Anda di halaman 1dari 15

MODUL 3 PEMBELAJARAN

“MILENIAL SMARTTREN RAMADHAN 1444 H”

MATERI IV :
EMPATI TERHADAP KORBAN COVID-19
DALAM PANDANGAN ISLAM
DAN
MATERI V
GOTONG ROYONG DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :
TIM MGMP PAI SMAN 1 MARGAASIH

SMAN 1 MARGAASIH
1444 H / 2023 M
1
MATERI IV
EMPATI TERHADAP KORBAN COVID-19 D
ALAM PANDANGAN ISLAM

Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan
mereka layaknya tubuh. Bila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya turut
merasakan susah tidur dan demam.” (HR. Muslim)
Berempatilah pada orang lain dalam kebajikan dan amal shalih merupakan jalannya
orang-orang shalih. Bahkan, indikasi kebenaran iman sebagai perwujudan kecintaan pada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang mudah berempati serta memiliki sifat empati yang
tinggi akan disukai orang lain. Dia peka pada keadaan atau penderitaan orang lain yang
direfleksikan dengan ucapan, perbuatan, ataupun doa. Hal itu merupakan karakter orang
yang hatinya diberi kelembutan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia senantiasa memenuhi
kebutuhan orang lain, hatinya lapang, dan bersegera memulai kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, seorang khalifah yang adil memiliki sikap tawadu dan akhlak
yang mulia. Raja’ bin Haiwah meriwayatkan hal itu. Dia bertutur, “Saya menghabiskan satu
malam bersama ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Tiba-tiba lampu minyak yang menerangi kami
mati. Saat itu di dekatnya ada seorang pelayan laki-laki yang tertidur. Saya berkata, ”Apakah
dia perlu saya bangunkan?” ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjawab, “Biarkan aku yang berdiri
memperbaiki lampu itu.” Dia berkata, “Meminta pelayanan dari tamu bukanlah bagian dari
keperwiraan diri seorang laki-laki!” Kemudian dia berdiri dan berjalan menuju ke tempat
minyak dan memperbaikinya lalu kembali. Dia berkata, “Aku berdiri sebagai ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz dan aku kembali sebagai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.”” (Tarikhul-Khulafa` : 221)
Sikap empati perlu diasah agar hati menjadi lembut dan seakan-akan turut
meringankan kebutuhan orang lain. Para salaf dahulu saling berlomba-lomba melakukan
kebaikan karena mereka memahami ada banyak barakah, pahala, dan kebaikan yang
dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berempati merupakan ibadah yang lebih didominasi
kecintaan pada akhirat.
Ibnul Qayyim dalam al-Fawa`id (222) beliau berkata, “Turut perhatikan penderitaan
kaum muslimin dan berempati pada mereka bisa diwujudkan dengan beragam cara, seperti
dengan harta, kehormatan, fisik dan bantuan, nasehat dan petunjuk, doa dan istigfar, serta
ikut merasakan duka mereka. Tingkat empati ini sesuai dengan taraf keimanan. Bila iman
lemah, maka empatipun juga lemah. Sebaliknya, bila iman kuat maka empati juga kuat.
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling berempati kepada sahabat-
sahabat beliau melalui semua bentuk tersebut di atas. Dan untuk para pengikut beliau, tingkat
empatinya sesuai dengan sejauh mana kesetiaan mereka mengikuti beliau.”
Berempati pada orang lain adalah sebuah nikmat karena diberi taufik Allah untuk
mengikuti jejak sabiquna fil khairat (orang-orang yang bersegera dalam melakukan
kebaikan). Ukhuwah imaniyah menjadi lebih kuat dan ia akan merasakan kebahagiaan
tersendiri ketika bisa memberikan yang dibutuhkan orang lain. Berhias dengan empati
adalah wujud kepekaan hati seorang mukmin yang akan mendatangkan kecintaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di mata orang lain ia akan mampu menarik empati ketika
semua itu dilandasi ikhlas.
2
Keutamaan orang yang beri kebahagiaan pada orang lain dan mengangkat kesulitan
dari orang lain disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫ع ْو ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْبدُ فِى‬
‫ع ْو ِن أ َ ِخي ِه‬ ‫َو ه‬
َ ‫َّللاُ فِى‬
“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim
no. 2699).
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َو َم ْن َكانَ ِفى َحا َج ِة أ َ ِخي ِه َكانَ ه‬
‫َّللاُ ِفى َحا َج ِت ِه‬
“Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa
menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ َوأ َ َحبُّ األ َ ْع َما ِل ِإلَى ه‬, ‫اس‬
‫َّللا ت َ َعالَى‬ ِ ‫َّللا ت َ َعالَى أ َ ْن َفعُ ُه ْم ِلل هن‬
ِ ‫اس ِإلَى ه‬ ِ ‫أ َ َحبُّ ال هن‬
ُ‫ أ َ ْو ت َْط ُرد‬, ‫ع ْنهُ دَ ْينًا‬
َ ‫ضي‬ ِ ‫ أ َ ْو ت َ ْق‬, ً‫ع ْنهُ ُك ْر َبة‬
َ ‫ِف‬ ُ ‫ أ َ ْو ت َ َكش‬, ‫علَى ُم ْس ِل ٍم‬ َ ُ‫ور تُدْ ِخلُه‬
ٌ ‫س ُر‬ُ
‫ف ِفي َهذَا‬ َ ‫ي ِم ْن أ َ ْن أ َ ْعت َ ِك‬ ‫خ ِفي َحا َج ٍة أ َ َحبُّ ِإلَ ه‬ ِ َ ‫ِي َم َع أ‬ َ ‫ َوأل َ ْن أ َ ْمش‬, ‫عا‬ ً ‫ع ْنهُ ُجو‬ َ
َ ‫ْال َمس ِْج ِد يَ ْعنِي َمس ِْجدَ ْال َمدِينَ ِة‬
‫ش ْه ًرا‬
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat
bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang
lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau
menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim
untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi-
selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam
Shahih Al Jaami’ no. 176).
Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan
kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.
Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain
yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut,
“Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia
berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan
Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai
A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh
pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”
Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan
i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada
orang lain

3
MATERI V
GOTONG ROYONG DALAM ISLAM

Di antara jawāmi’ulkalim – yakni ucapan Nabi yang ringkas namun sarat makna-
adalah sabda beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
‫للاه‬
ُ ُ‫ن فى‬ َُ ‫أَخ ْيهُ ع َْونُ فىُ اْلعَ ْب هُد ك‬
ُ ‫َان َما اْلعَ ْبدُ ع َْو‬
“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong
saudaranya.” (HR. Muslim)
Hadits ini adalah salah satu motivasi bagi kita untuk memberi pertolongan kepada
sesama muslim. Mari simak di antara penjelasan para ulama tentang hadis yang agung ini.

Syekh ‘Abdulmuhsin al-‘Abbad al-Badr hafiẓahullāh menjelaskan,


“Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk memberikan pertolongan kepada saudara
sesama muslim. Setiap pertolongan yang diberikan kepada saudaranya, niscaya dia akan
mendapat balasan berupa pertolongan dari Allah. Kalimat dalam hadis ini adalah bagian
dari jawāmi’ulkalim. “ (Fathu al-Qawiyyi al-Matīn)
Syekh Shalih bin ‘Abdul’aziz Alu Syekh hafiẓahullāh menjelasakan,
“Hadis ini memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk memberikan
pertolongan kepada saudaranya. Tatkala dia menolong saudaranya, maka Allah akan
menolongnya Jika Engkau membantu kebutuhan saudaramu, niscaya Allah akan
memberikan bantuan kepadamu. Ini adalah keutamaan yang agung dan balasan yang sangat
besar bagi hamba.” (Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyyah)
Syekh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafiẓahullāh menjelaskan bahwa
makna hadis ini bersifat umum. Jika Engkau memberi pertolongan kepada saudaramu
dengan pertolongan apapun bentuknya yang dia butuhkan, maka sungguh Allah akan
senantiasa memberi pertolongan kepadamu. Demikianlah, karena balasan akan sesuai
dengan perbuatan. Jika Engkau ingin Allah menolongmu, maka hendaknya Engkau
menolong saudaramu sesuai kadar kemampuan yang Engkau mampu berikan kepadanya,
baik itu dengan harta, kedudukan, ataupun bantuan yang lainnya. (Al-Minhatu al-
Rabbaniyyah fī Syarhi al-Arba’īn al-Nawawiyyah)
Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin raḥimahullāh memberi catatan penting
tentang hadis ini. Beliau menjelaskan bahwa hadis ini merupakan motivasi untuk memberi
pertolongan kepada sesama muslim. Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa hal ini
terbatas untuk perkara kebaikan dan takwa. Karena Allah taala berfirman,
ُْ‫اونهوا‬
َ َ‫ى َوتَع‬ َ ُ‫ى ا ْلبر‬
ُ َ‫عل‬ ُ ‫َوالت َّ ْق َو‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.“ (QS.
Al-Mā’idah: 2)
Adapun jika memberi pertolongan dalam perbuatan dosa, maka hukumnya haram.
Karena Allah berfirman,

َ‫اونهواُْ َو ُل‬ َ ُ‫ان اإلثْم‬


ُ َ‫عل‬
َ ‫ى ت َ َع‬ ُ ‫َوا ْلعهد َْو‬
“ Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ (QS. Al-
Mā’idah: 2)

4
Hadis ini menunjukkan bahwa balasan akan sesuai dengan perbuatan. Bahkan balasan
dari Allah lebih baik dari amal perbuatan hamba. Jika Engkau menolong saudaramu, maka
Allah akan memberi pertolongan kepadamu. Dan jelas bahwa pertolongan yang datang dari
Allah adalah balasan yang lebih besar dari amal hamba itu sendiri. (Syarh al-Arba’īn al-
Nawawiyyah)
Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat, dapat menambah ilmu bagi kita dan
menjadi penyemangat untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan kepada sesama
muslim.

Apakah benar terdapat hadits dalam masalah perhatian terhadap urusan kaum
muslimin, karena banyak dari para penceramah menyebutkan hadits,
‫منُلمُيهتمُبأمرُالمسلمينُفليسُمنهم‬
“Siapa saja yang tidak perhatian terhadap urusan kaum muslimin, maka tidak termasuk
bagian dari mereka.” (Hadits ini dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Silisilah Al-Ahaadits
Adh-Dha’ifah, 1: 309-312)
Jawaban:
Hadits ini adalah hadits yang masyhur (terkenal} di tengah-tengah masyarakat. Akan
tetapi aku tidak mengetahui apakah lafadz hadits tersebut shahih ataukah tidak dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Akan tetapi, makna hadits tersebut shahih. Karena seorang muslim yang tidak
memiliki perhatian (cuek) terhadap urusan kaum muslimin, pada hakikatnya dia memiliki
kekurangan dalam Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam
hadits yang shahih,
‫سدُُُإذَُا‬
َ ‫طفه ْمُُ َمث َ هلُُا ْل َج‬‫ُوت َ َعا ه‬،
َ ‫ُوت َ َرا هحمه ْم‬،َ ‫ينُُفيُت َ َواده ْم‬ َ ‫ُ َمث َ هلُُا ْل هم ْؤمن‬
ُ ‫س َهرُ َوا ْل هح َّم‬
‫ى‬ َّ ‫سدُُبال‬ َ ‫سائ هُرُُا ْل َج‬
َ ُُ‫عىُُلَهه‬
َ ‫ضوُُتَدَا‬ ‫شتَكَىُم ْنههُُ ه‬
ْ ‫ع‬ ْ ‫ا‬
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan
menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka
seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari
no. 6011 dan Muslim no. 2586)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ا ْل هم ْؤمنهُُل ْل هم ْؤمنُُكَا ْلبه ْنيَانُُيَشهدُُبَ ْع ه‬
ً ‫ض ُههُبَ ْع‬
ُ‫ضا‬
“Permisalan seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang
menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585)
Hadits-hadits tersebut dan yang semisal, itu semakna dengan perkataan yang masyhur
tersebut. Yang tidak aku ingat sekarang adalah apakah ungkapan tersebut berasal dari
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah dari perkataan para ulama.

5
MATERI VI

TOLERANSI DALAM ISLAM


Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi
siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan
haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat
zalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
‫ار ُك ْم‬ ِ ‫ع ِن الهذِينا لا ْم يُقااتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ ‫ِين اولا ْم يُ ْخ ِر ُجو ُكم ِمن ِديا‬ ‫َّللاُ ا‬‫اَل يا ْن اها ُك ُم ه‬
‫ِطينا‬ِ ‫َّللا ي ُِحبُّ ْال ُم ْقس‬ ُ ‫أان ت ا اب ُّروهُ ْم اوت ُ ْق ِس‬
‫طوا ِإلا ْي ِه ْم ِإ هن ه ا‬
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-
Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak
melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan ,
berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama
mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari
negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena
menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak
ada kerusakan.” [1]
Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan
“selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena
jika sudah urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.
Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap
agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim
Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang
Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya
pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong
kambing. Dia lalu berkata,

ِ ‫ت فاا ْبداأْ ِب اج‬


‫ارناا ْال اي ُه ْودِي‬ ‫غالا ُم! ِإذاا فا ار ْغ ا‬
ُ ‫يا ا‬

”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan
memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.
Lalu ada salah seorang yang berkata,

ْ ‫!آل اي ُه ْودِي أ ا‬
‫صلا اح اك هللاُ؟‬

“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki


kondisimu”.
6
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

‫ش ْيناا أ ا ْو‬ ِ ‫صي ِب ْال اج‬


‫ احتهى اخ ا‬،‫ار‬ ِ ‫سله ام ي ُْو‬ ‫صلهى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫ي ا‬ ‫س ِم ْعتُ النه ِب ه‬
‫ِإنِي ا‬
ُ‫سيُو ِرثُه‬‫ُر ِؤ ْيناا أ انههُ ا‬
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap
tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]

2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan
kerabat meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap
harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ْس لا اك بِ ِه ِع ْل ٌم فاال ت ُ ِط ْع ُه اما‬
‫على أ ا ْن ت ُ ْش ِر اك بِي اما لاي ا‬ ‫اوإِ ْن اجا اهدا ا‬
‫اك ا‬
‫اح ْب ُه اما فِي الدُّ ْنياا ام ْع ُروفًا‬
ِ ‫ص‬‫او ا‬
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
3. Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka
memerangi kaum muslimin.
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu
kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka
atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir
mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat
keras.
‫يال ِم ْن أ ا ْه ِل ال ِذ هم ِة لا ْم يا ِجدْ ِري اح ْال اجنه ِة او ِإ هن ِري اح اها لايُو اجدُ ِم ْن‬
ً ِ‫ام ْن قات ا ال قات‬
‫عا ًما‬ ‫ِيرةِ أ ا ْر اب ِعينا ا‬
‫امس ا‬
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau
surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh
tahun. ”[3]
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim
Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan
menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk
agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan
menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada
pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka
melakukan pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan
perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.

7
Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”
Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin
Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:
‫ فإن كان الذي جئت به خيرا‬، ‫ ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله‬، ‫ وتعبد ما نعبد‬، ‫ هلم فلنعبد ما تعبد‬، ‫يا محمد‬
‫ كنت قد شركتنا في أمرنا‬، ‫ وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك‬. ‫ وأخذنا بحظنا منه‬، ‫ كنا قد شاركناك فيه‬، ‫ مما بأيدينا‬،
‫وأخذت بحظك منه‬

“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian
(muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami)
dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari
ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.”[4]
Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam
ini,
‫ او اَل‬.ُ‫عا ِبدُونا اما أ ا ْعبُد‬ ‫ او اَل أانت ُ ْم ا‬. ‫ اَل أ ا ْعبُدُ اما ت ا ْعبُدُونا‬. ‫قُ ْل ياا أايُّ اها ْال اكافِ ُرونا‬
‫ِين‬
ِ ‫يد‬ ‫ لا ُك ْم دِينُ ُك ْم او ِل ا‬.ُ‫عا ِبدُونا اما أ ا ْعبُد‬
‫ او اَل أانت ُ ْم ا‬.‫عبادت ُّ ْم‬
‫عا ِبدٌ هما ا‬‫أاناا ا‬
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

8
MATERI VII
CINTA TANAH AIR

Cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; merupakan tabiat dan fitrah manusia. Seluruh
manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin. Allah
berfirman:

‫ار ُكم همافا اعلُوهُ إَِله‬ ْ ‫س ُك ْم أ ا ِو‬


ِ ‫اخ ُر ُجوا ِمن ِديا‬ ‫علا ْي ِه ْم أ ا ِن ا ْقتُلُوا أانفُ ا‬
‫اولا ْو أانها اكت ا ْبناا ا‬
‫قا ِليلُُُ ِم ْن ُه ْم‬

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau


keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali
sebagian kecil dari mereka”” (QS. An-Nisa’: 66).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.

Bahkan di dalam Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi kita untuk jihad
membela negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika negeri tersebut memiliki keistimewaan,
maka mencintainya adalah sebuah ibadah seperti Mekkah dan Madinah.

Namun jika cinta negeri bertentangan dengan agama seperti hijrah dan jihad, sehingga
dia lebih mendahulukan cinta negeri daripada agama maka hukumnya haram. Allah
mengancam orang-orang yang tidak hijrah karena lebih mencintai kampung halaman
mereka.

‫يم ُك ْنت ُ ْم قاالُوا ُكنها‬ ‫ِإ هن الهذِينا ت ااوفهاهُ ُم ْال ام االئِ اكةُ ا‬
‫ظا ِل ِمي أ ا ْنفُ ِس ِه ْم قاالُوا فِ ا‬
‫اج ُروا فِي اها‬ ِ ‫َّللا اوا ِس اعةً فات ُ اه‬
ِ‫ض ه‬ ُ ‫ض قاالُوا أالا ْم ت ا ُك ْن أ ا ْر‬ ِ ‫ض اع ِفينا فِي ْاْل ا ْر‬ ْ ‫ُم ْست ا‬
‫اء‬
ِ ‫س‬‫الر اجا ِل اوالنِ ا‬
ِ ‫ض اع ِفينا ِمنا‬ ْ ‫يرا ِإ هَل ْال ُم ْست ا‬
ً ‫ص‬ ِ ‫ت ام‬ ‫فاأُولائِ اك امأ ْ اواهُ ْم اج اهنه ُم او ا‬
ْ ‫سا اء‬
‫ان اَل اي ْست ِاطي ُعونا ِحيلاةً او اَل اي ْهتادُونا ا‬
ً ‫س ِب‬
‫يال‬ ِ ‫او ْال ِو ْلدا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya
diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”.
Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para
malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-
anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-
Nisa’: 97-98).
Walau cinta negeri tidak tercela, namun tidak boleh kita membuat dan berpegang
dengan hadits palsu:

9
‫ان ِمنا ْال او ا‬
ُّ‫ط ِن ُحب‬ ِ ‫اإل ْي ام‬
ِ
“Cinta tanah air termasuk iman”.

Al Mulla Al Qari berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”. Lajnah
Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan
ini bukan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan
manusia lalu dianggap sebagai hadits”.
Musuh-musuh Islam ingin menjadikan hadits palsu ini tuk menghilangkan syi’ar
agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah
seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun.

Dan agar kecintaan negeri kita tidak sia-sia tanpa pahala, maka hendaknya kita menata
niat dalam kecintaan dan pembelaan kita kepada negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah,
untuk Islam, bukan sekedar untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.

Kecintaan Rasulullah kepada Tanah Airnya di Kota Mekah


Berikut beberapa dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pun cinta dengan tanah airnya yaitu kota Mekah. Beliau menunjukan kesedihan
yang mendalam saat harus meninggalkan tanah air kota Mekah. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
‫َّللا اولا ْو اَل أانِي أ ُ ْخ ِر ْجتُ ِم ْن ِك اما‬
ِ ‫َّللا ِإلاى ه‬
ِ‫ض ه‬ ِ ‫َّللا اوأا احبُّ أا ْر‬
ِ‫ض ه‬ ِ ‫َّللا ِإنه ِك لا اخي ُْر أا ْر‬
ِ ‫او ه‬
ُ‫خ اار ْجت‬
“Demi Allah, sungguh engkau (wahai Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan
yang paling dicintai oleh-Nya. Sekiranya bukan karena aku diusir dari engkau, tentu aku
tidak akan keluar meninggalkan engkau.” (HR. Ahmad)
Demikian juga tatkala sampai di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa
kepada Allah Ta’ala agar memberikan rasa cinta kepada kota Madinah sebagaimana cinta
beliau terhadap tanah air Mekah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
‫اللهم اح ِببْ ِإلا ْيناا ْال امدِيناةا اك ُح ِبناا ام هكةا أ ا ْو أ ا ا‬
‫شده‬
“‘Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah, sebagaimana kecintaan kami kepada
Mekah atau lebih.” (HR. Bukhari)

10
MATERI VIII

FIQH SHAUM RAMADHAN


1. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan bagi orang yang hendak berpuasa untuk makan sahur. Al Khottobi
mengatakan bahwa makan sahur merupakan tanda bahwa agama Islam selalu mendatangkan
kemudahan dan tidak mempersulit.[1] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ش ْىء‬ ‫وم فا ْل ايت ا ا‬
‫س هح ْر ِب ا‬ ‫ص ا‬ُ ‫ام ْن أ ا ارادا أ ا ْن اي‬
“Barangsiapa ingin berpuasa, maka hendaklah dia bersahur.”[2]
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian karena di dalam
sahur terdapat keberkahan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ً‫ور اب ار اكة‬ ‫س هح ُروا فاإِ هن ِفى ال ه‬
ِ ‫س ُح‬ ‫تا ا‬
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[3] An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Karena dengan makan sahur akan semakin kuat
melaksanakan puasa.”[4]
Makan sahur juga merupakan pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa
Yahudi-Nashrani (ahlul kitab). Dari Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س اح ِر‬ ِ ‫ص اي ِام أ ا ْه ِل ْال ِكت اا‬
‫ب أ ا ْكلاةُ ال ه‬ ِ ‫امناا او‬ ْ ‫فا‬
ِ ‫ص ُل اما ابيْنا‬
ِ ‫ص اي‬
“Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan
sahur.”[5] At Turbasyti mengatakan, “Perbedaan makan sahur kaum muslimin dengan ahlul
kitab adalah Allah Ta’ala membolehkan pada umat Islam untuk makan sahur hingga shubuh,
yang sebelumnya hal ini dilarang pula di awal-awal Islam. Bagi ahli kitab dan di masa awal
Islam, jika telah tertidur, (ketika bangun) tidak diperkenankan lagi untuk makan sahur.
Perbedaan puasa umat Islam (saat ini) yang menyelisihi ahli kitab patut disyukuri karena
sungguh ini adalah suatu nikmat.”[6]
Sahur ini hendaknya tidak ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ع أ ا احدُ ُك ْم اج ْر ا‬
‫عةً ِم ْن اماء فاإِ هن ه‬
‫َّللاا‬ ‫عوهُ اولا ْو أ ا ْن ياج اْر ا‬
ُ ‫ور أ ا ْكلُهُ با ار اكةٌ فاالا تادا‬
ُ ‫س ُح‬
‫ال ه‬
‫علاى ال ُمت ا ا‬
‫س ِح ِرينا‬ ‫صلُّونا ا‬‫ع هز او اج هل او امالائِ اكتاهُ يُ ا‬‫ا‬
“Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian
meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah
dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.”[7]
Disunnahkan untuk mengakhirkan waktu sahur hingga menjelang fajar. Hal ini dapat
dilihat dalam hadits berikut. Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,

ُ‫ قُ ْلت‬.‫صالا ِة‬
‫ ث ُ هم قُ ْمناا ِإلاى ال ه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫س هح ْرناا ام اع ار‬‫تا ا‬
ً‫ اك ْم اكانا قادْ ُر اما با ْينا ُه اما قاا ال خ ْامسِينا آياة‬.
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada
Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh[8] dan sahur kalian?”
11
Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.[9] Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar
membaca 50 atau 60 ayat.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Maksud sekitar membaca 50 ayat artinya waktu makan sahur
tersebut tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu cepat.” Al Qurthubi mengatakan, “Hadits
ini adalah dalil bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar.”

Di antara faedah mengakhirkan waktu sahur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar
yaitu akan semakin menguatkan orang yang berpuasa. Ibnu Abi Jamroh berkata,
“Seandainya makan sahur diperintahkan di tengah malam, tentu akan berat karena ketika itu
masih ada yang tertidur lelap, atau barangkali nantinya akan meninggalkan shalat shubuh
atau malah akan begadang di malam hari.”[10]
Bolehkah Makan Sahur Setelah Waktu Imsak (10 Menit Sebelum Adzan
Shubuh)?
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah
Ad Da-imah (Komisi fatwa Saudi Arabia)- pernah ditanya, “Beberapa organisasi dan
yayasan membagi-bagikan Jadwal Imsakiyah di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini.
Jadwal ini khusus berisi waktu-waktu shalat. Namun dalam jadwal tersebut ditetapkan
bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah 15 menit sebelum
adzan shubuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam? “

Syaikh rahimahullah menjawab:


Saya tidak mengetahui adanya dalil tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum
adzan shubuh. Bahkan yang sesuai dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, imsak (yaitu
menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah mulai terbitnya fajar (masuknya waktu
shubuh). Dasarnya firman Allah Ta’ala,
ِ ‫ض ِمنا ْال اخي ِْط ْاْلاس اْو ِد ِمنا ْالفا‬
‫جْر‬ ُ ‫او ُكلُوا اوا ْش اربُوا احتهى ايت ا ابيهنا لا ُك ُم ْال اخ ْي‬
ُ ‫ط ْاْل ا ْب اي‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.” (QS. Al Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ اوفاج ٌْر تُح اْر ُم فِ ْي ِه‬، ُ ‫صالاة‬ ‫ُحْر ُم ه‬
‫الط اعا ُم اوت ِاح ُّل فِ ْي ِه ال ه‬ ٌ ‫ فا‬، ‫ان‬
‫جْر ي ا‬ ‫الفاج ُْر فا ا‬
ِ ‫جْر‬
‫ْح( اويا ِح ُّل فِ ْي ِه ه‬
‫الط اعا ُم‬ ُّ ‫صالاة ُ ال‬
ِ ‫صب‬ ‫ي ا‬ ْ ‫صالاة ُ )أ ا‬
‫ال ه‬
“Fajar ada dua macam: [Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk
shalat (yaitu fajar shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang
diharamkan untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang
muncul sebelum fajar shodiq, -pen).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al
Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan bagi orang yang
berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan sahur” no. 2154. Ibnu
Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya menshahihkannya
sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)

Dasarnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


‫ِإ هن ِبالاَلً ي اُؤ ِذ ُن ِبلايْل فا ُكلُوا اوا ْش اربُوا احتهى ي اُؤ ِذنا اب ُْن أ ُ ِم ام ْكتُوم‬
“Bilal biasa mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai
kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” (HR. Bukhari no. 623 dalam Adzan, Bab
“Adzan sebelum shubuh” dan Muslim no. 1092, dalam Puasa, Bab “Penjelasan bahwa
mulainya berpuasa adalah mulai dari terbitnya fajar”). Seorang periwayat hadits ini
12
mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau tidaklah
mengumandangkan adzan sampai ada yang memberitahukan padanya “Waktu shubuh telah
tiba, waktu shubuh telah tiba.”[11]
2. Menyegerakan berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫ع هجلُوا ْال ِف‬
‫ط ار‬ ُ ‫َلا ايزا ا ُل النه‬
‫اس ِب اخيْر اما ا‬
“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan
berbuka.”[12]
Dalam hadits yang lain disebutkan,

ْ ‫سنهتِى اما لا ْم ت ا ْنت ِاظ ْر ِب ِف‬


‫ط ِرهاا النُ ُج ْو ام‬ ‫اَل ت ازا ا ُل أ ُ همتِى ا‬
ُ ‫علاى‬
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu
munculnya bintang untuk berbuka puasa.”[13] Dan inilah yang ditiru oleh Rafidhah
(Syi’ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa. Mereka baru berbuka
ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka.[14]
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan
shalat maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat maghrib selesai dikerjakan. Inilah
contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ى‬ ‫طباات قا ْب ال أ ا ْن يُ ا‬
‫ص ِل ا‬ ‫علاى ُر ا‬
‫ يُ ْف ِط ُر ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫اكانا ار‬
‫س اوات ِم ْن اماء‬ ‫ات فا اعلاى ت ا ام ارات فاإِ ْن لا ْم ت ا ُك ْن اح ا‬
‫سا اح ا‬ ‫فاإِ ْن لا ْم ت ا ُك ْن ُر ا‬
ٌ ‫طبا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma
basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr
(kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.”[15]
1. 3. Berbuka dengan kurma jika mudah diperoleh atau dengan air.
Dalilnya adalah hadits yang disebutkan di atas dari Anas. Hadits tersebut menunjukkan
bahwa ketika berbuka disunnahkan pula untuk berbuka dengan kurma atau dengan air. Jika
tidak mendapati kurma, bisa digantikan dengan makan yang manis-manis. Di antara ulama
ada yang menjelaskan bahwa dengan makan yang manis-manis (semacam kurma) ketika
berbuka itu akan memulihkan kekuatan, sedangkan meminum air akan menyucikan.[16]
4. Berdo’a ketika berbuka
Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu
terkabulnya do’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫صائِ ُم ِحينا يُ ْف ِط ُر اوداع اْوة ُ ْال ام‬
ِ ُ ‫ظل‬
‫وم‬ ‫اإل اما ُم ْال اعا ِد ُل اوال ه‬
ِ ‫ثاالاثاةٌ َلا ت ُ اردُّ داع اْوت ُ ُه ُم‬
“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang
berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[17] Ketika berbuka adalah
waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan
ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.[18]
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
ُ ‫ت اْل ا‬
‫جْر ِإ ْن شاا اء ه‬
ُ‫َّللا‬ ‫وق اوثابا ا‬ ِ ‫الظ امأ ُ اوا ْبت اله‬
ُ ‫ت ْالعُ ُر‬ ‫اب ه‬‫ذاه ا‬
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa
haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”[19]
Adapun do’a berbuka,

13
‫علاى ِر ْز ِق اك أ ا ْف ا‬
ُ‫ط ْرت‬ ُ ‫الله ُه هم لا اك‬
‫ص ْمتُ او ا‬
“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa
dan kepada-Mu aku berbuka)”[20] Do’a ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah).
Begitu pula do’a berbuka,

‫علاى ِر ْزقِ اك أ ا ْف ا‬
ُ‫ط ْرت‬ ُ ‫الل ُه هم لا اك‬
‫ص ْمتُ او ِب اك آ ام ْنتُ او ا‬
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah,
kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku
berbuka), Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan
yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.[21] Sehingga cukup
do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi
pegangan dalam amalan.
5. Memberi makan pada orang yang berbuka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ص ِم ْن أاج ِْر ال ه‬
‫صائِ ِم‬ ُ ُ‫غي اْر أانههُ َلا يا ْنق‬ ِ ‫صائِ ًما اكانا لاهُ ِمثْ ُل أ ا‬
‫جْر ِه ا‬ ‫ام ْن فا ه‬
‫ط ار ا‬
‫ش ْيئًا‬
‫ا‬
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang
yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun
juga.”[22]
6. Lebih banyak berderma dan beribadah di bulan Ramadhan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
‫ضانا‬‫جْودُ اما يا ُكو ُن فِى ار ام ا‬ ‫ او اكانا أا ا‬، ‫اس بِ ْال اخي ِْر‬ ِ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – أاج اْودا النه‬ ُّ ِ‫ اكانا النهب‬،
‫ض‬
ُ ‫ يا ْع ِر‬، ‫س ِل اخ‬ ‫ضانا احتهى يا ْن ا‬‫سالا ُم – يا ْلقااهُ ُك هل ال ْي الة فِى ار ام ا‬ ‫ او اكانا ِجب ِْري ُل – ا‬، ‫ِحينا يا ْلقااهُ ِجب ِْري ُل‬
‫ع ال ْي ِه ال ه‬
‫جْودا بِ ْال اخي ِْر‬ ‫سالا ُم – اكانا أا ا‬ ‫ فاإِذاا ال ِقياهُ ِجب ِْري ُل – ا‬، ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – ْالقُ ْرآنا‬
‫ع ال ْي ِه ال ه‬ ُّ ِ‫ع ال ْي ِه النهب‬
‫ا‬
‫سل ِةا‬ ْ
‫يح ال ُم ْر ا‬ ِ ‫الر‬ِ ‫ِمنا‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar melakukan
kebaikan. Kedermawanan (kebaikan) yang beliau lakukan lebih lagi di bulan Ramadhan
yaitu ketika Jibril ‘alaihis salam menemui beliau. Jibril ‘alaihis salam datang menemui
beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al Qur’an) hingga Al
Qur’an selesai dibacakan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila Jibril ‘alaihi
salam datang menemuinya, beliau adalah orang yang lebih cepat dalam kebaikan dari angin
yang berhembus.”[23]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih
banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah,
berbuat baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.”[24]
Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dan sedekah sunnah
dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.[25] Dari ‘Ali, ia berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ‫غ ارفًا ْال اجنه ِة فِى ِإ هن‬ ُ ‫ورهاا ت ُ ارى‬
ُ ‫ظ ُه‬ُ ‫طونِ اها ِم ْن‬ ُ ُ‫طونُ اها ب‬ ُ ُ‫ورهاا ِم ْن اوب‬ ِ ‫ظ ُه‬ُ ». ‫ام‬ ‫فاقا ا‬
‫ى ِل ام ْن فاقاا ال أاع اْرابِى‬
‫سو ال ياا ِه ا‬ ِ ‫اب ِل ام ْن « قاا ال ه‬
ُ ‫َّللا ار‬ ‫ط ا‬ ‫طعا ام ْال اكالا ام أا ا‬ ْ ‫ام اوأا‬
‫طعا ا‬‫ام ال ه‬
‫اوأادا ا‬
‫ام‬ ِ ‫صلهى‬
‫الص اي ا‬ ‫لِل او ا‬ ِ ‫اس ِبالله ْي ِل ِ ه‬ُ ‫» نِ ايا ٌم اوالنه‬
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat
dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab
baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai
Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk orang yang berkata
14
benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari
diwaktu manusia pada tidur.”[26]
Meninggalkan kata-kata kotor
Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing
orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ط اعا امه‬ ‫لِل احا اجةٌ فِى أ ا ْن ايدا ا‬
‫ع ا‬ ‫ور او ْال اع ام ال ِب ِه فالاي ا‬
ِ ‫ْس ِ ه‬ ْ ‫ام ْن لا ْم ايدا‬
ُّ ‫ع قا ْو ال‬
ِ ‫الز‬
ُ‫اوش اارا ابه‬

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya,


maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari
no. 1903).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ام ِه‬ ُّ ‫ش او ُربه قاائِم اح‬
ِ ‫ظهُ ِم ْن قِيا‬ ‫ام ِه ْال ُجوعُ او ْال اع ا‬
ُ ‫ط‬ ُّ ‫صائِم اح‬
ِ ‫ظهُ ِم ْن‬
ِ ‫صيا‬ ‫ُربه ا‬
‫س اه ُر‬
‫ال ه‬
“Betapa banyak orang yang hanya dapati dari puasa rasa lapar dan dahaga saja. Dan
betapa banyak orang yang shalat malam hanya mendapatkan rasa capek saja.” (HR. Ahmad
2: 373 dan Ibnu Majah no. 1690. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayyid).
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa mencela,
berdusta, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk
perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih
berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau puasanya itu sah dan telah
dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan
sunnah puasa. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347.

15

Anda mungkin juga menyukai