Anda di halaman 1dari 4

A.

Menghadang Pembonceng

Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, tentulah tidak diterima o
leh bangsa-bangsa yang pernah menjajah negara ini. Pihak yang paling menginginkan kembali berkuasa di negeri kh
atulistiwa ini adalah Belanda, menyusul keikutsertaan mereka sebagai pemenang p
erang dunia kedua yang menghancurkan Jepang, sedangkan negara terakhir itu saat perang tersebut menguasai Indon
esia sejak tahun 1942. Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan memboncengi tentara sekutu yang disebut mem
enangi perang dunia kedua. Padahal, kedatangan sekutu sebelumnya untuk melucut ke
beradaan Jepang di berbagai kawasan dunia termasuk di Indonesia.

Taufik Ikram Jamil, dkk. (2018) menulis, pemboncengan itu menyebabkan terjadinya peristiwa bendera di Mountbat
ten Hotel, Pekanbaru, 18 November 1945. Di bawah komando Kolonel Hasan Basri, sekitar 1.000 orang pemuda ber
senjatakan antara lain tombak dan bambu runcing mengepung hotel tersebut. Pasalnya
, mereka melihat, tentara Belanda bekas tahanan Jepang dan ikut menginap di hotel tersebut, berkeliaran di kota den
gan angkuh.

Rupanya tindakan pemuda tersebut mengecutkan hati tentara sekutu. Puncaknya mereka terpaksa membiarkan pemu
da tersebut menurunkan bendera Belanda dari atas hotel, kemudian menyobek warna birunya. Tak pelak lagi bender
a tersebut menjadi bendera merah putih, bendera Indonesia. Tindakan selanjutnya ada
lah mereka merampas perlengkapan militer bangsa asing yang ada di hotel tersebut untuk digunakan bagi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, diringi yel-yel, "Merdeka, merdeka!"

Pembonceng itu ternyata tidak saja Belanda sebagai anggota sekutu dan pemenang perang dunia kedua, tetapi juga o
leh kelompok tertentu dengan maksud menguasai wilayah Indonesia. Di Bengkalis, kelompok tersebut membentuk p
asukan Angkun pada pertengahan September 1945. Pasukan ini tidak saja berdatanga
n dari daerah sekitar seperti Bandul dan Sungaipakning, tetapi juga dari Semenanjung Malaya, di bawah pimpinan O
ei Tan Sia. Mereka menghukum semena-mena sejumlah tentara Jepang sehingga memunculkan amarah besar. Pasuk
an Angkun menemui Bupati Bengkalis, Datuk Ahmad, agar menyerahkan pemerintahan ke t
angan mereka. Di bawah pimpinan M. Nurdin Yusuf yang dibantu M. Syarif Harun, Ahmad Maulana, Kosen, dan R
asimin, pemuda Bengkalis menyerbu markas Angkun sekaligus melumpuhkan mereka pada 17 Oktober 1945.

Begitu pula di Bagansiapiapi, tindakan kelompok ini yang tidak menaikkan bendera merah putih di samping kanan b
endera mereka sebagaimana perjanjian sebelumnya. Setelah peringatan tidak diindahkan, pemuda merobek-robek be
ndera kelompok ini. Suasana makin tidak terkendali setelah beberapa hari kemudia
n, Kapitan Cina terbunuh di markas BKR akibat pedang seorang pemuda bernama Rifa'i Abidin. Tetapi bentrok baru
menyeruak besar-besaran pada tanggal 12 Maret 1946. Selain di Bagansiapiapi, pertempuran juga terjadi di Parittan
gko dan Simpangtukang.

B. Agresi Belanda I

Berbeda dengan pemboncengan yang dilakukan oleh kelompok yang tidak menginginkan kemerdekaaan Indonesia, t
indakan serupa juga dilakukan oleh Belanda. Tapi Belanda lebih terkonsep dan menyeluruh. Di dukung penuh oleh s
ekutu, pertempuran-pertempuran dengan Belanda tidak bisa dihindari. Kawasan-kawasan
pesisir seperti perairan di Inderagiri Hilir dan Bengkalis menjadi sasaran penyerangan Belanda sejak akhir 1945.

Di antara pertempuran yang terkenal adalah penyerangan ke Tanjungkilang pulau Durai, 20 Juli 1946. Tempat ini m
erupakan pos motor-motor patroli Belanda, berkekuatan tentara satu peleton yang bila-bila masa bisa menambah kek
uatannya dari Tanjungbatu, Kepulauan Riau. Dari pulau ini pula mereka senanti
asa berpatroli yang menghambat pelayaran di Inderagiri khususnya dari dan ke Singapura. Tokoh pejuang yang mun
cul dalam peristiwa ini antara lain Kapten Muchtar dan Letnan M. Boya.

Menurut Muchtar Lutfi dkk., (1977) berbagai perlawanan diperlihatkan rakyat Riau, apalagi setelah 27 Juli 1947, Be
landa memblokade muara-muara sungai penting seperti Siak dan Inderagiri, di samping memperkuat patroli di perair
an sepanjang pantai Timur terutama antara Panipahan sampai Kuala Enok. Ter
catat pertempuran di Tanjung Datuk, selain konfrontasi di Tanjung Layang, Perigi Raja, Sungai Belah, dan Kuala M
andah. Begitu pula tembak-menembak di pantai Bengkalis, Selatpanjang, Tanjung Samak, Tanjung Labu, dan Ketam
Putih.

Alhasil, Riau tidak dapat dikuasai Belanda pada agresi tersebut. Sebab kemerdekaan yang diperjuangkan dan diterim
a masyarakat Riau, diiringi dengan penyusunan berbagai kekuatan rakyat sejak awal. Malah, sebelum pertempuran-p
ertempuran di atas terjadi, berbagai kekuatan militer Riau sudah terkonsolid
asi. Pada bulan November 1945, Riau sudah memiliki Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin oleh Letnan I
I Hasan Basri. Badan ini terdiri atas tiga batalyon yakni Pekanbaru dipimpin oleh D.I. Panjaitan, menyusul Arifin Ac
hmad memimpin batalyon Bengkalis, sedangkan Thoha Hanafi memimpin batalyon Ind
eragiri.

BKR sebagaimana terjadi secara nasional, tidak bertahan lama, sebab kemudian diganti dengan nama Tentara Keam
anan Rakyat (TKR). Untuk Riau, TKR dinamakan Resimen IV, dipimpin Letkol Hasan Basri. Lembaga ini membaw
ahi lima batalyon. Khusus di Pekanbaru, terdapat tiga batalyon yakni Batalyon I dipimpi
n Mayor D.I. Panjaitan, Batalyon IV dipimpin Mayor Usman Pohan, ditambah Batalyon (Alteleri) V di dipimpin Ma
yor Ali Rasyid. Batalyon lain berpusat di Bengkalis (Batalyon II) dipimpin Mayor Arifin Ahmad, disusul Batalyon I
II (Rengat) dipimpin Mayor Arifin Ahmad, disusul Batalyon III (Rengat) dipimpi
n Mayor Yusuf Nur.

Tak hanya berkaitan dengan perubahan struktur, TKR senantiasa diperbaharui. Malahan sampai pada nama. Tanggal
7 Januari 1946, TKR merupakan singkatan dari Tentara Kesalamatan Rakyat. Tapi dua pekan kemudian, diubah lagi
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Berkaitan dengan itu pula komposisi pe
mimpinnya pun berubah. Misalnya, semula Arifin Achmad menjadi komandan batalyon di Bengkalis, dipindahkan s
ebagai Komandan Batalyon IV Pekanbaru, bersama D.I. Panjaitan sebagai Komandan Batalyon I Pekanbaru. Bataly
on Bengkalis kemudian dikomandani oleh Mayor Marah Halim. Komandan Batalyon III Rengat
tetap dijabat oleh Yusuf Nur. Berikutnya, TKR dengan berbagai penyempurnaan termasuk komposisinya, berubah
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

C. Agresi Belanda II

Dalam berbagai buku sejarah disebutkan bahwa agresi Belanda II ditandai dengan kejatuhan Yogyakarta sebagai pus
at Republik Indonesia ke tangan Belanda. Menjawab hal itu, Panglima Besar Sudirman mengeluarkan perintah haria
n agar rakyat Indonesia melawan agresor. Tak pelak lagi, pertempuran meletus di
mana-mana. Di Riau khususnya, akhir Desember 1948 sampai sampai awal Januari 1949, merupakan masa yang am
at mencekam. Ribuan warga tewas dalam berbagai pertempuran dengan agresor tersebut.

Berdasarkan catatan Muchtar Lutfi dkk (1977), rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan agresi Belada II, patut dia
wali dengan pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) atas inisiatif Menteri Kemakmuran Mr
Syafruddin Prawiranegara yang sekaligus menjadi pimpinannya, kebetulan sedang
berada di Bukittinggi saat Yogyakarta dikuasai musuh. Diumumkan di Bangkinang, pengelola PDRI kemudian pind
ah ke Suliki (kini di Sumatera Barat) melalui perjalanan darat Bangkinang – Teratak Buluh – Teluk Kuantan, dan Lu
buk Jambi.

Perpindahan itu menyusul semakin gencarnya Bangkinang diserang Belanda, dari darat dan udara. PDRI akhirnya m
eninggalkan Bangkinang, 30 Desember 1948, setelah memperoleh informasi bahwa Belanda yang baru saja menguas
ai Payakumbuh, bergerak ke Riau, khususnya ke Bangkinang pada 29 Desember 1948. Punc
ak serangan ke Bangkinang dilakukan hari Jumat, 31 Desember 1948, saat orang sedang melakukan sholat Jumat, de
ngan kekuatan 21 truk ditambah dua pesawat tempur yang senantiasa mondar-mandir di udara.

Pada 29 Desember 1948 itu juga, Riau pesisir terutama Bengkalis dan Selatpanjang, diserang Angkatan Laut Beland
a. Gempuran berjam-jam dari Belanda dengan kekuatan dua kapal perang Fregat, tiga kapal pendarat dan satu kapal
barang, dibantu pesawat udara, menyebabkan pasukan Indonesia di Bengkalis misalnya, terpaksa menghindar. Mere
ka bertahan di kampung-kampung, sedangkan kota telah dikuasai musuh. Tentara Indonesia memperoleh tambahan
kekuatan, ketika Letnan II Soebrantas dengan 87 anggotanya dari Rupat, mendarat di Meskom yang
langsung melakukan
konsolidasi dengan pasukan di bawah pimpinan Le
tnan Masnur dan Letnan I Iskandar.

Begitu pula Belanda, mereka juga mendatangkan bala bantuan terutama mendatangkan pesawat tempur ke Bengkalis
. Tak ayal lagi, pertempuran terjadi. Pasukan Indonesia kemudian terkonsentrasi ke Desa Pedekik. Kekompakan pas
ukan Indonesia dengan masyarakat di desa ini, menyebabkan Belanda kucar-kacir sam
pai meninggalkan Pedekik meskipun tujuh orang dari pihak pejuang dijemput ajal. Cuma sejak saat itu pula, Belanda
makin memperkatat patroli mereka atas Bengkalis yang menyebabkan TNI harus bergerilya dari kampung ke kamp
ung.

Pos Indonesia di Tanjunglayang Siak, diserang, malahan mengalami puncaknya pada 29 Desember 1949. Hal ini ber
mula dari tembak-menembak yang acapkali terjadi antara Belanda dengan tentara Indonesia di Sungaiapit di bawah
pimpinan Letnan Nasrun. Gerakan musuh memasuki Siak, dihadang tembakan TNI di ba
wah pimpinan Letnan Abbas Djamil. Tak lengah lagi, hanya berselang sehari kemudian, kota ini diserang dari udara.
Malahan sepekan kemudian, Belanda memperkuat militernya dengan mendatangkan dua kapal.

Pada 30 Desember 1948, Belanda menyerang Tembilahan. Langit kota ini dibelah oleh sebuah pesawat udara musuh
, malah menjatuhkan dua bom, setelah memutari kota berkali-kali. Beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Januari 1949,
Tembilahan diserang dari sungai, seiringan dengan munculnya empat kapal perang
musuh, beriringan dengan kemunculan dua pesawat tempur yang melakukan penembakan ke seluruh penjuru. Tak b
erhenti di sini, mereka menyerbu Perigi Raja, Kuala Enok, dan Pulau Kijang. Kedua nama tempat yang disebut terak
hir ini dipertahankan habis-habisan oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Letn
an II M. Boya. Malahan sosok pimpinan ini gugur sebagai bunga bangsa sewaktu mempertahankan Kuala Enok.

Pekanbaru juga mulai diserang dari Bangkinang pada 1 Januari 1949 yang tidak saja perang senjata, tetapi juga pera
ng urat syaraf dengan menebarkan selebaran kejatuhan Yogyakarta. Baru tanggal 4 Januari 1949 kapal-kapal Beland
a tiba di Pekanbaru, membawa dua kompi pasukan KNIL. Pasukan-pasukan Indone
sia tetap melakukan perlawanan walaupun sifatnya sporadis, sedangkan Belanda senantiasa berpatroli dengan melak
ukan pembersihan-pembersihan di sekitar kota. Pasukan-pasukan Indonesia mengepung Pekanbaru dari pinggir kota,
sehingga hubungan tentara Belanda dengan induknya di Sumbar terputus. Jalan me
nuju Sumbar dari Pekanbaru dikuasai oleh pasukan Indonesia (Taufik Ikram Jamil, dkk. 2018).

Penyerbuan besar-besaran Belanda terhadap Riau terjadi di Rengat dengan kekuatan lebih dari satu kompi, dibantu 2
-7 pesawat udara. Hal ini disebabkan asumsi musuh yang senantiasa dilayani pertempuran terbuka sejak 1946 dan dit
emuinya beberapa kapal pribumi yang membawa senjata di Sungai Inderagiri.
Selama tiga hari, langit Rengat, Airmolek dan Telukkuantan, seolah-olah dikoyak oleh pesawat musuh. Puncaknya t
anggal 5 Januari 1949, pagi sekitar pukul 07.00, dua pesawat mustang Belanda muncul dari tenggara kota. Pesawat-
pesawat tersebut menembak dan melempar granat ke kota. Penyerangan udara diir
ingi dengan penerjunan pasukan melalui tujuh pesawat Dakota.

Meskipun menggunakan senjata seadanya, tentara, polisi, dan rakyat terlihat tidak gentar menghadapi serbuan Belan
da itu. Pasukan TNI yang mempertahankan kota antara lain kompi di bawah pimpinan Letnan Darmawel Achmad, b
ahu-membahu dengan semua elemen bangsa mempertahankan Rengat. Tak sedikit korban
jiwa dari pihak musuh, tetapi dari pihak Indonesia sekitar 2.000 orang termasuk Bupati Inderagiri, Tulus. Banyaknya
korban terutama disebabkan, Belanda memang menembak secara membabi-buta tanpa memandang sasaran kawasan
militer atau sipil.

Belanda tak henti-hentinya berusaha meluluh-lantakkan Indonesia yang disambut TNI maupun masyarakat dengan p
erlawanan paripurna. Senyap beberapa bulan setelah Rengat diserbu dengan menewaskan sekitar 2.000 jiwa, Beland
a melakukan pendaratan dan pendudukan di Sungaiapit pada Maret 1949. Berkekuatan s
atu kompi, mereka mendarat yang didahului tembakan senapan mesin dan mortir dari kapal. Mampu menimbulkan k
apanikan masyarakat, mereka tidak mengejar tentara Indonesia yang berusaha bertahan di pinggir kota setelah berte
mpur sebelumnya. Sebaliknya, Belanda membuka pos-pos di dalam kota untuk berjaga
-jaga dari serangan balasan TNI (ibid).
D. Semangat Sultan

Dalam berbagai catatan, semangat kesultanan di Riau membela Indonesia tidak bisa dinafikan. Sultan Syarif Kasim I
I, pada bulan September 1946, bahkan meninggalkan Siak untuk menyerahkan Siak ke pangkuan NKRI melalui tang
an Presiden Soekarno di Yogyakarta. Tidak saja wilayah dengan kekayaan alamnya—w
aktu itu minyak sudah ditambang di Kerajaan Siak—Syarif Kasim juga menyerahkan harta pribadi senilai 13 juta gul
den. Atas pengabdiannya pula, pemerintah Indonesia telah mengangkat Sultan Syarif Kasim II sebagai pahlawan nas
ional.

Sultan Syarif Kasim II tidak hanya menyerahkan harta kerajaan dan pribadinya, tetapi juga jiwanya dengan penuh. D
ialah yang meresmikan BKR Siak didampingi permaisuri Tengku Maharatu. Malahan, Sultan pulalah yang menyem
atkan tanda pangkat anggota BKR secara simbolis. Di depan Sultan pula mereka bersu
mpah setia mempertahankan kemerdekaan RI. Semula, mereka berasal dari sejumlah barisan kelasykaran seperti Ku
cing Hitam, Hantu Kubur, Singa Belukar, Hantu Rimba, dan Tinjau Belukar.

Di hadapan pemuda yang menemuinya beberapa hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Inderagiri terakhir
, Sultan Mahmud Syah, mengatakan bahwa kerajaan Inderagiri sudah berakhir dan kini pemerintah Indonesia. Ia am
at mendukung Indonesia, termasuk usaha pemuda dalam organisasi Ikatan Anak Renga
t di bawah pimpinan Wismad Rads, mengibarkan bendera merah putih di ibu kota kerajaan Melayu terlama itu (abad
ke-15 sampai abad ke-20), Rengat. Kota ini termasuk tempat awal menerima berita kemerdekaan RI yakni tanggal 1
8 Agustus 1945. Atas sikap sultan terhadap kemerdekaan Indonesia itu, TNI membe
ri pangkat Mayor Honorair tanggal 11 Desember 1947.

Sepanjang yang dapat diamati, dengan kadar dan cara berbeda selain Siak dan Inderagiri, semua kerajaan yang masi
h ada di Riau sampai masa kemerdekaan, menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak
ada satu pun catatan sejarah yang menyatakan sebaliknya. Orang-orang di Riau tela
h membuktikan pengorbanannya dalam segala bidang sejak berabad-abad lalu seperti mengusir penjajah mulai dari
masa kolonial yang awal yakni abad ke-16 sampai mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia 1945.

Anda mungkin juga menyukai