Disusun Oleh:
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Tgl Penyusunan : 21 Mei 2021
Catatan :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………
Lensa Tipis................................................................................................................................93
(PERCOBAAN-LM1)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 12 April 2021
Nama Asisten : Mar’atus Sholikhah
(Wahyudi, 2015)
Perangkat akan dilintasi oleh potensi jatuhan yang sama dengan aliran arus pada perangkat
dikalikan dengan hambatan perangkat, hal ini dinyatakan dalam hukum Ohm
𝟏𝑽
𝟏𝛀 = 𝟏𝑨 (1.2)
Restivitas suatu materi yang dikandung oleh semua bahan adalah sama ke segala arus.
Hambatan dari perangkat tergantung pada perangkat yang dibuat oleh bahan serta geometri.
Hal ini dicirikan dengan besar melawan aliran arus. Restivitas didefinisikan dalam medan listrik
(E) dan besarnya kerapatan arus yang dihasilkan. Dengan kata lain, restivitas diartikan sebagai
ukuran kuat lemahnya suatu material yang bertentang dengan aliran arus listrik.
𝑬
𝑷= (1.3)
𝒋
(Bauer, 2011)
Arus listrik dapat dihasilkan dari suatu rangkaian dengan adanya perbedaan potensial.
Perbedaan potensial sepanjang kawat penghantar sendiri dapat dihasilkan dengan cara ujung
kawat dihubungkan dengan terminal baterai yang berlawanan kutubnya. Besarnya arus listrik
dalam kabel ditentukan dari tegangan setiap ujung kawat dan resistansi yang ada pada kawat
terhadap elektron diperhatikan. Rumus umum dalam Hukum Ohm yang lazim digunakan
adalah:
𝑽
𝑰= (1.4)
𝑹
I dalam persamaan 1.4 divariabelkan sebagai arus listrik, R sebagai reistansi dan v diartikan
sebagai perbedaan potensial kedua ujung kawat (Giancoli, 2014).
Gambar 1.1 Grafik Arus Konduktor Logam. Sumber: Giancoli, 2014.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bahwa tidak ada medan listrik di dalam
konduktor. Ketiadaan listrik di dalam konduktor iini hanya berlaku apabila konduktor berada
pada kesetimbangan yang tetap. Arus medan listrik dihasilkan oleh muatan yang bergerak
dalam konduktor dan disebut sebagai listrik non statis. Perlakuan serupa hanya berlaku apabila
rapat arus seragam dan luas penampang tegak lurus dengan arah arus. Dalam hal ini diketahui
pula bahwa rapat arus merupakan bagian dari besaran vektor. Arus listrik diistilahkan sebagai
banyaknya muatan listrik yang dialirkan sepanjang kawat penghantar per satuan waktu. Muatan
listrik dapat dialirkan dan dipindahkan sari satu tempat ke tempat lain terdapat perbedaan
potensial. Proses dialirkannya muatan listrik terjadi dari potensial tinggi ke potensial rendah.
Listrik akan dialirkan dari potensial tinggi ke potensial rendah, selaras dengan persamaan 1.4
bahwa R disebut dengan hambatan listrik. Semakin besar hambatan pada suatu arus maka
semakin sulit arus tersebut dialirkan, hal ini ditandai dengan arus listrik yang semakin kecil
(Saefullah, dkk, 2018).
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Dalam percobaan medan magnet ini, alat dan bahan yang diperlukan antara lain: dPower
Supply, Papan Rangkaian, Multimeter, Voltmeter, Amperemeter, 3 buah Resistor (220 Ohm,
300 Ohm dan 100 Ohm) dan kabel penghubung.
Power Supply dinyalakan, tegangan pada voltmeter diatur sesuai yang ditentukan.
Tegangan dinaikkan per 2 volt hingga 10 volt, nilai arus pada amperemeter setiap
perubahan dicatat kembali.
3.2 Grafik
Centroid = (𝒙
̅, 𝒚
̅)
𝒚𝟐 − 𝒚𝟏
𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝒙𝟐 − 𝒙𝟐
𝟏
𝑹=
𝒕𝒂𝒏 𝜽
𝒚 − 𝒚𝒃
𝑲𝒓 = 𝒂 × 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝒚
̅
𝟏
𝑹= = 𝟖𝟎, 𝟒𝟓 𝐎𝐡𝐦
𝟏𝟐, 𝟒𝟑 × 𝟏𝟎−𝟑
𝟏
𝑹= = 𝟏𝟖𝟑, 𝟒𝟓 𝐎𝐡𝐦
𝟓, 𝟒𝟓 × 𝟏𝟎−𝟑
𝟏
𝑹= = 𝟐𝟏𝟔, 𝟗𝟐𝐎𝐡𝐦
𝟒, 𝟔𝟏 × 𝟏𝟎−𝟑
3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum Hukum Ohm memiliki kegunaan
yang berbeda-beda. Power supply digunakan sebagai sumber tegangan yang kemudian
dialirkan pada rangkaian, Multimeter dibutuhkan untuk pengukuran arus dan tegangan, dalam
hal ini tegangan diukur dengan voltmeter sedangkan arus diukur dengan amperemeter. Terdapat
juga papan rangkaian yang digunakan sebagai bidang tempat komponen percobaan dirangkai,
tiga buah resistor dengan nilai tahanan masing-masing berbeda yaitu 100 Ohm, 220 Ohm dan
300 Ohm disediakan sebagai variabel yang akan diuji arusnya kemudian. Nilai tahanan
disengajakan berbeda sebagai varian data hasil percobaan. Setiap komponen dalam rangkaian
disambungkan dengan konektor atau kabel penghubung untuk dapat difungsikan.
Sebelum melakukan percobaan, penting agar semua alat dan bahan yang diperlukan
dalam pelaksanaan disiapkan oleh praktikan agar praktikum berjalan dengan lancar.
Selanjutnya komponen percobaan disusun sebagai rangkaian percobaan sesuai dengan
pengaturan susunan yang disediakan dalam buku pedoman praktikum, hal ini dilakukan agar
praktikum sesuai dengan ketentuan pelaksanaan yang ditetapkan laboratorium berdasarkan
prinsip percobaan. Setiap alat ukur yang akan digunakan dalam percobaan dikalibrasikan
terlebih dahulu agar kesalahan pengukuran dapat diminimalisir. Percobaan diawali dengan
langkah pertama yaitu power supply dinyalakan agar tegangan dapat dialirkan pada papan
rangkaian lewat kabel penghubung. Tegangan dari power supply diatur dengan diamatinya nilai
pada voltmeter agar sesuai dengan petunjuk pada buku pedoman praktikum. Diamati juga nilai
pada amperemeter jika tegangan sumber sudah disesuaikan, hasilnya kemudian dicatat sebagai
data hasil percobaan. Tegangan kemudian diubah dengan langkah yang sama untuk didapatnya
data hasil percobaan, langkah percobaan diberlakukan kepada resistor lainnya yang berbeda
agar didapatkan variasi data supaya akurasi percobaan lebih tinggi.
4.2 Saran
Pada saat dilakukan perhitungan dengan menggunakan grafik, diharapkan praktikan
agar lebih berhati-hati dan teliti terhadap penempatan skala dan pembacaan nilai grafiknya,
karena hal ini berpengaruh terhadap keakuratan data hasil percobaan meskipun konsep dasarnya
sudah terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
(PERCOBAAN-LM2)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 26 April 2021
Nama Asisten : Almas Bilqis Fisabila
𝑅𝑋 𝑅1 (1.2)
=
𝑅𝑆 𝑅2
𝑅1 (1.3)
𝑅𝑋 = 𝑅𝑆 ×
𝑅2
𝑉𝑇ℎ (1.4)
𝐼=
𝑅𝑇ℎ + 𝑅𝑚
Photocell Kadmium Sulfida (CdS) yang memiliki nama lain LDR merupakan
sebuah sensor resistif yang pasif yang dapat mengubah perubahan intensitas cahaya
menjadi perubahan hambatan. LDR memiliki kegunaan untuk memantau dan mengukur
intensitas cahaya. Berikut ini adalah gambar LDR jika dihubungkan dengan rangkaian
jembatan Wheatstone (Setiyo, 2017).
Kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser dari
titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di
angka nol.
Nilai RS, L1, dan L2 dicatat. Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik
dimana kontak K berfungsi. Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone
yang dikurang dengan panjang L1.
Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2 dan
panjang L1 dan L2 nya dicari kembali.
Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A, power supply
dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas B.
3.1.1 RX1
3.1.2 RX2
3.1.3 RX3
3.2 Perhitungan
3.2.1 RX1
Polaritas A Polaritas B
No
𝑹𝑿 (𝒌𝜴) |𝑹𝑿 − ̅̅̅̅
𝑹𝑿 |𝟐 𝑹𝑿 (𝒌𝜴) |𝑹𝑿 − ̅̅̅̅
𝑹𝑿 |𝟐
1 1,04612903 0,004033229 1,04612903 0,00374096
2 1 0,000302018 1 0,00022603
3 0,97933884 1,07747E-05 0,97933884 3,1661E-05
4 0,98507463 6,01871E-06 0,98507463 1,1877E-08
5 0,9025641 0,006409158 0,91428571 0,00499565
3.2.1.1 Polaritas A
𝐿2 0,69
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,04612903 Ω
𝐿1 0,31
𝐿2 0,5
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× =1Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,395
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 0,97933884 Ω
𝐿1 0,605
𝐿2 0,33
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 0,98507463 Ω
𝐿1 0,67
𝐿2 0,22
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 0,9025641 Ω
𝐿1 0,78
∑𝑅𝑥1 4,9131066
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 0,98262 Ω
𝑛 5
∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,01076
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,05187 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,05187
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 5,28%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 0,98262
3.2.1.2 Polaritas B
𝐿2 0,69
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,04612903 Ω
𝐿1 0,31
𝐿2 0,5
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× =1Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,395
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 0,97933884 Ω
𝐿1 0,605
𝐿2 0,33
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 0,98507463 Ω
𝐿1 0,67
𝐿2 0,22
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 0,9025641 Ω
𝐿1 0,77
∑𝑅𝑥1 4,9131066
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 0,98496564 Ω
𝑛 5
∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,01076
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,04742 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,05187
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 4,81%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 0,98262
3.2.2 RX2
Polaritas A Polaritas B
No
𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2 𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2
1 1,3377 0,042619338 1,57347826 0,00908568
2 1,5 1,07071891 1,56410256 0,00738622
3 1,5 0,099379105 1,5 0,00047701
4 1,47826087 0,086145412 1,50877193 0,00093712
5 1,40431655 0,048207061 1,24444444 0,0546227
3.2.2.1 Polaritas A
𝐿2 0,74
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,3377 Ω
𝐿1 0,26
𝐿2 0,6
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 1,5 Ω
𝐿1 0,4
𝐿2 0,5
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,5 Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,425
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 1,47826087 Ω
𝐿1 0,575
𝐿2 0,305
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,40431655 Ω
𝐿1 0,695
∑𝑅𝑥 7,22027
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 1,44405 Ω
𝑛 5
∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,020321
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,07128 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,58032
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 4,93%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 1,18475
3.2.2.2 Polaritas B
𝐿2 0,77
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,57347826 Ω
𝐿1 0,23
𝐿2 0,61
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 1,56410256 Ω
𝐿1 0,39
𝐿2 0,5
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,5 Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,43
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 1,50877193 Ω
𝐿1 0,57
𝐿2 0,28
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,24444444 Ω
𝐿1 0,72
∑𝑅𝑥 7,3907972
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 1,47816 Ω
𝑛 5
̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,072508
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,13464 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,13464
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 9,11%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 1,47816
3.2.3 RX3
Polaritas A Polaritas B
No
𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2 𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2
1 2,14111111 0,00130396 2,14111111 0,01366463
2 2,03030303 0,005579746 2,03030303 3,706E-05
3 1,98837209 0,013602238 1,98837209 0,00128474
4 2 0,011025152 2 0,00058638
5 2,36521739 0,067712713 1,96129032 0,00395955
3.2.3.1 Polaritas A
𝐿2 0,82
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 2,14111111 Ω
𝐿1 0,18
𝐿2 0,67
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 2,03030303 Ω
𝐿1 0,33
𝐿2 0,57
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,98837209 Ω
𝐿1 0,43
𝐿2 0,5
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× =2Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,425
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 2,36521739 Ω
𝐿1 0,575
∑𝑅𝑥 10,525
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 2,105 Ω
𝑛 5
̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,099223
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,1575 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,1575
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 7,48%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 2,105
3.2.3.2 Polaritas B
𝐿2 0,82
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 2,14111111 Ω
𝐿1 0,18
𝐿2 0,67
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 2,03030303 Ω
𝐿1 0,33
𝐿2 0,57
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,98837209 Ω
𝐿1 0,43
𝐿2 0,5
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× =2Ω
𝐿1 0,5
𝐿2 0,38
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,96129032 Ω
𝐿1 0,62
∑𝑅𝑥 10,121
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 2,024 Ω
𝑛 5
̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,01953
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,06988 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,06988
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 3,45%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 2,024
Setiap alat yang digunakan tentunya terdapat fungsi dan kegunaannya masing –
masing. Alat – alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, galvanometer,
power supply, papan hambatan, kabel penghubung, bangku jembatan wheatstone,
beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (RX), dan sebuah hambatan
standar yang diketahui nilainya (RS). Galvanometer berfungsi sebagai pendeteksi dan
pengukur arus skala kecil pada rangkaian jembatan wheatstone. Power supply
digunakan sebagai sumber energi berupa tegangan dan arus pada rangkaian. Papan
hambatan berfungsi sebagai media atau tempat disusunnya hambatan-hambatan standar
dan hambatan yang akan dicari nilainya. Kabel penghubung digunakan sebagai
perantara atau penghubung antar peralatan praktikum. Lalu, bangku jembatan
wheatstone yang berfungsi sebagai media untuk digeser – gesernya kontak geser agar
didapatkan nilai L1 dan L2. Serta beberapa buah hambatan standar (RS) dan hambatan
yang dicari nilainya (RX) yang berfungsi sebagai variabel bebas dan variabel yang dicari
nilainya.
Tiap langkah – langkah yang dilakukan tentu terdapat maksud dan tujuannya
masing – masing. Langkah pertama yaitu, Rangkaian disusun sesuai dengan gambar
yang ada di diktat supaya praktikum dapat dilaksanakan dengan benar. Lalu, power
supply dinyalakan dan diatur agar rangkaian dapat teraliri tegangan dan arus listrik.
Kemudian, kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser
dari titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di angka
nol supaya angka nol dapat ditunjukkan oleh galvanometer, dimana keadaan ini adalah
keadaan jembatan wheatstone yang seimbang. Setelah itu, nilai RS, L1, dan L2 dicatat.
Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik dimana kontak K berfungsi.
Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone yang dikurang dengan panjang L1.
Hal ini dilakukan supaya data – data yang diperlukan dalam analisis perhitungan dapat
diperoleh. Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2
dan panjang L1 dan L2 nya dicari kembali agar diperoleh variasi data dengan diubah-
ubahnya hambatan standar. Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A,
power supply dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas
B agar diperoleh variasi data dan hasil perhitungan ketika berbeda kutub dapat diketahui.
Power supply dinyalakan kembali dan langkah – langkah sebelumnya diulangi dengan
cara yang sama. Setelah data dari RX1 polaritas A dan B sudah diperoleh, data – data
pada RX2 dan RX3 dicari dengan langkah – langkah yang sama. Kedua hal ini dilakukan
supaya nilai hambatan – hambatan yang dicari dapat diketahui dengan benar karena
sesuai dengan petunjuk praktikum.
Pada praktikum kali ini, diperoleh data-data yang bervariasi dan beberapa grafik
yang dapat dianalisis. Dapat diamati bahwa, RX1 memiliki nilai rata-rata RX terkecil dan
RX3 memiliki nilai rata-rata RX terbesar. Faktor utamanya adalah terletak pada panjang
L2 dan L1, dimana kedua variabel ini terlibat dalam perhitungan RX, yaitu perbandingan
antara L2 dengan L1. Dapat dipastikan bahwa, data-data ini sesuai dengan literatur atau
teori yang ada. Karena menurut teori jembatan wheatstone, nilai suatu hambatan yang
dicari (RX) akan berbanding lurus dengan panjang L2, hambatan standar (RS), dan
berbanding terbalik dengan panjang L1. Selain itu, persentase Kr yang diperoleh dari
percobaan RX1 hingga RX3 baik itu polaritas A maupun polaritas B masih terhitung kecil
dan cukup teliti dikarenakan tidak ada yang melebihi 10%. Hal ini disebabkan oleh
minimnya kesalahan pengukuran baik itu human error maupun kesalahan pada
instrumen/alat ukur. Di lain sisi, dari praktikum ini telah diperoleh 6 buah grafik yang
membandingkan antara 1/RS dengan L2/L1. Dari ke-6 grafik tersebut, bentuk dan
polanya sama, yaitu naik secara konstan. Selain itu, semuanya memiliki selisih
perbedaan nilai yang signifikan pada sumbu x dari data pengukuran pertama ke
pengukuran kedua. Dimana, selisihnya lebih dari 1 satuan hambatan, sedangkan selisih
antar data nilainya hanya berada di kisaran nol koma. Jadi, grafik – grafik ini sudah
sesuai dengan literatur/teori yang berlaku. Hanya saja, persentase Kr yang didapatkan
sangat berbeda dengan Kr pada analisis perhitungan. Nilai terkecil terdapat pada RX1
polaritas A dan polaritas B dengan kisaran 19%. Persentase Kr dengan metode grafik,
nilainya jauh lebih besar yang berarti terdapat kesalahan pengukuran ataupun
perhitungan yang cukup fatal. Baik itu human error ataupun error pada alat ukur.
Terlebih, analisis dengan metode grafik ini benar-benar mengandalkan kemampuan
visual dari pengamat/praktikan, sehingga hasil akhir grafik pada tiap pengamat tentunya
tidak akan sama. Hal inilah yang membuat metode grafik merupakan metode yang tidak
pasti untuk digunakan dalam analisis.
Kelebihan dari topik jembatan wheatstone ini adalah perubahan nilai hambatan
pada suatu penghantar dapat dengan mudah untuk diukur dan dideteksi, walaupun
perubahannya kecil sekalipun. Selain itu, jembatan wheatstone memiliki tingkat
ketelitian yang tinggi dalam pengukurannya. Sayangnya, topik ini juga memiliki
kekurangan, yaitu kurang praktis untuk digunakan dalam pengukuran hambatan jika
dibandingkan dengan alat ukur ohmmeter maupun multimeter yang lebih mudah untuk
digunakan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan praktikum Jembatan wheatstone ini diharapkan dasar
pengukuran pada hambatan listrik dengan metode arus nol dapat dijelaskan dan nilai
pada suatu hambatan listrik dengan digunakannya metode jembatan Wheatstone dapat
ditentukan oleh praktikan. Dapat pula ditentukannya nilai hasil koefisien pada nilai
resistansi yang telah didapatkan pada hasil perhitungan. Berdasarkan pada perhitungan
tersebut didapatkan nilai rata-rata RX1, RX2, dan RX3 dengan polaritas A dan B namun
nilai hasil yang didapatkan itu berbeda-beda tiap polaritas dikarenakan bedanya panjang
pada saat pengukuran di kawat homogen. Berdasarkan pada grafik nilai rata-rata yang
didapatkan berbeda dengan perhitungan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya
ketelitian pada saat pembuatan grafik.
4.2 Saran
Schultz, M. E. 2016. Grob’s Basic Electronics. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill
Education
Setiyo, M. 2017. Listrik & Elektronika Dasar Otomotif (Basic Automotive Electricity &
Electronics). Edisi Pertama. Magelang: UNIMMA PRESS
LAMPIRAN
(Schultz, 2016).
(Schultz, 2016).
(Alexander & Sadiku, 2013).
(Setiyo, 2017).
(Setiyo, 2017).
Data Hasil Percobaan
Posttest
Tugas Pendahuluan
(PERCOBAAN-LM4)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 15 Maret 2021
Nama Asisten : Muhammad Zainurrahman
1.1 Tujuan
Tujuan dari diadakannya praktikum “Medan Magnet” ini adalah agar ke depannya setelah
praktikum ini dilaksanakan, hukum Biot-Savart untuk lilitan kawat dan solenoid dapat dijelaskan
oleh praktikan. Selain itu setelah praktikum ini juga diharapkan kuat medan magnet disekitar
selenoid dapat diukur oleh praktikan.
𝐹⃗𝐵 = 𝑞𝑣⃗ × 𝐵
⃗⃗ 1.1
Artinya, gaya pada partikel sama dengan muatan q kali produk silang kecepatan dan bidang (semua
diukur dalam bingkai referensi yang samauntuk produk silang, besarnya dapat ditulis sebagai
berikut.
𝐹𝐵 = 1 (∮ 𝑑𝑠 ) × 𝐵 1.3
Coulumb per detik didefinisikan sebagai satu amper, maka dapat diperoleh :
𝑁
1 T = 1𝐴.𝑚 1.4
(Fatwmaryanti, 2019).
BAB II
METODOLOGI
B (mT)
No S (cm) Koil Solenoid
0,5 A 1A 0,5 A 1A
1 10 0,10 0,7 0,75 0,89
2 8 0,23 1,1 1,1 1,37
3 6 0,42 1,9 1,9 1,77
4 4 0,55 2,4 2,3 2,33
5 2 0,80 2,97 2,89 2,52
6 0 1 3,5 3,5 2,75
7 -2 0,78 3 3,2 2,58
8 -4 0,55 2,45 2,5 2,25
9 -6 0,45 1,99 2 1,78
10 -8 0,27 0,96 0,97 1,3
11 -10 0,15 0,69 0,7 0,9
3.2 Grafik
a. Koil 0,5 A
Grafik Medan Magnet pada
koil berarus 0,5 A
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15
b. Koil 1 A
c. Solenoid 0,5 A
3,00
2,00
1,00
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15
d. Solenoid 1 A
Grafik Medan Magnet pada
Selonoid berarus 1 A
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15
3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Pada praktikum kali ini alat-alat yang digunakan yakni gaussmeter, power supply,
amperemeter/ multimeter, dua buah solenoid, penggaris, beberapa kabel peghubung, probe. Power
supply dalam praktikum ini digunakan sebagi pemberi sumber arus yang berupa arus AC bukan
DC. Solenoid, dalam praktikum ini dibutuhkan 2 buah solenoid, berfungsi sebagai objek yang akan
diukur atau sebagai penghasil energi listrik bertegangan tinggi yang dialiri arus listrik oleh power
supply. Berikutnya adalah gaussmeter digunakan sebagai alat ukur besarnya medan magnet. Alat
berikutnya yaitu amperemeter berfungsi sebagai alat ukur kuat arus. Kabel penghubung digunakan
sebagai penghubung antar komponen agar bisa berfungsi dan membentuk suatu rangkaian.
Kemudian probe, yang berfungsi sebagai reseptor dari gaussmeter agar dapat diukur besarnya
medan magnet. Dan yang terakhir yaitu mistar/ penggaris sebagai alat ukur jarak koil dari titik 0
kepenambahan 2-10 cm dan pengurangan 2-10 cm.
Fungsi perlakuan dalam praktikum kali ini yaitu yang pertama sebelum dimulainya
praktikum disiapkan alat dan bahan agar praktikum dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya
gaussmeter dikalibrasikan terlebih dahulu agar tidak adanya akumulasi data pengukkuran dan
didapatkan data yang valid. Kemudan power supply diatur dengan arus 0,5 A dan 1 A agar didapat
aliran arus pada solenoid yang dapat terbaca pada gaussmeter. Medan magnet diukur pada beberapa
variasi jarak dengan digerakkan maju dan mundur agar nantinya didapatkan perbandingan besarnya
medan magnet dengan beberapa jarak. Terakhir percobaan diulangi untuk beberapa arus yang
berbeda agar didapat variasi data dan nantinya dapat dibandingkan satu sama lain.
3.3.2 Analisa Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada koil dan solenoid didapatkan beberapa
variasi jarak dengan dialiri arus 0,5 A dan 1A dan hasil kuat medan magnet sehingga didapatkan
beberapa data hasil percobaan dengan interval jarak 0-10 cm dan 0-(-10) cm. Untuk hasilnya
sendiri dapat dilihat bahwa pada koil dan solenoid apabila jaraknya semakin jauh dari titik 0 atau
titik tengah maka kuat medan magnetnya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang sudah
dikaji sebelumnya. Literatur tersebut menyatakan bahwa “ pada bagian tengah terdapat arah
medan magnet yang ukurannya besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan medan magnet
di bagian tengah lebih besar dibandingkan bagian luar” (Sudharma dkk, 2016). Untuk hasil
perbandingan kuat medan magnet pada koil dan solenoid juga sudah sesuai dengan literatur, dapat
dilihat bahwa kuat medan magnet pada solenoid nilainya lebih besar dari pada yang terdapat pada
koil. Dalam literatur dijelaskan bahwa “Semakin banyak lilitan kawat tembaga pada paku, semakin
kuat medan magnetnya. Sehingga menghasilkan tarikan yang lebih kuat pula” (Ardiansyah, 2019).
Untuk hasil kuat medan magnet pada koil dengan arus 0,5 A dan 1 A sudah sesuai literatur, namun
pada solenoid tidak sesuai, diketahui bahwa hasil kuat medan magnet pada solenoid dengan arus
0,5 A pada jarak 0-6 cm dan 0-(-4) cm lebih besar daripada yang terdapat di solenoid dengan arus
1 A. Dalam literatur dijelaskan bahwa “perubahan kuat arus akan mengakibatkan perubahan
medan magnet, dengan ditambahkan kuat arus pada alat maka besarnya medan magnet dapat
meningkat “ (Muliawan, 2015). Dengan demikian dapat digarisbawahi oleh praktikan bahwasanya
data yang diperoleh sangat bervariatif, dan terdapat ketidaksesuaian beberapa data karena tentunya
terdapat faktor penunjang yang mungkin terjadi pada saat praktikum berlangsung di antaranya
kesalahan dalam melakukan pengukuran, kesalahan ini di sebabkan karena kesalahan dalam
membaca skala, kurang terampil dalam menyusun alat, kesalahan kalibrasi dan kesalahan mata
dalam melakukan pengamatan.
Dari grafik yang telah didapatkan dengan nilai S (jarak) sebagai sumbu x sedangkan 𝐵 (kuat
medan) sebagai sumbu y. Pada koil dengan arus 0,5 A nilai tertinggi ada pada jarak 0 cm dengan
kuat medan magnet sebesar 1 mT, sedangkan nilai terendah ada pada jarak 10 cm dan (-10)cm
dengan nilai sebesar 0,10 mt dan 0,15 mT. Pada koil dengan arus 1 A nilai tertinggi ada pada jarak
0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 1 mT, sedangkan nilai terendah ada pada jarak 10 cm dan
(-10)cm dengan nilai sebesar 0,7 mT dan 0,69 mT. Pada solenoid dengan arus 0,5 A nilai tertinggi
ada pada jarak 0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 3,5 mT, sedangkan nilai terendah ada pada
jarak 10 cm dan (-10)cm dengan nilai sebesar 0,75 mt dan 0,7 mT. Pada solenoid dengan arus 1 A
nilai tertinggi ada pada jarak 0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 2,75 mT, sedangkan nilai
terendah ada pada jarak 10 cm dan (-10)cm dengan nilai sebesar 0,89 mt dan 0,9 mT. Untuk
hasilnya sendiri dapat dilihat bahwa pada koil dan solenoid apabila jaraknya semakin jauh dari titik
0 atau titik tengah maka kuat medan magnetnya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang
sudah dikaji sebelumnya. Literatur tersebut menyatakan bahwa “ pada bagian tengah terdapat
arah medan magnet yang ukurannya besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan medan
magnet di bagian tengah lebih besar dibandingkan bagian luar” (Sudharma dkk, 2016).
Pada tahun 1600 oleh seorang ilmuan sains terkemuka di Inggris bernama William Gilbert
menemukan medan magnet. Gilbert beranggapan bahwa Bumi berfungsi sebagai batang magnet
raksasa yang memengaruhi semua benda magnet di Bumi. Dilansir dari NASA inti Bumi adalah
electromagnet padat yang dikelilingi inti cair (besi dan nikel cair) yang di dalamnya mengalir arus
listrik. Arus listrik pada inti cair ini menyebabkan medan magnet bumi yang sangat kuat mencakup
seluruh bumi juga luar angkasa di sekitarnya. Magnet memiliki sifat tarik-menarik saat berhadapan
dengan kutub yang berbeda, dan memiliki sifat tolak-menolak saat berhadapan dengan kutub yang
sama. Sehingga kutub utara magnet akan selalu menghadap ke arah utara Bumi karena tertarik oleh
kutub magnet selatan Bumi. Sebaliknya kutub selatan Bumi sebenarnya adalah kutub magnet utara
Bumi, sehingga kutub selatan benda magnet selalu tertarik ke arah selatan.
Sejarah medan magnet dimulai pada tahun 1820 seorang ilmuan Denmark Hans Christian
Oersted (1777-1857) menemukan suatu gejala yang menarik. Dalam percobaannya, ia
menggunakan sebuah kompas jarum untuk menunjukkan bahwa ketika arus listrik mengalir pada
seutas kawat, jarum kompas yang diletakkan pada daerah medan magnetik yang dihasilkan oleh
kawat berarus menyebabkan jarum kompas menyimpang dari arah utara ke selatan. Kemudian
disimpulkan bahwa di sekitar kawat berarus timbul medan magnet. Medan magnet oleh kawat
berarus inilah yang dinamakan dengan induksi magnet. Hasil dari percobaan Oersted yaitu ketika
paku didekatkan pada kompas, maka jarum kompasnya menyimpang ke arah utara. arah utara dapat
diibaratkan dengan arah ibu jari (arah arus listrik) atau searah dengan katoda (+) baterai, dan kutub
selatan sesuai dengan anoda (-) pada baterai. Ini menujukkan bahwa medan magnet memiliki arah
uatara dan selatan yang mengarah keluar dan kedalam kutub (Giancoli, 2001).
Arah Induksi Magnetik di Sekitar Kawat Berarus Listrik (koil dan solenoid). Cara
menentukan arah garis medan-medan magnet di sekitar kawat berarus listrik adalah dengan
menggunakan kaidah putaran tangan kanan yaitu sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kaidah Tangan Kanan pada Kawat Lurus Berarus
Genggam kawat lurus dengan tangan kanan sedemikian hingga ibu jari menunjukkan arah
kuat arus listrik. maka arah putaran keempat jari yang dirapatkan akan menyatakan arah lingkaran
garis-garis medan magnetic. Atau, apabila kawat berbentuk lingkaran maka arah putaran keempat
jari yang dirapatkan akan menunjukkan arah putaran arus listrik, demikian sehingga ibu jari
menyatakan arah garis-garis medan magnetic.
Aplikasi medan magnet dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama,
pengeras suara atau loudspeaker merupakan kombinasi magnet permanen dan elektromagnetik,
mengubah energi listrik atau sinyal ke energi mekanik yang bisasa disebut suara. Elektromagnetik
terdiri dari kumparan yang disebut dengan voice coil untuk membangkitkan medan magnet dan
berinteraksi dengan magnet permanen sehingga menggerakan cone speaker maju serta mundur
sehingga menghasilkan suara yang bisa didengar. Kedua, kompas adalah alat penunjuk arah mata
angin yang biasa digunakan oleh banyak orang khususnya pada daerah hutan dan pegunungan.
Kompas dapat bekerja mengarahkan mata angin dengan bantuan kompas Di dalam kompas terdapat
magnet berbentuk jarum yang selalu menunjukkan arah utara dan selatan. Sehingga dapat
digunakan untuk menunjukkan arah mata angin. Ketiga, dinamo sepeda didalam dinamo sepeda
terdapat sebuah magnet yang dapat berputar dan sebuah kumparan tetap. Bila roda sepeda berputar,
kepala dinamo akan ikut berputar, akibat perputaran kepala dinamo yang dihubungkan dengan
magnet menyebabkan induksi elektromagnetik sehingga menghasilkan energi listrik.
Solenoida adalah induktor yang terdiri gulungan kawat yang kadang di dalamnya
dimasukkan sebuah batang besi berbentuk silinder sebagai dengan tujuan memperkuat medan
magnet yang dihasilkannya. Solenoida digunakan dalam banyak perangkat elektronika seperti bel
pintu atau pengeras suara. Secara skematik bentuk dari solenoida dapat dilihat pada gambar 3.2 di
mana solenoida terdiri dari n buah lilitan kawat berarus listrik I, medan magnet yang dihasilkan
memiliki arah seperti pada gambar, di mana kutub utara magnet mengikuti aturan tangan kanan 1.
𝜇0 2𝜋𝐼𝑅 2
𝑑𝐵𝑥 = 3 𝑑𝑥 3.1
4𝜋
(𝑥 2 + 𝑅 2 )2
Jika solenoida memiliki panjang L yang terdiri dari N buah lilitan, maka jumlah lilitan persatuan
panjang sebut saja n adalah n=N/L. Maka jika kita jumlahkan seluruh lilitan sebanyak ndx, kita
harus melakukan integrasi untuk seluruh dx dari –x1 ke x2 :
𝑥2
𝜇0 1
𝑑𝐵𝑥 = 2𝜋𝐼𝑅 2 ∫ 3 𝑑𝑥 3.2
4𝜋 −𝑥1 (𝑥 2 + 𝑅 2 )2
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah praktikum dilaksanakan, didapatkan suatu kesimpulan bahwa yang pertama yaitu
dapat dijelaskannya oleh praktikan mengenai hukum Biot-Savart untuk lilitan kawat dan solenoid.
Hukum Biot-Savart tersebut berbunyi “Gaya akan dihasilkan oleh arus listrik yang mengalir pada
suattu penghantar yang berada diantara medan magnetik” Yang kedua, kuat medan magnet
disekitar solenoid dapat diukur oleh praktikan. Nilai tertingginya ada pada jarak terdekat atau
dipusatnya yaitu 0 cm, dan semakin jauh jaraknya maka akan semakin kecil kuat medan
magnetnya.
4.2 Saran
Sebelum dilakukan praktikum, sebaiknya untuk dipelajari materi yang berkaitan dengan
praktikumnya, agar meminimalisir terjadinya kesalahan. Kemudian harus dipahami setiap fungsi
alat, serta kalibrasi alat yang diperlukan sebelum praktikum dilaksanakan. Pada saat praktikum,
sebaiknya dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Kemudian pada saat perhitungan praktikan juga
harus teliti agar data yang akurat dapat dihasilkan, dan jangan lupa kalibrasi alat sebelum
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, Abd Aziz. 2019. Medan Magnet. Jurnal Fisika Sekolah 3. 1(1): 1-6.
Fatmaryanti, Siska D. 2019. Buku ajar fisika dasar kemagnetan. Deepublis. Jakarta.
Giancoli, Douglas. C. 2001. Fisika Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Halliday and Resnick. 2013. Fundamental of Physics 10th Edition. John Wiley and Sons. New
York.
Muliawan, A. 2015. Studi Penurunan Kadar Logam Besi (Fe) Dan Logam Mangan (Mn) Pada
Lempung Terhadap Perubahan Arus Listrik Dalam Solenoida. Jurnal Dinamika. 6(2):1-8.
Serway and Jewett. 2013. Physics for Scientist and Engineers with Modern Physics. Brooks/Cole
Cengage learning. Belmont.
Sudharma dkk. 2016. Distribusi Medan Magnet Pada Solenoid. Jurnal Pembelajaran Fisika.
5(3):305-308.
LAMPIRAN
Jarak tegak lurus titik P ke kawat adalah α dan proyeksi vector 𝑟⃗ sepanjang kawat adalah L.
Jarak tegak lurus titik P ke kawat adalah α dan proyeksi vector 𝑟⃗ sepanjang kawat adalah L
Tampak dari Gambar diatas bahwa
𝑟 = √𝐿2 + 𝛼 2 (1.1)
𝛼
sin 𝜃 = (1.2)
𝑟
𝜇0 𝑑𝑙𝑟 2
𝑑𝐵 = 4𝜋𝑟 2
𝜇0 𝑙𝑑1
= 4𝜋 𝑟 2
𝑑𝐵𝑥 = 𝑑𝐵 cos 𝜃
𝜇0 𝑑𝑙 1
= 1
𝑑 𝑟 2 𝑠 |𝑟 2
+ 𝑠 2 |2
𝑑𝐵𝑥 = 𝑑𝐵 sin 𝜃
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 1
= 1
4𝜋 𝑟 2 +𝑠2 (𝑟 2
+ 𝑠 2 )2
Komponen tegak lurus saling meniadakan dB
𝑠𝜇0 𝐼 𝑎𝑑𝑙
• 𝐵= 1
4𝜋
(𝑟 2 + 𝑠2 )2
𝜇0 𝐼
= 2 ∫ 𝑑𝑙
4𝜋(𝑟 2 + 𝑠2 )3
𝜇0 𝐼𝑎2
• 𝐵= 3
2(𝑠2 + 𝑠2 )2
(PERCOBAAN-LM5)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 29 Maret 2021
Nama Asisten : Daniel Tohari
Diperlukan diagram fasor agar dapat menganalisis rangkaian ini yang memiliki
arus dan tegangan fasor pada tiap komponennya. Berdasarkan Hukum Kirchoff,
tegangan sesaat rangkaian akan setara dengan tegangan total pada tiap komponennya.
Beda tegangan yang dihasilkan oleh resistor akan berbanding lurus dengan arus yang
mengalirinya yang dapat dinyatakan dengan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):
𝑉𝑅 = 𝐼𝑅 (1.1)
Tegangan pada induktor mendahului arus sebesar 90o yang secara matematis
dapat dinyatakan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):
𝑉𝐿 = 𝐼𝑋𝐿 (1.2)
Tegangan pada kapasitor tertinggal oleh arus sebesar 90o yang persamaannya
dapat dinyatakan dengan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):
𝑉𝐶 = 𝐼𝑋𝐶 (1.3)
Dari diagram fasor, dapat disimpulkan bahwa vektor hasil penjumlahan antara
amplitudo tegangan ∆𝑉𝑅 , ∆𝑉𝐿 , 𝑑𝑎𝑛 ∆𝑉𝐶 akan setara dengan panjang fasor atau tegangan
maksimum dan membentuk sudut 𝜙 dengan arus fasor Imax. Secara matematis dapat
dinyatakan dengan (Serway & Jewett, 2018):
Oleh karena itu, dapat diperoleh persamaan baru yang menyatakan arus
maksimum (Serway & Jewett, 2018):
∆𝑉𝑚𝑎𝑥 (1.5)
𝐼𝑚𝑎𝑥 =
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2
𝑍 = √𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 (1.6)
Arus rms pada rangkaian RLC yang disusun seri dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Giancoli, 2014):
1 (1.8)
2𝜋𝑓𝐿 − =0
2𝜋𝑓𝐶
Jika persamaan 1.8 ini diselesaikan, maka akan diperoleh nilai f yang dapat
disebut dengan 𝑓0 (Giancoli, 2014):
(1.9)
1 1
𝑓0 = √
2𝜋 𝐿𝐶
Gambar 1.2 Arus pada rangkaian RLC yang sebagai fungsi dari frekuensi (Giancoli,
2014).
METODOLOGI
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, sinyal
generator, induktor, osciloscope, tahanan karbon, kapasitor, amperemeter/multimeter,
dan kabel penghubung.
Alat – alat dirangkai sebagaimana yang ada di buku pedoman praktikum, dimana
komponen induktor, kapasitor, dan tahanan karbon disusun secara seri.
Kemudian, kapasitor diatur pada nilai 50 𝜇𝐹 dan resistansinya diatur sebesar 100
Ω.
Lalu, oscilloscope dan sinyal generator dinyalakan dan nilai div diambil dari
frekuensi sebesar 20.000 Hz.
Frekuensi diatur sebesar 20.000 Hz dan Volt/div pada oscilloscope diatur sebesar
5.
Gelombang yang terbentuk pada oscilloscope diamati dan nilai div dari amplitudo
gelombang dicatat.
Langkah – langkah percobaan ini diulangi untuk nilai frekuensi yang berbeda.
BAB III
𝑅 = 100 Ω
𝐶 = 50 𝑛𝐹
𝐿 = 0,00017 𝐻
3.2 Perhitungan
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃1 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,6 × 5 = 13 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃2 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃3 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 3 × 5 = 15 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃4 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,6 × 5 = 13 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃5 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃6 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑉𝑃𝑃1 13
𝑉𝑅𝑀𝑆1 = = = 9,192388 V
√2 √2
𝑉𝑃𝑃2 14
𝑉𝑅𝑀𝑆2 = = = 9,899495 V
√2 √2
𝑉𝑃𝑃3 15
𝑉𝑅𝑀𝑆3 = = = 10,6066 V
√2 √2
𝑉𝑃𝑃4 13
𝑉𝑅𝑀𝑆4 = = = 9,192388 V
√2 √2
𝑉𝑃𝑃5 14
𝑉𝑅𝑀𝑆5 = = = 9,899495 V
√2 √2
𝑉𝑃𝑃6 14
𝑉𝑅𝑀𝑆6 = = = 9,899495 V
√2 √2
1 1
𝑋𝐶1 = = = 0,04683402 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 20000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶2 = = = 0,03122268 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 30000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶3 = = = 0,02341701 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 40000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶4 = = = 0,01873361 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 50000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶5 = = = 0,01561134 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 60000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶6 = = = 0,01338115 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 70000 × 0,00017
𝑉𝑅𝑀𝑆1 𝑉𝑅𝑀𝑆1
𝐼𝑅𝑀𝑆1 = = = 0,0919238 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,00628 − 0,04683402)2
𝑉𝑅𝑀𝑆2 𝑉𝑅𝑀𝑆2
𝐼𝑅𝑀𝑆2 = = = 0,098994947 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,00942 − 0,03122268)2
𝑉𝑅𝑀𝑆3 𝑉𝑅𝑀𝑆3
𝐼𝑅𝑀𝑆3 = = = 0,106066017 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,01256 − 0,02341701)2
𝑉𝑅𝑀𝑆4 𝑉𝑅𝑀𝑆4
𝐼𝑅𝑀𝑆4 = = = 0,091923882 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,0157 − 0,01873361)2
𝑉𝑅𝑀𝑆5 𝑉𝑅𝑀𝑆5
𝐼𝑅𝑀𝑆5 = = = 0,098994949 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,01884 − 0,01561134)2
𝑉𝑅𝑀𝑆6 𝑉𝑅𝑀𝑆6
𝐼𝑅𝑀𝑆6 = = = 0,098994949 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,02198 − 0,01338115)2
3.3 Grafik
Untuk tiap alat dan bahannya pasti terdapat fungsinya masing – masing. Sinyal
generator berfungsi sebagai sumber tegangan AC pada rangkaian. Induktor berguna
sebagai penyerap daya pada rangkaian jika terdapat penyimpanan energi oleh induktor
dan sebagai tempat disimpannya energi magnet oleh kumparan yang ada di dalamnya.
Oscilloscope digunakan sebagai instrumen agar gelombang yang dihasilkan dapat
diamati dan sebagai alat ukur pada pengukuran div pada rangkaian RLC. Tahanan
karbon berfungsi sebagai penghambat arus listrik atau hambatan pada rangkaian.
Kapasitor digunakan agar terdapat komponen yang bertindak sebagai penyimpan arus
atau tegangan listrik dan sebagai konduktor pada arus AC dan sebagai sumber nilai dari
reaktansi kapasitif. Amperemeter/multimeter berfungsi sebagai pengatur besar kecilnya
nilai frekuensi pada rangkaian. Serta, kabel penghubung berfungsi sebagai perantara
atau penghubung antar alat satu sama lainnya.
Setiap langkah tata laksana percobaan, tentunya terdapat maksud dan tujuannya
masing – masing. Langkah yang pertama yaitu, alat – alat dirangkai sebagaimana yang
ada di buku pedoman praktikum, dimana komponen induktor, kapasitor, dan tahanan
karbon disusun secara seri agar percobaan dapat berjalan sesuai dengan harapan serta
agar dapat diketahuinya resonansi pada rangkaian AC tersebut. Kemudian, kapasitor
diatur pada nilai 50 μF dan resistansinya diatur sebesar 100 Ω supaya nilai impedansi
dan reaktansi kapasitifnya dapat diketahui. Lalu, oscilloscope dan sinyal generator
dinyalakan dan nilai div diamati agar rangkaian dapat teraliri oleh tegangan yang
dihasilkan oleh sinyal generator dan gelombang tegangan yang dihasilkan oleh
rangkaian juga dapat diamati dengan adanya oscilloscope. Frekuensi diatur sebesar
20.000 Hz dan Volt/div pada oscilloscope diatur sebesar 5 supaya dapat diketahuinya
nilai arus root mean square (IRMS) pada rangkaian seri RLC. Gelombang yang terbentuk
pada oscilloscope diamati dan nilai div dari amplitudo gelombang dicatat agar nilai div
dari gelombang dapat diketahui sehingga dapat dipergunakan untuk analisis selanjutnya.
Langkah – langkah percobaan ini diulangi untuk nilai frekuensi yang berbeda yang
bermaksud agar dapat diketahuinya bagaimana pengaruh perubahan nilai frekuensi
terhadap arus root mean square (IRMS), reaktansi induktif, maupun reaktansi kapasitif
dari rangkaian.
3.5 Analisis Hasil
Jika diamati pada pola nilai IRMS secara berurutan, percobaan dengan nilai VPP
paling tinggi lah (15 V) yang memiliki nilai IRMS tertinggi, yaitu 0,106066017 A. Nilai
VPP ini didapatkan dari perkalian antara div (y) yang tampak pada oscilloscope dan
volt/div. Kebetulan, nilai volt/div yang diatur untuk tiap perubahan frekuensi adalah
sama, yaitu 5 Volt/div. Untuk nilai reaktansi induktif (XL) dapat diamati bahwa, nilainya
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi. Nilai tertingginya adalah
0,02198 Ω dengan frekuensi 70000 Hz. Hal ini disebabkan, reaktansi induktif
berbanding lurus dengan nilai frekuensi (f) dan induktansinya (L). Hanya saja, nilai
induktansi yang digunakan bersifat tetap, yaitu 5 × 10−8 F. Berkebalikan dengan
reaktansi induktif, nilai reaktansi kapasitif semakin mengecil seiring dengan
bertambahnya frekuensi. Titik terendahnya adalah senilai 0,01338115 Ω pada frekuensi
70000. Hal ini disebabkan karena reaktansi kapasitif berbanding terbalik dengan
frekuensi dan nilai kapasitifnya.
Grafik yang dibahas pada percobaan kali ini adalah grafik yang membandingkan
arus root means square (IRMS) terhadap perubahan frekuensi dengan interval 10000 Hz.
IRMS terletak pada sumbu Y dan frekuensi pada sumbu X. Titik puncak grafik adalah
titik (40000; 106) dimana titik ini memiliki nilai IRMS, VRMS, dan VPP paling besar
diantara data yang lain. Frekuensi resonansi terjadi pada titik ini karena arus root mean
square nya bernilai maksimum. Dari bentuk grafik yang naik turun dapat diamati
bahwa, yang paling berpengaruh adalah perubahan nilai div (y) yang tentunya akan
memengaruhi nilai VPP sehingga juga akan memengaruhi nilai tegangan root mean
square (VRMS). Dimana, rumus dari IRMS ini adalah VRMS dibagi dengan impedansi (Z).
Pada umumnya, nilai impedansi juga akan sangat berpengaruh terhadap IRMS yang
dihasilkan. Namun nyatanya, pada kasus ini hal tersebut tidak terjadi karena selisih nilai
impedansi pada tiap datanya sangat kecil, sehingga yang paling menentukan adalah nilai
VRMS nya.
Peristiwa frekuensi resonansi dapat terjadi pada rangkaian RLC seri maupun
paralel. Frekuensi resonansi dapat terjadi apabila arus yang mengalir pada rangkaian
bersifat maksimum. Penyebab dari arus maksimum ini adalah nilai dari XL sama besar
dengan XC yang menyebabkan nilai impedansi yang dihasilkan adalah minimum. Serta
arus berbanding terbalik dengan impedansi. Selain itu, amplitudo tegangan 𝑉𝐿 = 𝐼𝑋𝐿
(3.1) dan 𝑉𝐶 = 𝐼𝑋𝐶 (3.2) bernilai sama. Frekuensi resonansi dapat mengakibatkan
rangkaian RLC menjadi bersifat resistif, yaitu dimana impedansi totalnya adalah murni
dari nilai resistornya tanpa adanya pengaruh dari dua komponen yang lain (induktor dan
kapasitor).
Rangkaian RLC dapat disusun secara seri maupun paralel. Pada rangkaian RLC
seri, arus sesaat yang mengalir tiap detiknya adalah sama walaupun tegangannya
berbeda fase. Secara matematis, arus I pada waktu – t dapat dinyatakan dengan
(Giancoli, 2014):
Menurut hukum Kirchoff, pada rangkaian seri RLC berlaku persamaan matematis yang
menyatakan besar tegangan sesaat yang yang diberikan oleh sumber (Giancoli, 2014):
𝑉 = 𝑉𝑅 + 𝑉𝐿 + 𝑉𝐶 (3.4)
𝑍 = √𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 (3.5)
Gambar 3.2 Rangkaian RLC seri dengan sumber tegangan AC (Giancoli, 2014).
Rangkaian RLC paralel adalah rangkaian listrik yang komponennya terdiri atas
resistor, induktor, dan kapasitor yang disusun secara paralel dan dihubungkan dengan
sumber tegangan bolak - balik. Pada rangkaian paralel, tegangan di setiap titiknya
bernilai sama dan terjadi pembagi arus karena arus yang mengalir pada tiap
komponennya akan berbeda. Persamaan jumlah arus yang mengalir pada rangkaian ini
adalah (Novia Lizelwati, 2011. Resonansi Pada Rangkaian RLC. Batusangkar,
Indonesia. 90 – 96):
𝑉 𝑉 (3.6)
𝐼 = 𝐼𝑅 + 𝐼𝐿 + 𝐼𝐶 = + + 𝜔𝐶𝑉
𝑅 𝜔𝐿
(3.7)
1 1 1 2
= √( )2 + (𝜔𝐶 − )
𝑍 𝑅 𝜔𝐿
Gambar 3.3 Rangkaian RLC paralel yang dihubungkan dengan sumber tegangan
AC (Novia Lizelwati, 2011. Resonansi Pada Rangkaian RLC. Batusangkar, Indonesia.
90 – 96).
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Giancoli, D. C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ketujuh. Jakarta : Erlangga
Serway, R. A & Jewett J. W. 2019. Physics for Scientists and Engineers with Modern
Physics.Tenth Edition. Boston: Cengage
Young, H. D. & Freedman, R. A. 2020. University Physics with Modern Physics. Fifteenth
Edition. London: Pearson Education
LAMPIRAN
1. Buktikan bahwa beda fase tegangan dan arus dalam induktor, kapasitor, dan resistor
berturut – turut adalah 90o, -90o, dan 0o!
Jawab:
Untuk membuktikan nilai beda fase tegangan pada induktor, kapasitor, dan resistor
dapat menggunakan rumus:
𝑋𝐿 − 𝑋𝐶
𝜃 = arctan
𝑅
Pada diagram fasor untuk rangkaian induktor, tegangan mendahului arus sebesar 90o,
sehingga sudut beda fase tegangan induktor adalah 90o. Untuk rangkaian kapasitor,
tegangan tertinggal oleh arus sejauh 90o, sehingga sudut beda fasenya adalah -90o. Serta
untuk resistor, tegangan dan arus berada pada fase yang sama, sehingga sudut beda fasenya
adalah 0o.
(PERCOBAAN-OP1)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 19 April 2021
Nama Asisten : Muhammad Irfanul Fikri
Namun untuk persamaan lensa tipis yang dimana memiliki indeks bias (n) dan
dikelilingi oleh udara maka persamaannya adalah :
𝟏 𝟏 𝟏
= (𝒏 − 𝟏)( 𝒓 − ) …(1.2)
𝒇 𝟏 𝒓𝟐
Persamaan ini juga disebut sebut sebagai persamaan pembuat lensa. Disini 𝒓𝟏 adalah
jari – jari kelengkungan permukaan lensa yang lebih dekat dari objek. 𝒓𝟐 permukaan lainnya
(Halliday, 2011).
Lensa tipis adalah perangkat optic paling sederhana yang termasuk paling penting.
Perkembangan perangkat optic mulai pesat pada abad ke 16 dan ke 17. Namun perangkat optik
sudah ditemukan pada abad 13 dengan bukti ditemukannya kacamata. Lensa tipis biasanya
melingkar dan kedua permukaanya adalah bagian dari bola. 2 permukaan itu bisa jadi cekung
atau cembung atau datar yang terpenting salah satu harus berbeda seperti pada gambar :
Gambar 1.2 Sinar parallel yang melewati lensa cembung (Giancoli, 2013).
Kita asumsikan bahwa ada sebuah sinar parallel yang mengenai lensa cembung seperti
gambar 1.2.2 dan dikelilingi oleh udara lalu kita anggap bahwa lensa cembungnya terbuat dari
bahan yang transparan dengan indeks biar lebih besar dari udara sekitar. Dengan digunaknnya
hukum snell kita dapat menyimpulkan bahwa setiap sinar yang datang ke lensa cembung akan
dibelokkan kearah sumbu lensa. Sumbu lensa sendiri adalah garis lurus yang dilewati olehnya
bagian tengah atau pusat lensa dan tegak lurus dengan permukaannya. Jika ada cahaya yang
masuk dan sejajar dengan sumbu lensa sinar tersebut akan difokuskan ke titik (Di gambar
disimbolkan dengan F) (Giancoli, 2014).
Jika diasumsikan ada sinar parsial yang melewat lensa tipis maka :
1. Jarak bayangan setelah pembiasan akan positif jika bayangan real terletak pada sisi
kanan lensa cembung dan bayangan pembiasan akan negative jika bayangan real
terletak pada sisi kiri lensa cembung.
2. Jarak bendanya bisa positif jika sinar yang jatuh menyebar jatuhnya pada lensa atau bisa
disebut divergen. Jarak bendanya negative apabila sinar yang jatuh mengumpul
jatuhnya atau konvergen.
3. Jari – jari kelengkungan menandakan kelengkungan permukaan yang pertama dan
kedua dimana kedua permukaan ini ditumbuk oleh cahaya yang baru datang. Masing –
masing akan positif jika pusat lengukungan dari lensanya tertempat disisi sebelah kanan
lensa cembung dan jika sebaliknya maka nilai jari – jari kelengkungannya akan negatif
(Walker, 2011).
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Dalam percobaan lensa tipis ini alat dan bahan yang digunakan antara lain: bangku
optik, penyangga lensa, lampu, sebuah benda yang berupa anak panah, layar, dua buah lensa
positif dan negatif serta sebuah penggaris.
Posisi benda dipasang sejauh mungkin dari layar dan diukur jaraknya sebagai L
Jarak benda ke lensa diukur sebagai S, jarak bayangan ke lensa diukur sebagai S’,
tinggi benda diukur sebagai h, tinggi bayangan diukur sebagai h’ dan dicatat sifat
bayangannya
Lensa digeser kembali hingga diperoleh bayangan yang jelas kedua, dengan posisi
benda yang tidak diubah
Jarak benda dan jarak bayangan ke lensa diukur lagi, serta sifat dan tinggi
bayangannya
Diulangi langkah 3 hingga 8 dengan posisi benda terhadap layar (L) diubah
Diulangi langkah 1 hingga 9 untuk lensa positif kedua atau lensa cembung datar
Jarak titik lensa fokus negatif dicari dengan pertolongan lensa positif, digunakan
lensa biconvex dari percobaan sebelumnya
Lensa positif dipasang dan digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas
pada layar
Lensa negatif diletakkan di antara lensa positif dan layar, diukur jarak lensa
negatif ke layar sebagai S
Layar digeser-geserkan hingga diperoleh bayangan yang jelas, diukur jarak lensa
negatif ke layar sebagai S’
Dua buah lensa positif digunakan dan lensa dengan jarak tertentu (d) dibuat
kemudian diukur dan dicatat jaraknya
Langkah diulangi beberapa kali sesuai arahan asisten dengan jarak d yang
berbeda-beda
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Lensa Positif (Gauss)
No L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’ (cm)
1 70 50 22 1 0,5
2 65 43 25 1 0,7
3 60 30 30 1 1
3.2 Perhitungan
3.2.1 Lensa Positif (Gauss)
𝟐
No f (cm) |𝒇 − 𝒇̅| (𝐜𝐦𝟐 ) M
𝟑𝟎 × 𝟑𝟎 𝒉′
𝒇𝟑 = = 𝟏𝟓 𝐜𝐦 𝑴=| |
𝟑𝟎 + 𝟑𝟎 𝒉
𝟎, 𝟓
𝑴=| | = 𝟎, 𝟓
𝟏
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑
𝒇̅ = 𝟎, 𝟕
𝟑 𝑴=| | = 𝟎, 𝟕
𝟏
𝟏𝟓, 𝟐𝟖 + 𝟏𝟓, 𝟖 + 𝟏𝟓
𝒇̅ = = 𝟏𝟓, 𝟒 𝐜𝐦 𝟏
𝟑 𝑴=| |=𝟏
𝟏
𝜹𝒇
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
𝒇̅ ̅ =
𝑴
𝟑
𝟎, 𝟒𝟏𝟎𝟗𝟕
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝟎, 𝟓 + 𝟎, 𝟕 + 𝟏
𝟏𝟓, 𝟒 ̅ =
𝑴 = 𝟎, 𝟕𝟑𝟑
𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = 𝟐, 𝟔𝟕𝟓𝟏𝟗%
𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)
𝒇 = (𝟏𝟓, 𝟒 ± 𝟎, 𝟒𝟏𝟎𝟗𝟕) 𝐜𝐦
𝒆 = |𝒆𝟐 − 𝒆𝟏 | 𝟐
∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒆𝟏 = |𝟑𝟑 − 𝟐𝟕| = 𝟔 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝒏−𝟏
𝒆𝟐 = |𝟒𝟑 − 𝟐𝟒| = 𝟏𝟗 𝐜𝐦
𝟎, 𝟎𝟎𝟏𝟏𝟕
𝒆𝟑 = |𝟒𝟗 − 𝟐𝟐| = 𝟐𝟕 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝟐
𝒆𝟏 + 𝒆𝟐 + 𝒆𝟑
𝒆̅ = 𝜹𝒇 = 𝟎, 𝟎𝟐𝟒𝟏𝟕 𝐜𝐦
𝟑
𝟔 + 𝟏𝟗 + 𝟐𝟕
𝒆̅ = = 𝟏𝟕, 𝟑𝟑 𝐜𝐦
𝟑 𝒉′
𝑴=| |
𝟐
𝑳 −𝒆 𝟐 𝒉
𝒇=
𝟒𝑳 𝟏, 𝟐
𝟐 𝟐 𝑴𝟏𝟏 = | | = 𝟏, 𝟐
𝟔𝟎 − 𝟔 𝟏
𝒇𝟏 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟓 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟎) 𝟐
𝑴𝟏𝟐 = | | = 𝟐
𝟐
𝟔𝟓 − 𝟏𝟗 𝟐 𝟏
𝒇𝟐 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟔 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟓) 𝟐, 𝟐
𝑴𝟏𝟑 = | | = 𝟐, 𝟐
𝟏
𝟔𝟎𝟐 − 𝟐𝟕𝟐
𝒇𝟑 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟗 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟎) 𝑴𝟏𝟏 + 𝑴𝟏𝟐 + 𝑴𝟏𝟑
̅̅̅̅
𝑴𝟏 =
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟏, 𝟐 + 𝟐 + 𝟐, 𝟐
̅̅̅̅
𝑴𝟏 = = 𝟏, 𝟖
𝟏𝟒, 𝟖𝟓 + 𝟏𝟒, 𝟖𝟔 + 𝟏𝟒, 𝟖𝟗 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟏
𝑴𝟐𝟏 = | | = 𝟏
= 𝟏𝟒, 𝟖𝟕 𝐜𝐦 𝟏
𝜹𝒇 𝟎, 𝟕
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟐𝟐 = | | = 𝟎, 𝟕
𝒇̅ 𝟏
𝟎, 𝟎𝟐𝟒𝟏𝟕 𝟎, 𝟓
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟐𝟑 = | | = 𝟎, 𝟓
𝟏𝟒, 𝟖𝟕 𝟏
𝒉′
𝟔𝟐 × 𝟖 𝑴=| |
𝒇= = 𝟕, 𝟎𝟖 𝐜𝐦 𝒉
𝟔𝟐 + 𝟖
𝟏, 𝟑
𝑴=| | = 𝟏, 𝟑
𝟏
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑
𝒇̅ = 𝟏, 𝟓
𝟑 𝑴=| | = 𝟏, 𝟓
𝟏
𝟓, 𝟒 + 𝟔, 𝟐𝟓 + 𝟕, 𝟎𝟖
𝒇̅ = = 𝟔, 𝟐𝟒 𝐜𝐦 𝟏, 𝟓
𝟑 𝑴=| | = 𝟏, 𝟓
𝟏
𝜹𝒇
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
𝒇̅ ̅ =
𝑴
𝟑
𝟎, 𝟖𝟒𝟐𝟖𝟔 𝟏, 𝟑 + 𝟏, 𝟓 + 𝟏, 𝟓
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% ̅ =
𝑴 = 𝟏, 𝟒𝟑𝟑
𝟔, 𝟐𝟒 𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = 𝟏𝟑, 𝟓%
𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)
𝒇 = (𝟔, 𝟐𝟒 ± 𝟎, 𝟖𝟒𝟐𝟖𝟔) 𝐜𝐦
𝟏𝟒 × 𝟐𝟏 𝟒 × 𝟑𝟏
𝒇𝟏𝟐 = = 𝟖, 𝟒 𝐜𝐦 𝒇𝟐𝟐 = = 𝟑, 𝟓 𝐜𝐦
𝟏𝟒 + 𝟐𝟏 𝟒 + 𝟑𝟏
𝒇𝟏𝒙 (𝒅 − 𝒇𝟐𝒙 )
𝒇𝒙 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝒙 + 𝒇𝟐𝒙 )
𝟐
𝒇𝟏𝟏 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟏 ) √ ∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒇𝟏 = 𝜹𝒇 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝟏 + 𝒇𝟐𝟏 ) 𝒏−𝟏
𝟕, 𝟕𝟒(𝟏𝟎 − 𝟓, 𝟒) 𝟏𝟒𝟒𝟒, 𝟏𝟒
𝒇𝟏 = = −𝟏𝟏, 𝟓𝟑𝟗 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝟏𝟎 − (𝟕, 𝟕𝟒 + 𝟓, 𝟒) 𝟐
𝜹𝒇 = 𝟐𝟔, 𝟖𝟕𝟏𝟒 𝐜𝐦
𝒇𝟏𝟐 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟐 )
𝒇𝟐 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝟐 + 𝒇𝟐𝟐 )
𝒉′
𝟖, 𝟒(𝟏𝟎 − 𝟑, 𝟓) 𝑴=| |
𝒇𝟐 = = −𝟐𝟕, 𝟗𝟏𝟖 𝐜𝐦 𝒉
𝟏𝟎 − (𝟖, 𝟒 + 𝟑, 𝟓)
𝟎, 𝟓
𝒇𝟏𝟑 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟑 ) 𝑴=| | = 𝟎, 𝟓
𝒇𝟑 = 𝟏
𝒅 − (𝒇𝟏𝟑 + 𝒇𝟐𝟑 )
𝟎, 𝟑
𝟗, 𝟎𝟑(𝟏𝟎 − 𝟑, 𝟒𝟑) 𝑴=| | = 𝟎, 𝟑
𝒇𝟑 = = −𝟐𝟑, 𝟗𝟑𝟑 𝐜𝐦 𝟏
𝟏𝟎 − (𝟗, 𝟎𝟑 + 𝟑, 𝟒𝟑)
𝟎, 𝟐
𝑴=| | = 𝟎, 𝟐
𝟏
𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
̅ =
𝑴
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟎, 𝟓 + 𝟎, 𝟑 + 𝟎, 𝟐
̅ =
𝑴 = 𝟎, 𝟑𝟑
𝟑
𝒇̅
(−𝟏𝟏, 𝟓𝟑𝟗) + (−𝟐𝟕, 𝟗𝟏𝟖) + (−𝟐𝟑, 𝟗𝟑𝟑)
=
𝟑
𝒇̅ = −𝟐𝟏, 𝟏𝟑 𝐜𝐦
𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)
3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Percobaan lensa tipis tidak dapat dilakukan tanpa ketersediaan alat dan bahan yang
digunakan selama proses praktikum. Kekurangan satu alat bahkan dapat berpengaruh terhadap
keberlangsungan percobaan, hal ini dikarenakan setiap alat dan bahan telah ditentukan
berdasarkan fungsi dan kegunaannya masing-masing. Lensa yang digunakan dalam percobaan
ini terdiri dari lensa positif dan negatif yang dimaksudkan agar terlihat perbedaan sifat dan
karakteristik dari lensa tersebut setelah dilakukan percobaan, benda berupa anak panah yang
akan dijadikan objek yang diamati dalam praktikum akan dipengaruhi oleh keberadaan lensa,
sehingga bisa diperbesar, diperkecil dan dibalikkan bayangannya. Adapun bayangan dari objek
akan diterima oleh layar sebagai reseptor dari rangkaian percobaan. Bayangan akan terbentuk
dikarenakan adanya lampu sebagai sumber cahaya. Agar posisi lensa stabil dan tidak berubah
posisi maka digunakan penyangga lensa, kemudian setiap alat yang digunakan disusun pada
bangku optik sesuai konsep percobaan, dengan ini praktikan dipermudah dalam pelaksanaan
percobaan. Setiap hasil data dalam percobaan didapat dari proses pengukuran dengan
penggaris.
Hal yang paling penting dalam percobaan adalah dilakukan secara berurutan agar tidak
terjadi kesalahan dan penyimpangan konsep praktikum. Pertama, setiap alat dan bahan yang
akan digunakan dalam praktikum harus sudah disiapkan oleh praktikan agar selama praktikum
tidak ada kekurangan alat ataupun bahan. Peralatan percobaan disusun sesuai urutan yang
dipedomani agar sesuai dengan prinsip percobaan. Tinggi objek anak panah diukur sebagai data
primer sebelum dilakukannya praktikum. Percobaan lensa positif dengan model uji Gauss
diawali dengan lensa cembung ganda yang dipasang pada penyangga lensa agar tidak tergeser
posisinya, posisi benda ditempatkan sejauh mungkin dari layar dan diukur jauhnya agar
didapatkan jarak sebagai variabel L, lensa digeser-geserkan agar bayangan dari objek dapat
dihasilkan. Jarak benda dengan lensa, bayangan dengan lensa, tinggi benda, tinggi bayangan
diukur sebagai data hasil percobaan, begitupun sifat bayangan yang terbentuk sebagai data
kualitatif dari praktikum. Percobaan dengan lensa positif metode Bessel dilakukan sedikit
berbeda dengan percobaan model Gauss. Perbedaannya terletak pada tahap digesernya lensa
pada metode Bessel sebanyak dua kali yaitu di titik terdekat dengan objek dan di titik terdekat
dengan layar, hal ini dilakukan agar data hasil pengukuran dapat dibandingkan. Langkah pada
percobaan Bessel diulangi agar terhindar dari ralat yang teramat besar. Adapun pada percobaan
lensa negatif, langkah yang dilakukan sama dengan langkah pada percobaan lensa positif model
Gauss, tetapi berbeda pada penempatan lensa. Pada percobaan lensa negatif, diletakkan juga
lensa positif di antara lensa dengan objek, hal ini dilakukan agar bayangan yang keluar dari
lensa negatif dapat terfokus pada layar sehingga praktikan dipermudah dalam pengambilan
data. Langkah pada percobaan lensa negatif diulangi agar didapat variasi data untuk dianalisa
kemudian. Untuk lensa gabungan, langkah yang dilakukan sama tetapi digunakan dua lensa
yang digeser-geserkan secara bersamaan dengan jarak tertentu agar posisi awal kedua lensa
sebelum dan sesudah digeserkan sama, data hasil percobaan diambil dari bayangan yang
terbentuk paling jelas dari posisi lensa setelah digeser-geserkan. Langkah dalam percobaan ini
juga diulangi beberapa kali agar didapat variasi data dan kesalahan atau ralat dapat
terminimalisir.
Gambar 3.3 Sinar-Sinar Istimewa (a) Lensa Cekung; (b) Lensa Cembung. Sumber: Penulis.
Lensa cembung dan cekung dalam aplikasi sehari-hari sering dijumpai pada optik
penetralan penyakit mata, yaitu digunakan oleh para penderita rabun jauh (miopi) atau rabut
dekat (hipermetropi). Orang dengan penyakit rabun dicirikan dengan tidak bisanya membaca
dengan jelas pada jarak fokus mata normal yaitu 25 cm, penderita cenderung melihat 25 cm
terlalu dekat atau terlalu jauh sehingga digunakanlah kaca mata dengan kekuatan lensa tertentu
untuk mengatasi hal tersebut. Selain di bidang kesehatan, penggunaan konsep lensa tipis ini
juga didapati pada dunia astronomi dan penelitian mikroskopis. Benda luar angkasa yang
umumnya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang kecuali bulan, bintang pijar dan matahari,
semua dapat terlihat ketika benda-benda tersebut dilihat dengan bantuan teropong bintang atau
teropong bumi, begitupun pada bakteri, dan struktur makhluk hidup terkecil hingga atom hanya
dapat terlihat ketika digunakan mikroskop sebagai pembesar visual dari benda kecil tersebut.
Prinsip kerja dari teropong dan mikroskop ini tidak terlepas dari konsep penentuan titik fokus
dan pembentukan bayangan dari lensa, baik cembung maupun cekung.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada percobaan lensa tipis ini dapat disimpulkan bahwa bayangan benda akan dibentuk
oleh lensa dan akan ditampilkan melalui layar dengan dipisahkan oleh jarak tertentu hingga
focus dapat ditemukan pada sistem lensa. Sinar yang terlewat terhadap lensa akan dibiaskan
sesuai dengan arah datangnya. Bayangan yang dibentuk oleh lensa akan bergantung pada jenis
lensa jika lensa positif maka bayangan akan difokuskan dan jika lensa negatif maka bayangan
akan disebar.
4.2 Saran
Dikarenakan percobaan ini cukup kompleks diharapkan kedepannya percobaan dapat
dilaksanakan secara langsung. Jaringan pun menjadi salah satu kendala paling mendasar yang
harus diperhatikan dalam setiap evaluasi sistem pembelajaran. Karena pembelajaran daring
seperti ini bertepatan dengan musim pancaroba yang memberikan beberapa kendala dalam
koneksi jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Giancoli, D., C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga
Giancoli, D., C. 2013. Physics Principles With Applications. Seventh Edition. New York:
Pearson Education
Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J. 2011..Fundamental Of Physics. Ninth Edition. New
York: John Willey and Sons Inc
Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J. 2011. Fisika Dasar Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta :
Erlangga.
LAMPIRAN
Screenshot Literatur
(Giancoli, 2014)
(Giancoli, 2013)
(Halliday, 2011)
(Walker, 2011)
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Indeks Bias Larutan)
(PERCOBAAN-OP2)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 3 Mei 2021
Nama Asisten : Awitta Yani
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Terdapat tiga tujuan setelah praktikum ini dilaksanakan. Tujuan pertama yaitu
prinsip Refraktometer Abbe dapat dijelaskan oleh praktikan, tujuan kedua yaitu
hubungan indeks bias dengan konsetrasi larutan gula dapat dibuat oleh praktikan, dan
yang terakhir yaitu kadar gula dalam suatu larutan yang tidak diketahui konsentrasinya
dapat ditentukan oleh praktikan.
Dijelaskan dari Hukum Snell tersebut bahwa jika 𝑛2 > 𝑛1 , maka 𝜃2 < 𝜃1 . Di
mana 𝑛1 adalah media mula-mula cahaya, dan 𝑛2 adalah media yang dituju cahaya.
Hukum Snell tersebut memiliki arti bahwa apabila cahaya memasuki medium di mana
n lebih besar (dan lajunya lebih kecil), maka berkas cahaya dibelokkan mendekati garis
normal. Sedangkan apabila 𝑛2 < 𝑛1 , maka 𝜃2 > 𝜃1 , sehingga menyebabkan berkas
cahaya dibelokkan menjauhi garis normal (Giancoli, 2014).
Arah gerak dari suatu caahaya akan berubah ketika lewat dari suatu medium
tembus pandang ke medium tembus pandang yang lainnya dengan indeks bias yang
berbeda. Salah satu aspek dari karakteristik gelombang yang berubah ketika indeks bias
berbeda terjadi yaitu suatu gelombang tidak berubah ketika lewat medium yang
berbeda. Hal itu disebabkan siklus gelombang yang datang per satuan waktu. Kedua,
panjang gelombang 𝜆 dari suatu gelombang akan berbeda pada medium yang berbeda.
Hal ini disebabkan rumus 𝑣 = 𝜆𝑓, yang mana f pada semua medium adalah sama,
sedangkan v akan selalu lebih kecil dibandingkan c di ruang vakum sehingga panjang
gelombang dari cahaya 𝜆 pada suatu medium akan lebih kecil dibandingkan panjang
gelombang dari cahaya 𝜆0 di ruang vakum. Persamaan tersebut dapat dituliskan seperti
bentuk di bawah ini (Young and Freedman, 2016).
BAB II
METODOLOGI
Air murni diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, lalu ditutup dan dicatat
indeks biasnya (diulangi sebanyak lima kali).
Larutan gula dengan persentase berat 20% (dibutuhkan 4 gr gula dan 16 mL air),
40% (dibutuhkan 6 gr gula dan 9 mL air), dan 60% (dibutuhkan 6 gr gula dan 4
mL air).
Larutan gula 20% diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, lalu ditutup dan
diamati nilai indeks biasnya pada lensa Refraktometer Abbe, kemudian dicatat
indeks biasnya (langkah ini diulangi sesuai petunjuk asisten).
Langkah 4 diulangi untuk larutan yang belum diketahui konsentrasinya dan dicatat
harga n-nya.
BAB III
3.2 Perhitungam
3.2.1 Persentase Larutan 20%
Tabel 3.2 Perhitungan Persentase Larutan 20%
Ke- n |𝑛 − 𝑛̅|2
1 135,35 0,0625
2 135,85 0,0625
3 135,60 0
∑ 406,8 0,125
Σ𝑛
𝑛̅ = = 135,60
𝑘
Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,25
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,184366%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (135,60 ± 0,25)
Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,10
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,072754%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (137,45 ± 0,10)
Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,104083
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,074674%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (139,383 ± 0,104083)
3.3 Grafik
Persentase (%) 𝑛̅
20 135,60
40 137,45
60 139,383
Tidak Diketahui -
∆𝑦 𝑦2 − 𝑦1 140,20 − 135,60
tan 𝜃 = = = = 0,135294
∆𝑥 𝑥2 − 𝑥1 60 − 26
𝛿𝑔 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 139 − 135,9
𝐾𝑟 𝑔 = × 100% = × 100% = × 100% = 1,127342%
𝑔̅ 2𝑦̅ 2 × 137,4915
𝑌 = (tan 𝜃 + 𝑛 𝑎𝑖𝑟) × 100% = (0,135294 + 133,33) × 100% = 133,4653%
3.4 Pembahasan
3.4.1 Analisa Prosedur
Di dalam praktikum Indeks Bias Larutan ini dibutuhkan beberapa alat
dan bahan di antaranya yaitu neraca ohauss, gelas ukur, refractometer abbe,
pipet tetes, tabung reaksi, pengaduk, dan beberapa larutan gula dengan
konsentrasi yang berbeda-beda. Masing-masing alat dan bahan tersebut
dipergunakan dengan sebagaimana fungsinya agar tujuan praktikum dapat
diperoleh. Neraca ohauss berfungsi sebagai alat ukur massa gula ketika larutan
gula dibuat. Gelas ukur sebagai alat ukur volume air dalam pembuatan larutan
gula. Refractometer abbe berfungsi sebagai alat ukur indeks bias larutan setiap
larutan. Pipet teter berfungsi sebagai alat bantu saat larutan dipindahkan dari
tabung reaksi sebagai wadah larutan gula. Pengaduk berfungsi sebagai alat bantu
saat larutan gula dilarutkan sehingga menjadi larutan homogen. Larutan gula
dengan beberapa konsentrasi yang berbeda berfungsi sebagai objek percobaan
sehingga larutan yang tidak diketahui konsentrasinya dapat diketahui indeks
biasnya.
Sebelum praktikum dilaksanakan, bagian-bagian refractometer abbe
dipelajari terlebih dahulu agar saat pengukuran indeks bias lebih mudah.
Kemudian, beberapa larutan gula dengan konsentrasi yang berbeda dibuat
dengan perbandingan gula dan air sesuai petunjuk asisten dengan bantuan alat
ukur neraca ohauss dan gelas ukur. Larutan gula tersebut dibuat di tabung reaksi
yang kemudian dipindahkan ke refractometer abbe dengan bantuan pipet tetes
agar indeks bias larutan dapat diketahui. dalam pengukuran indeks bias tersebut
kemudian dibuatkan grafik agar larutan gula dengan konsentrasi yang belum
diketahui konsentrasinya dapat ditentukan indeks biasnya.
Beberapa hal yang dapat memengaruhi nilai indeks bias cahaya yaitu
kerapatan dan suhu dari larutan tersebut. Karena cahaya akan dibelokkan apabila
media yang dilewatinya memiliki kerapatan yang berbeda. Sedangkan, yang
mempengaruhi konsentrasi larutan adalah persen volume, persen massa,
molalitas, molaritas, dan pengenceran. Kerapatan suatu larutan dapat
dipengaruhi dari zat terlarut dalam pembuatan larutan dan kekentalan larutan
tersebut. Semakin kental suatu larutan maka semakin besar pula nilai
kerapatannya, sehingga indeks bias yang dihasilkan akan semakin besar pula.
Salah satu contoh aplikasi indeks bias dalam kehidupan sehari-hari yaitu
kacamata. Karena perbedaan medium antara udara dan lensa kacamata, cahaya
dapat dibiaskan. Hal tersebut dipergunakan dan dimanfaatkan sebagai alat bantu
pada penderita rabun, sehingga dapat melihat dengan jelas.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah praktikum Indeks Bias Larutan ini dilakukan, dapat dipahami bahwa
prinsip kerja dari refractometer abbe merupakan salah satu penerapan dari pembiasan
cahaya. Karena perbedaan medium antara prisma pada refractometer dengan sampel
atau larutan yang diukur indeks biasnya maka cahaya dapat dibiaskan dan diketahui
nilai indeks biasnya. Indeks bias tersebut juga dapat dipengaruhi oleh konsentrasi dari
larutan yang digunakan. Karena konsentrasi merupakan besaran dari kepekatan dari
perbandingan antara pelarut dan zat terlarut. Semakin besar persentase larutan yang
digunakan pada praktikum ini, maka semakin besar pula nilai indeks biasnya.
Konsentrasi dari larutan yang tidak diketahui tersebut adalah 133,4653% diperoleh dari
perhitungan grafik.
4.2 Saran
Sebelum praktikum dilaksanakan, praktikan disarankan untuk mempelajari
bagian-bagian dari refractometer abbe. Selain itu, karena praktikum dilaksanakan secara
daring, maka praktikan disarankan untuk mempelajari dasar teori sebelum praktikum,
agar dapat memahami praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
(Giancoli, 2014)
(Young and Freedman, 2016)
TUGAS PENDAHULUAN
1. Berapakah molar larutan gula 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 % ?
2. Apa yang dimaksud dengan konsentrasi larutan gula dan dapat dinyatakan dalam satuan
apa saja?
3. Berapa ml air yang harus dicampurkan dengan 5 gram gula untuk membuat larutan gula
50 %, 40 %, 30 %, 20 %, dan 10 % ?
Jawaban :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
1. 𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 × 100 %
50 % 1
• 𝑛1 = 100 % = 2
40 % 2
• 𝑛2 = 100 % = 5
30 % 3
• 𝑛3 = 100 % = 10
20 % 1
• 𝑛4 = 100 % = 5
10 % 1
• 𝑛5 = 100 % = 10
• Molaritas 50 % :
1 1000
× = 5,84 𝑀
342 1
2
• Molaritas 40 % :
1 1000
× = 7,31 𝑀
342 2
5
• Molaritas 30 % :
1 1000
× = 9,74 𝑀
342 3
10
• Molaritas 20 % :
1 1000
× = 14,6 𝑀
342 1
5
• Molaritas 10 % :
1 1000
× = 29,2 𝑀
342 1
10
2. Konsentrasi larutan adalah suatu hubungan kuantitatif antara zat terlarut dan zat pelarut.
Hal ini berarti konsentrasi larutan gula adalah suatu hubungan kuantitatif antara gula
dan air, di mana gula sebagai zat terlarut dan air sebagai zat pelarut. Konsentrasi larutan
terbagi atas beberapa macam, yaitu fraksi mol, persen berat, molalitas, molaritas, dan
normalitas. Konsentrasi larutan dapat dinyatakan dalam satuan molaritas (m), molaritas
(M), dan persen massa.
𝑚
3. 𝑛%= × 100 %
𝑉
5
• 50 % = 𝑉 × 100 %
𝑉 = 2 × 5 = 10 𝑚𝑙
5
• 40 % = 𝑉 × 100 %
5
𝑉 = 2 × 5 = 12,5 𝑚𝑙
5
• 30 % = × 100 %
𝑉
10
𝑉= × 5 = 16,6 𝑚𝑙
3
5
• 20 % = 𝑉 × 100 %
𝑉 = 5 × 5 = 25 𝑚𝑙
5
• 10 % = 𝑉 × 100 %
𝑉 = 10 × 5 = 50 𝑚𝑙
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Difraksi Cahaya)
(PERCOBAAN-OP3)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 8 Maret 2021
Nama Asisten : Fattah Diwangkara Mahariadi
PENDAHULUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah dapat dijelaskannya gejala difraksi cahaya
oleh celah sempit oleh praktikan, dan lebar celah tunggal serta jarak antar celah pada
celah ganda dapat ditentukan oleh praktikan fisika dasar.
METODOLOGI
Laser diletakkan di atas meja sejauh 2 hingga 3 meter dari layar atau dinding.
(Catatan : laser yang digunakan adalah laser dengan panjang gelombang 632,8
nm).
Slide yang berisi celah ganda dipasang pada pemegang slide yang memiliki
pengatur vertical untuk mengatur letak celah pada berkas sinar laser.
Berkas sinar cahaya dijatuhkan di atas celah sehingga diperoleh bayangan yang
tajam di atas layar.
Jarak, x, diukur dari semua minima dan maksima, sin dihitung dan dibuat grafik
sin sebagai fungsi orde -n. Dari sini dapat ditentukan jarak antara kedua celah.
2.2.2 Celah Tunggal
Laser diletakkan di atas meja sejauh 2 hingga 3 meter dari layar atau dinding.
(Catatan : laser yang digunakan adalah laser dengan panjang gelombang 632,8
nm).
Slide yang berisi celah ganda dipasang pada pemegang slide yang memiliki
pengatur vertical untuk mengatur letak celah pada berkas sinar laser.
Berkas sinar cahaya dijatuhkan di atas celah sehingga diperoleh bayangan yang
tajam di atas layar.
Jarak, x, diukur dari semua minima dan maksima, sin dihitung dan dibuat grafik
sin sebagai fungsi orde -n. Dari sini dapat ditentukan jarak antara kedua celah.
Jumlah “guratan” per meter ditentukan dari kisi difraksi yang dipakai.
BAB III
3.2 Perhitungan
3.2.1 Celah Tunggal A Pola Gelap
Tabel 3.3 Perhitungan Celah Tunggal A Pola Gelap
3.2.2 Celah Tunggal A Pola Terang
Tabel 3.4 Perhitungan Celah Tunggal A Pola Terang
3.2.3 Celah Tunggal B Pola Gelap
Tabel 3.5 Perhitungan Celah Tunggal B Pola Gelap
3.2.4 Celah Tunggal B Pola Terang
Tabel 3.6 Perhitungan Celah Tunggal B Pola Terang
3.2.5 Celah Tunggal C Pola Gelap
Tabel 3.7 Perhitungan Celah Tunggal C Pola Gelap
3.2.6 Celah Tunggal C Pola Terang
Tabel 3.7 Perhitungan Celah Tunggal C Pola Terang
3.2.7 Celah Ganda A Pola Gelap
Tabel 3.8 Perhitungan Celah Ganda A Pola Gelap
3.2.8 Celah Ganda A Pola Terang
Tabel 3.9 Perhitungan Celah Ganda A Pola Terang
Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
3,47 1,1 5
3.3.2 Celah Tunggal A Pola Terang
3.4 Pembahasan
Pada percobaan ini, layar dan pemegang slide diukur jaraknya. Hal tersebut
untuk mendapatkan nilai L pada data. Slide dengan celah diatur dengan pemegang
slide agar berkas sinar yang akan dijatuhkan pada layar dapat terlihat dengan jelas pola
gelap terangnya, kertas putih dipasang pada layar agar diperoleh berkas pola sinar
jatuh yang cukup tajam, cahaya di sekitar ruangan uji coba difraksi dikurangi agar
cahaya dari laser tidak terganggu.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah dilakukannya percobaan ini dapat disimpulkan bahwa difraksi adalah
fenomena saat cahaya melewati celah sempit, cahaya menyebar di luar jalur sempit
yang ditentukan oleh celah tersebut ke wilayah yang akan berada dalam bayangan jika
cahaya bergerak dalam garis lurus. Diameter atau lebar celah yang dilewati oleh
sumber cahaya dapat dihitung dengan rumus pada celah dengan pola gelap
4.2 Saran
Untuk dapat lebih memahami topik ini praktikan fisika perlu mempelajari
terlebih dahulu. Serta untuk didapatkan data hasil percobaan yang akurat, praktikan
disarankan untuk lebih teliti dalam pengamatan dan pengambilan data. Karena apabila
lebih teliti dalam pengamatan dan pengambilan data, maka hasil perhitungan yang
didapatkan akan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
(Giancoli, 2014)
(Serway and Jewwet, 2010)
TABEL DATA HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
PERCOBAAN OP-3 (DIFRAKSI CAHAYA)
PRAKTIKUM FISIKA DASAR
3.2 Perhitungan
3.2.1. Celah Tunggal A Pola Gelap
d1
d1
3.3. Grafik
Centroid
3.3.1. Celah Tunggal A Pola Gelap
Pola Terang → a
Pola Gelap →
= 2- 1
b
Kr =
= 2- 1
Centroid = (
1 2
Pembahasan
Jawaban :
1. Difraksi cahaya adalah peristiwa pembelokkan gelombang oleh celah sempit sebagai
penghalang. Interferensi merupakan interaksi dari dua gelombang cahaya atau lebih,
interferensi dapat terjadi karena difraksi cahaya.
2. Pada percobaan ini digunakan sumber cahaya laser karena biayanya yang relative
lebih murah dibandingkan dengan laser lain dan lebih mudah dioperasikan .
3. Untuk pola gelap :
(PERCOBAAN-OP4)
Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 22 Maret 2021
Nama Asisten : Rinda Fianita Setia Putri
1.1 Tujuan
Tujuan dari diadakannya praktikum “Indeks Bias Prisma” ini adalah agar ke depannya
setelah praktikum ini dilaksanakan, indeks bias prisma dapat ditentukan oleh praktikan. Selain itu
setelah praktikum ini juga ketergantungan indeks bias pada panjang gelombang dapat dijelaskan
oleh praktikan.
Eksperimen menunjukkan bahwa refleksi dan pembiasan diatur oleh dua hukum. Hukum
pertama yaitu, hukum refleksi yang berbunyi “sinar yang tercermin terletak pada bidang insiden
dan memiliki sudut refleksi yang sama dengan sudut insiden (keduanya relatif terhadap normal)”.
Hukum kedua yaitu, hukum pembiasan yang berbunyi sinar yang difungsikan terletak pada bidang
insiden dan memiliki sudut pembiasan 𝜃2 yang terkait dengan sudut insiden 𝜃2 .
Persamaan hukum pertama
𝜃′1 = 𝜃1 1.1
Persamaan hukum kedua
𝑛2 sin 𝜃2 = 𝑛2 sin 𝜃1 1.2
(Halliday, 2013).
Hukum refleksi dan pembiasan dapat diperoleh dari prinsip Huygens. Hukum refleksi dan
pembiasan ini biasa disebut dengan hukum pembiasan Snell. Dapat dilihat pada gambar 1.2 bahwa
pada sinar instan 1 menyerang permukaan dan interval waktu berikutnya sampai sinar 2 menyerang
permukaan. Selama interval waktu ini, gelombang di A mengirimkan gelombang Huygens (busur
coklat muda yang melewati D) dan cahaya merefracts ke dalam bahan, membuat sudut 𝜃2 dengan
normal ke permukaan. Dalam interval waktu yang sama, gelombang di B mengirimkan gelombang
Huygens (busur coklat muda yang melewati C) dan cahaya terus merambat ke arah yang sama
(Serway and Jewett, 2013).
Gambar 1.2
Konstruksi Huygens untuk membuktikan
hukum pembiasan Snell (Serway and Jewett, 2013)
𝑐
sin 𝜃1 𝑛1 𝑛1
= 𝑐 = 1.6
sin 𝜃2 𝑛2
𝑛2
Dan
Gambar 1.3 Fenomena pensil dalam air (Halim & Herliana, 2020)
Pembiasan cahaya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja pada fenomena
pensil dalam air. Pada gambar 1.3 dapat kita lihat bahwa terjadi pembengkokan pada berkas
cahaya. Biasanya fenomena pembiasan cahaya berjalan dari medium cepat ke medium lambat.
Mata kita akan melihat bahwa pensil mengalami kelengkungan, tetapi sebenarnya tidak, hal ini
juga berlaku pada sebuah berkas cahaya yang datang dari udara masuk ke permukaan air. Hal ini
dikarenakan ada seberkas cahaya yang melewati media dengan kerapatan berbeda sehingga akan
membengkok dari garis normalnya (Halim & Herliana, 2020).
BAB II
METODOLOGI
𝑎
Jarak AB = a dan A = b; sudut defleksi : tan 𝛿 = 𝑏 diukur.
a (cm)
b (cm) 𝜙 (sudut Prisma)
Merah Hijau Biru
12,8 13,8 14,6
29 45° 13,2 13,7 13,8
13,4 14,4 13,3
13,9 15,2 14,5
30 45° 14,2 15,4 14,9
14,3 15,9 15,7
13,4 13 12,8
28 45° 13,5 13,3 13,2
14,2 13,5 13,6
3.2 Perhitungan
3.2.1 Data, b = 29 cm, 𝝓 = 45o, filter = merah
No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 12,8 29 23,8157 0,015186 1,009237
2 13,2 29 24,4737 0,015228 1,009492
3 13,4 29 24,8002 0,015246 1,009619
𝑎 12,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 23,8157°
𝑎 13,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,4737°
𝑎 13,4
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,8002°
12,8+13,2+13,4
𝑎̅ = = 13,1 𝑐𝑚
3
𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (12,8−13,1)2 + (13,2−13,1)2 +(13,4−13,1)2
Δ𝑎 = √ = √ = 0,3 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
12,8 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015186°
(12,8+292 ) (12,82 +292 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
13,2 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015228°
(13,22 +292 ) (13,22 +292 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
13,4 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015246°
(13,4 2 +292 ) (13,42 +292 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (23,8157+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009237
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,4737+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009492
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,8002+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009619
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009237 +1,009492+1,009619
𝑛̅ = = 1,009449
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
(1,009237−1,009449 )2 + ( 1,009492−1,009449 )2 +( 1,009619−1,009449) 2
= √ = 1,94 × 10−4
3−1
Δ𝑛 1,94 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,019%
𝑛̅ 1,009449
𝑎 13,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,4480°
𝑎 13,7
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,2867°
𝑎 14,4
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 26,4068°
13,8+13,7+14,4
𝑎̅ = = 14 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
13,8 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017334°
(13,82 +292 ) (13,82 +292 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 +𝑏2 2
2 ) (𝑎2 +𝑏2 2
2 )
13,7 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017332°
(13,72 +292 ) (13,72 +292 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )
14,4 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017341°
(14,4 2 +292 ) (14,42 +292 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4480+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009870
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,2867+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009807
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,4068+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010242
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009870 +1,009807+1,010242
𝑛̅ = = 1,009973
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 2,35 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,023%
𝑛̅ 1,0099739
𝑎 14,6
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 26,7229°
𝑎 13,8
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,4480°
𝑎 13,3
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,6372°
14,6+13,8+13,3
𝑎̅ = = 13,9 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
14,6 29
= 0,5 + 0,7 = 0,024964°
(14,62 +292 ) (14,62 +292 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
13,8 29
= 0,5 + 0,7 = 0,0249648°
(13,8+292 ) (13,82 +292 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
13,3 29
= 0,5 + 0,7 = 0,024964°
(13,3+292 ) (13,32 +292 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,7229+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010364
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4480+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009870
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,6372+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009556
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 4,08 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,04%
𝑛̅ 1,009930
𝑎 13,9
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 24,8599°
𝑎 14,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,3298°
𝑎 14,3
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,4856°
13,9+14,2+14,3
𝑎̅ = = 14,1 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
13,9 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012070°
(13,92 +302 ) (13,9+302 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
14,2 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012114°
(14,2+302 ) (14,22 +302 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
14,3 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012128°
(14,32 +302 ) (14,3+302 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,8599+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009642
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,3298+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009824
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4856+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009885
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009642 + 1,009824+1,009885
𝑛̅ = = 1,009784
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 1,26 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,013%
𝑛̅ 1,009784
𝑎 15,2
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 26,8698°
𝑎 15,4
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,1729°
𝑎 15,9
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,9236°
15,2+15,4+15,9
𝑎̅ = = 15,5 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 +𝑏1 2
2 ) (𝑎1 +𝑏1 2
2 )
15,2 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016283°
(15,22 +302 ) (15,22 +302 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
15,4 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016283°
(15,4 2 +302 ) (15,42 +302 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
13,4 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016279°
(15,9+302 ) (15,9+302 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,8698+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010421
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,1729+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,010539
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,9236+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010830
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,010421 + 1,010539+1,010830
𝑛̅ = = 1,010597
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 2,1× 10−4
𝐾𝑟 = 𝑛̅
𝑥 100% = 1,010597
𝑥 100% = 0,021%
𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,010597 ± 2,1× 10−4 )
𝑎 14,5
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,7960°
𝑎 14,9
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 26,4121°
𝑎 15,7
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,6246°
14,5+14,9+15,7
𝑎̅ = = 15 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
14,5 30
= 0,5 + 0,6 = 0,023040°
(14,52 +302 ) (14,52 +302 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
14,9 30
= 0,5 + 0,6 = 0,022977°
(14,9+302 ) (14,92 +302 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )
13,4 30
= 0,5 + 0,6 = 0,022835°
(15,72 +302 ) (15,72 +302 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7960+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010005
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,4121+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,010244
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,6246+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010714
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,010005 +1,010244+1,010714
𝑛̅ = = 1,010321
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 3,61 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,036%
𝑛̅ 1,010321
𝑎 13,5
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,7407°
𝑎 14,2
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 26,8915°
13,4+13,5+14,2
𝑎̅ = = 13,7 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 +𝑏1 2
2 ) (𝑎1 +𝑏1 2
2 )
13,4 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019620°
(13,4+282 ) (13,42 +282 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
13,5 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019617°
(13,52 +282 ) (13,52 +282 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )
14,2 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019586°
(14,22 +282 ) (14,22 +282 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,5744+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009919
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7407+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009984
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,8915+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010430
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009919 +1,009984+1,010430
𝑛̅ = = 1,010111
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √
𝑛−1
Δ𝑛 2,78 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,028%
𝑛̅ 1,010111
𝑎 13
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan(28) = 24,9048°
𝑎 13,3
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,4077°
𝑎 13,5
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,7407°
13+13,3+13,5
𝑎̅ = = 13,3 𝑐𝑚
3
𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (13−13,3)2 + (13,3−13,3)2 +(13,5−13,3)2
Δ𝑎 = √ = √ = 0,3 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
13 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014215°
(13+282 ) (13,22 +282 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )
13,3 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014254°
(13,32 +282 ) (13,3+282 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
13,5 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014278°
(13,52 +282 ) (13,52 +282 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,9048+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009659
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4077+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009854
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7407+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009984
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009659+1,009854+1,009984
𝑛̅ = = 1,009832
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
(1,009659−1,009832 )2 + (1,009854−1,009832 )2 +( 1,00998−1,009832) 2
= √ = 1,63 × 10−4
3−1
Δ𝑛 1,63 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,019%
𝑛̅ 1,009449
𝑎 12,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 24,5672°
𝑎 13,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,2405°
𝑎 13,6
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,9065°
12,8+13,2+13,6
𝑎̅ = = 13,2 𝑐𝑚
3
Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )
12,8 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018569°
(12,82 +282 ) (13,22 +282 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 +𝑏2 2
2 ) (𝑎2 +𝑏2 2
2 )
13,2 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018576°
(13,22 +282 ) (13,22 +282 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )
13,6 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018577°
(13,62 +282 ) (13,62 +282 )
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,5672+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009528
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,2405+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009790
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,9065+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010048
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009528 +1,009790+1,010048
𝑛̅ = = 1,009789
3
𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
Δ𝑛 2,6 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,026%
𝑛̅ 1,009789
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan nilai dari sudut deviasi minimum dan indeks
bias prismanya bisa diidentifikasi. Dari data hasil perhitungan, didapatkan hasil yang berbeda pada
ketiga warna filter monokromatik pada jarak antara prisma dan layar yang berbeda. Misal diambil
contoh pada data pertama dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar 29 cm. Pada sudut hasil
pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 23,8o , 24,4o dan 24,8o , Sedangkan pada filter hijau
didapat kan nilai sebesar 25,4o , 25,2o dan 26,4o, dan pada filter biru didapatkan nilai sebesar 26,7o,
25,4o dan 24,6o. Pada data kedua dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar 30 cm. Pada
sudut hasil pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 24,8o , 25,3o dan 25,4o , Sedangkan pada
filter hijau didapat kan nilai sebesar 26,8o , 27,1o dan 27,9o, dan pada filter biru didapatkan nilai
sebesar 25,7o, 26,4o dan 27,6o . Pada data ketiga dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar
28 cm. Pada sudut hasil pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 25,5o , 25,7o dan 26,8o ,
Sedangkan pada filter hijau didapat kan nilai sebesar 24,9o , 25,4o dan 25,7o, dan pada filter biru
didapatkan nilai sebesar 24,5o, 25,2o dan 25,9o . Dari data tersebut dapat diperoleh apabila semakin
besar nilai jarak antar titik biasnya, maka nilai sudut hasil pembiasannya besar pula. Lalu untuk
perubahan nilai pembiasaan, pada jarak pertama filter merah didapat nilai 0,015o, pada filter hijau
didapatkan nilai sebesar 0,017o dan pada filter biru di dapat nilai sebesar 0,02o. Pada jarak kedua
filter merah didapat nilai 0,012o, pada filter hijau didapatkan nilai sebesar 0,016o dan pada filter
biru di dapat nilai sebesar 0,02o. Pada jarak ketiga filter merah didapat nilai 0,019o, pada filter
hijau didapatkan nilai sebesar 0,014o dan pada filter biru di dapat nilai sebesar 0,018o. Hal ini
berbanding terbalik dengan nilai sudut hasil pembiasan, dimana perubahan nilai sudut hasil
pembiasan semakin besar jika nilai jarak antar titik biasnya semakin kecil. Sedangkan untuk nilai
indeks bias (n), sama seperti nilai sudut hasil pembiasan. Dimana semakin besar nilai jarak antar
titik biasnya, maka nilai indeks biasnya besar pula. Untuk kr nya, pada jarak pertama filter merah
sebesar 0,019 % untuk filter hijau 0,023 % dan untuk filter biru 0,04%. Pada jarak kedua filter
merah sebesar 0,013 % Untuk filter hijau 0,021 % dan untuk filter biru 0,036%. Pada jarak ketiga
filter merah sebesar 0,028 % Untuk filter hijau 0,016 % dan untuk filter biru 0,026%. Sehingga
untuk kr , nilai nya cukup kecil sehingga data yang didapatkan cukup akurat. Dengan demikian
dapat digarisbawahi oleh praktikan bahwasanya data yang diperoleh sangat bervariatif karena
tentunya perubahan jarak yang berbeda. Selain itu, faktor penunjang yang mungkin terjadi pada
saat praktikum berlangsung yaitu kerusakan alat atau ketidaktelitian praktikan saat dilakukannya
praktikum.
Konsep dasar pembiasan cahaya banyak didasari oleh hasil pemikiran ilmuwan Belanda
Willebrord Snellius yang lebih dikenal dengan hukum I Snellius dan hukum II Snellius. Hukum
Snellius adalah rumus matematika yang memerikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias
pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda,
seperti udara dan gelas. Hukum I Snellius berbunyi ““Jika suatu cahaya melalui perbatasan dua
jenis zat cair, maka garis semula tersebut adalah garis sesudah sinar itu membias dan garis normal
dititik biasnya, ketiga garis tersebut terletak dalam satu bidang datar.”. Hukum II Snellius
berbunyi “Perbandingan sinus sudut datang dengan sinus sudut bias selalu konstan. Nilai
konstanta dinamakan indeks bias(n).”
Hubungan nilai indeks bias suatu bahan terhadap panjang gelombang cahaya yaitu dimana n
adalah nilai indeks bias dan lamda (𝜆) adalah panjang gelombang. Panjang gelombang akan
berubah saat melewati medium dengan kerapatan yang berbeda. Indeks bias benda terpengaruh
oleh kerapatannya. Semakin rapat (padat) maka indeks biasnya semakin besar. Dan juga diketahui
bahwa setiap warna memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda. Lalu setiap panjang
gelombang itu memiliki indeks bias yang berbeda-beda, indeks biasnya akan semakin besar ketika
panjang gelombangnya semakin kecil, maupun sebaliknya, hal ini dapat dibuktikan dengan
persamaan berikut.
𝑐 𝑐
𝑛= =
𝑣 𝜆 3.4
𝑓
Keterangan: 𝑛 = indeks bias
𝑐 = kelajuan cahaya diruang hampa (m/s)
𝑣 = cepat rambat (m/s)
𝜆 = panjang gelombang (m)
𝑓 = frekuensi (Hz), dalam hal ini dianggap sama
Refraktometer prisma dengan sumber laser telah digunakan di bidang pertanian untuk
pengukuran kadar gula/rendemen tebu di sawah atau di pabrik dan telah terbukti sebagai alat yang
cepat dan mudah digunakan di lapangan. Hasil pengukurannya yang telah dikalibrasi dengan laser
hijau meliputi penentuan kadar gula melalui pengukuran indeks bias. Bekerjanya di daerah sinar
hijau 455 nm yang tampak sangat cerah geometri perjalanan berkas sinarnya dalam sampel larutan
gula dalam prisma. Metode pengukuran refraktometer prisma ini menggunakan perubahan sudut
puncak prisma dengan sudut datang dan sudut bias dibuat sama sehingga kesimetrisan berkas sinar
teta terjaga. Pengaturan berikut adalah merubah besarnya sudut puncak untuk mendapatkan nilai
pengukuran sinar oleh fotodioda maksimum. Harga maksimum yang ditunjukkan oleh pengukuran
fotodioda menunjukkan harga pengukuran sesuai dengan nilai sudut puncak prisma yang
digunakan. Salah satu keuntungan menarik dari refraktometer ini adalah bahwa ukurannya agak
kecil sehingga bisa muat dengan medan portable (Christy, 2008).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah praktikum dilaksanakan, didapatkan suatu kesimpulan bahwa yang pertama yaitu
dapat ditentukannya indeks bias prisma oleh praktikan. Nilai indeks bias ditentukan dengan
menghitung jarak panjang gelombang dibagi jarak prisma ke dinding dikali dengan arc tan. Yang
kedua, dapat dijelaskan ketergantungan indeks bias pada panjang gelombang oleh praktikan..
Dimana semakin besar panjang gelombang sebuah cahaya, maka semakin kecil pula indeks bias
yang dihasilkan.
4.2 Saran
Sebelum dilakukan praktikum, sebaiknya untuk dipelajari materi yang berkaitan dengan
praktikumnya, agar meminimalisir terjadinya kesalahan. Kemudian harus dipahami setiap fungsi
alat sebelum praktikum dilaksanakan. Pada saat praktikum, sebaiknya dibutuhkan konsentrasi yang
tinggi. Kemudian pada saat perhitungan praktikan juga harus teliti agar data yang akurat dapat
dihasilkan, dan jangan lupa kalibrasi alat sebelum digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Christy C.D. 2008. Real-time measurement of soil attributes using on-the-go near infrared
reflectance spectroscopy. Computers And Electronics in Agriculture Journal. 61: 10-19.
Halim, A., Fitri Herlina. 2020. Pengantar Fisika Kuantum. Syiah Kuala University Press. Aceh.
Halliday and Resnick. 2013. Fundamental of Physics 10th Edition. John Wiley and Sons. New
York.
Serway and Jewett. 2013. Physics for Scientist and Engineers with Modern Physics. Brooks/Cole
Cengage learning. Belmont.
LAMPIRAN
Defleksi adalah ketika cahaya memantul kembali pada permukaan bidang karena ditekuk
oleh gaya gravitasi. Defleksi dapat berupa massa dan kecepatan, serta cahaya dan suara.
Defleksi ada 2 jenis yaitu pembelokan jangka pendek dan defleksi jangka panjang
PRETEST