MAKALAH
PERAWATAN JENAZAH
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
ABIZAR HAQI
IX-2
……
Madrasah TsanawiyahNegeri 2 Banda Aceh
TahunAjaran 2018/2019
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan kita bermacam-macam nikmat, terutama nikmat iman dan nikmat islam
yang tidak semua manusia mendapatkannya. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu, segenap keluarganya, para
sahahabatnya dan seluruh umatnya yang mengikuti sunnahnya sampai hari pembalasan.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran FIQIH Penulis menyadari
bahwa penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan adanya bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, baik yang bersifat moril maupun materil. Penulis sepenuhnya menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
terdapat kekurangan dari berbagai segi, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat berguna dan memberi informasi serta menambah pengetahuaan dan bermanfaat bagi
kita semua.
Amin ya rabbal alamin.
( DINDA MAHARANI)
Menjenguk orang sakit menurut istilah syariat islam yaitu “ mendatangi orang yang sedang
sakit dengan maksud untuk menghiburnya agar dengan semikian yang sakit dapat
terkkurangi kesedihan nya dan dapat terkurangi pula bebanpenderitaannya.
Sungguh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menganjurkan kepada umatnya untuk
menjenguk saudaranya yang tertimpa sakit, Sebagaiman dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Musa Al-Asy'ari, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: "Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang sakit, dan tebuslah tawanan
muslim". (Shahih, HR Bukhori (5649))
Begitu pula hadits yang di riwayatkan oleh Baro' bin Azib, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: "
ِ ي صلى هللا عليه وسلم ِب ِات َباعِ ْال َجنَا ِئ ِز َو ِع َيادَ ِة ْال َم ِر
يض َو ِإ َجا َب ِة الدها ِعي ُّ قَا َل أ َ َم َرنَا النه ِب، َُّللاُ َع ْنه
ي ه َ ض ِ َر، اء ِ َع ِن ْال َب َر
.تِ سالَ ِم َوت َ ْش ِمي س ِم َو َر ِد ال ه َ َوم َو ِإب َْر ِار ْالق ْ ص ِر ْال َم
ِ ُ ظل ْ ََون
Artinya: "Dari Baro' Radhiyallahu Anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
telah memerintahkan kepada kita untuk mengantarkan jenazah, menjenguk orang yang sakit,
memenuhi undangan, menolong orang yang di dzolimi, memenuhi keinginan orang yang
bersumpah, mendo'akan (Yarhamukallah) kepada orang yang bersin". (Shahih, HR Bukhori
(1239), Muslim (2066), Ahmad (18034), dll)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak ada seorang muslim yang menjenguk
saudaranya yang sakit pada pagi hari melainkan Allah akan mengutus tujuh puluh ribu
Malaikat, mereka akan mendoakan –orang yang menjenguk- nya hingga sore hari, jika
menjenguknya pada sore hari maka tujuh puluh ribu Malaikat akan mendo'akannya hingga
pagi hari dan seolah-olah ia berjalan di taman surga". (Shahih, HR Abu Dawud (3098),
Tirmidzi (969), Ibnu Majah (1442), Ahmad, di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah Radhiyallallahu Anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: "Hak seorang muslim terhadap muslim lainnya ada lima perkara : Menjawab
salam, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, mmenuhi undangan, dan mendo'akan
(Yarhamukallah) orang yang bersin". (Shahih, HR Bukhori (1240), 2162)
Hal ini sebagaimana hadits yang di riwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu Anhu berkata,
Rasulullallah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menjenguk orang yang sakit, seolah-olah ia berjalan di taman surga
hingga ia kembali". (Shahih, HR Muslim (2568), Ahmad (21868), Tirmidzi (967))
Tidak didapatkan dalil dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang waktu-
waktu tertentu untuk menjenguk orang sakit. Oleh karena itu, di perbolehkan menjenguk
orang yang sakit kapan saja baik siang maupun malam selagi tidak mengganggu dan tidak
merepotkan orang yang sakit itu. Karena tujuan menjenguk orang yang sakit adalah
menghibur dan mendo'akan agar cepat sembuh. Hal ini sebagaimana di tuturkan oleh syeikh
Abdul Aziz dalam "kitabul Adab" hal. 252
Di sunnahkan bagi orang yang menjenguk, duduk di sisi kepala orang yang sakit,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para salafus sholih.
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma ia
mengatakan: "Rasulullah apabila menjenguk orang sakit, beliau duduk di sisi kepalanya".
(Shahih, HR Bukhori dalam kitab Adabul Mufrod (536/416))
3. Mendo'akan kesembuhan
Hendaklah orang yang menjenguk mendo'akan orang yang sakit "Semoga lekas sembuh
penyakitnya dan di sehatkan kembali".
ف َوأ َ ْنتَ ال ه
َ شافِي ََل ِشفَا َء إِ هَل ِشفَاؤُكَ ِشفَا ًء ََل يُغَاد ُِر
س َق ًما ِ اس ا ْش َ َب ْالب
ِ اس َربه النه ِ أَذْ ِه
4. Mengusap si sakit
Dari Sa'ad bin Abi Waqqos Radhiyallallahu Anhu berkata: "Ketika berada di Makkah aku
menderita sakit yang sangat parah, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
menjegukku.., kemudian beliau meletakkan tangannya di keningku kemudian mengusap
wajah dan perutku, kemudian berdo'a : "Ya Allah, sembuhkanlah Sa'ad" (Shahih, HR
Bukhori (5696), Muslim (1628))
Sangatlah di anjurkan kepada kita bila menjenguk orang sakit untuk mengingatkan kepada si
sakit agar bersabar atas takdir Allah yang menimpanya. Sesungguhnya orang-orang yang
sabar itulah orang-orang yang benar akan keimanannya dan ketaqwaannya.
Sebagaimana Allah Subhanahu Wata'ala mengabarkan dalam Al-Qur'an:
Artinya: "Talqinlah orang yang akan meninggal diantara kamu dengan kalimat "La ilaha
illallah". (Shahih, Muslim (918), Tirmidzi (976), Abu Dawud (3117), dll)
Bagi orang yang sakit hendaklah meminta kehalalan atas kedzaliman-kedzoliman yang
pernah ia lakukan, segera menunaikan hak-hak dan kewajiban yang pernah di
lakukannya. Karena di khawatirkan ajal terburu datang menjemputnya sedang di belum
sempat bertaubat. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
)31 :) –(سورة النور31( ََّللاِ َج ِميعًا أَيُّهَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ لَعَله ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون
َوتُوبُوا إِلَى ه
Artinya:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung". (QS. An-Nur: 31)
Sangatlah di anjurkan bagi orang-orang yang tertimpa sakit hendaknya dia bertakkal kepad
Allah, dan berkeyakinan bahwa kesembuhan semata-mata dari Allah dengan
keyakinannya yang tidak melupakan usaha - usaha syar 'i itu, untuk kesambahannya.
ً اَّللِ َو ِك
81 :) –سورة النساء81( يال َوت ََو هك ْل َعلَى ه
َّللاِ َو َكفَى ِب ه
Artinya:
"Dan bertawakkal-lah kepada allah, Cukuplah Allah menjadi pelindung" (QS An-Nisa': 81)
Marilah kita amalkan hadits – hadits ini tentang tata cara menjenguk orang yang sakit sesuai
apa yang di contohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kepada orang yang sudah sakit parah atau sudah mendekati penjenguk berkewajiban
melakukan tiga hal:
1. Menghadapkan ke Kiblat. Abu Qotadah ra. menceritakan, bahwa ketika sampai di Madinah
Nabi Muhammad saw. menanyakan seseorang yangbernama Al-Baro bin Ma’ruf. Lalu
seseorang menjawab, "Dia sudah meninggal dan mewasiatkan sepertiga hartanya untuk
engkau, dan mewasiatkan pula agar ia dihadapkan ke kiblat apabila sakit parah." Rosulullah
saw. bersabda, "Perdapatnya benar." (HR Hakim dan Baihaqi)
2. Mengajarkan membaca kalimat tauhid. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Kepada
orang yang sakit parah, ajarkanlah olehmu membaca.kalimat Laa ilaaha illallaah." (HR.
Muslim dari Abu Huroiroh ra)
3. Bacakanlah surat Yasin. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Bacakanlah olehmu orang
yang sakit parah surat Yasin." (HR. Abu Dawud dan Nasai dari Ma’gol bin Yasar ra.)
ف فَأ َ ْنتَ ال ه
َ شافي ِ َلَ ِشفَا َء ِإَله ِشفَاؤُ كَ ِشفَا ًء َلَ يُغَاد ُِر
ً سقَما َ ْ ب ْالبَأ
ِ س ا ْش ِ اس اَذْ ِه
ِ الل ُه هم َربه النه
Artinya ; “Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah
ia. (hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan
kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” ( HR. Bukhori Muslim)
B. MENGURUS JENAZAH
ۚ سا إِذَا َجا َء أَ َجلُ َها ير بِ َما تَ ْع َملُونَ َولَن ي َُؤ ِخ َر ه
ً َّللاُ نَ ْف َو ه
ٌ َّللاُ َخ ِب
artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila
datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-
Munafiqun [63] : 11)
ۚ ش َهادَ ِة فَيُ َن ِبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْم تَ ْع َملُونَ قُ ْل ِإ هن ْال َم ْوتَ الهذِي ت َ ِف ُّرونَ ِم ْنهُ فَإِنههُ ُم َال ِقي ُك ْم ِ ث ُ هم ت ُ َردُّونَ ِإلَ ٰى َعا ِل ِم ْالغَ ْي
ب َوال ه
artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
(Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan".(QS. Al-Jumuah [62] : 8)
Kematian merupakan sunatullah yang berlaku pada setiap makhluk yang bernyawa.
sudah menjadi ketentuan bahwa setiap yang hidup pasti akan merasakan mati. Allah
melakukan segala sesuatu menurut kehendakNya dan Allah Yang Maha Kuasa tidak mungkin
merubah ketetapanNya.
Kematian adalah suatu kejadian di dunia yang paling dahsyat yang pernah terjadi pada
diri manusia sesuatu yang menampakan kemahakuasaan Allah yang mutlak serta menegaskan
betapa kerdil dan lemahnya manusia dihadapanNya. kedatangannya tak dapat diduga-duga,
tak dapat ditunda juga dihindari apabila sudah menghampiri.
Ketika nyawa sudah terpisah dengan jasadnya, maka segala hubungan manusia
dengan dunianya terputus. tubuhnya dingin kaku, sudah tak kuasa mengurus diri sendiri. saat
itulah kita sebagai umat muslim yang masih hidup punya kewajiban untuk mengurus segala
kebutuhan si mayit. mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan, hingga
menguburkannya. dalam islam hukum mengurus jenazah seorang muslim adalah Fardhu
kifayah yang berarti wajib dilakukan, namun apabila sudah ada muslim lain yang
melakukannya maka kewajiban ini gugur.
kali ini Insha Allah kita akan membahas tentang tata cara mengurus jenazah menurut
syariat islam. mulai dari memandikan, mengkafani, mensholati, sampai dengan
menguburkannya. tapi sebelum itu ada yang harus diperhatikan bagi pengurus jenazah.
Pengurus jenazah hendaknya adalah orang yang lebih mengetahui sunnahnya dengan
tingkatan sebagai berikut;
1. Jenazah laki-laki diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri
sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Bapaknya, lalu anak laki-
lakinya, kemudian keluarga terdekat si mayit.
2. Jenazah wanita diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri
sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Ibunya, kemudian anak
wanitanya, kemudian keluarga terdekat si mayit.
3. Suami diperbolehkan mengurusi jenazah istrinya, begitu pula sebaliknya.
4. Adapun jenazah anak yang belum baligh dapat diurusi oleh kaum laki-laki
atau perempuan karena tidak ada batasan aurat bagi mereka.
5. Apabila seorang lelaki wafat di antara kaum wanita (tanpa ada seorang lelaki
muslim pun bersama mereka dan tanpa ada istrinya atau ibunya) demikian pula
sebaliknya maka cukup ditayamumkan saja.
6. Seorang muslim tidak diperbolehkan mengurusi jenazah orang kafir (QS. At-
Taubah ; 84).
Perlu kita ketahui bahwa mengurus jenazah adalah suatu amalan mulia, sebagaimana
yang terkandung dalam hadist berikut;
A. MEMANDIKAN JENAZAH
Jenazah seorang muslim wajib dimandikan oleh muslim yang lain sebelum ia dikuburkan.
kecuali jenazah para Syuhada yang mati syahid di jalan Allah (berperang) tidak perlu
dimandikan, namun hendaklah dimakamkan bersama pakaian yang melekat di tubuh mereka.
Demikian pula mereka tidak perlu dishalatkan.
"Bahwa para Syuhada Uhud tak dimandikan, & mereka dikubur dengan darah mereka
(lumuran darah yang pada jenazah mereka), serta tak dishalatkan." (HR. Abu Daud 2728)
hal ini dilakukan karena darah para Syuhada itu kelak akan berwangikan kasturi di hari
kiamat. selain jenazah para Syuhada, Janin yang gugur sebelum mencapai usia 4 bulan dalam
kandungan, hanyalah sekerat daging yang boleh dikuburkan di mana saja tanpa harus
dimandikan dan dishalatkan.
hendaklah mengenakan lipatan kain pada tangannya atau sarung tangan untuk
membersihkan jasad si mayit (membersihkan qubul dan dubur si mayit) tanpa harus melihat
atau menyentuh langsung auratnya, jika si mayit berusia tujuh tahun ke atas.
2. Mewudhukan jenazah
Selanjutnya orang yang memandikan berniat (dalam hati) untuk memandikan jenazah
serta membaca basmalah. Lalu jenazah diwudhu-i sebagaimana wudhu untuk shalat. Namun
tidak perlu memasukkan air ke dalam hidung dan mulut si mayit, tapi cukup dengan
memasukkan jari yang telah dibungkus dengan kain yang dibasahi di antara bibir si mayit lalu
menggosok giginya dan kedua lubang hidungnya sampai bersih.
Selanjutnya, dianjurkan agar mencuci rambut dan jenggotnya dengan busa perasan
daun bidara atau dengan busa sabun. Dan sisa perasan daun bidara tersebut digunakan untuk
membasuh sekujur jasad si mayit.
Selanjutnya orang yang memandikan membalik sisi tubuh jenazah hingga miring ke
sebelah kiri, kemudian membasuh belahan punggungnya yang sebelah kanan. Kemudian
dengan cara yang sama petugas membasuh anggota tubuh jenazah yang sebelah kiri, lalu
membalikkannya hingga miring ke sebelah kanan dan membasuh belahan punggung yang
sebelah kiri. Dan setiap kali membasuh bagian perut si mayit keluar kotoran darinya,
hendaklah dibersihkan.
Banyaknya memandikan: Apabila sudah bersih, maka yang wajib adalah
memandikannya satu kali dan mustahab (disukai/sunnah) tiga kali. Adapun jika belum bisa
bersih, maka ditambah lagi memandikannya sampai bersih atau sampai tujuh kali (atau lebih
jika memang dibutuhkan). Dan disukai untuk menambahkan kapur barus pada pemandian
yang terakhir, karena bisa mewangikan jenazah dan menyejukkannya. Oleh karena itulah
ditambahkannya kapur barus ini pada pemandian yang terakhir agar baunya tidak hilang.
Dianjurkan agar air yang dipakai untuk memandikan si mayit adalah air yang sejuk,
kecuali jika orang yang memandikan membutuhkan air panas untuk menghilangkan kotoran-
kotoran yang masih melekat pada jasad si mayit. Dibolehkan juga menggunakan sabun untuk
menghilangkan kotoran. Namun jangan mengerik atau menggosok tubuh si mayit dengan
keras. Dibolehkan juga membersihkan gigi si mayit dengan siwak atau sikat gigi. Dianjurkan
juga menyisir rambut si mayit, sebab rambutnya akan gugur dan berjatuhan.
Setelah selesai dari memandikan jenazah, jasad dilap (dihanduki) dengan kain atau
yang semisalnya. Kemudian memotong kumisnya dan kuku-kukunya jika panjang, serta
mencabuti bulu ketiaknya (apabila semua itu belum dilakukan sebelum memandikannya) dan
diletakkan semua yang dipotong itu bersamanya di dalam kain kafan. Kemudian apabila
jenazah tersebut adalah wanita, maka rambut kepalanya dipilin (dipintal) menjadi tiga pilinan
lalu diletakkan di belakang (punggungnya).
Faedah :
Apabila masih keluar kotoran (seperti: tinja, air seni atau darah) setelah dibasuh
sebanyak tujuh kali, hendaklah menutup kemaluannya (tempat keluar kotoran itu)
dengan kapas, kemudian mencuci kembali anggota yang terkena najis itu, lalu si
mayit diwudhukan kembali. Sedangkan jika setelah dikafani masih keluar juga,
tidaklah perlu diulangi memandikannya, sebab hal itu akan sangat merepotkan.
Apabila si mayit meninggal dunia dalam keadaan mengenakan kain ihram dalam
rangka menunaikan haji atau umrah, maka hendaklah dimandikan dengan air
ditambah perasaan daun bidara seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun tidak
perlu dibubuhi wewangian dan tidak perlu ditutup kepalanya (bagi jenazah pria).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengenai seseorang yang
wafat dalam keadaan berihram pada saat menunaikan haji.
Apabila terdapat halangan untuk memamdikan jenazah, misalnya tidak ada air atau
kondisi jenazah yang sudah tercabik-cabik atau gosong, maka cukuplah
ditayamumkan saja. Yaitu salah seorang di antara hadirin menepuk tanah dengan
kedua tangannya lalu mengusapkannya pada wajah dan kedua punggung telapak
tangan si mayit.
B. MENGKAFANI JENAZAH
Mengkafani jenazah hukumnya wajib dan hendaklah kain kafan tersebut dibeli dari
harta si mayit. Hendaklah didahulukan membeli kain kafannya dari melunaskan hutangnya,
menunaikan wasiatnya dan membagi harta warisannya. Jika si mayit tidak memiliki harta,
maka keluarganya boleh menanggungnya.
- Jenazah laki-laki -
Jenazah laki-laki dibalut dengan 3 lapis kain kafan. Berdasar dengan
hadits. “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dikafani dengan 3 helai kain sahuliyah
yang putih bersih dari kapas, tanpa ada baju dan serban padanya, beliau dibalut dengan 3 kain
tersebut.
langkah-langkah :
siapkan tali pengikat kain kafan sebanyak 7 buah (usahakan berjumlah ganjil) panjang tali
disesuaikan dengan lebar tubuh mayit. tali dipintal kemudian di letakan dengan jarak yang
sama diatas usungan jenazah. kemudian 3 helai kain kafan yang sudah dipersiapkan
sebelumnya diletakan sama rata diatas tali pengikat yang sudah lebih dulu diletakan diatas
usungan jenazah, dengan menyisakan lebih panjang di bagian kepala. siapkan pula kain
penutup aurat yang dipotong hampir menyerupai popok bayi, kain penutup aurat itu diletakan
diatas ketiga helai kain kafan tepatnya dibawah tempat duduk mayit, letakan pula potongan
kapas diatasnya. lalu bubuhi kain kafan dan kain penutup aurat dengan wewangian dan kapur
barus yang langsung melekat pada tubuh si mayit.
pada tubuh si mayit.
Pindahkan mayit yang telah selesai dimandikan dan dihanduki keatas lembaran kain
kafan yang telah siap, kemudian bubuhi tubuh mayyit dengan wewangian atau sejenisnya.
Bubuhi anggota-anggota sujud [tahnith]. Sediakan kapas yang diberi wewangian dan letakkan
di lipatan-lipatan tubuh seperti ketiak dan yang lainnya. Letakkan kedua tangan sejajar
dengan sisi tubuh, lalu ikatlah kain penutup aurat sebagaimana memopok bayi dimulai dari
sebelah kanan dan ikatlah dengan baik.
saat membalut kain kafan mulailah dengan melipat lembaran pertama kain kafan
sebelah kanan, balutlah dari kepala sampai kaki. Demikian lakukan dengan lembaran kain
kafan yang kedua dan yang ketiga. Ikat bagian atas kepala mayit dengan tali pengikat dan sisa
kain bagian atas yang lebih dilipat ke wajahnnya lalu diikat dengan sisa tali itu sendiri,
kemudian ikatlah tali bagian bawah kaki dan sisa kain kafan bagian bawah yang lebih dilipat
ke kakinya lalu diikat sama seperti pada bagian atas. setelah itu ikatlah kelima tali yang lain
dengan jarak yang sama rata. perlu diperhatikan mengikat tali tersebut jangan terlalu kencang
dan usahakan ikatannya terletak disisi sebelah kiri tubuh, agar mudah dibuka ketika jenazah
dibaringkan kesisi sebelah kanan dalam kubur.
- Jenazah perempuan-
Jenazan wanita dibalut dengan lima helai kain kafan. Terdiri atas : Dua helai kain,
sebuah baju kurung dan selembar sarung beserta kerudungnya. Jika ukuran lebar tubuhnya 50
cm dan tingginya 150 cm, maka lebar kain kafannya 150 cm dan panjangnya 150 ditambah
50 cm. Adapun panjang tali pengikatnya adalah 150 cm, disediakan sebanyak tujuh utas tali,
kemudian dipintal dan diletakkan sama rata di atas usungan jenazah. Kemudian dua kain
kafan tersebut diletakkan sama rata diatas tali tersebut dengan menyisakan lebih panjang
dibagian kepala. untuk mempersiapkan kain kurung pertama ukurlah mulai dari pundak
sampai kebetisnya, lalu ukuran tersebut dikalikan dua, kemudian persiapkanlah kain baju
kurungnya sesuai dengan ukuran tersebut. Lalu buatlah potongan kerah tepat ditengah-tengah
kain itu agar mudah dimasuki kepalanya. Setelah dilipat dua, biarkanlah lembaran baju
kurung bagian bawah terbentang, dan lipatlah lebih dulu lembaran atasnya (sebelum
dikenakan pada mayyit, letakkan baju kurung ini di atas kedua helai kain kafannya). lebar
baju kurung tersebut 90 cm. sementara untuk kain sarung ukurannya adalah sekitar 90 cm
[lebar] dan 150 cm [panjang]. kain sarung tersebut dibentangkan diatas bagian atas baju
kurungnya. dan untuk ukuran kerudungnya adalah sekitar 90 cm x 90 cm, kerudung tersebut
dibentangkan diatas bagian atas baju kurung. untuk tata cara memakaikan kain penutup aurat,
kain kafan dan tali pengikat hampir sama caranya seperti pada jenazah laki-laki.
Faedah :
Cara mengkafani anak laki-laki yang berusia dibawah tujuh tahun adalah
membalutnya dengan sepotong baju yang dapat menutup seluruh tubuhnya atau
membalutnya dengan tiga helai kain.
Cara mengkafani anak perempuan yang berusia dibawah tujuh tahun adalah dengan
membalutnya dengan sepotong baju kurung dan dua helai kain.
C. SHOLAT JENAZAH
Shalat Jenazah hukumnya Fardhu kifayah, shalat ini berbeda dengan shalat pada umumnya,
karena tidak memakai ruku’, sujud, i’tidal dan tahiyyat, sholat ini hanya dilakukan dalam
keadaan berdiri dengan 4 kali takbir dan 2 salam.
tata cara pelaksanaannya;
1. Niat
Secara bahasa, “niat” artinya ‘al-qashdu‘ (keinginan atau tujuan), sedangkan makna
secara istilah, yang dijelaskan oleh ulama Malikiah, adalah ‘keinginan seseorang dalam
hatinya untuk melakukan sesuatu’. setiap kita akan melakukan shalat atau amalan lainnya
hendaklah disertai dengan niat terlebih dahulu, begitupun saat hendak melakukan shalat
jenazah juga harus disertai niat yang semata-mata hanya mengharap keridhoan dari
Allah Subhanahu wa ta'ala.
Dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkhotbah di atas mimbar,
“Saya mendengar Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, amal itu
hanya dinilai berdasarkan niatnya, dan sesungguhnya pahala yang diperoleh seseorang
sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang niat hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka
dia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya dengan niat mendapatkan dunia atau wanita yang ingin dinikahi maka dia hanya
mendapatkan hal yang dia inginkan.’” (HR. Al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)
Shalat jenazah sah jika dilakukan dengan berdiri (seseorang mampu untuk berdiri dan
tidak ada uzur). Karena jika sambil duduk atau di atas kendaraan [hewan tunggangan], Shalat
jenazah dianggap tidak sah.
jika jenazahnya adalah jenazah laki-laki maka imam berdiri tepat di bagian kepala
3. Takbir 4 kali
Aturan ini didapat dari hadits Jabir yang menceritakan bagaimana bentuk shalat Nabi
ketika menyolatkan jenazah.
Artinya :
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang {1}
segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam {2} Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
{3} Yang menguasai hari pembalasan {4} hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada Engkaulah kami memohon pertolongan {5} Tunjukilah kami jalan yang lurus{6}
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; (bukan) jalan mereka
yang dimurkai dan (bukan) pula jalan mereka yang sesat{7}. (QS. Al - Fatihah : 1-7)
Artinya : Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat, sejahtera dan maafkanlah dia.
Faedah :
ketika Shalat jenazah haruslah menghadap kiblat.
Mayit diletakkan di depan orang yang akan menshalati dengan posisi terlentang.
Ketika menshalati posisi imam berdiri searah kepala mayit apabila mayitnya laki-laki,
sedang untuk mayit perempuan imam berdiri searah antara dada dan perut.
Antara orang yang shalat dengan mayit tidak ada penghalang.
Jarak antara orang yang shlat dengan mayit tidak terlalu jauh.
Salah satu diantara keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah posisinya.
lebih utama apabila shaf makmum dibagi menjadi 3 shaf.
D. MENGUBURKAN JENAZAH
Setelah selesai dimandikan, dikafani dan disholatkan, maka jenazah harus segera
dikuburkan. disunnahkan membawa jenazah dengan usungan jenazah yang di panggul di atas
pundak dari keempat sudut usungan. Disunnahkan pula untuk menyegerakan mengusungnya
ke pemakaman tanpa harus tergesa-gesa. Bagi para pengiring, boleh berjalan di depan
jenazah, di belakangnya, di samping kanan atau kirinya. Semua cara ada tuntunannya dalam
sunnah Nabi. Para pengiring tidak dibenarkan untuk duduk sebelum jenazah diletakkan,
sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah melarangnya.
Disunnahkan mendalamkan lubang kubur, agar jasad si mayit terjaga dari jangkauan
binatang buas, dan agar baunya tidak merebak keluar.
Lubang kubur yang dilengkapi liang lahad lebih baik daripada syaq. Dalam masalah ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Liang lahad itu adalah bagi kita (kaum muslimin), sedangkan syaq bagi selain kita (non
muslim).” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam “Ahkamul
Janaaiz” hal. 145)
Lahad adalah liang (membentuk huruf U memanjang) yang dibuat khusus di dasar
kubur pada bagian arah kiblat untuk meletakkan jenazah di dalamnya.
Syaq adalah liang yang dibuat khusus di dasar kubur pada bagian tengahnya (membentuk
huruf U memanjang).
dilarang menguburkan jenazah pada 3 waktu terlarang yaitu, ketika matahari terbit
hingga ia agak meninggi, saat matahari tepat berada dipertengahan langit hingga ia telah
condong ke barat, dan saat matahari hampir terbenam hingga ia terbenam sempurna.
sebagaimana hadist dibawah ini :
Dari Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiallahu anhu berkata: “Ada tiga waktu, yang
mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami untuk shalat atau
menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut: Saat matahari terbit hingga ia agak
meninggi, saat matahari tepat berada di pertengahan langit hingga ia telah condong ke
barat, dan saat matahari hampir terbenam hingga ia terbenam sempurna.” (HR. Muslim no.
831)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mayat memasukkan jenazah ke dalam kubur, maka beliau mengucapkan, “BISMILLAHI WA
‘ALA MILLATI RASUULILLAH (Dengan nama Allah dan di atas agama Rasulullah).” (HR.
Abu Daud no. 3213, At-Tirmizi no. 1046, Ibnu Majah no. 1539, dan dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam Ahkam Al-Jana`iz hal. 152)
Tidak perlu meletakkan bantalan dari tanah ataupun batu di bawah kepalanya, sebab
tidak ada dalil shahih yang menyebutkannya. Dan tidak perlu menyingkap wajahnya,
kecuali bila si mayit meninggal dunia saat mengenakan kain ihram sebagaimana yang
telah dijelaskan
.
Setelah jenazah diletakkan di dalam rongga liang lahad dan tali-tali selain kepala dan
kaki dilepas, maka rongga liang lahad tersebut ditutup dengan batu bata atau papan
kayu/bambu dari atasnya (agak samping).
Lalu sela-sela batu bata-batu bata itu ditutup dengan tanah liat agar menghalangi
sesuatu yang masuk sekaligus untuk menguatkannya.
Disunnahkan bagi para pengiring untuk menabur tiga genggaman tanah ke dalam
liang kubur setelah jenazah diletakkan di dalamnya. Demikianlah yang dilakukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu ditumpahkan (diuruk) tanah ke
atas jenazah tersebut.
Kemudian ditaburi dengan batu kerikil sebagai tanda sebuah makam dan diperciki air,
berdasarkan tuntunan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam (dalam masalah ini
terdapat riwayat-riwayat mursal yang shahih, silakan lihat “Irwa’ul Ghalil” II/206).
Lalu diletakkan batu pada makam bagian kepalanya agar mudah dikenali.
Haram hukumnya menyemen dan membangun kuburan. Demikian pula menulisi batu
nisan. Dan diharamkan juga duduk di atas kuburan, menginjaknya serta bersandar
padanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah melarang dari hal
tersebut. (HR. Muslim)
C. TA’ZIAH
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan
bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa
menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung
kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala
berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan
beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.
Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang
bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun
tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai
makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah
mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor
yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat.
Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini?
Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang
diambil dari kitab at Ta`ziyah, karya Syaikh Musa'id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan
Dar al ‘Ashimah. Semoga bermanfaat.
1. DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta`ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata
kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang
substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.
Penulis kitab Radd al Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit
(keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar,
dan sekaligus mendo’akannya”.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah,
hukumnya adalah sunnah. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu 'anha :
“Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku
berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].
3. HIKMAH TA’ZIYAH
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain :
4. WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit
dikebumikan.
Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau
memandang makruh ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya
dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan
guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena itu,
hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa
musibah benar-benar dituntut untuk bersabar.
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa
musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya.
Penglipur ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia
memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya
lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah
merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit.
5. JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
ث أَي ٍهام إِ هَل َعلَى زَ ْوجٍ فَإِنه َها ت ُ ِحدُّ َعلَ ْي ِه أَ ْربَعَةَ أَ ْش ُه ٍر ٍ ِاَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر أ َ ْن ت ُ ِحده َعلَى َمي
ِ ت فَ ْوقَ ث َ َال ََل يَ ِح ُّل َِل ْم َرأَةٍ تُؤْ ِمنُ بِ ه
َو َع ْش ًرا
Artinya : “Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati)
suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari”. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].
Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali
tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun
begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya,
atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka
waktu tiga hari tersebut.
Sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja.
Sampai kapan saja, tak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari
ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan,
dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.
6. MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada
ta’ziyah yang pertama kali, sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat
kesedihannya terus menghimpitnya.
Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul
mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus
lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian
karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak
boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya),
terkecuali mahramnya.
Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh
diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia
tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang
kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya.
Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah
ini.
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok
atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :
Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram . Dalil
yang mereka pergunakan ialah:
Artinya : “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian
berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR
Muslim, 7/5]
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini
:
ARTINYA : "Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam
Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya
berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam ,” maka anak
itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya berkata
: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR
Bukhari, 2/96].
Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali
apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya
mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam.
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa
mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus
diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan
tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:
Imam Nawawi berpendapat , yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah,
yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada salah seorang
utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan
katakanlah kepadanya :
Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali
kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu
tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari
Allah. [HR Muslim, 3/39].
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal
mati oleh orang muslim, membaca :
Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoa’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa
musibah dengan mengucapkan: “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan
pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat
berdo’a dengan do’a apa saja.
Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir,
maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak
mendoakan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di
muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.
َ ْأَح
َسنَ هللاُ َعزَ ا َءكَ َو َغفَ َر ِل َم ِيتِك
(Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si
mayit).
َ َأ َ ْخل
َ َف هللاُ َعلَيْكَ َوَلَ نَق
َص َعدَدَك
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).
Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.
Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab
berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan
saja” Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.
Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama.
Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para
pelayat.
Ziarah kubur bertujuan mengingat kematian serta hari akhirat tempat menusia akan
mendapat balasan yang sesuai amal perbuatannya di dunia. Ziarah kubur sangat dianjurkan.
Akan tetapi, apabila ziarah kubur ditujukan untuk mendapat berkah, minta doa restu, atau
wangsit maka hal tersebut tidak dibolehkan (diharamkan)
Pendapat Ahlu Sunnah wal Jamaah, bahwa ruh yaitu jiwa yang dapat berbicara, yang
mampu untuk menjelaskan, memahami objek pembicaraan, tidak musnah karena musnahnya
jasad. Ia adalah unsur inti, bukan esensi. Ruh-ruh orang yang sudah meninggal itu
berkumpul, lalu yang berada di tingkatan atas bisa turun ke bawah, tapi tidak sebaliknya.
Menurut Salafush Shahih dan para pemukanya, bahwa siksa dan kenikmatan dirasakan oleh
ruh dan badan mayat. Ruh tetap kekal setelah terpisah dari badan yang merasakan
kenikmatan atau siksaan, kadang juga bersatu dengan badan sehingga merasakan juga
kenikmatan dan siksaan. Ada pendapat lain dari Ahlus Sunnah bahwa kenikmatan dan siksa
untuk badan saja, bukan ruh.
Untuk kaum laki-laki, ulama fiqih tidak ada pertentangan mengenai hukumnya, yakni
sunnah. Bahkan Ibnu Hazm mengatakan, ‘”Sesungguhnya ziarah kubur itu wajib, meski
sekali seumur hidup, karena ada perintahnya.”
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebab asal hukum ziarah mereka itu dilarang,
lalu dihapus. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku
pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)!”
Dalam riwayat Muslim, Ummu Athiyah berkata, “Kami dilarang untuk berziarah
kubur, tetapi beliau tidak melarang kami dengan keras.”
Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, hal ini berlaku untuk gadis, sedangkan untuk
wanita tua yang tidak tertarik lagi dengan laki-laki, maka dihukumi seperti laki-laki.
Tujuan utama ziarah kubur adalah mengingat mati dan mengingat akhirat
sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang
kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)! Karena sesungguhnya ziarah kubur
dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR Muslim dari Abu Buraidah)
Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang
air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” (HR Al Hakim)
Oleh karena itu, tujuan itu harus senantiasa dipancangkan di dalam hati orang yang
berziarah. Selain itu, ada beberapa adab dalam berziarah kubur:
Diperbolehkan tetap memakai sandal jika ada penghalang semacam duri, kerikil yang
panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di
antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.
2) Mengucapkan Salam
“Assalamu ‘alaikum dara qaumin Mu’minin, wa insya Allah bikum laa hiqun.”
Artinya, “Keselamatan atas kalian di tempat orang Mukmin, dan kami insya Allah akan
menyusul kalian juga.”
Atau bisa juga dengan lafal lain, “Assalamu ‘ala ahlid diyari minal Mu’minina wal
Muslimin, wa inna insya Allah ta’ala bikum laa hiqun. As-alullahu lana wa lakumul afiyah.”
Artinya, “Keselamatan kepada penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin, kami
insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan
kalian semua.” Kedua lafazh salam tersebut diriwayatkan Imam Muslim.
Disunnahkan membaca surat Yasin seperti yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Ma’qal bin Yassar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Bacakanlah surah Yasin pada orang yang meninggal di antara kalian.”
Sebagian ulama menyatakan hadits ini dha’if. Imam Asy Syaukani dan Syaikh
Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa hadits ini berstatus hasan. Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa membacakan Al Quran ini dilakukan saat sakaratul maut, bukan setelah
meninggal.
4) Mendoakan si Mayat
Selanjutnya mendoakan untuk mayat usai membaca Al Quran dengan harapan dapat
dikabulkan. Sebab doa sangat bermanfaat untuk mayat. Ketika berdoa, hendaknya
menghadap kiblat.
Disunnahkan ketika berziarah dalam keadaan berdiri dan berdoa dengan berdiri,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika keluar menuju
Baqi’.
Selain itu, jangan duduk dan berjalan di atas pusara kuburan. Dalam riwayat Muslim,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh jika salah seorang dari kalian
duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik
daripada duduk di atas kubur.” Sedangkan jika berjalan di samping atau di antara pusara-
pusara kubur, maka itu tidak mengapa.
Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada
hari Jum’at, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya,
maka itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliau pun tidak pernah mengkhususkan
hari-hari tertentu untuk berziarah kubur. Sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan ziarah
pada hari Jum’at adalah dha’if sebagaimana dinyatakan para Imam Muhaditsin. Oleh karena
itu, ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja.
Sedangkan shalat persis di atas kuburan seseorang dan menghadap kuburan tanpa
tembok penghalang, maka ulama sepakat tentang ketidakbolehannya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula
kalian duduk di atasnya.” (HR Muslim) Sedangkan jika di samping kubur, maka terjadi
sejumlah perselisihan ulama, ada yang memakruhkannya, dan ada yang mengharamkannya.
Demi kehati-hatian, kami berpendapat untuk tidak melaksanakan shalat di kompleks
pekuburan. Selain itu, Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Dikecualikan dari hal
ini adalah bagi seseorang yang ingin melaksanakan shalat jenazah, tetapi tidak berkesempatan
menshalati mayit saat belum dikuburkan.
Dilarang juga mengencingi dan berak di atas kuburan. Diriwayatkan Abu Hurairah,
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barang siapa yg duduk di atas kuburan,
yang berak dan kencing di atasnya, maka seakan dia telah menduduki bara api.”
Tidak diperbolehkan memasang lilin atau lampu di atas pusara kuburan. Selain hal itu
merupakan tatacara ziarah orang Ahli Kitab dan Majusi, dalam riwayat Imam Al Hakim
disebutkan, “Rasulullah melaknat….dan (orang-orang yang) memberi penerangan (lampu
pada kubur).”
Tidak boleh memberikan sesajen berbentuk apapun, baik berupa bunga, uang,
masakan, beras, kemenyan, dan sebagainya. Juga dilarang menyembelih hewa atau kurban di
kuburan. Selain itu, tidak boleh mengambil benda-benda dari kubur seperti kerikil, batu,
tanah, bunga, papan, pelepah, tulang, tali dan kain kafan, serta yang lainnya untuk dijadikan
jimat.
Pertama, tujuan yang manfaatnya kembali kepada orang yang berziarah. Bentuknya
mengingatkan orang yang berziarah akan kematian dan kehidupan dunia yang fana. Bekal
utama mereka adalah iman dan amal soleh.
Tujuan ini yang sering ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam
hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
”Dulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur. Sekarang lakukanlah ziarah kubur, karena
ziarah kubur mengingatkan kalian akan akhirat.” (HR. Ahmad 1236 dan dishahihkan oleh
Syuaib al-Arnauth).
“Lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kalian tentang
kematian.” (HR. Ibn Hibban 3169 dan sanadnya dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
َو ِإنها ِإ ْن شَا َء هللاُ ِب ُك ْم، َ َويَ ْر َح ُم هللاُ ْال ُم ْستَ ْقد ِِمينَ ِمنها َو ْال ُم ْست َأ ْ ِخ ِرين، َار ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو ْال ُم ْس ِل ِمين ِ الس َهال ُم َعلَ ْي ُك ْم أَ ْه َل
ِ َالدي
ْ
َلَ َال ِحقُونَ أ َ ْسأ َ ُل هللاَ لَنَا َولَ ُك ُم ال َعافِيَة
Artinya : “Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari
(golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-
orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan. Kami insya Allah
akan menyusul kalian, saya meminta keselamatan untuk kami dan kalian.”
Hadis ini diajarkan kepada A’isyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa yang dibaca pada saat ziarah kubur.
(HR. Ahmad 25855, Muslim 975, Ibnu Hibban 7110, dan yang lainnya).
“Keselamatan untuk kalian, wahai penghuni rumah kaum mukiminin. Kami insyaaAllah akan
menyusul kalian.” (HR. Muslim 249).
Artinya : “Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga
hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang
mendoakannya.” (HR. Muslim 1631).
Imam an-Nawawi (w. 676 H) – salah satu ulama madzhab Syafiiyah – menjelaskan hadis
ini, dengan mengatakan,
صالة َع ْنهُ َونَحْ وه َما ِ َوأ َ هما قِ َرا َءة ْالقُ ْرآن َو َج ْعل ث َ َواب َها ِل ْل َم ِي.… صدَقَة
ت َوال ه َو َكذَلِكَ ال ه, صل ث َ َوابه ِإلَى ْال َم ِيت ِ ََوفِي ِه أ َ هن الدُّ َعاء ي
شافِ ِعي َو ْال ُج ْم ُهور أَنه َها َل ت َْل َحق ْال َميِتفَ َمذْهَب ال ه
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa doa akan sampai pahalanya kepada mayit,
demikian pula sedekah… sedangkan bacaan al-Quran, kemudian pahalanya dihadiahkan
untuk mayit, atau shalat atas nama mayit, atau amal ibadah lainnya, menurut madzhab Imam
as-Syafii dan mayoritas ulama, amalan ini tidak bisa diberikan kepada mayit. (Syarh Shahih
Muslim, 11/85).
Seluruh orang yang telah meninggal, snagat membutuhkan doa baik dari mereka yang
hidup, karena mayit tidak lagi mampu beramal.Karena itu, jangan sampai kita memiliki
prinsip, hanya mendoakan keluarga yang telah meninggal jika kita ziarah kubur. Padahal,
ziarah kubur tidak mungkin bisa sering kita lakukan. Umumnya orang hanya setahun sekali.
Untuk itu, penting dipahami bahwa mendoakan mayit bisa dilakukan kapanpun dan
dimanapun. Anda tidak perlu bergantung kepada kuburan, ketika hendak mendoakan mayit.
Anda bisa doakan keluarga yang telah meninggal, ketika di masjid, seusai shalat tahajud, atau
ketika di tempat mustajab pada saat haji atau umrah.
Allah ajarkan prinsip mendoakan saudara kita yang telah meninggal, dalam firman-Nya,
ان َو ََل تَجْ َع ْل فِي قُلُو ِبنَا ِغ ًّال ِللهذِينَ آ َمنُوا َربهنَا َ ََوالهذِينَ َجا ُءوا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم يَقُولُونَ َربهنَا ا ْغ ِف ْر لَنَا َو ِ ِإل ْخ َوا ِننَا الهذِين
ِ ْ سبَقُونَا ِب
ِ اإلي َم
ٌ ِإنهكَ َر ُء
وف َر ِحي ٌم
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya
Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu
dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-
orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Jika kita renungkan, sejatinya adanya saling mendoakan antara yang hidup dan yang
mati, merupakan bagian dari nikmat Allah kepada orang yang beriman. Karena ikatan iman,
orang yang masih hidup bisa tetap memberikan doa kepada orang lain, meskipun dia sudah
meninggal.
Ketika Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
sedih. Sedih bukan karena ditinggal pamannya, tapi sedih karena sang paman mati dalam
keadaan musyrik. Pamannya tidak bersedia mengucapkan laa ilaaha illallah.
Karena saking sedihnya, sampai beliau bersumpah untuk memohonkan ampunan bagi
pamannya,
”Demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang.”(HR.
Bukhari 1360 & Muslim 24).
Karena peristiwa ini, Allah menurunkan teguran kepada beliau,
) ( ص َحابُ ْال َج ِح ِيم ْ ََما َكانَ ِللنه ِبي ِ َوا هلذِينَ آ َمنُوا أ َ ْن َي ْست َ ْغ ِف ُروا ِل ْل ُم ْش ِركِينَ َولَ ْو كَانُوا أُو ِلي قُ ْر َبى ِم ْن َب ْع ِد َما تَ َبيهنَ لَ ُه ْم أَنه ُه ْم أ
ِيم َِل َ ِبي ِه ِإ هَل َع ْن َم ْو ِعدَةٍ َو َعدَهَا ِإيهاهُ فَلَ هما ت َ َبيهنَ لَهُ أَنههُ َعد ٌُّو ِ هَّللِ ت َ َب هرأَ ِم ْنهُ ِإ هن ِإب َْراهِي َم ََل َ هواهٌ َح ِلي ٌم ُ ََو َما َكانَ ا ْستِ ْغف
َ ار ِإب َْراه
Artinya : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah
kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam. ( ) Sementara permintaan ampun dari Ibrahim (kepada
Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. (QS. At-Taubah: 113 – 114).
tata krama sebagaimana petunjuk yang diajarkan rasulullah dalam Ziarah kubur yakni
sebagai berikut :
4. Apabila orang yang beragama Islam meninggal dunia, maka sebaiknya yang segera
dilakukan orang Islam yang masih hidup adalah …
a) mendoakan keluarganya agar tetap sabar
b) membantu meringankan bebannya
c) membantu urusannya agar cepat selesai
d) memejamkan matanyna dan menutupkan mulutnya
e) membuatkan lubang kubur yang dalam
8. Bagi orang yang meninggal dunia karena membela agama Islam atau mati syahid,
maka jenazahnya …
a) tidak dimandikan
b) tidak perlu bermalam
c) tidak perlu didoakan
d) tidak perlu disyiarkan kepada umat Islam atau mati syahid
e) tidak perlu dikafani
9. Di bawah ini termasuk yang harus segera dilakukan terhadap jenazah yaitu …
a) menghadap kiblat
b) membuka pakaiannya lalu menutupi seluruh badannya
c) mendoakan semoga diterima amalnya
d) membacakan riwayat hidupnya
e) meringankan beban keluarganya
15. Jika menyolatkan jenazah, sedangkan jenazahnya dua orang maka dhamirnya
berbunyi….
a) Hu
b) Ha
c) Huma
d) Hum
e) hunna
Jawab :
ف فَأ َ ْنتَ ال ه
َ شافي ِ َلَ ِشفَا َء إَِله ِشفَاؤُ كَ ِشفَا ًء َلَ يُغَاد ُِر
ً سقَما َ ْ ب ْالبَأ
ِ س ا ْش ِ اس اَذْ ِه
ِ الل ُه هم َربه النه
Artinya ; “Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya,
sembukanlah ia. (hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada
kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.”
( HR. Bukhori Muslim)
2. Sebutkan syarat orang ynag memandikan jenazah ?
Jawab :
Syarat orang yang memandikan jenazah
1. Baligh (sudah mencapai kedewasaan)
- sudah mencapai usia 19 tahun dan atau sudah mengalami mimpi basah bagi
laki-laki
- sudah mencapai usia 9 tahun dan atau sudah mengalami menstruasi bagi
perempuan
2. Berakal (tidak gila)
3. Beriman (muslim)
4. sesama jenis kelamin antara yang memandikan dan yang dimandikan. kecuali;
- anak kecil yang usianya belum lebih dari tiga tahun.
- suami/istri. masing-masing boleh memandikan yang lain.
- Mahram. (apabila tidak ada orang yang sejenis kelamin dengan si mayit)
Jawab :
1) syarat salat yang lain jga menjadi syarat salat jenazah, misalnya menutup aurat,suci
badan dan pakaian, serta menghadap kiblat.
2) Mayat sudah dimandikan dan di kafani
3) Letak mayat di arah kiblat orang ynag menyalatkan.
Jawab :
Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya
pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata
beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’
kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu
ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah
Radhiyallahu 'anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?”
Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR
Abu Dawud, 3/192].
Jawab :
Tidak boleh bernazar dengan niat tertentu yang berkaitan dengan takziah
karena nazar hanya ditujukan kepada Allah.
Tidak boleh mencium atau menyapu dengan tangan untuk minta berkah karena
hal itu menjurus ke arah kemusyrikan