Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEBUDAYAAN MUNA

Oleh:

Nama : REZKI ARDHANA

Nim: P00324020087

Kelas : 2 B PRODI D-KEBIDANAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPOBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
PRODI D-III KEBIDANAN
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat,
karunia serta hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang KEBUDAYAAN
SUKU MUNA ini dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan didalam makalah ini.
Dan juga saya berterima kasih kepada Ibu Sitti Aisa, AM.Keb, M.Pd, selaku dosen pengampu
mata kuliah ANTROPOLOGI KESEHATAN

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita terhadap standar profesi bidan didunia kesehatan. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan yang membangun
guna memperbaiki makalah yang akan kami buat di masa mendatang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi para pelajar. Dan juga semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya bagi kita semua. Sebelumnya kami mohon
maaf sebesar-besarnya jika ada keselahan dalam penyusunan kata. Tak ada yang sempurna
di dunia ini terkecuali sang Maha Pencipta.

Kendari, 24 Oktober 2021

REZKI ARDHANA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Masa Remaja dan Kesehatan Reproduksi Masa Remaja..................................
B. Persiapan Suku Muna Pada Saat Menikah..........................................................
C. Adat Istiadat Suku Muna Pada Saat Menikah ................................................
D. Ritual yang dilakukan orang muna sasat hamil.........................................
E. kebiasaan yang di lakukan suku muna pada saat melahirka ...............................
F. Kebudayaan Suku Muna pada saat merawat Ibu Masa Nifas............................
G. Kebiasaan yang dilakukan Suku Muna pada saat Ibu Mulai
Menyusui Bayinya .............................................................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................


A. Kesimpulan................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki


bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Seni budaya dapat
dikatakan sebagai jiwa sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang kemudian kita kenal
sebagai bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang besar pula budayanya seperti Kota
Muna, Sulawesi Tenggara. Suku Muna merupakan suku asli dari Sulawesi Tenggara
yang mendiami sebagian besar Pulau Muna dan bagian sekitarnya. Dengan ciri khas
warna kulit coklat dan rambut keriting menjadikan suku Muna mudah dikenal.
Sementara itu mata pencaharian utama dari Suku Muna itu sendiri adalah sebagai
nelayan dan sebagian kecil menjadi petani. Muna adalah salah satu kepulauan di
Sulawesi Tenggara, yang Mayoritas agama yang dianutnya adalah agama Islam.
Dalam praktik kehidupan keberagamaan, pada kebudayaan Muna dijumpai sejumlah
tradisi, khususnya tradisi yang di anut dari masa remaja, untuk kesehatan reproduksi
remaja, persiapan menikah, pada saat menikah, pada saat hamil, pada saat
melahirkan, pada saat masa nifas, hingga pada saat ibu memulai menyusui bayinya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses adat yang dilakukan Suku Muna pada saat memasuki Masa
Remaja, dan untuk Kesehatan Reproduksi Remaja?
2. Apa saja yang dilakukan Suku Muna pada saat Persiapan Menikah?
3. Bagaimana Adat Istiadat Suku Muna Pada Saat Menikah?
4. Apa saja Ritual yang dilakukan Suku Muna Pada Saat Hamil dan tujuannya
untuk kesehatan Ibu Hamil?
5. Bagaimana kebiasaan yang di lakukan suku muna pada saat melahirkan
6. Bagaimana Kebudayaan Suku Muna pada saat merawat Ibu Masa Nifas?
7. Kebiasaan Apa yang dilakukan Suku Muna pada saat Ibu Mulai Menyusui
Bayinya?
C. Tujuan Penulis
1. Untuk mengetahui bagaimana proses adat yang dilakukan Suku Muna pada saat
memasuki Masa Remaja, dan untuk Kesehatan Reproduksi Remaja.
2. Untuk mengetahui apa saja yang dilakukan Suku Muna pada saat Persiapan
Menikah.
3. Untuk mengetahui bagaimana Adat Istiadat Suku Muna Pada Saat Menikah.
4. Untuk mengetahui apa saja Ritual yang dilakukan Suku Muna Pada Saat Hamil
dan tujuannya untuk kesehatan Ibu Hamil.
5. Untuk mengetahui kebiasaan yang di lakukan suku muna pada saat melahirkan
6. Untuk mengetahui bagaimana Kebudayaan Suku Muna pada saat merawat Ibu
Masa Nifas
7. Untuk mengetahui Kebiasaan yang dilakukan Suku Muna pada saat Ibu Mulai
Menyusui Bayinya
BAB II PEMBAHASAN

A. Masa Remaja dan Kesehatan Reproduksi Masa Remaja


1. Kangkilo Dalam Adat Muna
a. Pengertian
Kangkilo dalam bahasa muna yang artinya sunatan merupakan adat
masyarakat muna yang masih dilestarikan sampai saat ini. Kangkilo atau
sunatan dilakukan pada saat anak beranjak dewasa dan pelaksanaannya
sebelum acara katoba. Kangkilo ditinjau dari segi bahasa atau kosakata
adalah bersih sedangkan dalam pertiannya kangkilo adalah pembersiah diri.
b. Sejarah munculnya kangkilo di Muna
Kangkilo muncul di muna pada saat penyebaran agama islam di
muna yang di bawa oleh saudagar dari arab yang bernama sayyid arab,
masyarakat muna lebih mengenalnya dengan nama saidji rabba yang artinya
sayyidina dari arab. Beliau menyebarkan agama islam di muna tidak serta
merta hanya secara teoritis, namun dengan penerapan dan kaidah-kaidah
dalam berislam. Terutama pentingnya kangkilo atau sunatan dalam
mencegah najis yang ada pada manusia.
c. Makna kangkilo
Makna dari kangkilo yaitu sebagai pembersihan diri dalam adat
istiadat muna seorang anak yang beranjak remaja atau memasuki usia 7
tahun diwajibkan untuk di kangklo, kangkilo disini dimaksudkan untuk
pembersihan diri dalam menghadapi tugas dan kewaibannya terhadap allah
swt. sebagaimana yang di hadiskan dalam riwayat bahawa anak yang berusia
diatas 7 tahun harus diwajibkan untuk melaksanakan shalat, dan syarat
seseorang yang diterima atau dijaba shalatnya oleh allah adalah seseorang
yang telah bening dari haadas dan najis.
d. Tata cara kangkilo
- dimandikan oleh modjy menghadap timur
- dimandikan oleh modjy menghadap barat
- pelaksanaan sunatan
- mencuci kemaluan dengan air daun jeruk
- pembacaan doa selamat/syukuran
2. Katoba
Katoba adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang dimiliki suku
Muna di Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna Barat di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pada hakikatnya, katoba dipahami sebagai ritual pada anak yang
memasuki usia dewasa (6- 11 tahun). Pelaksanaan ritual ini terdapat ungkapan
adat dan budaya yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (iman desa)
kepada anak yang diupacarai (dikatoba). Rentetan upacara dan penyampaian
informasi moral dan etika kepada anak yang di-katoba adalah hal yang harus
tercipta dalam tradisi lisan ini.
Sebagai salah satu bentuk tradisi lisan, katoba dipergunakan sebagai
salah satu media komunikasi tradisional dalam masyarakat Muna dari dulu
hingga sekarang. Bahkan, katoba ini masih dipelihara, dan diwariskan secara
turuntemurun oleh sebagian besar masyarakat Muna, bahkan dalam
pekembangannya tidak mengalami benturan dari Islam fanatik di Muna. Bentuk
pelaksanaannya pun tidak berubah dari generasi ke generasi, hanya ada versi-
versi tuturan sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan penutur. Akan tetapi,
secara hakikat dan substansi adalah sama, yakni mengajarkan syahadat,
penyucian diri, dan nasihat-nasihat moral dan etika pada anak yang di-katoba.

3. Karia
Ritual karia adalah upacara yang dilaksanakan bagi anak perempuan
menjelang kedewasaan (perkawinan). Anak perempuan yang menjalani upacara
ini biasanya berusia sekitar 15 atau 16 tahun. Ritual ini juga biasanya
dirangkaikan dengan upacara lain, yaitu katoba (khitan) (Coevreur, 2001: 162).
Perempuan dalam masyarakat Muna dianggap sebagai tonggak penting sebuah
rumah tangga. Konsep perempuan ideal digambarkan sebagai perempuan yang
senantiasa berbakti, berkata-kata halus dan ramah (Sabora, 1984: 43). Disamping
itu, perempuan ideal menurut masuyarakat Muna adalah perempuan yang pandai
menjaga kecantikan lahir batin (tindalano), mampu menunaikan kewajiban
sebagai seorang istri (jaganilambu), penyabar dan berlapang dada (malulalo),
dapat dipercaya (tiparesea), dan sebagainya. Segala gambaran ideal tentang
stereotip perempuan tersebut diajarkan dan dilatihkan dalam ritual karia pada
anak perempuan dengan harapan bahwa anak perempuan yang dikaria tersebut
kelak ketika berumah tangga akan dapat menjalankan kewajibanya sebagai
seorang istri dan ibu dan dapat menciptakan keluarga yang damai dan bahagia
bersama suami dan anak-anaknya.
Anak perempuan yang dikaria menjalani proses pemingitan selama
empat hari empat malam. Dahulu waktu pemingitan ini bahkan lebih lama lagi,
yaitu selama 40 hari 40 malam. Modernisasi telah merubah durasi waktu
pelaksanaan ritual ini dengan pertimbangan praktis; efisien dan efektif dengan
tidak mengurangi substansi adat karia itu sendiri. Jumlah empat puluh hari empat
puluh malam disamping secara historis adalah lama waktu yang dipakai putri
Kamomono Kamba (cikal bakal kerajaan Muna) ketika akan menikah, juga
menunjukan masa tumbuhnya embrio manusia dalam rahim ibunya. Nominal
tersebut juga menunjukan waktu yang cukup lama bagi seorang perempuan
diajarkan tentang kehidupan, khususnya kehidupan berumah tangga. Dalam
perkembagan selanjutnya, lama waktu 40 hari 40 malam dipersingkat menjadi 4
hari 4 malam dengan alasan utama adalah bahwa 4 hari 4 malam merupakan
simbol empat unsur kehidupan (air, angin, tanah, dan api).
Dalam pingitan selama menjalani ritual karia, anak perempuan
ditempatkan dalam satu ruang gelap dengan minim cahaya sebagai simbol
suasana kegelapan dan ketenangan dalam kandungan ibu. Dalam ruang tertutup
ini, anak perempuan diajarkan berbagai petuah dan ajaran kehidupan sebagai
anak, anggota masyarakat, dan sebagai calon istri dan ibu. Setelah menjalani
upacara karia, anak perempuan akan dianggap sebagai kertas putih yang telah
mengalami proses pembersihan diri dan memiliki bekal kebajikan hidup yang
diperolehnya selama menjalani upacara karia. Karia dalam masyarakat Muna
adalah semacam medium drilling/latihan, baik fisik maupun mental sebelum
memasuki kehidupan dan statusnya yang baru. Proses Pelaksanaan Ritual Karia
Dengan tidak menghilangkan substansi makna, ritual karia telah mengalami
berbagai macam pergeseran bentuk sebagai salah satu konsekwensi dari
dinamika masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah.

Prosesi karia melewati berbagai tahapan sebagai berikut:


a. Kafoluku
Dalam proses ini, anak perempuan dimasukan dalam tempat khusus
yang serba gelap dan hanya ada cahaya sedikit. Tempat gelap ini adalah
simbol kegelapan dan ketenangan dalam rahim ibu, yaitu alam arwah. Dalam
ruang ini anak perempuan yang dipingit hanya diberi makan sedikit, berupa
sesendok nasi dengan sepotong telur. Disamping itu juga mempersedikit
dalam bergerak. Mereka berbaring dalam posisi kepala mengahadap ke barat
dengan berbaring menyamping dengan posisi menindih kanan.
b. Kabansule
Dalam tahap ini posisi anak perempuan yang dipingit dirubah. Jika
awalnya posisi kepala disebelah barat maka berubah menjadi di sebelah
timur dengan posisi badan menyamping menindih kiri. Makna simbolis dari
posisi ini menurut masyarakat Muna adalah perpindahan manusia dari alam
arwah (rahim ibu) ke alam aj’sam.
c. Kalempagi
Tahap ini adalah tahap pembukaan pintu ruang pingitan. Ini
menyimbolkan berpindahnya manusia dari alam aj’sam ke alam insani, yaitu
bersamaan dengan proses kelahiran bayi dari kandungan ibunya. Dalam
proses ini juga anak perempuan dihias (dibindhu) sebagai simbol keindahan
dengan cara dicukur alis dan diberi make up oleh dukun rias. Proses ini
menandakan siap ditanggalkannya status kenak-kanak, berikut sifat
kekanakkanakan menuju pada kedewasaan.
d. Kafosampu
Tahap ini adalah tahap pemindahan anak perempuan dari tempat
pingitan ke ruang yang lebih terbuka (biasanya berupa panggung). Pada saat
pemindahan tersebut, mereka belum diperkenankan untuk menginjak tanah.
Bisanya mereka dipindahkan dengan cara dipanggul (soda). Dalam kondisi
ini, anak perempuan tidak boleh melakukan gerakan apapun sampai melewati
tahap berikutnya, yaitu katandano wite.
e. Katandano wite
Tahap ini adalah tahap penyentuhan tanah oleh pamontoto (pegawai
syara) yang bertugas memimpin ritual tersebut. Tanah diambil secara khusus,
diletakan pada piring putih dan diusapkan pada semua peserta ritual mulai
dahi keseluruh wajah dengan membentuk huruf alif sebagai simbol rahasia
Tuhan dalam diri manusia. Selanjutnya tanah tersebut diusapkan sampai
menyentuh 17 titik pada tubuh manusia sebagai simbol 17 rakaat sholat bagi
umat muslim. Katandano wite merupakan simpul pertemuan tanah (adam)
dengan manusia atau perempuan yang dipingit (Hawa) sebagai analog bagi
bolehnya para peserta menyentuh/menginjak tanah.
f. Tari Linda
Acara ini didahului oleh pamontoto dalam menarikan Linda lalu
diikuti oleh peserta anak perempuan yang dikaria. Dalam proses tarian ini
para penonton atau keluarga melemparkan hadiah ke atas panggung. Proses
ini juga mengindikasikan pernyataan syukur atas dilaluinya ujian berat
selama menjalani ritual tersebut dan telah memiliki bekal kehidupan
berumah tangga dan etika bermasyarakat.
g. Kahapui
Tahap ini adalah perayaan lebih lanjut dari tari Linda. Dalam tahap
ini disajikan tari Mangaro (semacam tarian perang dalam masyarakat Muna)
dengan pohon pisang sebagai sentral tarian. Masing-masing peserta yang
terdiri atas pemuda-pemuda berusaha menjaga dan menebas dan melukai
batang pisang tersebut dengan senjata ditangan.
h. Kafolantono bhansa
Tahap ini adalah tahap akhir dari ritual karia. Anak perempuan yang
telah dikaria dengan dituntun oleh pamontoto menuju sebuah 59 sungai
mengalir bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat lain untuk
menghanyutkan pinang. Pinang yang selama dalam pingitan digunakan untuk
memukul badan gadis yang dipingit diberi mantra oleh pamontoto kemudian
ditenggelamkan di dalam sungai. Jika pinang tersebut kemudian cepat timbul
kembali di atas permukaan air dan menepi, maka kepercayaan masyarakat
Muna mengatakan bahwa anak gadis tersebut akan cepat mendapatkan jodoh.
Sebaliknya, jika pinang yang telah ditenggelamkan tidak terapung maka
pertanda bahwa jodoh bagi si gadis tersebut akan lama dan umurnya tidak
akan panjang.

B. Persiapan Suku Muna Pada Saat Menikah


Proses-proses persiapan menuju akad nikah yang sudah menjadi
budaya orang Muna adalah sebagai berikut :
1. Deowa To So Daefeenagho Tungguno Karete.
Proses ini adalah penyampaian kepada pihak calon mempelai
perempuan terkait akan datangnya utusan adat dari pihak calon mempelai laki-
laki. Proses ini, menurut salah seorang tokoh adat Muna, La Ode Abdul Muksin,
biasanya berlangsung dua kali. (Pertama) dilakukan oleh dua orang utusan dari
pihak calon mempelai laki-laki ke pihak calon mempelai perempuan yang
menyampaikan akan adanya utusan adat yang hendak berkunjung. Penyampaian
tersebut disertai dengan penentuan waktu berkunjungnya utusan adat.
Pada waktu yang telah ditentukan saat DEOWA TO pertama, dua
orang utusan adat dari calon mempelai laki-laki bertandang lagi ke rumah calon
mempelai perempuan dengan membawa serta sejumlah uang pengganti gula,
kayu bakar, teh, kopi, air, pisang dan lain-lain (untuk konsumsi saat proses
KAFEENANO TUNGGUNO KARETE).
Pada proses DEOWA TO kedua ini, utusan adat calon mempelai
perempuan menyampaikan bahwa akan ada utusan adat yang akan berkunjung
untuk tujuan KAFEENANO TUNGGUNO KARETE. Dalam proses ini pula
disampaikan jadwal waktu berkunjung dari utusan adat calon mempelai laki-laki.
2. Kafeenano Tungguno Karete.
Proses ini merupakan rangkaian proses adat pernikahan orang Muna
yang mempertanyakan ikhwal ada atau tidaknya pihak lain yang telah melamar
calon mempelai perempuan. Dalam proses ini, utusan adat dari pihak calon
mempelai laki-laki bersama utusan adat atau pihak keluarga atau orang tua dari
calon mempelai perempuan mempertanyakan ke anak gadis yang dilamar,
apakah ada atau tidak pihak lain yang telah melamarnya atau menjadi calon
suami pilihanya.
Menurut La Ode Abdul Muksin, jawaban atas pertanyaan ini dapat
disampaikan saat itu juga atau bisa menunggu sampai empat hari kemudian. Jika
jawaban baru disampaikan setelah empat hari, maka saat empat hari kemudian,
utusan adat calon mempelai laki-laki kembali bertandang ke rumah calon
mempelai perempuan untuk mendengarkan jawaban dari calon mempelai
perempuan.
Jika anak gadis menyatakan belum ada pihak yang melamarnya atau
belum ada calon suami pilihanya dan ia bersedia menerima lamaran yang
diajukan oleh pihak calon mempelai laki-laki, maka saat itupula utusan adat
pihak calon mempelai laki-laki membayar sejumlah uang tunai (sebesar 5
BOKA). Uang sebesar 5 BOKA tersebut sebagai bukti keseriusan dan ikatan adat
bahwa anak gadis tersebut telah dilamar dan telah memiliki calon suami.
3. Deowa To So Adhati Be Kakawi.
Proses ini dilakukan setelah selesainya KAFEENANO TUNGGUNO
KARETE. Dalam proses DEOWA TO SO ADHATI BE KAKAWI, utusan adat
calon mempelai laki-laki menyampaikan dua hal pokok kepada utusan adat pihak
calon mempelai perempuan. Kedua hal pokok tersebut adalah terkait dengan
kekuatan/kemampuan harta dari pihak laki-laki untuk membiaya pesta
pernikahan, serta menyampaikan/mengajukan rencana waktu/jadwal pelaksanaan
ijab qabul/akad nikah. Dalam porses ini biasanya kedua belah pihak terjadi
diskusi terkait dengan kekuatan/kemampuan harta yang akan diajukan ke pihak
calon mempelai perempuan, termasuk diskusi terkait dengan waktu pelaksanaan
pernikahan.
4. Kakawi.
Proses ini merupakan puncak dari kegiatan pernikahan orang Muna.
Dalam proses ini, dua hal yang dilakukan yakni menyelesaikan pembayaran adat
istiadat pernikahan oleh utusan adat calon mempelai laki-laki ke pihak utusan
adat calon mempelai perempuan. Setelah penyelesaian adat istiadat selesai
dilakukan, lalu kemudian dilanjutkan dengan ijab qabul/akad nikah.
Setelah proses ijab qabul/akad nikah, selanjutnya dilakukan pesta
pernikahan (resepsi atau perjamuan). Diacara pesta tersebut, keluarga dan kerabat
diundang untuk memberikan doa restu dan doa selamat.

C. Adat Istiadat Suku Muna Pada Saat Menikah


1. Upacara Pelaksanaan Perkawinan
Sebelum upacara perkawinan dilaksanakan, dilakukan persiapan-
persiapan agar upacara perkawinan itu dapat terlaksana dengan baik. Persiapan-
persiapan itu antara lain: rumah pesta,bahan-bahan kebutuhan pesta, panitia
penyelenggara pesta, undangan untuk menghadiri pesta dan lain-lain.
Berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara perkawinan.
a. Tujuan
Upacara perkawinan bertujuan agar perkawinan itu menjadi
resmi menurut adat dan agama, yang disaksikan oleh orang tua
kedua belah pihak, sanak saudara dan masyarakat pada umumnya.
b. Tempat
Dahulu, upacara perkawinan dilaksanakan di rumah orang
tua pihak laki-laki, karena pada umumnya mereka yang menanggung
biaya pelaksanaan pesta perkawinan itu. Bila ada sumbangan yang
diberikan dalam bentuk uang atau bahanbahan lain pada waktu
pelaksanaan perkawinan, dapat diper82 gunakan untuk mengganti
biaya-biaya yang telah digunakan. Dewasa ini sudah lazim
dilaksanakan di rumah orang tua pihak perempuan, tapi biaya pesta
perkawinan diberikan oleh orang tua pihak laki-laki sesuai dengan
kemampuan mereka.
c. Waktu
Dewasa ini pesta pelaksanaan perkawinan di Muna
dilakukan pada siang hari. Dilaksanakannya pada waktu siang hari
ini, karena beberapa pertimbangan yaitu:
- tamu/undangan dari jauh dapat menghadiri pesta itu
- peralatan yang dipakai dapat diawasi dengan mudah
- masalah lampu (penerangan) tidak perlu dipikirkan.
d. Pelaksana upacara.
Dalam pembayaran mahar ada beberapa orang pelaksana.
1. Di pihak laki-laki: satu orang juru bicara dan pembawa uang
mahar ditambah dengan pemuka adat lainnya.
2. Di pihak perempuan: satu orang pemuka adat sebagai
pembantu/pendamping orang tua pihak perempuan atau yang
diberi kuasa untuk menerima mahar.
Untuk peresmian perkawinan dilakukan oleh petugas agama
(Imam).
e. Jalannya upacara.
Sebelum hari pelaksanaan perkawinan, dilaksanakan
pembayaran mahar (tandughoo). Uang mahar itu diserahkan oleh
para pemuka adat dihadapan orang tua pihak perempuan yang
disaksikan oleh para penerima adat. Uang mahar yang diserahkan
itu, jumlahnya sebagai berikut:
- Golongan Kaomu 20 boka atau 55 boka.
- Golongan Walaka 10 boka 10 suku atau 15 boka.
- Golongan Anangkolaki 7 boka 2 suku.

Bila terjadi perkawinan di luar golongan, maka pemhayaran maharnya akan


lebih tinggi. Selain uang mahar masih ada lagi pembayaran lain sebagai
kelengkapan uang mahar, yaitu:
1. Lolino ghawi; artinya penebus air susu ibu. Jurnlahnya adalah 5
boka (Kaomu), 2 boka (Walaka) dan 2 suku (Anangkolaki).
2. Paniwi; ialah ongkos selama pertunangan hingga saat
peminangan. Jumlahnya adalah 5 boka (Kaomu), 2 boka
(Walaka) dan 5 suku (Anangkolaki).
Kalau pada saat itu dibawa buah-buahan maka pembayaran uang ini
ditiadakan.
3. Kaoka nuka; artinya penebus ongkos yang mengenakan pakaian.
Uang itu sebesar:
a. Golongan Kaomu 5 boka.
b. Golongan Walaka 2 boka.
c. Golongan Anangkolaki 2 suku atau 2 boka.
4. Kafoa-toha; artinya uang penebus untuk yang mengantar.
Jumlahnya adalah 5 boka (Kaomu), 2 boka (Walaka) dan 2 suku.
atau 2 boka (Anangkolaki).
Disamping pembayaran-pembarayan tersebut diatas, maka
diserahkan juga ongkos pesta untuk dipakai dalam pesta
perkawinan. Jumlahnya tergantung daripada permufakatan bersama
dan kemampuan orang tua pihak laki-laki. Biaya pesta ini disebut
kaawu artinya uang yang harus dihabiskan berhubung dengan
perkawinan itu.
Pada hari waktu yang telah ditentukan dilaksanakanlah
upacara perkawinan itu dirumah orang tua piihak laki-laki. Bila
pengantin wanita telah siap, maka dari pihak laki-laki mengirim
utusan untuk menjemput pengantin wanita. Yang menjemput 1
terdiri dari pemuka adat (juru bicara), orang-orang tua (lakilaki dan
perempuan) serta sanak saudara pihak laki-laki. Pengantin wanita
yang dijemput diusung pada sebuah usungan dan dipikul oleh
beberapa orang. Dewasa ini sudah lazim dipergunakan kuda atau
mobil. Rombongan pengantin wanita disambut di rumah pesta
perkawinan dan duduk pada tempat yang telah disediakan.
Selanjutnya dilaksanakanlah upacara kakawi
(perkawinan/pernikahan). Dewasa ini di Muna peresmian
perkawinan dilakukan menurut ketentuan agama masing-masing.
Bagi yang beragama Islam, pernikahan dilakukan oleh petugas
agama setelah terlebih dahulu meminta keikhlasannya dengan
menyebutkan jumlah mas kawin yang harus dibayar. Setelah
peresmian perkawinan, para tamu memberikan ucapan selamat.
Sesudah itu pengantin wanita disarungi dua lapis sebagai tanda
bahwa ia telah bersuami.

2. Upacara-Upacara Sesudah Perkawinan.


Menurut tradisi sesudah perkawinan ada upacara-upacara yang
dilakukan atas inisiatif orang tua kedua belah pihak. Upacara ini adalah sesuatu
yang diwajibkan sehubungan dengan terjadinya perkawinan itu.
a. Kabhongkasi.
Kabhongkasi adalah upacara pembacaan doa selamatan yang·
dilakukan 40 hari sesudah perkawinan. Biasanya ini dilakukan 4 hari
sesudah perkawinan sebagai simbol waktu 40 hari.
Kabhongkasi artinya pembukaan, maksudnya pertemuan resmi
sebagai suami-isteri. Dalam upacara itu suami-isteri dimandikan secara
bersama di bawah sebuah tudung. Niat mereka adalah agar suami-isteri dapat
hidup rukun bagaikan air/sungai yang mengalir dari satu sumber (udik) dan
mengalir satu arah (hilir).
b. Kafosulinoakatulu
Sesudah beberapa lama menetap di rumah orang tua pihak laki-laki,
maka ada lagi upacara yang disebut kafosulino katulu (menutup/
mengembalikan jejak), maksudnya kembali ke rumah orang tua pihak
perempuan secara resmi. Suami-isteri yang diiringi para anggota keluarga
dari kedua belah pihak, pergi ke rumah orang tua pihak perempuan. Disana
dilakukan pembacaan doa selamat berhubung dengan telah selesainya
upacara perkawinan itu.
D. Ritual yang dilakukan Suku Muna Pada Saat Hamil
Ritual yang dilakukan suku muna pada saat hamil yaitu adat
kasambu. adat Kasambu merupakan salah satu tradisi daur hidup (life cycle) yang
dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Muna. Secara etimologi istilah Kasambu
berasal dari bahasa Muna, yang terdiri dari kata “sambu” yang berarti suap,
mendapat imbuhan “ka” yang membentuk kata kerja sehingga diartikan sebagai
kegiatan menyuapi atau memberi makan (Kasambu) kepada pasangan suami istri
pada kehamilan pertama.

Adapun tahapan prosesi ritual Kasambu sebagai berikut.

1. Kakadiu dan Dokadiuda

Secara umum prosesi ritual Kasambu diawali dengan ’Kakadiu’


yakni memandikan ibu yang sedang mengandung bersama suaminya. Pada
hari yang telah ditentukan, pasangan suami istri yang akan di-Kasambu
duduk di atas lesung (katumbu) yang telah dipersiapkan dengan memakai
sarung (bheta) sebatas dada tanpa memakai baju. Sarung yang dipakai itu,
di dalamnya dilapisi kain berwarnah putih (kae kapute) sebagai simbol
kesucian dan bersih. Hal itu juga dimaksudkan agar jabang bayi di dalam
kandungan dapat lahir dengan selamat tanpa cacat. Saat pasangan calon
orang tua bayi duduk di atas lesung (katumbu), petugas keramas
(dokundedo) mulai mengerjakan tugasnya masing-masing dipandu oleh
sando.

Pendamping laki-laki (dokundedo moghanehi) bertugas


mengeramas calon ayah si jabang bayi. Pendamping perempuan
(dokundedo robhinehi) bertugas keramas calon ibu. Bahan yang digunakan
untuk keramas terbuat dari santan kelapa. Setelah pasangan calon orang tua
bayi tersebut dikeramas dan disisir (dokadiuda dosuawida), maka
dilanjutkan dengan prosesi siraman (dokadiuda).

Dalam prosesi siraman (dokadiuda) tersebut air yang pertama


digunakan adalah air santan yang disediakan sando. Dimana posisi suami
istri saling berhadapan sambil duduk dan menghadap ke sebelah
barat.Kemudian mereka saling membasuh kepala (suami membasuh kepala
istri, dan istri membasuh kepala suami) dengan menggunakan air santan
sampai habis. Kemudian dilanjut dengan siraman air yang akan digunakan
untuk memandikan atau menyiramkan kepada kedua pasangan suami isteri
yang sudah diberi bacabaca do’a oleh imam. Jika pembacaan doa tersebut
selesai, maka mulailah dilakukan siraman oleh imam dibantu sando yang
bertugas memegang seikat mayang kelapa (bale kalapa) sebagai luncuran
air. Pada saat akan memulai siraman (dokadiuda) posisi pasangan suami
isteri yang nesambu harus mengahadap ke Barat (bhara). Setelah itu,
mulailah air disiramkan melalui seikat bale kalapa, dimulai dari ayah calon
bayi lalu ke ibu calon bayi.

Air siraman yang mengucur ditadah dengan tangan kiri oleh


pasangan calon orang tua bayi, lalu dibuang ke belakang.Hal ini dilakukan
sebanyak tiga kali sebagai simbol menolak bala dan simbol ajaran Islam,
bahwa berwudhu dilakukan sebanyak tiga kali.Setelah air siraman satu
cerek habis, pasangan nesambu mengganti posisi duduk dengan menghadap
ke Timur (timbu). Setelah itu siraman kembali dilanjutkan dengan air
yang telah disediakan dalam satu cerek.Siraman pertama tetap dimulai
dari ayah calon bayi lalu ke ibu calon bayi.

Pada saat siraman berlangsung pasangan suami isteri menadah air


yang mengucur dengan tangan kanan lalu dibasuhkan ke ubun - ubun
masing - masing. Kemudian, Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan
niat mudah - mudahan diberi keselamatan oleh Allah.

2. Katowesi

Setelah prosesi siraman (dokadiuda) selesai, tahap berikutnya adalah


katowesi, yaitu kelapa yang telah disiapkan sebelumnya dibelah oleh
orang tua nesambu (ayah istri), jika orang tua istri suda tiada, bisa
digantikan oleh orang tua laki-laki atau kakak laki laki atau paman. Lalu
sando menyiramkan air kelapa tersebut kepada pasangan yang nesambu.
Katowesi dimaksudkan sebagai simbol pecahnya ketuban calon
ibu yang nesambu.Selanjutnya belahan kelapa yang dipegang oleh sando
dilempar atau dibuang ke tanah. Apabila kedua belahan kelapa tersebut
atau salah satunya ada yang terkelungkup, maka itu pertanda akan terjadi
musibah bagi keluarga nesambu. Untuk mengangkat kedua potongan
kelapa tersebut harus dilakukan oleh pendamping nesambu (kunde)
dengan cara digigit.
Kunde terbagi dua yaitu, kunde moghanehi (pendamping laki-
laki) bertugas mengangkat dengan cara menggigit potongan kelapa
bagian atas (fortuno) dan kunde robhinehi (pendamping perempuan)
bertugas menggigit potongan kelapa bagian bawah (korono). Pada saat
potongan kelapa digigit oleh kunde serentak peserta upacara bersuara
seperti mengusir hewan. Hal itu sudah menjadi tradisi bagi mereka,
karena potongan kelapa itu disimbolkan sebagai tumbal dari segala
malapetaka bagi pasangan suami istri itu.
3. Dofopakeda
Setelah prosesi siraman (dokadiuda) yang dilakukan di luar rumah, di
depan pintu dapur. Prosesi selanjutnya akan dilakukan di dalam rumah.
Sebelum masuk ke dalam rumah, pasangan suami istri nesambu
mengganti sarungnya (dofosukoanda bheta) yang telah basah dengan
sarung yang kering. Selanjutnya dituntun oleh ibu mertua masuk ke
dalam rumah (dofofonida selolambu). Kemudian mengenakan pakaian
(dofopakeda), berupa baju (laki-laki), kebaya (perempuan) tidak
dikancing yang dipadu dengan sarung sebatas dada (kabonto).
Pada tahapan selanjutnya, Nesambu duduk di atas bantal beralas
kain putih (kai kapute) dan tikar (ponda) dihadapan haroanya (aneka
jenis makanan yang ditata diatas baki (dula), seperti ketupat,
(katopa) dua jenis, yaitu katopa titi yang menyerupai buah dada
perempuan dan katopa langole yang menyerupai alat reproduksi laki-
laki, telur (ghunteli), air gula merah (gola kadea), ayam rebus, cucur
(susuru), waje, pisang sisir dan pisang goreng.
4. Disambu
Prosesi selanjutnya dimulai dengan pembacaan kitab (barazanji)
dan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh
imam bersama keluarga nesambu. Selanjutnya imam bersalaman
dengan nesambu (dopointaramo lima oimamua nosambu damo) sebagai
pertanda pembacaan doa telah selesai.
Prosesi selanjutnya adalah menyuap pasangan calon orang tua
jabang bayi (nosambu damo) yang dipimpin oleh sando. Posisi sando
sebagai pemimpin ritual, merupakan orang pertama yang memulai
menyuapi pasangan yang nesambu. Kemudian dilanjutkan oleh kedua
orang tua, nenek, bibi, dan saudara dari masing-masing pasangan yang
nesambu.
Pertama-tama yang disuap ialah calon ayah (nesambu moghane)
dengan katopa titi (ketupat yang menyerupai model buah dada
perempuan). Tahapan selanjutnya calon ibu bayi (nesambu robhine)
disuap dengan katopa langole (ketupat yang modelnya menyerupai alat
reproduksi laki-laki). Pada suapan pertama yang digigit hanya pada
bagian sudut ketupat, lalu dibuang ke arah kanan dan kiri masing-masing
pasangan nesambu. Hal ini dilakukan sebagai simbol menolak hal-hal
yang kurang baik yang kemungkinan akan menimpa pasangan nesambu
beserta bayi yang ada di dalam kandungan.
Setelah itu, sando melanjutkan menyuap nesambu, mulai
dari katopa, lalu telur (ghunteli) yang harus dimakan utuh oleh
nesambu, aneka jenis kue tradisional. Setiap makanan yang akan disuap
kepada nesambu selalu dicelup ke dalam air gula (neegola). Hal
tersebut dilakukan dengan maksud agar nesambu dan bayi dalam
kandungan selamat dan sejahtera. Adapun sisa makanan dari nesambu
diberikan kepada kunde (pendamping) dan pihak keluarga atau anak-
anak yang hadir di tempat itu.
Hal penting bagi nesambu perempuan / calon ibu, dilarang
berpindah tempat sebelum alas duduknya berupa bantal disungki
( dicungkil ) oleh sando dengan menggunakan parang. Namun, jika
sudah di sungki dan diberi izin oleh sando, nesambu barulah bias
perpindah tempat duduk atau berdiri. Kemiduan, keluarga baru
mendapat giliran menyuapi nesambu setelah sando selesai
melaksanakan prosesi ritualnya. Hal ini diawali dari pihak nenek dari
masing-masing nesambu, kemudian ibu dan mertua, disusul dari garis
tante, dan saudara, serta kerabat lainnya.Setelah prosesi nesambu selesai,
dilanjutkan dengan acara pemberian hadiah dari keluarga.Hadiah yang
diaksud berupa uang dan perlengkapan melahirkan, seperti sarung dan
pakaian bayi. Orang pertama yang memberikan hadiah kepada pasangan
nesambu ialah keluarga dari pihak calon ayah baru keluarga dari pihak
calon ibu, mulai dari nenek, tante, sepupu, dan saudara.Selain hadiah
dari pihak kelurga, juga dari kerabat. Ritual Kasambu ini ditutup dengan
makan bersama.

E. Kebiasaan Yang Di Lakukan Suku Muna Pada Saat Melahirkan

Kebiasaan yang di lakukan suku muna pada saat melahirkan adalah


melakukan ritual-ritual seperti minum air yang sudah di bacakan doa sesuai
kepercayaan suku muna untuk mempermudah proses melahirkan.

F. Kebudayaan Suku Muna pada saat merawat Ibu Masa Nifas


1. kadiu kafanahi
Kadiu kafanahi atau mandi air panas ini dilakukan untuk ibu nifas
setelah melahirkan, guna menurut kebudayaan merefleksi otot otot setelah
melahirkan, dan mempermudah keluarnya darah nifas dari tubuh agar tdk
beku. Kebudayaan ini berkaitan dengan dunia kesehatan, sebab air panas
dipercaya baik untuk kesehatan terutama untuk merefleksi badan.
2. Mandi uap atau tomboro
Penggunaan tomboro yaitu dengan alat selimut dan panci berisi
ramuan berada di dalam selimut bersama dengan ibu nifasi. Hasil
maksimal apabila selimut dirapatkan ke lantai supaya suhu dan uap tidak
keluar. Ibu bisa merasakan kesan suasana panas namun lembab karena
uap air. Aroma rempah menyegarkan ketika dihirup dan terkena pada
bagian wajah yang sengaja dihadapkan pada uap tomboro. Kesan yang
bisa ibu dapatkan adalah menyegarkan dan menghangatkan badan.
Pemberian terapi Tomboro memiliki fungsi dan tujuan yang
sama dengan mandi sauna yaitu untuk mengeluarkan keringat di dalam
tubuh. Keringat yang diharapkan keluar membawa sisa metabolisme dan
racun yang tidak terpakai lagi di dalam tubuh. Ibu nifas yang mengalami
gangguan kesehatan akan merasa bugar dan sehat setelah melakukan
terapi tomboro.
Pengeluaran keringat adalah salah satu proses alami dalam tubuh
yang bermanfaat untuk menjaga kesetabilan metabolisme yaitu
membuang sisa kelebihan cairan di dalam tubuh setelah kehamilan(Rini
& D, 2017). Keringat dapat dirangsang pengeluarannya dengan
menciptakan suasana atau suhu dengan panas melebihi dari suhu inti
tubuh (Kukus, Supit, & Lintong, 2013).
Mandi uap membantu mengeluarkan keringat dan memiliki
manfaat mengurangi stress, memperbaiki syaraf, sistem detoksifikasi
serta memelihara kadar gula dalam darah (Rengganis, 2017).
Pelaksanaan terapi tomboro pada jaman dahulu (yang dilakukan
leluhur sando) menggunakan batu yang dibakar kemudian menempatkan
dedaunan untuk menghasilkan panas yang berkhasiat. Sando yang
berpartisipasi dalam penelitian memilih menggunakan metode lain yaitu
merebus air dan memasukkan dedaunan yang dianggap berkhasiat yaitu
daun pisang kering, daun belimbing, daun kasape, daun serai dan jahe.
Batu yang digunakan untuk mandi uap berfungsi sebagai pemanas untuk
menghasilkan uap, improvisasi pelaksanaan tomboro dilakukan oleh
sando pada masa kini dengan menggunakan rebusan air karena uap yang
dihasilkan lebih banyak dan memiliki prinsip seperti penggunaan
aromatherapy akibat dari penguapan kandungan daun yang digunakan
dalam rebusan (Yogasara, 2014).
Manfaat penggunaan daun obat untuk mandi uap menjelaskan
bahwa dedaunan tersebut dapat membantu memelihara kesehatan dan
mencegah keluhan penyakit tertentu (Batubara et al., 2017). Daun libo
yang digunakan oleh sando adalah daun fitofarmaka yang memiliki
khasiat antioksidan dan antikanker (Cahyadi, Febrina, & Rusli, 2016;
Rijai, 2013). Daun kasape dapat membersihkan darah kotor sebagiamana
tujuan dari tomboro adalah membersihkan tubuh dari penyakit
(Jumiarni, WO & Komalasari, 2017).
Daun pisang kering memiliki manfaat untuk menurunkan suhu
tubuh dan memiliki kandungan antioksidan (Fadhilah & Dewi, 2017).
Daun belimbing yang dimaksud oleh sando adalah daun belimbing
wuluh yang dapat menjadi obat tekanan darah tinggi(Jumiarni, WO &
Komalasari, 2017). Daun lain yang dipakai dalam mandi uap adalah
daun pepaya dengan manfaat sebagai obat batu ginjal, jerawat,
membersihkan darah dan hepatitis(Kharisma, 2013). Sereh dipercaya
memiliki kandungan untuk menyembuhkan penyakit kuning, jahe dan
kunyit digunakan untuk mengatasi gangguan pada kulit sekaligus
sebagai antijamur, antiinflamasi dan antioksidan alami (Batubara et al.,
2017; Jumiarni, WO & Komalasari, 2017; Yuan Shan & Iskandar, 2018.

G. Kebiasaan yang dilakukan Suku Muna pada saat Ibu Mulai Menyusui Bayinya
Pada saat menyusui suku Muna percaya degan adanya KADIU ROONO
KALEI atau mandi daun air pisang. Kebudayaan ini dilakukan dengan
memandikan ibu menyusui dengan air rebusan daun pisang kering, menurut
kebudayaan dipercaya akan menyehatkan badan ibu menyusui. Kebudayaan ini
masih berkaitan dibidang kesehatan sebab daun pisang kering bisa digunakan
untuk peradangan kulit.
BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Proses adat yang dilakukan Suku Muna pada saat memasuki Masa Remaja,
dan untuk Kesehatan Reproduksi Remaja. Kangkilo dalam bahasa muna yang artinya
sunatan merupakan adat masyarakat muna yang masih dilestarikan sampai saat ini.

Proses-proses persiapan menuju akad nikah yang sudah menjadi budaya


orang Muna adalah sebagai berikut : Deowa To So Daefeenagho Tungguno Karete,
Kafeenano Tungguno Karete, Deowa To So Adhati Be Kakawi, Kakawi.

Sebelum upacara perkawinan dilaksanakan, dilakukan persiapan-persiapan


agar upacara perkawinan itu dapat terlaksana dengan baik. Persiapan-persiapan itu
antara lain: rumah pesta, bahan-bahan kebutuhan pesta, panitia penyelenggara pesta,
undangan untuk menghadiri pesta dan lain-lain.

Ritual yang dilakukan suku muna pada saat hamil yaitu adat kasambu. adat
Kasambu merupakan salah satu tradisi daur hidup (life cycle) yang dilaksanakan oleh
masyarakat Kabupaten Muna. Secara etimologi istilah Kasambu berasal dari bahasa
Muna, yang terdiri dari kata “sambu” yang berarti suap, mendapat imbuhan “ka”
yang membentuk kata kerja sehingga diartikan sebagai kegiatan menyuapi atau
memberi makan (Kasambu) kepada pasangan suami istri pada kehamilan pertama.

Kebiasaan yang di lakukan suku muna pada saat melahirkan adalah


melakukan ritual ritual seperti minum air yang sudah di bacakan doa sesuai
kepercayaan suku muna untuk mempermudah proses melahirkan.

Pada saat menyusui suku Muna percaya degan adanya KADIU ROONO
KALEI atau mandi daun air pisang. Kebudayaan ini dilakukan dengan
memandikan ibu menyusui dengan air rebusan daun pisang kering, menurut
kebudayaan dipercaya akan menyehatkan badan ibu menyusui. Kebudayaan ini
masih berkaitan dibidang kesehatan sebab daun pisang kering bisa digunakan
untuk peradangan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

https://formuna.wordpress.com/2018/05/26/proses-pernikahan-orang-muna/

https://formuna.wordpress.com/2020/05/10/langku-langku-tata-cara-prosesi adat-
perkawinan-suku-muna/

http://ejournal.upi.edu/index.php/RBSPs/article/download/8769/pdf

https://media.neliti.com/media/publications/123946-ID-tradisi-katoba-sebagai-
media-komunikasi.pdf

https://gpswisataindonesia.info/mengenal-tradisi-kariaa-muna-sulawesi-tenggara/

https://tugaskampusqu.blogspot.com/2013/11/prosesi-adat-kangkilo-dan-kampua-
suku.html

https://www.slideshare.net/septianbarakati/kangkilo-dalam-adat-muna-53636557

Wulandari Rizki A,2018. “KASAMBU; “Ritual Menyambut Kelahiran Anak Di


Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara”. Skripsi.
Makasar: Universitas Hasanudin

Anda mungkin juga menyukai