Anda di halaman 1dari 33

KEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPH PASAL 21

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah :

Perpajakan Lanjutan

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. Vince Ratnawati, SE, M.Si, Ak, BKP, CA

DI SUSUN OLEH :

1. Raja Reno Setiawan 1710246066


2. Gunawan Hutomo M.P 1710246057

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS RIAU

2018
PENDAHULUAN

Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai


kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti
kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya.
Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting


dari penerimaan Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indicator
atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan
kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi
kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung. PPh Pasal 21 merupakan pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Saat ini PPh pasal 21 harus
menjadi perhatian bagi wajib pajak yang dikenakan PPh pasal 21, oleh karena itu kita akan
membahasnya secara perlahan-lahan agar mudah dimengerti.
PEMBAHASAN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

A. DASAR HUKUM

1. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
dan Jaminan Hari Tua yang dibayar sekaligus
2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadikan Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaran Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan dan Santunan
yang Dibayarkan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
Tertentu yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan
atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau
Pensiunan
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan kegiatan
Orang Pribadi
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Tunjangan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.011/2011 tentang Batasan Maksimum
Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan
Gas Bumi
11. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002 tentang Pedoman Standar
Gaji Karyawan Asing
12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi
13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara
Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pasal 26
14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi (Pengganti PER-31/PJ/2012)
15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 16/PJ.44/1992 tentang Pembagian
Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi, dan Tantiem
16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ.41/1993 tentang Penjelasan Biaya
Jabatan Untuk Pegawai Tetap yang bekerja pada dua pemberi kerja atau lebih
17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor56/PJ.42/1999 tentang Perlakuan PPh Pasal
21 atas Pemberian Hadiah Saham Kepada Pegawai
18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.03/2007 tentang Penegasan
Pemotongan PPh Pasal 21 Pimpinan dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Anggota
Kepanitian Sehubungan Dengan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah

B. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan
oleh wajib pajak orang pribadi subjek dalam negeri selanjutnya disebut PPh pasal 21,
merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

Pembayaran PPh ini dilakukan dalam tahun berjalan oleh pihak-pihak tertentu. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan PPh ini yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah,
dana pensiun, perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan. Jumlah pajak yang telah
dipotong dan disetor dengan benar oleh pihak-pihak tertentu itu dapat dijadikan kredit pajak
atas PPh yang terutang diakhir tahun.

C. PEMOTONG PAJAK (PER-32/PJ/2015)


Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari:
1. orang pribadi;
2. badan; atau
3. cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas
pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; dan/atau
3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan,
serta pegawai magang; atau
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional
dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu
kegiatan.

Bukan atau tidak berkewajiban melakukan pemotongan PPh 21 yaitu Organisasi


Internasional

D. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


Penerima Penghasilan yang dipotong atau subjek PPh Pasal 21 adalah orang pribadi
yang merupakan:
1. Pegawai;
2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa,
meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
g. agen iklan;
h. pengawas atau pengelola proyek;
i. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j. petugas penjaja barang dagangan;
k. petugas dinas luar asuransi; dan/atau
l. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
4. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama;
5. mantan pegawai; dan/atau
6. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
a. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d. peserta pendidikan dan pelatihan; atau
e. peserta kegiatan lainnya.

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:

1. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; atau
2. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
E. OBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pengertian objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapunyang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 21)
Penghasilan yang dipotong atau objek PPh Pasal 21 adalah:
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang
Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
4. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
7. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
8. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
9. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
1. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong atau bukan objek PPh
Pasal 21 adalah:

1. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa;
2. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2);
3. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang
pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
5. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

F. BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN (PMK NOMOR 250/PMK.03/2008)


Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp.
6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
sebulan.
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp.
2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu
rupiah) sebulan.
Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja atau lebih,
maka besarnya biaya jabatan merupakan penjumlahan dari masing-masing formulir 1721 A1
atau 1721 A2 yang menghasilkan biaya jabatan dapat lebih tinggi dari Rp. 6.000.000,00. per
tahun.

G. PREMI ASURANSI YANG DIBAYARKAN PEMBERI KERJA YANG MERUPAKAN OBJEK PPh
PASAL 21

Program BPJS Ketenagakerjaan (PP No. 53 Tahun 2012)

1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) :


Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja, yaitu :
Kelompok I = Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan
Kelompok II = Premi sebesar 0,54% x Gaji sebulan
Kelompok III = Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan
Kelompok IV = Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan
Kelompok V = Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan
2. Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Gaji sebulan
Atas premi JKK, dan JKM yang dibayarkan oleh pemberi kerja dimasukan sebagai
penghasilan karyawan (menambah penghasilan bruto).

Program BPJS Kesehatan (Perpres No.111 Tahun 2013)

Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah yang terdiri atas
pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah
non pegawai negeri sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan yang terdiri atas :

1. 3% dibayar oleh pemberi kerja; dan


2. 2% dibayar oleh peserta (Pasal 16B)
Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah selain peserta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B ayat (1) yang dibayarkan mulai 1 januari 2014
sampai dengan 30 juni 2015 sebesar 4,5% dari gaji atau upah per bulan yang terdiri dari :

1. 4% dibayar oleh pemberi kerja; dan


2. 0,5% dibayar oleh peserta

Mulai tanggal 1 juli 2015 sebesar 5% dari gaji atau upah perbulan dengan
ketentuan :

1. 4% dibayar oleh pemberi kerja; dan


2. 1% dibayar oleh peserta

Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan besaran iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B ayat (1) sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 orang anak.

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Pengertian PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi
batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila
penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan
bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal
21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Besarnya PTKP Untuk Tahun Pajak 2018, 2017 dan 2016 :

Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk Tahun Pajak 2018, 2017 dan
2016 sebagai berikut :

 Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

 Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
 Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan;

 Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.

PTKP ini mulai berlaku mulai Masa Januari Tahun Pajak 2016 bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam menjalankan kewajiban PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi.

Penerapan PTKP Dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Dan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak
2018, 2017 dan 2016

Penerapan ketentuan tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak. Contoh :

 PTKP Tuan Aditya Tahun 2016 adalah dengan status Kawin anak 1 (satu).

 Tanggal 1 Pebruari Tahun 2017 Isteri Tuan Aditya melahirkan anak laki-laki sehingga
Tuan Aditya mulai 1 Pebruari 2017 memiliki 2 (dua) anak.

 PTKP Tuan Aditya Tahun Pajak 2017 adalah tetap status Kawin anak 1 (satu).

Penerapan PTKP Tahun Pajak 2018, 2017 dan 2016 untuk satu tahun :

PTKP Untuk Laki-laki Tidak Kawin dan Wanita (kawin/tidak kawin)

STATUS TK/0 TK/1 TK/2 TK/3


Wajib Pajak (Laki-laki tidak kawin & 54.000.00 58.500.00 63.000.00
67.500.000
Wanita) 0 0 0

Penjelasan :

 Status Wanita meskipun sudah kawin tetap mempunyai PTKP tidak kawin kecuali dapat
membuktikan bahwa suami tidak bekerja (dari Instansi terkait/kelurahan).

 TK/0 : Tidak Kawin tidak ada tanggungan PTKP sebesar 54.000.000.

 TK/1 : Tidak Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan PTKP sebesar 58.500.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000)
 TK/2 : Tidak Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan PTKP sebesar 63.000.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000 + 4.500.000)

 TK/3 : Tidak Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan PTKP sebesar 67.500.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000)

PTKP Untuk Laki-Laki Kawin Isteri Tidak Bekerja/Tidak Usaha


STATUS K/0 K/1 K/2 K/3
Istri Tdk Kerja/ Tdk Usaha 58.500.000 63.000.000 67.500.000 72.000.000

Penjelasan Isteri Tidak Bekerja:

 K/0 : Kawin tidak ada tanggungan 58.500.000 (54.000.000 + 4.500.000)

 K/1 : Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan 63.000.000 (54.000.000 + 4.500.000 +


4.500.000)

 K/2 : Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan 67.500.000 (54.000.000 + 4.500.000 +


4.500.000 + 4.500.000)

 K/3 : Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan 72.000.000 (54.000.000 + 4.500.000 +


4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000)

PTKP Untuk Laki-Laki Kawin Isteri Bekerja/Usaha


STATUS K/I/0 K/I/1 K/I/2 K/I/3
Istri Kerja / Usaha 112.500.000 117.000.000 121.500.000 126.000.000

Penjelasan Isteri Bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja atau usaha :

 PTKP untuk isteri yang bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan suami,
yang digabung dengan PTKP suami hanya yang bekerja pada lebih dari satu pemberi
kerja dan/atau isteri yang memiliki usaha (penghasilan digabung dengan penghasilan
suami)

 K/I/0 : Kawin Isteri Bekerja/Usaha tidak ada tanggungan 112.500.000 (54.000.000 +


54.000.000+ 4.500.000)

 K/I/1 : Kawin Isteri Bekerja/Usaha memiliki 1 (satu) tanggungan 117.000.000


(54.000.000 + 54.000.000+4.500.000 +4.500.000)
 K/I/2 : Kawin Isteri Bekerja/Usaha memiliki 2 (dua) tanggungan 121.500.000 (54.000.000
+ 54.000.000+ 4.500.000 + 4.500.000+ 4.500.000)

 K/I/3 : Kawin Isteri Bekerja/Usaha memiliki 3 (tiga) tanggungan 126.000.000 (54.000.000


+ 54.000.000+ 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000)

Daftar Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 2018 :

No Deskripsi Jumlah
1 Wajib Pajak 54.000.000
2 + WP Kawin 4.500.000
3 + Anak : maksimal 3 4.500.000
4 + Penghasilan Suami/Istri Digabung 54.000.000

A. PTKP Wajib Pajak Tidak Kawin


Deskripsi Status Nilai Total
+ Wajib Pajak WP 54.000.000 54.000.000
+ Tanggungan 1 TK/1 4.500.000 58.500.000
+ Tanggungan 2 TK/2 9.000.000 63.000.000
+ Tanggungan 3 TK/3 13.500.000 67.500.000

B. PTKP Wajib Pajak Kawin


Deskripsi Status Nilai Total
+ Wajib Pajak WP 54.000.000 54.000.000
+ WP Kawin K/0 4.500.000 58.500.000
+ Tanggungan 1 K/1 4.500.000 63.000.000
+ Tanggungan 2 K/2 9.000.000 67.500.000
+ Tanggungan 3 K/3 13.500.000 72.000.000

C. Wajib Pajak Kawin + Penghasilan Istri dan Suami Digabungkan


Deskripsi Status Nilai Total
+ Wajib Pajak WP 54.000.000 54.000.000
+ Penghasilan digabung 54.000.000 108.000.000
+ WP Kawin K/I/0 4.500.000 112.500.000
+ Tanggungan 1 K/I/1 4.500.000 117.000.000
+ Tanggungan 2 K/I/2 9.000.000 121.500.000
+ Tanggungan 3 K/I/3 13.500.000 126.000.000
Apabila penghasilan dibawah PTKP, maka sesuai dengan pasal 2 dan 3 dari Peraturan Menteri
Keuangan : Nomor 183/PMK.03/2007, maka Anda tidak diwajibkan untuk lapor SPT Tahunan.

H. PERHITUNGAN PPh PASAL 21

Cara menghitung PPh Pasal 21 (PER-32/PJ/2015)

Pegawai Tetap :

Dasar pengenaan pajak :

PKP = PH Bruto - (Biaya Jabatan + Iuran Pensiun + Iuran THT/JHT + PTKP)


NO Penghasilan Netto Tidak disetahunkan Penghasilan Netto Disetahunkan

1 Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya
sudah berada sejak awal tahun, tetapi mulai sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai
bekerja setelah bulan januari. Dengan kata lain : setelah permulaan tahun pajak. Dengan kata
Karyawan yang mulai bekerja setelah bulan lain : Pendatang dari luar negeri bekerja dalam
januari periode berjalan
2 Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya Karyawan yang kewajiban pajak
sudah berada sejak awal tahun, tapi berhenti subjektifnynya sebagai Subjek Pajak dalam
bekerja dalam tahun berjalan. Dengan kata lain : negeri berakhir dalam tahun pajak.Dengan
Karyawan yang berhenti bekerja dalam periode kata lain :Pendatang dari luar negeri berhenti
berjalan bekerja dalam periode berjalan
3 Karyawan yang meninggalkan Indonesia
selama-lamanya
4 Mutasi oleh pemberi kerja
5 Karyawan yang berhenti bekerja karena
meninggal dunia

Contoh Perhitungan Pegawai Tetap

Berdasar Peraturan Menteri Keuangan No.101/PMK.010/2016, PTKP untuk wajib


pajak lajang adalah Rp 54.000.000. Jika kawin, ditambahkan Rp 4.500.000. Jika memiliki satu
anak, ditambahkan lagi Rp 4.500.000 (maksimal tiga anak atau Rp 13.500.000).
Contoh:

 Edo adalah karyawan tidak menikah, maka berlaku PTKP TK/0 = Rp 54.000.000.

 Ia kemudian menikah, dan istrinya tidak bekerja, maka statusnya berubah menjadi K/0
(Rp 54.000.000 + Rp 4.500.000) = Rp 58.500.000.

 Edo kemudian punya satu anak, maka PTKP yang berlaku K/1 (Rp 54.000.000 + Rp
4.500.000 + Rp 4.500.000) = Rp 63.000.000.

 Istrinya kemudian bekerja di perusahaan lain untuk membantu Edo mencukupi


kebutuhan rumah tangga, sehingga PTKP yang berlaku K/I/1 atau K/1 + TK/0 (Rp
63.000.000 + Rp 54.000.000) = Rp 117.000.000.

Jika gaji karyawan setahun lebih kecil atau sama dengan PTKP, maka pendapatannya tidak
dipotong PPh 21. Dalam kasus di atas, gaji Edo per bulan Rp 4.500.000 saat istrinya belum
bekerja dan belum punya anak, maka gaji setahun Rp 54.000.000 atau di bawah PTKP K/0
(Rp 58.500.000), sehingga gajinya tidak dipotong PPh 21.

Namun beda halnya jika penghasilan karyawan di atas PTKP, maka perusahaan wajib
memotong PPh 21.

Sebagai contoh, Edo pindah kerja ke perusahaan lain dengan gaji Rp 5.500.000 per bulan,
sementara istrinya belum bekerja dan belum punya anak. Lalu, bagaimana menghitung PPh
21 untuk penghasilan di bawah PTKP?

Gaji = Rp 5.500.000

Pengurang:

Biaya Jabatan (5%) = Rp 275.000

Iuran Pensiun = Rp 100.000

Total Pengurang = Rp 375.000

Penghasilan Neto Sebulan = Gaji – Total Pengurang

= Rp 5.500.000 – Rp 375.000

= Rp 5.125.000

Penghasilan Neto Setahun (12 x Rp 5.125.000) = Rp 61.500.000


PTKP Setahun (K/0)

WP pribadi = Rp 54.000.000

Tambahan karena menikah = Rp 4.500.000

PTKP Setahun = Rp 58.500.000

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto Setahun – PTKP Setahun

= Rp 61.500.000 – Rp 58.500.000

= Rp 3.000.000

PPh 21 Terutang

5% x Rp 3.000.000 = Rp 150.000

PPh 21 Setahun = Rp 150.000

PPh 21 Sebulan Rp 150.000 : 12 = Rp 12.500

Pegawai Tidak Tetap

Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, karyawan tidak tetap atau karyawan lepas
adalah karyawan yang hanya menerima penghasilan apabila karyawan tersebut bekerja, dengan
besar penghasilan dihitung berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang dihasilkan,
dan penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Dalam peraturan tersebut pada Pasal 12 ayat 3 disebutkan bahwa karyawan tidak tetap yang
memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 4.500.000 (PTKP
2016), maka perhitungan PPh 21 yang digunakan sama dengan perhitungan PPh 21 karyawan tetap.
Berikut adalah jenis-jenis upah yang didapatkan oleh karyawan tidak tetap:

1. Upah harian : upah yang diperoleh karyawan secara harian


2. Upah mingguan : upah yang diperoleh karyawan secara mingguan
3. Upah satuan : upah yang diperoleh karyawan berdasarkan jumlah unit pekerjaan yang
dihasilkan
4. Upah borongan: upah yang diperoleh berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan
tertentu
Cara Menghitung PPh 21 untuk Karyawan Tidak Tetap atau Karyawan Lepas
Harian/Borongan

1. Menentukan jumlah upah harian atau rata-rata upah yang diterima dalam sehari

Untuk upah mingguan, dibagi dengan jumlah hari bekerja dalam seminggu
Untuk upah satuan, dikalikan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari
Untuk upah borongan, dibagi dengan jumlah hari dalam menyelesaikan perkerjaan
borongan
2. Tidak ada PPh 21 yang dipotong, jika:

Upah harian atau rata-rata upah harian kurang dari Rp 450.000 dan jumlah kumulatif
dalam satu bulan belum melebihi Rp 4.500.000.

3. PPh 21 harus dipotong sebesar upah harian atau rata-rata upah harian dikurangi Rp
450.000, lalu dikalikan 5%, jika:

Upah harian atau rata-rata upah harian sudah lebih dari Rp.450.000 tetapi jumlah
kumulatif dalam satu bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.

4. PPh 21 harus dipotong sebesar upah harian atau rata-rata upah dikurangi PTKP sehari lalu
dikalikan 5%, jika:

Jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp.4.500.000, tetapi kurang
dari Rp.10.200.000.

5. Berlaku Tarif pada Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf (a), jika:

Jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp 10.200.000.

Untuk lebih jelasnya, berikut tabel tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang dikenakan
pada karyawan tidak tetap atau karyawan lepas harian/borongan.

Penghasilan Penghasilan Kumulatif


Tarif dan DPP
Sehari Sebulan

< Rp 450.000 < Rp 4.500.000 Tidak ada PPh 21

> Rp 450.000 < Rp 4.500.000 5% x (Upah – Rp. 450.000)


< Rp 450.000
> Rp 4.500.000 5% x (Upah – (PTKP/360))
> Rp 450.000

< Rp 450.000 Tarif pada Undang-Undang Pajak


> Rp 10.200.000
> Rp 450.000 Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf (a)

Contoh Perhitungan PPh 21 untuk Karyawan Tidak Tetap atau Karyawan Lepas
Harian/Borongan

Upah Harian

Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2016 bekerja sebagai buruh
harian PT Cita Indonesia. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp
450.000. Berapa PPh 21 yang dikenakan?

Jawab:

Upah Sehari: Rp 450.000


Batas upah harian yg tidak dikenakan pajak: (Rp 450.000)

Penghasilan Kena Pajak Sehari = 0

Hari ke-10:
Karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 4.500.000, maka tidak ada
PPh Pasal 21 yang dipotong.

Hari ke-11:
Karena jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 4.500.000, maka perhitungan PPh
21 Nurcahyo adalah:

Upah s/d hari ke-11: 11 x Rp 450.000 = Rp 4.950.000


PTKP sebenarnya: 11 x (Rp 54.000.000 / 360) = (Rp 1.650.000)

PKP s/d hari ke-11 = Rp 3.300.000

PPh 21 terutang: 5% x RP 3.300.000 = Rp 165.000


PPh 21 yang dipotong s/d hari ke-10: (0)

PPh 21 yang dipotong hari ke-11 = Rp 165.000


Sehingga pada hari ke-11, Nurcahyo menerima upah bersih sebesar:

Rp 450.000 – Rp 165.000 = Rp 285.000

Hari ke-12:
Jika Nurcahyo bekerja sampai hari ke-12, maka perhitungan PPh 21 nya adalah:

Upah sehari: Rp 450.000


PTKP sebenarnya: Rp 54.000.000 / 360 = (Rp 150.000)
PKP = Rp 300.000

PPh 21 terutang: 5% x Rp 300.000 = Rp 15.000

Sehingga pada hari ke-12, Nurcahyo menerima upah bersih sebesar:

Rp 450.000 – Rp 15.000 = Rp 435.000

Contoh lainnya adalah:


Nanang Hermawan (belum menikah) pada bulan Maret 2016 bekerja pada perusahaan PT
Tani Jaya, menerima upah sebesar Rp 650.000 per hari. Berapa PPh 21 nya?

Jawab:

Upah sehari > Rp 450.000: Rp 650.000 – Rp 450.000 = Rp 200.000


PPh 21 harian: 5% x Rp 200.000 = Rp 10.000

Pada hari ke-7, Nanang telah menerima penghasilan sebesar Rp 4.550.000 sehingga sudah
lebih dari Rp 4.500.000, maka PPh 21 pada bulan Maret:

Upah s/d hari ke 7: 7 x Rp 650.000 = Rp 4.550.000


PTKP sebenernya: 7 x (Rp 54.000.000 / 360) = (Rp 1.050.000)

PKP = Rp 3.500.000

PPh 21 terutang: 5% x Rp 3.500.000 = Rp 175.000


PPh 21 yang dipotong s/d hari ke 6: 6 x Rp 10.000 = (Rp 60.000)

PPh 21 yang dipotong hari ke-7: Rp 115.000

Sehingga pada hari ke 7, Nanang menerima upah bersih sebesar:

Rp 650.000 – Rp 115.000 = Rp 535.000


Maka jumlah PPh 21 per hari Nanang Hermawan yang dipotong sejak hari ke-8 dan
seterusnya adalah sebesar:

Upah sehari: Rp 650.000


PTKP sebenarnya: Rp 54.000.000 / 360 = (Rp 150.000)
PKP = Rp 500.000

PPh 21 terutang: 5% x Rp 500.000 = Rp 25.000

Upah Satuan – Upah Mingguan

Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada
suatu perusahaan elektronika. Perolehan upah Rizal Fahmi dihitung berdasarkan jumlah unit
pekerjaan yang dapat diselesaikan yaitu sebesar Rp 125.000 per TV dan dibayarkan setiap
minggu. Dalam 1 minggu (6 hari kerja), Rizal Fahmi dapat menyelesaikan pekerjaan sebanyak
24 buah TV dengan upah Rp 3.000.000. Berapa PPh 21nya?

Jawab:

Upah sehari: Rp 3.000.000 / 6 = Rp 500.000


Upah di atas Rp 450.000: Rp 500.000 – Rp 450.000 = (Rp 50.000)

PPh 21 terutang: 6 x (5% x Rp 50.000) = Rp 15.000

Upah Borongan

Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 950.000,
pekerjaan yang diselesaikan dalam 2 hari. Berapa PPh 21nya?

Jawab:

Upah borongan sehari: Rp 950.000 / 2 = Rp 475.000


Upah di atas Rp 450.000: Rp 475.000 – Rp 450.000 = (Rp 25.000)

PPh 21 terutang: 2 x (5% x Rp 25.000) = Rp 2.500

Upah Harian / Satuan / Borongan / Honorarium / yang Diterima Tenaga Lepas yang
dibayarkan Bulanan

Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2016 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari dan
upah sehari sebesar Rp 250.000. Bagus sudah menikah tapi belum memiliki anak. Berapa
PPh 21 bulan Januari?

Jawab:

Upah Januari 2016: 20 x Rp 250.000 = Rp 5.000.000


Penghasilan neto setahun: Rp 5.000.000 x 12 = Rp 60.000.000
PTKP K/0 = (Rp 58.500.000)

PKP: Rp 60.000.000 – Rp 58.500.000 = Rp 1.500.000

PPh 21 terutang setahun: 5% x Rp 1.500.000 = Rp 75.000


PPh 21 terutang sebulan: Rp 75.000 / 12 = Rp 6.250

Pada bulan yang sama (Januari), Bagus Hermanto menerima bonus kerja dari perusahaan
sebesar Rp 6.000.000. Berapa total PPh 21 terutang bulan Januari?

Jawab:

Upah Januari 2016: 20 x Rp 250.000 = Rp 5.000.000


Penghasilan setahun: Rp 5.000.000 x 12 = Rp 60.000.000
Bonus: (Rp 6.000.000)
Penghasilan neto setahun: Rp 66.000.000
PTKP (K/0): (Rp 58.500.000)

PKP: Rp 66.000.000 – Rp 58.500.000 = Rp 7.500.000

PPh 21 terutang Gaji + Bonus: 5% x Rp 7.500.000 = Rp 375.000


PPh 21 terutang Bonus: Rp 375.000 – Rp 75.000 = Rp 300.000

Sehingga total PPh 21 Bambang Hermanto pada bulan Januari adalah sebesar:

Bukan Pegawai
Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitian;
7. agen iklan;
8. pegawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesananan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multi marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

Dasar Pengenaan :

PPh = (Kumulatif Ph Bruto x 50%) x Tarif PPh Pasal 17

Untuk dokter yang berpraktik di RS/Klinik :

Ph Bruto = Jasa yang dibayar pasien melalui RS/Klinik sebelum biaya /bagi hasil

Contoh :

1. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau
klinik dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik
di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter
yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian
penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan
dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di
Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik
sendiri di klinik pribadinya, dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP. Pada tahun
2016, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah
Sakit Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut:

Jasa Dokter yang dibayar Pasien (100%)


Bulan
(Rupiah)
Januari 45.000.000,00
Februari 49.000.000,00
Maret 47.000.000,00
April 40.000.000,00
Mei 44.000.000,00
Juni 52.000.000,00
Juli 40.000.000,00
Agustus 35.000.000,00
September 45.000.000,00
Oktober 44.000.000,00
November 43.000.000,00
Desember 40.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016:

Jasa Dokter yang Dasar Dasar Pemotongan Tarif Pasal 17


PPh Pasal 21
Bulan dibayar Pasien Pemotongan PPh PPh Pasal 21 ayat (1) huruf
terutang (Rupiah)
(Rupiah) Pasal 21 (Rupiah) Kumulatif (Rupiah) a UU PPh

(1) (2) (3)=50%X(2) (4) (5) (6)=(3) X (5)


Januari 45.000.000,00 22.500.000,00 22.500.000,00 5% 1.125.000,00
Februari 49.000.000,00 24.500.000,00 47.000.000,00 5% 1.225.000,00
Maret 47.000.000,00 3.000.000,00 50.000.000,00 5% 150.000,00
----------- ------------ ------- ----------
20.500.000,00 70.500.000,00 15% 3.075.000,00
April 40.000.000,00 20.000.000,00 90.500.000,00 15% 3.000.000,00
Mei 44.000.000,00 22.000.000,00 112.500.000,00 15% 3.300.000,00
Juni 52.000.000,00 26.000.000,00 138.500.000,00 15% 3.900.000,00
Juli 40.000.000,00 20.000.000,00 158.500.000,00 15% 3.000.000,00
Agustus 35.000.000,00 17.500.000,00 176.000.000,00 15% 2.625.000,00
September 45.000.000,00 22.500.000,00 198.500.000,00 15% 3.375.000,00
Oktober 44.000.000,00 22.000.000,00 220.500.000,00 15% 3.300.000,00
November 43.000.000,00 21.500.000,00 242.000.000,00 15% 3.225.000,00
Desember 40.000.000,00 8.000.000,00 250.000.000,00 15% 1.200.000,00
----------- ------------- -------- -----------
12.000.000,00 262.000.000,00 25% 3.000.000,00
Jumlah 524.000.000,00 262.000.000,0 35.500.000,00
0

Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah
sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
Selain Tenaga Ahli

Imbalan bersifat berkesinambungan Perhitungan


Ber-NPWP & hanya menerima ph dari Jumlah kumulatif (Ph Bruto*50% - PTKP
pemotong pajak ybs sebulan) x Tarif PPh Pasal 17
Tidak ber-NPWP / menerima ph selain Jumlah Kumulatif Ph Bruto*50% dalam
pemotong pajak ybs tahun x Tarif PPh Pasal 17
Imbalan bersifat Kesinambungan PPh Bruto*50% x Tarif PPh Pasal 17
* Berkesinambungan : Dibayar/terutang > 1 kali dalam satu tahun kalender

* Ph Bruto : Ph Bruto – Jasa Pegawai/pengeluaran material

Contoh :

Contoh penghitungan pph pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai yang
menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan.

1. Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia


dengan fee sebesar Rp. 5.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:

5% X 50% X Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00

Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang menjadi sebesar:

120% X 5% X 50% X Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00

Contoh penghitungan pemotongan pph pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan
pegawai, sehubungan dengan pemberian jasa yang dalam pemberian jasanya
mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan penyerahan
material/bahan

1. Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan
Rp. 10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 4 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp375.000,00. Upah harian yang
dibayarkan untuk 4 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain
itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp
1.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:

a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha, dapat
diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada
pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare
part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah
sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip
Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:

Rp 10.000.000,00 - Rp4.500.000,00 - Rp1.000.000,00 = Rp4.500.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip
Nugraha adalah sebesar:

5% X 50% X Rp4.500.000,00 = Rp112.500,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
oleh PT Wahana Jaya menjadi:

120% X 5% X 50% X Rp4.500.000,00 = Rp 135.000,00

b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang
dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus
dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus
dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar :

5% X 50% X Rp 10.000.000,00 = Rp250.000,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
oleh PT Wahana Jaya menjadi:

120% X 5% X 50% X Rp 10.000.000,00 = Rp300.000,00

Catatan : Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong
PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.
Peserta Kegiatan

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21:

Sony Gemilang adalah seorang atlet bulutangkis professional Indonesia yang


bertempat tinggal di Jakarta, Ia menjuarai turnamen Indonesia Grand Prix Gold dan
memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut
adalah:

5% X Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% X Rp 150.000.000,00 Rp 22.500.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang Rp 25.000.000,00

Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap pegawai tetap pada perusahaan yang sama :

Dasar Pengenaan : PPh = (kumulatif Ph bruto (Honorarium) x Tarif PPh Pasal 17

Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap.

Aulia Rais adalah seorang komisaris di PT Media Primatama, yang bukan sebagai
pegawai tetap. Dalam tahun 2016, yaitu bulan Desember 2016 menerima honorarium
sebesar Rp60.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% X Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% X Rp 10.000.000,00 Rp 1.500.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada


yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan
yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.
Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai

Dasar Pengenaan : PPh = Kumulatif Ph Bruto (Produksi, Tantiem, dll) x Tarif PPh Pasal
17

Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan


pegawai. Anggrainy bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2016 telah
berhenti bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2016 Anggrainy
menerima jasa produksi tahun 2015 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp55.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% X Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% X Rp 5.000.000,00 Rp 750.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 3.250.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada


mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan
yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan
yang telah diterima sebelumnya.

Pesangon (PMK 16/PMK.03/2010)

Penghasilan berupa bunga pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua
atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Perhitungan PPh Final sbb :

a. Perhitungan bruto s.d. Rp 50.000.000 tidak dikenakan PPh Final.


b. Penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000 sebesar 5%
c. Penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 s.d. Rp 500.000.000 sebesar 15%
d. Penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000 sebesar 25%

Tarif Pajak Penghasilan 21 Final diterapkan atas jumlah kumulatif uang Pesangon
dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Melebihi Jangka Waktu 2 tahun kalender

Jika terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga
dan tahun-tahun berikutnya, pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan atas jumlah
bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada masing-
masing tahun kalender yang bersangkutan.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat dikreditkan.
Jika Pegawai tidak memiliki NPWP, tarifnya lebih tinggi 20% daripada yang memiliki NPWP.
Contoh :

PT. Sejahtera melakukan pembayaran Uang pesangon kepada Firman Safitri secara bertahap
dengan jadwal pembayaran sebagai berikut :

a. Bulan Januari 2010 Rp 240.000.000


b. Bulan Januari 2011 Rp 120.000.000
c. Bulan Juli 2011 Rp 120.000.000
d. Bulan Januari 2012 Rp 120.000.000

Maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang :

a. Bulan Januari 2010 :


0% x Rp 50.000.000 = Rp 0
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 140.000.000 = Rp 21.000.000(+)
Rp 23.500.000
b. Bulan Januari 2011 :
15% x Rp 120.000.000= Rp 18.000.000

c. Bulan Juli 2011 :


15% x Rp 120.000.000= Rp18.000.000

d. Bulan Januari 2012 :


Oleh karena Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk
Uang Pesangon yang dibayarkan Januari 2012 adalah tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Pajak Penghasilan dan Pemotongan PPh 21 pada januari 2012 tidak lagi bersifat
final.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari 2012 :
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 70.000.000 = Rp 10.500.000(+)
Rp 13.000.000
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Final sebagai berikut :

a. sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000


b. sebesar 5% atas penghasilan bruto diatas Rp 50.000.000

Tarif Pajak PPh Pasal 21 Final diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu
paling lama 2 tahun kalender.

Honorarium atau Imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD

Dikenakan tarif PPh bersifat Final sebesar :

a. sebesar 0 % dari penghasilan bruto PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Tingkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% dari penghasilan bruto PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota Polri
Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan
Pensiunannya.

Contoh :

Surnarta adalah PNS golongan iii/d, pada maret 2012 menerima honorarium sebagai
naran sumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp
10.000.000

PPh Pasal 21 yang terutang:

5% x Rp 10.000.000 = Rp 500.000
I. SAAT TERUTANG DAN PELAPORAN PPh PASAL 21
Saat terutang PPh Pasal 21 adalah saat dibayarkan atau saat terutangnya
penghasilan.
Pelaporan PPh Pasal 21 oleh Pemotong PPh Pasal 21 (Pemberi kerja) (UU Nomor 16
Tahun 2009, 80/PMK.03/20100
Pelaporan PPh Pasal 21 Masa :
Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan untuk setiap masa pajak (tiap bulan)
harus dilaporkan dalam SPT Masa PPH Pasal 21/26 dan disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan
pelaporan PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

KESIMPULAN
PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas pekerjaan yang dilakukan atau jabatan, jasa, kegiatan dalam bentuk
apapun dimana kegiatan atau pekerjaan tersebut wajib pajak memperoleh gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya.
PPh Pasal 21 dipotong / dipungut oleh pemberi kerja baik orang pribadi, badan, bendahara
atau pemegang kas pemerintah, orang pribadi atau badan penyelenggara kegiatan termasuk
badan pemerintah, organisasi yang menyelenggarakan kegiatan.
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) yaitu :
1. Pegawai tetap
2. Penerima pension berkala
3. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp. 4.500.000
4. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifa berkesinambungan.

Faktor-faktor pengurang dalam Penghitungan PPh Pasal 21 :

1. Biaya Jabatan (maksimal 5%) dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimal Rp.
500.000/bulan)
2. Iuran terkait gaji yang dibayarkan sendiri oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu.
3. PTKP
4. Biaya Pensiun (maksimal 5%) dari penghasilan bruto uang pension (penerima penisun)
dengan maksimal Rp. 200.000/bulan)

Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagai berikut :

 Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

 Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;

 Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan;

 Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Supramono, SE, MBA, DBA &TheresiaWoroDamayanti, SE. Perpajakan Indonesia-


mekanismedanperhitungan, 2010. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 Tentang Penyesuaian PTKP

SafriNurmantu, PengantarPerpajakan, 2005. Jakarta: YayasanObor Indonesia

www.pajak.go.id

Anda mungkin juga menyukai