Anda di halaman 1dari 4

"Hujan Parasut di Wonosari" [Perang Gerilya Soedirman Bagian 1]

GERRIMIS yang berujung hujan lebat itu telah mereda. Belum tuntas langit sore
menghamparkan kemegahannya, matahari keburu bersemayam ke sarang malam. Senja turun
dengan bulan sepotong tergores seleret awan tipis mengambang di pusar langit. 

Dengan disertai sekompi pasukan, Soedirman yang penyakit batuknya tengah kambuh itu
menaiki tandu beroda empat manusia. Meninggalkan Perkampungan Bintaran Wetan. Menyusuri
jalan-jalan perkampungan yang tak terjangkau mata Belanda. Melangkah ke arah selatan. 

Selepas menyeberangi Sungai Opak yang berarus deras, Soedirman bersama pasukannya
telah menginjakkan kakinya di kawasan Parangtritis. Manakala sepotong bulan telah terbenam,
Soedirman memerintahkan pasukannya untuk menghentikan langkah. 

Soedirman segera keluar dari tandu yang telah diturunkan di atas hamparan pasir oleh
keempat pemanggulnya. Dengan mengenakan mantel hijau tebal, Soedirman berdiri di antara
Heru Keser, Cakra Pranala, Suparja Rustam, Suwondo, dan seluruh pasukannya yang
membentuk barisan di antara dua gumuk pasir.

"Saudara-saudaraku sebangsa seperjuangan! Perjalanan gerilya baru saja kita mulai. Perjalanan
untuk membela keadilan. Kita adalah bangsa terhormat, yang tak ingin mati di atas cabang
kemunafikan." Soedirman terbatuk-batuk. "Mulai detik ini, jangan panggil aku Soedirman!
Panggil saja, Pak De!".

Samudra selatan menggedeburkan gelombang. Seluruh anggota pasukan menoleh ke arah


selatan. Tubuh mereka tergetar, manakala kedua matanya menangkap seleret cahaya hijau.
Memancar terang dari atas hamparan laut ke arah tandu. Dalam diam, mereka berbisik pada
dirinya sendiri: "Kanjeng Ratu Kidul telah membantu perjuangan Pak De!"

Suwondo melangkah setengah berlari ke arah Soedirman yang kembali terbatuk-batuk di


depan tandu sambil memegang erat dadanya. "Sebaiknya Pak De segera memasuki tandu. Udara
malam sangat dingin. Kurang baik untuk kesehatan Pak De."

"Ya, dok. Terima kasih." Soedirman mengusap-usap dadanya yang terasa perih. Menyapukan
pandangannya ke seluruh anggota pasukan yang tampak samar-samar. "Kalian boleh istirahat.
Sebelum matahari terbit dari balik bukit timur, kalian harus sudah terbangun. Kita lanjutkan
perjalanan."

"Siap, Pak De."

Soedirman membalikkan tubuhnya. Melangkah perlahan memasuki tandunya. Ketika


Soedirman telah menurunkan kain penutup tandu, seluruh anggota pasukannya duduk satu per
satu. Merebahkan tubuhnya di hamparan pasir. Melepaskan lelah sesudah menempuh sekian pal
perjalanan.
*** 

ANGIN  fajar menebarkan aroma pasir pantai Parangtritis. Camar yang melintas di atas
tempat peristirahatan Soedirman seolah tengah membangunkan seluruh anggota pasukan dari
tidurnya. Manakala kaki langit di balik bukit timur membentangkan warna merah kejinggaan,
mereka telah berdiri di depan tandu. Menunggu perintah Soedirman.  

Kain penutup tandu tersingkap. Soedirman yang wajahnya tampak segar itu segera keluar
dari tandu. Berdiri di depan pasukannya yang telah berdiri membentuk barisan. "Saudara
sebangsa dan seperjuangan. Kita akan lanjutkan perjalanan ke arah timur. Bukan untuk mati.
Melainkan menyongsong matahari kemenangan yang akan segera terbit."

Soedirman memasuki tandu. Empat anggota pasukan segera memanggul tandu itu.
Mengikuti iringan pasukan dengan ujung tombak Heru Keser, Cakra Pranala, dan Suparja
Rustam. Menuju Purwosari yang berlanjut ke arah Panggang. Manakala memasuki Playen,
mereka singgah di Desa Banaran. Menginap di rumah  Ki Wirasetama. 

Di rumah keluarga petani itu, Soedirman memerintahkan pasukannya untuk


memersiapkan peralatan stasiun Radio. Seluruh pasukan yang dibantu warga segera bekerja.
Meletakkan peralatan stasiun radio AURI di dapur. Pembangkit listriknya disembunyikan di
tungku tanah dengan dilindungi kayu bakar. Antenanya direntangkan antara dua batang pohon
kelapa. 

"Stasiun radio sudah siap digunakan, Pak De."

"Terima kasih, Keser." Soedirman berdiri di depan mike. Menggemakan pengumuman pada
dunia. "Bukalah telinga! Buka mata! Indonesia masih ada. Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa,
kami berharap agar segera mendesak Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui kedaulatan
Republik Indonesia."

 Menyaksikan kecerdikan dan keberanian Soedirman di mata dunia; Heru Keser, Cakra
Pranala, Suparja Rustam, Suwondo, Wirasetama, seluruh anggota pasukan, dan beberapa warga
merasa bangga. Mereka berbisik dalam hati: "Di balik raganya yang lemah, Pak De menyimpan
jiwanya yang perkasa!"

***

KEESOKAN harinya, Soedirman dan pasukannya kembali bergerak menuju Wonosari.


Karena jalanan yang berbatu kian mendaki, langkah pasukan itu sering kali terhenti. Sejenak
mengatur napas yang ngos-ngosan. Meminum setenggak air yang diberikan penduduk di
perjalanan. 
"Kapten Parja...." Heru Keser memecah suasana. "Silakan Kapten menggantikan aku sebagai
ujung tombak, aku akan ikut memanggaul tandu. Seluruh anggota pasukan sudah nampak
kepayahan."

"Siap laksanakan."

"Bapak Letnan..." Cakra Pranala nimbrung dalam pembicaraan. "Bagaimana denganku?"

"Kapten Cakra sebaiknya membantu Kapten Parja. Mencari jalan yang lebih mudah dan cepat
untuk segera sampai di Wonosari."

"Siap, laksanakan."

"Letnan...." Suwondo tak mau ketinggalan. "Mau tak mau aku harus turut memanggul tandu."

"Terima kasih, dok."

Sesudah Heru Keser yang disertai Suwondo itu melangkah ke ujung bambu pemikul
tandu bagian depan, kedua anggota pasukan segera mendekati ujung bambu di bagian belakang.
Pasukan Soedirman kembali bergerak. Mendaki jalanan berbatu dengan sisi kiri-kanannya hanya
nganga jurang yang menyerupai mulut sang malaikat maut.

***

WAKTU terus berjalan seiring langkah pasukan dan pemanggul tandu. Hingga suatu
malam, mereka yang telah menginjakkan kakinya di tlatah Wonosari. menginap di rumah salah
seorang sesepuh desa yang sangat disegani seluruh penduduk. 

Mengetahui keberadaan Soedirman dan pasukannya yang tengah menginap di rumah


sesepuh desa itu, banyak penduduk berdatangan. Sebagian mereka membawa makanan thiwul,
gathot, dan ubi rebus. Sebagian lainnya membawakan minuman serai atau asem buat sang
jenderal yang tengah menyamar.

Namun tanpa sepengetahuan Soedirman dan pasukannya, salah seorang di antara


penduduk yang turut menjamu itu diam-diam meninggalkan desa pada keesokan harinya.
Menuju Gedung Agung. Di mana Belanda tengah duduk pongah di atas kursi kekuasaannya.

Sesudah sehari dua malam, Soedirman dan pasukannya meninggalkan rumah sesepuh
desa. Namun selagi beristirahat di tepian hutan, Soedirman yang duduk di dalam tandu itu
menyaksikan barisan pesawat-pesawat tengah menghujani parasut-parasut dari angkasa. "Jangan
tembak! Kita bisa mati sia-sia!"
"Apa yang harus kita lakukan, Pak De?"

"Sembunyi ke dalam hutan!"

Mendengar perintah Soedirman, seluruh anggota pasukan itu segera memasuki hutan.
Mereka tak bergerak di bawah lindungan rerimbun semak dan daun-daun pepohonan. Tak ada
yang mereka ucapkan, selain doa keselamatan. Manakala telinga mereka mulai menangkap
desingan peluru dan letusan bom yang diluncurkan dari langit berasap pekat.

Hari berangkat sore. Soedirman yang tak lagi mendengarkan desingan peluru dan ledakan
bom itu keluar dari dalam tandu. "Sebaiknya kita jangan bergerak dulu! Kita tunggu sampai
keadaan benar-benar aman!"

"Siap, Pak De."

Bersama matahari yang berpulang ke sarangnya, Soedirman memasuki tandu. Tak seperti
pasukannya yang telah tertidur, Soedirman masih berjaga. Mengerahkan akal-budinya.
Merencanakan perjalanan rahasia. Menuju tlatah Kediri yang masih jauh dari jangkauan kakinya.

-Sri Wintala Achmad-

Anda mungkin juga menyukai