Pada hari pertama agresi militer 2 mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara
Maguwo, dan dari sana menguasai ibu Kota RI Yogyakarta.
Pukul 05.45 WIB Lapangan Terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur
oleh lima pesawat jenis mustang dan sembilan pesawat KITTYhawk. Pertahanan TNI di
Mguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan
persenjataan yang sangant minim, yaitu bebrapa senapan dan satu senapan anti pesawat
12,7 ml.
...
“ Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit.” Kalimat di atas keluar
dari mulut Panglima Besar Sudirman tatkala Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuh ringkih
itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit, membuktikan pada dunia – negara
Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin politik telah ditawan Belanda. Dalam kondisi
sakit-sakitan mendaki bukit, menembus belantara, menghadang tanah tandus berbatu,
menghindari serbuan Belanda tanpa henti.
Tapi di balik wajah pucat itu sinar matanya tak pernah berubah – tajam berkharisma,
membuat Simon Spoor frustasi. Operasi pengejaran Sudirman selalu gagal. Saat Sudirman
kembali ke Yogyakarta, rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi
bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang mempertahankan martabat
negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral rintang, tapi tak berhasil mengusir penyakit TBC
yang bersarang di tubuhnya.
Sikap sosok panglima yang juga santri didikan PETA ini tak pernah berubah. Panglima
Besar Jenderal Sudirman menyatakan usir penjajah dari bumi pertiwi. Sehingga ketika
Perundingan Renville deadlock dan Belanda ingkar janji dengan meluluhlantakkan Lapangan
Udara Maguwo untuk merebut Jogja yang dikuasai republik, Panglima Besar Jenderal
Sudirman telah memilih jalan gerilya sekalipun sedang sakit dengan paru-paru yang telah
dikempeskan sebelah.
Ketika Bung Karno tak menemukan jalan dan melarang Sudirman gerilya karena sakit,
sikap Sudirman juga tak berubah. Sosoknya tegas, berprinsip, namun mengayomi anak
buahnya itulah yang kemudian melahirkan kekuatan baik untuk diri panglima sendiri
maupun untuk anak buah dan koleganya. Medan mendaki, menurun, bukit tandus,
kekurangan makanan, hujan, tak menjadikan patah arang. Semua berdiri tegap dengan dada
membusung dan Sudirman mengatakan bahwa orang asing tak punya hak menduduki
kembali republik yang telah merdeka. Rasa cinta Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada
keluarga, tak mengalahkan kecintaannya kepada anak buah sehingga merasakan bangga
ketika ada di antara mereka.
Tapi ketika lahir putra bungsunya, keteguhan itu hampir goyah ketika Hanum Faeny,
adik iparnya menuntut seorang pemimpin yang tanggung jawab akan selalu berada di antara
anak buahnya, orang tua yang bertanggung jawab akan berada di tengah keluarganya.
Beruntung Sudirman memiliki seorang istri yang luar biasa tabah, Alfiah, putri seorang
juragan batik dari Cilacap. Ketika pergi ke medan gerilya, ia segera memegang peran sebagai
ibu sekaligus ayah untuk putra-putrinya. Ia memang menjelma menjadi perempuan teguh.
Tapi ketika sepi melanda, sebagai perempuan tetap saja terjerumus pada romantika masa
lalu bersama Sudirman. Kondisi yang senantiasa membuatnya selalu terjaga di sepanjang
malam. Kesepian yang kemudian dirasakan pula oleh Panglima Besar Jendeal Sudirman di
medan gerilya.
Letnan Kolonel Simon Spoor tak pernah mengira bila setelah menduduki Yogyakarta,
kemudian menawan para pemimpin republik, negara yang bernama Indonesia itu dengan
sendirinya akan lumpuh. Satu hal yang luput dari perhatiannya adalah kekuatan tentara
yang ternyata masih tetap ada dan kuat. Ia pun mengejar Sudirman yang memimpin tentara
dari medan gerilya. Keadaan ini membuat Sudirman semakin kepayahan, sebab disamping
kesehatannya yang terus menurun karena tidak diobati secara optimal, ia pun harus terus-
menerus bergerak siang dan malam, menghindari kejaran musuh. Sehingga pasukan
Belanda selalu datang terlambat. Menghancurkan tempat yang justru telah ditinggalkan
Sudirman.
Setelah itu hal ini terjadi terus-menerus, sehingga pada akhirnya Sudirman menyadari
ada mata-mata musuh yang ikut bergerilya. Beruntung Gusti Allah selalu membuktikan
keajaiban kepada lelaki kurus kelahiran Bodaskarangjati, Banyumas ini. Ia beserta
rombongan selalu selamat dari sergapan musuh, sampai akhirnya menetap di Sobo yang
dijadikan markas besar gerilya. Dari tempat ini, Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang.
Dari tempat ini pula berbagai penyerangan berhasil dilakukan sehingga membuat pasukan
Belanda frustasi.
Gencatan senjata kemudian disepakati sebagai hasil dari Perundingan Roem-Royen.
Bung Karno dan pemimpin politik lainnya kembali ke Yogyakarta dari pengasingan. Tapi
ketika Panglima Soedirman diminta turun gunung, ia tetap menolak sebab tak pernah
percaya dengan Belanda. Hatinya kemudian luluh ketika Bung Karno menulis surat secara
peribadi dan memohon untuk turun gunung.
Rekannya yang dihormati, Kolonel Gatot Soebroto juga menulis secara pribadi atas
usul Alfiah yang disampaikannya kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Hatinya luluh ketika
rasa kangen kepada keluarga yang lama ditinggalkan. Ia masuk kota Yogyakarta disambut
rakyat secara luar biasa, menandakan Panglima Besar Jendeal Sudirman tetap dicintai tidak
saja oleh tentara, tapi juga rakyat.
“Saya sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi
pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada gunanya. Sebab
itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara Belanda dan
anak-anak kita, agar Belanda menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur.
Kekuatan kita berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum
diplomat kita,” ujar Kiai Wahid Hasyim ketika menengok Sudirman yang terbaring sakit.
“Yang sudah lama saya khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis
menusuk dengan belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya
pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita jangan
tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk mempercepat
penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun,” jelas Sudirman.
Dialog antara Kiai Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) dengan Panglima Besar Jenderal
Sudirman itu mencerminkan bagaimana sikap pemerintah sipil yang kurang menghargai
peran tentara. Masalah itu yang kemudian menjadi sumber gesekan, termasuk antara Bung
Karno dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tapi ketegasan Sudirman dan selalu konsisten
dalam bersikap, membuat Bung Karno tetap mencintainya.
Bila memperhatikan tubuhnya yang kurus kering, wajah pucat karena kurang istirahat,
pihak pemerintah Belanda tak pernah mengira bila lelaki kurus ini telah membuat pasukan
Belanda kalang-kabut. Belum lagi para sakti mata yang tak habis berpikir, karena keajaiban
dan kejadian-kejadian mistis senantiasa melingkupi perjalanan gerilya Panglima Besar
Jenderal Sudirman ini. Seperti, cundrik yang bisa mendatangkan hujan, merica yang bisa
mengaburkan pesawat Belanda dan sebilah keris yang selalu menjadi pertanda.
...
“Aku bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah senantiasa memberikan jalan yang
sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dan pikirannya sederhana.
Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada akhirnya di-pundut Sing Kagungan, aku rela,”
ujar Soedirman sebelum menutup mata. Demikianlah memang orang mengenal Pak Dirman
pada perang gerilya dan sekarang Beliau gugur sebagai pahlawan sejati.
Mengidentifikasi Struktur Teks Cerita Sejarah
Kutipan Novel Sejarah Struktur Keterangan
Pada hari pertama agresi militer 2 mereka
menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara
Maguwo, dan dari sana menguasai ibu Kota RI
Yogyakarta.
...
“ Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar
tidak pernah sakit.” Kalimat di atas keluar dari
mulut Panglima Besar Sudirman tatkala Bung Berisi latar waktu dan
Karno menolak ikut gerilya. Tubuh ringkih itu situasi cerita yang akan
memilih jalan gerilya, membakar semangat Orientasi
diceritakan yaitu Perang
prajurit, membuktikan pada dunia – negara Gerilya.
Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin
politik telah ditawan Belanda. Dalam kondisi
sakit-sakitan mendaki bukit, menembus
belantara, menghadang tanah tandus berbatu,
menghindari serbuan Belanda tanpa henti.
N
Kaidah Bahasa Kutipan Teks
o
1. Kalimat Bermakna Lampau • Tapi ketika sepi melanda, sebagai perempuan tetap saja
terjerumus pada romantika masa lalu bersama Sudirman.
• “Aku bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah
senantiasa memberikan jalan yang sederhana, dekat dengan
alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dan pikirannya
sederhana. Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada
akhirnya di-pundut Sing Kagungan, aku rela,” ujar Soedirman
2. Penggunaan Konjungsi yang Setelah itu hal ini terjadi terus-menerus, sehingga pada
menyatakan urutan waktu akhirnya menyadarkan Sudirman, ternyata ada mata-
mata musuh yang ikut bergerilya.
3. Penggunaan Kata Kerja • Dalam kondisi sakit-sakitan mendaki bukit, menembus
Material belantara, menghadang tanah tandus berbatu,
menghindari serbuan Belanda tanpa henti.
• Ia pun mengejar Sudirman yang memimpin tentara
dari medan gerilya.
5. Penggunaan dialog • “ Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah
sakit.”
• “Saya sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa
mengerti politik diplomasi pemerintah, akan tetapi diplomasi
tanpa kekuatan militer hampir tak ada gunanya. Sebab itu,
menurut saya, biarkan saja kalau terjadi pertempuran-
pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar
Belanda menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan
tempur. Kekuatan kita berangsur-angsur lebih dibanggakan,
hal itu perlu bantuan moril dari kaum diplomat kita,”
• “Yang sudah lama saya khawatirkan, kini benar-benar
terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan belati di
punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang
saya pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke
Yogya, kekuatan militer kita jangan tercerai berai. Itu
sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk
mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di
Madiun,”
• “Aku bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah
senantiasa memberikan jalan yang sederhana, dekat dengan
alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dan pikirannya
sederhana. Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada
akhirnya di-pundut Sing Kagungan, aku rela,”