Anda di halaman 1dari 10

Kisah ironi operasi militer menumpas gerilyawan Kalimantan Utara (2)

Yang Terbuang Pascakonfrontasi

Perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, sangat berpengaruh


terhadap para tentara dan gerilyawan yang berada di lapangan.

Menurut Bong Bu Tjin, ketika itu ada juga pasukan dari Kodam VII Diponegoro tidak
ingin perang berhenti. Mereka melanjutkan operasi di Malaysia dan bergabung dengan
pasukan PGRS-PARAKU Mereka kecewa, karena tentara dari divisi ini paling
banyak menjadi korban dari perang dengan Malaysia, kata Bong Bu Tjin.

Bong banyak kenal tentara dan ikut dalam berbagai kegiatan tentara. Dia jadi fotografer
para tentara. Banyak tentara yang cerita padanya. Bong pernah memotret Jenderal
Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, ketika berkunjung ke Kalbar. Mayjen Suharto
adalah Wakil Komando Dwikora. Panglima Dwikora Omar Dhani.

Ketika Indonesia dan Malaysia menghentikan konfrontasi dengan pertemuan dan


menghasilkan kesepakatan damai, penanganan sisa anggota PGRS-PARAKU
diserahkan kepada kebijakan negara masing-masing. Begitu juga dengan gerilyawan
PGRS-PARAKU yang sebagian besar berideologi komunis. Pemerintah Malaysia
mengampuni dan membina para mantan gerilyawan ini.

Mantan PGRS dibina. Bahkan, ada yang diberi modal, sehingga bisa menjadi
pengusaha. Di Malaysia, mereka pakai bintang merah 3, kata Edo, mantan Danlanud 2
Singkawang di Bengkayang.

Di Indonesia, para anggota PGRS-PARAKU diminta menyerah dan meletakkan


senjata. Sebagian ada yang meletakkan senjata. Namun, ada juga yang tidak mau.
Mereka kuatir, pemerintah Indonesia bakal menumpasnya, karena ideologinya
komunis. Apalagi pada saat bersamaan, ada pengejaran dilakukan terhadap para
anggota PKI di Jawa.

Menurut Soemadi, pemerintah menyerukan pada gerilyawan untuk meletakkan senjata


dan menyerah. Namun, hanya 99 orang yang menaati. Sedangkan 739 tidak
melakukan perintah. Senjata mereka diperkirakan 538 pucuk. Terdiri dari Bren, Sten
Gun, Senapan dan pistol.

Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura berkata, setelah konfrontasi
dengan Malaysia, yang paling berperan masalah politiknya. Pergantian kepemimpinan
membuat kebijakan terhadap PGRS-PARAKU juga berubah.

Ironis memang. Ketika Indonesia dan Malaysia konfrontasi, mereka direkrut dan dilatih
melawan Malaysia. Begitu kondisi damai. Mereka diburu dan dikejar.
Yang melatih kita, yang mengejar juga kita, kata Sarwono.

Akhirnya, para gerilyawan masuk kembali ke hutan. Tentara banyak juga yang menjadi
korban dalam pertempuran. Korban terjadi, karena PGRS-PARAKU sudah tahu taktik
dan cara perang gerilya yang dilakukan TNI.
Ada suatu taktik dalam perang gerilya, pencegatan biasanya dilakukan di hutan. Di
sawah tidak bisa dilakukan penyergapan, karena daerahnya terbuka. Dalam perang
gerilya, mereka melakukan penyergapan di gunung. Di gunung biasanya tentara
berjalan berpencar. Satu dengan yang lain jaraknya agak jauh. Tujuannya, ketika ada
penyergapan, bisa menghindar. Di depan pasukan, biasanya ada penyisiran dulu
dilakukan. Ketika di tanah datar, jalannya merapat dan berkumpul. Taktik itulah yang
diberikan pada PGRS-PARAKU dalam pelatihan.

Teori ini dibalik oleh PGRS-PARAKU. Ketika tentara berjalan di sawah dan jalannya
berkelompok, serta tidak melakukan penyisiran di depan pasukan, PGRS-PARAKU
menyerang tentara. Tentara tidak siap dan tidak menduga bakal diserang. Karenanya,
banyak tentara terbunuh di persawahan Bengkayang. Bahkan, sekitar 37 tentara dari
Siliwangi meninggal semua.

Operasi penumpasan tidak mendapatkan hasil sesuai harapan. Sejumlah operasi yang
dilakukan gagal di tengah jalan, karena keburu tercium. Operasi yang dilakukan sering
gagal, karena bocor informasinya. Hal ini dirasakan betul prajurit di lapangan.

Idang Supandi, prajurit Kopassus yang ketika itu berpangkat Kopral, sangat merasakan
sulitnya operasi. Dia melakukan operasi dalam penumpasan anggota PGRS-PARAKU
di Benua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu.

Dalam melakukan operasi, dia selalu menggunakan pasukan kecil. Tujuannya, supaya
bisa bergerak lebih cepat. Sulitnya medan operasi dan komunikasi yang selalu bocor,
membuat operasi tidak menunjukkan hasil maksimal. Kita seperti main kucing-
kucingan. Ketika ada informasi musuh ada di salah satu bukit, begitu kita kejar sudah
tidak ada. Selalu begitu, kata Idang.

Kebocoran informasi terjadi karena ada sebagian anggota BPI pro komunis. Selain itu,
penumpasan mengalami kesulitan, karena anggota PGRS-PARAKU kebanyakan orang
Cina. Yang merupakan komunitas etnis tersendiri, dan punya bahasa sendiri. Sehingga
intelegen tidak bisa masuk.

Perkembangan politik pascaperistiwa G30SPKI, sangat tidak menguntungkan


gerilyawan. Apalagi dengan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia. Karenanya,
penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU di Kalbar, menurut Soemadi, punya empat
kerangka besar. Pertama, dalam rangka pemulihan kembali hubungan Indonesia dan
Malaysia. Kedua, dalam rangka pemulihan ketertiban dan keamanan umum. Ketiga,
dalam rangka pembersihan G30SPKI, serta dilarangnya PKI dan Komunisme atau
semua faham Marxisme-Leninisme-Maoisme, termasuk pelarangan semua organisasi
pendukungnya. Keempat, dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamnas dan Doktrin
Perjuangan ABRI. Apalagi dengan keluarnya Surat Rahasia Pangkolaga No. R-33/1967
tertanggal 17 Februari, tentang pelaksanaan security arranggement on the border
regions yang memuat, pertama; penyusunan dan pembentukan Komando Perbatasan.
Kedua, Pengendalian Operasionil langsung dibebankan kepada Koandakal cq. Kodam
XII Tanjungpura.

Setelah tahun 1965, PGRS bongkar senjata dan lari ke hutan. Sebelumnya mereka
memang diajari berbagai taktik perang oleh tentara Indonesia. Ada taktik perang

gerilya, melakukan penyusupan dan lainnya, kata Edo.

Di era Soekarno, Indonesia jor-joran mendukung perlawanan rakyat Serawak dan


Kalimantan Utara memerangi Malaysia dan Inggris.

Pemerintah bahkan melatih komandan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) Bong
Kee Chok dan adiknya, Bong Hon. Mereka dilatih oleh Badan Pusat Intelijen, RPKAD,
Marinir, Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara dan Mobile Brigade Polri. Seluruh
perhatian pemerintah Indonesia tahun 1964-1965 tercurah pada konfrontasi dengan
Malaysia.

Pemerintah juga menyuplai senjata untuk Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU).
Bahkan sejumlah pasukan elite Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dikirim
sebagai sukarelawan dan bergabung dengan TNKU. Mereka bertempur dengan
pasukan komando Inggris di belantara Kalimantan.

Tapi saat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Presiden Soeharto, kebijakan
berubah drastis. Orde Baru yang menuding konfrontasi dengan Malaysia disusupi
komunis. Pemerintah Indonesia pun kemudian menghentikan dukungan pada PGRS
dan TNKU. Mereka meminta gerilyawan PGRS meletakkan senjata dan menghentikan
perlawanan.

"Dari 838 anggota TNKU hanya 99 orang yang taat meletakkan senjatanya dan
menyerahkannya pada pos polisi atau pos tentara terdekat. Selebihnya 739 orang
membangkang. Jumlah senjata yang tidak dikembalikan sekurang-kurangnya 538
pucuk, terdiri atas bren, stengun, senapan dan pistol. Selain itu ada juga granat-granat
tangan buatan Pindad," kata Hendropriyono (hal 64).

Maka ABRI dan Polri dikirim kembali ke Kalimantan Utara, tapi kali ini untuk memerangi
para muridnya sendiri yang dulu dilatih untuk berjuang melawan neokolonialisme.
Gerilyawan PGRS dan Paraku yang berada di hutan-hutan belum mengetahui hal ini.

Setelah tahu mereka kini harus saling berhadapan, para anggota PGRS, TNKU, ABRI
dan Polri itu banyak yang menangis tersedu-sedu dan saling berangkulan sebelum
mereka menyatakan perpisahan. Tapi sebagai alat negara, tugas berat itu tetap harus
dikerjakan ABRI dan Polri.

"Kenyataan bahwa politik kerap kali membuat alat negara melaksanakan tugas dengan
beban mental yang sangat berat. Perubahan haluan politik ini sangat menyakitkan,
sehingga rasa kemanusiaan mereka hanyut dalam arus kekecewaan yang sangat
dalam," beber Hendro.

PGRS adalah murid para prajurit ABRI. Berjuang bersama melawan Inggris di
Kalimantan Utara dan Serawak. Kini guru harus membunuh anak-anak murid sendiri.
PGRS harus melawan gurunya sendiri yang sangat dihormati dan dicintai. Itu semua
karena perubahan haluan politik Indonesia yang berdamai dengan Malaysia.

Maka walau pahit, guru dan murid saling berhadapan di rimba Kalimantan. Tak mudah
memerangi PGRS yang sangat mengenal baik medan gerilya dan mendapat dukungan
masyarakat. ABRI melatih mereka dengan baik sehingga pasukan PGRS paham
intelijen, konsep gerilya, hingga menyerang dengan senyap dan terkoordinasi.

Tahun 1967 PGRS pimpinan Lim Fo Kui alias Lin Yen Hoa dan Bong Khe Chok
mengadakan pertemuan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan
S.A Sofyan dam Tan Bu Hiap di Bukit Bara, sebelah Timur Sambas, Kalimantan Barat.
Mereka membentuk suatu koalisi perjuangan yang dinamakan BaRA atau Barisan
Rakyat. Salah satu poin kesepakatan, PGRS akan mendirikan negara komunis
Serawak yang merdeka. Suatu pasukan baru bernama Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (Paraku) didirikan.

Ketangguhan PGRS/Paraku terbukti saat mereka menyerang Pangkalan Singkawang II


Angkatan Udara RI di Sangau Ledo. Operasi ini berjalan sangat baik. Mereka berhasil
merampas 153 pucuk senjata AURI dari berbagai jenis. Serangan direncanakan
dengan baik, terkoordinasi dan rapi. Mereka mempraktikkan apa yang diajarkan ABRI
pada mereka.

Ini merupakan suatu hal yang hanya lazim dapat dilakukan oleh pasukan komando
regular yang terlatih sangat baik. Tidak seperti oleh pasukan gerilya yang tidak teratur.

Pemerintah Indonesia pun terkejut atas keberhasilan tersebut. Sebagai balasan, Mabes
ABRI menggelar Operasi Bersih II. Pasukan Kodam XII Tanjungpura kini diperkuat
satuan Puspassus TNI AD.

Peperangan guru melawan murid pun berkobar. Pedih, tapi harus dilakukan

Yang dimaksud Edo diatas adalah peristiwa penyerangan gerilyawan PGRS-PARAKU


terhadap Lapangan Udara (Lanud) 2, Singkawang di Bengkayang.

Edo mantan pilot pesawat Mustang. Ia hampir meninggal dunia, karena pesawat
Mustang yang dipilotinya mengalami kerusakan mesin, setelah lepas landas di
Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Di seluruh dunia,
sebagian besar pilot pesawat Mustang yang jatuh, bakal meninggal. Karena radiator
pesawat ada di bawah tempat duduk pilot.

Ketika mengalami kecelakaan pesawat, Edo sempat dirawat selama tiga bulan di
rumah sakit. Setelah sembuh, dia tak pegang pesawat tempur lagi. Dia ditempatkan
sebagai pasukan biasa di AURI. Dia ikut operasi penumpasan PGRS-PARAKU pada
1967-1969, dan tergabung dalam Operasi Samber Kilat. Gabungan pasukan
dibubarkan seiring dengan penghentian operasi yang dilakukan militer. Setelah itu, dia
ditempatkan sebagai Danlanud 2 Singkawang, pada 1970-1972 dan 1972-1974.

Menurut Edo, Lanud Singkawang 2, dibangun pemerintah Belanda pada 1939.


Tujuannya, menghadapi invasi Jepang. Belanda membangun pangkalan di Sanggau
Ledo, karena letaknya dekat dan menghadap Laut Natuna. Jadi, strategis untuk
mendukung secara persenjataan.

Pangkalan dilengkapi dengan landasan pesawat terbang. Panjang landasan 900 meter.
Landasan terbuat dari pengerasan batu. Dasarnya cukup kuat. Bagian atas landasan
berupa rumput. Landasan dibuat untuk ukuran pesawat saat itu. Seperti, B25, B26,
Dakota. Saat itu, hanya ada satu pesawat yang pernah uji coba.

Ketika pangkalan belum siap dan belum ada kekuatan militer yang masuk, tentara
Jepang keburu masuk ke Indonesia. Pembangunan pangkalan tidak dilanjutkan.
Belanda sudah kalah dengan Jepang.

Setelah Jepang kalah perang, fungsi pangkalan dikembalikan sebagai pangkalan


pendukung oleh pemerintah Indonesia. Dulu, hanya ada seorang perwira berpangkat
Mayor sebagai Komandan Lanud. Sekarang ini, ada dokter dan perwira lainnya.
Pangkalan Singkawang 2 merupakan pangkalan kecil. Karena ada peristiwa PGRS,
namanya menjadi naik, kata Edo.

Di pangkalan ada gudang senjata berukuran 5 kali 10 meter. Temboknya terbuat dari
beton setebal 30-40 cm. Ada penutup pintu besi setebal satu inchi. Dibom pun, gudang
itu tak akan runtuh, kata Edo.

Pada 16 Juli 1967, gudang senjata diserbu gerilyawan PGRS yang dipimpin Lim A Lim.
Ketika itu, hanya ada empat orang yang menjaga. Memang ada peraturan, pasukan
tidak boleh membawa senjata ke rumah, dan harus diletakkan di gudang senjata.

Sistem jaga 24 jam. Pergantian bisa pagi dan sore. Sekali jaga ada empat orang dan
24 jam nonstop. Penyerangan terjadi pada hari Minggu, menjelang pagi. Saat kondisi
penjaga sudah mengantuk.

Ada tiga anggota AURI tewas. Sekitar 150 pucuk senjata dirampas dan ribuan amunisi
dibawa gerilyawan. Senjata yang dirampas antara lain, LE, senjata peninggalan perang
Dunia ke II. G3, senjata otomatis, dan lainnya. Setelah gudang senjata dibongkar,
komandan pangkalan langsung diganti. Setelah itu, dikirim pasukan tambahan dari
Jakarta.

Mereka tidak menyangka, pasukan PGRS akan menyerang, karena selama ini mereka
adalah kawan dan pernah dilatih tentara, kata Edo.

Operasi Tempur

Setelah peristiwa pembobolan gudang senjata di Lanud 2 Singkawang,


Bengkayang, dimulai operasi besar-besaran menumpas PGRS-PARAKU.

Sulitnya medan membuat pengiriman perbekalan dan logistik dilakukan dengan


berbagai cara. Pengiriman perbekalan dilakukan melalui jalur darat, udara dan air.

Bila medannya sulit, perbekalan dikirim dengan pesawat udara. Caranya, menerjunkan
dengan payung udara. Perbekalan juga didatangkan lewat sungai.

Lalu, bagaimanakah cara militer menanggani para gerilyawan ini?

Dalam operasi militer, ada operasi tempur dan operasi teritorial, kata Letkol (Pur) H.
Zaenal Arifin, eks Komandan Batalyon 402 Sintang. Terakhir, Zaenal adalah pejabat
Bupati di Ketapang.
Zaenal pernah melakukan operasi pertempuran Trikora di Irian Jaya dan Permesta di
Manado. Di Permesta lebih sulit operasinya, karena para pemberontak dibantu Amerika
Serikat. Senjata yang dimiliki Permesta lebih canggih dan modern. Bahkan, Amerika
juga mengirim para penerbangnya. Salah satunya yang pesawatnya tertembak di sana.
Penerbang pesawat itu bernama Allan Lawrence Pope dan sempat menjadi tawanan
pemerintah RI.

Ketika bertugas di Kalbar, Zaenal berpangkat Mayor. Menurutnya, dalam ketentaraan


dibagi menjadi beberapa pasukan. Ada regu, terdiri dari 11 orang. Satu Peleton terdiri
26 orang. Satu Kompi terdiri dari 100 orang. Satu Batalyon terdiri dari 500 orang.
Sebagai komandan batalyon, ia melatih dan memperbaiki kemampuan batalyon yang
dipimpinnya. Setelah itu, mengirimkannya ke daerah perbatasan, untuk menghadapi
pemberontakan PGRS-PARAKU. Senjata yang biasa dipakai oleh PGRS-PARAKU
adalah lenvit.

Batalyon yang dipimpinnya terdiri dari 3 Kompi Tempur dan 1 Kompi Markas. Markas
Kompi ada di Sintang. Kompi A dan Kompi Markas berada di Sintang. Kompi B di
Sanggau. Kompi C ada di Nanga Pinoh. Belum ada jalan darat yang memadai. Semua
perbekalan dan operasi dilakukan melalui jalur sungai.

Perjalanan dari Sintang ke Sanggau, sekitar 12 jam dengan perahu, karena dari hulu.
Kalau dari Sanggau ke Sintang, sekitar 24 jam, karena ke hulu. Dari Sanggau ke Balai
Karangan, sekitar 48 jam atau dua hari. Biasanya bermalam di Kembayan.

Masalah transportasi merupakan hambatan bagi tentara, sehingga tidak bisa bergerak
cepat. Selain itu, ada sarana komunikasi radio. Setiap kompi ada radio.

Sebagai komandan, dia punya prinsip dasar. Seorang Komandan Batalyon dikatakan
komandan, kalau dia punya pasukan cadangan. Misalnya, dalam suatu pertempuran,
tiga kompi tidak boleh ditaruh di depan semua. Harus ada satu kompi cadangan di
belakang yang langsung dipimpinnya. Bagaimanapun, ada sesuatu yang harus dijaga.

Kondisi medan di sekitar Sambas, Bengkayang hingga Sanggau, berbukit dan hutan
lebat. Daerah ini dikuasai oleh PGRS. Kondsi medan di sekitar Lanjak, Benua Martinus
hingga Putussibau, hutan lebat dan penuh rawa. Daerah ini dikuasai oleh PARAKU.

Dalam doktrin yang dijalankan, Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta


(Hamkamrata), tentara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Di mana operasi
dilakukan, tentara harus merangkul rakyat. Apalagi, tentara kebanyakan didatangkan
dari Jawa. Karena itu, mereka minta bantuan pada masyarakat lokal, daerah mana
yang bisa digunakan untuk jalur jalan. Kebetulan wilayah operasi yang dijalankan,
sebagian besar terdiri dari orang Dayak. Mereka tahu bahasa Indonesia. Kalaupun
tidak mengerti, mereka pakai bahasa isyarat.

Zaenal merasakan kondisi operasi sangat sulit. Apalagi dengan kondisi medan dan
peralatan yang terbilang sederhana. Semua itu menjadi kendala tersendiri. Bila daerah
itu tak bisa ditembus melalui radio komunikasi, mereka menggunakan surat.

Perjalanan tidak bisa diukur dengan ukuran waktu. Isi surat biasanya suatu informasi
kepada kompi terdekat, untuk melaksanakan operasi ke tempat tertentu.

Penduduk dijadikan kurir. Supaya surat sampai dengan cepat, ada tanda tertenti di
amplop. Misalnya, ditempelkan daun atap atau daun nipah. Daun nipah biasa
digunakan untuk membuat atap rumah. Maksudnya, biar hujan sekali pun, si kurir harus
jalan terus. Juga ditempelkan korek api. Api adalah simbol penerangan. Artinya, biar
malam, jalan terus.

Kalau kita menggunakan kurir rakyat biasa, harus ada dua tanda itu diamplop
suratnya. Dua tanda itu, berarti kilat khusus, kata Zaenal.

Misalnya dari Balai Karangan ke Sekajang. Jarak itu butuh waktu satu hari satu malam.
Pengiriman surat secara estafet. Masing-masing oleh dua orang.

Pengiriman surat dilakukan karena ada informasi akurat yang harus disampaikan. Surat
menggunakan bahasa khusus dan kata sandi, sehingga tidak mudah dibaca orang.
Tulisannya sulit dibaca dan dicerna orang lain. Juga pakai nama samaran. Zaenal
punya nama samaran, Harum. Ada kesepakatan dengan para kepala komandan
Kompi.

Untuk mengangkut perbekalan, biasanya mengupah penduduk setempat. Caranya


dengan memberi makan. Kalau tidak bisa melalui air, perbekalan akan dijatuhkan
melalui udara. Namun, pengiriman lewat udara, kadang merusak barang yang dikirim.
Bila ada barang rusak, dia melaporkan ke markas Kodam XII Tanjungpura. Kodam
segera mengganti perbekalan itu. Perbekalan biasanya untuk satu bulan. Dalam sehari,
satu prajurit biasanya menghabiskan beras 500 gram. Dalam batalyon ada 500 orang.
Tinggal mengalikan saja.

Saat itu perbekalan minim. Peralatan seperti sepatu, kadang tidak pakai alas kaki. Bisa
juga cuma pakai sendal jepit. Pergerakan pasukan terkadang harus melewati jalan
berlupur setinggi lutut. Sulitnya medan membuat sepatu yang dipakai tertinggal di
lumpur.

Persenjataan masih sederhana. Ada beberapa tipe senjata. Bren otomatis, AK-47. LE,
atau Sten. Operasi pasukan tidak menggunakan persenjataan berat, seperti meriam.
Kondisi medan tidak memungkinkan. Pasukan pakai senapan praktis dan otomatis,
sehingga mudah dibawa.

Menurut pengalamannya, tidak ada yang berat-berat sekali. Sebagai komandan, dia di
belakang pasukan. Operasi penumpasan berhadapan dengan pasukan kecil.
Karenanya, menggunakan pasukan kecil. Yang berat adalah jalan menuju ke tempat
operasi. Hutan lebat, bukit dan rawa.
Operasi paling berat di Bungpatung dan Benua Martinus. Bungpatung hutannya lebat.
Jalan juga sulit ditembus. Benua Martinus hutan lebat dan berawa.

Ancaman lain adalah malaria. Dia pernah terkena malaria tropika. Pada jam tertentu,
kepala rasanya berdenyut keras sekali. Dia pernah membentur-benturkan kepala
dengan keras ke tembok, sangking tak kuat menahan rasa denyutnya.

Sebagai Komandan Batalyon, Zaenal melakukan berbagai operasi penumpasan hingga


ke Bengkayang. Suatu ketika, pasukannya bergerak dari Balai Karangan ke
Bungpatung. Di Bungpatung bergabung dua batalyon. Batalyon 642 Sintang dan
Batalyon 641 Singkawang. Dua batalyon itu dibawah komando Zaenal.

Dalam operasi di Gunung Brambang, dua batalyon ini berhasil menembak mati salah
satu pemimpin PGRS-PARAKU bernama Yap Chung Ho. Yang merupakan salah satu
pimpinan gerilyawan.

Sempat terjadi kontak senjata sebelum ditembak. Pertempuran terjadi pada siang hari.
Selesai pertempuran, ada laporan dari anak buah, Yap Chung Ho tertembak. Zaenal
segera memberi perintah, untuk membuktikannya. Dari lokasi pertempuran ke tempat
Zaenal cukup jauh. Perjalanan sekitar enam jam jalan kaki. Jenasah Yap Chung Ho
dibawa ke markasnya. Jenasah sampai pada pukul 19.00 wib.

Bersama jenasah Yap Chung Ho, dibawa juga berbagai dokumen dan barang. Setelah
itu, Zaenal minta pada anak buahnya, memasang kaca mata dan pakaian pada sang
mayat. Setelah yakin dan sesuai dengan yang ada di foto, Zaenal segera melapor ke
Kodam XII Tanjungpura. Selepas itu, Kodam menyiarkannya melalui radio.

Setelah berhasil menangkap Yap Chung Ho, Zaenal diijinkan turun ke Pontianak.
Pasukannya diganti dengan pasukan dari batalyon lain. Pergantian pasukan biasanya
setiap setahun sekali. Semua pasukan lama akan diganti dengan pasukan yang baru

Pasukan elite tak konsentrasi patroli lihat wanita Dayak seksi

Tahun 1968, Letnan Dua Hendro baru lulus dari Akademi Militer Magelang. Sebelum
mengikuti latihan komando, para perwira remaja ini diperintahkan Komandan Pusat
Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD kini Kopassus) Brigjen Wijoyo
Suyono ke Kalimantan Barat. Saat itu di sana sedang digelar operasi militer untuk
menumpas gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawah (PGRS) dan Pasukan
Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).

"Kalian pergi untuk belajar bertempur," kata Brigjen Willy, sapaan Wijoyo pada delapan
perwira muda itu.

Maka Hendro dan kawan-kawan bergabung ke Detasemen Tempur 13 Pasukan


Khusus Angkatan Darat yang dipimpin Kapten Inf Sugito. Ada tiga kompi yang bertugas
dalam misi tersebut. Mereka berangkat dengan kapal Angkatan Laut dari Pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat.

Kemudian pasukan itu dibagi-bagi, naik perahu menyusuri Sungai Kapuas ke Sintang.
Lalu pasukan baret merah itu dipecah di Lanjak. Peleton Hendro yang dipimpin Capa
Saniyo bergerak menuju Nangabadau.

Hendro menggambarkan perjalanan keluar masuk hutan belantara di Kalimantan


menguras tenaga. Naik turun bukit sejauh 30 km dengan membawa beban berat di
punggung sangat melelahkan. Namun kelelahan itu lenyap saat Hendro dan
pasukannya berpapasan dengan wanita-wanita Dayak yang cantik.
"Kelelahan terasa sangat berkurang karena terpikat oleh pemandangan indah luar bisa
yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Kecantikan gadis-gadis Dayak Iban
yang berpapasan di sepanjang jalan, aduhai, menggetarkan hati saya. Mereka berkulit
langsat dan bertelanjang dada," beber Hendro (hal 86).

Maka Hendro pun mengingatkan prajurit-prajurit baret merah itu untuk terus menatap
ke depan jika berpapasan dengan rombongan suku Dayak.

"Pandang lurus ke depan. Tetap waspada," kata Hendro.

"Suatu kali saya dengar suara anggota, lirik kanan ada Cleopatra! Disambut tawa
cekikan para prajurit anak buah sambil memandang ke arah moleknya gadis yang kami
papasi," lanjut Hendro.

Sebelum bertugas, seluruh pasukan telah dibekali pengarahan oleh Asisten Operasi
Kolonel Kistam. Pasukan ABRI tak boleh mengganggu rakyat karena kita berebut
simpati dengan musuh untuk merebut hati rakyat. Satu hal yang harus dilakukan dalam
operasi antigerilya adalah membuat musuh tak lagi mendapat dukungan dari rakyat.

Selain itu prajurit juga tak boleh mengganggu gadis Dayak Iban. Walau suka sama
suka, jika ketahuan orang tua dan tidak terima, bisa gawat.

"Kamu bisa dipenggal! Atau kamu kena denda untuk membeli babi yang harganya
mahal. Kodam tidak mau membantu uang untuk membayar denda karena
kesalahanmu," kata Kolonel Kistam disambut tawa prajurit.

Operasi Para Komando di Kalimantan, senyap dan maut

Ketika pertama mengikuti operasi Pasukan Khusus Angkatan Darat (Passusad,


sekarang Kopassus) di Kalimantan, Hendro masih berpangkat letnan dua. Passusad
merupakan satuan elite yang berkualifikasi Para Komando (Parako). Para artinya
pasukan terjun, sementara komando adalah prajurit yang terlatih bertempur di segala

medan.

"Dalam kesatuan Parako, jumlah personelnya relatif sangat sedikit dibanding kesatuan
biasa atau reguler berhubung dengan sifat operasinya yang serba khusus," kata
Hendro.

Seringnya mereka beroperasi dalam formasi kelipatan empat orang. Empat, delapan,
dua belas dan seterusnya. Tugasnya adalah infiltrasi atau melakukan penyusupan ke
sarang musuh secara diam-diam. Yang sering jadi target adalah pusat atau tempat
komando pengendalian (Kodal).

Sasaran ini strategis, karena bernilai menentukan atau berpengaruh besar terhadap
keberhasilan operasi secara keseluruhan.

Targetnya menghancurkan Kodal atau melakukan sabotase sampai tidak berfungsi.


Tapi sering juga targetnya adalah personel, komandan gerilya atau panglima musuh.
Pimpinan gerilya merupakan target utama. Berbeda dengan tentara reguler, pimpinan
gerilya umumnya dipilih, bukan ditunjuk. Orang nomor satu dalam gerakan militer,
sehingga jika tewas, sulit dicari gantinya. Sebisa mungkin pimpinan gerilya harus
ditangkap hidup-hidup untuk keperluan intelijen.

"Tugas lain dari pasukan Para Komando adalah melakukan pembunuhan dalam medan
pertempuran. Pembunuhan itu pun harus dilakukan tanpa suara," beber Hendro.

"Sasaran pasukan Para Komando adalah key person atau key point yang umunya
berdislokasi jauh di belakang garis musuh," lanjut Hendro.

Karena itu pendidikan dan latihannya juga sangat berat. Setiap personel harus mampu
berkelahi dengan tangan kosong, melempar pisau dan menembak sasaran dengan
tepat. Kemampuan fisik juga harus melebihi kemampuan manusia biasa. Mereka
mampu menyusup lewat darat, laut dan udara secara senyap.

Selain Para Komando ada Sandi Yudha. Personel Sandi Yudha memang diambil dari
Parako, tetapi tugasnya lebih luas.

Saat bertempur dengan PGRS/Paraku, Hendro menerapkan operasi intelijen untuk


melawan gerilya yang dinamakan Operasi Balik. Intinya menghadapkan musuh dengan
musuh. Termasuk membalikkan aset komunikasi musuh, seperti kurir mereka menjadi
agen intelijen mereka. Termasuk menggunakan musuh yang tertangkap menjadi
pasukan paramiliter untuk membantu serangan kita.

Kunci keberhasilan operasi antigerilya adalah mengambil hati rakyat. Jangan sampai
rakyat terus membantu gerilya. Selama gerilyawan mendapat dukungan logistik dan
komunikasi dari rakyat, maka perlawanan akan terus terjadi.

Istilah yang tepat adalah memisahkan ikan dari air. Tanpa air, ikan akan mati.

Maka secara perlahan, TNI terus mengambil hati rakyat hingga tak mau menjadi
gerilyawan. Cara yang efektif biasanya mendekati keluarga. Dibina pelan-pelan hingga
mau memberikan informasi bahkan membujuk para gerilyawan untuk menyerah.

Di lain pihak, pengejaran dan penghancuran terhadap kekuatan gerilyawan terus


dilakukan. Sehingga operasi militer bisa berhasil.

Bersambung ...

Anda mungkin juga menyukai