Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISUSUN OLEH :

NAMA : FERNANDO SAPUTRA

NIM : 2021210069

NAMA : DAVENA NOLA

NIM : 2021210068

YAYASAN PENDIDIKAN PRABUMULIH


JURUSAN SISTEM INFORMASI
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Pendidikan Agama Islam.


Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Hal hal yang harus
dilakukan terhadap orang yang sakit dan meninggal dunia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yeni Yuliana selaku guru Mata


Kuliah Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Prabumulih, 08 November 2021

Penyusun
PEMBAHASAN

A. MENJENGUK ORANG SAKIT

Sebagai seorang muslim, mengunjungi dan menjenguk orang sakit wajib hukumnya,
terutama jika orang tersebut memiliki hubungan dekat dengan dirinya, seperti
keluarga, saudara, sahabat, tetangga, dan yang lainnya. Menjenguk orang sakit
merupakan perbuatan mulia, termasuk amal shalih yang paling utama, dan
merupakan hak umat muslim terhadap sesama saudaranya.

Dalam kitab yang berjudul “Meneladani Nabi dalam Sehari” karya Syekh Abdullah
Ju’aitsan dijelaskan bahwa jika seseorang menjenguk orang sakit pada pagi hari,
maka tujuh puluh malaikat akan meminta ampun kepada Allah dan mendoakan kita
dari pagi hingga sore hari. Ketika seseorang menjenguk orang sakit di sore hari,
maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakan kita hingga pagi hari.

Rasulullah ‫ صلى هللا عليه و سلم‬bersabda:

‫صلَّى َعلَ ْي ِه َس ْبع ُْو َن‬


َ ‫ان ُغ ْد َو ًة‬َ ‫ َفإِنْ َك‬،‫س َغ َم َر ْت ُه الرَّ حْ َم ُة‬ َ ‫إِ َذا َعا َد الرَّ ُج ُل أَ َخاهُ ْالمُسْ لِ َم َم َشى فِيْ خ َِرا َف ِة ْال َج َّن ِة َح َّتى َيجْ ل‬
َ َ‫ِس َفإِ َذا َجل‬
‫ف َملَكٍ َح َّتى يُصْ ِب َح‬ َ
َ ‫صلَّى َعلَ ْي ِه َس ْبع ُْو َن أ ْل‬
َ ‫ان َم َسا ًء‬ َ ‫ َوإِنْ َك‬،‫ف َملَكٍ َح َّتى يُمْ سِ َي‬ َ ‫أَ ْل‬

“Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka
(seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk,
apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila
menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar
mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka
tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.”
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).

Terakhir, hendaknya orang yang membesuk mendoakan orang yang sakit:

َ ْ‫الَ َبأ‬
ُ ‫س َطهُو ٌر ِا نْ َشآ َء هّللا‬

“Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya


Alloh.” (HR. al-Bukhari).

Salah satu adab yang mulia dan menjadi hal yang bisa


menghasilkan pahala, adalah menjenguk orang sakit . Bahkan menjenguk orang
sakit merupakan salah satu ibadah ghairu mahdhah yang dianjurkan bagi umat
muslim, karena dalam aktivitas ini terdapat keutamaan yang agung, serta pahala
yang sangat besar, dan merupakan salah satu hak setiap muslim terhadap muslim
lainnya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‫صلَّى َعلَ ْي ِه َس ْبع ُْو َن‬


َ ‫ان ُغ ْد َو ًة‬َ ‫ َفإِنْ َك‬،‫س َغ َم َر ْت ُه الرَّ حْ َم ُة‬ َ ‫إِ َذا َعا َد الرَّ ُج ُل أَ َخاهُ ْالمُسْ لِ َم َم َشى فِيْ خ َِرا َف ِة ْال َج َّن ِة َح َّتى َيجْ ل‬
َ َ‫ِس َفإِ َذا َجل‬
‫ف َملَكٍ َح َّتى يُصْ ِب َح‬ َ
َ ‫صلَّى َعلَ ْي ِه َس ْبع ُْو َن أ ْل‬
َ ‫ان َم َسا ًء‬ َ ‫ َوإِنْ َك‬،‫ف َملَكٍ َح َّتى يُمْ سِ َي‬ َ ‫أَ ْل‬

“Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka
(seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk,
apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila
menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar
mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka
tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.”
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).

Masih banyak hadis-hadis lain tentang keutamaan menjenguk orang sakit ini.


Misalnya, di dalam kitab Lubbabul Hadis bab ke 36, Imam As-Suyuthi (wafat 911)
menuliskan hadis-hadis tentang keutamaan menjenguk orang sakit. Beberapa di
antaranya, yakni

}‫از َة ُت َذ ِّكرْ ُك ُم اآْل خ َِر َة‬


َ ‫ْض َواَ ْت َبعُوا ْال َج َن‬
َ ‫ {ع ُْو ُدوا ْال َم ِري‬:‫ َقا َل ال َّن ِبيُّ َعلَ ْي ِه ال َّساَل ُم‬.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bersabda, “Jenguklah orang sakit dan iringilah
jenazah, maka hal itu akan mengingatkan kalian pada akhirat (keadaan dan
kengeriannya).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi dari sahabat Abu Sa’id Al-
Khudri.

Imam An-Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa perintah pada hadis tersebut


adalah menunjukkan pada kesunnahan (bukan kewajiban).

Kemudian hadis berikut :

}‫ْض َي ْمشِ يْ فِيْ َم ْخ َر َف ِة ْال َج َّن ِة َح َّتى َيرْ ِج َع‬


ِ ‫{عا ِئ ُد ْال َم ِري‬
َ :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َو َقا َل‬

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang menjenguk orang


sakit maka ia akan berjalan di taman surga sampai ia kembali.” (HR. Muslim dari
sahabat Tsauban ra. (bekas budak Rasulullah saw. yang telah merdeka).
Dirangkum dari beberapa sumber, berikut keutamaan dan manfaat dari membesuk
atau menjenguk orang sakit ini, di antaranya:

1. Orang sakit adalah orang yang istimewa di mata Allah

Orang yang sakit adalah orang yang sedang mengalami ujian, sedang diberi
cobaan, sekaligus sedang disayang oleh Allah Ta'ala. Allah begitu dekat dan
mencintai orang yang sedang mengalami cobaan atau ujian.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya besarnya


pahala sebanding dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah
mencintai suatu kaum, Allah memberinya cobaan. Siapa yang rida dengan cobaan
itu, ia mendapat rida Allah, dan siapa yang tidak rida, ia pun mendapat kemarahan.”

2. Akan “menemukan” Allah

Di dalam hadis bahkan disebutkan bahwa Allah kelak pada hari Kiamat akan
menegur kita jika kita tidak “menjenguk-Nya” ketika Dia “sedang sakit”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dalam hadis qudsi bahwa pada
hari Kiamat kelak Allah akan bertanya kepada hamba-Nya, “Wahai anak Adam, Aku
sakit tetapi mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?” Sang hamba balik bertanya,
“Bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Tuhan semesta alam?” Allah
menjawab, “Bukankah kamu tahu bahwa fulan, hamba-Ku, sedang sakit, tetapi kamu
tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu jika kamu menjenguknya kamu akan
menemukan Aku di sisinya? Wahai anak Adam, Aku meminta makan darimu tetapi
mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?” Sang hamba menjawab, “Bagaimana
aku memberi-Mu makan sedang Engkau Tuhan semesta alam?” Tuhan menjawab,
“Bukankah kamu tahu bahwa hamba-Ku, fulan, meminta makan kepadamu tetapi
tidak kamu beri? Tidakkah kamu tahu kalau kamu beri dia makan kamu akan
menemukan Aku padanya? Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu
tetapi mengapa tidak kau beri?” Hamba menjawab, “Bagaimana aku memberi-Mu
minum, sementara Engkau Tuhan semesta alam?” Allah menjawab, “Bukankah
kamu tahu bahwa fulan, hamba-Ku, meminta minum tetapi tidak kamu beri minum?
Tidakkah kamu tahu seandainya kamu beri dia minum kamu akan menemukan itu
pada-Ku?” (HR Bukhari).

Dalam bahasa kiasan dapat dikatakan bahwa ada Allah di sisi orang sakit. Ada
rahmat Allah sedang turun pada orang sakit. Dengan menjenguk orang sakit, kita
sebenarnya sedang menjemput rahmat Allah. Dengan membesuk orang sakit, kita
sebenarnya sedang mendekatkan diri kepada Allah.
3. Ada surga pada orang sakit

Perhatikan hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya apabila seorang muslim membesuk
muslim lainnya (yang sedang sakit), ia akan tetap memetik buah surga sampai ia
pulang.” Menjenguk orang sakit diibaratkan dengan memetik buah surga.

4. Didoakan kebaikan oleh Malaikat

Diriwayatkan dari Abli bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu bahwa ia berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada seorang muslim yang
menjenguk saudara muslim pada pagi hari, kecuali tujuh puluh ribu malaikat
mendoakannya sampai sore. Jika ia menjenguknya pada sore hari, tujuh puluh ribu
malaikat turun mendoakannya sampai pagi. Ia (orang yang menjenguk) dicatat
memiliki kebun di dalam surga.” (HR At-Tirmidzi).

5. Hak seorang muslim dijenguk saudara muslim lainnya

Seorang muslim yang sedang tidak sakit berkewajiban menjenguk saudaranya yang
sedang sakit sebisa mungkin. Ini disebutkan dengan sangat jelas dalam hadis
Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,
bahwa kewajiban seorang muslim atas saudaranya yang muslim ada enam yaitu (1)
menjawab salam, (2) menjenguk yang sakit, (3) memberi nasihat ketika diminta, (4)
mengantarkan jenazahnya jika meninggal dunia, (5) mendatangi undangannya, dan
(6) mendoakannya ketika ia bersin.

6. Waktu tepat untuk bersyukur

Kesehatan bisa diibaratkan layaknya mahkota di kepala orang yang sedang sehat
namun tidak ada yang bisa melihat mahkota itu kecuali bagi mereka yang sedang
sakit. Karena itulah pada saat kita menjenguk orang sakit makan bisa digunakan
untuk lebih memperbanyak rasa syukur atas rahmat Allah yang sudah memberikan
kesehatan untuk kita.

7. Mengingatkan pada akhirat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu'anhu berkata: Rasulullah SAW


bersabda,"Kunjungilah orang yang sakit dan ikutilah jenazah, (hal tersebut)
mengingatkan kalian dari akhirat.” (HR. Ahmad (11209) dengan sanad yang shahih)

Pada saat kita menjenguk orang sakit, ini juga menjadi pengingat kita akan akhirat.
Dengan ini kita akan menjadi sadar tentang segala dosa yang sudah kita perbuat
dan menjadi takut pada Allah atas semua kesalahan yang sudah kita lakukan.
8. Jaminan kebaikan allah

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu'anhu mengatakan Rasulullah bersabda, "5


perkara yang barang siapa melakukan salah satu darinya akan mendapatkan
jaminan (kebaikan) dari Alloh; barang siapa yang menjenguk orang sakit, …”* [HR.
Ahmad, Ath-Thobroni, dan hadits dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rohimahulloh dalam “Shohih Targhib wa Tarhib” (no.3471)]

Dengan menjenguk sanak saudara atau teman sesama muslim yang sedang
mengalami musibah yakni sakit, maka ini akan menjadikan jaminan untuk kita akan
kebaikan dari Allah.

B. HAL HAL YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP ORANG YANG SAKIT

1. Hendaknya orang yang sakit merasa ridha dengan ketatapan Allah ta’ala,


bersabar atasnya serta berprasangka baik kepada Allah bahwa ketetapan
Allah itu pasti baik. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

‫ سراء شكر فكان خيرا له وإن‬Œ‫ إال للمؤمن إن أصابته‬Œ‫ ألحد‬Œ‫ إن أمره كله خير وليس ذاك‬Œ‫عجبا ألمر المؤمن‬
‫أصابته ضراء صبر فكان خيرا له‬

“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang


menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali
hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia tertimpa kebahagiaan dia
bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia
bersabar maka itu juga baik baginya.”  (HR. Muslim)

Nabi shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

‫ أحدكم إال وهو يحسن الظن باهلل عز و جل‬Œ‫ يموتن‬Œ‫ال‬

“Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan


berprasangka baik kepada Allah Ta’ala”. [1]

2. Hendaknya seseorang memposisikan dirinya antara rasa khauf (takut)


dan raja’(harap). Takut akan adzab Allah karena dosa-dosanya dan harapan
mendapatkan rahmat-Nya.

Dari Anas radhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shallallahu’alaihai


wasallam suatu ketika menjenguk seorang pemuda yang sedang sekarat.
Kemudian beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”

Pemuda tersebut menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah aku sangat


mengharapkan rahmat Allah namun aku juga takut akan dosa-dosaku .”

Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah terkumpul pada


hati seorang hamba perasaan seperti ini (menggabungkan rasa khauf dan
raja’) kecuali Allah akan beri apa yang ia harapkan dan Allah amankan dia
dari apa yang ia takutkan.” [2]

3. Sekalipun sakit yang dideritanya bertambah parah akan tetapi tetap tidak
diperbolehkan untuk mengharapkan kematian berdasarkan hadits Ummul
fadhl radhiallahu’anha,

Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam masuk menemui mereka


sementara itu Abbas, paman Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sedang
mengeluh, diapun berharap segera mati kemudian
Rasulullah shallallahu’alai wasallam berkata,

‘Wahai Pamanku! Janganlah engkau mengharap kematian. Karena


sesungguhnya jika engkau adalah orang yang memiliki banyak kebaikan
dan (waktu kematianmu) diakhirkan maka kebaikanmu akan bertambah dan
itu lebih baik bagimu. Begitu juga sebaliknya, jika engkau orang yang
banyak keburukannya dan (waktu kematianmu) diakhirkan maka engkau
bisa bertaubat darinya maka ini juga baik bagimu. Maka janganlah sekali-
kali engkau mengharapkan kematian’ . [3]

Imam Bukhari, Muslim, dan Baihaqi dan selain mereka telah mengeluarkan
hadits dari Anas secara marfu’ diantaranya berbunyi, “Jika seseorang
terpaksa untuk melakuakannya maka hendaknya ia berkata,

‫ت ْال َو َفاةُ َخيْرً ا لِى‬ ِ ‫ َما َكا َن‬Œ‫اللَّ ُه َّم أَحْ ِينِى‬
ِ ‫ َكا َن‬Œ‫ َو َت َو َّفنِى إِ َذا‬Œ،‫ت ْال َح َياةُ َخيْرً ا لِى‬

‘Ya Allah, hidupkanlah aku (panjangkan usiaku), jika hidup itu lebih baik
bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku’“. [4]

4. Jika orang yang sakit tersebut memiliki tanggungan kewajiban kepada orang
lain yang belum tertunaikan, dan dia mampu untuk menunaikannya maka
hendaknya ia segera menunaikannya. Namun jika tidak, hendaknya ia
menulis wasiat tentang kewajiban yang belum ia tunaikan karena
Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda,

“Barang siapa yang pernah menganiaya saudaranya baik terhadap


kehormatannya atau hartanya maka hendaknya ia selesaikan
(permasalahan tersebut) hari ini (di dunia), sebelum dia dituntut untuk
menunaikannya, ketika sudah tidak ada lagi dinar maupun dirham (hari
kiamat). Jika ia memiliki (pahala) amalan shalih maka akan diambil sesuai
dengan tingkat kedzalimannya dan jika ternyata ia tidak memiliki pahala
kebaikan maka keburukan (baca: dosa) orang yang terdzalimi tersebut akan
ditimpakan kepadanya.”  [5]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Tahukah kalian siapakah


orang yang bangkrut itu?

Mereka (para sahabat ) menjawab, ‘Orang yang bangkrut menurut kami


adalah orang yang tidak punya dirham dan harta’.
Beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang
bangkrut diantara umatku kelak adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, akan tetapi dia pernah
mencela orang yang ini, memfitnah yang itu, memakan harta si ini,
menumpahkan darah orang itu dan memukul orang yang ini. Maka mereka
diberi kebaikannya…, jika kebaikannnya telah habis sebelum lunas apa
yang menjadi tanggungannya maka kesalahan (baca: dosa) mereka (orang
yang terdzalimi) akan dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan
kedalam neraka.’” [6]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mati masih


memiliki hutang maka disana (akherat) kelak tidak ada dinar dan dirham
namun yang ada hanyalah kebaikan dan keburukan”. [7]

Dan Imam Thabrani (Al-Kubra) meriwayatkan dengan redaksi,

“Hutang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati dengan membawa
hutang namun ia berniat (saat masih hidup) untuk melunasinya maka aku
adalah walinya kelak. Dan barangsiapa yang mati membawa hutang namun
ia tidak ada niat untuk melunasinya maka orang inilah yang akan diambil
kebaikannya kelak di saat tidak dinilai dinar dan dirham. “[8]

Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhuma berkata, “Pada masa perang uhud,


suatu malam ayahku memanggil diriku dan berkata,

‘Aku tidaklah bermimpi kecuali menjadi orang pertama yang terbunuh


diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku tidaklah
meninggalkan untukmu sesuatu yang lebih mulia dari pada diri
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Dan sesungguhnya aku memiliki
hutang maka lunasilah. Dan aku wasiatkan kepadamu, berbuat baiklah
kepada sesama saudaramu.’ Maka jadilah beliau orang yang terbunuh
pertama kali…”[9]

5. Dan seharusnya (orang yang sakit-pen) bersegera untuk membuat wasiat


(seperti halnya wasiat Abdullah radhiallahu’anhu diatas-pen). Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

“Tidaklah pantas bagi seorang muslim melewati malam-malamnya


sementara dirinya ingin mewasiatkan sesuatu kecuali wasiat tersebut telah
tertulis di sisinya.”

Ibnu Umar berkata, “Tidaklah aku melewati malam-malamku sejak aku


mendengar sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam tersebut kecuali tertulis
wasiat di sisiku.”[10]

6. Dan kewajiban (orang yang sakit) adalah berwasiat kepada keluarga dekat
yang bukan ahli waris. Berdasarkan firman Allah ta’ala,

َ ‫ين ِب ْال َمعْ رُوفِ َحقًّا َعلَى ْال ُم َّتق‬


‫ِين‬ ِ ‫ك َخيْرً ا ْال َوصِ َّي ُة ل ِْل َوالِ َدي‬
Œَ ‫ْن َواأل ْق َر ِب‬ ُ ‫ض َر أَ َح َد ُك ُم ْال َم ْو‬
Œَ ‫ت إِنْ َت َر‬ َ ‫ِب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ‫ُكت‬
“Diwajibkan atas kalian, apabila maut menjemput kalian, jika dia
meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat
dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa.”(QS. Al-Baqarah: 180)

7. Diperbolehkan baginya berwasiat sepertiga dari hartanya dan tidak boleh


lebih dari itu. Namun yang lebih utama seseorang berwasiat kurang dari
sepertiga harta. Berdasarkan hadits Saad bin Abi
Waqash radhiallahu’anhu beliau berkata,

“Aku pernah bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam di haji wada’. Aku


jatuh sakit dan hampir saja mendekati kematian. Maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menjengukku. Akupun bertanya, ‘Wahai
Rasulullah sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan tidak ada yang
mewarisinya kecuali seorang putriku. Maka bolehkah aku berwasiat dua
pertiganya?’

Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’

Aku berkata, ‘Bagaimana jika separuh hartaku?’

Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’

Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika sepertiga harta?’

Beliau menjawab, ‘Iya sepertiga harta dan sepertiga itu sudah banyak.


Wahai Saad, sungguh jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya itu lebih bagimu dari pada meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin, dengan mengemis kepada manusia. Wahai Saad tidaklah
engkau menafkahkan sesuatu, sementara engkau mengharap wajah Allah
kecuali engkau akan diberi pahala karenanya. Sampai sesuap makanan
yang engkau letakkan di mulut istrimu.’” [seorang perowi berkata, “Maka
sepertiga itu boleh”] [11]

Dan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu berkata, “Aku senang jika manusia


mengurangi wasiatnya, kurang dari sepertiga sampai seperempat hartanya.
Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Sepertiga itu sudah
banyak.'”[12]

8. Ketika berwasaiat, hendaknya dipersaksikan oleh dua orang muslim yang


adil. Jika tidak ada maka dua orang yang bukan muslim, dengan terlebih
dahulu diminta untuk bersumpah, jika dia ragu atas persaksian mereka
berdua. Sebagaimana penjelasan dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala,

‫ِن‬Œْ ‫ان م‬
ِ ‫آخ َر‬ َ ‫م أَ ْو‬Œْ ‫ان َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك‬ ِ ‫ِين ْال َوصِ َّي ِة ْاث َن‬ Œَ ‫ت ح‬ ُ ‫م ْال َم ْو‬Œُ ‫ض َر أَ َح َد ُك‬
َ ‫ إِ َذا َح‬Œ‫ َب ْينِ ُكم‬Œُ‫ِين آ َم ُنوا َش َها َدة‬ Œَ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
‫هَّلل‬ ْ ُ َ َ ‫أْل‬ َ ‫َغي ِْر ُك ْم إِنْ أَ ْن ُت ْم‬
‫ان ِبا ِ إِ ِن‬ ِ ‫صاَل ِة َف ُي ْقسِ َم‬ َّ ‫د ال‬Œِ ْ‫ت َتحْ ِبسُو َن ُه َما مِنْ َبع‬ ِ ‫م مُصِ ي َبة ال َم ْو‬Œْ ‫صا َب ْت ُك‬ َ ‫ض َفأ‬ ِ ْ‫ض َر ْب ُت ْم فِي ا ر‬
‫) َفإِنْ ُعث َِر َعلَى‬106( ‫ِين‬ Œَ ‫ لَم َِن اآْل ثِم‬Œ‫ة هَّللا ِ إِ َّن ا إِ ًذا‬Œَ ‫م َش َها َد‬Œُ ‫ان َذا قُرْ َبى َواَل َن ْك ُت‬ َ ‫ َولَ ْو َك‬Œ‫م اَل َن ْش َت ِري بِ ِه َث َم ًنا‬Œْ ‫ارْ َت ْب ُت‬
َ ‫هَّلل‬ َ ‫أْل‬ َّ َ ‫أَ َّن ُه َما اسْ َت َح َّقا إِ ْثمًا َف‬
ْ‫ أ َح ُّق مِن‬Œ‫ان ِبا ِ لَ َش َها َد ُت َنا‬ ِ ‫ان َف ُي ْقسِ َم‬
ِ ‫ِين اسْ َت َح َّق َعلَي ِْه ُم ا ْولَ َي‬ Œَ ‫ان َم َقا َم ُه َما م َِن الذ‬ِ ‫ان َيقُو َم‬ Œِ ‫آخ َر‬
ْ
‫ أَنْ َيأ ُتوا ِبال َّش َها َد ِة َعلَى َوجْ ِه َها أَ ْو َي َخافُوا أَنْ ُت َر َّد‬Œ‫ك أَ ْد َنى‬ َ ِ‫) َذل‬107( ‫ِين‬ َ ‫الظ الِم‬َّ ‫ِن‬Œَ ‫ إِ َّن ا إِ ًذا لَم‬Œ‫ َو َما اعْ َت َد ْي َنا‬Œ‫َش َها َدت ِِه َما‬
)108( ‫ِين‬ َ ‫ ال َق ْو َم ال َفاسِ ق‬Œ‫د أ ْي َمان ِِه ْم َواتقوا َ َواسْ َمعُوا َو ُ َي ْه ِدي‬Œَ ْ‫أَ ْي َمانٌ َبع‬
ْ ْ ‫اَل‬ ‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬ ُ َّ َ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
shalat, lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu
ragu-ragu. ‘(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga
yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat, dan
tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah.Sesungguhnya kami
kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.’ Jika diketahui
bahwa kedua (saksi itu) berbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara
ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal
(memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah
dengan nama Allah, ‘Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima
daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas,
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
menganiaya diri sendiri`. Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi)
mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih
dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan
sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan
bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(QS. Al-Maidah: 106-108)

9. Adapun wasiat kepada orang tua dan anggota keluarga yang menjadi ahli
waris maka hal ini tidak diperbolehkan. Karena hukum ini telah dihapus
dengan ayat-ayat waris. Disamping itu, Nabi shallallahu’alaihi
wasallam telah menjelaskannya ketika berkhutbah di haji wada’. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kepada tiap orang
yang memilki hak (warisan) jatahnya masing-masing. Karena itu, tidak ada
wasiat untuk Ahli waris.”[13]
10.Diharamkan merugikan orang lain ketika berwasiat. Seperti berwasiat agar
sebagian ahli waris tidak mendapatkan haknya atau melebihkan jatah
warisan (dari yang seharusnya) kepada sebagian ahli waris.
Allah ta’ala berfirman,

َ ‫ان َواأْل َ ْق َرب‬


‫ه أَ ْو َك ُث َر‬Œُ ‫ُون ِممَّا َق َّل ِم ْن‬ Œِ ‫ك ْال َوالِ َد‬ َ ‫ َواأْل َ ْق َرب‬Œ‫ك ْال َوالِ َدان‬
َ ‫ُون َولِل ِّن َسا ِء َنصِ يبٌ ِممَّا َت َر‬ َ ‫ال َنصِ يبٌ ِممَّا َت َر‬
ِ ‫لِل ِّر َج‬
)7( ‫ضا‬ ْ
ً ‫نصِ يبًا َمفرُو‬ َ

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan keduaorangtu dan
kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya. Baik sedikit ataupun banyak
menurut bagiian yang telah ditetapkan.”(QS. An-Nisa : 7)

Dalil lain adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,”Janganlah berbuat


yang merugikan. Barangsiapa merugikan maka Allah akan merugikan
dirinya dan barangsiapa yang menyusahkan orang lain maka Allah akan
menyusahkannya.” [14]

11.Wasiat yang mengandung kedzaliman adalah wasiat yang batal dan


tertolak. Berdasakan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa
yang mengada-adakan dalam urusan kami (perkara agama) yang bukan
bagian darinya maka ia tertolak.”[15]

Dan juga berdasarkan hadits Imran bin Hushain, “Bahwasanya ada seorang


laki-laki memerdekan enam budak saat menjelang kematiannya [tidak ada
harta lain yang ia miliki kecuali budak-budak tersebut]. Datanglah ahli
warisnya dari arab badui kemudian memberitahukan kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam tentang apa yang ia perbuat. Maka Nabi pun
bertanya, ‘Apa benar dia berbuat demikian?’ Lantas beliau juga
menegaskan, ‘Kalau saja kami mengetahui tentang hal ini insyaallah kami
tidak akan mensholatinya.’ Tarik kembali budak-budakmua, lalu merdekakan
dua orang saja, sementara empat sisanya tetap menjadi budak.’ “[16]

12.Karena pada umumnya yang terjadi dikalangan manusia saat ini adalah
membuat aturan dalam agama mereka (baca : bid’ah), terutama terkait (tata
cara) mengurus jenazah, maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi
seorang muslim untuk berwasiat, agar jenazahnya diurus jenazahnya dan
dikafani sesuai dengan sunnah nabi. Sebagai realisasi firman Allah ta’ala,

َ ‫ُون هَّللا‬
َ ‫د ال َيعْ ص‬Œٌ ‫الظ شِ َدا‬ ٌ ‫ة ِغ‬Œٌ ‫ارةُ َعلَ ْي َها َمالئِ َك‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا قُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْهلِي ُك ْم َنارً ا َوقُو ُد َها ال َّناسُ َو ْالح َِج‬
Œَ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ُ ‫َما أَ َم َر ُه ْم َو َي ْف َعل‬
َ ‫ون َما ي ُْؤ َم ُر‬
‫ون‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”(Qs. At-Tahrim :6)

Oleh karena itu banyak diantara kalangan sahabat


Rasulullah shallallahu’alaiihi wasallam berwasaiat akan hal ini. Dan atsar
tentang mereka sebagaimana yang kami (penulis ) sebutkan sangatlah
banyak. Akan tetapi tidak mengapa jika diringkas sebagiannya, yaitu:

a. Dari Amir Ibn Saad bin Abi Waqqas bahwasanya bapaknya pernah
berkata ketika sedang sakit yang mengantarkan kepada
kematiannya, “Buatkanlah untukku liang lahat dan letakkanlah batu merah
dibagiannya. Sebagaimana yang dilakukan kepada Nabi shallallahu’alaihi
wasallam.”[17]

b. Dari Abu Burdah berkata, “Abu Musa radhiallahu’anhu pernah berwasiat


di saat beliau sekarat,”Jika kalian berangkat membawa jasadku maka
perceptalah langkah kaki kalian, janganlah kalian mengiringkan jenazahku
dengan tempat bara api (dupa), janganlah kalian jadikan sesuatupun berada
diatas lahadku yang bisa menghalangiku dengan tanah, dan janganlah
membuat bangunan di atas kuburku. Dan aku bersaksi sungguh aku
berlepas diri dari wanita yang mencukur rambut, menampar pipi dan
merobek-robek tatkala mendapat musibah. Para sahabat bertanya, ‘Apakah
engkau pernah mendengar hal ini dari Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ya,
dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.’“[18]
C. HAL HAL YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP ORANG YANG
MENINGGAL

Kematian adalah takdir yang pasti akan dihadapi oleh setiap manusia, hewan atau
makhluk hidup lainnya. Setiap jiwa pasti akan terlepas dari raganya, karena setiap yang
bernyawa pasti akan mati menemui ajalnya.
Seperti firman Allah dalam QS. Ali-Imran ayat 185 yang berbunyi:

ٰ ْ ‫ور ُك ْم َي ْو َم ٱ ْل ِٰق َي َم ِة ۖ َف َمن ُز ْح ِز َح َع ِن ٱل َّن ِار َوأُدْ ِخلَ ٱ ْل َج َّن َة َف َقدْ َف َاز ۗ َو َما ٱ ْل َح َيٰو ُة‬
َ ‫س َذٓا ِئ َق ُة ٱ ْل َم ْوتِ ۗ َو ِإ َّن َما ُت َو َّف ْونَ أُ ُج‬
ِ ‫ٱلدُّن َيٓا ِإاَّل َم َت ُع ٱ ْل ُغ ُر‬
 ‫ور‬ ٍ ‫ُكلُّ َن ْف‬
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak
lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Ayat di atas mengandung kabar bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan setiap
makhluk di muka bumi. Kematian tidak memandang orang itu baik, jahat, tua, muda, kaya
atua pun miskin, orang sombong atau pun orang yang merendahkan dirinya. Jika kematian
telah memanggil, maka yang sangat beruntung adalah bagi mereka yang menyediakan
waktunya untuk bertakwa kepada Allah Swt.
Ketika seorang muslim telah dipastikan meninggal, maka wajib bagi orang yang berada di
sekitarnya untuk melakukan beberapa hal. Sebagaimana dikutip dari buku "Panduan
Praktis Salat Jenazah dan Perawatan Jenazah" yang ditulis oleh Ahmad Fathoni El-Kaysi,
ada beberapa hal yang harus dilakukan pertama kali terhadap jenazah yang baru saja
meninggal.

Inilah 9 hal yang harus dilakukan pertama kali kepada jenazah yang baru meninggal:
1. Memejamkan kelopak matanya
Pertama kali yang harus dilakukan adalah memejamkan kelopak matanya. Karena
pandangan mata akan mengikuti keluarnya roh. Jadi, sangat wajar jika seseorang
meninggal, mata jenazah kelihatan melotot.
2. Mengikat rahangnya
Setelah itu, mengikat rahangnya dengan kain yang lembut dan sedikit lebar serta agak
panjang. Rahangnya diikat melingkar dari sisi sebelah kanan ke bawah, mencakup
rahangnya hingga sisi kepala bagian kiri, kemudian diikat di atas kepala.
Mengikat rahang jenazah diperlukan karena jika tidak, mulut jenazah akan selalu terbuka.
Hal ini untuk menghindari hewan-hewan kecil yang akan masuk.
3. Melemaskan persendian jenazah
Selanjutnya melemaskan persendian jenazah seperti pergelangan tangan, leher, lutut, jari-
jari tangan dan kaki serta pinggang. Jika hal ini lambat dilakukan dan jenazah sudah mulai
kaku, dapat menggunakan minyak atau yang lainnya untuk melemaskan persendian
jenazah.
Melemaskan persendian ini dilakukan guna untuk memudahkan dalam memandikan dan
mengafani jenazah.
4. Melepaskan pakaian yang dipakainya
Melepaskan pakaian yang digunakan dengan memakaikan kain tipis untuk menutup
seluruh tubuhnya. Ujung kain yang atas diselipkan di bawah kepala, dan yang bagian
bawah di kedua kaki.
Hal ini dikarenakan pakaian yang digunakan banyak keringat dan menjadikan jenazah
cepat berbau busuk. Kecuali jika sedang melaksanakan ihram, maka kepala dibiarkan
terbuka.
5. Memindahkan jenazah
Jenazah harus dipindahkan ke tempat yang lebih layak dan jauh dari jangkauan binatang.
Tempat berbaringnya jenazah hendaknya di alas papan, kasur, atau meletakkan jenazah
ke tempat yang sedikit lebih tinggi agar tidak tersentuh lembapnya tanah yang akan
mempercepat badan jenazah rusak.
6. Menindih perutnya
Menindih perut jenazah dengan menggunakan benda yang memiliki berat dua puluh
dirham (20x2,75 gr = 54,300 gr) atau secukupnya. Manfaatnya, agar perutnya tidak
membesar.
7. Menutup badan jenazah
Setelah melakukan enam langkah di atas, maka tutuplah seluruh tubuh jenazah dengan
kain sembari menunggu jenazah dimandikan.
8. Membebaskan segala tanggungan utang dan lainnya
Dari Abu Hurairah, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda, “Jiwa (Ruh) seorang mukmin masih
bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi)
9. Segera diurusi
Mengurusi jenazah perlu dilakukan sesegera mungkin. Rasullullah ‫ﷺ‬
menganjurkan untuk tidak menunda-nunda agar jenazah dimandikan, dikafani, disalatkan
dan dimakamkan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬yang berbunyi:

‫دَت ُك ُف ًؤا‬ َ ‫ َو‬، ‫ض َر ْت‬


ْ ‫األ ِّي ُم ِإ َذا َو َج‬ َ ‫ َوا ْل َج َن َاز ُة ِإ َذا َح‬، ‫الصال ُة ِإ َذا َأ َت ْت‬
َّ : َّ‫َيا َعل ُِّي َال ُت َؤ ِّخ ْرهُن‬
Artinya: “Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni salat jika telah
tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang
sekufu.” (HR. Tirmidzi)

D. KEWAJIBAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ORANG MENINGGAL


Dalam Islam, kewajiban seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan,
mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Pahala yang dijanjikan oleh Allah
SWT sangat besar dalam pengurusan jenazah ini, sebagaimana Hadits Nabi saw.:

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw beliau bersabda: Siapa saja yang
menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath dan siapa yang
mengantarnya hingga jenazah itu diletakkan di liang kubur, maka baginya pahala
dua qirath. Saya bertanya: Wahai Abu Hurairah, seperti apakah qirath itu? Ia
menjawab: Yaitu seperti gunung Uhud” [HR. Muslim]

Kewajiban terhadap jenazah ini hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang
akan gugur apabila dikerjakan oleh sebagian umat Islam. Jika tidak ada yang
mengerjakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosanya.

Adapun mengenai amalan-amalan lain sebagaimana diurutkan di atas, berikut ini


kami uraikan penjelasan hukumnya:

Sebagaimana disebutkan di dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168,
pelepasan jenazah oleh sebagian masyarakat dikenal dengan upacara
pemberangkatan jenazah. Meskipun berbedabeda teknisnya, tetapi ada
persamaannya, yaitu diadakan pidato atau sambutan baik mewakili keluarga, para
takziah, bahkan kadang-kadang mewakili instansi pemerintah maupun swasta yang
memiliki hubungan dengan orang yang meninggal atau dengan keluarganya.

Berkaitan dengan itu, Islam hanya mengatur empat hal, yaitu memandikan,
mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Persoalan upacara pemberangkatan
tidak didapati nash yang melarang atau menganjurkan, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam perkara “maskut ‘anhu”, artinya diserahkan kepada
masyarakat dengan batasan tidak dilakukan berlebihlebihan dan menjurus kepada
peratapan keluarga (niyahah).

Mengenai doa pemberangkatan jenazah, perlu dipahami bahwa doa untuk jenazah
sebenarnya telah ada pada shalat jenazah dan pada saat menguburkan. Oleh
karena itu, meskipun tidak ada larangan yang tegas, sebaiknya doa pada saat
pemberangkatan jenazah tidak perlu dilakukan.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada keterangan sama sekali mengenai hal
tersebut. Adapun adzan sendiri hanya disyariatkan sebagai panggilan untuk shalat,
sehingga tidak tepat jika dilantunkan bagi jenazah yang telah gugur dari kewajiban
shalat.

Talqin, seperti disebutkan pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 203,
berasal dari kata “laqqana-yulaqqinu” yang secara bahasa berarti pengajaran,
sedangkan menurut istilah bermakna ajaran atau mengajarkan seseorang yang
sedang dalam perjalanan menuju maut atau kematian. Mentalqinkan mayit, terdapat
keterangannya dalam Hadits Nabi saw:

“Dari Abu Sa’id Al-Khudriy [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
Talqinkanlah (tuntunlah membaca) orang yang akan meninggal dunia (yang ada
pada)mu dengan kata Laa Ilaaha illa Allaah” [HR. Muslim].

Dalam Hadits tersebut terdapat lafal “mautakum”, artinya orang yang akan
meninggal, sehingga makna Hadits ini hanya berlaku kepada orang yang sebelum
meninggal (sakaratulmaut) bukan setelah meninggal sebagaimana dipahami dan
dilakukan oleh sebagian masyarakat.

Maksud makan bersama di sini adalah undangan dari keluarga jenazah kepada
masyarakat yang ikut mengiringi proses pemakaman untuk makan bersama setelah
dikuburkannya jenazah. Amalan ini sama sekali tidak dituntunkan oleh Nabi saw,
justru amalan tersebut dicela olehnya dan termasuk ke dalam ratapan (niyahah).

Namun apabila masyarakat bermaksud mengunjungi rumah duka setelah


pemakaman, boleh saja dilakukan selama tidak menyusahkan keluarga jenazah.
Oleh karena itu, jika keluarga jenazah ingin menjamu, sebenarnya yang
diperintahkan untuk memberi makanan adalah sanak saudara atau tetangganya. Hal
itu juga sebagai bentuk ta’ziyah terhadap keluarga jenazah yang sedang kesusahan.

Sebagaimana sebuah Hadits:

“Dari Abdullah ibn Ja’far [diriwayatkan] bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda:
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah dihinggapi perkara
yang menyibukkan mereka” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].
Oleh karena itu, yang dianjurkan di sini adalah agar jamuan atau suguhan jangan
menjadi beban keluarga jenazah, melainkan menjadi tanggung jawab sanak saudara
atau para tetangga dekatnya. Hal ini juga seperti halnya yang terdapat pada buku
Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 207.

Adapun amalan sesudah memakamkan jenazah adalah sebagai berikut:

“Dari ‘Usman bin Affan ra [diriwayatkan] bahwa Nabi saw apabila telah selesai
mengubur jenazah, maka beliau berhenti/berdiri di dekat kubur itu dan berkata:
Mohonkanlah ampun dan keteguhan hati bagi saudaramu ini karena ia sekarang
sedang ditanya” [HR. Abu Dawud]

Dari Hadits ini dapat disimpulkan bahwa Nabi saw memerintahkan para sahabat
yang hadir untuk mendoakan jenazah yang dikubur (tentu Nabi sendiri juga berdoa)
dan mendoakan jenazah dapat dilakukan secara individual (perorangan) atau
berjamaah. Di sisi lain dalam lafal Hadits tersebut dinyatakan “waqafa” yang dapat
diartikan berhenti atau berdiri, sehingga berdoa dapat dilakukan secara berdiri
maupun duduk. Dengan demikian, amalan yang dilakukan setelah pemakaman
jenazah adalah mendoakan jenazah, bukan mentalqin jenazah.

b. Takziah

Sebagaimana disebutkan dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168,
takziah berasal dari kata “‘azza – ya‘izzu” yang berarti sabar, sedangkan takziah
berarti menyabarkan. Maksud takziah ialah menyabarkan orang yang tertimpa
musibah yang menimpa keluarga yang didatangi itu.

Takziah tersebut dengan maksud menghibur dan memberikan nasihat kesabaran


kepada keluarga yang ditinggal mati, jangan sampai merepotkan. Jika mendatangi
keluarga jenazah hendaknya meringankan bebannya karena sedang tertimpa
musibah. Bagi tetangga dekat, seyogyanya pada hari-hari berkabung dapat
membuatkan makanan untuk keluarga jenazah, sebagaimana Hadits riwayat Abu
Dawud di atas.
Adapun waktu takziyah, sebenarnya tidak dibatasi hanya sampai tiga hari, kapan
saja boleh mengucapkannya apabila ada kegunaannya. Namun masa berduka atau
berkabung keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya adalah 3 hari. Hal ini
berdasarkan bahwa Rasulullah saw pernah bertakziah setelah lebih dari tiga hari,
seperti yang diberitakan dalam Hadits riwayat Ahmad dengan sanad sahih sesuai
syarat Muslim:

“Dari Abdullah bin Ja’far [diriwayatkan] , bahwa Nabi saw menunda untuk menjenguk
keluarga Ja’far setelah tiga hari. Ketika beliau mendatangi keluarga Ja’far, beliau
berkata: Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini. Kemudian ia
berkata, panggillah anakanak saudaraku itu. Kemudian didatangkanlah kami seperti
seekor unggas. Beliau berkata, Datangkanlah kepadaku tukang cukur. Kemudian
didatangkanlah tukang cukur kepada beliau, maka beliau memerintahkannya
mencukur rambut kepala kami” [HR. Ahmad].

tidak dijumpai ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang memerintahkan untuk melakukan
tahlilan setelah 1, 2, 3, 7, 40 bahkan 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia.
Dalam mengamalkan ajaran agama, umat Islam semestinya mengacu pada Hadits
berikut:

“Dari ‘Aisyah ra [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa


saja yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk
melakukannya, maka perbuatan itu tertolak” [HR. Muslim]. Berdasarkan dari Hadits
di atas, tahlilan dan yasinan tidak ada dalil yang memerintahkannya, sehingga tidak
perlu untuk dilaksanakan.

Di sisi lain, perbuatan tersebut cenderung masuk ke dalam ratapan (niyahah),


meskipun hanya berkumpul. Apalagi di sebagian masyarakat, ada yang
menambahkan dengan memberikan makanan, bahkan uang, sehingga justru
memberatkan keluarga jenazah. Nabi saw sangat mencela perbuatan ini, beliau
bersabda:

“Dari Abu Malikal – Asy’ari [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. bersabda: Empat hal
yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk
ditinggalkan: (1) membanggabanggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan,
(3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit
(niyahah). Lalu beliau bersabda: Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum
ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian
yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan
penyakit gatal” [HR. Muslim].
PENUTUP

KESIMPULAN

Jadi kesimpulan dari makalah materi ini adalah mengetahui hal hal apa saja yang
harus dilakukan jika ada seseorang yang sakit dan meninggal dunia menurut ajaran
islam atau syariat islam. Hukum menjenguk orang yang lagi sakit adalah wajib
terutama memiliki hubungan dekat contohnya teman, sahabat, maupun keluarga.
Dan untuk kewajiban seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan,
mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya.

SARAN

Semoga dengan dibuatnya makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Makalah
ini dibuat bertujuan untuk meningkatkan dan menerapkan dalam kehidupan sehari
dan mengajarkan apa saja yang harus dilakukan terhadap orang yang sakit dan
meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai