Anda di halaman 1dari 2

Berbeda dengan pemboncengan yang dilakukan oleh kelompok yang tidak menginginkan

kemerdekaaan Indonesia, tindakan serupa juga dilakukan ole Belanda. Tapi Belanda lebih
terkonsep dan menyeluruh. Di dukung penuh oleh sekutu, pertempuran-pertempuran dengan
Belanda tidak bisa dihindari, Kawasan-kawasan pesisir seperti perairan di Indragiri Hilir dan
Bengkalis menjadi sasaran penyerangan Belanda sejak akhir 1945.
Di antara pertempuran yang terkenal adalah penyerangan ke Tanjungkilang pulau Durai, 20 Juli
1946. Tempat ini merupakan pos motor-motor patroli Belanda, berkekuatan tentara satu
peleton Yang bila-bila masa bisa menambah kekuatannya dari Tanjungbatu, Kepulauan Riau.
Dari pulau ini pula mereka senantiasa berpatroli yang menghambat pelayaran di Indragiri
khususnya dari dan ke Singapura. Tokoh pejuang yang muncul dalam peristiwa ini antara lain
Kapten Muchtar dan Letnan M. Boya.
Menurut Muchtar Lutfi dkk., (1977) berbagai perlawanan diperlihatkan rakyat Riau, apalagi
setelah 27 Juli 1947, Belanda memblokade muara-muara sungai penting seperti Siak dan
Indragiri, di samping memperkuat patroli di perairan sepanjang pantai Timur terutama antara
Panipahan sampai Kuala Enok. Tercatat pertempuran di Tanjung Datuk, selain konfrontasi di
Tanjung Layang, Perigi Raja, Sungai Belah, dan Kuala Mandah. Begitu pula tembak-menembak
di pantai Bengkalis, Selatpanjang, Tanjung Samak, Tanjung Labu, dan Ketam Putih.
Alhasil, Riau tidak dapat dikuasai Belanda pada agresi I tersebut. Sebab kemerdekaan yang
diperjuangkan dan diterima masyarakat Riau, diringi dengan penyusunan berbagai kekuatan
rakyat sejak awal. Malah, sebelum pertempuran-pertempuran di atas terjadi, berbagai
kekuatan militer Riau sudah terkonsolidasi. Pada bulan November 1945, Riau sudah memiliki
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin oleh Letnan II Hasan Basri. Badan ini terdiri atas
tiga batalyon yakni Pekanbaru dipimpin oleh D.I Panjaitan, menyusul Arifin Achmad memimpin
batalyon Bengkalis, sedangkan Thoha Hanafi memimpin batalyon Indragiri.
BPR sebagaimana terjadi secara nasional, tidak bertahan lama, sebab kemudian diganti dengan
nama Tentara Keamanan Rakyat(TKR). Untuk Riau, TKR dinamakan Resimen IV, dipimpin Letkol
Hasan Basri. Lembaga ini membawahi lima batalyon. Khusus di Pekanbaru, terdapat tiga
batalyon yakni Batalyon I dipimpin Mayor D.I Panjaitan, Batalyon IV dipimpin Mayor Usman
Pohan, ditambah Batalyon (Alteleri) V di dipimpin Mayor Ali Rasyid. Batalyon lain berpusat di
Bengkalis (Batalyon I) dipimpin Mayor Arifin Ahmad, disusul Batalyon III (Rengat) dipimpin
Mayor Yusuf Nur.
Tak hanya berkaitan dengan perubahan struktur, TKR senantiasa diperbaharui. Malahan sampai
pada nama. Tanggal 7 Januari 1946, TKR merupakan singkatan dari Tentara Kesalamatan
Rakyat. Tapi dua pekan kemudian, diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Berkaitan dengan itu pula komposisi pemimpinnya pun berubah. Misalnya, semula Arifin
Achmad menjadi komandan batalyon di Bengalis, dipindahkan sebagai Komandan Batalyon IV
Pekanbaru, bersama D.I.Panjaitan sebagai Komandan Batalyon I Pekanbaru. Batalyon Bengkalis
kemudian dikomandani oleh Mayor Marah Halim. Komandan Batalyon III Rengat tetap dijabat
oleh Yusuf Nur. Berikutnya, TKR dengan berbagai penyempurnaan termasuk komposisinya,
berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Anda mungkin juga menyukai