Video ini adalah seri ketiga tentang Agresi Militer Belanda II.
Sebetulnya serangan Belanda ke Jogjakarta sudah diprediksi oleh pihak Republik jauh
hari.
Namun pihak Republik tak pernah tahu kapan persisnya Belanda akan menyerang.
Maka diadakanlah rapat dewan siasat militer untuk merancang strategi menghadapi
serangan Belanda yang bisa terjadi kapan saja.
Rapat para perwira TNI menghasilkan kesepakatan yang dinamakan Perintah Siasat
Nomor 1.
Isi perintah Siasat No.1 adalah TNI tidak akan melakukan pertahanan linier.
Dan melakukan aksi wingate yaitu menyusup kembali ke daerah asal agar
menjadikan seluruh Pulau Jawa sebagai medan pertempuran.
TNI juga sudah merancang rute pelarian Soekarno dan para pemimpin Republik jika
Belanda melancarkan serangannya.
Perintah Siasat Nomor 1 ini akan dijalankan ketika Belanda menyerang Jogja.
Pada awal Desember 1948, intelijen TNI sudah membaca akan ada serangan Belanda
dalam waktu dekat.
Pimpinan TNI lalu memerintahkan para panglima merusak jalan-jalan menuju garis
demarkasi.
Supaya tidak mengganggu jalannya perundingan yang sedang berjalan, maka TNI
menyamarkan segala persiapan itu dengan menyebutnya sebagai latihan umum.
Entah kenapa tanggal itu juga yang dipilih Belanda untuk melancarkan serangan ke
Jogja.
Sementara itu Panglima Besar Soedirman yang menyadari situasi mulai genting,
memaksakan diri pulang dari rumah sakit.
Saat itu kesehatan Panglima Besar Soedirman memburuk. Ia dirawat di rumah sakit
karena menderita TBC akut.
Namun karena situasi sudah genting, ia memaksa pulang pada 16 Desember 1948.
“Saat-saat sekarang adalah genting dan penting. Yang bakal menentukan nasib
bangsa dan negara kita.
“Berhubung dengan itu, kami perintahkan segenap anggota angkatan perang agar
tetap di tempatnya masing-masing”.
Nasution pergi ke Jawa Timur bersama para perwira atas restu Panglima Besar
Soedirman.
Untuk itu Nasution merasa perlu menghilangkan hal-hal mengganjal antara Divisi
Jawa Timur dengan Mabes TNI.
Dan benar saja. Dua hari kepergian Nasution dari Jogja, Belanda melancarkan
serangannya pada 19 Desember 1948 pagi.
Sasaran pertama adalah lapangan udara Maguwo.
Tidak butuh waktu lama bagi Belanda merebut Maguwo dari para prajurit AURI.
Rencana itu adalah Perintah Siasat Nomor 1 yaitu menggelorakan perang gerilya.
Perintah kilat itu disebarluaskan berulang kali oleh stasiun RRI Jogjakarta.
Ia beranjak dari tempat tidurnya pergi ke Istana dikawal satu regu pengawal.
Namun Seperti ada kekuatan gaib dalam tubuh Soedirman kala itu hingga
membuatnya bisa bangkit dan bergegas ke Istana.
Dengan memakai piyama, bersandal serta diselimuti mantel tebal warna cokelat,
Soedirman dipapah Dokter Suwondo, dokter pribadinya dan Tjokropranolo ke dalam
mobil.
PAnglima Besar Soedirman hanya bisa menunggu di ruang tamu bersama Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang Simatupang dan KSAU Suryadi Suryadarma.
Pertama Presiden, Wakil Presiden dan para menteri tidak akan meninggalkan Jogja.
Hal ini tentu bertentangan dengan Siasat Militer yang memutuskan mengungsikan
Soekarno ke suatu tempat untuk memimpin gerilya.
Pertimbangan ini diambil atas dasar keamanan. Saat itu Soekarno meminta
penjagaan dari satu batalyon TNI untuk membawanya mengungsi.
Namun permintaan Soekarno tidak bisa dipenuhi karena pasukan sudah terpecah.
Karena tidak ada jaminan keamanan memadai, Soekarno dan para pemimpin
Republik memilih tetap di Jogja.
Seandainya Soekarno dan para pemimpin Republik menjadi tawanan, tak akan
dieksekusi mati karena mereka adalah tawanan politik.
Selain itu dengan menjadi tawanan, pemerintah Republik masih bisa menjalin kontak
dengan KTN, lembaga resmi dari Dewan Keamanan untuk perdamaian Indonesia-
Belanda.
Di saat rapat masih berlangsung, Soekarno diberitahu ada Panglima Besar Sudirman
menunggu di ruang tamu.
Soekarno awalnya meminta Sudirman untuk bersembunyi di dalam kota agar bisa
berobat menyembuhkan penyakitnya. Baru nanti setelah sembuh baru Sudirman
pergi ke luar kota.
“Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno
dengan saya,” kata Sudirman.
Bung Karno menolak. Menurut Soekarno dirinya dan Hatta akan tetap bertahan di
Istana agar bisa melanjutkan perjuangan lewat jalur diplomasi.
“Tempatmu bukanlan tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal disini.
“Dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita.”
“Jika Bung Karno tetap di sini, boleh jadi Bung dibunuh,” jawab Sudirman.
“dan kalau saya keluar dari sini BElanda mungkin menembak saya. DAlam kedua hal
ini, saya menghadapi kematian, tapi jangan khawatir. Saya tidak takut,” tegas Bung
Karno.
“Kita perang dengan cara beradab. Akan tetapi,” kata SUdirman sambil mengepalkan
tinjunya ke atas,
“Kami akan peringatkan Belanda, kalau Belanda menyakiti Soekarno bagi mereka tak
ada ampun lagi.
“Apa ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?” tanya Sudirman ke BUng
Besar.
“Ya. Jangan adakan pertempuran di dalam kota. Kita tidak mungkin menang.
“Isilah seluruh lembah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di semak belukar.
“Ini adalah perang gerilya semesta. Sekalipun kita harus kembali dengan cara
amputasi tanpa obat bius, dan menggunakan daun pisang sebagai perban, namun
jangan biarkan dunia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas
seorang diplomat.
“Perlihatkanlah kepada dunia, bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal,
dengan darah, keringat dan tekad yang tak kunjung padam.” kata SOekarno berapi-
api.
“Dan jangan keluar dari lembah dan bukit hingga presidenmu memerintahkannya.
“Baik ia militer atau sipil. Dan Indonesia tidak akan menyerah,” teriak Soekarno.
“Dirman inilah pesanku padamu. Sebagai seorang prajurit, sebagai seorang Jenderal,
sebagai seorang PAnglima TNI, jangan menyerah.