 25%
Rp500.000.000,00
Di atas Rp500.000.000,00 30%

4
Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
5
Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
6
Pasal 9 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
7
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

9
Adapun Penghasilan Kena Pajak diperoleh dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) terhadap Penghasilan Neto.8

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Penghasilan Neto – PTKP

Besarnya penghasolan neto bagi pegawai tetap adalah jumlah seluruh penghasilan bruto
dikurangi dengan dua jenis pengurang, yaitu:9

a. Biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan;

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – (Biaya Jabatan + Iuran Pensiun)

Besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya


Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun.10

Besarnya PTKP ditentukan oleh Pasal 7 ayat (1) UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan yang
mengubahnya. Untuk tahun 2016 dan setelahnya, besarnya PTKP berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 adalah sebagai berikut:

Status Wajib Pajak SETAHUN (Rp) Sebulan (Rp


Wajib Pajak Sendiri 54.000.000 4.500.000
Tambahan Status Kawin 4.500.000 375.000
Tambahan 1 Tanggungan Maksimal 3 4.500.000 375.000
Tanggungan

8
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
9
Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
10
Pasal 10 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016

10
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. Besarnya PTKP
untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender
ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang
bersangkutan.

Untuk pegawai tetap karyawati berlaku ketentuan PTKP bahwa apabiala karyawati
berstatus kawin, PTKP yang berlaku adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri. Dalam hal
karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat
serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau
memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Bagi
karyawati tidak kawin, PTKP yang diberikan adalah sebesar PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Contoh berikut bisa menggambarkan cara perhitungan PPh Pasal 21.

Misalkan Eka Cahya pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi dengan memperoleh
gaji setahun Rp 90.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 2.400.000,00
setahun. Eka menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang
untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut :

Penghasilan Bruto
- Gaji 90.000.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 4.500.000
90.000.000
b. Iuran Pensiun 2.400.000
Jumlah Pengurang 6.900.000
Penghasilan Neto 83.100.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 24.600.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 24.600.000 1.230.000

11
Dengan demikian PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong oleh PT Abadi terhadap gaji Eka
Cahya dalam tahun 2016 adalah Rp 1.230.000,-.

2.3 Saat Penghitungan PPh Pasal 21

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dibedakan menjaadi dua jenis penghitungan,
yaitu:

a. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa PPh Pasal 21, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap
berhenti bekerja. Penghitungan ini selanjutnya disebut penghitungan masa atau
penghitungan setiap bulan.

b. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di
mana pegawai tetap berhenti bekerja. Penghitungan kembali ini dilakukan pada bulandi
mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun, dan bulan Desember bagi
pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender. Penghitungan ini selanjutnya
disebut penghitungan tahunan.

2.4 PPh Pasal 21 Setiap Bulan

Walaupun PPh Pasal 21 terutang untuk satu tahun, tetapi dalam prakteknya gaji, tunjangan
dan lainnya pada umumnya dibayarkan setiap bulan atau pada bulan-bulan tertentu. Sesuai
prinsip “pay as you earn”, PPh Pasal 21 pun mengatur bahwa pemotongan dilakukan sesuai
dengan saat dibayarkan atau terutangnya penghasilan. Dengan demikian, karena gaji dan
penghasilan lain dibayarkan dalam periode tertentu, maka PPh Pasal 21 pun dipotong sesuai
dengan pembayaran tersebut, misalkan bulanan.

Nah, apabila dibayarkan secara bulanan, maka penghitungan PPh Pasal 21 tetap mengacu
bahwa PPh Pasal 21 terutang untuk satu tahun. Dengan demikian, penghasilan neto dalam
satu bulan dikalikan 12 dulu untuk mendapatkan perkiraan penghasilan neto dalam satu
tahun.

12
Pegawai tetap biasanya menerima penghasilan dalam dua bentuk. Pertama adalah
penghasilan teratur yang biasanya diterima rutin setiap bulan seperti gaji dan tunjangan. Yang
kedua adalah penghasilan tidak teratur yang biasanya diterima satu kali saja dalam setahun,
misalnya Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, Jasa Produksi dan sejenisnya.

2.4.1 Penghasilan Teratur

Cara menghitung PPh Pasal 21 setiap bulan untuk penghasilan teratur adalah sebagai berikut
:

I. Menghitung penghasilan neto sebulan

a. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai Tetap, terlebih dahulu dihitung
seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi
seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang
lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.

b. Untuk perusahaan yang masuk program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK),
dan premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja
merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan
asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan
penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.

c. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran
Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai
yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada BPJS Ketenagakerjaan.

II. Menghitung Penghasilan Kena Pajak dan PPh Pasal 21 Terutang

a. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12.

13
b. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib
Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari,
maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan
dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan
bulan Desember.

c. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di
atas, dikurangi dengan PTKP.

d. Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
terhadap Penghasilan Kena Pajak, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus
dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar:

a. jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dibagi dengan 12; atau

b. jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf
b dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud
pada huruf b.

III. Pembayaran Imbalan Mingguan dan Harian

a. pabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan,
maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu
dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:
1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4; dan 2) Gaji untuk masa sehari dikalikan
dengan 26

b. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan.

c. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dibagi
4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21
sebulan dibagi 26.

IV. Pembayaran Gaji Yang Berlaku Surut (Rapel)

a. rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut;

14
b. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;

c. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar
gaji baru setelah ada kenaikan;

d. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih
antara jumlah pajak yang dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud pada huruf c
dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada huruf b.

2.4.2 Penghasilan Tidak Teratur

Penghasilan tidak teratur adalah penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap
dan biasanya dibayarkan sekali setahun. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak
teratur adalah sebagai berikut.

a. Hitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.

b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa
produksi, dan sebagainya.

c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal
21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.

Berikut adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain masa pajak
Desember.

Misalkan Eko Cahyono pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi dengan
memperoleh gaji sebulan Rp 9.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp
200.000,00 sebulan. Eko menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21
setiap bulannya pada tahun 2016, selain masa pajak Desember adalah sebagai berikut.

Gaji sebulan 9.000.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 5.000.000 450.000
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 650.000
Penghasilan Neto sebulan 8.350.000

15
Penghasilan Neto setahun (12 x 8.350.000) 100.200.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 41.700.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 41.700.000 2.085.000
PPh Pasal 21 sebulan
1.920.000 : 12 173.750

Misalkan Eko Cahyono pada Contoh 1 di atas baru mulai bekerja pada bulan Maret 2016.
Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulannya pada tahun 2016, selain bulan Desember adalah
sebagai berikut.

Gaji sebulan 9.000.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 5.000.000 450.000
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 650.000
Penghasilan Neto sebulan 8.350.000
Penghasilan Neto setahun (10 x 8.350.000) 83.500.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 25.000.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 25.000.000 1.250.000
PPh Pasal 21 sebulan
1.250.000 : 10 125.000

2.5 PPh Pasal 21 Masa Pajak Desember dan Masa Pajak Terakhir
(Penghitungan Tahunan)

Masa Pajak Desember adalah masa pajak terakhir dari tahun kalender. Pada masa pajak ini
seluruh penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap sudah diketahui. Untuk itu, pada
masa pajak Desember inilah dilakukan perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk satu tahun
kalender. Hal yang sama berlaku untuk masa pajak terakhir pegawai tetap bekerja.

16
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai
tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:

a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur
maupun yang tidak teratur.

b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu
untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar
selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur
yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan,
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam
tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.

c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya
tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan
tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada pertengahan tahun,
atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap
yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.
Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan,
pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan
pegawai tetap lainnya dalam Masa Pajak yang sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang
harus disetor oleh pemotong pajak untuk Masa Pajak tersebut telah mempertimbangkan
jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak
kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja.

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada
huruf a di atas harus dilihat dari kewajiban pajak subjektifnya dalam tahun yang
bersangkutan.

Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun
mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh
Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau

17
diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama pegawai tetap yang
bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.

Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah bulan
Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan
jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun
tidak teratur, yang disetahunkan.

2.6 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap

Berikut ini adalah contoh-contoh penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang
diambil dari lampiran Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.

2.6.1 PPh Pasal 21 Setiap Bulan Selain Masa Pajak Terakhir

Contoh 1

Bambang Eko pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp8.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan,
premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Bambang Eko membayar
iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana
juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.

PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Bambang Eko ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp200.000,00,
sedangkan Bambang Eko membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Pada bulan Juli
2016 Bambang Eko hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21
bulan Juli 2016 adalah sebagai berikut:

Gaji 8.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 40.000
Premi Jaminan Kematian 24.000
Penghasilan Bruto 8.064.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 8.064.000 403.200
b. Iuran Pensiun 200.000

18
c. Iuran Jaminan Hari Tua 160.000
Jumlah Pengurang 663.200
Penghasilan Neto sebulan 7.400.800
Penghasilan Neto setahun (12 x 7.400.800) 88.809.600
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 30.309.600
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 30.309.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 30.309.000 1.515.450
PPh Pasal 21 sebulan
1.515.450 : 12 126.288

Asumsi: penerima penghasilan memiliki NPWP sehingga tidak dipotong 20% lebih tinggi.
Contoh-contoh berikutnya mengasumsikan penerima penghasilan memiliki NPWP.

2.6.1.1 PPh Pasal 21 Karyawati Kawin

Contoh 2

Tanti Agustin adalah seorang karyawati dengan status menikah tanpa anak, bekerja pada PT
Dharma Utama dengan gaji sebulan sebesar Rp8.500.000,00. Tanti Agustin membayar iuran
pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar
Rp50.000,00 sebulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah (Pemda) tempat
Tanti Agustin berdomisili yang diserahkan kepada pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya
tidak mempunyai penghasilan apapun. Pada bulan Juli 2016 selain menerima pembayaran
gaji juga menerima pembayaran atas lembur (overtime) sebesar Rp2.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016 adalah sebagai berikut:

Gaji 8.500.000
Lembur (overtime) 2.000.000
Penghasilan Bruto 10.500.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 525.000
10.500.000
b. Iuran Pensiun 50.000
Jumlah Pengurang 575.000
Penghasilan Neto sebulan 9.925.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 9.925.000) 119.100.00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

19
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 60.600.000
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 60.600.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 10.600.000 1.590.000
4.090.000
PPh Pasal 21 sebulan
4.090.000 : 12 340.833

2.6.1.2 PPh Pasal 21 Atas Gaji Mingguan dan Harian

Contoh 3

Muhammad Shodiq, pegawai pada perusahaan PT Segara Hurip, memperoleh gaji mingguan
sebesar Rp 1.500.000,00. Muhammad Shodiq telah menikah dan mempunyai seorang anak.
PT Segara Hurip masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan
premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap
bulan sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Segara Hurip membayar iuran Jaminan Hari Tua
setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Muhammad Shodiq membayar iuran pensiun
sebesar Rp50.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji. Dalam minggu kedua pada
bulan Agustus 2016 Muhammad Shodiq hanya memperoleh pembayaran berupa gaji saja
sehingga penghitungan PPh Pasal 21 untuk minggu kedua bulan Agustus adalah:

Penghasilan seminggu 1.500.000


Penghasilan sebulan 4 x 1.500.000 6.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 60.000
Premi Jaminan Kematian 18.000
Penghasilan Bruto 6.078.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 6.078.000 303.900
b. Iuran Pensiun 50.000
c. Iuran Jaminan Hari Tua 120.000
Jumlah Pengurang 473.900
Penghasilan Neto sebulan 5.604.100
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.604.100) 67.249.200
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000

20
c. Tambahan satu anak 4.500.000
Jumlah PTKP 63.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 4.249.200
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 4.249.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 4.249.000 212.450
PPh Pasal 21 sebulan
212.450 : 12 17.704
PPh Pasal 21 minggu kedua
17.704 : 4 4.426

Contoh 4

Indradi pada tahun 2016 bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT Rejo Indonusa
dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar Rp250.000,00. Indradi kawin dan
mempunyai seorang anak. PT Rejo Indonusa masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi
Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Rejo Indonusa
membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Indradi membayar
iuran pensiun Rp35.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji.

Penghasilan sehari 250.000


Penghasilan sebulan 26 x 250.000 6.500.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 65.000
Premi Jaminan Kematian 19.500
Penghasilan Bruto 6.415.500
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 6.415.500 320.775
b. Iuran Pensiun 35.000
c. Iuran Jaminan Hari Tua 135.000
Jumlah Pengurang 487.775
Penghasilan Neto sebulan 5.929.725
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.929.725) 71.156.700
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
c. Tambahan satu anak 4.500.000
Jumlah PTKP 63.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 8.156.700
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan 8.156.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 8.156.000 407.800

21
PPh Pasal 21 sebulan
407.800 : 12 33.983
PPh Pasal 21 minggu kedua
33.983 : 26 1.307

2.6.1.3 PPh Pasal 21 Atas Uang Rapel

Contoh 5

Retto pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji
sebulan Rp5.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp200.000,00. Retto menikah
tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Juni 2016 Retto menerima kenaikan gaji, menjadi
Rp6.750.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2016. Dengan adanya kenaikan gaji
yang berlaku surut tersebut maka Retto menerima rapel sejumlah Rp5.000.000,00 (selisih gaji
yang seharusnya diterima untuk masa Januari s.d. Mei 2016). Untuk menghitung PPh Pasal 21
atas uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa Januari
s.d. Mei 2016 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21 Januari sampai dengan Mei sebelum kenaikan gaji:

Gaji 5.750.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 5.750.000 287.500
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 487.500
Penghasilan Neto sebulan 5.262.500
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.262.500) 63.150.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 4.650.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 4.650.000 232.500
PPh Pasal 21 setiap bulan untuk Januari s.d. Mei
232.500 : 12 19.375

Penghitungan kembali PPh Pasal 21 Januari sampai dengan Mei setelah kenaikan gaji:

Gaji 6.750.000
Pengurang
22
a. Biaya Jabatan 5% x 6.750.000 337.500
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 537.500
Penghasilan Neto sebulan 6.212.500
Penghasilan Neto setahun (12 x 6.212.500) 74.550.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 16.050.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 16.050.000 802.500
PPh Pasal 21 setiap bulan untuk Januari s.d. Mei
232.500 : 12 66.875
PPh Pasal 21 Januari s.d. Mei seharusnya adalah
5 x 66.875 334.375
PPh Pasal 21 Januari s.d. Mei yang sudah dipotong
5 x 19.375 96.875
PPh Pasal 21 atas uang rapel 237.500

2.6.1.4 PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Tidak Teratur (bonus, THR, jasa prroduksi,
tantiem, gratifikasi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak tetap dan
umumnya diberikan sekali dalam setahun)

Contoh 6

Sudiro (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji sebesar
Rp5.000.000,00 sebulan. Pada bulan Maret 2016 Sudiro memperoleh bonus sebesar
Rp8.000.000,00, sehingga pada bulan Maret 2016 Sudiro memperoleh penghasilan berupa
gaji sebesar Rp5.000.000,00 dan bonus sebesar Rp8.000.000,00. Setiap bulannya Sudiro
membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sebesar Rp80.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa bonus adalah sebagai
berikut.

a. PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus (penghasilan setahun)

Penghasilan setahun
Gaji 12 x 5.000.000 60.000.000
Bonus 8.000.000
23
Jumlah penghasilan bruto 68.000.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 3.400.000
68.000.000
b. Iuran Pensiun 12 x 80.000 960.000
Jumlah Pengurang 4.360.000
Penghasilan Neto setahun 63.640.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 9.640.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 9.640.000 482.000
b. PPh Pasal 21 atas gaji setahun

Penghasilan setahun
Gaji 12 x 5.000.000 60.000.000
Jumlah penghasilan bruto 60.000.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan 5% x 3.400.000
60.000.000
b. Iuran Pensiun 12 x 80.000 960.000
Jumlah Pengurang 3.960.000
Penghasilan Neto setahun 56.040.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 2.040.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 2.040.000 102.000
c. PPh Pasal 21 atas bonus

PPh Pasal 21 atas bonus adalah Rp482.000 – Rp102.000 = Rp380.000.

2.6.1.5 PPh Pasal 21 Atas Pegawai Tetap Yang Mulai Bekerja di Pertengahan
Tahun

Contoh 7

Suwondo bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2016.
Suwondo menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp 15.500.000,00
dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp 150.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21

24
untuk bulan September 2016 dalam hal Suwondo hanya memperoleh penghasilan berupa gaji
adalah:

Gaji sebulan 15.500.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 15.500.000 = 775.000 500.000
b. Iuran Pensiun 150.000
Jumlah Pengurang 650.000
Penghasilan Neto sebulan 14.850.000
Penghasilan Neto setahun (4 x 14.850.000) 59.400.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 900.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 900.000 45.000
PPh Pasal 21 bulan September
45.000 : 4 11.250

2.6.1.6 PPh Pasal 21 Atas Pegawai Tetap Yang Berhenti Bekerja di Pertengahan
Tahun

Contoh 8

Sulistiyo Wibowo yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam Utama
di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2016, yang bersangkutan berhenti bekerja di PT
Mahakam Utama. Sulistiyo Wibowo setiap bulan memperoleh gaji sebesar Rp6.500.000,00
dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun yang pendiriannya
telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp 100.000,00 setiap bulan. Selama
bekerja di PT Mahakam Utama Sulistiyo Wibowo hanya menerima penghasilan berupa gaji
saja.

Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulannya, selain Septembersebagai bulan terakhir bekerja,
adalah sebagai berikut.

Gaji sebulan 6.500.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan

25
5% x 6.500.000 325.000
b. Iuran Pensiun 100.000
Jumlah Pengurang 425.000
Penghasilan Neto sebulan 6.075.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 6.075.000) 72.900.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 18.900.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 18.900.000 945.000
PPh Pasal 21 sebubulan
945.000 : 12 78.750

2.6.1.7 PPh Pasal 21 atas Imbalan dalam Bentuk Natura/Kenikmatan

PPh Ditanggung Pemberi Kerja


Contoh 9

Adi Putro adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status menikah dan
mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp6.500.000,00 sebulan dan PPh ditanggung
oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 150.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21
untuk bulan Juli 2016 dalam hal Adi Putro hanya menerima pembayaran gaji saja adalah:

Gaji sebulan 6.500.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 6.500.000 325.000
b. Iuran Pensiun 150.000
Jumlah Pengurang 425.000
Penghasilan Neto sebulan 6.025.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 6.025.000) 72.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 3 orang anak 13.500.000
Jumlah PTKP 72.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 300.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 300.000 15.000
PPh Pasal 21 sebulan

26
15.000 : 12 1.250

Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang
ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang
bersangkutan. Namun demikian, apabila emberi kerja adalah Wajib Pajak yang dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profil), maka kenikmatan berupa pajak
yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang
bersangkutan

Apabila kepada pegawai tetap diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak merupakan
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21, sama seperti tunjangan-tunjangan lainnya.

Natura/Kenikmatan Dari WP yang Dikenakan PPh Final dan Norma Penghitungan


Khusus (Deemed Profit)
Contoh 10

Maydina Aprilianto adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing
yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), pada
bulan Agustus 2016 memperoleh gaji sebesar Rp5.000.000,00 sebulan beserta beras 50 kg
dan gula 10 kg. Maydina Aprilianto berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari
beras dan gula dihitung berdasarkan harga pasar yaitu:

Gaji sebulan 5.000.000


Beras 50 x 15.000 750.000
Gula 10 x 12.000 120.000
Jumlah Penghasilan Bruto 5,870.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 5.870.000 293.500
Jumlah Pengurang 293.500
Penghasilan Neto sebulan 5.576.500
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.576.500) 66.918.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 1 orang anak 4.500.000

27
Jumlah PTKP 63.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 3.918.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 3.918.000 195.900
PPh Pasal 21 sebulan
195.900 : 12 16.325

2.6.2 PPh Pasal 21 Masa Pajak Terakhir

2.6.2.1 PPh Pasal 21 Masa Pajak Desember

Contoh 11

Sisusa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Adi
Pratama Putra dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00,
dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00.
Mulai bulan Juli 2016, Sisusa memperoleh kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi
sebesar Rp7.000.000,00.

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Juni 2016
adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan sebulan 5.500.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 5.500.000 275.000
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 475.000
Penghasilan Neto sebulan 5.025.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.025.000) 60.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 6.300.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 6.300.000 315.000
PPh Pasal 21 sebulan Januari s.d. Juni
315.000 : 12 26.250

28
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Juli-November 2016
adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan sebulan 7.000.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 7.000.000 350.000
b. Iuran Pensiun 200.000
Jumlah Pengurang 550.000
Penghasilan Neto sebulan 6.450.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 6.450.000) 77.400.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 23.400.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 23.400.000 1.170.000
PPh Pasal 21 sebulan Juli s.d. Nopember
1.170.000 : 12 97.500
Dengan demikian, PPh Pasal 21 yang dipotong dari bulan Januari sampai dengan Nopember
adalah sebagai berikut:

Bulan PPh Pasal 21 Dipotong


Januari 26.250
Pebruari 26.250
Maret 26.250
April 26.250
Mei 26.250
Juni 26.250
Juli 97.500
Agustus 97.500
September 97.500
Oktober 97.500
Nopember 97.500
Jumlah 645.000

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2016:

Penghasilan selama setahun


(6 x 5.500.000 + 6 x 7.000.000) 75.000.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 75.000.000 3.750.000
b. Iuran Pensiun 12 x 200.000 2.400.000

29
Jumlah Pengurang 6.150.000
Penghasilan Neto setahun 68.850.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 14.850.000
PPh Pasal 21 terutang tahun 2016
5% x 14.850.000 742.500
PPh Pasal 21 telah dipotong Januari s.d. Nopember 2016 645.000

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2016 97.500

2.6.2.2 PPh Pasal 21 Masa Pajak Terakhir Selain Desember

Contoh 12

Sulistiyo Wibowo yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam Utama
di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2016, yang bersangkutan berhenti bekerja di PT
Mahakam Utama. Sulistiyo Wibowo setiap bulan memperoleh gaji sebesar Rp6.500.000,00
dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun yang pendiriannya
telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp 100.000,00 setiap bulan. Selama
bekerja di PT Mahakam Utama Sulistiyo Wibowo hanya menerima penghasilan berupa gaji
saja.

Penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulannya, selain September sebagai bulan terakhir bekerja,
adalah sebagai berikut.

Gaji sebulan 6.500.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 6.500.000 325.000
b. Iuran Pensiun 100.000
Jumlah Pengurang 425.000
Penghasilan Neto sebulan 6.075.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 6.075.000) 72.900.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 18.900.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 18.900.000 945.000

30
PPh Pasal 21 setiap bulan Januari s.d. Agustus
945.000 : 12 78.750

Penghitungan PPh Pasal 21 tahunan pada masa pajak September 2016 adalah sebagai masa
pajak terakhir adalah sebagai berikut.

Penghasilan selama setahun (Januari s.d. September)


9 x 6.500.000 58.500.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 58.500.000 2.925.000
b. Iuran Pensiun 9 x 100.000 900.000
Jumlah Pengurang 3.825.000
Penghasilan Neto 9 bulan 54.675.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
Jumlah PTKP 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 675.000
PPh Pasal 21 terutang tahun 2016 (Januari s.d September)
5% x 675.000 33.750
PPh Pasal 21 telah dipotong Januari s.d. Agustus (8 x 630.000
78.750)

PPh Pasal 21 yang lebih dipotong 596.250

Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp596.250,00 dikembalikan oleh PT Mahakam


Utama kepada yang bersangkutan pada saat pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.

3. PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas

Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit
hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja. Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas menerima imbalan dalam bentuk
upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.

Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang
atau dibayarkan secara harian. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau
diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. Upah satuan adalah upah
31
atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan
berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. Upah borongan adalah upah atau
imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

3.1 Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan
Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah
Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan

Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan
Calon Pegawai yang menerima imbalan berupa upah harian, mingguan, upah satuan, upah
borongan, uang saku harian atau mingguan adalah sebagai berikut:

a. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima
atau diperoleh dalam sehari:

1) upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;

2) upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;

3) upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan

b. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi
Rp450.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang
harus dipotong

c. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi
Rp450.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi Rp450.000,00, dikalikan 5%

d. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan telah melebihi Rp4.500.000,00 dan kurang dari Rp 10.200.000,00, maka PPh
Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%

32
e. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp 10.200.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12

Berikut adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas upah harian.

Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2016 bekerja sebagai buruh
harian PT Cipta Mandiri Sejahtera. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian
sebesar Rp450.000,00.

Upah sehari 450.000


Batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh 450.000
Penghasilan Kena Pajak sehari 0

Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp4.500.000,00 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp4.500.000,00, maka PPh
Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d. hari ke-11 4.950.000


PTKP sebenarnya
11 x (54.000.000/360) 1.650.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-11 3.300.000
PPh Pasal 21 terutang s.d. hari ke-11
5% x 3.300.000 165.000
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-10 0
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 165.000
Jad, pada hari ke-11 Nurcahyo menerima upah sebesar
450.000 – 165.000 285.000
Misal Nurcahyobekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong pada hari ke-12adalah sebagai berikut:
Upah sehari 450.000
PTKP sehari 150.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 300.000 15.000
Upah bersih pada hari ke-12

33
450.000 – 15.000 435.000

Berikut ini adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas
yang mendapat imbalan dalam bentuk upah satuan.

Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada
suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang
diselesaikan yaitu Rp 125.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1
minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp3.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 :

Upah sehari adalah


Rp3.000.000,00 : 6 = Rp 500.000,00
Upah diatas Rp450.000,00 sehari
Rp500.000,00- Rp450.000,00 =Rp 50.000,00
Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp50.000,00 = Rp 300.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp300.000,00= Rp15.000,00 (Mingguan)
Contoh upah borongan:

Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp950.000,00,
pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.

Upah borongan sehari: Rp950.000,00 : 2 = Rp 475.000,00


Upah sehari diatas Rp450.000,00
Rp475.000,00 — Rp450.000,00 Rp 25.000,00
Upah borongan terutang pajak:
2 x Rp25.000,00 Rp 50.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp50.000,00 = Rp 2.500,00

34
3.2 Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan
Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara
Bulanan

PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai
yang menerima upah yang dibayarkan secara bulanan dihitung dengan cara menerapkan Tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan
setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21
hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

Berikut adalah contoh penghitungannya.

Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2016 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari kerja
dan upah sehari adalah Rp250.000,00. Bagus Hermanto menikah tetapi belum memiliki anak.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas upah bulan Januari 2016 adalah sebagai berikut.

Upah Januari 2016 20 x 250.000 5.000.000


Penghasilan Neto setahun 12 x 5.000.000 60.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
Jumlah PTKP 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak 1.500.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 1.500.000 75.000
PPh Pasal 21 sebulan
75.000 : 12 6.250

4. PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

4.1 Penerima Penghasilan Bukan Pegawai

Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai
tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan

35
dari pemberi penghasilan.11 Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi,
fee, dan penghasilan sejenis lainnya.12

Penerima penghasilan bukan pegawai terdiri dari :

a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

c. olahragawan

d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;

f. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;

g. agen iklan;

h. pengawas atau pengelola proyek;

i. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

j. petugas penjaja barang dagangan;

k. petugas dinas luar asuransi;

l. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;

11
Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
12
Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

36
4.2 Penghitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

Dasar pengenaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai adalah Penghasilan Kena
Pajak.13 Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi bukan pegawai adalah penghasilan bruto
dikurangi dengan PTKP yang dihitung secara bulanan.14 Namun demikian, Penerima
penghasilan bukan pegawai dapat memperoleh pengurangan PTKP sepanjang yang
bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan hanya memperoleh
penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh
penghasilan lainnya. Untuk mendapatkan pengurangan PTKP ini, penerima penghasilan
bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan bagi wanita kawin harus
menyerahkan fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga. 15

Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, tarif yang


dikenakan terhadap penerima penghasilan bukan pegawai adalah tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-undang Pajak Penghasilan, dengan rincian sebagai berikut:

a. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk
setiap pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang
menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan;

b. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif penghasilan bruto
sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat
berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau berdasarkan
keadaan yang sebenarnya;

c. Apabila penerima penghasilan bruto berhak atas pengurangan PTKP, Tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif Penghasilan Kena Pajak sebesar
penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai yang
dihitung setiap bulan.

13
Pasal 9 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
14
Pasal 10 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
15
Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

37
Namun demikian, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
16/PJ/2016, ketentuan penghitungan PPh Pasal 21 atas bukan pegawai adalah sebagai
berikut:

a. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan
atas jumlah kumulatif dari Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan
Pegawai yang menenuhi syarat pengurangan PTKP;

b. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan
atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak
memenuhi persyaratan pengurangan PTKP; dan

c. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan
atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
imbalan kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan.

Dengan demikian, pada dasarnya imbalan kepada bukan pegawai dibedakan menjadi dua
jenis berdasarkan sifatnya yaitu imbalan yang bersifat berkesimbungan dan imbalan yang
bersifat tidak berkesinambungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, kalau dijabarkan dalam bentuk rumus sederhana maka
perhitunganPPh Pasal 21 bagi Bukan Pegawai yang memenuhi syarat pengurangan PTKP
adalah sebagai berikut.

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif (50% Pengh. Bruto – PTKP)

Apabila bukan pegawai mendapatkan imbalan yang berkesinambungan tidak memiliki NPWP
atau memiliki penghasilan lain selain dari pemotong PPh Pasal 21, maka bukan pegawai
tersebut tidak mendapat pengurangan PTKP sehingga perhitungannya menjadi sebagai
berikut.

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif 50% Pengh. Bruto

38
Apabila bukan pegawai mendapatkan imbalan yang bersifat tidak berkesinambungan, maka
rumus penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut.

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x 50% Pengh. Bruto

Terkait dengan besarnya penghasilan bruto, ketentuannya adalah sebagai berikut.16

a. Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian
gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan;

b. Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan
bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian
tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka
besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang;
dan

c. Dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa
dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas bukan pegawai yang mendapatkan
imbalan berkesinambungan dan tidak mendapatkan pengurangan PTKP.

dr. Samudera Putra, Sp.OG merupakan dokter spesialis kebidanan dan kandungan terkenal
yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Ibu dan Anak dengan perjanjian bahwa atas
setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit
sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut

16
Pasal 10 ayat (5) dan (6) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016

39
akan dibayarkan kepada dr. Samudera Putra, Sp.OG pada setiap akhir bulan. Selain praktik di
Rumah Sakit Harapan Ibu dan Anak, dr. Samudera Putra, Sp.OG juga melakukan praktik sendiri
di klinik pribadinya, dr. Samudera Putra, Sp.OG telah memiliki NPWP dan pada tahun 2016,
jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Samudera Putra, Sp.OG di Rumah Sakit
Harapan Ibu dan Anak adalah sebagai berikut:

Bulan Jasa Dokter yang dibayar Pasien


(Rupiah)
Januari 45.000.000
Februari 49.000.000
Maret 47.000.000
April 40.000.000
Mei 44.000.000
Juni 52.000.000
Juli 40.000.000
Agustus 35.000.000
September 45.000.000
Oktober 44.000.000
Nopember 43.000.000
Desember 40.000.000
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016 yang harus
dipotong oleh RS Harapan Jantung Sehat adalah :

Jasa Dokter Dasar Dasar Tarif PPh


yang dibayar Pemotongan Pemotongan Pasal 17 Pasal 21
Bulan Pasien PPh Ps 21 PPh Ps 21 ayat (1) terutang
(Rupiah) (Rupiah) Kumulatif huruf a (Rupiah)
(Rupiah) UU PPh
(1) (2) (3)=50% x (2) (4) (5) (6)=(3) x (5)
Januari 45.000.000 22.500.000 22.500.000 5% 1.125.000
Februari 49.000.000 24.500.000 47.000.000 5% 1.225.000
3.000.000 50.000.000 5% 150.000
Maret 47.000.000 ----------------- ----------------- --------- -------------
20.500.000 70.500.000 15% 3.075.000
April 40.000.000 20.000.000 90.500.000 15% 3.000.000
Mei 44.000.000 22.000.000 112.500.000 15% 3.300.000
Juni 52.000.000 26.000.000 138.500.000 15% 3.900.000
Juli 40.000.000 20.000.000 158.500.000 15% 3.000.000
Agustus 35.000.000 17.500.000 176.000.000 15% 2.625.000
September 45.000.000 22.500.000 198.500.000 15% 3.375.000
Oktober 44.000.000 22.000.000 220.000.000 15% 3.300.000
Nopember 43.000.000 21.500.000 242.000.000 15% 3.225.000
Desember 40.000.000 8.000.000 250.000.000 15% 1.200.000
---------------- ---------------- ---------- ----------------

40
12.000.000 262.000.000 25% 3.000.000
Jumlah 524.000.000 262.000.000 35.500.000

Berikut ini adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai yang mendapatkan
pengurangan PTKP.

Ety Rahmawati adalah petugas dinas luar asuransi dari PT Tabaru Life. Suami Ety Rahmawati
telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja
pada PT Kersamanah. Ety Rahmawati telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Ety Rahmawati
hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan
telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Tabaru
Life. Pada tahun 2016, penghasilan yang diterima oleh Ety Rahmawati sebagai petugas dinas
luar asuransi dari PT Tabaru Life adalah sebagai berikut:

Bulan Komisi agen (Rupiah)


Januari 45.000.000
Februari 45.000.000
Maret 48.000.000
April 52.000.000
Mei 55.000.000
Juni 58.000.000
Juli 58.000.000
Agustus 62.000.000
September 65.000.000
Oktober 66.000.000
November 68.000.000
Desember 70.000.000
Jumlah 692.000.000
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016 adalah sebagai
berikut:

Bulan Penghasilan 50% dari PTKP Penghasilan Penghasilan Tarif PPh Pasal 21
Bruto Penghasilan (Rupiah) Kena Pajak Kena Pajak Ps. 17 Terutang
(Rupiah) Bruto (Rupiah) Kumulatif
(Rupiah)
(1) (2) (3)=50%x(2) (4) (5) (6) (7) (8)=(5)x(7)
Januari 45.000.000 22.500.000 4.500.000 18.000.000 18.000.000 5% 900.000
Februari 45.000.000 22.500.000 4.500.000 18.000.000 36.000.000 5% 900.000
14.000.000 50.000.000 5% 700.000
Maret 48.000.000 24.000.000 4.500.000 -------------- ------------- ------- ----------------
5.500.000 55.500.000 15% 825.000
April 52.000.000 26.000.000 4.500.000 21.500.000 77.000.000 15% 3.225.000

41
Mei 55.000.000 27.500.000 4.500.000 23.000.000 100.000.000 15% 3.450.000
Juni 58.000.000 29.000.000 4.500.000 24.500.000 124.500.000 15% 3.675.000
Juli 58.000.000 29.000.000 4.500.000 24.500.000 149.000.000 15% 3.675.000
Agustus 62.000.000 31.000.000 4.500.000 26.500.000 175.500.000 15% 3.975.000
September 65.000.000 32.500.000 4.500.000 28.000.000 203.500.000 15% 4.200.000
Oktober 66.000.000 33.000.000 4.500.000 28.500.000 232.000.000 15% 4.275.000
November 68.000.000 34.000.000 4.500.000 18.000.000 250.000.000 15% 2.700.000
--------------- ----------------- ----------------
11.500.000 261.500.000 25% 2.875.000
Desember 70.000.000 35.000.000 4.500.000 30.500.000 292.000.000 25% 7.625.000
Jumlah 692.000.000 346.000.000 43.000.000
Dalam hal Ety Rahmawati tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi
surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Ety Rahmawati sendiri tidak memiliki NPWP,
maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh tersebut namun tidak
memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah
sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki NPWP.

Berikut ini adalah contoh PPh Pasal 21 atas bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat
tidak berkesinambungan.

Nasrudin melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar
Rp10.000.000,00.

Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:

5% x 50% Rp10.000.000.00 = Rp250.000,00

Dalam hal Nasrudin tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi
sebesar:

5% x 120% x 50% Rp5.000.000.00 = Rp150.000,00

Berikut adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 terhadap Bukan Pegawai yang
memperkerjakan orang lain dan/atau melakukan penyerahan material/bahan.

Dedy Efriliansyah melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp
10.000.000,00. Dedy Efriliansyah mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp 180.000,00. Upah harian yang
dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain itu,
Dedy Efriliansyah membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp
1.000.000,00.

42
Jumlah penghasilan bruto adalah Rp10.000.000 – Rp4.500.000 – Rp1.000.000 = Rp4.500.000

PPh Pasal 21 yang harus dipotong = 5% x 50% x Rp4.500.000 = Rp112.500 (bila memiliki
NPWP) atau 120% x Rp112.500= Rp135.000 (bila tidak memiliki NPWP).

Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang
dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Dedy Efriliansyah mengenai upah yang harus
dikeluarkan Dedy Efriliansyah atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus
dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar :

5% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp250.000,00 (memiliki NPWP)atau 120% x


Rp250.000,00 = Rp300.000,00 (tidak memiliki NPWP).

5. PPh Pasal 21 Peserta Kegiatan

Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk
mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga,
atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.

Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku,
uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan
sejenis lainnya.

PPh Pasal 21 atas peserta kegiatan dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

Berikut adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas peserta kegiatan.

Sony Gemilang adalah seorang atlet bulutangkis profesional Indonesia yang bertempat tinggal
di Jakarta. Ia menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar
Rp200.000.000,00.

PPh Pasal 21 terutang:

43
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 150.000.000 22.500.000
Jumlah 25.000.000

6. PPh Pasal 21 Penerima Pensiun Berkala

Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima
pensiun dibedakan menjadi penghitungan pada tahun pertama pensiun dan penghitungan
tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun pertama pensiun, PPh Pasal 21 setiap bulannya dihitung
dengan cara sebagai berikut.

a. Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya
bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan
Desember;

b. penghasilan neto pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a ditambah dengan


penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari
pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang
tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;

c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud


pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas
Penghasilan Kena Pajak tersebut;

d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada huruf c dengan PPh Pasal 21 yang
terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan
yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;

e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada
huruf a.

Sedangkan Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan
selanjutnya adalah sebagai berikut:

44
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun;

b. selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap.

Berikut ini adalah contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap pada tahun terakhir
sebelum pensiun, PPh Pasal 21 uang pensiun bulanan pada tahun pertama pensiun, dan PPh
Pasal 21 uang pensiun bulanan pada tahun-tahun selanjutnya.

Hari Irawan, berstatus kawin dengan 2 (dua) orang anak yang masih menjadi tanggungan,
bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Nusa Indah Gemilang dengan gaji sebulan sebesar Rp
13.000.000,00. Hari Irawan setiap bulan membayar iuran pensiun sebesar Rp250.000,00 ke
Dana Pensiun Artha Mandiri yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku di PT Nusa Indah Gemilang terhitung mulai 1 Juli 2016,
Hari Irawan akan memasuki masa pensiun.

Penghitungan PPh Pasal 21 sebagai sebagai pegawai tetap pada tahun 2016 adalah:

Gaji sebulan 13.000.000


Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 13.000.000 = 650.000 500.000
Iuran pensiun 250.000
Jumlah Pengurang 750.000
Penghasilan Neto sebulan 12.250.000
Penghasilan Neto 6 bulan (6 x 12.250.000) 73.500.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 2 orang anak 9.500.000
Jumlah PTKP 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 6.000.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x 6.000.000 300.000
Jumlah 300.000
PPh Pasal 21 sebulan
300.000 : 6 50.000

Pada saat Hari Irawan berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun, maka pemberi kerja
memberikan bukti potongan PPh Pasal 21 (1721-A1) dengan data sebagai berikut.

45
Gaji 6 bulan 6 x 13.000.000 78.000.000
Pengurang
a. Biaya Jabatan
5% x 78.000.000 = 3.900.000 3.000.000
Iuran pensiun 6 x 250.000 1.500.000
Jumlah Pengurang 4.500.000
Penghasilan Neto 6 bulan 73.500.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 2 orang anak 9.500.000
Jumlah PTKP 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 6.000.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 6.000.000 300.000
Jumlah 300.000
PPh Pasal 21 telah dipotong
6 x 50.000 300.000
PPh Pasal 21 kurang/lebih dipotong NIHIL

Misalkan, mulai bulan Juli 2016 Hari Irawan memperoleh uang pensiun dari Dana Pensiun
Artha Mandiri sebesar Rp6.000.000,00 sebulan. Berikut adalah penghitungan PPh Pasal 21
atas uang pensiun bulanan pada tahun pertama pensiun (2016) yang dilakukan oleh Dana
Pensiun.

Uang pensiun sebulan 6.000.000


Pengurang
a. Biaya pensiun
5% x 6.000.000 = 300.000 maksimum 200.000
Penghasilan Neto sebulan 5.800.000
Penghasilan Neto 6 bulan (6 x 5.800.000) 34.800.000
Penghasilan Neto dari PT Nusa Indah Gemilang 73.500.000
Jumlah penghasilan neto tahun 2016 108.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 2 orang anak 9.500.000
Jumlah PTKP 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 40.800.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 40.800.000 2.040.000
PPh Pasal 21 terutang pada PT Nusa Indang Hemilang 300.000
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun 1.740.000
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong

46
1.740.000 : 6 290.000

Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Artha Mandiri untuk dicantumkan
dalam formulir 1721-A1:

Uang pensiun 6 bulan 6 x 6.000.000 36.000.000


Pengurang
a. Biaya Pensiun
5% x 36.000.000 = 1.800.000 maksimum 1.200.000
Penghasilan Neto 6 bulan 34.800.000
Penghasilan neto dari PT Nusa Indah Gemilang sesuai
1721-A1 73.500.000
Jumlah penghasilan neto tahun 2016 108.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 2 orang anak 9.500.000
Jumlah PTKP 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 40.800.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 40.800.000 2.040.000
PPh Pasal 21 terutang pada PT Nusa Indah Gemilang
sesuai 1721-A1 300.000
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun 1.740.000
PPh Pasal 21 telah dipotong
6 x 290.000 1.740.000
PPh Pasal 21 kurang/lebih dipotong NIHIL
Selanjutnya, penghitungan PPh Pasal 21 setiap bulan pada tahun 2017 adalah sebagai berikut.

Uang pensiun sebulan 6.000.000


Pengurang
a. Biaya pensiun
5% x 6.000.000 = 300.000 maksimum 200.000
Penghasilan Neto sebulan 5.800.000
Penghasilan Neto setahun (12 x 5.800.000) 69.600.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a. Wajib Pajak sendiri 54.000.000
b. Status Kawin 4.500.000
c. Tambahan 2 orang anak 9.500.000
Jumlah PTKP 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) 2.100.000
PPh Pasal 21 terutang
5% x 2.100.000 105.000
PPh Pasal 21 sebulan
105.000 : 12 8.750
47
7. PPh Pasal 21 Bagi Anggota Dewan Pengawas Atau Dewan Komisaris
Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap, Mantan Pegawai
Yang Menerima Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus Atau
Imbalan Lain Yang Bersifat Tidak Teratur, Dan Peserta Program
Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai Yang Menarik Dana
Pensiun

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap adalah dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-undang PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
selama satu tahun kalender. Berikut adalah contoh penghitungannya.

Aulia Rais adalah seorang komisaris di PT Media Primatama, yang bukan sebagai pegawai
tetap. Dalam tahun 2016, yaitu bulan Desember 2016 menerima honorarium sebesar Rp
60.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% X Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% X Rp 10.000.000,00 Rp 1.500.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang
bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah
diterima sebelumnya.

Penghitungan PPh Pasal 21 bagi mantan pegawai yang menerima penghasilan berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur adalah
dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh atas kumulatif jumlah

48
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama satu tahun kalender. Berikut adalah
contoh penghitungannya.

Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2016 telah berhenti
bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2016 Victoria Endah
menerima jasa produksi tahun 2014 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp55.000.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% X Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% X Rp 5.000.000,00 Rp 750.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 3.250.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan
pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang
berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah
penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah
diterima sebelumnya.

Penghitungan PPh Pasal 21 bagi peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai yang
menarik dana dari Dana Pensiun adalah dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-undang PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama satu
tahun kalender. Berikut adalah contoh penghiungannya.

Nicholas Sinulingga adalah pegawai PT Abadi Sejahtera menerima gaji Rp2.000.000,00


sebulan. PT Abadi Sejahtera mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Abadi
Sejahtera membayar iuran dana pensiun untuk Nicholas Sinulingga sebesar Rp 100.000,00
sebulan ke Dana Pensiun Abadi Sejahtera, yang merupakan dana pensiun yang dibentuk bagi
pengelolaan uang pensiun pegawai PT Abadi Sejahtera yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan. Nicholas Sinulingga membayar iuran serupa ke dana pensiun yang sama
sebesar Rp50.000,00 sebulan. Pada bulan April 2016 Nicholas Sinulingga memerlukan biaya
untuk perbaikan rumahnya, maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri
sebesar Rp20.000.000,00. Pada bulan Juni 2016 ia menarik lagi dana sebesar Rp
15.000.000,00. Kemudian pada bulan Oktober 2016 untuk keperluan lainnya ia menarik lagi
dana sebesar Rp25.000.000,00.

49
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

a. atas penarikan dana sebesar Rp20.000.000,00 pada bulan April 2016 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00.

b. atas penarikan dana sebesar Rp15.000.000,00 pada bulan Juni 2016 terutang PPh Pasal
21 sebesar 5% x Rp15.000.000,00 = Rp750.000,00

c. atas penarikan dana sebesar Rp25.000.000,00 pada bulan Oktober 2016 terutang PPh
Pasal 21 sebesar:

5% X Rp 15.000.000,00 Rp 750.000,00
15% X Rp 10.000.000,00 Rp 1.500.000,00
Jumlah Rp 2.250.000,00

8. PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang


Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang
Dibayarkan Sekaligus

Ketentuan tentang PPh Pasal 21 atas uang pesangon dan uang pensiun yang dibayarkan
sekaligus diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 berdasarkan mandat Pasal
21 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan. Adapun tatacaranya diatur oleh Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.

8.1 Jenis Penghasilan

Berikut adalah jenis penghasilan dan pengertiannya.

a. Uang Pesangon, yaitu penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan
kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

50
b. Uang Manfaat Pensiun, yaitu penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

c. Tunjangan Hari Tua, yaitu penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia
pensiun.

d. Jaminan Hari Tua, yaitu penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang
telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

8.2 Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun
Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah
badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya
membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.

8.3 Besar dan Sifat Pengenaan PPh Pasal 21

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. Penghasilan berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap
dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:

a. sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00;

51
b. sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp
100.000.000,00;

c. sebesar 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp


500.000.000,00;

d. sebesar 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00.

Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi
kerja ataudialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.Dalam hal pemberi kerja
mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola DanaPesangon Tenaga Kerja,
Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon dan pemotongan PPh Pasal 21
dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon.

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
PengelolaDana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang
Pesangon dan pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pengalihan UangPesangon tersebut.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

a. sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00;

b. sebesar 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00.

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan
caraDana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah
menerima hakatas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus. Pemotongan PPh
Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada saat pembelian anuitas seumur hidup.

8.4 Pembayaran Penghasilan Pada Tahun Ketiga dan Selanjutnya

Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan
tahun-tahun berikutnya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan

52
yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang
bersangkutan.

PPh Pasal 21 yang dipotong tersebut tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak. Atas pemotongan PPh Pasal 21 ini juga
berlaku ketentuan pemotongan 20% lebih tinggi bagi penerima penghasilan yang tidak
memiliki NPWP.

8.5 Tatacara Pemotongan

Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21
yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan
Hari Tua. Pemotong Pajak juga wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik
diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang
berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan
Hari Tua. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan serta kewajiban
memberikan bukti pemotongan, tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen). Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu
Pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak.

PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir. Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak
terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal
jatuh tempo bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

8.6 Contoh Penghitungan

Contoh 1

Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT. Asgar Manah sejak tahun 1980. PT.
Asgar Manah telah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan

53
membentuk Dana Pensiun PT. Asgar Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar
Rp 600.000.000,00 dari PT. Asgar Manah.

Selain itu, Pirman Nurjaman berhak atas manfaat pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari
Dana Pensiun PT. Asgar Manah. Pirman Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas
manfaat pensiun sebesar 20% dari manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun)
dibayarkan secara bulanan. Dana pensiun PT. Asgar Manah membayarkan Uang Manfaat
Pensiun yang dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp 300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon :

0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 400.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 (+)
Jumlah = Rp 87.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus:

0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 10.000.000,00 = Rp 500.000,00 (+)
Jumlah Rp 500.000,00
Sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat pensiun yang
dibayarkan secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Contoh 2

Apabila PT. Asgar Manah melakukan pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman
secara bertahap dengan jadwal pembayaran sebagai berikut :

a. Bulan Januari 2010 Rp 240.000.000,00


b. Bulan Januari 2011 Rp 120.000.000,00

54
c. Bulan Juli 2011 Rp 120.000.000,00
d. Bulan Januari 2012 Rp 120.000.000,00
maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang :

a. Bulan Januari 2010 :

0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 140.000.000,00 = Rp 21.000.000,00 (+)
Jumlah Rp 23.500.000,00
b. Bulan Januari 2011 :

15% x Rp 120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00

c. Bulan Juli 2011 :

15% x Rp 120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00

d. Bulan Januari 2012 :

Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif
PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan PPh
21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012 :

5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 70.000.000,00 = Rp 10.500.000,00 (+)
Jumlah = Rp 13.000.000,00

9. PPh Pasal 21 Atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN atau


APBD

Berdasarkan Pasal 21 ayat (5) Undang-undang PPh, Pemerintah dapat menetapkan tarif yang
berbeda selain tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan untuk objek

55
pemotongan PPh Pasal 21. Salah satunya adalah penetapan tarif PPh Pasal 21, atas
penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 2010 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang
Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.

Beberapa istilah penting dan definisinya yang digunakan dalam ketentuan ini adalah sebagai
berikut.

a. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang


Pokok-Pokok Kepegawaian.

b. Pegawai Negeri Sipil (PNS,) adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok-Pokok Kepegawaian.

c. Anggota Tentara Nasional Indonesi (TNI) adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

d. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah anggota POLRI


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

e. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan
yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota
POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.

f. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

g. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

9.1 Ruang Lingkup dan PPh Pasal 21 Terutang

Terdapat dua jenis penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, anggota TNI, anggota
Polri, dan pensiunannya yang menjadi beban APBN atau APBD, yaitu:

a. penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD; dan

56
b. penghasilan selain penghasilan tetap dan teratut berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD.

9.1.1 PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Tetap dan Teratur

PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi
beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi
penghasilan tetap dan teratur bagi:

a. Pejabat Negara, untuk:

a. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau

b. imbalan tetap sejenisnya,

yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan

c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur
setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain adalah gaji, uang pensiun,
dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).

Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan adalah
Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).

Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI, penghasilan netoa dalah jumlah
seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:

a. biaya jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
tentang biaya jabatan; dan

b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau
Anggota POLRI kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

57
Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.

Sementara itu, besarnya penghasilan neto bagi pensiunan ditentukan berdasarkan seluruh
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya pensiun.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh dikalikan
Penghasilan Kena Pajak di mana Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan
rupiah penuh.

Ketentuan tentang tatacara penghitungan PPh Pasal 21 terutang setiap bulan dan masa pajak
terakhir sama dengan seperti penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan PER-16/PJ/2016.

9.1.2 PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Selain Penghasilan Tetap dan Teratur

Atas penghasilan selain penghasilan penghasilan tetap dan teratr berupa honorarium atau
imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal
21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas. Adapun dasar pengenaan PPh
Pasal 21-nya adalah penghasilan bruto.

Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi
beban APBN atau APBD, adalah sebagai berikut:

a. sebesar 0% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;

b. sebesar 5% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;

c. sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan
Pensiunannya.

58
9.2 Tatacara Pemotongan

Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara


pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota. Kewajiban bendahara pemerintah terkait dengan pemotongan PPh Pasal 21
adalah:

a. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan


perundangan perpajakan; dan

b. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak.

Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan tetap dilakukan terhadap penghasilan


yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0%.Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan
pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak
yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.

Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang ditunjuk
sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran penghasilan berupa
uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan. Kewajiban
badan tersebut adalah:

a. mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan


perundangan perpajakan; dan

b. menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak.

Pemotong PPh Pasal 21 berupa bendahara pemerintah dan badan pembayar uang pensiun,
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan
setelah tahun kalender berakhir.Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota
POLRI berhenti bekerja sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21
harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.

59
Pemotong PPh Pasal 21 di atas juga memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat
final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun paling lama
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut.

PPh Pasal 21 yang dipotong, wajib disetor oleh pemotong pajak ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pemotong pajak juga, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal
21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

9.3 Contoh Penghitungan

Contoh 1

Fitria Ratna Wardika adalah PNS golongan III/d, pada bulan Maret 2011 menerima
honorarium sebagai nara sumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN
sebesar Rp. 5.000.000,00.

PPh Pasal 21 Final yang terutang: 5% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 250.000

Catatan:

PPh Pasal 21 atas honorarium sebagai nara sumber tidak ditanggung pemerintah dan
dipotong PPh Pasal 21 bersifat final.

Bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium wajib: 1) memotong PPh Pasal 21


Final dan menyetorkannya ke bank persepsi atau Kantor Pos;2) membuat bukti pemotongan
PPh Pasal Final paling lama akhir bulan dilakukan pembayaran;3) melaporkan pemotongan
PPh Pasal 21 Final melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21.

Contoh 2

Yayuk, PNS Golongan II/d, pada tanggal 21 Maret 2011 menerima honorarium sebagai salah
satu anggota Tim Kerja besar Rp. 1.500.000,00, selama 6 bulan.

PPh Pasal Final yang terutang:0% x Rp. 1.500.000,00 = Rp. 0,00

60
Catatan :

Walaupun PPh Pasal Final yang dipotong Rp. 0,00, Bendahara pemerintah wajib membuat
bukti pemotongan PPh Pasal 21 Final paling lama akhir bulan Maret 2011.

10. Latihan

Latihan 1

Tentukan apakah atas penghasilan di bawah ini terutang PPh Pasal 21 atau tidak? Berikan
alasannya.

a. Budi, seorang pengusaha bengkel, mendapatkan imbalan perbaikan kendaraan dinas CV


Harapan Abadi.

b. Tuti, seorang perias pengantin, mendapatkan imbalan jasa merias pengantin dari Ibu
Wati, seorang istri pejabat Dinas Koperasi.

c. Susi, seorang lulusan Akademi Sekretaris terkemuka, bekerja sebagai sekretaris pada
Konsulat Inggris di Semarang.

d. Joni menyewakan sebuah kendaraannya kepada PT Indo Power, perusahaan pembangkit


tenaga listrik di Jawa Tengah.

e. Rian, bekerja sebagai tenaga pembukuan paruh waktu pada Koperasi Makmur Bersama.

f. Rudi, seorang mahasiswa jurusan teknik elektro di ITB, mendapatkan hadiah sebagai juara
pertama lomba pembuatan robot yang diselenggarakan di ITS.

g. Pariyem, bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada Bapak Brojo, seorang Direktur
sebuah perusahaan di Jakarta.

h. Fina, seorang blogger traveller, mendapatkan komisi atas penayangan iklan dalam
blognya dari PT Indosense.

i. Joko, bekerja sebagai tukang bangunan pada Tuan Abrori, seorang PNS pada Pemda Kota
Depok.

j. Windi, seorang mahasiswa D III Perpajakan, mendapatkan uang magang dari PT Amanah
Jaya di Jakarta.

61
Latihan 2

Uswatun Hasanah karyawati dengan status menikah dan mempunyai tiga anak bekerja pada
PT Sinar Kembara. Suami dari Uswatun Hasanah merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil di
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Uswatun Hasanah menerima gaji Rp6.000.000,00
sebulan. PT Sinar Kembara mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan
membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, sebesar Rp60.000,00 sebulan.

Uswatun Hasanah juga membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00 sebulan, disamping itu
perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70%
dari gaji, sedangkan Uswatun Hasanah membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan
sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji.

Pada bulan Juli 2017, di samping menerima pembayaran gaji Uswatun Hasanah juga
menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp1.500.000,00 dan Tunjangan Hari Raya sebesar
Rp12.000.000,00. Hitunglah PPh Pasal 21 yang dipotong oleh PT Sinar Kembara atas
penghasilan Uswatun Hasanah bulan Juli 2017.

Latihan 3

Ahmad Hilmy pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah dan memiliki dua orang
anak, memperoleh gaji sebulan Rp10.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program BPJS
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana
menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Ahmad
Hilmy membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu
PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana
membayar iuran pensiun untuk Ahmad Hilmy ke dana pensiun, yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp300.000,00, sedangkan Ahmad
Hilmy membayar iuran pensiun sebesar Rp200.000,00.

62
Pada bulan Juni 2017, disamping mendapatkan penghasilan teratur, Ahmad Hilmy juga
mendapatkan penghasilan tidak teratur berupa Tunjangan Hari Raya sebesar
Rp15.000.000,00.

Mulai bulan September 2017, Ahmad Hilmy mendapat kenaikan gaji karena mendapatkan
promosi jabatan. Gaji Ahmad Hilmy mulai bulan September 2017 adalah Rp12.000.000,00
sebulan.

Hitunglah:

a. PPh Pasal 21 yang dipotong atas gaji bulan Januari sampai dengan Agustus 2017.
b. PPh Pasal 21 yang dipotong atas gaji bulan September sampai dengan Nopember
2017.
c. PPh Pasal 21 yang dipotong atas gaji bulan Desember 2017.

Latihan 4

Herman Rivano pegawai pada perusahaan PT Budhi Bakti, menikah dan memiliki dua orang
anak sebagai tanggungan, memperoleh gaji sebulan Rp10.000.000,00. PT Budhi Bakti
mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi
Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan
0,30% dari gaji. PT Budhi Bakti menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar
3,70% dari gaji sedangkan Herman Rivano membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00%
dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Budhi Bakti juga mengikuti program pensiun untuk
pegawainya. PT Budhi Bakti membayar iuran pensiun untuk Herman Rivano ke dana pensiun,
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar
Rp300.000,00, sedangkan Herman Rivano membayar iuran pensiun sebesar Rp200.000,00.

Sejak 1 September 2017 Herman Rivano berhenti bekerja pada PT Budhi Bakti.

Hitunglah:

a. PPh Pasal 21 yang dipotong atas gaji bulan Januari sampai dengan Juli 2017.
b. PPh Pasal 21 yang dipotong (lebih dipotong) atas gaji bulan Agustus 2017.

Mulai 1 Oktober 2017, Herman Rivano mulai bekerja sebagai pegawai PT Artha Yudha, dengan
memperoleh gaji sebulan Rp15.000.000,00. PT Artha Yudha mengikuti program BPJS

63
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Artha Yudha
menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Herman
Rivano membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Hitunglah:

a. PPh Pasal 21 yang dipotong atas gaji bulan Oktober dan November 2017.
b. PPh Pasal 21 yang dipotong (lebih dipotong) atas gaji bulan Desember 2017.

Latihan 6

Tuan Slamet Mujiono, seorang pengusaha konstruksi mempekerjakan Tukijan (TK/0 dan
berNPWP), seorang tukang bangunan sebagai pegawai lepas. Tukijan mulai diperkerjakan
pada Tuan Slamet Mujiono pada bulan Agustus 2017. Tuan Slamet Mujiono memberikan upah
harian sebesar Rp350.000 per hari. Tukijan berkerja pada bulan Agustus 2017 selama 15 hari
dan pada bulan September 2017 selama 8 hari.

a. Hitunglah PPh Pasal 21 yang harus dipotong Tuan Slamet Mujiono untuk bulan
Agustus dan September 2017!

b. Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 apabila upah dibayarkan secara bulanan?

Latihan 7

PT Indo Jaya mengunakan jasa Trisyono, SE, Ak, BKP (telah berNPWP) sebagai konsultan
pajaknya untuk menangani kewajiban-kewajiban pajak PT Indo Jaya selama tahun 2017.
Pembayaran imbalan jasa konsultasi dilakukan selama tiga kali yaitu tanggal 1 Juni 2017
Rp65.000.000,00; tanggal 1 Oktober 2017 sebesar Rp40.000.000,00; dan tanggal 10 Januari
2018 Rp40.000.000,00. Trisyono berstatus K/1 pada tanggal 1 Januari 2017, dan berstatus K/2
pada tanggal 1 Januari 2018. Hitunglah PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Abadi Jaya
untuk ketiga pembayaran tersebut!

Latihan 8

Berikut ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Tengah pada bulan Juli 2017.

64
a. mengadakan lomba penulisan karya tulis ilmiah untuk guru-guru SMA dan SMK di Jawa
Tengah. Keluar sebagai pemenang pertama adalah Ibu Titik Widiastuti, PNS golongan IV-
a, dengan mendapat hadiah Rp30.000.000,00. Pemenang kedua adalah Bapak Hani
Hadiatno, seorang guru non PNS, dengan mendapat hadiah Rp20.000.000,00. Sedangkan
pemenang ketiga adalah Ibu Endang Harini, guru PNS golongan III-c, dengan mendapat
hadiah Rp10.000.000,00.

b. Melakukan pembayaran atas perbaikan beberapa AC di kantor Dinas Pendidikan dan


Kebudayaan. Pembayaran dilakukan kepada Bapak Surjono, seorang ahli perbaikan AC.
Tagihan yang dibuat oleh Bapak Surjono meliputi imbalan jasa perbaikan AC
Rp10.000.000,00 dan penggantian spareparts AC Rp20.000.000,00.

c. Mengadakan pelatihan 2 hari metode pembelajaran berbasis teknologi informasi untuk


20 guru fisika di Semarang. Atas kegiatan tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
membayar honor dua orang narasumber yaitu Bapak Sugito, praktisi IT (non PNS), dan
Bapak Sunaryo, seorang guru PNS golongan IV-c. Masing-masing narasumber mendapat
honorarium Rp10.000.000,00. Lima belas guru PNS (golongan III) mendapatkan
honorarium diklat masing-masing Rp300.000,00. Tiga orang guru PNS (golongan IV)
mendapatkan honorarium masing-masing Rp500.000,00. Dua orang guru non PNS
mendapatkan honorarium masing-masing Rp200.000,00. Selain itu dibayarkan juga honor
kepaada Ari Supriyo (PNS golongan II-c) Rp500.000,00 sebagai imbalan menjadi asisten
narasumber.

Apabila semua penerima penghasilan memiliki NPWP, hitunglah PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh Bendahara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah atas
masing-masing penerima penghasilan di atas.

Latihan 9

Dikdik Haryadi telah bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Serua Indah sejak tahun 1990.
Sejak tanggal 1 Januari 2018 Dikdik Haryadi berhenti bekerja karena terkena Pemutusan
Hubungan Kerja. Uang pesangon dibayarkan oleh PT Serua Indah sebesar Rp300.000.000,00
pada tanggal 10 Januari 2018. Dikdik Haryadi juga berhak mendapatkan uang pensiun bulanan

65
dan uang pensiun yang dibayarkan secara sekaligus dari Dana Pensiun Serua Indah. Uang
pensiun bulanan yang didapatkan Dikdik Haryadi berjumlah Rp4.000.000,00 sebulan yang
akan dibayarkan setiap akhir bulan. Uang pensiun sekaligus berjumlah Rp120.000.000,00
yang dibayarkan pada tanggal 20 Januari 2018.

Hitunglah PPh Pasal 21 yang terutang atas semua penghasilan yang diterima Dikdik Haryadi
pada bulan Januari 2018.

Latihan 10 (SPT Masa PPh Pasal 21)

PT SAKTI JAYA adalah perusahaan yang bergerak di bidang persewaan ruangan di Jakarta.
Identitas PT SAKTI JAYA adalah sebagai berikut:

NPWP : 02.345.678.9-035.000
Alamat : Jl. Budi Raya No. 123, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530
Nomor Telpon : 021 - 5356789
Alamat Email : sakti.jaya@gmail.com
Nama Pimpinan : Gunawarman

Berikut adalah data pembayaran gaji, tunjangan dan lainnya kepada pegawai tetapnya pada
bulan Januari 2017.

No. Nama NPWP Status NIK Gaji (Rp) Tunjangan


Keluarga (Rp)
1. Gunawarman 09.223.456.7-035.000 K/3 NIK001 25.000.000 15.000.000
2. Suryana 07.567.891.8-021.000 K/1 NIK002 15.000.000 10.000.000
5. Dwi - K/2 NIK003 7.000.000 5.000.000
Asmawati
6. Dedi Muryadi - K/2 NIK004 5.000.000 2.000.000

Keterangan tambahan:

a. Setiap pegawai tetap mendapatkan tunjangan transportasi sebesar 10% dari gaji.
b. Gunawarman mendapatkan fasilitas rumah tinggal dengan beban sewa ditanggung PT
SAKTI JAYA sebesar Rp10.000.000,00 per bulan.
c. PT SAKTI JAYA mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja
dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh PT SAKTI JAYA dengan jumlah masing-masing
0,50% dan 0,30% dari gaji. PT SAKTI JAYA menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan

66
sebesar 3,70% dari gaji sedangkan setiap pegawai tetap membayar iuran Jaminan Hari
Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
d. Suami Dwi Asmawati memiliki NPWP dan bekerja pada Kementerian Kesehatan di Jakarta.
e. Pada bulan Juni 2017, semua pegawai tetap mendapatkan THR sebesar tunjangan
keluarga sebulan.
f. Mulai bulan September 2017 gaji Suryana naik menjadi Rp18.000.000,00 per bulan.
g. Mulai bulan Oktober 2017, PT SAKTI JAYA memperkerjakan tenaga harian lepas, Maskudi
(TK/0, tidak berNPWP, Nomor NIK NIK005), yang upahnya dibayarkan secara bulanan yang
melakukan pekerjaan perbaikan plafon dan atap bangunan. Upah sehari untuk Maskudi
adalah Rp300.000,00. Bulan Oktober Maskudi bekerja selama 15 hari, nulan November
2017 bekerja selama 20 hari, dan bulan Desember bekerja selama 25 hari.
h. Pada bulan Desember 217, PT SAKTI juga membayarkan penghasilan kepada selain
pegawai tetap sebagai berikut:
a. Membayarkan imbalan jasa konsultan pajak sebesar Rp75.000.000,00 kepada
Hendi Sudirman, SE, Ak, BKP (NPWP 09.876,396.2-017.000, NIK nomor NIK006).
b. Membayarkan jasa perbaikan AC kepada Trisyono (K/1) dengan NPWP
09.222.333.4-042.000 dan nomor NIK NIK007, sebesar Rp10.000.000,00 yang
terdiri dari tagihan jasa perbaikan AC Rp3.000.000,00 dan tagihan untuk sparepart
AC Rp7.000.000,00.
c. Membayar jasa pembuatan desain logo perusahaan kepada Tuan Maung San
(nomor paspor PS001), seorang warga negara Myanmar yang tinggal di Yangon,
sebesar Rp50.000.000,00.

Berdasarkan data di atas, Anda diminta untuk:

a. Menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan Januari sampai dengan
November 2017
b. Menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan Desember 2017
c. Membuat bukti potong 1721-A1 untuk seluruh pegawai tetap
d. Membuat bukti potong selain pegawai tetap bulan Desember 2017
e. Menyusun SPT Masa PPh Pasal 21 dan SSP bulan Desember 2017

67
BAGIAN II: PPh PASAL 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah salah satu bentuk pemotongan/pemungutan
Pajak Penghasilan (witholding tax) yang berlaku di Indonesia. Penghasilan yang menjadi objek
pemungutan PPh Pasal 22 adalah penghasilan yang berasal dari pembelian dan penjualan
barang-barang tertentu yang ditetapkan. Dengan demikian objek PPh Pasal 22 adalah
penjualan dan pembelian barang-barang tertentu yang ditetapkan. Penetapan ini dilakukan
oleh Menteri Keuangan.

Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa Menteri Keuangan
dapat menetapkan:

a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas


penyerahan barang;

b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan

c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.

Dalam pengertian bendahara pemerintah termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian
bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.

Badan-badan tertentu merupakan badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan


kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi
barang tertentu antara lain otomotif dan semen.

Pemungutan pajak atas penjualan barang yang sangat mewah oleh Wajib Pajak badan
tertentu akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu
sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun

68
harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat
mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Pertimbangan untuk menetapkan pemungut PPh Pasal 22 ini adalah sebagai berikut.

a. penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara
efektif dan efisien;

b. tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan

c. prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.

Adapun maksud dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan
kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan
hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final.

Menteri Keuangan juga diberi wewenang untuk mengatur tentang dasar pemungutan,
kriteria, sifat dan besarnya pungutan PPh Pasal 22.17 Besarnya pungutan yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017.
Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015.

Berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut, terdapat 11 objek pemungutan


PPh Pasal 22.

1. PPh Pasal 22 Atas Impor Barang

17
Pasal 22 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan

69
2. PPh Pasal 22 Atas Ekspor Komoditas Tambang Batubara, Mineral Logam, dan Mineral
Bukan Logam

3. PPh Pasal 22 Atas Pembayaran Pembelian Barang

4. PPh Pasal 22 Badan Usaha Tertentu

5. PPh Pasal 22 Badan Usaha Industri Semen, Kertas, Baja, Otomotif, Dan Farmasi

6. PPh Pasal 22 Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), Dan
Importir Umum Kendaraan Bermotor

7. PPh Pasal 22 Penjualan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Dan Pelumas

8. PPh Pasal 22 Industri Atau Eksportir Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Peternakan Dan
Perikanan

9. PPh Pasal 22 Pembelian Komoditas Tambang Batubara, Mineral Logam, Dan Mineral
Bukan Logam

10. PPh Pasal 22 Penjualan Emas Batangan

11. PPh Pasal 22 Penjualan Barang Yang Sangat Mewah

1. PPh Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan


Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di
Bidang Lain

1.1 PPh Pasal 22 Atas Impor Barang

Pemungut PPh Pasal 22 atas impor barang adalah Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah Importir. Besarnya PPh Pasal 22
atas impor ini adalah:

a. 10% dari Nilai Impor untuk impor barang tertentu sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017;

b. 7,5% dari Nilai Impor untuk impor barang barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017;

70
c. 2,5% dari Nilai Impor untuk impor barang selain barang tertentu dan barang tertentu
lainnya yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) kecuali impor kedelai, gandum
dan tepung terigu;

d. 0,5% dari Nilai Impor untuk impor barang berupa kedelai, gandum dan tepung terigu
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor
34/PMK.010/2017 yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API);

e. 7,5% dari Nilai Impor untuk impor barang selain barang tertentu dan barang tertentu
lainnya yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API); dan/atau

f. 7,5% dari harga jual lelang untuk barang yang tidak dikuasai.

PPh Pasal 22 impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk
dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost
Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang
impor.

Contoh :

PT Sejahtera Importindo, perusahaan importir yang memiliki API, melakukan impor mesin
cetak pada bulan Maret 2017. Harga FOB mesin tersebut adalah US$20.000. Ongkos angkut
adalah 5% dari FOB dan biaya asuransi adalah 2% dari FOB. Bea masuk atas mesin cetak adalah
20%. PPN yang dikenakan adalah 10% dan PPnBM 40%. Kurs Menteri Keuangan pada saat
impor tersebut adalah Rp13.500 untuk US$ 1. Besarnya PPh Pasal 22 impor atas impor mesin
cetak tersebut adalah :

Cost US$ 20.000


Freight 5% US$ 1.000
Insurance 2% US$ 400
Cost Insurance & Freight (CIF) US$ 21.400

71
CIF dalam Rupiah US$21,420xRp13.500/US$ Rp 288.900.000
Bea Masuk 20% Rp 57.780.000
Nilai Impor Rp 346.680.000
PPh Pasal 22 Impor 2,5% x Rp226.195.200 Rp 8.667.000

1.2 PPh Pasal 22 Atas Ekspor Komoditas Tambang Batubara, Mineral


Logam, dan Mineral Bukan Logam

Pemungut PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam adalah Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jenis
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam adalah sesuai uraian
barang dan pos tarif /Harmonized System (HS) sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal
22 adalah ekportir yang melakukan ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan
mineral bukan logam, kecuali Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.

Besarnya PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 1,5% dari nilai ekspor sebagaimana tercantum
dalam Pemberitahuan Ekspor Barang. PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi bersamaan dengan
saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.

Contoh:

PT COALINDO NUSANTARA adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penambangan


batubara di mana hasil penambangan batubaranya sebagian besar diekspor ke Tiongkok.
Pada bulan Agustus 2017, PT COALINDO NUSANTARA melakukan ekspor batubara dengan
nilai ekspor US$ 2.000.000 kepada mitra dagangnya d Tiongkok. Kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat ekspor adalah Rp13.500/US$.

Besarnya PPh Pasal 22 terutang adalah

1,5% x US$2.000.000 x Rp13.500/US$ = Rp405.000.000,00.

1.3 PPh Pasal 22 Atas Pembayaran Pembelian Barang

Pemungut PPh Pasal 22 atas pembayaran atas pembelian barang adalah:

72
a. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;

b. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang


dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

c. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS);

Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang menerima pembayaran atas
pembelian barang yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah/Kuasa Pengguna
Anggaran/pejabat penerbit SPM (Rekanan Pemerintah).

Besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

Contoh :

CV Sahabat adalah perusahaan di bidang perdagangan. Pada bulan April 2017 CV Sahabat
ditunjuk sebagai pemasok meja kursi untuk Dinas Koperasi Pemerintah Kota Palembang. Nilai
pengadaan meja kursi tersebut adalah Rp77.000.000 termasuk PPN. PPh Pasal 22 yang
dipungut oleh Bendahara Dinas Koperasi Pemkot Palembang adalah 1,5% x Rp70.000.000
atau sama dengan Rp.1.050.000,00.

1.4 PPh Pasal 22 Badan Usaha Tertentu

Pemungut PPh Pasal 22 adalah badan usaha tertentu yang meliputi:

a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan;

b. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui
pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan

73
c. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara,
meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk
Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia
Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk,
PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma
Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT
Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank
Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah.

Dalam hal badan usaha tertentu yang dimiliki langsung oleh BUMN melakukan perubahan
nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut Pasal
22. Dalam hal badan usaha tertentu tersebut tidak lagi dimiliki secara langsung oleh BUMN,
badan usaha tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut Pasal 22.

Objek pemungutannya adalah pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan


kegiatan usahanya yang dilakukan oleh badan usaha tertentu di atas. Wajib Pajak yang
dipungut PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan penjualan barang dan/atau bahan-
bahan kepada badan usaha tertentu.

Besarnya pemungutan PPh Pasal 22 adalah 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

Contoh:

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BUMN) melakukan pembelian furnitur untuk keperluan
usahanya dari PT INDO FURNITUR dengan harga Rp20.000.000.000,00 tidak termasuk PPN.
PPh Pasal 22 yang harus dipungut PT Bank Tabungan Negara dari PT INDO FURNITUR adalah
1,5% x Rp20.000.000.000,00 sama dengan Rp300.000.000,00.

1.5 PPh Pasal 22 Badan Usaha Industri Semen, Kertas, Baja, Otomotif,
Dan Farmasi

Pemungut PPh Pasal 22 adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan
hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri. Badan usaha yang bergerak dalam

74
bidang usaha industri adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri
hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.

Dengan demikian, objek pemungutan PPh Pasal 22nya adalah penjualan hasil produksi berupa
semen, kertas, baja, kendaraan bermotor, dan obat-obatan. Wajib Pajak yang dipungut PPh
Pasal 22 adalah distributor semen, kertas, baja, kendaraan bermotor, dan obat-obatan.

Besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar:

a. 0,1% dari DPP PPN atas penjualan kertas di dalam negeri;

b. 0,25% dari DPP PPN atas penjualan semua jenis semen di dalam negeri;

c. 0,45% dari DPP PPN penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di
dalam negeri;

d. 0,3% dari DPP PPN atas penjualan baja di dalam negeri;

e. 0,3% dari DPP PPN atas penjualan semua jenis obat di dalam negeri.

PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat penjualan.

Contoh :

PT Semen Sumatera adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri semen. Pada
tanggal 23 Maret 2017 PT Semen Sumatera menjual 100.000 sak semen kepada PT Andalan
dengan harga jual Rp70.000 per sak. DPP PPN adalah harga jual, yaitu 100.000 sak @Rp70.000
= Rp7.000.000.000. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh PT Semen Sumatera adalah 0,25% x
Rp7.000.000.000 atau sama dengan Rp17.500.000,00.

1.6 PPh Pasal 22 Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen


Pemegang Merek (APM), Dan Importir Umum Kendaraan
Bermotor

Pemungut PPh Pasal 22 adalah Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang
Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor. PPh Pasal 22 dikenakan atas
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM, APM dan importir
umum kendaraan bermotor. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah pembeli
kendaraan bermotor dari ATPM, APM dan importir umum kendaraan bermotor.

75
Besarnya PPh Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan
bermotor sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PajakPertambahan Nilai (DPP PPN). PPh Pasal
22 terutang dan dipungut pada saat penjualan.

Contoh:

PT Wahon Motor Indonesia, ATPM kendaraan bermotor bermerek Wahon, menjual beberapa
unit kendaraan truk bermerek Wahon kepada PT INDONUSA JAYA. Harga jual yang disepakati
adalah Rp30.000.000.000,00 ditambah biaya pengangkutan Rp200.000.000,00.

DPP PPN adalah Rp30.200.000.000,00 (harga kendaraan ditambah biaya pengangkutan). PPh
Pasal 22 yang harus dipungut oleh PT Wahon Motor Indonesia dari PT INDONUSA JAYA adalah
0,45% x Rp30.200.000.000,00 sama dengan Rp135.900.000,00.

1.7 PPh Pasal 22 Penjualan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas,
Dan Pelumas

Pemungut PPh Pasal 22 adalah produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas,
dan pelumas. Objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, dan pelumas. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang
melakukan pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas dari produsen atau
importirnya.

Besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas adalah sebagai berikut.

No. Objek PPh Pasal 22 Tarif dan Dasar Pengenaan


1. Penjulan BBM kepada SPBU yang 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN
menjual BBM yang dibeli dari
Pertamina/Anak Usaha Pertamina
2. Penjualan BBM kepada SPBU yang 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN
menjual BBM yang dibeli dari selain
Pertamina/Anak Usaha Pertamina

76
3. Penjualan BBM kepada selain SPBU 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN
4. Penjualan Bahan Bakar Gas 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN
5. Penjualan Pelumas 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN

PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang
(delivery order).

Contoh :

Pada tanggal 30 November 2017 PT Jaya yang mengelola SPBU Pertamina membeli
persediaan premium senilai Rp10.000.000.000,00 dari Pertamina. PPh Pasal 22 yang dipungut
oleh Pertamina adalah 0,25% x Rp10.000.000.000,00 = Rp25.000.000,00.

1.8 PPh Pasal 22 Industri Atau Eksportir Kehutanan, Perkebunan,


Pertanian, Peternakan Dan Perikanan

Pemungut PPh Pasal 22 adalah industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan. PPh Pasal 22 dikenakan atas pembelian
bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan
yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau
ekspornya. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan
penjualan kepada adalah industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.

Besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut atas pembelian bahan-bahan berupa hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses
industri manufaktur adalah 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai. PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Contoh:

PT KAKAO EKSPORTINDO adalah perusahaan eksportir biji coklat. Pada bulan Desember 2017
melakukan pembelian biji coklat dari pedagang pengumpul dan petani Sulawesi Selatan.
Harga beli biji coklat adalah Rp750.000.000,00 (tidak termasuk PPN). PPh Pasal 22 yang harus

77
dipungut oleh PT KAKAO EKSPORTINDO adalah 0,25% x Rp750.000.000,00. = Rp1.875.000,00.
Apabila petani dan pedagang pengumpul tidak memiliki NPWP, PPh Pasal 22 yang harus
dipungut adalah ditambah 100% nya menjadi Rp3.750.000,00.

1.9 PPh Pasal 22 Pembelian Komoditas Tambang Batubara, Mineral


Logam, Dan Mineral Bukan Logam

Pemungut PPh Pasal 22 ini adalah industri atau badan usaha yang melakukan pembelian
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau
orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan. Izin usaha pertambangan adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batubara.

Dengan demikian objek PPh Pasal 22-nya adalah pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam. Wajib Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah
badan atau orang pribadi yang menjual komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam kepada industri atau badan usaha.

PPh Pasal 22 yang dikenakan atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau
badan usaha adalah sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai. PPh Pasal 22 terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Contoh:

PT PALM OIL INDONESIA adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi CPO dengan
bahan baku berupa tandan buah segar kelapa sawit. Untuk keperluan industrinya, PT PALM
OIL INDONESIA menggunakan bahan bakar batubara. Pada bulan November 2017, PT PALM
OIL INDONESIA membeli sejumlah batubara dari CV SUMBER BATUBARA yang merupakan
perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara di Sumatera Barat dengan harga
Rp560.000.000,00,00 (tidak termasuk PPN).

PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh PT PALM OIL INDONESIA adalah 1,5% x
Rp560.000.000,00 = Rp8.400.000,00.

78
1.10 PPh Pasal 22 Penjualan Emas Batangan

Pemungut PPh Pasal 22 adalah badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan. PPh
Pasal 22 dikenakan atas penjualan emas batangan di dalam negeri. Dengan demikian, Wajib
Pajak yang dipungut PPh Pasal 22 adalah pembeli emas batangan di dalam negeri. PPh Pasal
22 yang harus dipungut adalah sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan. PPh Pasal 22
terutang dan dipungut pada saat penjualan.

Contoh:

PT UNTUNG BERSAMA adalah perusahaan produsen emas batang di mana hasil produksi
berupa emas batangan sebagian diekspor dan sebagian lagi dijual di dalam negeri. Pada bulan
November 2017 PT UNTUNG BERSAMA menjual beberapa unit emas batangan 100 gram
bersertifikat kepada PT INVESTAMA SEJAHTERA dengan harga Rp530.000.000,00.

PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh PT UNTUNG BERSAMA kepada PT INVESTAMA
SEJAHTERA adalah 0,45% x Rp530.000.000,00 adalah Rp2.385.000,00.

1.11 Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

Terdapat beberapa pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:

a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturanperundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.

b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan
Nilai:

1) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;

2) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di


Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata carapemberian
pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatnya yang bertugasdi Indonesia;

3) barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal,


sosial,kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;

79
4) barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;

5) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

6) barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

7) peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

8) barang pindahan;

9) barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, danbarang


kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuanperundang-undangan
kepabeanan;

10) barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yangditujukan
untuk kepentingan umum;

11) persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

12) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagikeperluan
pertahanan dan keamanan negara;

13) vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

14) buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku
pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;

15) kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapaltongkang, dan
suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;

16) pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya,

80
serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh
pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan
dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;

17) kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan ataupemeliharaan
serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badanusaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum, dan komponen ataubahan yang diimpor oleh pihak
yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum
dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang
digunakan untuk pembuatan kereta api, sukucadang, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan, serta prasaranaperkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasaranaperkeretaapian umum;

18) peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh KementerianPertahanan atau
Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan untukmendukung pertahanan Nasional,
yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak
yang ditunjuk oleh KementerianPertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;

19) barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau

20) barang untuk kegiatan usaha panas bumi.

c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali.

d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah dieksporuntuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syaratyang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak bendahara pemerintah/KPA/pejabat


penerbit SPM, badan usaha tertentu, industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor

81
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, serta industri atau badan
usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam, berkenaan dengan:

1) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak bendahara


pemerintah/KPA/pejabat penerbit SPM yang jumlahnya paling banyak
Rp2.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

2) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak badan usaha tertentu yang
jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00 dan tidak merupakan pembelian yang
terpecah-pecah;

3) pembayaran untuk:

i) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;

ii) pemakaian air dan listrik;

4) pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan
dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia
dari :

i) kontraktor yang melakukan eksplorasi, dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja


sama; atau

ii) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan
kontrak kerja sama;

5) pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan
kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;

6) pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,


dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan
industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, yang
jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

82
7) pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan yang telah dipungut PPh Pasal 22 atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan
usaha tertentu.

f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor.

g. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif,
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
barang yang tergolong sangat mewah.

h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan


Operasional Sekolah (BOS).

i. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan
kepada Bank Indonesia.

j. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran,
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran, atau bendahara pengeluaran),

k. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG),

l. Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan
stabilisasi harga pangan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG)
atau BUMN lain yang mendapatkan penugasan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

1.12 Sifat Pengenaan, Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan

1.12.1 Sifat Pengenaan PPh Pasal 22

Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak dinal dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak
dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang dipungut, kecuali pemungutan PPh Pasal 22 penjualan
bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada penyalur/agen yang bersifat final.

83
1.12.2 Tatacara Pemungutan dan Penyetoran

Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:

a. importir yang bersangkutan; atau

b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa,atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang
bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan. Terhadap bukti penyetoran PPh Pasal 22, Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai melakukan pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak tersebut sebagai dokumen
pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak bendahara


pemerintah/KPA/pejabat penerbit SPM/bendahara pengeluaran, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan pemungut
pajak bendahara pemerintah/KPA/pejabat penerbit SPM/bendahara pengeluaran dilakukan
dengan menggunakan formulir SSP yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

Atas pemungutan PPh Pasal 22 yang lain, PPh Pasal 22 wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pemungut Pajak wajib menerbitkan Bukti
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:

a. lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;

b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22); dan

c. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

84
1.12.3 Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak lainnya wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan
Pajak. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22, dilakukan sesuai jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran,
penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014, ketentuan tentang


penyetoran PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:

a. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

b. PPh Pasal 22 atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus
disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

c. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau pejabat
penanda tangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPh Pasal 22, harus disetor
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak
rekanan pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.

d. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran, harus disetor paling lama 7
(tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.

e. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai
Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014, batas waktu


penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut.

85
a. Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang
dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.

b. Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT
Masa PPh Pasal 22 paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.

c. Pemungut Pajak PPh Pasal 22 atas impor wajib melaporkan hasil pemungutannya secara
mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.

2. PPh Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah

Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada
Menteri Keuangan untuk menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak
dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi
kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis
barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan
kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Ketentuan yang mengatur hal ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
253/PMK.03/2008 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
90/PMK.03/2015. Ketentuan teknis di bawahnya adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
19/PJ/2015 yang diubah dengan PER-24/PJ/2015.

2.1 Ruang Lingkup

Pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang sangat mewah adalah Wajib Pajak badan
yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Barang yang tergolong
sangat mewah adalah:

a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;

b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;

c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp5.000.000.000,00 atau luas bangunan lebih dari 400m2;

86
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp5.000.000.000,00 atau luas bangunan lebih dari 150m2;

e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya,
dengan harga jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 atau dengan kapasitas silinder lebih dari
3.000cc; dan/atau

f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300.000.000,00
atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.

Harga jual merupakan batasan harga jual sehubungan dengan pembelian barang yang
tergolong sangat mewah, yaitu jumlah yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.

2.2 Sifat, Tarif dan Dasar Pengenaan

Pemungut Pajak wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 pada saat melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah. Besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah
sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Pajak Penghasilan yang dipungut dapat diperhitungkan
sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang
melakukan pembelian barang yang tergolong sangat mewah.

2.3 Tatacara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan

Pemungut Pajak wajib memberikan tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau
badan yang dipungut setiap melakukan pemungutan. Atas PPh yang dipungut, Pemungut
Pajak wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang dipungut ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
dengan menggunakan SSP. Kewajiban Pemungut Pajak ketiga adalah melaporkan hasil
pemungutannya dengan mengunakan SPT Masa ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 20
hari setelah Masa Pajak berakhir.

3. Latihan

Latihan 1

87
PT SINARAN (NPWP 02.345.543.7-015.000), sebuah perusahaan perdagangan segala jenis
barang, melakukan kegiatan dan transaksi pada bulan Juni 2017 sebagai berikut.

a. Menjual beberapa unit TV kepada Dinas Kominfo Pemkot Depok dengan harga
Rp55.000.000,00 termasuk PPN

b. Menjual alat tulis kantor sejumlah Rp1.650.000,00 termasuk PPN kepada Dinas Koperasi
Pemkot Tangerang Selatan

c. Menjual beberapa unit kursi meja kepada cabang Bank Syariah Mandiri Ciputat sebesar
Rp8.800.000,00 termasuk PPN

d. Menjual beberapa unit PC kepada Bank Jateng Cabang Tegal seharga Rp110.000.000,00
termasuk PPN.

e. Menjual beberapa setel pakaian seragam olahraga kepada Dinas Pariwisata Pemkab
Bogor sebesar Rp660.000.000,00.

f. Melakukan pembelian impor sejumlah alas kaki (termasuk barang tertentu lainnya) dari
Amerika Serikat. Harga barang $10.000, biaya asuransi $2.000 dan ongkos angkut $3.000.
Atas impor tersebut teutang bea masuk 5%. Kurs Menteri Keuangan yang berlaku adalah
Rp13.200/$ dan kurs tengah BI yang berlaku adalah $13.300/$.

g. Membeli sejumlah semen dari toko bahan bangunan CV BAROKAH JAYA senilai
Rp15.000.000,00.

h. Menjual sejumlah alat tulis kantor senilai Rp2.200.000,00 (termasuk PPN) kepada SMP
Negeri 20 Depok di mana dana pembelian tersebut berasal dari dana BOS.

i. Membeli sejumlah getah damar senilai Rp15.000.000,00 dari petani di Lampung untuk
dijual di Jakarta.

j. Membeli sejumlah komoditas tambang batubara senilai Rp100.000.000,00 dari PT ABADI,


pemegang izin usaha petambangan yang berlokasi di Kalimantan Timur

Untuk setiap transaksi di atas, tentukanlah apakah terutang PPh Pasal 22. Jika terutang,
tentukan besarnya PPh Pasal 22 terutang. Jelaskan juga mekanisme pemungutan PPh Pasal
22 nya.

Latihan 2

88
Berikut ini adalah beberapa transaksi yang terjadi pada bulan November 2017.

a. PT Indo Oil (importir BBM) menjual sejumlah bahan bakar minyak kepada PT Baja
Indonesia, sebuah perusahaan industri baja, senilai Rp500.000.000,00.

b. PT Gas Mulia, sebuah perusahaan produsen bahan bakar gas, menjual sejumlah bahan
bakar gas kepada PT Abadi Sentosa senilai Rp10.000.000.000,00.

c. PT Pertamina memasok sejumlah bahan bakar minyak kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan sejumlah Rp300.000.000,00 untuk keperluan kapal patroli.

d. Bapak Ansari, pemilik perkebunan sawit, menjual beberapa ton tandan buah segar sawit
kepada PT Indo CPO, perusahaan pengolah kelapa sawit menjadi Crude Palm Oill (CPO),
dengan harga jual Rp900.000.000,00.

e. PT Jaya Importindo, mengimpor sejumlah peralatan elektronik dari Tiongkok dengan cost
$10.000, insurance $800, dan freight $200. Bea Masuk yang dikenakan adalah 10%. Kurs
Menteri Keuangan yang berlaku pada saat impor adalah Rp13.000/$. Peralatan elektronik
ini termasuk jenis barang tertentu.

f. PT Mie Jaya (memiliki API), sebuah perusahaan produsen mie instan, mengimpor sejumlah
tepung terigu dari Amerika Serikat. Harga impor adalah $50.000 dan dikenakan Bea
Masuk 5%. Kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat impor adalah Rp13.500/$.

g. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan membayar tagihan listrik bulan lalu kepada PT
PLN senilai Rp 120.000.000,00.

h. PT Semen Jaya membeli sejumlah batu kapur dari PT Kapurindo, perusahaan pemegang
izin pertambangan batu kapur, senilai Rp15.000.000.000,00.

i. PT BRI Syari’ah membeli sejumlah kertas dari PT Kertasindo, perusahaan distributor


kertas, dengan harga Rp1.500.000.000,00.

j. Dinas Kesehatan Kota Depok melakukan pembayaran atas pembelian sejumlah obat dari
PT Indo Farma, sebuah perusahaan industri farmasi, senilai Rp110.000.000,00 termasuk
PPN.

k. PT Semen Tonasa melakukan penjualan sejumlah semen kepada PT Sentosa Jaya,


distributornya di Manado, seharga Rp20.000.000,00.

89
l. PT Krakatau Steel, sebuah perusahaan BUMN industri baja, menjual sejumlah lembaran
baja kepada PT Virana Karya senilai Rp5.000.000.000,00.

m. PT Kimia Farma Tbk, perusahaan BUMN industri farmasi, menyerahkan sejumlah obat-
obatan kepada PT PT Kima Farma Trading and Distribution senilai Rp20.000.000.000,00.

n. PT Mardani Jaya adalah perusahaan produsen emas batangan. Untuk keperluan


industrinya, PT Mardani Jaya membeli sejumlah bahan baku mineral emas dari PT Gold
Mining, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan emas senilai
Rp9.000.000.000,00.

o. PT Golden Rama adalah perusahaan perdagangan emas batangan. PT Golden Rama


menjual emas batangan kepada PT Emas Indah, perusahaan produsen emas perhiasan,
Rp1.000.000.000,00.

p. PT Pertamina menjual bahan bakar minyak kepada PT Aneka Raya, sebuah SPBU senilai
Rp10.000.000.000,00, dan kepada PT Kokoh Konstruksi (perusahaan konstruksi) senilai
Rp5.000.000.000,00.

q. PT Eksporindo, perusahaan eksportir kopi, membeli sejumlah kopi untuk diekspor dari
pedagang pengumpul Rp3.000.000.000,00; dari petani langsung Rp10.000.000.000, dan
dari koperasi petani Rp20.000.000.000,00.

r. PT. Indo Rubber, perusahaan pengolah karet membeli sejumlah karet dari pedagang
pengumpul senilai Rp40.000.000.000,00.

s. PT Palm Oil Indonesia, perusahaan industri pengolahan kelapa sawit, membeli sejumlah
batu bara untuk kebutuhan energi industrinya dari PT Indo Coal, sebuah perusahaan
pertambangan batubara pemegang izin usaha pertambangan batubara senilai
Rp30.000.000.000,00.

t. CV Adikarya Batubara, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara,


melakukan ekspor sejumlah batubara ke Tiongkok dengan nilai ekspor dalam PEB
Rp22.000.000.000,00.

Tentukanlah apakah setiap transaksi di atas terutang PPh Pasal 22 atau tidak. Jika terutang
PPh Pasal 22, jelaskan:

1. Siapa pemungut PPh Pasal 22?

90
2. Siapa yang dipungut PPh Pasal 22?

3. Berapa besar PPh Pasal 22 terutang?

4. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 terutang? (saat pemungutan, bukti


pemungutan, batas waktu penyetoran, dan batas waktu pelaporan).

91
BAGIAN III: PPh PASAL 23

1. Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23

1.1 Pemotong PPh Pasal 23

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, Pemotong PPh
Pasal 23 adalah:

a. badan pemerintah,

b. subjek pajak badan dalam negeri,

c. penyelenggara kegiatan,

d. bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya,

e. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk.

Wajib Pajak orang pribadi yang dapat ditunjuk sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah
Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas, serta Orang
pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Penunjukkan sebagai
Pemotong PPh Pasal 23 dilakukan penerbitan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Adapun jenis penghasilan
yang wajib dipotong adalah penghasilan berupa sewa.18

1.2 Wajib Pajak yang Dipotong PPh Pasal 23

Wajib Pajak yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap yang menerima penghasilan objek PPh Pasal 23 dari Pemotong PPh Pasal 23.

1.3 Jenis Penghasilan Objek PPh Pasal 23

Jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut:

18
KEP-50/PJ//1994

92
1.3.1 Dividen

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak
Penghasilan.

Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh
Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga dividen yang
merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) dan Pasal 26
ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

1.3.2 Bunga

Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang.

Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Ada
jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang Pajak
Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh
Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26
ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.

1.3.3 Royalti

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan
penggunaan:

1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula,
atau rahasia perusahaan;

93
2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu
pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya
peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan
pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;

3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin
belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha
lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia
sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi
tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang
diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan
bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar
belakang disiplin ilmu yang sama.

Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar negeri.

1.3.4 Hadiah, Penghargaan, Bonus Dan Sejenisnya Selain Yang Telah


Dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21
juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah
bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila
penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa
diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.

Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan hidup memberikan
penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitarnya.
Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai
naka penghargaan ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah
Wajib Pajak badan dalam negeri. Besarnya PPh Pasal 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto
nilai penghargaan.

94
1.3.5 Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak,
misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

Namun demikian, sewa dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 tidak termasuk sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh berdasarkan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

1.3.6 Jasa

Jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenaijenis jasa lain
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan
yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015.

1.4 Pengecualian dari Pemotongan PPh Pasal 23

Berdasarkan Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan, pemotongan PPh Pasal 23
tidak dilakukan atas penghasilan-penghasilan di bawah ini.

1.4.1 Penghasilan Yang Dibayar Atau Terutang Kepada Bank

Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank, seperti pembayaran bunga
pinjaman atau imbal bagi hasil kepada bank tidak dipotong PPh Pasal 23.

1.4.2 Sewa Yang Dibayarkan Atau Terutang Sehubungan Dengan Sewa


Guna Usaha Dengan Hak Opsi

Imbalan sewa guna usaha dengan hak opsi yang dibayarkan kepada Wajib Pajak yang bergerak
di bidang pembiayaan dengan sewa guna hak opsi, tidak dipotong PPh Pasal 23.

1.4.3 Dividen Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 4 Ayat (3) Huruf f UU


PPh Dan Dividen Yang Diterima Oleh Orang Pribadi Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh

Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh adalah dividen
yang memenuhi kualifikasi sebagai dividen yang bukan objek pajak yaitu dividen atau bagian
95
laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan bagi perseroan terbatas, badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh adalah dividen yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dikenakan PPh final dengan tarif
10%.

1.4.4 Bagian Laba Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 4 Ayat (3) Huruf I

Bagian laba yang dimaksud adalah bagian laba yang tidak termasuk objek pajak berupa bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

1.4.5 Sisa Hasil Usaha Koperasi Yang Dibayarkan Oleh Koperasi Kepada
Anggotanya.

Pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggota koperasi dikecualikan dari pemotongan
PPh Pasal 23.

1.4.6 Penghasilan Yang Dibayar Atau Terutang Kepada Badan Usaha Atas
Jasa Keuangan Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau
Pembiayaan Yang Diatur Dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008, atas penghasilan


sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, termasuk yang menggunakan
pembiayaan berbasis syariah, tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Badan usaha tersebut terdiri dari :

a. perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk

96
dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri
Keuangan;

b. BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional
Madani.

2. Tarif dan Dasar Pengenaan PPh Pasal 23

Terdapat dua jenis tarif PPh Pasal 23 yaitu tarif PPh Pasal 23 15% dan tarif PPh Pasal 23 2%.
Dasar pengenaan PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto.

Tarif PPh Pasal 23 15% dari jumlah bruto diterapkan atas penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya. Tarif PPh Pasal 23 2% diterapkan atas
objek Pajak Penghasiilan berupa sewa dan imbalan sehubungan dengan penggunaan harta
serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain.

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif 15% atau 2% di atas (menjadi 30% atau 4%).19

2.1 Pengertian Jumlah Bruto

Dalam menerapkan tarif terhadap jasa lain, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
141/PMK.03/2015 telah mengatur tentang pengertian jumlah bruto yang merupakan dasar
pengenaan PPh Pasal 21. Pengertian jumlah bruto dibedakan dua jenis yaitu pengertian
jumlah bruto untuk jasa katering dan pengertian jumlah bruto untuk selain jasa katering.

2.1.1 Jumlah Bruto Jasa Katering

Untuk jasa katering, pengertian jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah
jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,

19
Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang PPh

97
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

2.1.2 Jumlah Bruto Selain Jasa Katering

Untuk jasa selain jasa katering, pengertian jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:

a. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa sepanjang dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan;

b. pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang
terkait dengan jasa yang diberikan sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur pembelian
atas pengadaan/pembelian barang atau material;

c. pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait Jasa yang
diberikan oleh penyedia jasa sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur tagihan dari pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis; dan/atau

d. pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas


biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian
jasa bersangkutan sepanjang dapat dibuktikan dengan faktur tagihan dan/atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga.

Dalam hal tidak terdapat bukti, jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah
sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.

98
3. Saat Terutang dan Saat Pemotongan PPh Pasal 23

Saat pemotongan PPh Pasal 23 diatur dalam Pasal 15 ayat (3) PP Nomor 94 Tahun 2010.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan
dibayarkannya penghasilan, akhir bulan disediakan untuk dibayarkannya penghasilan, atau
akhir bulan jatuh temponya pembayaran penghasilan, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.

Nah, di bagian penjelasannya ditegaskan kembali bahwa saat terutangnya PPh Pasal 23
adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau
faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":

a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang
akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang
bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim),
maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat
diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang
saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan
Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima
atau memperoleh" dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima
secara tunai.

Sementara itu, yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban
untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

99
4. Soal dan Latihan

Soal

1. Jelaskan perbedaan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 23


Undang-Undang Pajak Penghasilan!

2. Dapatkah orang pribadi menjadi pemotong PPh Pasal 23? Jelaskan!

3. Sebutkan dan jelaskan penghasilan berupa divden dan bunga yang dikecualikan dari
pemotongan PPh Pasal 23!

Latihan

Berikut ini adalah beberapa transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbeda. Dari
setiap transaksi tersebut, terutang PPh Pasal 23 atau tidak. Jika terutang PPh Pasal 23,
tentukan siapa yang melakukan pemotongan, siapa Wajib Pajak yang dipotong, dan berapa
besar PPh yang dipotong. Jika tidak terutang PPh Pasal 23, jelaskan alasannya.

1. PT SAKTI menyewa 2 unit mesin fotocopy dari CV BAKTI selama satu bulan mulai tanggal
15 Oktober 2017 sampai dengan 14 Nopember 2017 dengan nilai sewa Rp20.000.000,00.
Pembayaran sewa dilakukan di muka pada tanggal 15 Oktober 2017.
2. PT BUDI RAYA memutuskan dalam RUPS tanggal 10 April 2017 untuk membagikan dividen
tunai kepada pemegang sahamnya. PT INDOJAYA, pemegang saham 30% mendapatkan
dividen Rp300.000.000,00. CV INDORETAIL, pemegang saham 10% mendapatkan dividen
Rp100.000.000,00. Koperasi Karyawan PT BUDI RAYA, pemegang saham 5%,
mendapatkan dividen Rp50.000.000,00. Yayasan Makmur Sentosa, pemegang saham 5%,
mendapatkan dividen Rp50.000.000,00.
3. PT SEJAHTERA RAYA adalah sebuah BUMD milik Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Pada bulan Mei 2017 PT SEJAHTERA RAYA membagikan dividen kepada pemegang
sahamnya yaitu Pemda Jawa Barat (pemegang saham 80%) sebesar Rp400.000.000,00
dan PT ANDALAN (pemegang saham 20%) sebesar Rp100.000.000,00.
4. Dinas Koperasi Pemkab Bogor melakukan penilaian terhadap koperasi-koperasi yang ada
di wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penilaian, Koperasi Karya Utama
dinobatkan sebagai Koperasi terbaik di wilayah Kabupaten Bogor sehingga berhak
mendapatkan hadiah berupa sebuah kendaraan minibus senilai Rp200.000.000,00.

100
5. PT SEPATU JAYA, pabrikan sepatu, melakukan kontrak pinjaman dari Bank BCA untuk
menambah modal kerjanya. Pada tanggal 1 Desember 2017, PT SEPATU JAYA melakukan
pembayaran pokok pinjaman kepada BANK BCA sebesar Rp10.000.000,00 ditambah
bunga Rp500.000,00.
6. Tuan Johny adalah seorang pengusaha restoran yang selama ini dikenakan PPh Final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013. Pada bulan Nopember 2017, membayar gaji bulan
Oktober kepada seorang karyawannya Rp5.000.000,00 (status TK/0). Di sampaing itu,
Tuan Johny juga membayar jasa konsultan pajak Amir, Hasan dan Rekan Rp20.000.000,00
untuk pengurusan mengikuti program Tax Amnesty.
7. Bendahara Pengeluaran Pusdiklat Pemasyarakatan membayar kontrak jasa katering
senilai Rp500.000.000,00 kepada CV ANEKA RASA dengan rincian, Rp400.000.000,00
untuk bahan baku makanan, Rp60.000.000,00 untuk upah tenaga kerja untuk menyiapkan
makanan di Pusdiklat Tenaga Kerja, dan Rp40.000.000,00 untuk imbalan jasa kepada CV
ANEKA RASA.
8. PT TEKNIKA adalah perusahaan pabrikan suku cadang kendaraan bermotor. Pada suatu
saat PT TEKNIKA membuat kontrak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi dengan PT
LESORINDO, sebuah perusahaan pembiayaan, untuk pengadaan sebuah mesin bubut. PT
LESORINDO membeli mesin bubut dari PT BUBUT JAYA yang selanjutnya PT BUBUT JAYA
menyerahkan mesin bubut langsung kepada PT TEKNIKA. Sehubungan dengan kontrak
tersebut, pada bulan Desember 2017, PT TEKNIKA melakukan pembayaran kepada PT
LESORINDO Rp7.000.000,00 yang terdiri dari pokok sewa guna usaha Rp5.000.000,00 dan
sisanya berupa bunga.
9. PT SINAR MULIA membuat kontrak sewa guna usaha tanpa hak opsi dengan PT LESINDO
untuk penyediaan sebuah mobil box untuk keperluan pengiriman hasil produksi PT SINAR
MULIA. Pada bulan Desember 2017, PT SINAR MULIA melakukan pembayaran
Rp7.000.000,00 kepada PT LESINDO.
10. PT KORINDO UTAMA sedang mengalami masalah likuiditas keuangan. Untuk mengatasi
masalah tersebut, PT KORINDO UTAMA melakukan kontrak peminjaman dana dari Tuan
SUKANTO sebagai pemegang sahamnya, dan dari PT TURAH JAYA. Pada bulan Nopember
2017, PT KORINDO melakukan pembayaran cicilan pinjaman kepada Tuan SUKANTO
Rp10.0000.000,00 (termasuk bunga Rp500.000,00) dan kepada PT TURAH JAYA
Rp20.000.000,00 (termasuk bunga Rp1.000.000,00).

101
11. CV LENTERA RAYA adalah perusahaan penerbitan buku. Pada bulan Desember 2017
membayar royalti Rp10.000.000,00 kepada Tuan Heru Suprayitno, pengarang buku
“Mahir Pajak Bumi dan Bangunan” yang diterbitkan oleh CV LENTERA RAYA.
12. Firma Andi dan Dodo adalah sebuah perusahaan berbentuk firma yang bergerak di bidang
jasa konsultasi manajemen. Pada bulan Nopember 2017 Firma Andi dan Dodo
mendapatkan pembayaran jasa konsultasi bulan Oktober dari PT BANGUN CIPTA sebesar
Rp100.000.000,00. Pada bulan Januari 2018, Firma Andi dan Dodo membagian laba
kepada anggotanya yaitu Tuan Sule dan Tuan Andre masing-masing Rp100.000.000,00
dan Rp150.000.000,00.
13. CV UENAK adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha makanan cepat saji.
Produk makanan cepat saji merek AYAM KREMES merupakan hasil kerjasama waralaba
dengan PT KREMES JAYA. Berdasarkan perjanjian waralaba, CV UENAK berkewajiban
membayar royalti sebesar 5% dari penjualan setiap bulan dan jatuh tempo setiap tanggal
10 bulan berikutnya. Bulan November 2017, CV UENAK mencatat penjualan sebesar
Rp600.000.000,00.

102
BAGIAN IV: PPh PASAL 26

Pada dasarnya terdapat dua jenis pelunasan Pajak Penghasilan yaitu (a) melalui pembayaran
sendiri, dan (b) melalui pemotongan/pemungutan. Pelunasan PPh melalui pembayaran
sendiri pada umumnya berbentuk pembayaran angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan dan
pelunasan akhir tahun melalui mekanisme Pasal 29 UU PPh. Namun demikian, bagi Wajib
Pajak luar negeri non BUT, tidak terdapat mekanisme pelunasan melalui pembayaran sendiri
karena Wajib Pajak ini tidak memiliki kewajiban NPWP dan penyampaian SPT seperti Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Satu-satunya pelunasan oleh Wajib Pajak luar
negeri non BUT adalah melalui pemotongan/pemungutan (witholding). PPh Pasal 26 adalah
bentuk pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri non BUT ini.

Berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan, pemotongan PPh Pasal 26 terdiri


dari tiga jenis, yaitu:

a. Pemotongan PPh Pasal 26 berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU PPh, yaitu pemotongan PPh
Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri non BUT atas penghasilan-penghasilan dari
modal, penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan
penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya, premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya, dan keuntungan karena pembebasan utang.

b. Pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPH, yaitu


pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri non BUT atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta dan penghasilan berupa premi asuransi.

c. Pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 berdasarkan Pasal 26 ayat (2a) UU PPh, yaitu


pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri non BUT atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (3c) UU PPh.

103
1. PPh Pasal 26 Ayat (1)

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam
ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa
dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax
yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.

PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap
Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk
penghasilan yang dipotong pada umumnya hampir sama dengan objek pemotongan PPh
Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak
luar negeri.

1.1 Pemotong Pajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Pajak Penghasilan, Pemotong Pajak adalah :

a. Badan Pemerintah

b. Subjek Pajak dalam negeri

Subjek pajak dalam negeri dapat subjek pada orang pribadi maupun subjek pajak badan dalam
negeri. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, Subjek Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan
hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan
tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-
keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

104
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap

c. Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi
atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan
lain-lain.

d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun
termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.

Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.

e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

105
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-
perusahaan asing.

1.2 Wajib Pajak yang Dipotong Pajak

Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap
Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri
selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu
melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang
memiliki saham PT Indotelkom yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT
Indotelkom.

Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama
dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.

1.3 Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26

Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :

a. dividen;

b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan


pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

106
e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau

h. keuntungan karena pembebasan utang

Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh
Pasal 21 dan PPh Pasal 23 ditambah penghasilan lain yaitu premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya serta keuntungan pembebasan utang. Yang membedakannya dengan PPh Pasal
26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar
negeri selain BUT, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri
dan BUT.

1.4 Tarif dan Dasar Pengenaan

Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah
bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia
membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang
harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.

Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara
lain. Biasanya dalam P3B hak pemajakan Indonesia dibatasi sehingga tarif yang dikenakan
dapat yang lebih rendah atau tidak dikenakan PPh sama sekali. Apabila terdapat P3B antara
Indonesia sebagai negara sumber penghasilan dengan negara tempat penerima penghasilan
berdomisili, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, kecuali ketentuan PPh tidak
bertentangan dengan P3B.

2. PPh Pasal 26 atas Penghasilan dari Pengalihan Harta dan Premi


Asuransi

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia , kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
UU PPh, dan penghasilan premi asuransi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri

107
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan neto.
Jadi, berbeda dengan PPh Pasal 26 ayat (1) di mana tarif 20% dikenakan atas jumlah bruto,
pada PPh Pasal 26 ayat (2) tarif 20% dikenakan atas penghasilan neto. Besarnya persentase
perkiraan penghasilan neto ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan ketentuan ini, PPh Pasal 26 dapat dikenakan kepada Wajib Pajak luar negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia berupa keuntungan penjualan harta
dan premi asuransi yang diterima perusahaan asuransi luar negeri. Ketentuan pelaksanaan
tentang PPh Pasal 26 atas penjualan harta dan premi asuransi adalah :

1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak


Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari
Penjualan Saham, dan

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan


Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan Harta Di
Indonesia, Kecuali Yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk
Usaha Tetap Di Indonesia.

3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 Tentang Pemotongan Pajak


Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi
yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri.

2.1 PPh Pasal 26 atas Penghasilan dan Keuntungan Penjualan Saham

2.1.1 Penghasilan Keuntungan Penjualan Saham

Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT) dipotong PPh Pasal 26. Yang dimaksud Perseroan adalah Perseroan Terbatas
Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri
(WPLN) dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

108
2.1.2 Pemotong Pajak

Pembeli saham perseoran bisa Wajib Pajak dalam negeri, bisa juga Wajib Pajak luar negeri.
Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN selain
BUT, dipotong PPh Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan
kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26. Perseroan yang sahamnya dijual hanya
mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila kepadanya dibuktikan oleh
WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi
bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.

Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah
Perseroan yang sahamnya dijual.

2.1.3 Tarif dan Dasar Pengenaan

Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT) dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto. Besarnya
perkiraan penghasilan netto adalah 25 % dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26
adalah 20 % x 25 % atau 5 % dari harga jual.

2.1.4 Tatacara Penyetoran dan Pelaporan

Pembeli yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri selaku pemotong pajak wajib memotong
dan menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan
melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.

Apabila pembelinya Wajib Pajak luar negeri, pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak
dilakukan oleh Perseroan dengan menggunakan nama WPLN pemegang saham selambat-
labatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak di Bank
Persepsi atau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat-
lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pemotong/pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan dikenakan sanksi sesuai


peraturan perpajakan yang berlaku.

109
2.2 PPh Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan
Harta

Bagian ini menguraikan PPh Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009.

2.2.1 Jenis Harta

Penjualan atau pengalihan harta dalam ketentuan di atas adalah penjualan atau pengalihan
harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik,
lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

2.2.2 Pemotong Pajak

Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.

2.2.3 Tarif Pajak dan Dasar Pengenaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) UU PPh, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi
luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari harga jual atas
penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan
mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan
di Indonesia, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Dengan demikian, dengan mengalikan tarif PPh Pasal 26 20% terhadap perkiraan penghasilan
neto maka tarif efektifnya menjadi 5 % (lima persen) dari harga jual atas penjualan atau
pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang
antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan di Indonesia, yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).

110
2.2.4 Pengecualian

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 untuk
setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26. Pengecualian pengenaan PPh Pasal 26 juga bisa dilakukan berdasarkan ketentuan P3B.
Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara mitra P3B Indonesia,
pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.

2.2.5 Tatacara Penyetoran dan Pelaporan

Pembeli sebagai Pemotong PPh Pasal 26 wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 26
yang terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau
mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
transaksi pada Kantor Pos atau Bank Persepsi.

Atas pemotongan tersebut di atas, Pemotong PPh Pasal 26 wajib melaporkan pajak yang
dipotong kepada Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.

Apabila ketentuan di atas tidak dipenuhi oleh Pemotong Pajak, maka kepadanya dapat
dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan. Misal atas keterlambatan
pembayaran akan dikenakan sanksi bunga dan atas keterlambatan pelaporan akan dikenakan
sanksi denda Pasal 7 KUP.

2.3 PPh Pasal 26 Premi Asuransi

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas premi asuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan ini adalah
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 Tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi Dan Premi Reasuransi Yang
Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi Di Luar Negeri.

111
2.3.1 Perkiraan Penghasilan Neto

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, besarnya perkiraan penghasilan neto adalah
sebagai berikut :

a. 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi dibayar
tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun
melalui pialang

b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di
luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang

c. 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh
perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi
di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang

2.3.2 Tarif Efektif

Dengan demikian, bila kita mengalikan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% terhadap perkiraan
penghasilan neto, maka tarif efektifnya adalah sebagai berikut :

1. 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi dibayar tertanggung
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang

2. 2% (dua persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di
luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang

3. 1% (satu persen) dari jumlah premi yang dibayar atas premi yang dibayar oleh
perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi
di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang

2.3.3 Pemotong Pajak

Pemotong PPh Pasal 26 atas premi asuransi ini adalah :

112
4. Tertanggung, atas premi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang

5. Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atas premi yang dibayar


kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang

6. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia atas premi yang dibayar


kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang

2.3.4 Tatacara Pemotongan dan Penyetoran

Pajak Penghasilan Pasal 26 atas premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi
luar negeri terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan
terutangnya premi asuransi tersebut. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 dilakukan oleh
pemotong selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Pemotong pajak wajib membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, dalam
rangkap 3 (tiga) :

1. Lembar 1, untuk pihak yang dipotong penghasilannya;

2. Lembar 2, untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan
26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar;

3. Lembar 3, untuk arsip pemotong pajak

3. PPh Pasal 26 atas Penjualan atau Pengalihan Saham Perusahaan


Antara

Ketentuan tentang PPh Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008.

113
3.1 Jenis Penghasilan

Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (special purpose company atau conduit
company), dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau pengalihan bentuk usaha tetap
di Indonesia.

Perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) adalah perusahaan
antara (special purpose company atau conduit company) yang dibentuk untuk tujuan
penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax heaven Country) yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

3.2 Pemotong Pajak

Penghasilan Wajib Pajak luar negeri dari penjualan atau pengalihan saham antara kepada
Wajib Pajak Dalam Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada
Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.

Apabila pembeli saham adalah Wajib Pajak luar negeri, maka pihak yang dtunjuk sebagai
pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang
sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek;
dan badan tersebut harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.

3.3 Tarif dan Dasar Pengenaan

Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya
penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.

Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk
dari Negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia, pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan
P3B berada pada pihak Indonesia.

114
3.4 Tatacara Penyetoran dan Pelaporan

Pajak yang telah dipotong oleh pembeli atau dipungu wajib disetorkan ke Kantor Pos atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan. Pemotong atau
Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipotong dalam Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pemotong Pajak Penghasilan dan/atau pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi
ketentuan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

4. Latihan

Latihan 1

Berikut ini adalah beberapa transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbeda. Dari
setiap transaksi tersebut, tentukan apakah atas transaski tersebut dipotong PPh Pasal 26 atau
tidak. Jika terdapat pemotongan PPh Pasal 26, tentukan siapa yang melakukan pemotongan,
siapa Wajib Pajak yang dipotong, dan berapa besar PPh yang dipotong. Jika tidak dipotong
PPh Pasal 26, jelaskan alasannya. Asumsikan tidak ada P3B yang berlaku dalam setiap
transaksi.

1. PT KAPUAS RAYA yang bekedudukan di Pontianak memutuskan dalam RUPS tanggal 10


April 2017 untuk membagikan dividen tunai kepada pemegang sahamnya. PT INDOJAYA,
pemegang saham 25% mendapatkan dividen Rp300.000.000,00. Tuan Vijay Narendra,
seorang warganegara Malaysia pemegang saham 10% mendapatkan dividen
Rp100.000.000,00. Hongdong Company perusahaan berkedudukan di Singapura
pemegang saham 10%, mendapatkan dividen Rp100.000.000,00.
2. Pada tanggal 10 Nopember 2017, BUT Bank of Korea menggunakan jasa Tuan Kim Yong
Bo, seorang warga negara Korea yang telah tinggal tiga bulan di Indonesia untuk
memperbaiki beberapa komputer dan printer. Tuan Kim melakukan penagihan kepada
BUT Bank of Korea sebesar Rp20.000.000,00 untuk jasa perbaikan dan Rp30.000.000,00
untuk material komponen komputer dan printer.

115
3. Konsulat Inggris di Semarang membayar gaji seorang sekretaris yaitu Dyah Ekowati
yang tinggal di Banyumanik Rp6.000.000,00 untuk bulan Oktober 2017. Dyah
berstatus janda beranak satu.
4. PT MISUTI INDONESIA adalah sebuah perusahaan yang bertatus PMA. Pada tanggal 25
Nopember 2017 membayar gaji karyawannya. Nona Oshino (TK/0) adalah seorang
karyawati berkewarganegaraan Jepang yang mulai bekerja dan tinggal di Indonesia
sejak tanggal 1 September 2017. Berdasarkan kontrak kerja yang disepakati, Nona
Oshino akan bekerja selama 2 tahun. Oshino mendapatkan gaji dan tunjangan sebesar
Rp20.000.000,00 sebulan.
5. Tuan BRAMA adalah seorang pengusaha restoran yang selama ini dikenakan PPh Final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013. Pada bulan Nopember 2017, membayar jasa
pembuatan aplikasi pemesanan online kepada Tuan Nakamoto, seorang warga
negara Jepang, sebesar $10.000 via Paypal. Kurs yang berlaku Rp13.400 (kurs tengah
BI), dan Rp13.500 (kurs Menteri Keuangan).
6. PT AKBAR JAYA mengadakan acara peluncuran produk baru. Untuk memeriahkan
acara, PT AKBAR JAYA menggunakan SITI NUR MARISA, seorang penyanyi dari
Malaysia dan SITI RAISYA, seorang penyanyi dari Jakarta. Setelah acara selesai, PT
AKBAR JAYA membayar SITI NUR MARISA Rp50.000.000,00 dan SITI RAISYA
Rp30.000.000,00.

Latihan 2
PT ABC adalah perusahaan PMA dan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) PMA Tiga. Induk perusahaan PT ABC adalah ABC Ltd yang merupakan perusahaan
yang berkedudukan di Singapura. ABC Ltd memiliki 90% saham PT ABC dan sisanya dimiliki
oleh Tuan Wijaya, seorang WNI yang tinggal di Jakarta. Pada bulan Juli 2017 terdapat
transaksi-transaksi sebagai berikut:

a. PT ABC mengasuransikan pabriknya dari kerugian akibat kebakaran atau kerusuhan serta
bencana alam kepada perusahaan asuransi Safeco Ltd, sebuah perusahaan asuransi yang
berkedudukan di Singapura. Premi asuransi dibayar sekaligus pada tanggal 5 Juli 2017
sebesar US$10.000.

116
b. Pada tanggal 16 Juli 2017, PT ABC membayarkan royalti atas penggunaan merek dagang
kepada ABC Ltd senilai US$20.000 dan royalti atas penggunaan teknologi daur ulang
penggunaan bahan baku plastik bekas sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT Abadi Jaya.

c. Pada tanggal 23 Juli 2017, ABC Ltd menjual 20% kepemilikan saham pada PT ABC kepada
PT XYZ senilai US$2.000.000. Nilai buku perusahaan pada akhir tahun 2016 adalah
US$6.000.000.

d. Pada tanggal 25 Juli 2017 PT ABC membayarkan jasa konsultan pajak kepada Tuan Amin
Handoko, SE, Ak., BKP senilai Rp30.000.000 atas imbalan pemberian jasa konsultasi
perpajakan untuk masa Januari sampai dengan Juni 2017.

e. Pada tanggal 26 Juli 2017 PT ABC membayar Rp30.000.000 jasa perbaikan/service AC


kepada CV Dimas Elektrik dengan rincian jasa perbaikan/service Rp 20.000.000 dan suku
cadangnya Rp10.000.000.

f. Pada tanggal 31 Juli 2017, PT ABC membayar gaji karyawan expatriatnya yaitu Mr. James
Chen, warga negara Singapura, sejumlah US$2.000. Mr. James Chen mulai bekerja pada
tanggal 1 Juli 2017 dengan masa kontrak kerja selama dua tahun. Mr. James tinggal di
Jakarta bersama istri dan dua anaknya.

Pertanyaan:

1. Berapakah PPh Pemotongan dan Pemungutan yang terutang oleh PT ABC dalam bulan Juli
2017? Jawaban harus dirinci berdasarkan jenis PPh Pemotongan dan Pemungutannya.

2. Jelaskan tatacara pemotongan dan pemungutan PPh atas setiap transaksi tersebut!

3. Jelaskan tentang jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPh pemotongan dan
pemungutan atas transaksi-transaksi di atas!

117
PPh Pasal 4 Ayat (2)

Pada dasarnya Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yaitu seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT setelah dikurangi
dengan pengurang yang diperkenankan, PTKP untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
dan kompensasi kerugian bagi Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pengenaan PPh ini dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Pajak Penghasilan yang telah dibayar (PPh Pasal
25) dan yang telah dipotong/dipungut (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan pajak di
luar negeri/PPh Pasal 24) akan menjadi kredit pajak dari PPh terutang atas seluruh
penghasilan tersebut sehingga Wajib Pajak akan membayar selisihnya (Pasal 29 UU PPh) atau
meminta kelebihan pajak (Pasal 28A UU PPh).

Namun berdasarkan pertimbangan tertentu, Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak


Penghasilan dapat menentukan cara pengenaan berbeda atas penghasilan-penghasilan
tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan ini disebut Pajak Penghasilan bersifat final di mana
atas penghasilan-penghasilan tertentu pengenaan PPh-nya tidak digabung dengan
penghasilan lain di SPT, tetapi dikenakan PPh tersendiri dengan tarif dan dasar pengenaan
yang berbeda. Palunasan PPh yang bersifat final ini dilakukan sebagian besar melalui
pemotongan/pemungutan, dan sebagian lagi melalui pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak.
Namun demikian, karena bersifat final, PPh yang telah dipotong/dipungut atau dibayar
sendiri tidak dapat dikreditkan lagi dalam SPT Tahunan oleh Wajib Pajak.

Pertimbangan-pertimbangan dalam pengenaan PPh yang bersifat final ini antara lain:

a. perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;

b. kesederhanaan dalam pemungutan pajak;

c. berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak;

d. pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan

118
e. memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Adapun jenis-jenis penghasilan yang dapat dikenakan PPh yang bersifat final adalah:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya.

Penentuan jenis penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final serta penentuan tarif,
dan dasar pengenaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah.

1. PPh Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Ketentuan yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan
dari persewaan tanah dan/taua bangunan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2017.

1.1 Ruang Lingkup

1.1.1 Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh
Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai PPh yang bersifat
final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh. Pengertian bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Yang dimaksud dengan "sebagian dari Bangunan" adalah areal baik di dalam Bangunan
maupun di luar Bangunan yang merupakan bagian dari Bangunan tersebut, seperti teras
Bangunan, kamar di dalam sebuah rumah, paviliun, kolam renang, dan sebagainya.
119
Tidak termasuk penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final adalah penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya. Yang
dimaksud dengan "jasa pelayanan penginapan" antara lain kamar, asrama untuk
mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.

1.1.2 Penghasilan dari Perjanjian Bangun Guna Serah

Termasuk dalam pengertian penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan pemegang hak atas tanah dari Investor terkait dengan
pelaksanaan perjanjian Bangun Guna Serah, yang meliputi:

a. penghasilan atas pembayaran berkala selama masa perjanjian Bangun Guna Serah;

b. penghasilan dalam bentuk Bangunan yang diserahkan sebelum perjanjian Bangun Guna
Serah berakhir;

c. penghasilan dalam bentuk Bangunan yang diserahkan atau seharusnya diserahkan pada
saat perjanjian Bangun Guna Serah berakhir; dan/atau

d. penghasilan lain terkait perjanjian Bangun Guna Serah, termasuk pembayaran terkait bagi
hasil penggunaan Bangunan dan denda perjanjian Bangun Guna Serah.

Bangun Guna Serah adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang
hak atas tanah dan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan
hak kepada investor untuk mendirikan Bangunan selama masa perjanjian dan mengalihkan
kepemilikan Bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah investor
mengoperasikan Bangunan tersebut atau sebelum investor mengoperasikannya. Investor
adalah orang pribadi atau badan yang diberikan hak untuk mendirikan suatu Bangunan dan
menggunakan atau mengusahakan Bangunan berdasarkan perjanjian Bangun Guna Serah
selama masa perjanjian Bangun Guna Serah.

Contoh:

PT A sebagai pemilik tanah melakukan perjanjian Bangun Guna Serah dengan PT B untuk
membangun gedung perkantoran. Setelah proses pembangunan selesai, PT B mempunyai hak
untuk menggunakan Bangunan tersebut selama 20 tahun.

120
Setiap bulan sepanjang 20 tahun tersebut PT B akan membayarkan Rp 100.000.000,00 kepada
PT A dan di akhir masa Bangun Guna Serah PT B menyerahkan Bangunan perkantoran
tersebut kepada PT A. PT B di tahun kedua dikenai denda Rp50.000.000,00 yang harus
dibayarkannya kepada PT A dikarenakan tidak melaksanakan salah satu butir dalam kontrak
yang telah disepakati.

Penghasilan PT A yang harus dipotong Pajak Penghasilan atas sewa tanah dan/atau Bangunan
oleh PT B adalah penghasilan yang diterima rutin setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 ,
penghasilan berupa jumlah bruto nilai Bangunan yang diterima pada saat Bangun Guna
Serah berakhir, dan denda pelanggaran kontrak sebesar Rp50.000.000,00.

1.2 Tarif dan Dasar Pengenaan

PPh terutang atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 10%
dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan. Jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan/atau merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui
sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan
dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan (service charge), dan biaya fasilitas lainnya,
baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. Penyewa adalah
orang pribadi atau badan yang menyewa tanah dan/atau Bangunan dari pemilik atau pihak
yang menyewakan tanah dan/atau Bangunan.

Contoh

PT X merupakan pemilik gedung perkantoran Menara. Menara merupakan perkantoran yang


disewakan untuk umum. Untuk mengelola Menara, PT X mengadakan perjanjian kerja sama
dengan PT Y. PT Y berkewajiban untuk mengelola keamanan, kebersihan, dan melakukan
perawatan di Menara. PT Y menerima fee atas pengelolaan Menara sebesar
Rp800.000.000,00 per tahun dari PT X.

Salah satu Penyewa di Menara adalah PT Z. PT Z membayar biaya sewa sebesar


Rp200.000.000,00 dan Service charge (penyediaan jasa keamanan, kebersihan dan
perawatan) untuk 1 (satu) tahun sebesar Rp15.000.000,00. PT Y membantu penagihan biaya
sewa dan Service charge kepada para Penyewa.

121
Atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan tanah dan/atau Bangunan wajib
dibayar Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
Bangunan. PT Z sebagai Penyewa wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan yang diterima oleh PT X.

Meskipun pembayaran sewa dan service charge diserahkan kepada PT Y, namun karena PT Z
menyewa ruangan di Menara milik PT X dan penyediaan jasa keamanan, kebersihan, dan
perawatan tersebut pada prinsipnya merupakan kewajiban PT X sebagai pemilik Menara
untuk menyediakannya kepada para Penyewa termasuk PT Z, maka pembayaran sewa dan
service charge tersebut merupakan pembayaran terkait dengan sewa tanah dan/atau
Bangunan yang merupakan penghasilan bagi PT X sehingga wajib dipotong Pajak Penghasilan
bersifat final oleh PT Z.

Pajak Penghasilan yang wajib dipotong oleh PT Z adalah:

= 10% x jumlah bruto nilai persewaan

= 10% x (Rp200.000.000,00 + Rpl5.000.000,00)

= Rp21.500.000,00

Kegiatan pengelolaan Menara yang dilakukan oleh PT Y kepada PT X termasuk dalam


pengertian jasa manajemen, sehingga atas imbalan yang diberikan PT X kepada PT Y
merupakan penghasilan bagi PT Y yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku atas jasa manajemen.

Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan dalam bentuk Bangunan dalam rangka perjanjian Bangun
Guna Serah merupakan nilai Bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah dari
Investor yang ditentukan berdasarkan nilai yang tertinggi antara nilai pasar dan nilai jual objek
pajak Bangunan.

Yang dimaksud dengan "nilai pasar" adalah estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari
hasil penukaran suatu aset atau kewajiban pada tanggal penilaian, antara pembeli
yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas
ikatan (tidak memiliki hubungan istimewa), yang pemasarannya dilakukan secara layak,

122
dimana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya,
kehati-hatian, dan tanpa paksaan.

Yang dimaksud dengan "nilai jual objek pajak Bangunan" adalah nilai jual objek pajak yang
menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

1.3 Tatacara Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan

Pelunasan PPh final atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dilakukan
dengan pemotongan dan pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak. Apabila atas penghasilan
sewa tanah dan/atau banguna diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau
ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, maka PPh final wajib dipotong oleh penyewa. Namun
apabila penyewa bukan bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, maka PPh final
wajib disetor sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan.

1.3.1 Penyewa Sebagai Pemotong Pajak

Pemotong Pajak adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya,
dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak memiliki kewajiban sebagai
berikut.

a. memotong PPh final pada saat pembayaran atau terutangnya sewa;

b. memberikan Bukti Pemotongan PPh Final kepada orang atau badan yang menyewakan
pada saat dilakukannya pemotongan PPh;

c. menyetorkan PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

d. melaporkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-lambatnya
tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.

123
1.3.2 Penyewa Bukan Pemotong Pajak

Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan Pemotong Pajak,
maka PPh wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan. Pihak yang menyewakan wajib
membayar PPh final dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final pada bank persepsi
atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan
diterima atau diperolehnya sewa dan melaporkan penyetoran PPh terutang ke KPP paling
lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa.

Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha persewaan tanah dan/atau bangunan yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari luar usaha persewaan tanah dan/atau
bangunan, atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Wajib Pajak tetap wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan dengan melampirkan Laporan Keuangan yang meliputi seluruh kegiatan
usahanya.

2. PPh Atas Jasa Konstruksi

Ketentuan tentang pengenaan atas penghasilan jasa konstruksi diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 2009. Sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 153/PMK.03/2009.

2.1 Ruang Lingkup

Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Jasa konstruksi terdiri dari tiga jenis jasa yaitu:

124
a. Layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi.

Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

b. Layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and
construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and
build).

c. Layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.

2.2 PPh Terutang

Besarnya tarif PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah sebagai berikut:

Jenis jasa Kualifikasi Penyedia Jasa Tarif


Pelaksanaan Konstruksi Kualifikasi usaha kecil 2%
Kualifikasi selain usaha kecil 3%
Tidak berkualifikasi 4%
Perencanaan dan Memiliki kualifikasi 4%
Pengawasan Konstruksi Tidak berkualifikasi 6%

125
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif Pajak Penghasilan di atas
tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat
final dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang PPh atau sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda.

Besarnya Pajak Penghasilan final yang terutang adalah tarif Pajak Penghasilan di atas dikalikan
jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran. Jumlah pembayaran atau jumlah
penerimaan pembayaran merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. Nilai Kontrak
Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara
keseluruhan.

2.3 Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan

2.3.1 Cara Pelunasan

Dua pihak yang terlibat dalam kegiatan jasa konstruksi adalah Pengguna Jasa konstruksi dan
Penyedia Jasa konstruksi. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk
usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Penyedia Jasa adalah orang pribadi
atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa
konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi
maupun sub-subnya.

Terdapat dua jenis pelunasan PPh final atas penghasilan usaha jasa konstruksi yaitu pelunasan
melalui pemotongan oleh Pengguna Jasa, dan pelunasan melalui pembayaran sendiri oleh
Penyedia Jasa. Pemotongan oleh Pengguna Jasa dilakukan kalau Pengguna Jasa merupakan
pemotong pajak. Pemotong Pajak memberikan tanda bukti pemotongan kepada Penyedia
Jasa yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan. Pelunasan dilakukan
melalui pembayaran sendiri apabila Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.

Dalam hal terdapat selisih kekurangan PPh yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa
Konstruksi dengan PPh berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri,
selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Namun demikian, dalam
kondisi Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai

126
Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang PPh yang bersifat final,
dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai
piutang yang tidak dapat ditagih yang memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-
Undang PPh. Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat ditagih kembali,
tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2.3.2 Penyetoran dan Pelaporan

Pajak Penghasilan yang dipotong oleh Pengguna Jasa disetor ke kas negara dengan
menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP,melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah dilakukan pemotongan pajak, sedangkan bila Pengguna Jasa bukan pemotong pajak,
PPh disetor sendiri oleh Penyedia Jasa ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah penerimaan
pembayaran.Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.

Pengguna Jasa sebagai pemotong pajak ataupun Penyedia Jasa, wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak atau
penerimaan pembayaran.Dalam hal tanggal jatuh tempo penyampian Surat Pemberitahuan
Masa bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2.4 Ketentuan Lain

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
ataudiperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang PPh.Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa
dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang
PPh.Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk
dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final.

127
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tidak termasuk
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh (PPh Pasal 26 atas
penghasilan kena pajak BUT setelah dikurangi PPh terutang). Dasar pengenaan pajak Pasal 26
ayat (4) Undang-Undang PPh adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitungberdasarkan
pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan termasuk Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.

3. PPh Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan


dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan
Beserta Perubahannya

Ketentuan yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta
Perubahannya. Peraturan ini diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2016 dan mulai berlaku
setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Peraturan ini menggantikan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

Adapun latar belakang penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 ini adalah
sebagai berikut.20

a. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan percepatan pembangunan


infrastruktur oleh pemerintah untuk kepentingan umum, sehingga dalam Peraturan
Pemerintah ini diatur mengenai kebijakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

20
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016

128
b. Untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak
Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
perjanjian pengikatan jual beli dan perubahannya, pengenaan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dimaksud yang semula bersifat tidak final menjadi bersifat final bagi orang
pribadi atau badan sebagai pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian
pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan
jual beli.

c. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memberikan kenyamanan dalam


pembayaran Pajak Penghasilan, orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan, Pajak Penghasilan
terutang pada saat atas diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 ini adalah Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan
Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan
Beserta Perubahannya.

3.1 Ruang Lingkup

PPh yang bersifat final dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari:

a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan,
tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah,waris, atau cara lain yang
disepakati antara para pihak.

Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah semua hak atas tanah dan/atau bangunan antara
lain dapat berupa:

129
1. hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang mengenai peraturan dasar pokok-pokok agraria;

2. hak milik atas satuan rumah susun dan kepemilikan bangunan gedung satuan rumah
susun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai rumah susun.

b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.

Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan merupakan kesepakatan jual
beli antara para pihak yang dapat berupa surat perjanjian pengikatan jual beli, surat
pemesanan unit, kuitansi pembayaran uang muka, atau bentuk kesepakatan lainnya antara
pihak yang menjual atau bermaksud menjual tanah dan/atau bangunan dan pihak yang
membeli atau bermaksud membeli tanah dan/atau bangunan.

Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya adalah penghasilan dari:

1) pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada
saat pertama kali ditandatangani; atau

2) pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli
sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas
terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Pengenaan PPh yang bersifat final ini dilakukan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta
penghasilan yang timbul dari perjanjian pengikatan jual beli beserta perubahannya, baik
dalam kegiatan usahanya maupun di luar usahanya. PPh yang bersifat final wajib dibayar atau
dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak
Penghasilan tersebut bersifat final.

3.2 Tarif dan Dasar Pengenaan

3.2.1 Tarif

PPh yang terutang adalah tarif dikalikan dasar pengenaan. Terdapat tiga jenis tarif PPh final
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yaitu tarif 2,5%, tarif 1%
dan tarif 0%.

130
a. Tarif 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
b. Tarif 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan dikenakan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun
Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
c. Tarif 0% dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari
Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari
kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana sesuai dengan kriteria Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan
PPN sesuai ketentuan di bidang perpajakan.

3.2.2 Dasar Pengenaan

3.2.2.1 Dasar Pengenaan Untuk Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dasar pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
adalah jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Nilai pengalihan hak ini
adalah:

a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada
pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang
(VenduReglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
c. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa,
selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;

131
d. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b; atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para
pihak.

Yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.

3.2.2.2 Dasar Pengenaan Untuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah
dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.

Besarnya PPh atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya berdasarkan tarif 2,5%, 1% atau 0% dari jumlah bruto,
yaitu:

a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.

3.3 Pelunasan PPh Terutang

3.3.1 Pelunasan PPh Untuk Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Terdapat dua jenis pelunasan untuk PPh terutang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, yaitu melalui penyetoran sendiri dan melalui pemungutan.

3.3.1.1 Penyetoran Sendiri

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, wajib menyetor sendiri PPh yang terutang yang dikenakan

132
tarif 2,5% dan 1% ke bank/pos persepsi sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah
lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.

Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada BUMN atau
BUMD dikenai tarif 0%, orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunantidak perlu mengisi SSP.

Bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, PPh terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. PPh terutang dihitung berdasarkan
jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran
tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan tersebut. PPh yang terutang wajib dibayar oleh orang pribadi atau
badan yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah bulan diterimanya pembayaran.

Penyetoran Pajak Penghasilan ke Kas Negara dilakukan melalui layanan pada loket/teller
(over the counter), dan/atau layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya, pada
bank/pos persepsi.

Pejabat yang berwenang, meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau pejabat
lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hanya
menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban penyetoran PPh
telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi SSP atau hasil cetakan sarana administrasi lain
yang disamakan dengan SSP yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor
Pelayanan Pajak. Pejabat tersebut memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan bulanan
mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan atau risalah lelang
yang tidak memenuhi ketentuan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

133
3.3.1.2 Pemungutan

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada pemerintah,
dipungut PPh oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau
pejabat yang menyetujui tukar menukar.

Bendahara pemerintah atau pejabat wajib menyetor PPh yang telah dipungut ke bank/pos
persepsi sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak
menerimanya atau sebelum tukar menukar dilaksanakan. Penyetoran pajak tersebut
dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan
SSP atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar-menukar. Kewajiban bendahara pemerintah atau pejabat berikutnya adalah
menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah dikenai tarif 0%, bendahara pemerintah atau pejabat tidak perlu mengisi SSP.

3.3.2 Pelunasan PPh Untuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah
dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya

Pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan perjanjian pengikatan jual beli
atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau
badan yang merupakan:

a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangan, atau
b. pihak pembeli dan namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Pajak Penghasilan terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran dan
dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan
pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli. Pajak Penghasilan yang terutang
wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.

134
Penyetoran Pajak Penghasilan ke Kas Negara dilakukan melalui layanan pada loket/teller (over
the counter), dan/atau layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya, pada
bank/pos persepsi.

Dalam hal penjual telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dari
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
pembayaran dimaksud diperhitungkan dalam pelunasan Pajak Penghasilan terutang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sepanjang perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/atau bangunan dimaksud diakhiri dengan pembuatan akta pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual
beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban penyetoran PPh telah dipenuhi dengan
menyerahkan fotokopi SSP atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan
dengan SSP yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Pihak penjual berkewajiban untuk menyampaikan laporan perubahan atau adendum
perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pihak penjual yang tidak memenuhi ketentuan, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3.4 Pelaporan Pajak

3.4.1 Tempat Terutang dan Kewajiban NPWP

Tempat terutang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah di lokasi tanah dan/atau bangunan
berada. Bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, Pajak Penghasilan terutang di tempat tinggal
orang pribadi yang bersangkutan atau tempat kedudukan badan di mana SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan.

Dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban sehubungan dengan PPh dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah
dan/atau bangunan beserta perubahannya, orang pribadi atau badan wajib memiliki NPWP,

135
kecuali orang pribadi yang penghasilannya di bawah PTKP dan dan subjek pajak luar negeri
selain BUT.

3.4.2 Pelaporan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah


dan/atau Bangunan

3.4.2.1 Pelaporan atas Penyetoran Sendiri

Orang pribadi atau badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang wajib
melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah
dibayar dalam suatu Masa Pajak melalui SPT Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2),
paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir ke:

a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan; atau

b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana SPT Tahunan PPh diadministrasikan, bagi orang pribadi
atau badan selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan.

Untuk Subjek Pajak Luar Negeri, penyampaian SPT Masa dianggap telah dilakukan apabila
Wajib Pajak telah melakukan penyetoran dan tanggal penyampaian SPT Masa sesuai tanggal
validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada SSP atau sarana
administrasi lain yangdisamakan dengan SSP.

3.4.2.2 Pelaporan Pemungutan Bendahara Pemerintah, BUMN dan BUMD

Bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar menukar wajib membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 20 hari setelah bulan dilakukannya pengalihan
hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat bendahara pemerintah unit yang
bersangkutan terdaftar.

BUMN atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah atau kepala daerah
harus:
136
a. membuat daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dan tanah
dan/atau bangunan yang akan dialihkan dimaksud disertai dengan fotokopi surat
penugasan dimaksud dan menyampaikan kepada pejabat yang berwenang
menandatangani akta pengalihan hak sebagai pengganti SSP; dan

b. membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dalam rangka penugasan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat BUMN
atau BUMD terdaftar.

Laporan di atas merupakan bukti pemenuhan kewajiban PPh bagi pihak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang penghasilannya dikenai tarif 0%.

3.4.3 Pelaporan Pajak Penghasilan atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli


atas Tanah dan/atau Bangunan

Orang pribadi atau badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang atas
perjanjian pengikatan jual beli tanah/bangunan wajib melaporkan penghasilan yang diterima
atau diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak melalui SPT
Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2), paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir
ke:

c. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan; atau

d. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana SPT Tahunan PPh diadministrasikan, bagi orang pribadi
atau badan selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan.

Untuk Subjek Pajak Luar Negeri, penyampaian SPT Masa dianggap telah dilakukan apabila
Wajib Pajak telah melakukan penyetoran dan tanggal penyampaian SPT Masa sesuai tanggal
validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada SSP atau sarana
administrasi lain yangdisamakan dengan SSP.

137
Penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian
pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan paling lama 20
hari setelah bulan dilakukannya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli
dimaksud ke:

a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan, bagi penjual yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan; atau

b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi penjual selain yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

3.4.4 Pelaporan Pejabat yang Berhak Mendandatangani Akta, Keputusan,


Kesepakatan, Risalah Lelang

Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang
wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan,
atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, paling lama 20 hari
setelah bulan dilakukannya pengalihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang
bersangkutan terdaftar.

3.5 Pengecualian Pengenaan PPh

Terdapat pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan final, yaitu:

a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari
Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan

138
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri
Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam
rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau
pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan.

Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan di atas


diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan
jual beli atas tanahdan/atau bangunan beserta perubahannya.

3.6 Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan Melalui Perjanjian atau


Kerjasama

Dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui perjanjian atau
kerja sama antara pemilik tanah dan/atau bangunan dan orang pribadi atau badan lain yang
secara substansi merupakan pembeli hak atas tanah dan/atau bangunan, serta selanjutnya
orang pribadi atau badan lain tersebut mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan
tersebut kepada pihak ketiga, perjanjian atau kerja sama tersebut merupakan perjanjian
pengikatan jual beli yang dikenai Pajak Penghasilan.

139
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang memiliki tanah
dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan
pembeli, merupakan penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli beserta perubahannya
yang diterima atau diperoleh pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian
pengikatan jual beli pada saat perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangani.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan lain yang secara substansi
merupakan pembeli hak, merupakan penghasilan penghasilan yang diterima atau diperoleh
pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, dalam hal terjadi
perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

3.7 Ketentuan Lain

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat
keputusan pemberian hak, pengakuan hak, dan peralihan hak atas tanah, apabila
permohonannya dilengkapi dengan SSP atau hasil cetak sarana administrasi lain yang
disamakan dengan SSP, kecuali permohonan sehubungan pengalihan hak yang terutang PPh
final dengan tarif 0%, dan sehubungan pengalihan hak yang dikecualikan dari pengenaan PPh
final.

3.8 Contoh Penghitungan

Contoh 1

Tuan Hisyam Faraz menjual rumah tokonya kepada Nyonya Mita seharga
Rp1.000.000.000,00. Pada tanggal 9 Oktober 2016 ditandatangani PPJB dengan cara tiga kali
cicilan, masing-masing sebesar:

a. Rp300.000.000,00 dibayar pada tanggal 9 Oktober 2016 (saat PPJB ditandatangani);

b. Rp300.000.000,00 dibayar pada tanggal 9 November 2016; dan

c. Rp400.000.000,00 dibayar pada tanggal 9 Januari 2017.

Pada tanggal 16 Februari 2017, Akta Jual Beli (AJB) ditandatangani kedua pihak. Pajak
Penghasilan (PPh) yang harus dibayar oleh Tuan Hisyam ke Kas Negara adalah:

140
Tanggal Jumlah Pembayaran PPh Terutang Jatuh tempo
pembayaran PPh
(1) (2) (3) = 2,5% x (2) (4)
9-10-2016 Rp300.000.000,00 Rp7.500.000,00 15-11-2016
9-11-2016 Rp300.000.000,00 Rp7.500.000,00 15-12-2016
9-01-2017 Rp400.000.000,00 Rp10.000.000,00 15-02-2017

Tanggal 16 Februari 2017, yaitu pada saat AJB ditandatangani, tidak terdapat PPh yang masih
harus dibayar karena PPh yang terutang sudah lunas dibayar pada tanggal 15 Februari 2017.

Contoh 2

Pada tanggal 1 Februari 2017, Tuan Ghifari menjual rumah secara tunai di bawah tangan
dengan Tuan Indra Adi, dengan harga Rp2.000.000.000,00. Atas transaksi penjualan rumah
tersebut, Tuan Indra Adi tidak membuat PPJB dengan Tuan Ghifari, namun menerima surat
kuasa dari Tuan Ghifari untuk menjual dan surat kuasa untuk menandatangani AJB.

Pada tanggal 5 Juli 2017, Tuan Indra Adi menjual rumah tersebut kepada Ny. Patryangga
dengan harga Rp2.200.000.000,00 dan menerima seluruh pembayaran pada saat itu juga.
Pada tanggal 6 Juli 2017, penandatanganan AJB oleh Tuan Indra Adi (berdasarkan surat kuasa
menjual dan surat kuasa menandatangani AJB dari Tuan Ghifari), Ny. Patryangga dan PPAT.

PPh yang harus dibayar adalah sebagai berikut:

a. Surat kuasa menjual dan surat kuasa untuk menandatangani AJB pada dasarnya
merupakan PPJB. Oleh karena itu, PPh yang terutang pada tanggal 1 Februari 2017,
sebesar 2,5% x Rp2.000.000.000,00 = Rp50.000.000,00 wajib dibayar ke Kas Negara oleh
Tuan Ghifari paling lambat tanggal 15 Maret 2017.

b. PPh terutang pada saat pengalihan dari tuan Indra Adi kepada Ny. Patryangga sebesar
2,5% x Rp2.200.000.000,00 = Rp55.000.000,00 wajib dibayar ke Kas Negara oleh Tuan
Indra Adi paling lambat sebelum AJB ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah/PPAT.

Contoh 3

PT Modal Kuat, sebuah perusahaan pengembang, bekerja sama dengan Tuan Dani untuk
mengembangkan kawasan perumahan di tanah milik Tuan Dani. Dalam perjanjian kerja sama
tersebut, Pembagian hasil antara PT Modal Kuat dan Tuan Dani masing-masing 50%.

141
Salah satu klausul dalam perjanjian kerja sama yaitu PT Modal Kuat menerima seluruh
pembayaran dari pembeli rumah dan surat kuasa untuk menandatangani PPJB dan AJB (untuk
memecah sertifikat).

Pada tanggal 1 Februari 2017, PT Modal Kuat menandatangani PPJB dengan Tuan Fadhia.
Uang muka diterima sebesar Rp200.000.000,00 dari harga rumah sebesar Rp600.000.000,00.
Pada tanggal 2 Februari 2017, PT Modal Kuat mentransfer uang sejumlah Rp100.000.000,00
kepada Tuan Dani.

Pada tanggal 6 Maret 2017, pelunasan rumah sebesar Rp400.000.000,00 dilakukan melalui
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank ABC. AJB ditandatangani oleh PT Modal Kuat, Tuan
Fadhia, dan PPAT pada tanggal 7 Maret 2017.

Selanjutnya Tuan Dani menerima pembayaran sebesar Rp200.000.000,00 dari PT Modal Kuat
tanggal 8 Maret 2017.

PPh yang harus dibayar masing-masing pihak adalah:

a. Atas pembayaran yang diterima PT Modal Kuat dari Tuan Fadhia pada tanggal 1 Februari
2017, terutang PPh sebesar 2,5% x Rp200.000.000,00 = Rp5.000.000,00 yang wajib
dibayar ke Kas Negara oleh PT Modal Kuat paling lambat tanggal 15 Maret 2017.

b. Atas pembayaran yang diterima Tuan Dani dari PT Modal Kuat pada tanggal 2 Februari
2017, terutang PPh sebesar 2,5% x Rp100.000.000,00 = Rp2.500.000,00 yang wajib
dibayar ke Kas Negara oleh Tuan Dani paling lambat tanggal 15 Maret 2017.

c. Atas pembayaran dari Bank ABC kepada PT Modal Kuat pada tanggal 6 Maret 2017,
terutang PPh sebesar 2,5% x Rp400.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 yang wajib dibayar ke
Kas Negara oleh PT Modal Kuat paling lambat sebelum AJB ditandatangani PPAT.

d. Atas pembayaran yang diterima Tuan Dani dari PT Modal Kuat pada tanggal 8 Maret 2017,
terutang PPh sebesar 2,5% x Rp200.000.000,00 = Rp5.000.000,00 yang wajib dibayar ke
Kas Negara oleh Tuan Dani paling lambat tanggal 17 April 2017 (Tanggal 15 dan 16 April
2017 merupakan hari libur sehingga jatuh tempo pembayaran menjadi hari berikutnya).

Contoh 4

142
PT Agresif Bangun menjual satu unit apartemen kepada Ny Sari seharga Rp300.000.000,00
dan menandatangani PPJB pada tanggal 1 Mei 2016. Pembayaran disepakati dengan cara tiga
kali cicilan masing-masing sebesar Rp100.000.000,00 dengan tanggal pembayaran 1 Mei 2016
(saat PPJB dibuat), 1 Juli 2016, dan 7 September 2016. Pada tanggal 8 September 2016, AJB
ditandatangani kedua pihak dan PPAT.

PPh yang harus dibayar ke Kas Negara oleh PT Agresif Bangun adalah:

Tanggal Jumlah Tarif PPh Terutang Jatuh tempo Keterangan


Pembayaran pembayaran
PPh
(1) (2) (3) (4) = (3) x (2) (4) (5)
01-05- Rp100.000.000,00 5% Rp5.000.000,0 15-06-2016 Sesuai PP No.
2016 0 71 Tahun 2008
01-07- Rp100.000.000,00 5% Rp5.000.000,0 15-08-2016 Sesuai PP No.
2016 0 71 Tahun 2008
07-09- Rp100.000.000,00 2,5% Rp2.500.000,0 08-09-2016 Sesuai PP No.
2016 0 (Sebelum AJB 34 Tahun 2016
ditandatangan
i)

Contoh 5

Pada tanggal 1 Februari 2016, PT Developer Maju menjual satu unit apartemen seharga
Rp600.000.000,00 kepada Tuan Teguh dengan cara 12 kali cicilan masing-masing sebesar
Rp50.000.000,00 dengan PPJB. Setelah mengangsur selama 8 kali, pada tanggal 7 September
2016, Tuan Teguh mengalihkan unit apartemen tersebut kepada Tuan Taufik dengan harga
Rp450.000.000,00.

Pada tanggal 7 September 2016, adendum PPJB dibuat dan ditandatangani untuk
mencantumkan Tuan Taufik sebagai pembeli yang menggantikan Tuan Teguh. Berdasarkan
adendum PPJB tersebut Tuan Taufik akan meneruskan cicilan yang sudah dibayar oleh Tuan
Teguh. Jadwal cicilan selanjutnya yang harus dibayar oleh Tuan Taufik jatuh tempo pada
tanggal 1 Oktober 2016.

PPh yang harus dibayar oleh masing-masing pihak adalah:

a. Penghasilan atas 8 kali cicilan yang sudah dibayar berdasarkan PPJB antara PT Developer
Maju dan Tuan Teguh terutang PPh berdasarkan PP Nomor 48 Tahun 1994 s.t.d.t.d PP

143
Nomor 71 Tahun 2008. PPh terutang untuk masing-masing cicilan sebesar 5% x
Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00 wajib dibayar ke Kas Negara oleh PT Developer Maju
paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.

b. PPh terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB yang diterima oleh Tuan Teguh pada
tanggal 7 September 2016 sebesar 2,5% x Rp450.000.000,00 = Rp11.250.000,00 wajib
dibayar ke Kas Negara oleh Tuan Teguh paling lambat tanggal 17 Oktober 2016 (Tanggal
15 Oktober dan 16 Oktober merupakan hari libur sehingga jatuh tempo pembayaran
menjadi hari berikutnya).

c. Penghasilan atas 4 kali cicilan yang dibayar oleh Tuan Taufik kepada PT Developer Maju
mulai tanggal 1 Oktober 2016 terutang PPh masing-masing sebesar 2,5% x
Rp50.000.000,00 = Rp 1.250.000,00 yang wajib dibayar ke Kas Negara oleh PT Developer
Maju paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah bulan diterimanya
pembayaran.

4. PPh Atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri

Dasar hukum yang mengatur pengenaan PPh yang bersifat final Pasal 4 ayat (2) Undang-
undang PPh atas penghasilan berupa dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan
Atas Dividen Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.011/2010 sebagai ketentang pelaksanaannya.

4.1 Ruang Lingkup dan Besarnya PPh Terutang

Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.
Pengertian dividen adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

4.2 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Pelunasan PPh final yang terutang (10% dari jumlah bruto) dilakukan melalui mekanisme
pemotongan. Pihak pemotong pajak adalah pihak yang membayar dividen atau pihak lain

144
yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk
wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan.

Selanjutnya pemotong pajak wajib menyetor PPh final terutangke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP. Penyetoran
dilakukan paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal
tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan ari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Kewajiban berikutnya dari pemotong pajak adalah melakukan pelaporan. Pemotong pajak
wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan paling
lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyampaian laporan Pajak Penghasilan dilakukan
dengan menggunakan SPT Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).

5. Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi

Pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga obligasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Berupa Bunga Obligasi, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun
2013. Ketentuan pelaksanaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2011 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
7/PMK.011/2012.

5.1 Ruang Lingkup

Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi
dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final, kecuali apabila penerima
penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah:

a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan

145
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
yang atas bunga atau diskonto obligasi yang diterimanya dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum.

Yang dimaksud dengan 0bligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka
waktu lebih dari 12 bulan. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh
pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.

5.2 PPh Terutang

Besarnya Pajak Penghasilan atas bunga obligasi ditentukan berdasarkan tarif dan dasar
pengenaan sebagai berikut:

1) bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:

a) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan P3B bagi Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk saha tetap, dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;

2) diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:

a) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan P3B bagi Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;

3) diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:

a) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

b) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan P3B bagi Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan Obligasi;

4) bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:

a) 5% untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan

b) 10% untuk tahun 2021 dan seterusnya.

146
5.3 Tatacara Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan

5.3.1 Pelunasan PPh

Pelunasan PPh terutang dilakukan melalui pemotongan dan juga pemungutan. Pemotongan
PPh dilakukan oleh:

1) Penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas:

a) bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dengan
kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi; dan

b) diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat
jatuh tempo Obligasi;

2) perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau diskonto
Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi; dan/atau

3) perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli Obligasi
langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima
atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.

Pemungutan dilakukan apabila penjualan dilakukan tanpa perantara dan pembelinya bukan
pemotong pajak di atas (perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana). Dalam
hal demikian, maka kustodian atau sub-registry selaku pihak-pihak yang melakukan
pencatatan mutasi hak kepemilikan Obligasi, wajib melakukan pemotongan dengan cara
memungut Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual Obligasi sebelum
mutasi hak kepemilikan dilakukan.

Dalam hal penjualan Obligasi tanpa perantara di atas tidak memerlukan pencatatan mutasi
hak kepemilikan Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku
agen pembayaran, dari pembeli/pemegang Obligasi pada saat:

a. jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir;

b. jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.

147
Namun demikian, apabila dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak
yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah dikenakan
pmotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas bunga
pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung
berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi
tersebut.

Pemotong Pajak Penghasilan wajib memberikan Bukti Pemotongan Pajak penghasilan Final
Pasal 4 ayat (2) kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan berupa
Bunga Obligasi.

5.3.2 Kewajiban Penjual Obligasi

Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan
dantanggal perolehan Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga
dan/atau diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan. Pemberitahuan
dilakukan dengan menyerahkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)
dari pembelian Obligasi tersebut sebelumnya. Kewajiban ini berlaku juga bagi penjual Obligasi
yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan.

Harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi ditentukan dengan cara mendahulukan
harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First
In First Out).

Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan harga perolehan dan tanggal perolehan
Obligasi yang sebenarnya kepada pemotong pajak, maka atas penghasilan bunga dan/atau
diskonto yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana
mestinya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga.

5.3.3 Penyetoran dan Pelaporan Pajak

Pemotong Pajak Penghasilan wajib menyetor Pajak Penghasilan yang terutang dengan
menggunakan SSP ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pemotongan pajak. Apabila tanggal jatuh

148
tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pemotong Pajak Penghasilan juga wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan
penyetoran Pajak Penghasilan dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling
lama 20 hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak. Apabila batas akhir bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya.

5.4 Contoh Penghitungan

Contoh 1

Pada tanggal 1 Juli 2011, PT. ABC (emiten) menerbitkan Obligasi dengan kupon (interest
bearing bond) sebagai berikut :

 Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.


 Jangka waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016).
 Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 30
Juni dan 31 Desember.
 Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT. XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi dengan harga di
bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.

Penghitungan bunga dan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh final) yang terutang oleh
PT. XYZ pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai berikut:

 bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00


 PPh final = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00

PPh dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran (cash
settlement).

Keterangan :

Dalam kenyataanya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) pada
saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya. Pembeli bisa
memperoleh Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai

149
nominal (at premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal
tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga
perolehan.

Apabila dalam contoh di atas investor atau pembeli Obligasi adalah Wajib Pajak Reksadana
maka penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31
Desember 2011 adalah sebagai berikut:

 bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00

 PPh final = 5% x Rp8.000.000,00 = Rp400.000,00

Contoh 2

Pada tanggal 31 Maret 2012, PT. XYZ menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT.
PQR melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas di over the counter (OTC), dengan harga jual
Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.

Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ pada saat
penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah sebagai berikut :

 bunga berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 =Rp4.000.000,00

 diskonto = [(Rpl0.400.000,00 - Rp400.000,00) - Rp9.000.000,00] x 10

= Rp10.000.000,00

karena dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat
dihitung sekaligus yaitu :

 bunga berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 - Rp9.000.000,00) x 10

= 14.000.000,00

 PPh final = 15% x Rp14.000.000,00 = Rp2.100.000,00

PPh final dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara.

Contoh 3

150
PT. PQR memiliki Obligasi yang dibelinya dari PT. XYZ tersebut hingga tanggal 31 Desember
2014. Maka pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan Obligasi
tersebut, PT. PQR terutang PPh final sebesar 15% atas bunga yang diterima atau diperolehnya
(lihat contoh 1) yang dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen
pembayaran

Contoh 4

Pada tanggal 31 Desember 2014, PT. PQR setelah menerima bunga dati emiten menjual
seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT. CDE melalui Bank Pundi Nasional selaku
perantara dengan harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.

Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. PQR pada saat jatuh
tempo bunga atau saat penjualan Obligasi tanggal 31 Desember 2014 adalah sebagai berikut:

 bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00

 PPh final atas atas bunga = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00

PPh final dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.

 diskonto = (Rp10.500.000,00 - Rp10.000.000,00) x 10 = Rp5.000.000,00

 PPh final atas atas diskonto = 15% x Rp5.000.000,00 = Rp750.000,00

PPh final dipotong oleh Bank Pundi Nasional selaku perantara.

Keterangan :

Pengertian diskonto dalam peraturan ini tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga
perolehan perdana di bawah (at discount) nilai nominal Obligasi, melainkan mencakup selisih
lebih harga jual di atas harga perolehan Obligasi.

Contoh 5

Pada tanggal 31 Mei 2016, PT. CDE menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada Dana
Pensiun Sejahtera Mandiri (telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa
melalui perantara dengan harga jual Rp10.666.667,00 per lembar termasuk bunga.

151
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT. CDE pada saat
penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah sebagai berikut :

 bunga berjalan = (5/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10=Rp6.666.670,00

 diskonto = [(Rp10.666.667,00 - Rp666.667,00) - Rp10.500.000,00] x 10

= (Rp5.000.000,00) atau diskonto negatif atau rugi.

Perolehan diskonto negatif atau rugi tidak dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga
berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena penjualan Obligasi, sebagai berikut:

PPh Final = 15% X Rp6.666.670,00

= Rp1.000.001,00

Keterangan :

Meskipun penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak dilaporkan ke bursa,
dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama
juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksa
dana selaku investor.

Contoh 6

Pada tanggal 1 [uli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana Pensiun Sejahtera Mandiri menerima
pelunasan seluruh Obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan
(1 bulan) dari PT. ABC, emiten Obligasi tersebut.

Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun Sejahtera
Mandiri pada saat jatuh tempo/ pelunasan Obligasi tanggal 1 Juli 2016 adalah sebagai berikut:

● bunga (1/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp1.333.330,00

● diskonto (Rp10.000.000,00 - Rp10.000.000,00) x 10 = nihil.

PPh final tidak terutang oleh dana pensiun yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.011/2012.

Contoh 7

152
Pada tanggal 1 Januari 2011, PT. ABC menerbitkan Obligasi tanpa bunga (non-interest bearing
debt securitiest) berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2021) dengan nilai
nominal sebesar Rp10.000.000,00. Penerbitan perdana Obligasi tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI).

PT. GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut dengan harga perdana sebesar
Rp6.000.000,00 per lembar.

Pada tanggal 31 Agustus 2014, PT. GHI menjual 50 lembar Obligasi tersebut di Bursa Efek
Indonesia melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas kepada PT. JKL seharga Rp7.000.000,00
per lembar.

Penghitungan diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT. GHI adalah sebagai berikut :

● diskonto (Rp7.000.000,00 - Rp6.000.000,00) x 50 = Rp50.000.000,00

● PPh final 15% x Rp50.000.000,00 = Rp7.500.000,00

PPh final dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara.

Keterangan :

Diskonto Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiap kali dilakukan
penjualan, sepanjang :

a. penjualan dilakukan melalui perantara atau pembeli langsung yang ditunjuk sebagai
pemotong pajak;
b. penjual Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.

6. PPh Atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi Kepada


Anggota Koperasi Orang Pribadi

Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi. Ketentuan tentang tatacara pemotongann, penyetoran dan
pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang

153
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Bunga Simpanan
Yang Dibayarkan Oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.

6.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebesar:

a. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00 per bulan;
atau

b. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari
Rp240.000,00 per bulan.

Yang dimaksud dengan "penghasilan berupa bunga simpanan" adalah imbalan berupa bunga
simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota
koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota. Tidak
termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang
pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan:

1. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,00 untuk masa Januari, maka PPh
terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0,00

2. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,00 untuk masa Januari, maka PPh
terutang 10% x Rp 245.000,00 = Rp24.500,00

3. Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000,00 dengan rincian:

a. Bulan Januari RP 250.000,00

b. Bulan Februari RP 150.000,00

c. Bulan Maret RP 100.000,00

Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp
250.000,00 = Rp 25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0,00

154
6.2 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Pajak Penghasilan terutang wajib dipotong oleh koperasi yang melakukan pembayaran bunga
simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi pada saat pembayaran. Koperasi wajib
memberikan tanda bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang
pribadi yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan, termasuk terhadap
penghasilan dari bunga simpanan yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0%.

PPh yang telah dipotong oleh koperasi wajib disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP, paling lama tanggal 10
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran PPh paling lama
20 hari setelah masa pajak berakhir. Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Pelaporan PPh dilakukan dengan menggunakan SPT Masa Pajak Penghasilan Final
Pasal 4 ayat (2).

7. PPh Atas Hadiah Undian

Ketentuan yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas hadiah
undian adalah Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000. Sebagai ketentuan
pelaksanaannya adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 639/KMK.04/1994 tentang Tata
Cara Pemotongan Atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Hadiah Undian.

7.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong
atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib
dipotong atau dipungut atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah 25%
dari jumlah bruto hadiah undian.

155
7.2 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Penyelenggaraan undian wajib memotong Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
dibayarkan berupa uang dan memungut Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian
diserahkan dalam bentuk natura atau kenikmatan. Pajak Penghasilan dipotong atau dipungut
oleh Penyelenggara undian sebelum hadiah undian dibayarkan atau diserahkan kepada yang
berhak.

PPh terutang pada akhir bulan dibayarkan atau diserahkannya hadiah undian, dan harus
disetorkan secara kolektif ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP dengan NPWP penyelenggara undian.

Penyelenggara undian melaporkan PPh yang telah dipotong atau dipungut dan disetor
Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah dibayarkan atau diserahkannya hadiah undian tersebut.

8. PPh Atas Bunga Deposito, Tabungan dan Diskonto Sertifikat Bank


Indonesia

Pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan dan
sertifikat Bank Indonesia didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan
yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015. Sebagai ketentuan
pelaksanaannya adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2016.

8.1 Ruang Lingkup

Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk bunga yang harus
dipotong PPh yang bersifat final ini adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito
dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

156
Pengertian deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan "deposit on call" baik dalam mata uang rupiah
maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh
bank. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang
penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing
bank.

Namun demikian, pengenaan PPh final ini tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak
dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan
diskonto tidak melebihi PTKP. Orang pribadi tersebut dapat mengajukan permohonan
restitusi atas pajak yang telah dipotong. Ditegaskan pula bahwa setoran pelunasan Ongkos
Naik Haji adalah bukan merupakan deposito atau tabungan.

8.2 PPh Terutang

Secara umum, PPh final yang terutang atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
serta diskonto SBI ini adalah berdasarkan tarif 20% dari jumlah bruto bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan BUT. Bagi, Wajib Pajak luar negeri non BUT, tarif yang dikenakan adalah tarif 20%
atau tarif berdasarkan P3B.

Tarif yang berbeda dengan di atas diberlakukan untuk penghasilan berupa bunga deposito
yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia. Adapaun tarif yang dikenakan adalah:

a. Apabila deposito dalam mata uang dollar Amerika Serikat:

1. Tarif 10% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;

2. Tarif 7,5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga)
bulan;

3. Tarif 2,5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam)
bulan; dan

157
4. Tarif 0% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6
(enam) bulan.

b. Apabila deposito dalam mata uang Rupiah:

1. Tarif 7,5% (ari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;

2. Tarif 5% (ari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
dan

3. Tarif 0% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam)
bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.

8.3 Penghasilan yang Dikecualikan Dari Pemotongan

Terhadap penghasilan-penghasilan di bawah ini tidak diberlakukan pemotongan PPh final:

a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan
tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000, dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah;

b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;

c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;

d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.

Pengecualian dari pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun dapat diberikan berdasarkan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan

158
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat
Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.

8.4 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Pihak bertindak selaku pemotong pajak adalah Bank dan Bank Indonesia. Dalam hal bank
melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga Deposito dengan tarif khusus untuk
bunga deposito yang berasal dari Devisa Hasil Ekspor, bank bersangkutan wajib melampirkan
fotokopi dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa, pada
saat penyampaian laporan SPT Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).

Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual
kembali SBI kepada pihak lain yang bukan Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan
oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto
SBI.

9. PPh Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

Pengenaan PPh final atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dilakukan
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2008 dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 sebagai peraturan
pelaksanaannya.

9.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Atas penghasilan dari Wajib Pajak berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Adapun pengertian SPN adalah
Surat Utang Negara (SUN) yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto. Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang
dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan
masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.

Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :

159
a. nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di
Pasar Sekunder; atau

b. harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder,

tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.

Besarnya Pajak Penghasilan terutang yang harus dipotong atas diskonto SPN adalah sebesar:

a. 20% dari diskonto SPN, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); dan

b. 20% atau tarif sesuai ketentuan P3B dari diskonto SPN, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri.

9.2 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:

a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto
yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas Diskonto
yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;
c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa
melalui pedagang perantara, atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN
pada saat transaksi di Pasar Sekunder.

Saat pemotongan Pajak Penghasilan adalah pada tanggal transaksi saat penjualan SPN di
Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.
Untuk keperluan penghitungan Diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan,
penjual SPN berkewajiban memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga
perolehan SPN yang sebenarnya. Apabila penjual SPN tidak memberitahukan data/informasi
yang sebenarnya kepada pemotong pajak, maka atas penghasilan berupa Diskonto SPN yang
tidak atau kurang diberitahukan, dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana mestinya dalam
tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga.

160
Pemotongan pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak berikut ini.

a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

10. PPh Atas Penghasilan dari Penghasilan dari Transaksi Penjualan


Saham di Bursa Efek

Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi penjualan
saham di bursa efek dilakukan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan
dan Peraturan Pemerintan Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997. Adapun ketentuan lebih lanjut diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997.

10.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

10.1.1 PPh Terutang Untuk Bukan Saham Pendiri

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1%
dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

10.1.2 PPh Terutang Tambahan Untuk Saham Pendiri

Selain dikenakan 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan, pemilik saham pendiri
dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% dari nilai saham perusahaan pada saat
penutupan bursa diakhir tahun 1996. Untuk saham perusahaan yangdiperdagangkan di bursa
efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham ditetapkan sebesar harga saham pada saat
penawaran umum perdana. Wajib Pajak pemilik saham pendiri yang tidak memenuhi
ketentuan, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan Pajak
Penghasilan sesuai dengan tarif umum

161
Yang dimaksud dengan pendiri adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam
Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas
Pasar Modal (sekarang OJK) dalam rangka penawaran umum perdana (intial public offering)
menjadi efektif. Termasuk dalam pengertian pendiri adalah orang pribadi atau badan yang
menerima pengalihan saham dari pendiri karena :

a. warisan;

b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-undang PPh;

c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.

Dalam pengertian saham pendiri, termasuk juga:

a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah
penawaran umum perdana (intial public offering);

b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.

Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah :

a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham;

b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (intial public offering")
yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran,
obligasi konversi dan efek konversi lainnya;

c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.

Wajib Pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya tidak
berdasarkan ketentuan tersebut, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri
dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum Undang-undang Pajak Penghasilan.

10.2 Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

10.2.1 Untuk Bukan Saham Pendiri

Pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham selain saham pendiri dilakukan
dengan cara pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek
pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.

162
Penyelenggara bursa efek wajib menyetor Pajak Penghasilan kepada bank persepsi atau
Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 20 setiap bulan atas transaksi penjualan
saham yang dilakukan dalam bulan sebelumnya. Penyelenggara bursa efek wajib
menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 25 pada bulan yang
sama dengan bulan penyetoran.

10.2.2 Untuk Saham Pendiri

Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan 0,5% dari nilai saham dilakukan oleh emiten atas
nama pemilik saham pendiri ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro Paling lambat :

a. 6 bulan setelah tanggal 29 Mei 1997, apabila saham perusahaan telah diperdagangkan di
bursa efek sebelum tanggal tersebut;

b. 1 bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa efek, apabila saham perusahaan
baru diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 29 Mei 1997.

Emiten wajib menyampaikan laporan tentang penyetoran tambahan Pajak Penghasilan


kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar sebagai Wajib Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan penyetoran.

Emiten tidak diperkenankan untuk memperhitungkan tambahan Pajak Penghasilan di atas


sebagai biaya.

11. Soal dan Latihan

Soal

1. Jelaskan perbedaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa dividen


berdasarkan Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan!

2. Jelaskan ruang lingkup, tarif dan dasar pengenaan PPh final Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan jasa konstruksi! Apakah mungkin terdapat penghasilan jasa konstruksi yang
dikenakan PPh Pasal 23? Jelaskan!

3. Jelaskan perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga!

163
4. Apakah atas SHU yang diterima oleh anggota koperasi dikenakan PPh final 10%? Jelaskan!

5. Jelaskan aspek Pajak Penghasilan atas penghasilan dari keuntungan penjualan saham!

6. Apakah semua penghasilan berupa hadiah dikenakan PPh final? Jelaskan!

Latihan 1

Tentukan apakah transaksi di bawah ini terutang PPh yang bersifat final Pasal 4 ayat (2) atau
tidak. Jika tidak terutang PPh Pasal 4 ayat (2), jelaskan alasannya. Jika terutang PPh Pasal 4
ayat (2), hitunglah PPh terutang dan jelaskan cara pelunasannya!

a. Tuan Budiman, pemilik sebidang tanah, melakukan perjanjian Bangun Guna Serah dengan
PT ABC di mana PT ABC akan membangun gedung di atas tanah Tuan Budiman dan PT
ABC diberikan hak untuk mengelola bangunan tersebut selama 10 tahun. Tuan Budiman
adakan mendapatkan pembayaran sebesar Rp30.000.000,00 per tahun dan mendapatkan
bangunan pada akhir masa Bangun Guna Serah.

b. Tuan Rojakun menjual sebidang tanah miliknya kepada PT Abadi Jaya. Harga yang
disepakati adalah Rp800.000.000,00 sedangkan nilai NJOP adalah Rp600.000.000,00.

c. PT Masindo Perkasa menerbitkan obligasi dengan kupon untuk mendapatkan dana dalam
rangka membiayai proyek pembangunan sebuah apartemen mewah di Jakarta. Obligasi
diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2015 dengan nilai nominal Rp100.000.000,00 per
lembar dan dijual dengan harga Rp92.000.000,00 per lembar. Pemegang obligasi akan
mendapatkan bunga 8% per tahun yang dibayarkan pada tanggal 30 Juni dan 31
Desember. Pembeli obligasi PT Masindo Perkasa, di antaranya PT Hanggara , Bank Artha
Niaga, Dana Pensiun Sejahtera, dan Tuan Junaidi Samad (masing-masing 10 lembar)
menerima pelunasan obligasi dan bunga pada tanggal 31 Desember 2017.

d. Jumali, mendapatkan hadiah berupa voucher senilai Rp1.000.000,00, dari PT JekLine,


sebuah perusahaan ojek online, karena telah mencapai point 20.000 dari aktivitas
pemesanan ojek online selama tahun 2017.

e. PT Indorama, membayarkan dividen kepada dua orang pemegang sahamnya, yaitu Tuan
Abdullah Wijaya, seorang WNI yang tinggal di Jakarta, dan Tuan Chong Mei, seorang WN
Singapura yang tinggal di Singapura, masing-masing Rp1.000.000.000,00.

164
f. Tuan Tanujaya, pemilik 10% saham PT Mekar Jaya, menjual seluruh sahamnya kepada
Tuan Prakash Padukone, seorang WN India yang tinggal di Bombay, India, dengan harga
jual saham Rp5.000.000.000,00.

g. Ibu Aminah beruntung mendapatkan hadiah sepeda motor senilai Rp20.000.000,00


karena membeli deterjen yang kemasannya ditandai sebagai pemenang hadiah sepeda
motor.

h. Koperasi Makmur Jaya, membagikan SHU tahun 2017 kepada Tuan Andung Suryo,
anggota koperasi, sebesar Rp10.000.000,00 dan juga memberikan bunga simpanan
koperasi bulan Januari 2018 sebesar Rp300.000,00.

i. Bank of China cabang Jakarta membayarkan bunga deposito bulan Januari 2018 kepada
Tuan Antono, seorang pengusaha yang tinggal di Jakarta Selatan.

j. CV Adam Konstruksi, pengusaha konstruksi berkualifikasi kecil, mendapatkan


pembayaran termin pertama dari Bapak Warnoto atas pembangunan rumah tinggal
Bapak Warnoto di daerah Kebon Jeruk sebesar Rp150.000.000,00.

Latihan 2

PT Wijaya Retail adalah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan eceran pakaian dan
peralatan elektronik. Kegiatan usahanya dilakukan di gedung Wijaya Mall yang dimiliki sendiri.
Sebagian ruangan di Wijaya Mall juga disewakan kepada pihak lain. Berikut ini adalah tagihan
sewa ruangan bulan Juni 2017 yang dilakukan PT Wijaya Retail kepada penyewanya.

No. Penyewa Jumlah Tagihan Jumlah Keterangan


Sewa (termasuk Tagihan
PPN) Service Sharge
(Termasuk
PPN)
1. PT Sejahtera Life Rp88.000.000,00 Rp8.800.000 Untuk kantor
2. CV Mitra Jaya Rp66.000.000,00 Rp6.600.000 Untuk usaha salon
3. dr. Arie Sumanto Rp44.000.000,00 Rp4.400.000 Untuk praktek dokter.
dr. Arie adalah WP OP
yang menggunakan
norma penghitungan

Untuk setiap tagihan tersebut, jelaskan:

a. PPh terutang beserta sifat pengenaannya;

165
b. Mekanisme pelunasannya;

c. Jatuh tempo penyetoran dan pelaporannya

Latihan 3

Pada tanggal 31 Maret 2017 PT ABC menerbitkan obligasi dengan bunga 12% setahun. Bunga
dibayarkan dua kali yaitu tanggal 31 Maret dan tanggal 30 September. Nilai nominal adalah
Rp100.000.000 per lembar dengan jangka waktu 3 tahun (jatuh tempo 31 Maret 2020. PT XYZ
membeli satu lembar obligasi pada saat penerbitan dengan harga Rp90.000.000.

Tentukanlah PPh Final yang harus dipotong pada saat pembayaran bunga dan pada saat jatuh
tempo!

Jika pada tanggal 1 Juli 2017 PT XYZ menjual obligasinya kepada PT PQR melalui Bank Mandiri
dengan harga Rp95.000.000 (termasuk bunga berjalan), hitunglah PPh final yang terutang
pada tanggal:

a. 1 Juli 2017, dan

b. 30 September 2017

Tentukan siapa pemotong pajaknya!

Latihan 4

Koperasi Karyawan PT Serbaneka adalah koperasi yang bergerak di bidang simpan pinjam dan
jasa katering kepada anggotanya yang merupakan karyawan PT Serbaneka. Sukarta dan
Sumpena adalah anggota koperasi tersebut. Pada bulan Januari 2017 Koperasi Karyawan PT
Serbaneka membayarkan penghasilan kepada Sukarta dan Sumpena berupa bunga simpanan
bulan Desember 2016 dan sisa hasil usaha koperasi tahun 2016.

Nama Anggota Bunga Simpanan (Rp) Sisa Hasil Usaha (Rp)


Sukarta 180.000 340.000
Sumpena 250.000 220.000
Tentukanlah Pajak Penghasilan final yang harus dipotong oleh Koperasi Karyawan PT
Serbaneka. Tentukan pula tanggal jatuh tempo penyetoran dan pelaporannya!

Latihan 4

166
CV Griya Asri, sebuah perusahaan pengembang, bekerja sama dengan Haji Sabeni untuk
mengembangkan kawasan perumahan di tanah milik Haji Sabeni. Dalam perjanjian kerja sama
tersebut, Pembagian hasil antara CV Griya Asri dan Haji Sabeni adalah60% untuk CV Griya Asri
dan 40% untuk Haji Sabeni.

Salah satu klausul dalam perjanjian kerja sama yaitu CV Griya Asri menerima seluruh
pembayaran dari pembeli rumah dan surat kuasa untuk menandatangani PPJB dan AJB (untuk
memecah sertifikat).

Pada tanggal 1 Februari 2017, CV Griya Asri menandatangani PPJB dengan Tuan Andika. Uang
muka diterima sebesar Rp200.000.000,00 dari harga rumah sebesar Rp800.000.000,00. Pada
tanggal 2 Februari 2017, CV Griya Asri mentransfer uang sejumlah Rp80.000.000,00 kepada
Haji Sabeni.

Pada tanggal 10 Pebruari 2017 Tuan Andika menjual haknya sebagai pembeli kepada Tuan
David seharga Rp240.000.000,00. Pada tanggal 15 Pebruari 2017 ditandatangani addendum
perubahan PPJB di mana pihak pembeli sebelumnya Tuan Andika digantikan oleh Tuan David.

Pada tanggal 6 Maret 2017, pelunasan rumah sebesar Rp600.000.000,00 dilakukan melalui
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Permata. AJB ditandatangani oleh CV Griya Asri, Tuan
David, dan PPAT pada tanggal 7 Maret 2017.

Selanjutnya Haji Sabeni menerima pembayaran sebesar Rp240.000.000,00 dari CV Griya Asri
pada tanggal 8 Maret 2017.

Tentukan PPh terutang atas transaksi di atas. Jelaskan juga tentang tatacara penyetoran dan
pelaporan pajaknya!

167
PPh Pasal 15

Dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang, terdapat kesukaran dalam menghitung


besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu antara lain perusahaan
pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build, operate, and transfer"). Wajib
Pajak tertentu ini pada umumnya penghasilan netonya tidak dapat dihitung berdasarkan
ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan.

Berdasarkan pertimbangan praktis, atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam
bidang-bidang usaha tertentu tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang oleh Pasal 15
Undang-undang Pajak Penghasilan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut. Dengan demikian,
pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan
berdasarkan Norma Penghitungan Khusus.

Berikut ini adalah Keputusan dan Peraturan Mnteri Keuangan yang mengatur Norma
Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak tertentu.

Jenis Wajib Pajak Peraturan/Keputusan


Menkeu

WP yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon 543/KMK.03/2002


internasional di bidang produksi mainan anak-anak

Perusahaan penerbangan dalam negeri 475/KMK.04/1996

Perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri 417/KMK.04/1996

Perusahaan pelayaran dalam negeri 416/KMK.04/1996

Pihak-pihak yang melakukan kerjasama perjanjian 248/KMK.04/1995


Bangun Guna Serah (BOT)

168
Kantor perwakilan dagang luar negeri 634/KMK.04/1994

Tenaga Kerja Asing yang bekerja pada WP Badan yang 433/KMK.04/1994


bergerak di bidang pengeboran Migas di Indonesia

WP Badan yang melakukan kerjasama dengan PT 88/KMK.04/1994


Telkom berdasarkan sistem pola bagi hasil Tahap I

WP Badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang 628/KMK.04/1991


pengeboran Migas

Dalam bahan ajar ini, hanya perusahaan pelayaran dan penerbangan serta kantor perwakilan
dagang luar negeri yang dijelaskan lebih lanjut.

1. Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri

Ketentuan yang mengatur tentang norma penghitungan khusus bagi perusahaan pelayaran
dalam negeri adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996 serta Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-35/PJ.4/1996.

1.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan penerbangan yang
bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian
charter. Penghasilan neto bagi Wajib Pajak tersebut ditetapkan sebesar 6% dari peredaran
bruto, dan besarnya Pajak adalah sebesar 1,8% dari peredaran bruto.

Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah semua
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat
dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan di luar negeri.

Dengan demikian, cakupan ketentuan ini adalah Wajib Pajak perusahaan penerbangan yang
bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian

169
charter. Yang dimaksud dengan perjanjian charter meliputi semua bentuk charter, termasuk
sewa ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang ("space charter").

1.2 Pelunasan PPh Terutang

Pembayaran PPh yang terutang dilakukan melalui pemotongan oleh pencharter sepanjang
pencharter tersebut adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran atau saat terutangnya imbalan atau nilai
pengganti.

Atas pemotongan PPh tersebut pencharter wajib :

a. memberikan Bukti Pemotongan PPh kepada pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan;

b. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
imbalan atau nilai pengganti, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);

c. melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak


selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya imbalan atau nilai pengganti.

Pelunasan PPh melalui pemotongan di atas merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat
dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang
bersangkutan.

2. Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Ketentuan tentang norma penghitungan khusus bagi perusahaan pelayaran dalam negeri
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 serta Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996 dan SE-32/PJ.4/1998.

2.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau
badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran
170
dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal
pihak lain.

Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan sebesar 4%
dari peredaran bruto. Besarnya Pajak Penghasilan terutang adalah sebesar 1,2% dari
peredaran bruto. Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang
atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri
dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain
di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau
sebaliknya.

Dengan demikian, penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk
penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari :

 pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;

 pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;

 pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan

 pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

2.2 Pelunasan PPh Terutang

Jika penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong
pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut berkewajiban:

a. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai
pengganti;

b. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam


Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan;

c. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);

171
d. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya imbalan, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti
Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).

Apabila penghasilan diperoleh selain berdasarkan persewaan atau charter, maka Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dalam negeri berkewajiban untuk:

a. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)Final;

b. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya


tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dilampiri
dengan lembar ke-3 SSP Final;

Dalam hal Wajib Pajak membayar pajak di Luar negeri atas penghasilan yang diterima
ataudiperolehnya di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk
penyewaan kapal (PPh Pasal 24), pajak yang dibayar di luar negeri tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh yang terutang, untuk masing-masing negara setinggi-tingginya
1,2% dari penghasilan yang diterima atau diperolehnya diluar negeri tersebut.

Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya, maka atas
penghasilan lainnya dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.

3. Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri

Norma penghitungan khusus untuk perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 serta Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor 32/PJ.04/1996.

3.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Wajib Pajak yang dicakup adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
yang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap
(BUT) di Indonesia.

172
Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto dan PPh terutang adalah sebesar 2,64% dari
peredaran bruto. Pajak Penghasilan bersifat final.

Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
seperti tersebut di atas adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai
uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri.
Dengan demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang
dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

3.2 Tatacara Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan

Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang membayar
atau pihak yang mencharter wajib untuk :

memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai
pengganti;

a. Memberikan Bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau


Penerbangan luar negeri (final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan;

b. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);

c. melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak


selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya imbalan, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan lembar ke-2 Bukti
Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar
Negeri (final).

Apabila penghasilan diperoleh selain dari persewaan atau charter, maka Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib:

173
a. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final:

b. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya


tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dilampiri
dengan lembar ke-3 SSP Final.

Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya, maka atas
penghasilan lainnya tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan yang berlaku.

4. Kantor Perwakilan Dagang Luar Negeri

Pengenaan Pajak Penghasilan dengan menggunakan norma penghitungan khusus terhadap


Wajib Pajak kantor perwakilan dagang luar negeri dilakukan dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-667/PJ./2001.

4.1 Ruang Lingkup dan PPh Terutang

Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia ditetapkan sebesar 1% dari nilai ekspor bruto dan Pelunasan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final. Nilai
ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan
barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di
Indonesia.

4.2 Tatacara Pelunasan, Penyetoran dan Pelaporan

Pelunasan atas PPh terutang dilakukan dengan cara Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib membayar Pajak Penghasilan yang terutang
dalam suatu masa Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan
menggunakan satu Surat Setoran Pajak (SSP) Final.

174
Wajib Pajak Luar Negeri tersebut kemudian wajib melaporkan pembayaran Pajak Penghasilan
yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 (duapuluh) bulan
berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dan dilampiri dengan lembar
ke-3 SSP Final.

Latihan

Jelaskan dan berikan alasan, apakah transaksi di bawah ini terutang PPh Pasal 15. Jika
terutang PPh Pasal 15, jelaskan besarnya PPh terutang, sifat pengenaan PPh (final atau tidak
final), cara pelunasannya (setor sendiri atau pemotongan PPh).

a. BUT Marine Line, mendapatkan kontrak charter pengangkutan batu bara dari
pelabuhan di Balikpapan ke pelabuhan di Shanghai, Tiongkok dari PT Indocoal Jaya di
Balikpapan. Nilai kontrak pengangkutan batu bara tersebut adalah Rp500.000.000,00.

b. BUT Marine Line, mendapatkan kontrak charter dari American Grain Company untuk
mengangkut sejumlah gandum dari pelabuhan di Amerika Serikat ke ke pelabuhan di
Jakarta. Nilai kontrak sebesar US50.000 dengan kurs menteri keuangan yang berlaku
Rp13.500 per US$ dan kurs BI Rp13.600 per US$.

c. BUT Pacific Air, sebuah perusahaan penerbangan Hongkong, mengangkut 120


penumpang untuk penerbangan Surabaya ke Hongkong dengan hasil penjualan tiket
seluruhnya Rp320.000.000,00. Dari Hongkong, pesawat yang sama mengangkut 100
penumpang menuju Surabaya dengan hasil penjualan tiket Rp280.000.000,00.

d. PT Pakuan Air, sebuhan perusahaan penerbangan dalam negeri, mendapatkan hasil


penjualan tiket penumpang untuk penerbangan Jakarta – Medan Rp150.000.000,00;
penerbangan Medan – Bangkok Rp300.000.000,00; dan Bangkok – Jakarta
Rp360.000.000,00.

e. PT Marindo adalah perusahaan perlayaran dalam negeri yang mengoperasikan kapal


laut dengan trayek Jakarta – Makassar dan sebaliknya. Pada bulan Juni berhasil
mendapatkan penghasilan dari pengangkutan penumpang sebesar Rp800.000.000,00
dan pengangkutan barang Rp200.000.000,00.

175
f. PT Marindo mendapatkan imbalan sewa charter pengangkutan barang tidak dalam
trayek dari PT Musi Raya untuk mengangkut sejumlah tandan buah segar kelapa sawit
dari Palembang ke Pekanbaru. Imbalan sewa charter berjumlah Rp200.000.000,00.

176
LAMPIRAN I

JENIS JASA LAIN YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPH PASAL 23

1. Jasa penilai (appraisal);


2. Jasa aktuaris;
3. Jasa akuntansi, pembukuan, danatestasi laporan keuangan;
4. Jasa hukum;
5. Jasa arsitektur;
6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Jasa perancang (design);
8. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali
yang Dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan Minyak dan gas bumi (migas);
11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Jasa penebangan hutan;
13. Jasa pengolahan limbah;
14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Jasa perantara dan/atau keagenan;
16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
17. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI);
18. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Jasa mixing film;
20. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, Pemeliharaan dan perbaikan;
22. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Jasa internet termasuk sambungannya;
24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
27. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan udara;
28. Jasa maklon;
29. Jasa penyelidikan dan keamanan;
30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;

177
31. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Jasa pembasmian hama;
33. Jasa kebersihan atau cleaning service;
34. Jasa sedot septic tank;
35. Jasa pemeliharaan kolam;
36. Jasa katering atau tata boga;
37. Jasa freight forwarding;
38. Jasa logistik;
39. Jasa pengurusan dokumen;
40. Jasa pengepakan;
41. Jasa loading dan unloading;
42. Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Jasa pengelolaan parkir;
44. Jasa penyondiran tanah;
45. Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Jasa pemeliharaan tanaman;
48. Jasa pemanenan;
49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau
perhutanan;
50. Jasa dekorasi;
51. Jasa pencetakan/penerbitan;
52. Jasa penerjemahan;
53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
54. Jasa pelayanan kepelabuhanan;
55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Jasa pengelolaan penitipan anak;
57. Jasa pelatihan dan/atau kursus;
58. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Jasa sertifikasi;
60. Jasa survey;
61. Jasa tester, dan
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

178
LAMPIRAN II

RINGKASAN PPH PASAL 22

Dasar Mekanisme
No. Objek Pemungut Pihak Dipungut Tarif Sifat Saat Pemungutan
Pengenaan Pemungutan

1 Impor barang Bank Devisa dan DJBC Importir Barang tertentu 10% Nilai Impor Tidak Final Saat pembayaran Penyetoran oleh
bea masuk atau importir atau DJBC.
Barang tertentu saat penyelesaian SSP berlaku sebagai
lainnya 7,5% dokumen bukti pemungutan
pemberitahuan atas PPh Pasal 22.
Selain barang impor jika bea
tertentu, importir masuk dibebaskan
API
Kedelai, gandum,
tepung terigu
0,5%
Selain kedelai,
gandum dan
tepung terigu
2,5%
Importir tanpa API
7,5%
Barang Tidak Harga Jual
Dikuasai 7,5% Lelang

179
2 ekspor komoditas tambang Bank Devisa dan DJBC Eksportir 1,5% Nilai Ekspor Tidak Final Terutang dan Penyetoran oleh
batubara, mineral logam, dilunasi bersamaan eksportir ke kas
dan mineral bukan logam dengan saat negara melalui
yang dilakukan oleh penyelesaian Kantor Pos, bank
eksportir, kecuali yang dokumen devisa, atau bank
dilakukan oleh Wajib Pajak pemberitahuan yang ditunjuk oleh
yang terikat dalam pabean atas ekspor Menteri Keuangan.
perjanjian kerjasama SSP berlaku sebagai
pengusahaan pertambangan bukti pemungutan
dan Kontrak PPh Pasal 22.
Karya;

3 Pembayaran atas pembelian Bendahara Rekanan 1,5% Harga Tidak Final Saat pembayaran Disetor ke kas
barang pengeluaran untuk Pemerintah Pembelian negara oleh
pembayaran dengan tidak pemungutan dengan
mekanisme uang termasuk PPN menggunaakan SSP
persediaan atas nama rekanan
dan ditandatangani
KPA/Pejabat Penerbit Pemungut. SSP
SPM untuk berlaku sebagai
pembayaran dengan bukti pemungutan
mekanisme LS PPh Pasal 22.
4 Pembayaran atas pembelian BUMN Rekanan 1,5% Harga Tidak Final Saat pembayaran Dipungut oleh
barang dan/atau bahan- Pembelian pemungut dengan
bahan untuk keperluan BUMN yang dilakukan tidak menerbitkan Bukti
kegiatan usaha restrukturisasi oleh termasuk PPN Pungut. Disetor
Pemerintah pemungut ke kas
negara dengan SSP
Badan Usaha yang atas nama
dimiliki langsung Pemungut.
BUMN
5 Penjualan hasil produksi Badan usaha industri Distributor kertas o,1% (kertas) DPP PPN Tidak Final Saat penjualan Dipungut oleh
kepada distributor dalam semen, baja, pemungut dengan
negeri otomotif, kertas, dan Distributor semen 0,25% (semen) menerbitkan Bukti
farmasi Distributor otomotif 0,45% (otomotif) Pungut. Disetor
pemungut ke kas
Distributor baja 0,3% (baja) negara dengan SSP
Distributor negeri 0,3% (obat) atas nama
obat Pemungut.

180
6 Penjualan kendaraan ATPM, APM, dan Pembeli kendaraan 0,45% DPP PPN Tidak Final Saat penjualan Dipungut oleh
bermotor di dalam negeri importir umum bermotor pemungut dengan
kendaraan bermotor menerbitkan Bukti
Pungut. Disetor
pemungut ke kas
negara dengan SSP
atas nama
Pemungut.
7 Penjualan BBM, BBG dan Produsen atau SPBU Pertamina 0,25% untuk Penjualan Final atas Saat penerbitan Dipungut oleh
pelumas importir BBM, BBG penjualan BBM ke tidak penjualan BBM surat perintah pemungut dengan
dan pelumas SPBU Pertamina termasuk PPN dan BBG kepada pengeluaran barang menerbitkan Bukti
penyalur/agen (delivery order). Pungut. Disetor
pemungut ke kas
negara dengan SSP
SPBU Non 0,3% untuk Tidak Final atas atas nama
Pertamina dan Non penjualan BBM ke penjualan BBM Pemungut.
SPBU SPBU Non Pertamina dan BBG kepada
dan Non SPBU selain
penyalur/agen

Pembeli gas dan 0,3% untuk Tidak final atas


pelumas penjualan gas dan penjualan
pelumas pelumas

8 Pembelian bahan-bahan Industri dan eksportir Penjual 0,25% Harga Tidak final Saat pembelian Dipungut oleh
untuk keperluan industri yang bergerak di pembelian pemungut dengan
atau ekspornya bidang pertanian, tidak menerbitkan Bukti
perkebunan, termasuk PPN Pungut. Disetor
peternakan, pemungut ke kas
perikanan dan negara dengan SSP
kehutanan atas nama
Pemungut.

181
9 Pembelian komoditas Industri atau badan Badan atau orang 1,5% Harga Tidak final Saat pembelian Dipungut oleh
tambang batubara, mineral usaha yang pribadi pemegang pembelian pemungut dengan
logam, dan mineral bukan melakukan pembelian izin usaha tidak menerbitkan Bukti
logam komoditas tambang pertambangan termasuk PPN Pungut. Disetor
batubara, pemungut ke kas
mineral logam, dan negara dengan SSP
mineral bukan logam atas nama
Pemungut.
10 Penjualan emas batangan di Badan usaha yang Pembeli emas 0,45% Harga jual Tidak final Saat penjualan Dipungut oleh
dalam negeri memproduksi emas batangan di dalam emas pemungut dengan
batangan negeri batangan menerbitkan Bukti
Pungut. Disetor
pemungut ke kas
negara dengan SSP
atas nama
Pemungut.
11 Penjualan barang sangat WP Badan yang Pembeli barang 5% Harga jual Tidak final Saat penjualan Dipungut oleh
mewah menjual barang yang tergolong tidak pemungut dengan
sangat mewah sangat mewah termasuk PPN menerbitkan Bukti
dan PPnBM Pungut. Disetor
pemungut ke kas
negara dengan SSP
atas nama
Pemungut.
Catatan:
Badan Usaha yang dimiliki langsung BUMN meliputi:
PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT
Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia
Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah,
dan PT Bank BNI Syariah

Barang yang tergolong sangat mewah adalah: (PMK 90/PMK.03/2015)


1 Pesawat terbang pribadi dan Helikopter pribadi
2 Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya
3 Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp5 M atau luas bangunan lebih dari
400m2
4 Apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp5 M atau luas bangunan lebih dari 150m2

182
5 Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan
harga jual > Rp2 M atau dengan kapasitas silinder > 3.000cc
6 kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300 juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc
Sumber : PMK 154/PMK.03/2010 sebagaimana diubah terakhir dengan PMK 16/PMK.010/2016 dan PMK 253/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan PMK 90/PMK.03/2015

183
LAMPIRAN III

RINGKASAN PPH PASAL 23

NO. JENIS PENGHASILAN PEMOTONG PIHAK DIPOTONG TARIF DASAR PENGENAAN KETERANGAN
1 Dividen 1 Badan
pemerintah
2 Bunga 2 Subjek pajak
badan dalam
negeri
I 3 Royalti 3 Penyelenggara 15%
kegiatan
4 hadiah, penghargaan, 4 Bentuk Usaha
bonus, dan sejenisnya Tetap
selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21
1 sewa dan penghasilan 5 Perwakilan Saat pemotongan adalah saat
lain sehubungan dengan perusahaan luar dibayarkan, disediakan untuk
penggunaan harta, negeri lainnya dibayarkan, jatuh tempo
kecuali yang telah pembayaran.
Wajib Pajak dalam negeri dan
dikenaiPPh Pasal 4 ayat Jumlah bruto Pemotongan dilakukan dengan
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
(2) menerbitkan bukti potong PPh
2 Jasa teknik, selain yang Pasal 23. Penyetoran dilakukan
telah dipotong PPh oleh Pemotong dengan SSP atas
Pasal 21 nama Pemotong.
3 Jasa manajemen, selain
II 2%
yang telah dipotong PPh
Pasal 21
4 Jasa konsultan, selain
yang telah dipotong PPh
Pasal 21
5 Jasa lain, selain yang
telah dipotong PPh
Pasal 21 (Rincian jenis
jasa lain lihat PMK
141/PMK.03/2015)

184
Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23

1 Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2 Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi

3 Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);

4 Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i

5 Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

6 Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan

Ketentuan:
Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan

185
LAMPIRAN III

RINGKASAN PPH PASAL 26

DASAR
NO. JENIS PENGHASILAN PEMOTONG PIHAK DIPOTONG TARIF KETERANGAN
PENGENAAN
I. Pasal 26 ayat (1)
1 Dividen 1 Badan pemerintah Wajib Pajak luar negeri selain 20% Penghasilan bruto Saat terutang
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah saat
2 Bunga 2 Subjek pajak dalam negeri
pembayaran atau
3 Royalti dan Sewa 3 Penyelenggara kegiatan saat jatuh tempo
4 Imbalan sehubungan dengan pekerjaan, 4 Bentuk Usaha Tetap
jasa dan kegiatan

5 Hadiah dan penghargaan 5 Perwakilan perusahaan luar negeri


lainnya

6 Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya


7 Premi swap dan transaksi lindung nilai
lainnya

8 Keuntungan pembebasan hutang


II. Pasal 26 ayat (2)
1 Penghasilan dari penjualan atau pengalihan Pembeli yang ditunjuk sebagai Pemotong Pajak Wajib Pajak luar negeri yang 20% Perkiraan Pengecualian
harta berupa perhiasan mewah, emas melakukan penjualan atau Penghasilan Neto = untuk Wajib Pajak
berlian, emas, intan, jam tangan mewah, pengalihan harta berupa 25% x Harga Jual Orang Pribadi
barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal perhiasan mewah, emas Luar Negeri yang
pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan. berlian, emas, intan, jam menerima atau
Tidak termasuk penghasilan dari penjualan tangan mewah, barang antik, memperoleh
atau pengalihan harta yang dikenakan PPh lukisan, mobil, motor, kapal penghasilan dari
Pasal 4 ayat (2) UU PPh. pesiar, dan/atau pesawat penjualan atau
terbang ringan pengalihan harta
yang besarnya
tidak melebihi
Rp10.000.000,00
untuk setiap jenis
transaksi

186
2 1 Pembeli, apabila pembelinya Wajib Pajak Wajib Pajak luar negeri yang 20% Perkiraan Tidak dilakukan
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan
Dalam Negeri melakukan penjualan atau Penghasilan Neto = pemotongan PPh
harta berupa saham Perseroan yang
pengalihan saham Perseroan 25% x Harga Jual Pasal 26 apabila
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
Indonesia berdasarkan P3B,
2 Perseroan yang sahamnya dijual, apabila hak
Perseroan adalah PT Dalam Negeri yang pembelinya Wajib Pajak Luar Negeri pemajakannya
sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang berada pada
sahamWPLN dan tidak berstatus sebagai negara domisili
Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Pasar Modal

3 20% Perkiraan Tidak ada


Pembayaran premi asuransi kepada Perusahaan asuransi luar Penghasilan Neto: pengecualian
perusahaan asuransi luar negeri yang negeri yang menerima premi
dilakukan oleh: asuransi dari:
a. Tertanggung 1. Tertanggung a. Tertanggung 50%
b. Perusahaan Asuransi 2. Perusahaan Asuransi b. Perusahaan Asuransi 10%
c. Perusahaan Reasuransi 3. Perusahaan Reasuransi c. Perusahaan Reasuransi 5%
III. Pasal 26 ayat (2a)
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham 1. Pembeli, apabila pembelinya Wajib Pajak Wajib Pajak luar negeri yang 20% Perkiraan Tidak dilakukan
perusahaan antarayang mempunyai hubungan Dalam Negeri melakukan penjualan atau Penghasilan Neto = pemotongan PPh
istimewa dengan badan atau BUT di Indonesia pengalihan saham perusahaan 25% x Harga Jual Pasal 26 apabila
(Pasal 18 ayat 3c UU PPh) antara berdasarkan P3B,
2. Badan atau BUT di Indonesia yang hak
memiliki hubungan istimewa dengan pemajakannya
perusahaan antara yang sahamnya dijual, berada pada
apabila pembelinya Wajib Pajak luar negara domisili
negeri

IV. Pasal 26 ayat (4)


Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Self assesment Self assesment 20% Penghasilan Kena Pengecualian jika
dari suatu BUT di Indonesia Pajak dikurangi PPh penghasilan
terutang tersebut
ditanamkan
kembali di
Indonesia

187
Ketentuan Pelaksanaan:
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011

188

Anda mungkin juga menyukai