Anda di halaman 1dari 5

Agus Hernoto Opsus

Dikeluarkan dari RPKAD karena cacat, Agus Hernoto terlibat dalam Operasi Khusus atau Opsus.

Halo DC Mania, jumpa lagi di DC Channel.

Channel yang mengupas kisah tokoh dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Di video sebelumnya kami sudah membahas perjuangan sang legenda pasukan Komando Kolonel Agus
Hernoto di Irian Barat yang kini bernama Papua.

Agus Hernoto harus kehilangan satu kakinya saat operasi pembebasan Irian Barat.

Cacat tubuh ini membuat Agus Hernoto harus dikeluarkan dari satuan Resimen Para Komando Angkatan
Darat atau RPKAD yang kini bernama Kopassus.

Mengapa itu bisa terjadi?

Simak terus ya video ini.

1. Dikeluarkan dari RPKAD

Pelaksanaan Operasi Pembebasan Irian Barat selesai. Banyak korban berjatuhan dari pihak tentara
Indonesia.

Ada yang gugur ada juga yang menjadi cacat permanen. Salah satunya adalah Agus Hernoto.

Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani mengumpulkan para prajurit yang mengalami
invalid atau cacat permanen akibat pertempuran.

Ahmad Yani memberikan pilihan kepada tentara yang invalid untuk pensiun dini.

Mereka yang memilih pensiun dini dibekali modal uang untuk memulai hidup baru.

Di antara semua yang hadir, Agus menjawab:

"Pak, saya tidak akan pensiun! Sampai mati saya akan tetap di Angkatan Darat."

Saat Operasi Pembebasan Irian Barat, kaki Agus hancur terkena tertembus peluru musuh.

Ia pun ditangkap MArinir Belanda dalam keadaan luka parah.

Selama dalam tawanan, Agus mengalami penyiksaan. Kakinya ditusuk bayonet diminta membocorkan
posisi pasukan TNI di Irian Barat.

Meskipun mengalami penyiksaan selama dalam tawanan Belanda, Agus tidak mengalami post-traumatic
stress disorder (PTSD).

Prajurit yang menderita PTSD biasanya menampakkan sikap negatif, depresi, sulit bergaul bahkan
dengan orang terdekat sekalipun.

Perlu waktu untuk memulihkan kembali kondisi psikologi tentara yang pulang dari medan perang.

Hal ini tidak berlaku bagi Agus. Dia tidak berubah kecuali kaki kirinya diamputasi.
Padahal, dia juga mengalami penyiksaan berat dari tentara Belanda. Badannya penuh bekas luka.

"Di bagian kanan punggung, seperti terlihat ada lubang yang besar dan menganga, mungkin bekas luka
terkena serpihan ledakan granat sewaktu perang di Irian Barat," ujar Bob Heryanto Hernoto, anak Agus.

Pada Maret 1963, Agus dipindahkan dari jabatan komandan Team DPC ke PASI II Yon I Parako (Para
Komando).

Agus lalu ditugaskan mengirim pasukan RPKAD ke Serawak, Malaysia, dalam rangka operasi Konfrontasi
Malaysia.

Agus bertugas di Parako sampai akhir Maret 1965. Dia dipindahkan ke Detasemen Markas RPKAD.

Agus telah menunjukkan kemampuannya sebagai prajurit meski berkaki satu.

Namun, kesatuannya mengabaikan hal itu. Dia hanya sebulan di Denma RPKAD.

Pada Mei 1965, Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimoeljo, mengeluarkan kebijakan untuk
menyehatkan RPKAD.

Dalam kebijakan baru ini, dia memutuskan semua anggota yang invalid akan dikeluarkan dari RPKAD.

Kebijakan ini langsung menimpa Agus, perwira operasi dalam Batalion I RPKAD yang dipimpin Benny
Moerdani.

Moeng mengeluarkan Agus dari RPKAD. Agus dimutasi ke Staf Umum Angkatan Darat III Bagian
Organisasi.

Benny naik darah mendengar kemungkinan Agus harus dikeluarkan dari RPKAD karena invalid.

Anak buahnya itu korban pertempuran, kehilangan satu kaki akibat melaksanakan perintah operasi.

Meskipun invalid, tenaga Agus masih bisa dimanfaatkan oleh kesatuannya dengan memuaskan.

Bahkan, dia juga masih bisa menjalankan tugas selaku perwira operasi dengan cakap.

Benny mempertanyakan kebijakan tersebut: mengapa bakat baik seperti Agus harus dikeluarkan dari
RPKAD hanya dengan alasan yang tidak masuk akal?

Mengapa tidak ditempuh kebijakan, misalnya, para anggota invalid dimasukkan ke dalam tugas staf?

Sementara itu. Benny melihat, banyak perwira baru yang belum pernah mengikuti latihan komando
secara benar malah sudah dijadikan pasukan Baret Merah.

Manakah yang lebih pantas menjadi anggota RPKAD? Mereka yang sudah jelas mengorbankan tubuhnya
dalam mengemban tugas operasi?

Ataukah para perwira baru yang secara tiba-tiba saja dengan berbagai macam koneksi mendadak sudah
bisa menerima Baret Merah?

Benny mempermasalahkan kebijakan baru yang dirumuskan sejumlah perwira staf tersebut dalam rapat
staf di markas RPKAD di Cijantung pada akhir 1964.

Dia menegaskan bahwa dirinya tidak rela kalau Agus harus dikeluarkan dari RPKAD.
Benny mengenang pengalamannya dengan Agus dan menyatakan pembelaannya.

Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani, mengetahui kritikan Benny kepada kebijakan komandannya.

Yani menyalahkan Benny yang mengkritisi kebijakan Komandan RPKAD.

Benny dinilai tidak beretika karena menyampaikan penilaian atas kebijakan komandannya.

Yani dan Benny terlibat pembicaraan panas dalam bahasa Belanda.

Sampai akhirnya Yani memindahkan Benny Moerdani dari RPKAD ke Kostrad secara lisan.

2. Bergabung dengan Opsus

Setelah keluar dari RPKAD, Agus Hernoto bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan pengawal
Presiden Sukarno.

RPKAD yang berada di Tjakrabirawa dipimpin oleh Soetaryo.

Dia kemudian mengajak Agus bergabung dengan Tjakrabirawa.

Di Tjakrabirawa, Agus bertugas seperti Dandenma (Komandan Detasemen Markas) untuk mengurusi
tamu, mobil, dan lain-lain.

Namun, Agus tidak nyaman berada dalam pasukan pengawal Presiden Sukarno itu.

"Setiap pulang kerja dia selalu murung. Sepertinya dia tidak senang di Tjakrabirawa," kata Ida, istri Agus.

Di saat bersamaan, Ali Murtopo, perwira pelaksana Operasi Khusus (Opsus) meminta Aloysius Soegijanto
untuk mencari orang yang bisa mengurus orang-orang yang berkepentingan dengan Opsus seperti
menerima orang-orang di airport.

Gijanto lalu mengusulkan Agus di Tjakrabirawa.

Agus Hernoto dianggap sudah biasa mengurusi seperti itu di Detasemen Markas Tjakrabirawa.

Agus lalu keluar dari Tjakrabirawa dan menjadi Dandema (Komandan Detasemen Markas) Opsus.

"Saat Agus bertugas di Tjakrabirawa, saya sering meminta Agus untuk membantu setiap kegiatan
Opsus," kata Soegijanto.

Ali Moertopo meminta Agus bergabung dengan Opsus karena sering membantu Opsus.

"Dulu Pak Ali bilang ke saya ajak dia (Agus) bergabung, lalu saya bilang ke Agus. Akhirnya, Agus pun
berminat gabung dengan Opsus dan meninggalkan satuannya Tjakrabirawa," kata Soegijanto.

Menurut Soegijanto, saat Opsus menjalankan operasi menghentikan Konfrontasi dengan Malaysia,
Opsus seringkali kekurangan staf yang menjaga di Ibukota.

Saat seluruh anggota sedang sibuk di pos masing-masing di berbagai negara, terkadang tidak terdapat
staf di Jakarta.

Padahal, perlu ada orang yang aktif di Ibukota karena banyak relasi dari negara-negara lain yang perlu
diakomodasi keperluannya ketika berkunjung di Indonesia.
"Pernah suatu hari ada utusan dari negara Israel ingin membangun hubungan dengan Indonesia lalu
ingin bertemu dengan Pak Ali Moertopo. Demi menjaga kerahasiaan, saya meminta tolong Agus untuk
menjemput utusan tersebut di lapangan udara Kemayoran dan membawa alat komunikasi. Setelah
dijemput kemudian diantarkan ke rumah singgah yang berada di wilayah Menteng," kata Soegijanto.

Sebagai Dandenma Opsus, Agus Hernoto lebih banyak menghabiskan waktunya di markas Opsus di Jalan
Raden Saleh No. 52 Menteng, Jakarta.

Rumah ini seperti rumah pada umumnya.

Tidak ada plang yang menunjukkan bahwa rumah itu adalah markas organisasi yang berkuasa dan
ditakuti: Opsus.

Agus biasanya bekerja dari pagi hingga larut malam.

Mejanya terletak paling dekat dengan pintu masuk ruangan.

Bagi siapapun yang ingin menemui Ali Murtopo harus melalui Agus.

Agus bertanggung jawab terhadap keperluan logistik dan pendukung lainnya untuk berbagai misi
intelijen.

Salah satu tugas awal Agus di Opsus adalah membantu A.R. Ramly di Singapura, dalam penyelesaian
Konfrontasi dengan Malaysia melalui jalur diplomatik.

Selain itu, Agum Gumelar juga pernah menemui Agus di markas Opsus.

"Ketika itu Opsus perlu perwira dari Kopassus," kata Agum yang waktu itu berpangkat Letnan Satu.

Agum ditugaskan Kopassus untuk bertugas di Opsus dan menghadap dengan pakaian militer.

"Letnan Agum Gumelar siap menghadap!" Agum melapor dan memberi hormat militer kepada Agus.

Agus dengan kaki diangkat ke meja menatap Agum dengan tajam.

Agus melihat Agum dari kaki hingga kepala. Sambil manggut-manggut, Agus berkata, "Ini boleh, ya
boleh."

"Waduh galak juga nih komandan," pikir Agum.

Setelah melapor, Agus memberitahu bahwa Agum akan dikirim ke Malaysia selama dua tahun sekaligus
belajar bahasa Tionghoa.

Pulang dari Malaysia, Agum yang sudah fasih berbahasa Tionghoa kemudian dipercaya menjadi ajudan
Ali Moertopo.

"Prestasi yang ditunjukkan oleh Pak Agus menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama dari Benny
Moerdani dan Ali Moertopo dalam setiap operasi di medan tempur operasi intel," kata Agum.

Sebagai Dandenma Opsus, Agus diberi tugas oleh Ali Moertopo untuk mengumpulkan dan menyediakan
dana dalam rangka kelancaran operasi Opsus.
Setiap operasi Opsus harus didukung dana besar karena operasi dilakukan di dalam dan luar negeri.

Sebagai organisasi super body, Opsus menjadi jalan keluar bagi setiap instansi negara yang menemui
kesulitan dalam kegiatan di dalam maupun luar negeri.

"Maka, Agus harus mencari dana dari pihak mana pun yang ingin berkontribusi.

Agus menghubungi sejumlah pengusaha papan atas yang bersedia membantu Opsus.

Peran Agus sangat sentral dalam Opsus yang banyak melakukan kegiatan tertutup atau rahasia.

Dia menampung banyak dana yang masuk dan mengeluarkannya untuk kebutuhan logistik dan
operasional Opsus.

"Uang yang ada banyak. Tugas you menjaga jangan sampai ada uang hilang," ujar Ali Moertopo kepada
Agus.

Peranan Agus di Opsus sangat strategis karena dia dipercaya mengelola uang yang sangat besar
mengingat operasi intelijen itu tertutup dan memerlukan dana yang tidak sedikit.

"Pilihan kepada Pak Agus sebagai orang yang mengurus logistik adalah pilihan tepat. Bayangkan bila ada
orang yang tidak bertanggung jawab memegang kekuasaan itu maka orang itu akan kaya sehingga perlu
orang yang dapat dipercaya seperti Pak Agus," ujar Benny, perwira operasional yang pernah bertugas di
Opsus.

Apalagi waktu itu, lanjut Benny, dukungan kerja intelijen Indonesia masih di bawah standar, sementara
tanggung jawabnya sangat tinggi.

"Setiap ada keperluan mengenai operasi pasti akan dilanjutkan kepada Agus sebagai perwira yang
mengurusi misi-misi Opsus," kata Soegijanto.

"Semua yang pernah berada dalam Opsus terkesan dengan kerja Agus yang cekatan sehingga setiap
kebutuhan misi pasti segera terpenuhi dengan cepat," cerita Joseph yang sering bertemu Agus untuk
mengurus berbagai logistik pendukung operasi.

"Saya sebagai operator hanya terima persiapan matang dari Pak Agus. Sebagai Dandenma, dia mengatur
semuanya dari mulai visa sampai paspor meski terkadang datanya kurang benar."

Siapa pun, dari pengusaha sampai pejabat-pejabat di kementerian, misalnya Kementerian Luar Negeri,
harus melapor ke Opsus dulu sebelum bertugas ke luar negeri.

"Mereka, termasuk para pengusaha yang menjadi donatur semua bertemu Pak Agus di Jalan Raden
Saleh, memberikan bantuan kepada pemerintah," kata Benny.

"Begitu istimewanya Opsus," pungkas Joseph, "semua instansi meminta bantuan Pak Agus, sampai ada
ungkapan Agus itu Opsus, Opsus itu Agus."

Anda mungkin juga menyukai