Perpajakan Lanjutan
DOSEN PEMBIMBING :
DI SUSUN OLEH :
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU
2018
PENDAHULUAN
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Saat ini PPh pasal 21 harus
menjadi perhatian bagi wajib pajak yang dikenakan PPh pasal 21, oleh karena itu kita akan
membahasnya secara perlahan-lahan agar mudah dimengerti.
PEMBAHASAN
A. DASAR HUKUM
1. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
dan Jaminan Hari Tua yang dibayar sekaligus
2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadikan Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaran Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan dan Santunan
yang Dibayarkan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
Tertentu yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan
atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau
Pensiunan
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan kegiatan
Orang Pribadi
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Tunjangan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.011/2012 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.011/2011 tentang Batasan Maksimum
Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan
Gas Bumi
11. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002 tentang Pedoman Standar
Gaji Karyawan Asing
12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi
13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara
Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pasal 26
14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi (Pengganti PER-31/PJ/2012)
15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 16/PJ.44/1992 tentang Pembagian
Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi, dan Tantiem
16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ.41/1993 tentang Penjelasan Biaya
Jabatan Untuk Pegawai Tetap yang bekerja pada dua pemberi kerja atau lebih
17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor56/PJ.42/1999 tentang Perlakuan PPh Pasal
21 atas Pemberian Hadiah Saham Kepada Pegawai
18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.03/2007 tentang Penegasan
Pemotongan PPh Pasal 21 Pimpinan dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Anggota
Kepanitian Sehubungan Dengan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan
oleh wajib pajak orang pribadi subjek dalam negeri selanjutnya disebut PPh pasal 21,
merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Pembayaran PPh ini dilakukan dalam tahun berjalan oleh pihak-pihak tertentu. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan PPh ini yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah,
dana pensiun, perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan. Jumlah pajak yang telah
dipotong dan disetor dengan benar oleh pihak-pihak tertentu itu dapat dijadikan kredit pajak
atas PPh yang terutang diakhir tahun.
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
1. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; atau
2. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
E. OBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pengertian objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapunyang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 21)
Penghasilan yang dipotong atau objek PPh Pasal 21 adalah:
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang
Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
4. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
7. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
8. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
9. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
1. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong atau bukan objek PPh
Pasal 21 adalah:
G. PREMI ASURANSI YANG DIBAYARKAN PEMBERI KERJA YANG MERUPAKAN OBJEK PPh
PASAL 21
Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah yang terdiri atas
pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah
non pegawai negeri sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan yang terdiri atas :
Mulai tanggal 1 juli 2015 sebesar 5% dari gaji atau upah perbulan dengan
ketentuan :
Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan besaran iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16C dan pegawai pemerintah non pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B ayat (1) sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 orang anak.
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi
batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila
penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan
bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal
21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Besarnya PTKP Untuk Tahun Pajak 2018, 2017 dan 2016 :
Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk Tahun Pajak 2018, 2017 dan
2016 sebagai berikut :
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
PTKP ini mulai berlaku mulai Masa Januari Tahun Pajak 2016 bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam menjalankan kewajiban PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi.
Penerapan PTKP Dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Dan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak
2018, 2017 dan 2016
Penerapan ketentuan tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak. Contoh :
PTKP Tuan Aditya Tahun 2016 adalah dengan status Kawin anak 1 (satu).
Tanggal 1 Pebruari Tahun 2017 Isteri Tuan Aditya melahirkan anak laki-laki sehingga
Tuan Aditya mulai 1 Pebruari 2017 memiliki 2 (dua) anak.
PTKP Tuan Aditya Tahun Pajak 2017 adalah tetap status Kawin anak 1 (satu).
Penerapan PTKP Tahun Pajak 2018, 2017 dan 2016 untuk satu tahun :
Penjelasan :
Status Wanita meskipun sudah kawin tetap mempunyai PTKP tidak kawin kecuali dapat
membuktikan bahwa suami tidak bekerja (dari Instansi terkait/kelurahan).
TK/1 : Tidak Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan PTKP sebesar 58.500.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000)
TK/2 : Tidak Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan PTKP sebesar 63.000.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000 + 4.500.000)
TK/3 : Tidak Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan PTKP sebesar 67.500.000 ( 54.000.000
+ 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000)
Penjelasan Isteri Bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja atau usaha :
PTKP untuk isteri yang bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan suami,
yang digabung dengan PTKP suami hanya yang bekerja pada lebih dari satu pemberi
kerja dan/atau isteri yang memiliki usaha (penghasilan digabung dengan penghasilan
suami)
No Deskripsi Jumlah
1 Wajib Pajak 54.000.000
2 + WP Kawin 4.500.000
3 + Anak : maksimal 3 4.500.000
4 + Penghasilan Suami/Istri Digabung 54.000.000
Pegawai Tetap :
1 Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya
sudah berada sejak awal tahun, tetapi mulai sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai
bekerja setelah bulan januari. Dengan kata lain : setelah permulaan tahun pajak. Dengan kata
Karyawan yang mulai bekerja setelah bulan lain : Pendatang dari luar negeri bekerja dalam
januari periode berjalan
2 Karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya Karyawan yang kewajiban pajak
sudah berada sejak awal tahun, tapi berhenti subjektifnynya sebagai Subjek Pajak dalam
bekerja dalam tahun berjalan. Dengan kata lain : negeri berakhir dalam tahun pajak.Dengan
Karyawan yang berhenti bekerja dalam periode kata lain :Pendatang dari luar negeri berhenti
berjalan bekerja dalam periode berjalan
3 Karyawan yang meninggalkan Indonesia
selama-lamanya
4 Mutasi oleh pemberi kerja
5 Karyawan yang berhenti bekerja karena
meninggal dunia
Edo adalah karyawan tidak menikah, maka berlaku PTKP TK/0 = Rp 54.000.000.
Ia kemudian menikah, dan istrinya tidak bekerja, maka statusnya berubah menjadi K/0
(Rp 54.000.000 + Rp 4.500.000) = Rp 58.500.000.
Edo kemudian punya satu anak, maka PTKP yang berlaku K/1 (Rp 54.000.000 + Rp
4.500.000 + Rp 4.500.000) = Rp 63.000.000.
Jika gaji karyawan setahun lebih kecil atau sama dengan PTKP, maka pendapatannya tidak
dipotong PPh 21. Dalam kasus di atas, gaji Edo per bulan Rp 4.500.000 saat istrinya belum
bekerja dan belum punya anak, maka gaji setahun Rp 54.000.000 atau di bawah PTKP K/0
(Rp 58.500.000), sehingga gajinya tidak dipotong PPh 21.
Namun beda halnya jika penghasilan karyawan di atas PTKP, maka perusahaan wajib
memotong PPh 21.
Sebagai contoh, Edo pindah kerja ke perusahaan lain dengan gaji Rp 5.500.000 per bulan,
sementara istrinya belum bekerja dan belum punya anak. Lalu, bagaimana menghitung PPh
21 untuk penghasilan di bawah PTKP?
Gaji = Rp 5.500.000
Pengurang:
= Rp 5.500.000 – Rp 375.000
= Rp 5.125.000
WP pribadi = Rp 54.000.000
= Rp 61.500.000 – Rp 58.500.000
= Rp 3.000.000
PPh 21 Terutang
5% x Rp 3.000.000 = Rp 150.000
Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, karyawan tidak tetap atau karyawan lepas
adalah karyawan yang hanya menerima penghasilan apabila karyawan tersebut bekerja, dengan
besar penghasilan dihitung berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang dihasilkan,
dan penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Dalam peraturan tersebut pada Pasal 12 ayat 3 disebutkan bahwa karyawan tidak tetap yang
memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 4.500.000 (PTKP
2016), maka perhitungan PPh 21 yang digunakan sama dengan perhitungan PPh 21 karyawan tetap.
Berikut adalah jenis-jenis upah yang didapatkan oleh karyawan tidak tetap:
1. Menentukan jumlah upah harian atau rata-rata upah yang diterima dalam sehari
Untuk upah mingguan, dibagi dengan jumlah hari bekerja dalam seminggu
Untuk upah satuan, dikalikan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari
Untuk upah borongan, dibagi dengan jumlah hari dalam menyelesaikan perkerjaan
borongan
2. Tidak ada PPh 21 yang dipotong, jika:
Upah harian atau rata-rata upah harian kurang dari Rp 450.000 dan jumlah kumulatif
dalam satu bulan belum melebihi Rp 4.500.000.
3. PPh 21 harus dipotong sebesar upah harian atau rata-rata upah harian dikurangi Rp
450.000, lalu dikalikan 5%, jika:
Upah harian atau rata-rata upah harian sudah lebih dari Rp.450.000 tetapi jumlah
kumulatif dalam satu bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000.
4. PPh 21 harus dipotong sebesar upah harian atau rata-rata upah dikurangi PTKP sehari lalu
dikalikan 5%, jika:
Jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp.4.500.000, tetapi kurang
dari Rp.10.200.000.
5. Berlaku Tarif pada Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf (a), jika:
Jumlah kumulatif dalam satu bulan kalender sudah lebih dari Rp 10.200.000.
Untuk lebih jelasnya, berikut tabel tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang dikenakan
pada karyawan tidak tetap atau karyawan lepas harian/borongan.
Contoh Perhitungan PPh 21 untuk Karyawan Tidak Tetap atau Karyawan Lepas
Harian/Borongan
Upah Harian
Nurcahyo dengan status belum menikah pada bulan Januari 2016 bekerja sebagai buruh
harian PT Cita Indonesia. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp
450.000. Berapa PPh 21 yang dikenakan?
Jawab:
Hari ke-10:
Karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 4.500.000, maka tidak ada
PPh Pasal 21 yang dipotong.
Hari ke-11:
Karena jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 4.500.000, maka perhitungan PPh
21 Nurcahyo adalah:
Hari ke-12:
Jika Nurcahyo bekerja sampai hari ke-12, maka perhitungan PPh 21 nya adalah:
Jawab:
Pada hari ke-7, Nanang telah menerima penghasilan sebesar Rp 4.550.000 sehingga sudah
lebih dari Rp 4.500.000, maka PPh 21 pada bulan Maret:
PKP = Rp 3.500.000
Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada
suatu perusahaan elektronika. Perolehan upah Rizal Fahmi dihitung berdasarkan jumlah unit
pekerjaan yang dapat diselesaikan yaitu sebesar Rp 125.000 per TV dan dibayarkan setiap
minggu. Dalam 1 minggu (6 hari kerja), Rizal Fahmi dapat menyelesaikan pekerjaan sebanyak
24 buah TV dengan upah Rp 3.000.000. Berapa PPh 21nya?
Jawab:
Upah Borongan
Mawan mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 950.000,
pekerjaan yang diselesaikan dalam 2 hari. Berapa PPh 21nya?
Jawab:
Upah Harian / Satuan / Borongan / Honorarium / yang Diterima Tenaga Lepas yang
dibayarkan Bulanan
Bagus Hermanto bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2016 Bagus Hermanto hanya bekerja 20 hari dan
upah sehari sebesar Rp 250.000. Bagus sudah menikah tapi belum memiliki anak. Berapa
PPh 21 bulan Januari?
Jawab:
Pada bulan yang sama (Januari), Bagus Hermanto menerima bonus kerja dari perusahaan
sebesar Rp 6.000.000. Berapa total PPh 21 terutang bulan Januari?
Jawab:
Sehingga total PPh 21 Bambang Hermanto pada bulan Januari adalah sebesar:
Bukan Pegawai
Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitian;
7. agen iklan;
8. pegawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesananan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multi marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
Dasar Pengenaan :
Ph Bruto = Jasa yang dibayar pasien melalui RS/Klinik sebelum biaya /bagi hasil
Contoh :
1. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau
klinik dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik
di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter
yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian
penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan
dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di
Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik
sendiri di klinik pribadinya, dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP. Pada tahun
2016, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah
Sakit Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2016:
Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah
sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
Selain Tenaga Ahli
Contoh :
Contoh penghitungan pph pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai yang
menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan.
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang menjadi sebesar:
Contoh penghitungan pemotongan pph pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan
pegawai, sehubungan dengan pemberian jasa yang dalam pemberian jasanya
mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan penyerahan
material/bahan
1. Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan
Rp. 10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 4 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp375.000,00. Upah harian yang
dibayarkan untuk 4 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain
itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp
1.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha, dapat
diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada
pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare
part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah
sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip
Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip
Nugraha adalah sebesar:
Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
oleh PT Wahana Jaya menjadi:
b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang
dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus
dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus
dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar :
Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
oleh PT Wahana Jaya menjadi:
Catatan : Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong
PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.
Peserta Kegiatan
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Grand Prix Gold tersebut
adalah:
5% X Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap pegawai tetap pada perusahaan yang sama :
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap.
Aulia Rais adalah seorang komisaris di PT Media Primatama, yang bukan sebagai
pegawai tetap. Dalam tahun 2016, yaitu bulan Desember 2016 menerima honorarium
sebesar Rp60.000.000,00.
5% X Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
Dasar Pengenaan : PPh = Kumulatif Ph Bruto (Produksi, Tantiem, dll) x Tarif PPh Pasal
17
5% X Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
Penghasilan berupa bunga pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua
atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Tarif Pajak Penghasilan 21 Final diterapkan atas jumlah kumulatif uang Pesangon
dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Melebihi Jangka Waktu 2 tahun kalender
Jika terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga
dan tahun-tahun berikutnya, pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan atas jumlah
bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada masing-
masing tahun kalender yang bersangkutan.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat dikreditkan.
Jika Pegawai tidak memiliki NPWP, tarifnya lebih tinggi 20% daripada yang memiliki NPWP.
Contoh :
PT. Sejahtera melakukan pembayaran Uang pesangon kepada Firman Safitri secara bertahap
dengan jadwal pembayaran sebagai berikut :
Tarif Pajak PPh Pasal 21 Final diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu
paling lama 2 tahun kalender.
Honorarium atau Imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD
a. sebesar 0 % dari penghasilan bruto PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Tingkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% dari penghasilan bruto PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota Polri
Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI
dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan
Pensiunannya.
Contoh :
Surnarta adalah PNS golongan iii/d, pada maret 2012 menerima honorarium sebagai
naran sumber sebuah seminar yang sumber dananya berasal dari APBN sebesar Rp
10.000.000
5% x Rp 10.000.000 = Rp 500.000
I. SAAT TERUTANG DAN PELAPORAN PPh PASAL 21
Saat terutang PPh Pasal 21 adalah saat dibayarkan atau saat terutangnya
penghasilan.
Pelaporan PPh Pasal 21 oleh Pemotong PPh Pasal 21 (Pemberi kerja) (UU Nomor 16
Tahun 2009, 80/PMK.03/20100
Pelaporan PPh Pasal 21 Masa :
Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan untuk setiap masa pajak (tiap bulan)
harus dilaporkan dalam SPT Masa PPH Pasal 21/26 dan disampaikan ke Kantor Pelayanan
Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan
pelaporan PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
KESIMPULAN
PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas pekerjaan yang dilakukan atau jabatan, jasa, kegiatan dalam bentuk
apapun dimana kegiatan atau pekerjaan tersebut wajib pajak memperoleh gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya.
PPh Pasal 21 dipotong / dipungut oleh pemberi kerja baik orang pribadi, badan, bendahara
atau pemegang kas pemerintah, orang pribadi atau badan penyelenggara kegiatan termasuk
badan pemerintah, organisasi yang menyelenggarakan kegiatan.
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) yaitu :
1. Pegawai tetap
2. Penerima pension berkala
3. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp. 4.500.000
4. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifa berkesinambungan.
1. Biaya Jabatan (maksimal 5%) dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimal Rp.
500.000/bulan)
2. Iuran terkait gaji yang dibayarkan sendiri oleh pegawai kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu.
3. PTKP
4. Biaya Pensiun (maksimal 5%) dari penghasilan bruto uang pension (penerima penisun)
dengan maksimal Rp. 200.000/bulan)
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan;
Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
www.pajak.go.id