Anda di halaman 1dari 211

LAPORAN KELOMPOK

PRAKTIKUM FISIKA DASAR II

Disusun Oleh:

Nepta Nur Rahma 205090801111020


Nina Sajidah Firdawati 205090801111021
Sofi Gita Firnanda 205090801111022
R. Achmad Nafi’ Firdausi 205090801111026

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
LAPORAN KELOMPOK
PRAKTIKUM FISIKA DASAR II

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Fak/Jurusan : MIPA/ Fisika
Tgl Penyusunan : 21 Mei 2021

Catatan :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………

Koordinator Asisten Kelas Ketua Koordinator Asisten

Muhammad Zainurrahman Wahyu Wijayanto


DAFTAR ISI
Hukum Ohm ..............................................................................................................................4

Jembatan Wheatstone ...............................................................................................................20

Medan Magnet… .....................................................................................................................51

Resonansi Rangkaian LRC ......................................................................................................71

Lensa Tipis................................................................................................................................93

Indeks Bias Larutan ...............................................................................................................115

Difrraksi Cahaya ....................................................................................................................131

Indeks Bias Prisma .................................................................................................................170


LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Hukum Ohm)

(PERCOBAAN-LM1)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 12 April 2021
Nama Asisten : Mar’atus Sholikhah

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
Tujuan yang diharapkan dari praktikum hukum ohm ini adalah agar konsep Hukum Ohm
dapat dipahami dan besar arus serta tegangan dalam suatu rangkaian dapat ditentukan oleh
praktikan.

1.2 Dasar Teori


Hukum Ohm didefinisikan sebagai kejadian apabila suatu konduktor logam pada
temperatur tetap, maka perbandingan perbedaan potensial antara dua titik dari konduktor
dengan arus listrik adalah tetap. Ketetapan ini disebut sebagai hambatan listrik atau tahanan
listrik. Secara matematis, Hukum Ohm dapat dituliskan sebagai berikut:
𝑽
𝑹= (1.1)
𝒕

(Wahyudi, 2015)
Perangkat akan dilintasi oleh potensi jatuhan yang sama dengan aliran arus pada perangkat
dikalikan dengan hambatan perangkat, hal ini dinyatakan dalam hukum Ohm
𝟏𝑽
𝟏𝛀 = 𝟏𝑨 (1.2)

Restivitas suatu materi yang dikandung oleh semua bahan adalah sama ke segala arus.
Hambatan dari perangkat tergantung pada perangkat yang dibuat oleh bahan serta geometri.
Hal ini dicirikan dengan besar melawan aliran arus. Restivitas didefinisikan dalam medan listrik
(E) dan besarnya kerapatan arus yang dihasilkan. Dengan kata lain, restivitas diartikan sebagai
ukuran kuat lemahnya suatu material yang bertentang dengan aliran arus listrik.
𝑬
𝑷= (1.3)
𝒋

(Bauer, 2011)
Arus listrik dapat dihasilkan dari suatu rangkaian dengan adanya perbedaan potensial.
Perbedaan potensial sepanjang kawat penghantar sendiri dapat dihasilkan dengan cara ujung
kawat dihubungkan dengan terminal baterai yang berlawanan kutubnya. Besarnya arus listrik
dalam kabel ditentukan dari tegangan setiap ujung kawat dan resistansi yang ada pada kawat
terhadap elektron diperhatikan. Rumus umum dalam Hukum Ohm yang lazim digunakan
adalah:
𝑽
𝑰= (1.4)
𝑹

I dalam persamaan 1.4 divariabelkan sebagai arus listrik, R sebagai reistansi dan v diartikan
sebagai perbedaan potensial kedua ujung kawat (Giancoli, 2014).
Gambar 1.1 Grafik Arus Konduktor Logam. Sumber: Giancoli, 2014.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bahwa tidak ada medan listrik di dalam
konduktor. Ketiadaan listrik di dalam konduktor iini hanya berlaku apabila konduktor berada
pada kesetimbangan yang tetap. Arus medan listrik dihasilkan oleh muatan yang bergerak
dalam konduktor dan disebut sebagai listrik non statis. Perlakuan serupa hanya berlaku apabila
rapat arus seragam dan luas penampang tegak lurus dengan arah arus. Dalam hal ini diketahui
pula bahwa rapat arus merupakan bagian dari besaran vektor. Arus listrik diistilahkan sebagai
banyaknya muatan listrik yang dialirkan sepanjang kawat penghantar per satuan waktu. Muatan
listrik dapat dialirkan dan dipindahkan sari satu tempat ke tempat lain terdapat perbedaan
potensial. Proses dialirkannya muatan listrik terjadi dari potensial tinggi ke potensial rendah.
Listrik akan dialirkan dari potensial tinggi ke potensial rendah, selaras dengan persamaan 1.4
bahwa R disebut dengan hambatan listrik. Semakin besar hambatan pada suatu arus maka
semakin sulit arus tersebut dialirkan, hal ini ditandai dengan arus listrik yang semakin kecil
(Saefullah, dkk, 2018).
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Dalam percobaan medan magnet ini, alat dan bahan yang diperlukan antara lain: dPower
Supply, Papan Rangkaian, Multimeter, Voltmeter, Amperemeter, 3 buah Resistor (220 Ohm,
300 Ohm dan 100 Ohm) dan kabel penghubung.

2.2 Tata Laksana Percobaan


Alat dan bahan disiapkan oleh praktikan.

Rangkaian percobaan Hukum Ohm disusun.

Setiap alat ukur dikalibrasikan.

Power Supply dinyalakan, tegangan pada voltmeter diatur sesuai yang ditentukan.

Nilai arus yang keluar pada amperemeter diperhatikan dan dicatat.

Tegangan dinaikkan per 2 volt hingga 10 volt, nilai arus pada amperemeter setiap
perubahan dicatat kembali.

Langkah diulangi dengan resistor yang berbeda.


BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
I (A)
V (volt)
R=100𝛀 R=220𝛀 R=300𝛀
0 0 0 0
2 20,5× 10-3 9 × 10-3 7,4 × 10-3
4 40,3 × 10-3 18,3 × 10-3 15,8 × 10-3
6 59 × 10-3 27,9 × 10-3 22,6 × 10-3
8 80,9 × 10-3 36,7 × 10-3 31,3 × 10-3
10 101,4 × 10-3 46,8 × 10-3 41 × 10-3

3.2 Grafik
Centroid = (𝒙
̅, 𝒚
̅)
𝒚𝟐 − 𝒚𝟏
𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝒙𝟐 − 𝒙𝟐
𝟏
𝑹=
𝒕𝒂𝒏 𝜽
𝒚 − 𝒚𝒃
𝑲𝒓 = 𝒂 × 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝒚
̅

3.2.1 Grafik untuk R=100 Ohm


X Y 𝒙=𝟓
̅ ̅ = 𝟓𝟎, 𝟑𝟓 × 𝟏𝟎−𝟑
𝒚
V (Volt) -3
I (× 10 ) Ampere Centroid (𝒙 ̅)= (5 ; 50,35 × 𝟏𝟎−𝟑)
̅, 𝒚
0 0
2 20,5× 10-3 (𝟓𝟕, 𝟖 − 𝟒𝟒) × 𝟏𝟎−𝟑
4 40,3 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟓, 𝟔 − 𝟒, 𝟒𝟗
6 59 × 10-3 𝟏𝟑, 𝟖 × 𝟏𝟎−𝟑
8 80,9 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟏, 𝟏𝟏
10 101,4 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 = 𝟏𝟐, 𝟒𝟑 × 𝟏𝟎−𝟑
𝜽 = 𝟎, 𝟎𝟏𝟐𝟒𝟑 𝑹𝒂𝒅 = 𝟎, 𝟕𝟏°

𝟏
𝑹= = 𝟖𝟎, 𝟒𝟓 𝐎𝐡𝐦
𝟏𝟐, 𝟒𝟑 × 𝟏𝟎−𝟑

(𝟔𝟕 − 𝟑𝟓) × 𝟏𝟎−𝟑


𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟐(𝟓𝟎, 𝟑𝟓 × 𝟏𝟎−𝟑 )
𝟑𝟐
𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟏𝟎𝟎, 𝟗
Kr=31,7 %
Grafik 3.1 Hubungan Arus dan Tegangan pada R 100 Ohm

3.2.2 Grafik untuk R=220 Ohm


X Y 𝒙=𝟓
̅ ̅ = 𝟐𝟑, 𝟏𝟐 × 𝟏𝟎−𝟑
𝒚
V (Volt) I (× 10-3 ) Ampere Centroid (𝒙 ̅)=(5 ; 𝟐𝟑, 𝟏𝟐 × 𝟏𝟎−𝟑 )
̅, 𝒚
0 0 (𝟐𝟔 − 𝟐𝟎) × 𝟏𝟎−𝟑
2 9 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟓, 𝟓 − 𝟒, 𝟒
4 18,3 × 10-3 𝟔 × 𝟏𝟎−𝟑
6 27,9 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟏, 𝟏𝟏
8 36,7 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 = 𝟓, 𝟒𝟓 × 𝟏𝟎−𝟑
10 46,8 × 10-3 𝜽 = 𝟎, 𝟎𝟎𝟓𝟒𝟓 𝑹𝒂𝒅 = 𝟎, 𝟑𝟏°

𝟏
𝑹= = 𝟏𝟖𝟑, 𝟒𝟓 𝐎𝐡𝐦
𝟓, 𝟒𝟓 × 𝟏𝟎−𝟑

(𝟑𝟎 − 𝟏𝟕) × 𝟏𝟎−𝟑


𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟐(𝟐𝟑, 𝟏𝟐 × 𝟏𝟎−𝟑 )
𝟏𝟑
𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟒𝟔, 𝟐𝟒
Kr=28,11%
Grafik 3.2 Hubungan Arus dan Tegangan pada R 220 Ohm

3.2.3 Grafik untuk R=300 Ohm


X Y 𝒙=𝟓
̅ ̅ = 𝟏𝟗, 𝟔𝟖 × 𝟏𝟎−𝟑
𝒚
V (Volt) I (× 10-3 ) Ampere Centroid (𝒙 ̅)= (5; 𝟏𝟗, 𝟔𝟖 × 𝟏𝟎−𝟑)
̅, 𝒚
0 0 (𝟐𝟐, 𝟓 − 𝟏𝟔, 𝟓) × 𝟏𝟎−𝟑
2 7,4 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟓, 𝟕 − 𝟒, 𝟒
4 15,8 × 10-3 𝟔 × 𝟏𝟎−𝟑
6 22,6 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 =
𝟏, 𝟑
8 31,3 × 10-3 𝐭𝐚 𝐧 𝜽 = 𝟒, 𝟔𝟏 × 𝟏𝟎−𝟑
10 41 × 10-3 𝜽 = 𝟎, 𝟎𝟎𝟒𝟔𝟏 𝑹𝒂𝒅 = 𝟎, 𝟐𝟔°

𝟏
𝑹= = 𝟐𝟏𝟔, 𝟗𝟐𝐎𝐡𝐦
𝟒, 𝟔𝟏 × 𝟏𝟎−𝟑

(𝟐𝟓 − 𝟏𝟐) × 𝟏𝟎−𝟑


𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟐(𝟏𝟗, 𝟔𝟖 × 𝟏𝟎−𝟑 )
𝟏𝟑
𝑲𝒓 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝟑𝟗, 𝟑𝟔
Kr=33,02 %
Grafik 3.3 Hubungan Arus dan Tegangan pada R 300 Ohm

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum Hukum Ohm memiliki kegunaan
yang berbeda-beda. Power supply digunakan sebagai sumber tegangan yang kemudian
dialirkan pada rangkaian, Multimeter dibutuhkan untuk pengukuran arus dan tegangan, dalam
hal ini tegangan diukur dengan voltmeter sedangkan arus diukur dengan amperemeter. Terdapat
juga papan rangkaian yang digunakan sebagai bidang tempat komponen percobaan dirangkai,
tiga buah resistor dengan nilai tahanan masing-masing berbeda yaitu 100 Ohm, 220 Ohm dan
300 Ohm disediakan sebagai variabel yang akan diuji arusnya kemudian. Nilai tahanan
disengajakan berbeda sebagai varian data hasil percobaan. Setiap komponen dalam rangkaian
disambungkan dengan konektor atau kabel penghubung untuk dapat difungsikan.
Sebelum melakukan percobaan, penting agar semua alat dan bahan yang diperlukan
dalam pelaksanaan disiapkan oleh praktikan agar praktikum berjalan dengan lancar.
Selanjutnya komponen percobaan disusun sebagai rangkaian percobaan sesuai dengan
pengaturan susunan yang disediakan dalam buku pedoman praktikum, hal ini dilakukan agar
praktikum sesuai dengan ketentuan pelaksanaan yang ditetapkan laboratorium berdasarkan
prinsip percobaan. Setiap alat ukur yang akan digunakan dalam percobaan dikalibrasikan
terlebih dahulu agar kesalahan pengukuran dapat diminimalisir. Percobaan diawali dengan
langkah pertama yaitu power supply dinyalakan agar tegangan dapat dialirkan pada papan
rangkaian lewat kabel penghubung. Tegangan dari power supply diatur dengan diamatinya nilai
pada voltmeter agar sesuai dengan petunjuk pada buku pedoman praktikum. Diamati juga nilai
pada amperemeter jika tegangan sumber sudah disesuaikan, hasilnya kemudian dicatat sebagai
data hasil percobaan. Tegangan kemudian diubah dengan langkah yang sama untuk didapatnya
data hasil percobaan, langkah percobaan diberlakukan kepada resistor lainnya yang berbeda
agar didapatkan variasi data supaya akurasi percobaan lebih tinggi.

3.3.2 Analisa Hasil


Data hasil percobaan yang telah didapatkan berupa beda potensial atau tegangan listrik
(V) di antara ujung-ujung penghantar dan arus listrik (I) dengan peubah berupa resistor (R).
dari data-data tersebut didapati bahwa besarnya arus yang terukur akan naik apabila
tegangannya dinaikkan, hal ini sangat terlihat dari tabel 3.1 pada baris ke bawah semakin tinggi
nilai tegangannya dan nilai arus yang terukur juga semakin bertambah. Namun jika dilihat antar
kolom dari kolom pertama hingga kolom ke tiga, ternyata terjadi hal yang berkebalikan. Kolom
pertama diisi dengan resistor dengan nilai 100 Ohm, kolom kedua untuk resistor 220 Ohm
sedangkan kolom ketiga 300 Ohm, ditemukan penurunan terhadap nilai arus yang terukur
semakin besar nilai resistornya. Dengan tegangan yang sama, arus pada resistor pertama akan
lebih besar dibandingkan arus pada resistor kedua dan ketiga. Hal ini sesuai dengan konsep
dasar dari bunyi hukum Ohm yang disebutkan bahwa arus yang mengalir pada suatu rangkaian
akan sebanding dengan tegangan yang terdapat pada rangkaian tersebut dan berbanding terbalik
dengan nilai hambatannya (persamaan 1.4).
Data dari hasil percobaan praktikum ini kemudian dikonversikan ke dalam bentuk grafik
ralat agar dapat diketahui apakah data yang didapat sudah sesuai ataukah masih terdapat banyak
kekeliruan dalam pengambilan data. Didapatkan tiga grafik ralat dari data percobaan untuk
masing-masing resistor. Dari ketiga grafik tersebut, pertama terlihat jelas bahwa tegangan atau
beda potensial sebanding dengan besarnya arus karena grafik yang terbentuk lurus dengan sudut
dan kemiringan tertentu dan juga dihitung sebagai ralatnya. Ternyata setelah dihitung kembali
berdasarkan data grafik, ralat yang dijumpai relatif besar karena sudah di atas 25%. Ketiga
grafik tersebut jika dikaitkan dengan konsep dasar Hukum Ohm sudah terpenuhi karena bentuk
grafik yang selaras dengan bunyi Hukum Ohm. Tetapi dalam perhitungan datanya, ternyata
masih terjadi kesalahan relatif yang lumayan besar, hal ini kemungkinan besar terjadi karena
kurang telitinya praktikan dalam melukis garis-garis pada grafik dan kesalahan seperti ketidak
telitian dalam penempatan skala nilai grafik.
Prinsip pengukuran yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan digunakannya
alat ukur voltmeter dan amperemeter terhadap bagian rangkaian yang akan diujikan. Voltmeter
dan amperemeter ini tidak dapat dengan sembarang dipasangkan kepada ragkaian agar
pembacaannya benar. Voltmeter dan amperemeter dipasang dengan cara yang berbeda karena
sifat dari variabel yang diukur. Voltmeter dipasang secara paralel dengan kaki positif dan
negatif voltmeter dipasang sebelum dan sesudah adanya hambatan, hal ini dikarenakan sifat
dari potensial yang akan terbagi jika dikenakan pada rangkaian secara seri, potensial yang
mengalir sebagian akan dihambat oleh resistor sehingga potensial yang mengalir dari titik ke
titik setelah komponen akan berbeda, karena itulah yang diukur untuk dijadikan tegangan
adalah perbedaan potensial sebelum dan setelah resistor. Berbeda halnya dengan penggunaan
amperemeter yang harus dipasang secara seri pada rangkaian. Hal ini dikarenakan sifat dari
arus yang diukur akan terbagi apabila dihadapkan pada suatu percabangan, sehingga jika
amperemeter disusun paralel terhadap resistor maka yang terukur bukan arus yang dialirkan
pada resistor tersebut melainkan arus yang sudah terbaagi karena adanya percabangan dari
penghantar arus tersebut. Dengan disusunnya amperemeter secara seri maka nilai yang terbaca
akan sama dan konkrit dengan nilai arus yang dialirkan pada resitor.
Terdapat 2 jenis rangkaian pada buku pedoman praktikum Fisika yang diberi nomor 3A
dan 3B. pada rangkaian pertama, amperemeter diletakkan secara seri lebih dulu kemudian
dipasangkan voltmeter secara paralel yang dirangkai bersama dengan sebuah resistor dan
sumber tegangan, sedangkan rangkaian 3B diposisikan voltmeter secara paralel terlebih dahulu
kemudian amperemeter secara seri dengan komponen resistor dan sumber tegangan yang sama.
Dari kedua rangkaian ini dapat diketahui bahwa tidak ada perubahan pengukuran yang terjadi
walaupun susunan pemasangan alat ukurnya berbeda. Amperemeter dan voltmeter tetap akan
berfungsi sebagaimana mestinya, nilai tegangan dan arus tidak berubah meskipun urutan
pengukurannya berubah. Sesuai dengan prosedur pemasangan alat ukur amperemeter dan
voltmeter yang mana amperemeter disusun secara seri terhadap hambatan dan voltmeter
disusun secara paralel, tidak akan terjadi kesalahan pembacaan apabila hal ini sudah diterapkan
dengan benar.
Ada dua jenis piranti yang dapat difungsikan sebagai hambatan dalam sebuah rangkaian
jika dilakukan pengukuran tegangan dan arus. Sebuah piranti dapat dikatakan ohmik apabila
sesuai dengan Hukum Ohm dengan nilai arus dan tegangan yang seirama. Dari piranti ohmik
hanya akan dikenall istilah tegangan dan arus saja jika digambarkan dalam bentuk grafik akan
menunjukkangrafik fungsi linear. Contoh dari piranti ohmik ini adalah resistor karbon. Adapun
ketika piranti yang digunakan tidak linear atau tidak sesuaidengan Hukum Ohm, maka akan
ada istilah piranti non-ohmik, contoh dari piranti non ohmik ini adalah dioda dan transistor.
Dioda ataupun transistor dapat difungsikan sebagai hambatan pada suatu rangkaian listrik tetapi
tidak selalu. Adapun pada arus dan tegangan pada dioda tidak bersifat sebanding. Dimana
dikenal istilah arus saturasi, tegangan dadal, bias maju dan mundur. Jika digambarkan dalam
bentuk grafik akan tampak sebuah kurva khas karakteristik dioda.
Hukum Ohm hampir mendominasi dan terdapat di semua sistem kelistrikan di pelbagai
bidang. Penggunaan Hukum Ohm secara spesifik pun bukan hal yang jarang ditemukan.
Pesatnya perkembangan teknologi membawa tidak juga dilepaskan dari Hukum Ohm yang
hingga saat ini banyak dijadikan pondasi untuk inovasi-inovasi baru. Salah satu inovasi
pengembangan yang berprinsip terhadap Hukum Ohm adalah pembuatan plasma lucutan yang
kerap kali digunakan sebagai deteksi adanya zat karbon berupa asap dan sudah diterapkan di
banyak bidang baik itu industri, medis, pertanian, dan sebagainya (Arianto, dkk, 2017).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep dasar Hukum Ohm yaitu hambatan bergantung terhadap besar kecilnya
tegangan maupun arus listrik yang mengalirinya. Hukum Ohm menyatakan bahwa beda
potensial atau tegangan listrik yang dilewatkan terhadap hambatan tertentu akan sebanding
dengan arus listriknya. Besarnya arus ditentukan dengan memberikan beda potensial kepada
rangkaian kemudian dibandingkan dengan besarnya hambatan yang dilewatinya. Pengukuran
arus dilakukan dengan alat ukur amperemeter yang disusun seri pada rangkaian sedangkan
tegangan dapat diukur dengan voltmeter yang disusun secara paralel dalam susunan rangakaian.

4.2 Saran
Pada saat dilakukan perhitungan dengan menggunakan grafik, diharapkan praktikan
agar lebih berhati-hati dan teliti terhadap penempatan skala dan pembacaan nilai grafiknya,
karena hal ini berpengaruh terhadap keakuratan data hasil percobaan meskipun konsep dasarnya
sudah terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA

Arianto, dkk. 2017. Karakterisasi Reaktor Plasma Lucutan Berpenghalang Dielektrik


Berkonfigurasi Elektroda Spiral-Silinder dengan Sumber Udara Panas. Youngster
Physics Journal. Vol 6 (3): 235-241
Bauer, Wolfgang dan Gary D. Westfall. 2011. University Physics With Modern Physics. New
York: Mc Graw-Hill
Giancoli, D.C. 2014. Physics with Applications. New York: Pearson Education
Saefullah, A., Fakhturrokhman, dkk. 2018. Rancang Bangun Alat Praktikum Hukum Ohm
Untuk Memfasilitasi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking
Skills). Gravity: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pembelajaran Fisika. Vol 4(2): 81-90
Wahyudi. 2015. Analisis Hasil Belajar Mahasiswa Pada Pokok Bahasan Hukum Ohm dan
Kirchoff Dalam Mata Kuliah Elektronika Dasar 1. Jurnal Pendidikan Fisika dan
Teknologi. Vol (1):131-132
LAMPIRAN
Screenshot Literatur

(Arianto, dkk, 2017)


(Bauer, 2011)
(Giancoli, 2014)

(Saefullah, dkk, 2018)


(Wahyudi, 2015)
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Jembatan Wheatstone)

(PERCOBAAN-LM2)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 26 April 2021
Nama Asisten : Almas Bilqis Fisabila

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dilakukannya praktikum jembatan wheatstone ini, dasar pengukuran
hambatan listrik dengan metode arus nol dapat dijelaskan oleh peserta praktikum. Selain
itu, nilai dari suatu hambatan listrik dengan penggunaan metode jembatan wheatstone
juga dapat ditentukan oleh praktikan.
1.2 Dasar Teori
Charles Wheatstone mengembangkan suatu prinsip yang dinamakan dengan
jembatan wheatstone yang memiliki kegunaan untuk mengukur nilai hambatan yang
belum diketahui dan sebagai alat untuk mengkalibrasi alat – alat pengukuran seperti
amperemeter, voltmeter, dan lain – lain dengan memanfaatkan kawat geser resistif.
Dalam pengukuran nilai hambatan, umumnya digunakan alat ohmmeter ataupun
multimeter sebagai alat ukurnya. Namun, jembatan Wheatstone masih bisa digunakan
untuk mengukur nilai hambatan yang sangat rendah dalam satuan miliohm (Setiyo,
2017).

Jembatan Wheatstone dapat dimanfaatkan dalam pengukuran hambatan dalam


skala menengah, yaitu di kisaran antara 1 Ω sampai dengan 1 𝑀Ω. Jika hambatan skala
tinggi dapat diukur dengan Megger tester. Sedangkan, hambatan skala rendah dapat
diukur dengan miliohmmeter (Alexander & Sadiku, 2013).

Gambar 1.1 Jembatan Wheatstone (Schultz, 2016).


Pada jembatan Wheatstone terdapat 4 buah resistor yang dirangkai seakan –
akan membentuk sebuah berlian. Pada gambar 1.1, tegangan VT terhubung ke terminal
A dan terminal B yang merupakan terminal masukan/input dari rangkaian. Kemudian
di tengah rangkaian terdapat sebuah alat yang sensitif untuk mengukur arus yang disebut
dengan galvanometer (M1). Alat ini terhubung dengan terminal C dan terminal D yang
merupakan terminal keluaran/output pada rangkaian (Schultz, 2016).
Lantas, untuk mengetahui nilai hambatan yang tidak diketahui, RS diatur hingga
M1 menunjukkan angka 0 𝜇𝐴 untuk arusnya. Jika tidak ada arus yang mengalir pada
galvanometer, maka jembatan Wheatstone akan berada dalam kondisi seimbang. Selain
itu, jika arus yang mengalir sama dengan nol maka nilai perbandingan antara RX dan RS
akan sama dengan perbandingan antara lengan resistor R1 dan R2. Hal ini menyebabkan
tegangan di antara titik C dan D akan bernilai 0 V. Dalam keadaan seimbang, persamaan
tegangannya dapat dinyatakan dengan penurunan rumus sebagai berikut (Schultz, 2016):
𝐼1 𝑅𝑋 𝐼2 𝑅1 (1.1)
=
𝐼1 𝑅𝑆 𝐼2 𝑅2

Karena nilai I1 dan I2 adalah sama, maka dapat dihilangkan, sehingga


(Schultz, 2016):

𝑅𝑋 𝑅1 (1.2)
=
𝑅𝑆 𝑅2

Dimana RX adalah hambatan yang tidak diketahui, maka persamaan


akhirnya adalah (Schultz, 2016):

𝑅1 (1.3)
𝑅𝑋 = 𝑅𝑆 ×
𝑅2

Bagaimana menentukan kuat arus yang mengalir pada galvanometer jika


jembatan Wheatstone berada dalam keadaan tidak seimbang? Penyelesaiannya dapat
dengan menentukan tegangan dan hambatan theveninnya (VTh dan RTh). Apabila
hambatan pada galvanometer dilambangkan dengan Rm, maka persamaan matematis
untuk menentukan arus dalam keadaan tidak seimbang dapat dinyatakan sebagai berikut
(Alexander & Sadiku, 2013):

𝑉𝑇ℎ (1.4)
𝐼=
𝑅𝑇ℎ + 𝑅𝑚

Rangkaian jembatan Wheatstone yang seimbang memiliki beberapa aplikasi


elektronika, seperti pada pengukuran perubahan intensitas cahaya, ketegangan, ataupun
tekanan. Terdapat beberapa macam sensor resistif yang bisa dipasangkan dengan
rangkaian jembatan Wheatstone, di antaranya: sensor posisional, sensor fotoresistif
(LDR), sensor piezoresistif (untuk mengukur regangan), dan sensor suhu (thermistor)
(Setiyo, 2017).

Photocell Kadmium Sulfida (CdS) yang memiliki nama lain LDR merupakan
sebuah sensor resistif yang pasif yang dapat mengubah perubahan intensitas cahaya
menjadi perubahan hambatan. LDR memiliki kegunaan untuk memantau dan mengukur
intensitas cahaya. Berikut ini adalah gambar LDR jika dihubungkan dengan rangkaian
jembatan Wheatstone (Setiyo, 2017).

Gambar 1.2 Aplikasi jembatan Wheatstone pada LDR (Setiyo, 2017).


BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Alat – alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, galvanometer,
power supply, papan hambatan, kabel penghubung, bangku jembatan wheatstone,
beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (RX), dan sebuah hambatan
standar yang diketahui nilainya (RS).

2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian disusun sesuai dengan gambar yang ada di diktat.

Power supply dinyalakan dan diatur.

Kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser dari
titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di
angka nol.

Nilai RS, L1, dan L2 dicatat. Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik
dimana kontak K berfungsi. Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone
yang dikurang dengan panjang L1.

Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2 dan
panjang L1 dan L2 nya dicari kembali.

Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A, power supply
dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas B.

Power supply dinyalakan kembali dan langkah – langkah sebelumnya diulangi


dengan cara yang sama.
Setelah data dari RX1 polaritas A dan B sudah diperoleh, data – data pada RX2 dan
RX3 dicari dengan langkah – langkah yang sama.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

3.1.1 RX1

No Rs(kΩ) Polaritas A Polaritas B


L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 0,47 0,31 0,69 0,31 0,69
2 1 0,5 0,5 0,5 0,5
3 1,5 0,605 0,395 0,605 0,395
4 2 0,67 0,33 0,67 0,33
5 3,2 0,78 0,22 0,77 0,23

3.1.2 RX2

No Rs(kΩ) Polaritas A Polaritas B


L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 0,47 0,26 0,74 0,23 0,77
2 1 0,4 0,6 0,39 0,61
3 1,5 0,5 0,5 0,5 0,5
4 2 0,575 0,425 0,57 0,43
5 3,2 0,695 0,305 0,72 0,28

3.1.3 RX3

No Rs(kΩ) Polaritas A Polaritas B


L1(m) L2(m) L1(m) L2(m)
1 0.47 0,18 0,82 0,18 0,82
2 1 0,33 0,67 0,33 0,67
3 1.5 0,43 0,57 0,43 0,57
4 2 0,5 0,5 0,5 0,5
5 3.2 0,575 0,425 0,62 0,38

3.2 Perhitungan
3.2.1 RX1

Polaritas A Polaritas B
No
𝑹𝑿 (𝒌𝜴) |𝑹𝑿 − ̅̅̅̅
𝑹𝑿 |𝟐 𝑹𝑿 (𝒌𝜴) |𝑹𝑿 − ̅̅̅̅
𝑹𝑿 |𝟐
1 1,04612903 0,004033229 1,04612903 0,00374096
2 1 0,000302018 1 0,00022603
3 0,97933884 1,07747E-05 0,97933884 3,1661E-05
4 0,98507463 6,01871E-06 0,98507463 1,1877E-08
5 0,9025641 0,006409158 0,91428571 0,00499565

3.2.1.1 Polaritas A

𝐿2 0,69
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,04612903 Ω
𝐿1 0,31

𝐿2 0,5
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× =1Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,395
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 0,97933884 Ω
𝐿1 0,605

𝐿2 0,33
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 0,98507463 Ω
𝐿1 0,67

𝐿2 0,22
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 0,9025641 Ω
𝐿1 0,78

∑𝑅𝑥1 4,9131066
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 0,98262 Ω
𝑛 5

∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,01076
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,05187 Ω
𝑛−1 5−1

𝛿𝑅𝑥 0,05187
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 5,28%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 0,98262

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 0,98262 ± 0,05187 Ω

3.2.1.2 Polaritas B

𝐿2 0,69
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,04612903 Ω
𝐿1 0,31
𝐿2 0,5
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× =1Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,395
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 0,97933884 Ω
𝐿1 0,605

𝐿2 0,33
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 0,98507463 Ω
𝐿1 0,67

𝐿2 0,22
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 0,9025641 Ω
𝐿1 0,77

∑𝑅𝑥1 4,9131066
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 0,98496564 Ω
𝑛 5

∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,01076
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,04742 Ω
𝑛−1 5−1

𝛿𝑅𝑥 0,05187
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 4,81%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 0,98262

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 0,98496564 ± 0,04742 Ω

3.2.2 RX2

Polaritas A Polaritas B
No
𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2 𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2
1 1,3377 0,042619338 1,57347826 0,00908568
2 1,5 1,07071891 1,56410256 0,00738622
3 1,5 0,099379105 1,5 0,00047701
4 1,47826087 0,086145412 1,50877193 0,00093712
5 1,40431655 0,048207061 1,24444444 0,0546227

3.2.2.1 Polaritas A

𝐿2 0,74
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,3377 Ω
𝐿1 0,26

𝐿2 0,6
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 1,5 Ω
𝐿1 0,4
𝐿2 0,5
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,5 Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,425
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 1,47826087 Ω
𝐿1 0,575

𝐿2 0,305
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,40431655 Ω
𝐿1 0,695

∑𝑅𝑥 7,22027
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 1,44405 Ω
𝑛 5

∑|𝑅𝑥 − ̅̅̅̅
𝑅𝑥 |2 0,020321
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,07128 Ω
𝑛−1 5−1

𝛿𝑅𝑥 0,58032
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 4,93%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 1,18475

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 1,44405 ± 0,07128 Ω

3.2.2.2 Polaritas B

𝐿2 0,77
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 1,57347826 Ω
𝐿1 0,23

𝐿2 0,61
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 1,56410256 Ω
𝐿1 0,39

𝐿2 0,5
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,5 Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,43
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× = 1,50877193 Ω
𝐿1 0,57

𝐿2 0,28
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,24444444 Ω
𝐿1 0,72

∑𝑅𝑥 7,3907972
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 1,47816 Ω
𝑛 5
̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,072508
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,13464 Ω
𝑛−1 5−1

𝛿𝑅𝑥 0,13464
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 9,11%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 1,47816

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 1,47816 ± 0,13464 Ω

3.2.3 RX3

Polaritas A Polaritas B
No
𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2 𝑅𝑋 (𝑘𝛺) |𝑅𝑋 − ̅̅̅̅
𝑅𝑋 |2
1 2,14111111 0,00130396 2,14111111 0,01366463
2 2,03030303 0,005579746 2,03030303 3,706E-05
3 1,98837209 0,013602238 1,98837209 0,00128474
4 2 0,011025152 2 0,00058638
5 2,36521739 0,067712713 1,96129032 0,00395955

3.2.3.1 Polaritas A

𝐿2 0,82
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 2,14111111 Ω
𝐿1 0,18

𝐿2 0,67
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 2,03030303 Ω
𝐿1 0,33

𝐿2 0,57
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,98837209 Ω
𝐿1 0,43

𝐿2 0,5
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× =2Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,425
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 2,36521739 Ω
𝐿1 0,575

∑𝑅𝑥 10,525
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 2,105 Ω
𝑛 5

̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,099223
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,1575 Ω
𝑛−1 5−1
𝛿𝑅𝑥 0,1575
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 7,48%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 2,105

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 2,105 ± 0,1575 Ω

3.2.3.2 Polaritas B

𝐿2 0,82
𝑅𝑥1 = 𝑅𝑠1 × = 0,47 × = 2,14111111 Ω
𝐿1 0,18

𝐿2 0,67
𝑅𝑥2 = 𝑅𝑠2 × =1× = 2,03030303 Ω
𝐿1 0,33

𝐿2 0,57
𝑅𝑥3 = 𝑅𝑠3 × = 1,5 × = 1,98837209 Ω
𝐿1 0,43

𝐿2 0,5
𝑅𝑥4 = 𝑅𝑠4 × =2× =2Ω
𝐿1 0,5

𝐿2 0,38
𝑅𝑥5 = 𝑅𝑠5 × = 3,2 × = 1,96129032 Ω
𝐿1 0,62

∑𝑅𝑥 10,121
̅𝑅̅̅𝑥̅ = = = 2,024 Ω
𝑛 5

̅̅̅̅ |2
∑|𝑅𝑥 − 𝑅𝑥 0,01953
𝛿𝑅𝑥 = √ =√ = 0,06988 Ω
𝑛−1 5−1

𝛿𝑅𝑥 0,06988
𝐾𝑟 𝑅𝑥 = × 100% = × 100% = 3,45%
̅𝑅̅̅𝑥̅ 2,024

𝑅𝑥 = ̅𝑅̅̅𝑥̅ ± 𝛿𝑅𝑥 = 2,024 ± 0,06988 Ω


3.3 Grafik

3.3.1 RX1 Polaritas A

Gambar 3.1 Grafik RX1 Polaritas A.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 1,9 − 0,8


𝑅𝑋 = = = 1,358 Ω
2,12766 2,22580645 𝑥2 − 𝑥1 1,6 − 0,79
1 1
0,66667 0,65289256 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 1,22 − 0,8
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 19,54%
0,5 0,49253731 2𝑦̅ 2 × 0,9306
0,3125 0,28205128
3.3.2 RX1 Polaritas B

Gambar 3.2 Grafik RX1 Polaritas B.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 1,9 − 0,8


𝑅𝑋 = = = 1,358 Ω
2,12766 2,22580645 𝑥2 − 𝑥1 1,6 − 0,79
1 1
0,66667 0,65289256 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 1,22 − 0,8
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 19,56%
0,5 0,49253731 2𝑦̅ 2 × 0,9314
0,3125 0,28571429
3.3.3 RX2 Polaritas A

Gambar 3.3 Grafik RX2 Polaritas A.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 1,5 − 1,15


𝑅𝑋 = = = 1,2069 Ω
2,12766 2,84615385 𝑥2 − 𝑥1 1,1 − 0,81
1 1,5
0,66667 1 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 1,55 − 0,96
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 38,5%
0,5 0,73913043 2𝑦̅ 2 × 1,305
0,3125 0,43884892
3.3.4 RX2 Polaritas B

Gambar 3.4 Grafik RX2 Polaritas B.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 1,5 − 1,3


𝑅𝑋 = = = 1,66667 Ω
2,12766 3,34782609 𝑥2 − 𝑥1 1 − 0,8
1 1,56410256
0,66667 1 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 1,58 − 1,2
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 26,81%
0,5 0,75438596 2𝑦̅ 2 × 1,411
0,3125 0,38888889
3.3.5 RX3 Polaritas A

Gambar 3.5 Grafik RX3 Polaritas A.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 2,08 − 1,82


𝑅𝑋 = = = 2,16667 Ω
2,12766 4,55555556 𝑥2 − 𝑥1 1 − 0,88
1 2,03030303
0,66667 1,3255814 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 2,12 − 1,64
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 46,32%
0,5 1 2𝑦̅ 2 × 1,93
0,3125 0,73913043
3.3.6 RX3 Polaritas B

Gambar 3.6 Grafik RX3 Polaritas B.

1/𝑅𝑆 𝐿2 /𝐿1 𝑦2 − 𝑦1 2,08 − 1,82


𝑅𝑋 = = = 2,16667 Ω
2,12766 4,55555556 𝑥2 − 𝑥1 1 − 0,88
1 2,03030303
0,66667 1,3255814 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 2,12 − 1,64
𝐾𝑟 = × 100% = × 100% = 45,71%
0,5 1 2𝑦̅ 2 × 1,905
0,3125 0,61290323
3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisis Prosedur

Setiap alat yang digunakan tentunya terdapat fungsi dan kegunaannya masing –
masing. Alat – alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, galvanometer,
power supply, papan hambatan, kabel penghubung, bangku jembatan wheatstone,
beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (RX), dan sebuah hambatan
standar yang diketahui nilainya (RS). Galvanometer berfungsi sebagai pendeteksi dan
pengukur arus skala kecil pada rangkaian jembatan wheatstone. Power supply
digunakan sebagai sumber energi berupa tegangan dan arus pada rangkaian. Papan
hambatan berfungsi sebagai media atau tempat disusunnya hambatan-hambatan standar
dan hambatan yang akan dicari nilainya. Kabel penghubung digunakan sebagai
perantara atau penghubung antar peralatan praktikum. Lalu, bangku jembatan
wheatstone yang berfungsi sebagai media untuk digeser – gesernya kontak geser agar
didapatkan nilai L1 dan L2. Serta beberapa buah hambatan standar (RS) dan hambatan
yang dicari nilainya (RX) yang berfungsi sebagai variabel bebas dan variabel yang dicari
nilainya.

Tiap langkah – langkah yang dilakukan tentu terdapat maksud dan tujuannya
masing – masing. Langkah pertama yaitu, Rangkaian disusun sesuai dengan gambar
yang ada di diktat supaya praktikum dapat dilaksanakan dengan benar. Lalu, power
supply dinyalakan dan diatur agar rangkaian dapat teraliri tegangan dan arus listrik.
Kemudian, kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser
dari titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di angka
nol supaya angka nol dapat ditunjukkan oleh galvanometer, dimana keadaan ini adalah
keadaan jembatan wheatstone yang seimbang. Setelah itu, nilai RS, L1, dan L2 dicatat.
Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik dimana kontak K berfungsi.
Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone yang dikurang dengan panjang L1.
Hal ini dilakukan supaya data – data yang diperlukan dalam analisis perhitungan dapat
diperoleh. Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2
dan panjang L1 dan L2 nya dicari kembali agar diperoleh variasi data dengan diubah-
ubahnya hambatan standar. Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A,
power supply dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas
B agar diperoleh variasi data dan hasil perhitungan ketika berbeda kutub dapat diketahui.
Power supply dinyalakan kembali dan langkah – langkah sebelumnya diulangi dengan
cara yang sama. Setelah data dari RX1 polaritas A dan B sudah diperoleh, data – data
pada RX2 dan RX3 dicari dengan langkah – langkah yang sama. Kedua hal ini dilakukan
supaya nilai hambatan – hambatan yang dicari dapat diketahui dengan benar karena
sesuai dengan petunjuk praktikum.

3.4.2 Analisis Hasil

Pada praktikum kali ini, diperoleh data-data yang bervariasi dan beberapa grafik
yang dapat dianalisis. Dapat diamati bahwa, RX1 memiliki nilai rata-rata RX terkecil dan
RX3 memiliki nilai rata-rata RX terbesar. Faktor utamanya adalah terletak pada panjang
L2 dan L1, dimana kedua variabel ini terlibat dalam perhitungan RX, yaitu perbandingan
antara L2 dengan L1. Dapat dipastikan bahwa, data-data ini sesuai dengan literatur atau
teori yang ada. Karena menurut teori jembatan wheatstone, nilai suatu hambatan yang
dicari (RX) akan berbanding lurus dengan panjang L2, hambatan standar (RS), dan
berbanding terbalik dengan panjang L1. Selain itu, persentase Kr yang diperoleh dari
percobaan RX1 hingga RX3 baik itu polaritas A maupun polaritas B masih terhitung kecil
dan cukup teliti dikarenakan tidak ada yang melebihi 10%. Hal ini disebabkan oleh
minimnya kesalahan pengukuran baik itu human error maupun kesalahan pada
instrumen/alat ukur. Di lain sisi, dari praktikum ini telah diperoleh 6 buah grafik yang
membandingkan antara 1/RS dengan L2/L1. Dari ke-6 grafik tersebut, bentuk dan
polanya sama, yaitu naik secara konstan. Selain itu, semuanya memiliki selisih
perbedaan nilai yang signifikan pada sumbu x dari data pengukuran pertama ke
pengukuran kedua. Dimana, selisihnya lebih dari 1 satuan hambatan, sedangkan selisih
antar data nilainya hanya berada di kisaran nol koma. Jadi, grafik – grafik ini sudah
sesuai dengan literatur/teori yang berlaku. Hanya saja, persentase Kr yang didapatkan
sangat berbeda dengan Kr pada analisis perhitungan. Nilai terkecil terdapat pada RX1
polaritas A dan polaritas B dengan kisaran 19%. Persentase Kr dengan metode grafik,
nilainya jauh lebih besar yang berarti terdapat kesalahan pengukuran ataupun
perhitungan yang cukup fatal. Baik itu human error ataupun error pada alat ukur.
Terlebih, analisis dengan metode grafik ini benar-benar mengandalkan kemampuan
visual dari pengamat/praktikan, sehingga hasil akhir grafik pada tiap pengamat tentunya
tidak akan sama. Hal inilah yang membuat metode grafik merupakan metode yang tidak
pasti untuk digunakan dalam analisis.

Setelah melakukan analisis praktikum, dapat diamati bahwa terdapat sedikit


perbedaan antara hasil pengukuran pada polaritas A dengan polaritas B. Pada RX1 dan
RX3, memiliki nilai RX yang sama persis pada 4 kali pengukuran dari 5 pengukuran.
Perbedaan dari kedua jenis RX ini sama – sama terdapat pada percobaan ke-5. Meskipun
begitu, selisih nilai dari kedua polaritas tersebut tidak terlalu signifikan, terutama pada
RX1 dengan nilai 0,9826 Ω pada polaritas A dan 0,9849 Ω pada polaritas B. Sedangkan
di sisi lain, RX2 memiliki nilai polaritas A dan polaritas B yang hampir semuanya
berbeda-beda satu sama lainnya, kecuali pada pengukuran ketiga yang sama-sama
memiliki nilai 1,5 Ω. Perbedaan nilai – nilai ini tentunya disebabkan oleh panjang L2
dan L1 yang sudah diukur karena variabel hambatan standar (RS) selalu sama nilainya.

Terdapat beberapa hukum-hukum fisika yang lain yang memiliki keterkaitan


dengan topik jembatan wheatstone ini. Di antaranya, yaitu hukum Ohm, hukum
Kirchoff I, dan hukum Kirchoff II. Hukum Ohm menyatakan bahwa, jika terdapat suatu
arus listrik yang melewati suatu penghantar, maka kuat arus tersebut berbanding lurus
dengan tegangan listriknya dan berbanding terbalik dengan hambatannya.
Hubungannya yaitu, kuat arus yang mengalir pada galvanometer dipengaruhi oleh
hambatan-hambatan yang ada di sekitar galvanometer tersebut, sehingga arus pada
galvanometer dapat menunjukkan angka nol apabila nilai dari hambatan standar (RS)
dan hambatan yang dicari (RX) diubah-ubah yang menyebabkan tegangan di antara kaki-
kaki galvanometer bernilai sama. Lalu, pada hukum Kirchoff I dinyatakan bahwa, nilai
arus yang masuk ke rangkaian akan sama dengan nilai arus yang keluar. Hubungannya
yaitu, ketika nilai arus pada kedua ujung galvanometer bernilai sama, maka jembatan
wheatstone akan berada dalam kondisi seimbang dan arus pada kedua ujung tersebut
akan saling menghilangkan. Kemudian pada hukum Kirchoff II dinyatakan bahwa, total
perubahan tegangan yang mengelilingi rangkaian tertentu akan bernilai nol/tidak ada
energi listrik yang hilang pada rangkaian tersebut.

Kelebihan dari topik jembatan wheatstone ini adalah perubahan nilai hambatan
pada suatu penghantar dapat dengan mudah untuk diukur dan dideteksi, walaupun
perubahannya kecil sekalipun. Selain itu, jembatan wheatstone memiliki tingkat
ketelitian yang tinggi dalam pengukurannya. Sayangnya, topik ini juga memiliki
kekurangan, yaitu kurang praktis untuk digunakan dalam pengukuran hambatan jika
dibandingkan dengan alat ukur ohmmeter maupun multimeter yang lebih mudah untuk
digunakan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan praktikum Jembatan wheatstone ini diharapkan dasar
pengukuran pada hambatan listrik dengan metode arus nol dapat dijelaskan dan nilai
pada suatu hambatan listrik dengan digunakannya metode jembatan Wheatstone dapat
ditentukan oleh praktikan. Dapat pula ditentukannya nilai hasil koefisien pada nilai
resistansi yang telah didapatkan pada hasil perhitungan. Berdasarkan pada perhitungan
tersebut didapatkan nilai rata-rata RX1, RX2, dan RX3 dengan polaritas A dan B namun
nilai hasil yang didapatkan itu berbeda-beda tiap polaritas dikarenakan bedanya panjang
pada saat pengukuran di kawat homogen. Berdasarkan pada grafik nilai rata-rata yang
didapatkan berbeda dengan perhitungan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya
ketelitian pada saat pembuatan grafik.

4.2 Saran

Karena kondisi pandemi saat ini, tentunya tidak memungkinkan untuk


melakukan kegiatan praktikum secara luring/offline. Sehingga terpaksa harus
dilaksanakan secara daring. Sayangnya, terkadang ditemukan beberapa kekurangan
pada video praktikum. Seperti cara pengambilan gambarnya yang masih kurang baik,
sehingga alat praktikum yang disorot tidak terlalu jelas. Tentunya hal ini, dapat
membuat praktikan merasa kurang paham ataupun kurang jelas. Diharapkan untuk ke
depannya, kualitas video praktikum dapat ditingkatkan lagi dari segala aspeknya.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, C. K. & Sadiku, M. N. O. 2013. Fundamentals of Electric Circuits. Fifth Edition.


New York: McGraw-Hill

Schultz, M. E. 2016. Grob’s Basic Electronics. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill
Education

Setiyo, M. 2017. Listrik & Elektronika Dasar Otomotif (Basic Automotive Electricity &
Electronics). Edisi Pertama. Magelang: UNIMMA PRESS
LAMPIRAN

Screenshot Dasar Teori

(Schultz, 2016).
(Schultz, 2016).
(Alexander & Sadiku, 2013).
(Setiyo, 2017).
(Setiyo, 2017).
Data Hasil Percobaan
Posttest
Tugas Pendahuluan

1. Turunkan persamaan (1) dan (3)!


*Penurunan rumus 1:

Gambar jembatan wheatstone


Anggap saja R3 = RS yang merupakan hambatan standar.
Misalkan tidak ada arus yang mengalir pada galvanometer, maka Vbd = 0, sehingga
menyebabkan Vab=Vad dan Vbc=Vcd. Karena arus pada galvanometer = 0, maka I1=I3 dan
I2=I4. Jika dijabarkan menjadi:
𝑉𝑎𝑏 = 𝑉𝑎𝑑 𝑉𝑏𝑐 = 𝑉𝑑𝑐
𝐼1 𝑅1 = 𝐼2 𝑅2 ... (i) 𝐼3 𝑅𝑆 = 𝐼4 𝑅𝑋 ... (ii)
Persamaan (i) dibagi oleh persamaan (ii):
𝐼1 𝑅1 𝐼2 𝑅2
=
𝐼3 𝑅𝑆 𝐼4 𝑅𝑋
𝑅1 𝑅2
=
𝑅𝑆 𝑅𝑋
𝑅1 𝑅𝑋 = 𝑅2 𝑅𝑆
𝑅2
𝑅𝑋 = 𝑅𝑆
𝑅1
*Penurunan rumus (3):

Gambar Rangkaian pengukuran resistor dengan kawat.


Anggap R1 = RS
Dengan menggunakan prinsip jembatan wheatstone, gunakan persamaan:
𝑅𝑋 𝑅𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 2 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡 = 𝑅𝑆 𝑅𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 1 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑡
𝑅𝑘2 𝑅1
𝑅𝑋 =
𝑅𝑘1
𝜌𝐿2
= 𝐴 𝑅𝑆
𝜌𝐿1
𝐴
𝐿2
𝑅𝑋 = 𝑅𝑆
𝐿1
2. Apa yang dimaksud dengan kawat homogen?
Kawat homogen merupakan kawat yang terbuat dari suatu bahan dan bahan
tersebut tersebar secara merata di seluruh bagian kawat. Dengan kata lain, kawat
homogen adalah kawat yang terdiri dari satu jenis bahan murni tanpa ada campuran dari
bahan yang lain.
3. Berikan contoh beberapa kegunaan dari prinsip jembatan Wheatstone.
Terdapat beberapa kegunaan dari prinsip jembatan wheatstone, yaitu untuk
menentukan nilai hambatan yang belum diketahui, dimanfaatkan dalam pengujian
hambatan rendah, untuk mengukur dan memperkuat perubahan kecil pada tahanan (RX)
seperti perubahan intensitas cahaya dengan menghubungkannya dengan amplifier
operasional. Selain itu, jembatan wheatstone juga dimanfaatkan pada alat earth tester,
yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur resistor tahanan untuk mengukur
resistansi pentahanan instalasi penangkal petir ataupun pada instalasi listrik.
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Medan Magnet)

(PERCOBAAN-LM4)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 15 Maret 2021
Nama Asisten : Muhammad Zainurrahman

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Tujuan dari diadakannya praktikum “Medan Magnet” ini adalah agar ke depannya setelah
praktikum ini dilaksanakan, hukum Biot-Savart untuk lilitan kawat dan solenoid dapat dijelaskan
oleh praktikan. Selain itu setelah praktikum ini juga diharapkan kuat medan magnet disekitar
selenoid dapat diukur oleh praktikan.

1.2 Dasar Teori


Medan listrik berasal dari muatan listrik. Sedangkan medan magnet sendiri berasal dari
partikel yang bermuatan listrik dan bergerak, sebagai contohnya arus dalam kawat yang
mengahsilkan elektromagnet. Arus itu sendiri menghasilkan medan magnet. Hal ini berarti bahwa
medan magnet adalah karakteristik dasar dari setiap partikel, sama seperti massa dan muatan
listrik (atau kurangnya muatan) adalah karakteristik dasar (Halliday and Resnick, 2013).

Gambar 1.1 Arah gaya magnetik F S B pada partikel bermuatan bergerak


Dari gambar 1.1 maka dapat diperoleh persmaan sebagai berikut.

𝐹⃗𝐵 = 𝑞𝑣⃗ × 𝐵
⃗⃗ 1.1

Artinya, gaya pada partikel sama dengan muatan q kali produk silang kecepatan dan bidang (semua
diukur dalam bingkai referensi yang samauntuk produk silang, besarnya dapat ditulis sebagai
berikut.

𝐹𝐵 = |𝑞|𝑣𝐵 sin 𝜃 1.2

(Serway and Jewett, 2013).


Aturan tangan kanan digunakan agar dapat ditentukannya hubungan arah arus listrik I
dengan medan magnet B yang berada di sekeliling kawat dan berarus listrik. Selain untuk
menentukan hal tersebut, aturan tangan kanan juga biasanya digunakan untuk dapat ditentukannya
arah dari gaya magnet. Ditinjau dari teorema usaha-energi kinetik, dapat diketahui bahwa sebuah
partikel bermuatan yang bergerak energi kinetiknya tidak dapat diubah meskipun oleh medan
magnet itu sendiri. Dalam sebuah medan magnet terdapat partikel yang bergerak dengan kecepatan
v, dapat mengubah arah kecepatannya tetapi untuk kecepatan maupun energi kinetik didalam
partikelnya tidak dapat diubah.
Satuan SI dari medan magnet yaitu newton per coulumb-meter per detik, yang dinamakan
tesla (T) :

𝐹𝐵 = 1 (∮ 𝑑𝑠 ) × 𝐵 1.3

Coulumb per detik didefinisikan sebagai satu amper, maka dapat diperoleh :
𝑁
1 T = 1𝐴.𝑚 1.4

Tabel 1.1 Nilai medan magnet pada beberapa sumber medan

Sumber Medan Besar Medan


(T)
Magnet laboratorium
30
superkonduksi kuat
Magnet laboratorium
2
konvensional kuat
Unit MRI medis 1,5
Magnet Batang 10-2
Permukaan Matahari 102
Permukaan bumi 0,5 × 10-5
Di dalam otak manusia (
berhubungan dengan impuls 10-13
saraf)

(Fatwmaryanti, 2019).
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan bahan


Pada praktikum kali ini alat dan bahan yang digunakan diantaranya yaitu sebuah power supply,
sebuah gaussmeter, sebuah amperemeter/ multimeter, dua buah solenoid, sebuah mistar penggaris,
probe dan beberapa kabel-kabel penghubung.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Rangkaian disusun seperti pada gambar 2.1

Power supply diatur mulai dari harga terendah. (Pada percopbaan


ini arus maksimum yang diijinkan untuk solenoid dan koil adalah 1,5 A).

Gaussmeter diatur untuk kalibrasi pengukuran

Medan magnet diukur pada bermacam-macam posisi (minimal 10)


sepanjang sumbu koil untuk sebuah koil

Analog dengan no.6, tetapi untuk 2 buah koil dilakukan dengan


arah arus yang berbeda

Langkah nomor 6 dan 7 diulangi untuk besar arus yang berbeda

Koil diganti dengan solenoid, setelah itu kuat medan magnet di


sepanjang sumbu diukur
Gambar 2.1 Setup Eksperimen
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

B (mT)
No S (cm) Koil Solenoid
0,5 A 1A 0,5 A 1A
1 10 0,10 0,7 0,75 0,89
2 8 0,23 1,1 1,1 1,37
3 6 0,42 1,9 1,9 1,77
4 4 0,55 2,4 2,3 2,33
5 2 0,80 2,97 2,89 2,52
6 0 1 3,5 3,5 2,75
7 -2 0,78 3 3,2 2,58
8 -4 0,55 2,45 2,5 2,25
9 -6 0,45 1,99 2 1,78
10 -8 0,27 0,96 0,97 1,3
11 -10 0,15 0,69 0,7 0,9

3.2 Grafik

a. Koil 0,5 A
Grafik Medan Magnet pada
koil berarus 0,5 A
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15

b. Koil 1 A

Grafik Medan Magnet pada koil


berarus 1 A
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15

c. Solenoid 0,5 A

Grafik Medan Magnet pada


Selonoid berarus 0,5 A
4,00

3,00

2,00

1,00

0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15

d. Solenoid 1 A
Grafik Medan Magnet pada
Selonoid berarus 1 A
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
-15 -10 -5 0 5 10 15

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Pada praktikum kali ini alat-alat yang digunakan yakni gaussmeter, power supply,
amperemeter/ multimeter, dua buah solenoid, penggaris, beberapa kabel peghubung, probe. Power
supply dalam praktikum ini digunakan sebagi pemberi sumber arus yang berupa arus AC bukan
DC. Solenoid, dalam praktikum ini dibutuhkan 2 buah solenoid, berfungsi sebagai objek yang akan
diukur atau sebagai penghasil energi listrik bertegangan tinggi yang dialiri arus listrik oleh power
supply. Berikutnya adalah gaussmeter digunakan sebagai alat ukur besarnya medan magnet. Alat
berikutnya yaitu amperemeter berfungsi sebagai alat ukur kuat arus. Kabel penghubung digunakan
sebagai penghubung antar komponen agar bisa berfungsi dan membentuk suatu rangkaian.
Kemudian probe, yang berfungsi sebagai reseptor dari gaussmeter agar dapat diukur besarnya
medan magnet. Dan yang terakhir yaitu mistar/ penggaris sebagai alat ukur jarak koil dari titik 0
kepenambahan 2-10 cm dan pengurangan 2-10 cm.
Fungsi perlakuan dalam praktikum kali ini yaitu yang pertama sebelum dimulainya
praktikum disiapkan alat dan bahan agar praktikum dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya
gaussmeter dikalibrasikan terlebih dahulu agar tidak adanya akumulasi data pengukkuran dan
didapatkan data yang valid. Kemudan power supply diatur dengan arus 0,5 A dan 1 A agar didapat
aliran arus pada solenoid yang dapat terbaca pada gaussmeter. Medan magnet diukur pada beberapa
variasi jarak dengan digerakkan maju dan mundur agar nantinya didapatkan perbandingan besarnya
medan magnet dengan beberapa jarak. Terakhir percobaan diulangi untuk beberapa arus yang
berbeda agar didapat variasi data dan nantinya dapat dibandingkan satu sama lain.
3.3.2 Analisa Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada koil dan solenoid didapatkan beberapa
variasi jarak dengan dialiri arus 0,5 A dan 1A dan hasil kuat medan magnet sehingga didapatkan
beberapa data hasil percobaan dengan interval jarak 0-10 cm dan 0-(-10) cm. Untuk hasilnya
sendiri dapat dilihat bahwa pada koil dan solenoid apabila jaraknya semakin jauh dari titik 0 atau
titik tengah maka kuat medan magnetnya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang sudah
dikaji sebelumnya. Literatur tersebut menyatakan bahwa “ pada bagian tengah terdapat arah
medan magnet yang ukurannya besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan medan magnet
di bagian tengah lebih besar dibandingkan bagian luar” (Sudharma dkk, 2016). Untuk hasil
perbandingan kuat medan magnet pada koil dan solenoid juga sudah sesuai dengan literatur, dapat
dilihat bahwa kuat medan magnet pada solenoid nilainya lebih besar dari pada yang terdapat pada
koil. Dalam literatur dijelaskan bahwa “Semakin banyak lilitan kawat tembaga pada paku, semakin
kuat medan magnetnya. Sehingga menghasilkan tarikan yang lebih kuat pula” (Ardiansyah, 2019).
Untuk hasil kuat medan magnet pada koil dengan arus 0,5 A dan 1 A sudah sesuai literatur, namun
pada solenoid tidak sesuai, diketahui bahwa hasil kuat medan magnet pada solenoid dengan arus
0,5 A pada jarak 0-6 cm dan 0-(-4) cm lebih besar daripada yang terdapat di solenoid dengan arus
1 A. Dalam literatur dijelaskan bahwa “perubahan kuat arus akan mengakibatkan perubahan
medan magnet, dengan ditambahkan kuat arus pada alat maka besarnya medan magnet dapat
meningkat “ (Muliawan, 2015). Dengan demikian dapat digarisbawahi oleh praktikan bahwasanya
data yang diperoleh sangat bervariatif, dan terdapat ketidaksesuaian beberapa data karena tentunya
terdapat faktor penunjang yang mungkin terjadi pada saat praktikum berlangsung di antaranya
kesalahan dalam melakukan pengukuran, kesalahan ini di sebabkan karena kesalahan dalam
membaca skala, kurang terampil dalam menyusun alat, kesalahan kalibrasi dan kesalahan mata
dalam melakukan pengamatan.
Dari grafik yang telah didapatkan dengan nilai S (jarak) sebagai sumbu x sedangkan 𝐵 (kuat
medan) sebagai sumbu y. Pada koil dengan arus 0,5 A nilai tertinggi ada pada jarak 0 cm dengan
kuat medan magnet sebesar 1 mT, sedangkan nilai terendah ada pada jarak 10 cm dan (-10)cm
dengan nilai sebesar 0,10 mt dan 0,15 mT. Pada koil dengan arus 1 A nilai tertinggi ada pada jarak
0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 1 mT, sedangkan nilai terendah ada pada jarak 10 cm dan
(-10)cm dengan nilai sebesar 0,7 mT dan 0,69 mT. Pada solenoid dengan arus 0,5 A nilai tertinggi
ada pada jarak 0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 3,5 mT, sedangkan nilai terendah ada pada
jarak 10 cm dan (-10)cm dengan nilai sebesar 0,75 mt dan 0,7 mT. Pada solenoid dengan arus 1 A
nilai tertinggi ada pada jarak 0 cm dengan kuat medan magnet sebesar 2,75 mT, sedangkan nilai
terendah ada pada jarak 10 cm dan (-10)cm dengan nilai sebesar 0,89 mt dan 0,9 mT. Untuk
hasilnya sendiri dapat dilihat bahwa pada koil dan solenoid apabila jaraknya semakin jauh dari titik
0 atau titik tengah maka kuat medan magnetnya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan literatur yang
sudah dikaji sebelumnya. Literatur tersebut menyatakan bahwa “ pada bagian tengah terdapat
arah medan magnet yang ukurannya besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan medan
magnet di bagian tengah lebih besar dibandingkan bagian luar” (Sudharma dkk, 2016).
Pada tahun 1600 oleh seorang ilmuan sains terkemuka di Inggris bernama William Gilbert
menemukan medan magnet. Gilbert beranggapan bahwa Bumi berfungsi sebagai batang magnet
raksasa yang memengaruhi semua benda magnet di Bumi. Dilansir dari NASA inti Bumi adalah
electromagnet padat yang dikelilingi inti cair (besi dan nikel cair) yang di dalamnya mengalir arus
listrik. Arus listrik pada inti cair ini menyebabkan medan magnet bumi yang sangat kuat mencakup
seluruh bumi juga luar angkasa di sekitarnya. Magnet memiliki sifat tarik-menarik saat berhadapan
dengan kutub yang berbeda, dan memiliki sifat tolak-menolak saat berhadapan dengan kutub yang
sama. Sehingga kutub utara magnet akan selalu menghadap ke arah utara Bumi karena tertarik oleh
kutub magnet selatan Bumi. Sebaliknya kutub selatan Bumi sebenarnya adalah kutub magnet utara
Bumi, sehingga kutub selatan benda magnet selalu tertarik ke arah selatan.
Sejarah medan magnet dimulai pada tahun 1820 seorang ilmuan Denmark Hans Christian
Oersted (1777-1857) menemukan suatu gejala yang menarik. Dalam percobaannya, ia
menggunakan sebuah kompas jarum untuk menunjukkan bahwa ketika arus listrik mengalir pada
seutas kawat, jarum kompas yang diletakkan pada daerah medan magnetik yang dihasilkan oleh
kawat berarus menyebabkan jarum kompas menyimpang dari arah utara ke selatan. Kemudian
disimpulkan bahwa di sekitar kawat berarus timbul medan magnet. Medan magnet oleh kawat
berarus inilah yang dinamakan dengan induksi magnet. Hasil dari percobaan Oersted yaitu ketika
paku didekatkan pada kompas, maka jarum kompasnya menyimpang ke arah utara. arah utara dapat
diibaratkan dengan arah ibu jari (arah arus listrik) atau searah dengan katoda (+) baterai, dan kutub
selatan sesuai dengan anoda (-) pada baterai. Ini menujukkan bahwa medan magnet memiliki arah
uatara dan selatan yang mengarah keluar dan kedalam kutub (Giancoli, 2001).
Arah Induksi Magnetik di Sekitar Kawat Berarus Listrik (koil dan solenoid). Cara
menentukan arah garis medan-medan magnet di sekitar kawat berarus listrik adalah dengan
menggunakan kaidah putaran tangan kanan yaitu sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kaidah Tangan Kanan pada Kawat Lurus Berarus

Genggam kawat lurus dengan tangan kanan sedemikian hingga ibu jari menunjukkan arah
kuat arus listrik. maka arah putaran keempat jari yang dirapatkan akan menyatakan arah lingkaran
garis-garis medan magnetic. Atau, apabila kawat berbentuk lingkaran maka arah putaran keempat
jari yang dirapatkan akan menunjukkan arah putaran arus listrik, demikian sehingga ibu jari
menyatakan arah garis-garis medan magnetic.
Aplikasi medan magnet dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama,
pengeras suara atau loudspeaker merupakan kombinasi magnet permanen dan elektromagnetik,
mengubah energi listrik atau sinyal ke energi mekanik yang bisasa disebut suara. Elektromagnetik
terdiri dari kumparan yang disebut dengan voice coil untuk membangkitkan medan magnet dan
berinteraksi dengan magnet permanen sehingga menggerakan cone speaker maju serta mundur
sehingga menghasilkan suara yang bisa didengar. Kedua, kompas adalah alat penunjuk arah mata
angin yang biasa digunakan oleh banyak orang khususnya pada daerah hutan dan pegunungan.
Kompas dapat bekerja mengarahkan mata angin dengan bantuan kompas Di dalam kompas terdapat
magnet berbentuk jarum yang selalu menunjukkan arah utara dan selatan. Sehingga dapat
digunakan untuk menunjukkan arah mata angin. Ketiga, dinamo sepeda didalam dinamo sepeda
terdapat sebuah magnet yang dapat berputar dan sebuah kumparan tetap. Bila roda sepeda berputar,
kepala dinamo akan ikut berputar, akibat perputaran kepala dinamo yang dihubungkan dengan
magnet menyebabkan induksi elektromagnetik sehingga menghasilkan energi listrik.
Solenoida adalah induktor yang terdiri gulungan kawat yang kadang di dalamnya
dimasukkan sebuah batang besi berbentuk silinder sebagai dengan tujuan memperkuat medan
magnet yang dihasilkannya. Solenoida digunakan dalam banyak perangkat elektronika seperti bel
pintu atau pengeras suara. Secara skematik bentuk dari solenoida dapat dilihat pada gambar 3.2 di
mana solenoida terdiri dari n buah lilitan kawat berarus listrik I, medan magnet yang dihasilkan
memiliki arah seperti pada gambar, di mana kutub utara magnet mengikuti aturan tangan kanan 1.

Gambar 3.2 Solenoida dengan banyaknya lilitan n


Besarnya kuat medan magnet yang dihasilkan pada sebuah titik P pada sumbu di dalam solenida
dapat difikirkan sebagai jumlah dari medan magnet yang dihasilkan sebuah kawat berbentuk
lingkaran yang telah kita hitung sebelumnya, dengan x yang berubah, sehingga dari persamaan (5):

𝜇0 2𝜋𝐼𝑅 2
𝑑𝐵𝑥 = 3 𝑑𝑥 3.1
4𝜋
(𝑥 2 + 𝑅 2 )2

Gambar 3.3 Medan Magnet Dalam Suatu Solenoida

Jika solenoida memiliki panjang L yang terdiri dari N buah lilitan, maka jumlah lilitan persatuan
panjang sebut saja n adalah n=N/L. Maka jika kita jumlahkan seluruh lilitan sebanyak ndx, kita
harus melakukan integrasi untuk seluruh dx dari –x1 ke x2 :

𝑥2
𝜇0 1
𝑑𝐵𝑥 = 2𝜋𝐼𝑅 2 ∫ 3 𝑑𝑥 3.2
4𝜋 −𝑥1 (𝑥 2 + 𝑅 2 )2
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah praktikum dilaksanakan, didapatkan suatu kesimpulan bahwa yang pertama yaitu
dapat dijelaskannya oleh praktikan mengenai hukum Biot-Savart untuk lilitan kawat dan solenoid.
Hukum Biot-Savart tersebut berbunyi “Gaya akan dihasilkan oleh arus listrik yang mengalir pada
suattu penghantar yang berada diantara medan magnetik” Yang kedua, kuat medan magnet
disekitar solenoid dapat diukur oleh praktikan. Nilai tertingginya ada pada jarak terdekat atau
dipusatnya yaitu 0 cm, dan semakin jauh jaraknya maka akan semakin kecil kuat medan
magnetnya.

4.2 Saran

Sebelum dilakukan praktikum, sebaiknya untuk dipelajari materi yang berkaitan dengan
praktikumnya, agar meminimalisir terjadinya kesalahan. Kemudian harus dipahami setiap fungsi
alat, serta kalibrasi alat yang diperlukan sebelum praktikum dilaksanakan. Pada saat praktikum,
sebaiknya dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Kemudian pada saat perhitungan praktikan juga
harus teliti agar data yang akurat dapat dihasilkan, dan jangan lupa kalibrasi alat sebelum
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Abd Aziz. 2019. Medan Magnet. Jurnal Fisika Sekolah 3. 1(1): 1-6.
Fatmaryanti, Siska D. 2019. Buku ajar fisika dasar kemagnetan. Deepublis. Jakarta.
Giancoli, Douglas. C. 2001. Fisika Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Halliday and Resnick. 2013. Fundamental of Physics 10th Edition. John Wiley and Sons. New
York.
Muliawan, A. 2015. Studi Penurunan Kadar Logam Besi (Fe) Dan Logam Mangan (Mn) Pada
Lempung Terhadap Perubahan Arus Listrik Dalam Solenoida. Jurnal Dinamika. 6(2):1-8.
Serway and Jewett. 2013. Physics for Scientist and Engineers with Modern Physics. Brooks/Cole
Cengage learning. Belmont.
Sudharma dkk. 2016. Distribusi Medan Magnet Pada Solenoid. Jurnal Pembelajaran Fisika.
5(3):305-308.
LAMPIRAN

(Halliday and Resnick, 2013).


(Serway and Jewett, 2013).
(Fatmaryanti, 2019).
Data Hasil Percobaan
Tugas Pendahuluan
1. Buktikan persamaan (2) dari hukum Biot-Savart.
Jawab:
𝜇0 𝑛𝐼𝑟 2
Persamaan (2) : 𝐵 = 3
2(𝑟 2 + 𝑆 2 )2

Jarak tegak lurus titik P ke kawat adalah α dan proyeksi vector 𝑟⃗ sepanjang kawat adalah L.
Jarak tegak lurus titik P ke kawat adalah α dan proyeksi vector 𝑟⃗ sepanjang kawat adalah L
Tampak dari Gambar diatas bahwa
𝑟 = √𝐿2 + 𝛼 2 (1.1)
𝛼
sin 𝜃 = (1.2)
𝑟

Dengan demikian, persamaan Biot-Savart dapat ditulis menjadi


𝜇0 𝐼 𝑑𝐿 𝑎
𝐵= ∫ (𝐿2+ 𝑎2) × √𝐿2+𝑎2
4𝜋
𝜇0 𝐼𝑎 𝑑𝐿
= ∫ 3
4𝜋
(𝐿2 + 𝑎2 )2

Atau bisa juga


𝜇0 𝑛𝐼𝑟 2
𝐵= 3
2(𝑟 2 + 𝑆 2 )2

𝜇0 𝑑𝑙𝑟 2
𝑑𝐵 = 4𝜋𝑟 2
𝜇0 𝑙𝑑1
= 4𝜋 𝑟 2

𝑑𝐵𝑥 = 𝑑𝐵 cos 𝜃
𝜇0 𝑑𝑙 1
= 1
𝑑 𝑟 2 𝑠 |𝑟 2
+ 𝑠 2 |2

𝑑𝐵𝑥 = 𝑑𝐵 sin 𝜃
𝜇0 𝐼 𝑑𝑙 1
= 1
4𝜋 𝑟 2 +𝑠2 (𝑟 2
+ 𝑠 2 )2
Komponen tegak lurus saling meniadakan dB
𝑠𝜇0 𝐼 𝑎𝑑𝑙
• 𝐵= 1
4𝜋
(𝑟 2 + 𝑠2 )2

𝜇0 𝐼
= 2 ∫ 𝑑𝑙
4𝜋(𝑟 2 + 𝑠2 )3

𝜇0 𝐼𝑎2
• 𝐵= 3
2(𝑠2 + 𝑠2 )2

2. Syarat-syarat apa yang berlaku untuk menurunkan persamaan (3).


Syaratnya yaitu jumlah lilitan pada solenoida, kuat arus listrik, panjang solenoida (luas
kawat), bahan yang disisipakan/ benda diujung solenoid,
3. Jika anda mempunyai 2 (dua) batang yang berukuran sama terbuat dari logam yang sama,
tetapi salah satunya bersifat magnet. Bagaimana cara saudara menentukan salah satu batang
yang bersifat magnet. Dalam hal ini saudara tidak diperkenankan menggunakan alat ukur
apapun.
Dengan cara diujicobakan ke 2 ke benda lain yang mempunyai sifat kemagnetan, dengan
cara kedua batang tersebut didekatkan atau dengan logam lain apabila terdapat sifat
kemagnetan maka akan tarik menarik, maka batang tersebut bersifat magnet.
PRETEST
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Resonansi Rangkaian LRC)

(PERCOBAAN-LM5)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 29 Maret 2021
Nama Asisten : Daniel Tohari

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah dapat dipahaminya resonansi
rangkaian listrik oleh praktikan. Selain itu, resonansi rangkaian RLC seri juga dapat
diketahui oleh peserta praktikum.
1.2 Dasar Teori
Rangkaian AC (arus searah) juga dapat melibatkan komponen – komponen
seperti resistor, induktor, dan kapasitor. Gambar 1.1 menggambarkan sebuah rangkaian
RLC yang disusun secara seri (Young & Freedman, 2020).

Gambar 1.1 Rangkaian RLC Seri (Young & Freedman, 2020).

Diperlukan diagram fasor agar dapat menganalisis rangkaian ini yang memiliki
arus dan tegangan fasor pada tiap komponennya. Berdasarkan Hukum Kirchoff,
tegangan sesaat rangkaian akan setara dengan tegangan total pada tiap komponennya.
Beda tegangan yang dihasilkan oleh resistor akan berbanding lurus dengan arus yang
mengalirinya yang dapat dinyatakan dengan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):

𝑉𝑅 = 𝐼𝑅 (1.1)

Tegangan pada induktor mendahului arus sebesar 90o yang secara matematis
dapat dinyatakan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):

𝑉𝐿 = 𝐼𝑋𝐿 (1.2)

Tegangan pada kapasitor tertinggal oleh arus sebesar 90o yang persamaannya
dapat dinyatakan dengan sebagai berikut (Young & Freedman, 2020):

𝑉𝐶 = 𝐼𝑋𝐶 (1.3)
Dari diagram fasor, dapat disimpulkan bahwa vektor hasil penjumlahan antara
amplitudo tegangan ∆𝑉𝑅 , ∆𝑉𝐿 , 𝑑𝑎𝑛 ∆𝑉𝐶 akan setara dengan panjang fasor atau tegangan
maksimum dan membentuk sudut 𝜙 dengan arus fasor Imax. Secara matematis dapat
dinyatakan dengan (Serway & Jewett, 2018):

∆𝑉𝑚𝑎𝑥 = 𝐼𝑚𝑎𝑥 √𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 (1.4)

Oleh karena itu, dapat diperoleh persamaan baru yang menyatakan arus
maksimum (Serway & Jewett, 2018):

∆𝑉𝑚𝑎𝑥 (1.5)
𝐼𝑚𝑎𝑥 =
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2

Penyebut pecahan bertindak sebagai tahanan yang dapat disebut dengan


impedansi (Z) yang dapat dinyatakan dengan (Serway & Jewett, 2018):

𝑍 = √𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 (1.6)

Arus rms pada rangkaian RLC yang disusun seri dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Giancoli, 2014):

𝑉𝑟𝑚𝑠 𝑉𝑟𝑚𝑠 (1.7)


𝐼𝑟𝑚𝑠 = =
𝑍 1 2
√𝑅 2 + (2𝜋𝑓𝐿 − )
2𝜋𝑓𝐶

Reaktansi kapasitor dan induktor sangat bergantung dengan frekuensi f sumber,


sehingga arus yang mengalir pada rangkaian RLC juga bergantung dengan frekuensi.
Dari persamaan 1.7 dapat disimpulkan bahwa, arus akan bernilai maksimum jika
(Giancoli, 2014):

1 (1.8)
2𝜋𝑓𝐿 − =0
2𝜋𝑓𝐶

Jika persamaan 1.8 ini diselesaikan, maka akan diperoleh nilai f yang dapat
disebut dengan 𝑓0 (Giancoli, 2014):

(1.9)
1 1
𝑓0 = √
2𝜋 𝐿𝐶
Gambar 1.2 Arus pada rangkaian RLC yang sebagai fungsi dari frekuensi (Giancoli,
2014).

Apabila nilai 𝑓 = 𝑓0 , maka rangkaian akan mengalami resonansi, dan 𝑓0 adalah


frekuensi resonansi dari rangkaian. Jika ditinjau pada frekuensi ini dan 𝑋𝐿 = 𝑋𝐶 , maka
impedansinya akan bersifat resistif murni. Gambar 1.2 menggambarkan grafik 𝐼𝑟𝑚𝑠
terhadap 𝑓 untuk tiap nilai R, L, dan C. Apabila nilai R cenderung lebih kecil dari 𝑋𝐿
dan 𝑋𝐶 , puncak resonansinya akan lebih tinggi (Giancoli, 2014).
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, sinyal
generator, induktor, osciloscope, tahanan karbon, kapasitor, amperemeter/multimeter,
dan kabel penghubung.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Alat – alat dirangkai sebagaimana yang ada di buku pedoman praktikum, dimana
komponen induktor, kapasitor, dan tahanan karbon disusun secara seri.

Kemudian, kapasitor diatur pada nilai 50 𝜇𝐹 dan resistansinya diatur sebesar 100
Ω.

Lalu, oscilloscope dan sinyal generator dinyalakan dan nilai div diambil dari
frekuensi sebesar 20.000 Hz.

Frekuensi diatur sebesar 20.000 Hz dan Volt/div pada oscilloscope diatur sebesar
5.

Gelombang yang terbentuk pada oscilloscope diamati dan nilai div dari amplitudo
gelombang dicatat.

Langkah – langkah percobaan ini diulangi untuk nilai frekuensi yang berbeda.
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

𝑅 = 100 Ω

𝐶 = 50 𝑛𝐹

𝐿 = 0,00017 𝐻

No. Frekuensi (Hz) div (y) Volt/div


1. 20000 2,6 5
2. 30000 2,8 5
3. 40000 3 5
4. 50000 2,6 5
5. 60000 2,8 5
6. 70000 2,8 5

3.2 Perhitungan

No VPP VRMS XL XC IRMS


1 13 9,192388 0,00628 0,04683402 0,091923874
2 14 9,899495 0,00942 0,03122268 0,098994947
3 15 10,6066 0,01256 0,02341701 0,106066017
4 13 9,192388 0,0157 0,01873361 0,091923882
5 14 9,899495 0,01884 0,01561134 0,098994949
6 14 9,899495 0,02198 0,01338115 0,098994949

𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃1 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,6 × 5 = 13 𝑉
𝑑𝑖𝑣

𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃2 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣

𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃3 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 3 × 5 = 15 𝑉
𝑑𝑖𝑣

𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃4 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,6 × 5 = 13 𝑉
𝑑𝑖𝑣

𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃5 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣
𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑉𝑃𝑃6 = 𝑑𝑖𝑣 (𝑦) × = 2,8 × 5 = 14 𝑉
𝑑𝑖𝑣

𝑉𝑃𝑃1 13
𝑉𝑅𝑀𝑆1 = = = 9,192388 V
√2 √2

𝑉𝑃𝑃2 14
𝑉𝑅𝑀𝑆2 = = = 9,899495 V
√2 √2

𝑉𝑃𝑃3 15
𝑉𝑅𝑀𝑆3 = = = 10,6066 V
√2 √2

𝑉𝑃𝑃4 13
𝑉𝑅𝑀𝑆4 = = = 9,192388 V
√2 √2

𝑉𝑃𝑃5 14
𝑉𝑅𝑀𝑆5 = = = 9,899495 V
√2 √2

𝑉𝑃𝑃6 14
𝑉𝑅𝑀𝑆6 = = = 9,899495 V
√2 √2

𝑋𝐿1 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 20000 × 0,00000005 = 0,00628 Ω

𝑋𝐿2 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 30000 × 0,00000005 = 0,00942 Ω

𝑋𝐿3 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 40000 × 0,00000005 = 0,01256 Ω

𝑋𝐿4 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 50000 × 0,00000005 = 0,0157 Ω

𝑋𝐿5 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 60000 × 0,00000005 = 0,01884 Ω

𝑋𝐿6 = 2𝜋𝑓𝐿 = 2 × 3,14 × 70000 × 0,00000005 = 0,02198 Ω

1 1
𝑋𝐶1 = = = 0,04683402 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 20000 × 0,00017

1 1
𝑋𝐶2 = = = 0,03122268 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 30000 × 0,00017

1 1
𝑋𝐶3 = = = 0,02341701 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 40000 × 0,00017

1 1
𝑋𝐶4 = = = 0,01873361 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 50000 × 0,00017

1 1
𝑋𝐶5 = = = 0,01561134 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 60000 × 0,00017
1 1
𝑋𝐶6 = = = 0,01338115 Ω
2𝜋𝑓𝐶 2 × 3,14 × 70000 × 0,00017

𝑉𝑅𝑀𝑆1 𝑉𝑅𝑀𝑆1
𝐼𝑅𝑀𝑆1 = = = 0,0919238 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,00628 − 0,04683402)2

𝑉𝑅𝑀𝑆2 𝑉𝑅𝑀𝑆2
𝐼𝑅𝑀𝑆2 = = = 0,098994947 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,00942 − 0,03122268)2

𝑉𝑅𝑀𝑆3 𝑉𝑅𝑀𝑆3
𝐼𝑅𝑀𝑆3 = = = 0,106066017 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,01256 − 0,02341701)2

𝑉𝑅𝑀𝑆4 𝑉𝑅𝑀𝑆4
𝐼𝑅𝑀𝑆4 = = = 0,091923882 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,0157 − 0,01873361)2

𝑉𝑅𝑀𝑆5 𝑉𝑅𝑀𝑆5
𝐼𝑅𝑀𝑆5 = = = 0,098994949 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,01884 − 0,01561134)2

𝑉𝑅𝑀𝑆6 𝑉𝑅𝑀𝑆6
𝐼𝑅𝑀𝑆6 = = = 0,098994949 A
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 √1002 + (0,02198 − 0,01338115)2

3.3 Grafik

No f (Hz) Irms (mA)


1 20000 91,92387
2 30000 98,99495
3 40000 106,066
4 50000 91,92388
5 60000 98,99495
6 70000 98,99495

Grafik arus rms terhadap frekuensi


108
106
104
102
100
98
96
94
92
90
0 20000 40000 60000 80000

Gambar 3.1 Grafik arus rms terhadap perubahan frekuensi.


3.4 Analisis Prosedur

Untuk tiap alat dan bahannya pasti terdapat fungsinya masing – masing. Sinyal
generator berfungsi sebagai sumber tegangan AC pada rangkaian. Induktor berguna
sebagai penyerap daya pada rangkaian jika terdapat penyimpanan energi oleh induktor
dan sebagai tempat disimpannya energi magnet oleh kumparan yang ada di dalamnya.
Oscilloscope digunakan sebagai instrumen agar gelombang yang dihasilkan dapat
diamati dan sebagai alat ukur pada pengukuran div pada rangkaian RLC. Tahanan
karbon berfungsi sebagai penghambat arus listrik atau hambatan pada rangkaian.
Kapasitor digunakan agar terdapat komponen yang bertindak sebagai penyimpan arus
atau tegangan listrik dan sebagai konduktor pada arus AC dan sebagai sumber nilai dari
reaktansi kapasitif. Amperemeter/multimeter berfungsi sebagai pengatur besar kecilnya
nilai frekuensi pada rangkaian. Serta, kabel penghubung berfungsi sebagai perantara
atau penghubung antar alat satu sama lainnya.

Setiap langkah tata laksana percobaan, tentunya terdapat maksud dan tujuannya
masing – masing. Langkah yang pertama yaitu, alat – alat dirangkai sebagaimana yang
ada di buku pedoman praktikum, dimana komponen induktor, kapasitor, dan tahanan
karbon disusun secara seri agar percobaan dapat berjalan sesuai dengan harapan serta
agar dapat diketahuinya resonansi pada rangkaian AC tersebut. Kemudian, kapasitor
diatur pada nilai 50 μF dan resistansinya diatur sebesar 100 Ω supaya nilai impedansi
dan reaktansi kapasitifnya dapat diketahui. Lalu, oscilloscope dan sinyal generator
dinyalakan dan nilai div diamati agar rangkaian dapat teraliri oleh tegangan yang
dihasilkan oleh sinyal generator dan gelombang tegangan yang dihasilkan oleh
rangkaian juga dapat diamati dengan adanya oscilloscope. Frekuensi diatur sebesar
20.000 Hz dan Volt/div pada oscilloscope diatur sebesar 5 supaya dapat diketahuinya
nilai arus root mean square (IRMS) pada rangkaian seri RLC. Gelombang yang terbentuk
pada oscilloscope diamati dan nilai div dari amplitudo gelombang dicatat agar nilai div
dari gelombang dapat diketahui sehingga dapat dipergunakan untuk analisis selanjutnya.
Langkah – langkah percobaan ini diulangi untuk nilai frekuensi yang berbeda yang
bermaksud agar dapat diketahuinya bagaimana pengaruh perubahan nilai frekuensi
terhadap arus root mean square (IRMS), reaktansi induktif, maupun reaktansi kapasitif
dari rangkaian.
3.5 Analisis Hasil

Jika diamati pada pola nilai IRMS secara berurutan, percobaan dengan nilai VPP
paling tinggi lah (15 V) yang memiliki nilai IRMS tertinggi, yaitu 0,106066017 A. Nilai
VPP ini didapatkan dari perkalian antara div (y) yang tampak pada oscilloscope dan
volt/div. Kebetulan, nilai volt/div yang diatur untuk tiap perubahan frekuensi adalah
sama, yaitu 5 Volt/div. Untuk nilai reaktansi induktif (XL) dapat diamati bahwa, nilainya
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi. Nilai tertingginya adalah
0,02198 Ω dengan frekuensi 70000 Hz. Hal ini disebabkan, reaktansi induktif
berbanding lurus dengan nilai frekuensi (f) dan induktansinya (L). Hanya saja, nilai
induktansi yang digunakan bersifat tetap, yaitu 5 × 10−8 F. Berkebalikan dengan
reaktansi induktif, nilai reaktansi kapasitif semakin mengecil seiring dengan
bertambahnya frekuensi. Titik terendahnya adalah senilai 0,01338115 Ω pada frekuensi
70000. Hal ini disebabkan karena reaktansi kapasitif berbanding terbalik dengan
frekuensi dan nilai kapasitifnya.

Grafik yang dibahas pada percobaan kali ini adalah grafik yang membandingkan
arus root means square (IRMS) terhadap perubahan frekuensi dengan interval 10000 Hz.
IRMS terletak pada sumbu Y dan frekuensi pada sumbu X. Titik puncak grafik adalah
titik (40000; 106) dimana titik ini memiliki nilai IRMS, VRMS, dan VPP paling besar
diantara data yang lain. Frekuensi resonansi terjadi pada titik ini karena arus root mean
square nya bernilai maksimum. Dari bentuk grafik yang naik turun dapat diamati
bahwa, yang paling berpengaruh adalah perubahan nilai div (y) yang tentunya akan
memengaruhi nilai VPP sehingga juga akan memengaruhi nilai tegangan root mean
square (VRMS). Dimana, rumus dari IRMS ini adalah VRMS dibagi dengan impedansi (Z).
Pada umumnya, nilai impedansi juga akan sangat berpengaruh terhadap IRMS yang
dihasilkan. Namun nyatanya, pada kasus ini hal tersebut tidak terjadi karena selisih nilai
impedansi pada tiap datanya sangat kecil, sehingga yang paling menentukan adalah nilai
VRMS nya.

Peristiwa frekuensi resonansi dapat terjadi pada rangkaian RLC seri maupun
paralel. Frekuensi resonansi dapat terjadi apabila arus yang mengalir pada rangkaian
bersifat maksimum. Penyebab dari arus maksimum ini adalah nilai dari XL sama besar
dengan XC yang menyebabkan nilai impedansi yang dihasilkan adalah minimum. Serta
arus berbanding terbalik dengan impedansi. Selain itu, amplitudo tegangan 𝑉𝐿 = 𝐼𝑋𝐿
(3.1) dan 𝑉𝐶 = 𝐼𝑋𝐶 (3.2) bernilai sama. Frekuensi resonansi dapat mengakibatkan
rangkaian RLC menjadi bersifat resistif, yaitu dimana impedansi totalnya adalah murni
dari nilai resistornya tanpa adanya pengaruh dari dua komponen yang lain (induktor dan
kapasitor).

Rangkaian RLC dapat disusun secara seri maupun paralel. Pada rangkaian RLC
seri, arus sesaat yang mengalir tiap detiknya adalah sama walaupun tegangannya
berbeda fase. Secara matematis, arus I pada waktu – t dapat dinyatakan dengan
(Giancoli, 2014):

𝐼 = 𝐼0 cos 2𝜋𝑓𝑡 (3.3)

Menurut hukum Kirchoff, pada rangkaian seri RLC berlaku persamaan matematis yang
menyatakan besar tegangan sesaat yang yang diberikan oleh sumber (Giancoli, 2014):

𝑉 = 𝑉𝑅 + 𝑉𝐿 + 𝑉𝐶 (3.4)

Istilah hambatan total/hambatan pengganti pada rangkaian RLC dinamakan dengan


impedansi (Z). Rumus impedansi pada rangkaian RLC seri dapat dinyatakan dengan
sebagai berikut (Giancoli, 2014):

𝑍 = √𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 (3.5)

Gambar 3.2 Rangkaian RLC seri dengan sumber tegangan AC (Giancoli, 2014).

Rangkaian RLC paralel adalah rangkaian listrik yang komponennya terdiri atas
resistor, induktor, dan kapasitor yang disusun secara paralel dan dihubungkan dengan
sumber tegangan bolak - balik. Pada rangkaian paralel, tegangan di setiap titiknya
bernilai sama dan terjadi pembagi arus karena arus yang mengalir pada tiap
komponennya akan berbeda. Persamaan jumlah arus yang mengalir pada rangkaian ini
adalah (Novia Lizelwati, 2011. Resonansi Pada Rangkaian RLC. Batusangkar,
Indonesia. 90 – 96):
𝑉 𝑉 (3.6)
𝐼 = 𝐼𝑅 + 𝐼𝐿 + 𝐼𝐶 = + + 𝜔𝐶𝑉
𝑅 𝜔𝐿

Hambatan total/pengganti pada rangkaian RLC paralel dilambangkan dengan Y


(admitansi). Berbeda dengan rangkaian RLC seri, hambatan pengganti (Y) pada
rangkaian RLC paralel berbanding terbalik dengan impedansi (Z). Sehingga, impedansi
pada rangkaian RLC paralel dapat dinyatakan dengan sebagai berikut (Novia Lizelwati,
2011. Resonansi Pada Rangkaian RLC. Batusangkar, Indonesia. 90 – 96):

(3.7)
1 1 1 2
= √( )2 + (𝜔𝐶 − )
𝑍 𝑅 𝜔𝐿

Gambar 3.3 Rangkaian RLC paralel yang dihubungkan dengan sumber tegangan
AC (Novia Lizelwati, 2011. Resonansi Pada Rangkaian RLC. Batusangkar, Indonesia.
90 – 96).

Rangkaian RLC ini tentunya memiliki beberapa pengaplikasian. Salah satu


contohnya adalah radio dan televisi. Frekuensi resonansi dapat digunakan untuk
mencari suatu stasiun. Terdapat banyak jenis frekuensi yang masuk ke dalam rangkaian
melalui antena, namun reaksi hanya dapat terjadi jika arus tertentu bertemu dengan
gelombang yang memiliki frekuensi sama atau didekatinya frekuensi resonansi yang
terpilih (stasiun yang diinginkan). Induktansi (L) atau kapasitansi (C) dijadikan variabel
sehingga pengguna dapat melakukan pencarian stasiun yang berbeda – beda (Giancoli,
2014).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah melakukan praktikum ini, praktikan dapat memahami bagaimana


terjadinya resonansi pada rangkaian listrik. Selain itu, peserta praktikum juga dapat
mengetahui resonansi pada rangkaian RLC seri. Dari perhitungan dan analisis yang
telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, frekuensi resonansi dapat terjadi apabila arus
yang mengalir bernilai maksimum, yaitu pada percobaan ke-3 dengan frekuensi senilai
40000 Hz. Arus yang maksimum ini tidak lepas dari pengaruh nilai div (y) percobaan
ke-3 yang juga terbesar, yaitu 3. Namun, seharusnya frekuensi resonansi juga dapat
terjadi apabila impedansinya minimum. Sedangkan pada percobaan kali ini titik
frekuensi resonansinya memiliki impedansi yang tidak minimum. Hal ini terjadi karena
selisih impedansi dari tiap perubahan frekuensinya sangatlah kecil, sehingga dapat
diabaikan. Oleh karena itu, nilai VRMS lah yang paling berpengaruh pada perhitungan
arusnya.

4.2 Saran

Karena kondisi pandemi saat ini, tentunya tidak memungkinkan untuk


melakukan kegiatan praktikum secara luring/offline. Sehingga terpaksa harus
dilaksanakan secara daring. Sayangnya, terkadang ditemukan beberapa kekurangan
pada video praktikum. Seperti cara pengambilan gambarnya yang masih kurang baik,
sehingga alat praktikum yang disorot tidak terlalu jelas. Tentunya hal ini, dapat
membuat praktikan merasa kurang paham ataupun kurang jelas. Diharapkan untuk ke
depannya, kualitas video praktikum dapat ditingkatkan lagi dari segala aspeknya.
DAFTAR PUSTAKA

Giancoli, D. C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ketujuh. Jakarta : Erlangga

Serway, R. A & Jewett J. W. 2019. Physics for Scientists and Engineers with Modern
Physics.Tenth Edition. Boston: Cengage

Young, H. D. & Freedman, R. A. 2020. University Physics with Modern Physics. Fifteenth
Edition. London: Pearson Education
LAMPIRAN

Screenshot Dasar Teori

a. (Young & Freedman, 2019).


b. (Serway & Jewett, 2018).
c. (Giancoli, 2014).
Data Hasil Percobaan
Tugas Pendahuluan

1. Buktikan bahwa beda fase tegangan dan arus dalam induktor, kapasitor, dan resistor
berturut – turut adalah 90o, -90o, dan 0o!
Jawab:
Untuk membuktikan nilai beda fase tegangan pada induktor, kapasitor, dan resistor
dapat menggunakan rumus:
𝑋𝐿 − 𝑋𝐶
𝜃 = arctan
𝑅

Pada diagram fasor untuk rangkaian induktor, tegangan mendahului arus sebesar 90o,
sehingga sudut beda fase tegangan induktor adalah 90o. Untuk rangkaian kapasitor,
tegangan tertinggal oleh arus sejauh 90o, sehingga sudut beda fasenya adalah -90o. Serta
untuk resistor, tegangan dan arus berada pada fase yang sama, sehingga sudut beda fasenya
adalah 0o.

2. Jelaskan mengapa jika terjadi resonansi arus rangkaian menjadi maksimum!


Jawab:
Hal ini disebabkan karena rangkaian menjadi bersifat resistif. Dimana, arus memiliki
rumus 𝐼 = 𝑉/𝑍 dan Z yang bertindak sebagai impedansi memiliki rumus 𝑍 =
√𝑅 2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 . Pada saat terjadi resonansi, nilai 𝑋𝐿 akan sama dengan 𝑋𝐶 , sehingga
akan didapatkan persamaan 𝑍 = 𝑅. Karena impedansinya minimum, maka nilai arus akan
menjadi maksimum karena 𝐼 berbanding terbalik dengan 𝑍.
Posttest
Lampiran Jurnal untuk Analisis Hasil
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Lensa Tipis)

(PERCOBAAN-OP1)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 19 April 2021
Nama Asisten : Muhammad Irfanul Fikri

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
Tujuan yang diharapkan dari praktikum lensa tipis ini adalah agar dasar-dasar sistem
lensa, jalannya sinar dan pembentukan bayangan oleh lensa tipis dapat dijelaskan serta titik
fokus lensa tipis dapat ditentukan oleh praktikan.

1.2 Dasar Teori


Bayangan benda dapat dibentuk oleh fungsi utama alat optik sederhana yaitu lensa tipis.
Karakteristik cembung, datar dan cekung dimiliki oleh permukaan lensa. Lensa dibuat dari kaca
transparan yang indeks biasnya lebih besar dari indeks bias udara luar. Dari Hukum Snell telah
dinyatakan bahwa berkas bayangan dibelokkan oleh kedua permukaan lensa sehingga berkas
kemudian sejajar jatuh pada lensa tipis. Secara otomatis akan difokuskan pada satu titik yang
biasa disebut titik fokus (f). ada beberapa syarat yang dimiliki lensa tipis yaitu diameter lensa
kecil dibandingkan radius kelengkungan kedua permukaan lensa, hal ini syarat yang harus
dimiliki lensa tipis yang sangat tipis. Lensa tipis secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis
yaitu lensa konvergen dan lensa divergen, lensa konvergen yang mana lensanya lebih tebal di
bagian tengah daripada bagian tepinya, sehingga berkas yang sejajar dikumpulkan pada suatu
titik, sedangkan lensa divergen yaitu lensa tipis yang di bagian tepinya lebih tebal daripada
bagian tengahnya (Giancoli, 2014).
Definisi lensa sendiri adalah suatu objek atau benda yang transparan, memililiki 2
permukaan bias dan tiap permukaan biasnya sumbu pusatnya bertepatan. Sumbu pusat yang
sering diketahui umum disebut juga sumbu pusat lensa. Untuk sistem dari lensa sendiri adalah
Ketika lensa tersebut dikelilingi oleh udara dan ada cahaya yang ingin melintasinya maka
cahaya dibiaskan dari udara kedalam lensa, lalu cahaya akan melintasi lensa, dan kemudian
membiaskan Kembali ke udara. Setiap terjadinya pembiasan maka arah cahaya pun berubah.
Lensa terbagi menjadi 2 yaitu konvergen dan divergen. Lensa konvergen adalah lensa yang
dapat menyebabkan sinar cahaya menjadi sejajar dengan sumbu pusat. Untuk lensa divergen
adalah lensa yang menyebabkan sinar tersebut menyimpang dari sumbu pusat. Lensa tipis
adalah lensa yang dimana bagian paling tebalnya lebih tipis dari jarak benda (p) , jarak
bayangan(i) , dan jari – jari kelengkungan dari 2 permukaan lensa. Untuk persamaann lensa
tipis adalah :
𝟏 𝟏 𝟏
= + …(1.1)
𝒇 𝒑 𝒊

Namun untuk persamaan lensa tipis yang dimana memiliki indeks bias (n) dan
dikelilingi oleh udara maka persamaannya adalah :
𝟏 𝟏 𝟏
= (𝒏 − 𝟏)( 𝒓 − ) …(1.2)
𝒇 𝟏 𝒓𝟐

Persamaan ini juga disebut sebut sebagai persamaan pembuat lensa. Disini 𝒓𝟏 adalah
jari – jari kelengkungan permukaan lensa yang lebih dekat dari objek. 𝒓𝟐 permukaan lainnya
(Halliday, 2011).
Lensa tipis adalah perangkat optic paling sederhana yang termasuk paling penting.
Perkembangan perangkat optic mulai pesat pada abad ke 16 dan ke 17. Namun perangkat optik
sudah ditemukan pada abad 13 dengan bukti ditemukannya kacamata. Lensa tipis biasanya
melingkar dan kedua permukaanya adalah bagian dari bola. 2 permukaan itu bisa jadi cekung
atau cembung atau datar yang terpenting salah satu harus berbeda seperti pada gambar :

Gambar 1.1 Jenis – jenis lensa (Giancoli, 2013).

Gambar 1.2 Sinar parallel yang melewati lensa cembung (Giancoli, 2013).
Kita asumsikan bahwa ada sebuah sinar parallel yang mengenai lensa cembung seperti
gambar 1.2.2 dan dikelilingi oleh udara lalu kita anggap bahwa lensa cembungnya terbuat dari
bahan yang transparan dengan indeks biar lebih besar dari udara sekitar. Dengan digunaknnya
hukum snell kita dapat menyimpulkan bahwa setiap sinar yang datang ke lensa cembung akan
dibelokkan kearah sumbu lensa. Sumbu lensa sendiri adalah garis lurus yang dilewati olehnya
bagian tengah atau pusat lensa dan tegak lurus dengan permukaannya. Jika ada cahaya yang
masuk dan sejajar dengan sumbu lensa sinar tersebut akan difokuskan ke titik (Di gambar
disimbolkan dengan F) (Giancoli, 2014).
Jika diasumsikan ada sinar parsial yang melewat lensa tipis maka :
1. Jarak bayangan setelah pembiasan akan positif jika bayangan real terletak pada sisi
kanan lensa cembung dan bayangan pembiasan akan negative jika bayangan real
terletak pada sisi kiri lensa cembung.
2. Jarak bendanya bisa positif jika sinar yang jatuh menyebar jatuhnya pada lensa atau bisa
disebut divergen. Jarak bendanya negative apabila sinar yang jatuh mengumpul
jatuhnya atau konvergen.
3. Jari – jari kelengkungan menandakan kelengkungan permukaan yang pertama dan
kedua dimana kedua permukaan ini ditumbuk oleh cahaya yang baru datang. Masing –
masing akan positif jika pusat lengukungan dari lensanya tertempat disisi sebelah kanan
lensa cembung dan jika sebaliknya maka nilai jari – jari kelengkungannya akan negatif
(Walker, 2011).
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Dalam percobaan lensa tipis ini alat dan bahan yang digunakan antara lain: bangku
optik, penyangga lensa, lampu, sebuah benda yang berupa anak panah, layar, dua buah lensa
positif dan negatif serta sebuah penggaris.

2.2 Tata Laksana Percobaan


2.2.1 Pra-Percobaan
Alat dan bahan disiapkan oleh praktikan

Peralatan percobaan disusun dengan urutan: lampu-benda-lensa-layar

Tinggi benda(anak panah) diukur

2.2.2 Lensa Positif

Lensa cembung ganda dipasang pada posisi lensa

Posisi benda dipasang sejauh mungkin dari layar dan diukur jaraknya sebagai L

Lensa digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas pada layar

Jarak benda ke lensa diukur sebagai S, jarak bayangan ke lensa diukur sebagai S’,
tinggi benda diukur sebagai h, tinggi bayangan diukur sebagai h’ dan dicatat sifat
bayangannya

2.2.3 Cara Bessel

Lensa digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas pada layar


Posisi lensa dicatat sebagai kedudukan lensa pertama atau e1

Lensa digeser kembali hingga diperoleh bayangan yang jelas kedua, dengan posisi
benda yang tidak diubah

Jarak benda dan jarak bayangan ke lensa diukur lagi, serta sifat dan tinggi
bayangannya

Posisi lensa dicatat sebagai kedudukan lensa kedua atau e2

Diulangi langkah 3 hingga 8 dengan posisi benda terhadap layar (L) diubah

Diulangi langkah 1 hingga 9 untuk lensa positif kedua atau lensa cembung datar

2.2.4 Lensa Negatif

Jarak titik lensa fokus negatif dicari dengan pertolongan lensa positif, digunakan
lensa biconvex dari percobaan sebelumnya

Lensa positif dipasang dan digeser-geserkan sehingga didapat bayangan yang jelas
pada layar

Lensa negatif diletakkan di antara lensa positif dan layar, diukur jarak lensa
negatif ke layar sebagai S

Layar digeser-geserkan hingga diperoleh bayangan yang jelas, diukur jarak lensa
negatif ke layar sebagai S’

Lagkah diulangi sesuai arahan asisten


2.2.5 Lensa Gabungan

Dua buah lensa positif digunakan dan lensa dengan jarak tertentu (d) dibuat
kemudian diukur dan dicatat jaraknya

Kedua lensa digeser-geserkan serentak dengan jarak d tetap hingga didapat


bayangan pada layar

Langkah diulangi beberapa kali sesuai arahan asisten dengan jarak d yang
berbeda-beda
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan
3.1.1 Lensa Positif (Gauss)
No L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’ (cm)
1 70 50 22 1 0,5
2 65 43 25 1 0,7
3 60 30 30 1 1

3.1.2 Lensa Positif (Bessel)


No L (cm) e1 (cm) e2 (cm) h (cm) h1’ (cm) h2’ (cm)
1 60 27 33 1 1,2 1
2 65 24 43 1 2 0,7
3 70 22 49 1 2,2 0,5

3.1.3 Lensa Negatif


No L (cm) S (cm) S’ (cm) h (cm) h’ (cm)
1 60 54 6 1 1,3
2 65 58 7 1 1,5
3 70 62 8 1 1,5

3.1.4 Lensa gabungan


No L (cm) d (cm) S1 (cm) S2 (cm) S1’ (cm) S2’ (cm) h (cm) h’ (cm)
1 30 10 15 23 16 7 1 0,5
2 35 10 21 31 14 4 1 0,3
3 40 10 26,2 36,2 13,8 3,8 1 0,2

3.2 Perhitungan
3.2.1 Lensa Positif (Gauss)
𝟐
No f (cm) |𝒇 − 𝒇̅| (𝐜𝐦𝟐 ) M

1 15,28 0,00713 0,5


2 15,8 0,19947 0,7
3 15 0,13119 1
̅
𝒙 15,4 0,1126 0,73
𝟏 𝟏 𝟏 𝑺 × 𝑺′ 𝟐
= + → 𝒇=
√ ∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒇 𝑺 𝑺′ 𝑺 + 𝑺′ 𝜹𝒇 =
𝒏−𝟏
𝟓𝟎 × 𝟐𝟐
𝒇𝟏 = = 𝟏𝟓, 𝟐𝟖 𝐜𝐦
𝟓𝟎 + 𝟐𝟐 𝟎, 𝟑𝟑𝟕𝟕𝟗
𝜹𝒇 = √
𝟑−𝟏
𝟒𝟑 × 𝟐𝟓
𝒇𝟐 = = 𝟏𝟓, 𝟖 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = 𝟎, 𝟒𝟏𝟎𝟗𝟕 𝐜𝐦
𝟒𝟑 + 𝟐𝟓

𝟑𝟎 × 𝟑𝟎 𝒉′
𝒇𝟑 = = 𝟏𝟓 𝐜𝐦 𝑴=| |
𝟑𝟎 + 𝟑𝟎 𝒉
𝟎, 𝟓
𝑴=| | = 𝟎, 𝟓
𝟏
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑
𝒇̅ = 𝟎, 𝟕
𝟑 𝑴=| | = 𝟎, 𝟕
𝟏
𝟏𝟓, 𝟐𝟖 + 𝟏𝟓, 𝟖 + 𝟏𝟓
𝒇̅ = = 𝟏𝟓, 𝟒 𝐜𝐦 𝟏
𝟑 𝑴=| |=𝟏
𝟏
𝜹𝒇
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
𝒇̅ ̅ =
𝑴
𝟑
𝟎, 𝟒𝟏𝟎𝟗𝟕
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝟎, 𝟓 + 𝟎, 𝟕 + 𝟏
𝟏𝟓, 𝟒 ̅ =
𝑴 = 𝟎, 𝟕𝟑𝟑
𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = 𝟐, 𝟔𝟕𝟓𝟏𝟗%

𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)

𝒇 = (𝟏𝟓, 𝟒 ± 𝟎, 𝟒𝟏𝟎𝟗𝟕) 𝐜𝐦

3.2.2 Lensa Positif (Bessel)


𝟐
No e (cm) f (cm) |𝒇 − 𝒇̅| (𝐜𝐦𝟐 ) M1 M2

1 6 14,58 0,00037 1,2 1


2 19 14,8615 6,1E-05 2 0,7
3 27 14,8964 0,00073 2,2 0,5
̅
𝒙 17,33 14,8693 0,00039 1,8 0,733

𝒆 = |𝒆𝟐 − 𝒆𝟏 | 𝟐
∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒆𝟏 = |𝟑𝟑 − 𝟐𝟕| = 𝟔 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝒏−𝟏
𝒆𝟐 = |𝟒𝟑 − 𝟐𝟒| = 𝟏𝟗 𝐜𝐦
𝟎, 𝟎𝟎𝟏𝟏𝟕
𝒆𝟑 = |𝟒𝟗 − 𝟐𝟐| = 𝟐𝟕 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝟐
𝒆𝟏 + 𝒆𝟐 + 𝒆𝟑
𝒆̅ = 𝜹𝒇 = 𝟎, 𝟎𝟐𝟒𝟏𝟕 𝐜𝐦
𝟑
𝟔 + 𝟏𝟗 + 𝟐𝟕
𝒆̅ = = 𝟏𝟕, 𝟑𝟑 𝐜𝐦
𝟑 𝒉′
𝑴=| |
𝟐
𝑳 −𝒆 𝟐 𝒉
𝒇=
𝟒𝑳 𝟏, 𝟐
𝟐 𝟐 𝑴𝟏𝟏 = | | = 𝟏, 𝟐
𝟔𝟎 − 𝟔 𝟏
𝒇𝟏 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟓 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟎) 𝟐
𝑴𝟏𝟐 = | | = 𝟐
𝟐
𝟔𝟓 − 𝟏𝟗 𝟐 𝟏
𝒇𝟐 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟔 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟓) 𝟐, 𝟐
𝑴𝟏𝟑 = | | = 𝟐, 𝟐
𝟏
𝟔𝟎𝟐 − 𝟐𝟕𝟐
𝒇𝟑 = = 𝟏𝟒, 𝟖𝟗 𝐜𝐦
𝟒(𝟔𝟎) 𝑴𝟏𝟏 + 𝑴𝟏𝟐 + 𝑴𝟏𝟑
̅̅̅̅
𝑴𝟏 =
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟏, 𝟐 + 𝟐 + 𝟐, 𝟐
̅̅̅̅
𝑴𝟏 = = 𝟏, 𝟖
𝟏𝟒, 𝟖𝟓 + 𝟏𝟒, 𝟖𝟔 + 𝟏𝟒, 𝟖𝟗 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟏
𝑴𝟐𝟏 = | | = 𝟏
= 𝟏𝟒, 𝟖𝟕 𝐜𝐦 𝟏
𝜹𝒇 𝟎, 𝟕
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟐𝟐 = | | = 𝟎, 𝟕
𝒇̅ 𝟏
𝟎, 𝟎𝟐𝟒𝟏𝟕 𝟎, 𝟓
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟐𝟑 = | | = 𝟎, 𝟓
𝟏𝟒, 𝟖𝟕 𝟏

𝐊𝐫 𝒇 = 𝟎, 𝟏𝟔𝟐𝟓𝟕% 𝑴𝟐𝟏 + 𝑴𝟐𝟐 + 𝑴𝟐𝟑


̅̅̅̅
𝑴𝟐 =
𝟑
𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)
𝟏 + 𝟎, 𝟕 + 𝟎, 𝟓
̅̅̅̅
𝑴𝟐 = = 𝟎, 𝟕𝟑𝟑
𝒇 = (𝟏𝟒, 𝟖𝟕 ± 𝟎, 𝟎𝟐𝟒𝟏𝟕) 𝐜𝐦 𝟑

3.2.3 Lensa Negatif


𝟐
No f (cm) |𝒇 − 𝒇̅| (𝐜𝐦𝟐 ) M

1 5,4 0,71226 1,3


2 6,25 4,8E-0,6 1,5
3 7,08 0,70856 1,5
̅
𝒙 6,24 0,47361 1,433
𝟏 𝟏 𝟏 𝑺 × 𝑺′ 𝟐
= + → 𝒇=
√ ∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒇 𝑺 𝑺′ 𝑺 + 𝑺′ 𝜹𝒇 =
𝒏−𝟏
𝟓𝟒 × 𝟔
𝒇= = 𝟓, 𝟒 𝐜𝐦
𝟓𝟒 + 𝟔 𝟏, 𝟒𝟐𝟎𝟖𝟐
𝜹𝒇 = √
𝟐
𝟓𝟖 × 𝟕 𝜹𝒇 = 𝟎, 𝟖𝟒𝟐𝟖𝟔 𝐜𝐦
𝒇= = 𝟔, 𝟐𝟓 𝐜𝐦
𝟓𝟖 + 𝟕

𝒉′
𝟔𝟐 × 𝟖 𝑴=| |
𝒇= = 𝟕, 𝟎𝟖 𝐜𝐦 𝒉
𝟔𝟐 + 𝟖
𝟏, 𝟑
𝑴=| | = 𝟏, 𝟑
𝟏
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑
𝒇̅ = 𝟏, 𝟓
𝟑 𝑴=| | = 𝟏, 𝟓
𝟏
𝟓, 𝟒 + 𝟔, 𝟐𝟓 + 𝟕, 𝟎𝟖
𝒇̅ = = 𝟔, 𝟐𝟒 𝐜𝐦 𝟏, 𝟓
𝟑 𝑴=| | = 𝟏, 𝟓
𝟏
𝜹𝒇
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% 𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
𝒇̅ ̅ =
𝑴
𝟑
𝟎, 𝟖𝟒𝟐𝟖𝟔 𝟏, 𝟑 + 𝟏, 𝟓 + 𝟏, 𝟓
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎% ̅ =
𝑴 = 𝟏, 𝟒𝟑𝟑
𝟔, 𝟐𝟒 𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = 𝟏𝟑, 𝟓%

𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)

𝒇 = (𝟔, 𝟐𝟒 ± 𝟎, 𝟖𝟒𝟐𝟖𝟔) 𝐜𝐦

3.2.4 Lensa gabungan


𝟐
No f1 (cm) f2 (cm) f (cm) |𝒇 − 𝒇̅| (𝐜𝐦𝟐 ) M

1 7,74 5,36 -11,539 91,9789 0,5


2 8,4 3,5 -27,9 779,395 0,3
3 9,03 3,44 -23,93 572,767 0,2
̅
𝒙 8,4 4,1 -21,1 481,38 0,33

𝟏 𝟏 𝟏 𝑺𝟏𝒙 × 𝑺′𝟏𝒙 𝟏 𝟏 𝟏 𝑺𝟐𝒙 × 𝑺′𝟐𝒙


= + ′ → 𝒇𝟏𝒙 = = + ′ → 𝒇𝟐𝒙 =
𝒇𝟏𝒙 𝑺𝟏𝒙 𝑺𝟏𝒙 𝑺𝟏𝒙 + 𝑺′𝟏𝒙 𝒇𝟐𝒙 𝑺𝟐𝒙 𝑺𝟐𝒙 𝑺𝟐𝒙 + 𝑺′𝟐𝒙
𝟏𝟔 × 𝟏𝟓 𝟕 × 𝟐𝟑
𝒇𝟏𝟏 = = 𝟕, 𝟕𝟒 𝐜𝐦 𝒇𝟐𝟏 = = 𝟓, 𝟑𝟔 𝐜𝐦
𝟏𝟔 + 𝟏𝟓 𝟕 + 𝟐𝟑

𝟏𝟒 × 𝟐𝟏 𝟒 × 𝟑𝟏
𝒇𝟏𝟐 = = 𝟖, 𝟒 𝐜𝐦 𝒇𝟐𝟐 = = 𝟑, 𝟓 𝐜𝐦
𝟏𝟒 + 𝟐𝟏 𝟒 + 𝟑𝟏

𝟏𝟑, 𝟖 × 𝟐𝟔, 𝟐 𝟑, 𝟖 × 𝟑𝟔, 𝟐


𝒇𝟏𝟑 = = 𝟗, 𝟎𝟑 𝐜𝐦 𝒇𝟐𝟑 = = 𝟑, 𝟒𝟒 𝐜𝐦
𝟏𝟑, 𝟖 + 𝟐𝟔, 𝟐 𝟑, 𝟖 + 𝟑𝟔, 𝟐

𝒇𝟏𝟏 + 𝒇𝟏𝟐 + 𝒇𝟏𝟑 𝒇𝟐𝟏 + 𝒇𝟐𝟐 + 𝒇𝟐𝟑


̅̅̅
𝒇𝟏 = ̅̅̅
𝒇𝟐 =
𝟑 𝟑
𝟕, 𝟕𝟒 + 𝟖, 𝟒 + 𝟗, 𝟎𝟑 𝟓, 𝟑𝟔 + 𝟑, 𝟓 + 𝟑, 𝟒𝟒
̅̅̅
𝒇𝟏 = = 𝟖, 𝟑𝟗 𝐜𝐦 ̅̅̅
𝒇𝟐 = = 𝟒, 𝟏𝟏 𝐜𝐦
𝟑 𝟑

𝒇𝟏𝒙 (𝒅 − 𝒇𝟐𝒙 )
𝒇𝒙 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝒙 + 𝒇𝟐𝒙 )
𝟐
𝒇𝟏𝟏 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟏 ) √ ∑|𝒇 − 𝒇̅|
𝒇𝟏 = 𝜹𝒇 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝟏 + 𝒇𝟐𝟏 ) 𝒏−𝟏

𝟕, 𝟕𝟒(𝟏𝟎 − 𝟓, 𝟒) 𝟏𝟒𝟒𝟒, 𝟏𝟒
𝒇𝟏 = = −𝟏𝟏, 𝟓𝟑𝟗 𝐜𝐦 𝜹𝒇 = √
𝟏𝟎 − (𝟕, 𝟕𝟒 + 𝟓, 𝟒) 𝟐

𝜹𝒇 = 𝟐𝟔, 𝟖𝟕𝟏𝟒 𝐜𝐦
𝒇𝟏𝟐 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟐 )
𝒇𝟐 =
𝒅 − (𝒇𝟏𝟐 + 𝒇𝟐𝟐 )
𝒉′
𝟖, 𝟒(𝟏𝟎 − 𝟑, 𝟓) 𝑴=| |
𝒇𝟐 = = −𝟐𝟕, 𝟗𝟏𝟖 𝐜𝐦 𝒉
𝟏𝟎 − (𝟖, 𝟒 + 𝟑, 𝟓)
𝟎, 𝟓
𝒇𝟏𝟑 (𝒅 − 𝒇𝟐𝟑 ) 𝑴=| | = 𝟎, 𝟓
𝒇𝟑 = 𝟏
𝒅 − (𝒇𝟏𝟑 + 𝒇𝟐𝟑 )
𝟎, 𝟑
𝟗, 𝟎𝟑(𝟏𝟎 − 𝟑, 𝟒𝟑) 𝑴=| | = 𝟎, 𝟑
𝒇𝟑 = = −𝟐𝟑, 𝟗𝟑𝟑 𝐜𝐦 𝟏
𝟏𝟎 − (𝟗, 𝟎𝟑 + 𝟑, 𝟒𝟑)
𝟎, 𝟐
𝑴=| | = 𝟎, 𝟐
𝟏
𝑴𝟏 + 𝑴𝟐 + 𝑴𝟑
̅ =
𝑴
𝒇𝟏 + 𝒇𝟐 + 𝒇𝟑 𝟑
𝒇̅ =
𝟑 𝟎, 𝟓 + 𝟎, 𝟑 + 𝟎, 𝟐
̅ =
𝑴 = 𝟎, 𝟑𝟑
𝟑
𝒇̅
(−𝟏𝟏, 𝟓𝟑𝟗) + (−𝟐𝟕, 𝟗𝟏𝟖) + (−𝟐𝟑, 𝟗𝟑𝟑)
=
𝟑
𝒇̅ = −𝟐𝟏, 𝟏𝟑 𝐜𝐦
𝒇 = (𝒇̅ ± 𝜹𝒇)

𝜹𝒇 𝒇 = ((−𝟐𝟏, 𝟏𝟑) ± 𝟖, 𝟓𝟒𝟏𝟑𝟑) 𝐜𝐦


𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝒇̅
𝟖, 𝟓𝟒𝟏𝟑𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = × 𝟏𝟎𝟎%
−𝟐𝟏, 𝟏𝟑
𝐊𝐫 𝒇 = −𝟒𝟎, 𝟒𝟐𝟑%

3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
Percobaan lensa tipis tidak dapat dilakukan tanpa ketersediaan alat dan bahan yang
digunakan selama proses praktikum. Kekurangan satu alat bahkan dapat berpengaruh terhadap
keberlangsungan percobaan, hal ini dikarenakan setiap alat dan bahan telah ditentukan
berdasarkan fungsi dan kegunaannya masing-masing. Lensa yang digunakan dalam percobaan
ini terdiri dari lensa positif dan negatif yang dimaksudkan agar terlihat perbedaan sifat dan
karakteristik dari lensa tersebut setelah dilakukan percobaan, benda berupa anak panah yang
akan dijadikan objek yang diamati dalam praktikum akan dipengaruhi oleh keberadaan lensa,
sehingga bisa diperbesar, diperkecil dan dibalikkan bayangannya. Adapun bayangan dari objek
akan diterima oleh layar sebagai reseptor dari rangkaian percobaan. Bayangan akan terbentuk
dikarenakan adanya lampu sebagai sumber cahaya. Agar posisi lensa stabil dan tidak berubah
posisi maka digunakan penyangga lensa, kemudian setiap alat yang digunakan disusun pada
bangku optik sesuai konsep percobaan, dengan ini praktikan dipermudah dalam pelaksanaan
percobaan. Setiap hasil data dalam percobaan didapat dari proses pengukuran dengan
penggaris.
Hal yang paling penting dalam percobaan adalah dilakukan secara berurutan agar tidak
terjadi kesalahan dan penyimpangan konsep praktikum. Pertama, setiap alat dan bahan yang
akan digunakan dalam praktikum harus sudah disiapkan oleh praktikan agar selama praktikum
tidak ada kekurangan alat ataupun bahan. Peralatan percobaan disusun sesuai urutan yang
dipedomani agar sesuai dengan prinsip percobaan. Tinggi objek anak panah diukur sebagai data
primer sebelum dilakukannya praktikum. Percobaan lensa positif dengan model uji Gauss
diawali dengan lensa cembung ganda yang dipasang pada penyangga lensa agar tidak tergeser
posisinya, posisi benda ditempatkan sejauh mungkin dari layar dan diukur jauhnya agar
didapatkan jarak sebagai variabel L, lensa digeser-geserkan agar bayangan dari objek dapat
dihasilkan. Jarak benda dengan lensa, bayangan dengan lensa, tinggi benda, tinggi bayangan
diukur sebagai data hasil percobaan, begitupun sifat bayangan yang terbentuk sebagai data
kualitatif dari praktikum. Percobaan dengan lensa positif metode Bessel dilakukan sedikit
berbeda dengan percobaan model Gauss. Perbedaannya terletak pada tahap digesernya lensa
pada metode Bessel sebanyak dua kali yaitu di titik terdekat dengan objek dan di titik terdekat
dengan layar, hal ini dilakukan agar data hasil pengukuran dapat dibandingkan. Langkah pada
percobaan Bessel diulangi agar terhindar dari ralat yang teramat besar. Adapun pada percobaan
lensa negatif, langkah yang dilakukan sama dengan langkah pada percobaan lensa positif model
Gauss, tetapi berbeda pada penempatan lensa. Pada percobaan lensa negatif, diletakkan juga
lensa positif di antara lensa dengan objek, hal ini dilakukan agar bayangan yang keluar dari
lensa negatif dapat terfokus pada layar sehingga praktikan dipermudah dalam pengambilan
data. Langkah pada percobaan lensa negatif diulangi agar didapat variasi data untuk dianalisa
kemudian. Untuk lensa gabungan, langkah yang dilakukan sama tetapi digunakan dua lensa
yang digeser-geserkan secara bersamaan dengan jarak tertentu agar posisi awal kedua lensa
sebelum dan sesudah digeserkan sama, data hasil percobaan diambil dari bayangan yang
terbentuk paling jelas dari posisi lensa setelah digeser-geserkan. Langkah dalam percobaan ini
juga diulangi beberapa kali agar didapat variasi data dan kesalahan atau ralat dapat
terminimalisir.

3.3.2 Analisa Hasil


Berdasarkan data yang dihasilkan, dapat diamati bahwasanya terbentuknya bayangan
benda jelas dipengaruhi oleh adanya lensa. Dihasilkan variasi data yang beragam dari masing-
masing percobaan. Pada lensa positif dan negatif, jarak benda ke layar sama sehingga langsung
dapat diamati dari segi titik fokus lensa dan bayangan yang dihasilkan. Pada lensa positif
dengan metode Gauss dan Bessel tidak terlalu tampak perbedaan, hanya saja rerata letak fokus
pada lensa positif dengan cara Gauss sedikit lebih panjang daripada dengan cara Bessel.
Walaupun pembentukan rerata pembentukan bayangan yang dihasilkan sama yaitu 0,733 kali,
hal ini berarti ukuran bayangan lebih kecil daripada ukuran benda aslinya, bayangan diperkecil
ini sesuai dengan sifat dasar lensa cembung. Selain dengan sifatnya yang diperkecil, bayangan
pada lensa cembung juga ditampilkan dalam bentuk sama seperti aslinya yaitu tegak atau nyata.
Pada percobaan metode Bessel terdpat data tambahan dari terbentuknya bayangan yaitu ketika
lensa berada pada posisi lebih dekat dengan benda, terlihat bahwa ukuran bayangan 1,8 kali
lebih besar daripada ukuran benda aslinya dengan posisi tegak. Hal ini berarti pada lensa positif,
semakin dekat benda dengan layar, maka titik fokusnya akan semakin besar dan bayangan yang
dihasilkan akan semakin kecil. Sedangkan pada lensa negatif, dengan jarak L yang sama
ternyata letak fokus lensa jauh lebih kecil yaitu dengan rerata 6,24 cm saja, dengan data ini pula
ditemui bayangan yang terbentuk pada layar diperbesar, yaitu dengan rerata perbesarannya
1,433 kali dari ukuran benda semula. Adapun pada lensa gabungan, titik fokus berada jauh di
belakang lensa, hal ini diketahui dari nilai titik fokus yang bersifat negatif yaitu -21,13 cm
dibarengi dengan hasil bayangan yang diperkecil dengan sangat yaitu rata-ratanya 0,33 kali dari
ukuran semula. Secara keseluruhan data-data yang didapatkan memiliki nilai kesalahan relatif
yang kecil sehingga sudah bisa dipercaya hasilnya, nilai ralat yang baik berada di bawah 30%.
Tetapi kesalahan pengukuran yang besar terjadi dalam percobaan ini ada pada percobaan
dengan lensa gabungan yaitu 40,432% dengan nilai negatif (-) karena dipengaruhi oleh data
titik fokusnya yang mengarah ke belakang lensa. Namun hal ini hanya berpengaruh kepada data
kuantitatif saja, tidak membuat data hasil percobaan bertolak belakang dengan konsep teori
dalam percobaan.
Cahaya yang diarahkan kepada lensa cekung dibelokkan ke arah tepi lensa atau
dijauhkan dari sumbu lensa. Sinar datang sejajar pada lensa cekung, sinar-sinar akan
dihamburkan seolah berasal dari suatu titik yang disebut titik fokus. Sifat lensa cekung adalah
maya atau semu dan bernilai negatif, hal ini dikarenakan titik fokus lensa cekung terletak di sisi
yang sama dengan sinar datang terhadap sumbu lensa, sedangkan hamburan sinar disebarkan
di belakang lensa cekung.

Gambar 3.1 Proses Jalannya Sinar Lensa Cekung. Sumber: Penulis.


Adapun cahaya yang diarahkan kepada lensa cembung akan dibiaskan atau dibelokkan
sehingga sebelumnya dikumpulkan pada suatu titik yaitu titik fokus. Jalannya sinar yang
diarahkan kepada lensa cembung sejajar dengan sumbu utaa dan dibiaskan melalui fokus di
belakang lensa.
Gambar 3.2 Proses Jalannya Sinar Lensa Cembung. Sumber: Penulis.
Masing-masing lensa cekung dan cembung terdiri dari 3 sinar istimewa. Sinar istimewa
pada lensa cembung yang pertama sejajar dengan sumbu utama dan dibiaskan dengan dilaluinya
titik fokus ke satu di belakang lensa, sinar istimewa kedua ketika sinar datang dengan ditujunya
titik fokus di depan lensa ke dua dibiaskan sejajar dengan sumbu utama. Sinar istimewa ketiga
ketika sinar datang dan dilewatinya pusat optik lensa atau titik O maka tidak akan terbiaskan
tetapi diteruskan searah dengan sinar datang. Sedangkan pada lensa cekung sinar istimewa
pertama terjadi ketika sinar datang sejajar sumbu utama dibiaskan seolah-olah berasal dari
titik fokuss pertama di depan lensa, sinar istimewa kedua ketika sinar datang yang seolah-olah
ditujukan ke titik fokus kedua di belakang lensa dibiaskan sejajar dengan sumbu lensa, sinar
datang ketiga terjadi saat sinar yang datang diarahkan kepada pusat optik dan tidak dibiaskan,
melainkan diteruskan sejajar dengan arah sinar datang.

Gambar 3.3 Sinar-Sinar Istimewa (a) Lensa Cekung; (b) Lensa Cembung. Sumber: Penulis.

Lensa cembung dan cekung dalam aplikasi sehari-hari sering dijumpai pada optik
penetralan penyakit mata, yaitu digunakan oleh para penderita rabun jauh (miopi) atau rabut
dekat (hipermetropi). Orang dengan penyakit rabun dicirikan dengan tidak bisanya membaca
dengan jelas pada jarak fokus mata normal yaitu 25 cm, penderita cenderung melihat 25 cm
terlalu dekat atau terlalu jauh sehingga digunakanlah kaca mata dengan kekuatan lensa tertentu
untuk mengatasi hal tersebut. Selain di bidang kesehatan, penggunaan konsep lensa tipis ini
juga didapati pada dunia astronomi dan penelitian mikroskopis. Benda luar angkasa yang
umumnya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang kecuali bulan, bintang pijar dan matahari,
semua dapat terlihat ketika benda-benda tersebut dilihat dengan bantuan teropong bintang atau
teropong bumi, begitupun pada bakteri, dan struktur makhluk hidup terkecil hingga atom hanya
dapat terlihat ketika digunakan mikroskop sebagai pembesar visual dari benda kecil tersebut.
Prinsip kerja dari teropong dan mikroskop ini tidak terlepas dari konsep penentuan titik fokus
dan pembentukan bayangan dari lensa, baik cembung maupun cekung.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada percobaan lensa tipis ini dapat disimpulkan bahwa bayangan benda akan dibentuk
oleh lensa dan akan ditampilkan melalui layar dengan dipisahkan oleh jarak tertentu hingga
focus dapat ditemukan pada sistem lensa. Sinar yang terlewat terhadap lensa akan dibiaskan
sesuai dengan arah datangnya. Bayangan yang dibentuk oleh lensa akan bergantung pada jenis
lensa jika lensa positif maka bayangan akan difokuskan dan jika lensa negatif maka bayangan
akan disebar.

4.2 Saran
Dikarenakan percobaan ini cukup kompleks diharapkan kedepannya percobaan dapat
dilaksanakan secara langsung. Jaringan pun menjadi salah satu kendala paling mendasar yang
harus diperhatikan dalam setiap evaluasi sistem pembelajaran. Karena pembelajaran daring
seperti ini bertepatan dengan musim pancaroba yang memberikan beberapa kendala dalam
koneksi jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Giancoli, D., C. 2014. Fisika Prinsip dan Aplikasi. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga
Giancoli, D., C. 2013. Physics Principles With Applications. Seventh Edition. New York:
Pearson Education
Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J. 2011..Fundamental Of Physics. Ninth Edition. New
York: John Willey and Sons Inc
Halliday, D., Resnick, R., & Walker, J. 2011. Fisika Dasar Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta :
Erlangga.
LAMPIRAN
Screenshot Literatur

(Giancoli, 2014)
(Giancoli, 2013)
(Halliday, 2011)
(Walker, 2011)
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Indeks Bias Larutan)

(PERCOBAAN-OP2)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 3 Mei 2021
Nama Asisten : Awitta Yani

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Terdapat tiga tujuan setelah praktikum ini dilaksanakan. Tujuan pertama yaitu
prinsip Refraktometer Abbe dapat dijelaskan oleh praktikan, tujuan kedua yaitu
hubungan indeks bias dengan konsetrasi larutan gula dapat dibuat oleh praktikan, dan
yang terakhir yaitu kadar gula dalam suatu larutan yang tidak diketahui konsentrasinya
dapat ditentukan oleh praktikan.

1.2 Dasar Teori


Pembiasan dapat terjadi ketika cahaya melintas pada suatu permukaan dengan
dua media yang terpisah atau medium yang berbeda. Pembiasan menyebabkan
pembelokan pada cahaya yang tegak lurus dengan permukaan. Contoh terjadinya
pembiasan adalah ketika cahaya melintas melalui sebuah permukaan menuju ke dalam
air, kemudian terbentuklah sinar yang dibelokkan ke arah kanan bawah. Dengan
demikian cahaya tersebut umumnya disebut “bengkok”. Pembengkokan atau
pembelokan tersebut hanya dapat terjadi pada suatu permukaan yang kemudian di dalam
air, cahaya tersebut melintasi garis lurus (Halliday & Resnick, 2011).

Gambar 1.1 Ilustrasi pembiasan cahaya (Halliday & Resnick, 2011)

Pada pembiasan menghasilkan 𝜃1 dan juga 𝜃2 . 𝜃1 merupakan sudut antara sinar


datang dan garis normal (garis yang tegak lurus dengan permukaan). Sedangkan 𝜃2
merupakan sudut bias atau sudut antara sinar bias dengan garis normal. Sudut bias
bergantung pada laju cahaya kedua media dan sudut datang. Hubungan antara 𝜃1 dan
𝜃2 dinyatakan pada Hukum Snell yang diitemukan oleh Willebrob Snell (1591 - 1626).
Hukum Snell dituliskan dengan (Giancoli, 2014) :
𝑛1 sin 𝜃1 = 𝑛2 sin 𝜃2 (1.1)

Dijelaskan dari Hukum Snell tersebut bahwa jika 𝑛2 > 𝑛1 , maka 𝜃2 < 𝜃1 . Di
mana 𝑛1 adalah media mula-mula cahaya, dan 𝑛2 adalah media yang dituju cahaya.
Hukum Snell tersebut memiliki arti bahwa apabila cahaya memasuki medium di mana
n lebih besar (dan lajunya lebih kecil), maka berkas cahaya dibelokkan mendekati garis
normal. Sedangkan apabila 𝑛2 < 𝑛1 , maka 𝜃2 > 𝜃1 , sehingga menyebabkan berkas
cahaya dibelokkan menjauhi garis normal (Giancoli, 2014).
Arah gerak dari suatu caahaya akan berubah ketika lewat dari suatu medium
tembus pandang ke medium tembus pandang yang lainnya dengan indeks bias yang
berbeda. Salah satu aspek dari karakteristik gelombang yang berubah ketika indeks bias
berbeda terjadi yaitu suatu gelombang tidak berubah ketika lewat medium yang
berbeda. Hal itu disebabkan siklus gelombang yang datang per satuan waktu. Kedua,
panjang gelombang 𝜆 dari suatu gelombang akan berbeda pada medium yang berbeda.
Hal ini disebabkan rumus 𝑣 = 𝜆𝑓, yang mana f pada semua medium adalah sama,
sedangkan v akan selalu lebih kecil dibandingkan c di ruang vakum sehingga panjang
gelombang dari cahaya 𝜆 pada suatu medium akan lebih kecil dibandingkan panjang
gelombang dari cahaya 𝜆0 di ruang vakum. Persamaan tersebut dapat dituliskan seperti
bentuk di bawah ini (Young and Freedman, 2016).
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Praktikum ini dilakukan dengan beberapa alat dan bahan. Alat dan bahan
tersebut di antaranya yaitu sebuah lampu pijar, sebuah Refraktometer Abbe, gelas ukur,
tabung reaksi, pipet tetes, pengaduk, neraca ohauss, tissue dan larutan gula dengan
berbagai konsentrasi.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Bagian-bagian Refraaktometer Abbe dipelajari terlebih dahulu oleh praktikan.

Air murni diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, lalu ditutup dan dicatat
indeks biasnya (diulangi sebanyak lima kali).

Larutan gula dengan persentase berat 20% (dibutuhkan 4 gr gula dan 16 mL air),
40% (dibutuhkan 6 gr gula dan 9 mL air), dan 60% (dibutuhkan 6 gr gula dan 4
mL air).

Larutan gula 20% diteteskan di atas prisma Refraktometer Abbe, lalu ditutup dan
diamati nilai indeks biasnya pada lensa Refraktometer Abbe, kemudian dicatat
indeks biasnya (langkah ini diulangi sesuai petunjuk asisten).

Langkah 4 diulangi untuk larutan 60% dan 40%.

Langkah 4 diulangi untuk larutan yang belum diketahui konsentrasinya dan dicatat
harga n-nya.
BAB III

PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan


Tabel 3.1 Data Hasil Percobaan
Indeks Bias (n)
Persentase Larutan (%)
𝑛1 𝑛2 𝑛3
20 135,35 135,85 135,60
40 137,45 137,35 137,55
60 139,35 139,30 139,50

3.2 Perhitungam
3.2.1 Persentase Larutan 20%
Tabel 3.2 Perhitungan Persentase Larutan 20%
Ke- n |𝑛 − 𝑛̅|2
1 135,35 0,0625
2 135,85 0,0625
3 135,60 0
∑ 406,8 0,125
Σ𝑛
𝑛̅ = = 135,60
𝑘

Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,25
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,184366%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (135,60 ± 0,25)

3.2.2 Persentase Larutan 40%


Tabel 3.3 Perhitungan Persentase Larutan 40%
Ke- N |𝑛 − 𝑛̅|2
1 137,45 0
2 137,35 0,01
3 137,55 0,01
∑ 412,35 0,02
Σ𝑛
𝑛̅ = = 137,45
𝑘

Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,10
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,072754%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (137,45 ± 0,10)

3.2.3 Persentase Larutan 60%


Tabel 3.3 Perhitungan Persentase Larutan 60%
Ke- n |𝑛 − 𝑛̅|2
1 139,35 0,00111111
2 139,30 0,00694444
3 139,50 0,01361111
∑ 418,15 0,02166667
Σ𝑛
𝑛̅ = = 139,383
𝑘

Σ |nk − 𝑛̅|2
𝛿𝑛 = √ = 0,104083
𝑘−1
𝛿𝑛
𝐾𝑟 𝑛 = × 100% = 0,074674%
𝑛̅
𝑛 = (𝑛̅ ± 𝛿𝑛) = (139,383 ± 0,104083)
3.3 Grafik

Persentase (%) 𝑛̅
20 135,60
40 137,45
60 139,383
Tidak Diketahui -

∆𝑦 𝑦2 − 𝑦1 140,20 − 135,60
tan 𝜃 = = = = 0,135294
∆𝑥 𝑥2 − 𝑥1 60 − 26
𝛿𝑔 𝑦𝑏 − 𝑦𝑎 139 − 135,9
𝐾𝑟 𝑔 = × 100% = × 100% = × 100% = 1,127342%
𝑔̅ 2𝑦̅ 2 × 137,4915
𝑌 = (tan 𝜃 + 𝑛 𝑎𝑖𝑟) × 100% = (0,135294 + 133,33) × 100% = 133,4653%

3.4 Pembahasan
3.4.1 Analisa Prosedur
Di dalam praktikum Indeks Bias Larutan ini dibutuhkan beberapa alat
dan bahan di antaranya yaitu neraca ohauss, gelas ukur, refractometer abbe,
pipet tetes, tabung reaksi, pengaduk, dan beberapa larutan gula dengan
konsentrasi yang berbeda-beda. Masing-masing alat dan bahan tersebut
dipergunakan dengan sebagaimana fungsinya agar tujuan praktikum dapat
diperoleh. Neraca ohauss berfungsi sebagai alat ukur massa gula ketika larutan
gula dibuat. Gelas ukur sebagai alat ukur volume air dalam pembuatan larutan
gula. Refractometer abbe berfungsi sebagai alat ukur indeks bias larutan setiap
larutan. Pipet teter berfungsi sebagai alat bantu saat larutan dipindahkan dari
tabung reaksi sebagai wadah larutan gula. Pengaduk berfungsi sebagai alat bantu
saat larutan gula dilarutkan sehingga menjadi larutan homogen. Larutan gula
dengan beberapa konsentrasi yang berbeda berfungsi sebagai objek percobaan
sehingga larutan yang tidak diketahui konsentrasinya dapat diketahui indeks
biasnya.
Sebelum praktikum dilaksanakan, bagian-bagian refractometer abbe
dipelajari terlebih dahulu agar saat pengukuran indeks bias lebih mudah.
Kemudian, beberapa larutan gula dengan konsentrasi yang berbeda dibuat
dengan perbandingan gula dan air sesuai petunjuk asisten dengan bantuan alat
ukur neraca ohauss dan gelas ukur. Larutan gula tersebut dibuat di tabung reaksi
yang kemudian dipindahkan ke refractometer abbe dengan bantuan pipet tetes
agar indeks bias larutan dapat diketahui. dalam pengukuran indeks bias tersebut
kemudian dibuatkan grafik agar larutan gula dengan konsentrasi yang belum
diketahui konsentrasinya dapat ditentukan indeks biasnya.

3.4.2 Analisa Hasil


Berdasarkan data hasil percobaan yang diperoleh, semakin besar
konsentrasi larutan maka indeks biasnya juga semakin besar. Sebagai contoh
yaitu pada pengukuran indeks bias pada larutan dengan persentase 20%
diperoleh rata-rata 135,6, pada pengukuran indeks bias pada larutan dengan
persentase 40% diperoleh rata-rata 137,45, sedangkan pada pengukuran indeks
bias dengan persentase larutan 60% diperoleh rata-rata sebesar 139,3833. Pada
pengukuran indeks bias larutan dengan persentase 40% merupakan pengukuran
dengan nilai Kr terkecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa error yang dialami
oleh pengukuran pada larutan dengan persentase 40% merupakan error terkecil.
Error yang dialami oleh setiap pengukuran dapat terjadi karena kesalahan
lingkungan seperti suhu ataupun kesalahan saat pengukuran perbandingan gula
dan air dalam pembuatan larutan.
Dalam pembuatan grafik tersebut sumbu x merupakan data dari
persentase larutan dan sumbu y merupakan data dari n rata-rata dari setiap
larutan persentase yang berbeda-beda tersebut. Dari pembuatan grafik tersebut
didapatkan nilai tan θ, nilai Y, dan nilai Kr g. Diketahui nilai n air yaitu 133,33,
sehingga didapatkan nilai Y dari grafik tersebut yaitu 133,4653%. Nilai Y
tersebut merupakan hasil dari penjumlahan tan θ dengan n air yang kemudian
dikalikan dengan 100%. Nilai kesalahan atau error yang diperoleh dari
pembuatan grafik tersebut yaitu 1,127342%.
Refraktometer merupakan alat ukur indeks bias suatu larutan yang
menerapkan prinsip kerja pembiasan cahaya dalam pengukurannya.
Refraktometer dapat dikatakan menggunakan prinsip pembiasan dalam
pengukurannya, karena pada salah satu bagian refractometer yang dapat
membiaskan cahaya, yang kemudian sampel dengan kerapatan yang berbeda
tersebut akan diketahui nilai indeks biasnya. Karena pada dasarnya bagian
refractometer tersebut membiaskan cahaya dari prisma ke sampel yang berupa
cairan yang tentu saja kerapatannya berbeda. Bagian refractometer yang
membiaskan cahaya tersebut berbentuk prisma. Hasil pengukuran dari
refractometer ini dapat terlihat dari lensa yang terdapat di bagian atas
refractometer. Untuk melihat hasil pengukurannya, refractometer terdapat dua
bagian pengaturan yang dapat mengatur skala dan kecerahan dari hasil
pengukuran yang didapatkan dari refractometer tersebut.

Gambar 3.1 Refraktometer Abbe

Beberapa hal yang dapat memengaruhi nilai indeks bias cahaya yaitu
kerapatan dan suhu dari larutan tersebut. Karena cahaya akan dibelokkan apabila
media yang dilewatinya memiliki kerapatan yang berbeda. Sedangkan, yang
mempengaruhi konsentrasi larutan adalah persen volume, persen massa,
molalitas, molaritas, dan pengenceran. Kerapatan suatu larutan dapat
dipengaruhi dari zat terlarut dalam pembuatan larutan dan kekentalan larutan
tersebut. Semakin kental suatu larutan maka semakin besar pula nilai
kerapatannya, sehingga indeks bias yang dihasilkan akan semakin besar pula.
Salah satu contoh aplikasi indeks bias dalam kehidupan sehari-hari yaitu
kacamata. Karena perbedaan medium antara udara dan lensa kacamata, cahaya
dapat dibiaskan. Hal tersebut dipergunakan dan dimanfaatkan sebagai alat bantu
pada penderita rabun, sehingga dapat melihat dengan jelas.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah praktikum Indeks Bias Larutan ini dilakukan, dapat dipahami bahwa
prinsip kerja dari refractometer abbe merupakan salah satu penerapan dari pembiasan
cahaya. Karena perbedaan medium antara prisma pada refractometer dengan sampel
atau larutan yang diukur indeks biasnya maka cahaya dapat dibiaskan dan diketahui
nilai indeks biasnya. Indeks bias tersebut juga dapat dipengaruhi oleh konsentrasi dari
larutan yang digunakan. Karena konsentrasi merupakan besaran dari kepekatan dari
perbandingan antara pelarut dan zat terlarut. Semakin besar persentase larutan yang
digunakan pada praktikum ini, maka semakin besar pula nilai indeks biasnya.
Konsentrasi dari larutan yang tidak diketahui tersebut adalah 133,4653% diperoleh dari
perhitungan grafik.

4.2 Saran
Sebelum praktikum dilaksanakan, praktikan disarankan untuk mempelajari
bagian-bagian dari refractometer abbe. Selain itu, karena praktikum dilaksanakan secara
daring, maka praktikan disarankan untuk mempelajari dasar teori sebelum praktikum,
agar dapat memahami praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Giancoli, Douglas C. 2014. Fisika Edisi Ketujuh Jilid 2. Jakarta : Erlangga


Halliday, David., Resnick, Robert., Walker, Jearl. 2011. Fundamentals of Physics. 9th Edition.
America : John Wiley and Sons Inc
Young, H. D., Freedman, R. A. 2016. University Physics with Modern Physics. 14th Edition.
Essex : Pearson Education
LAMPIRAN

(Halliday and Resnick, 2011)

(Giancoli, 2014)
(Young and Freedman, 2016)
TUGAS PENDAHULUAN
1. Berapakah molar larutan gula 50 %, 40 %, 30 %, 20 %, 10 % ?
2. Apa yang dimaksud dengan konsentrasi larutan gula dan dapat dinyatakan dalam satuan
apa saja?
3. Berapa ml air yang harus dicampurkan dengan 5 gram gula untuk membuat larutan gula
50 %, 40 %, 30 %, 20 %, dan 10 % ?

Jawaban :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
1. 𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 × 100 %
50 % 1
• 𝑛1 = 100 % = 2
40 % 2
• 𝑛2 = 100 % = 5
30 % 3
• 𝑛3 = 100 % = 10
20 % 1
• 𝑛4 = 100 % = 5
10 % 1
• 𝑛5 = 100 % = 10

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑧𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 1000


𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 × 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛

• Molaritas 50 % :
1 1000
× = 5,84 𝑀
342 1
2
• Molaritas 40 % :
1 1000
× = 7,31 𝑀
342 2
5
• Molaritas 30 % :
1 1000
× = 9,74 𝑀
342 3
10
• Molaritas 20 % :
1 1000
× = 14,6 𝑀
342 1
5
• Molaritas 10 % :
1 1000
× = 29,2 𝑀
342 1
10
2. Konsentrasi larutan adalah suatu hubungan kuantitatif antara zat terlarut dan zat pelarut.
Hal ini berarti konsentrasi larutan gula adalah suatu hubungan kuantitatif antara gula
dan air, di mana gula sebagai zat terlarut dan air sebagai zat pelarut. Konsentrasi larutan
terbagi atas beberapa macam, yaitu fraksi mol, persen berat, molalitas, molaritas, dan
normalitas. Konsentrasi larutan dapat dinyatakan dalam satuan molaritas (m), molaritas
(M), dan persen massa.
𝑚
3. 𝑛%= × 100 %
𝑉
5
• 50 % = 𝑉 × 100 %

𝑉 = 2 × 5 = 10 𝑚𝑙
5
• 40 % = 𝑉 × 100 %
5
𝑉 = 2 × 5 = 12,5 𝑚𝑙
5
• 30 % = × 100 %
𝑉
10
𝑉= × 5 = 16,6 𝑚𝑙
3
5
• 20 % = 𝑉 × 100 %

𝑉 = 5 × 5 = 25 𝑚𝑙
5
• 10 % = 𝑉 × 100 %

𝑉 = 10 × 5 = 50 𝑚𝑙
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Difraksi Cahaya)

(PERCOBAAN-OP3)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 8 Maret 2021
Nama Asisten : Fattah Diwangkara Mahariadi

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini adalah dapat dijelaskannya gejala difraksi cahaya
oleh celah sempit oleh praktikan, dan lebar celah tunggal serta jarak antar celah pada
celah ganda dapat ditentukan oleh praktikan fisika dasar.

1.2 Dasar Teori

Prinsip Huygens menyatakan bahwa : “Setiap titik pada muka gelombang


dapat dianggap sebagai sumber gelombang-gelombang kecil yang menyebar maju
dengan laju yang sama dengan laju gelombang itu sendiri.”. Difraksi merupakan
contoh dari Prinsip Huygens yang meramalkan bahwa yang gelombang menekuk di
belakang sebuah penghalang, seperti yang dilakukan oleh gelombang air. Difraksi
merupakan penekukan gelombang di belakang penghalang menjadi “daerah bayangan
Difraksi terjadi pada gelombang, namun tidak dapat terjadi pada partikel, maka
difraksi dapat berfungsi sebagai cara untuk membedakan sifat cahaya. (Giancoli,
2014)
Saat cahaya melewati celah sempit, cahaya menyebar di luar jalur sempit yang
ditentukan oleh celah tersebut ke wilayah yang akan berada dalam bayangan jika
cahaya bergerak dalam garis lurus. Gelombang lain, seperti gelombang suara dan
gelombang air, juga memiliki sifat penyebaran ini ketika melewati celah atau tepi yang
tajam. Pola difraksi yang terdiri dari area terang dan gelap diamati, agak mirip dengan
pola interferensi. Polanya terdiri dari pita tengah yang luas dan intens (disebut
maksimum pusat) yang diapit oleh serangkaian pita tambahan yang lebih sempit dan
kurang intens (disebut maksima samping atau maksima sekunder) dan serangkaian pita
gelap intervensi (atau minimum). (Serway and Jewett, 2010)
Apabila gelombang cahaya didifraksi oleh celah sempit tunggal pada layar B
yang tidak tembus cahaya, maka panjang celah memanjang ke dalam dan ke luar
halaman, dan muka gelombang yang masuk sejajar dengan layar B. Dan Ketika cahaya
difraksi mencapai layar tampilan C, difraksi dari pinggiran terang dan gelap
(interferensi maxima dan minima) di layar. Untuk menemukan pinggiran tersebut, kita
menggunakan prosedur yang mirip dengan menemukan pinggiran dalam pola
interferensi dua celah. (Halliday and Resnick, 2011)
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang dibutuhkan di dalam percobaan ini di antaranya yaitu
Laser He-Ne berdaya rendah, sebuah slide foto (35 mm) dengan sebuah celah ganda,
sebuah kisi difraksi yang diletakkan pada sebuah slide 35 mm, pemegang slide yang
memiliki pengatur vertical sehingga letak slide pada berkas sinar laser dapat diatur,
dan sebuah layer yang ditempeli selembar kertas grafik.
2.2 Tata Laksana Percobaan
2.2.1 Celah Ganda

Laser diletakkan di atas meja sejauh 2 hingga 3 meter dari layar atau dinding.
(Catatan : laser yang digunakan adalah laser dengan panjang gelombang 632,8
nm).

Slide yang berisi celah ganda dipasang pada pemegang slide yang memiliki
pengatur vertical untuk mengatur letak celah pada berkas sinar laser.

Selembar kertas grafik ditempelkan pada layar atau dinding.

Berkas sinar cahaya dijatuhkan di atas celah sehingga diperoleh bayangan yang
tajam di atas layar.

Tempat maksima dan minima ditandai di atas kertas tadi.

Jarak, x, diukur dari semua minima dan maksima, sin dihitung dan dibuat grafik
sin sebagai fungsi orde -n. Dari sini dapat ditentukan jarak antara kedua celah.
2.2.2 Celah Tunggal

Laser diletakkan di atas meja sejauh 2 hingga 3 meter dari layar atau dinding.
(Catatan : laser yang digunakan adalah laser dengan panjang gelombang 632,8
nm).

Slide yang berisi celah ganda dipasang pada pemegang slide yang memiliki
pengatur vertical untuk mengatur letak celah pada berkas sinar laser.

Selembar kertas grafik ditempelkan pada layar atau dinding.

Berkas sinar cahaya dijatuhkan di atas celah sehingga diperoleh bayangan yang
tajam di atas layar.

Tempat maksima dan minima ditandai di atas kertas tadi.

Jarak, x, diukur dari semua minima dan maksima, sin dihitung dan dibuat grafik
sin sebagai fungsi orde -n. Dari sini dapat ditentukan jarak antara kedua celah.

2.2.3 Kisi Difraksi

Kisi difraksi dipasang pada pemegang slide.

Sebuah layar kecil dengan ukuran kira-kira 20 – 50 cm diletakkan di depan kisi


sehingga pola interferensi yang tajam dapat diamati. Paling tidak dua orde dapat
dibedakan. Orde-orde yang lebih tinggi dapat pula diamati dengan cara layar
didekatkan pada kisi, karena pemisahan sudut (angular) puncak sangat tinggi.

Letak puncak (minimum dua orde) ditandai dan diukur.

Jumlah “guratan” per meter ditentukan dari kisi difraksi yang dipakai.
BAB III

PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan


3.1.1 Data Celah Tunggal
L= 1,68 m
λ= 632,8 nm
Tabel 3.1 Data Hasil Percobaan Celah Tunggal

3.1.2 Data Celah Ganda


L= 1,68 m
λ= 632,8 nm
Tabel 3.2 Data Hasil Percobaan Celah Ganda

3.2 Perhitungan
3.2.1 Celah Tunggal A Pola Gelap
Tabel 3.3 Perhitungan Celah Tunggal A Pola Gelap
3.2.2 Celah Tunggal A Pola Terang
Tabel 3.4 Perhitungan Celah Tunggal A Pola Terang
3.2.3 Celah Tunggal B Pola Gelap
Tabel 3.5 Perhitungan Celah Tunggal B Pola Gelap
3.2.4 Celah Tunggal B Pola Terang
Tabel 3.6 Perhitungan Celah Tunggal B Pola Terang
3.2.5 Celah Tunggal C Pola Gelap
Tabel 3.7 Perhitungan Celah Tunggal C Pola Gelap
3.2.6 Celah Tunggal C Pola Terang
Tabel 3.7 Perhitungan Celah Tunggal C Pola Terang
3.2.7 Celah Ganda A Pola Gelap
Tabel 3.8 Perhitungan Celah Ganda A Pola Gelap
3.2.8 Celah Ganda A Pola Terang
Tabel 3.9 Perhitungan Celah Ganda A Pola Terang

3.2.9 Celah Ganda B Pola Gelap


Tabel 3.10 Perhitungan Celah Ganda B Pola Gelap
3.2.10 Celah Ganda B Pola Terang
Tabel 3.11 Perhitungan Celah Ganda B Pola Terang
3.2.11 Celah Ganda C Pola Gelap
Tabel 3.12 Perhitungan Celah Ganda C Pola Gelap

3.2.12 Celah Ganda C Pola Terang


Tabel 3.13 Perhitungan Celah Ganda C Pola Terang
3.3 Grafik
3.3.1 Celah Tunggal A Pola Gelap

Gambar 3.1 Grafik Celah Tunggal A Pola Gelap

Tabel 3.14 Data Grafik Celah Tunggal A Pola Gelap

Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
3,47 1,1 5
3.3.2 Celah Tunggal A Pola Terang

Gambar 3.2 Grafik Celah Tunggal A Pola Terang

Tabel 3.15 Tabel Data Grafik Tunggal A Pola Terang


Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
3,49 0,8
3.3.3 Celah Tunggal B Pola Gelap

Gambar 3.3 Grafik Celah Tunggal B Pola Gelap

Tabel 3.16 Data Grafik Celah Tunggal B Pola Gelap


Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
1,1
3.3.4 Celah Tunggal B Pola terang

Gambar 3.4 Grafik Celah Tunggal B Pola Terang

Tabel 3.17 Data Grafik Celah Tunggal B Pola Terang


Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
2,1 3,83 1,4 5
3.3.5 Celah Tunggal C Pola Gelap

Gambar 3.5 Grafik Celah Tunggal C Pola Gelap

Tabel 3.18 Data Grafik Celah Tunggal C Pola Gelap


Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
2,3 3,73 1 5,5
3.3.6 Celah Tunggal C Pola Terang

Gambar 3.6 Grafik Celah Tunggal C Pola Terang

Tabel 3.19 Data Grafik Celah Tunggal C Pola Terang


Ya Yb Y1 Y2 X1 X2
2, 4,3 1,5 5
3.3.7 Celah Ganda A Pola Gelap

Gambar 3.7 Grafik Celah Ganda A Pola Gelap


3.3.8 Celah Ganda A Pola Terang

Gambar 3.8 Grafik Celah Ganda A Pola Terang

3.3.9 Celah Ganda B Pola Gelap


Gambar 3.9 Grafik Celah Ganda B Pola Gelap

3.3.10 Celah Ganda B Pola Terang

Gambar 3.10 Grafik Celah Ganda B Pola Terang


3.3.11 Celah Ganda C Pola Gelap

Gambar 3.11 Grafik Celah Ganda C Pola Gelap


3.3.12 Celah Ganda C Pola Terang

Gambar 3.12 Grafik Celah Ganda C Pola Terang

3.4 Pembahasan

3.4.1 Analisa Prosedur

Di dalam praktikum difraksi cahaya, diperlukan peralatan di antaranya adalah


laser He ne, penyangga, pemegang slide, penggaris, dan layar yang dilapisi oleh kertas
grafik. Laser He ne digunakan sebagai sumber cahaya yang digunakan sebagai
variable yang akan diamati dalam difraksi celah tunggal dan celah ganda. Penyangga
merupakan alat yang dipergunakan untuk diletakkannya laser He ne juga pemegang
slide. Slide baik kisi celah tunggal maupun celah ganda merupakan peralatan yang
digunakan sebagai celah ketika ditembus oleh laser he ne atau sumber cahaya.
Penggaris digunakan sebagai alat ukur jarak antara celah ke layar. Layar yang dilapisi
oleh kertas grafik digunakan sebagai media di mana slide kisi celah tunggal dan ganda
akan ditembus oleh laser He ne dan titik terang dan gelapnya akan terlihat pada layar
tersebut.

Pada percobaan ini, layar dan pemegang slide diukur jaraknya. Hal tersebut
untuk mendapatkan nilai L pada data. Slide dengan celah diatur dengan pemegang
slide agar berkas sinar yang akan dijatuhkan pada layar dapat terlihat dengan jelas pola
gelap terangnya, kertas putih dipasang pada layar agar diperoleh berkas pola sinar
jatuh yang cukup tajam, cahaya di sekitar ruangan uji coba difraksi dikurangi agar
cahaya dari laser tidak terganggu.

3.4.2 Analisa Hasil


Dari hasil perrcobaan difraksi cahaya ini dilakukan perhitungan pada data serta
dibuat grafik persebaran datanya. Namun hasil dari perhitungan serta grafik berbeda.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh kekurangtelitian praktikan dalam membuat grafik
ataupu kesalahan dalam pengumpulan data. Sebagai contoh perbedaannya yaitu pada
celah tunggal A pola gelap dihasilkan sebesar . Namun dari analisis
grafik didapatkan 0,012922 m. Dengan nilai koefisien ralat grafik yang lebih besar
dibandingkan dengan perhitungan data. Koefisien ralat pada grafik bernilai 30,21583%
sedangkan pada perhitungan senilai 5,39659% Koefisien ralat tersebut menunjukkan
bahwa data hasil perhitungan lebih teliti dibandingkan dengan hasil pada grafik.
Difraksi merupakan fenomena dimana terjadinya pembelokkan gelombang
oleh celah sempit sebagai penghalang. Sedangkan interferensi merupakan interaksi
dari dua gelombang cahaya atau lebih, interferensi dapat terjadi karena difraksi
cahaya. Karena interferensi dapat terjadi saat gelombang-gelombang cahayanya
berasal dari sumber yang koheren melewati suatu celah, di mana hal tersebut
menghasilkan pola yang mirip dengan difraksi cahaya.
Prinsip Huygens menyatakan bahwa : “Setiap titik pada muka gelombang
dapat dianggap sebagai sumber gelombang-gelombang kecil yang menyebar maju
dengan laju yang sama dengan laju gelombang itu sendiri.”. Difraksi merupakan
contoh dari Prinsip Huygens yang meramalkan bahwa yang gelombang menekuk di
belakang sebuah penghalang, seperti yang dilakukan oleh gelombang air. Difraksi
merupakan penekukan gelombang di belakang penghalang menjadi “daerah bayangan
Difraksi terjadi pada gelombang, namun tidak dapat terjadi pada partikel, maka
difraksi dapat berfungsi sebagai cara untuk membedakan sifat cahaya. (Giancoli,
2014)
Aplikasi difraksi pada kehidupan salah satunya adalah sebagai pengukuran
resolusi teleskop. Teleskop terdapat tingkap lingkaran karena profil mengenai ruang
dari intensitas yang merupakan transformasi fourier lingkaran. Selain itu difraksi juga
berguna pada proses lasik karena dengan difraksi dapat menentukan diameter pupil
mata secara akurat.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah dilakukannya percobaan ini dapat disimpulkan bahwa difraksi adalah
fenomena saat cahaya melewati celah sempit, cahaya menyebar di luar jalur sempit
yang ditentukan oleh celah tersebut ke wilayah yang akan berada dalam bayangan jika
cahaya bergerak dalam garis lurus. Diameter atau lebar celah yang dilewati oleh

sumber cahaya dapat dihitung dengan rumus pada celah dengan pola gelap

dan rumus pada celah dengan pola terang.

4.2 Saran
Untuk dapat lebih memahami topik ini praktikan fisika perlu mempelajari
terlebih dahulu. Serta untuk didapatkan data hasil percobaan yang akurat, praktikan
disarankan untuk lebih teliti dalam pengamatan dan pengambilan data. Karena apabila
lebih teliti dalam pengamatan dan pengambilan data, maka hasil perhitungan yang
didapatkan akan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Giancoli, Douglas C. 2014. Fisika Edisi Ketujuh Jilid 2. Jakarta : Erlangga


Halliday, David., Resnick, Robert., Walker, Jearl. 2011. Fundamentals of Physics. 9th Edition.
America : John Wiley and Sons Inc
Serway, Raymond A. Jewett. 2010. Physics for Scientist and Engineering with Modern
Physics Eight Edition. Belmont : Brooks/Colle Cengage Learning
LAMPIRAN

(Halliday and Resnick, 2011)

(Giancoli, 2014)
(Serway and Jewwet, 2010)
TABEL DATA HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
PERCOBAAN OP-3 (DIFRAKSI CAHAYA)
PRAKTIKUM FISIKA DASAR

3.1 Data Hasil Percobaan


3.1.1. Data Celah Tunggal
L= 1,68 m
λ= 632,8 nm
A B C
n
X (gelap) cm X (terang) cm X (gelap) cm X (terang) cm X (gelap) cm X (terang) cm
1 0,010 0,014 0,005 0,008 0,003 0,004
2 0,020 0,024 0,010 0,012 0,005 0,007
3 0,027 0,032 0,015 0,016 0,007 0,009
4 0,036 0,042 0,020 0,021 0,01 0,011
5 0,046 0,051 0,024 0,025 0,013 0,014

3.1.2. Data Celah Ganda


L= 1,68 m
λ= 632,8 nm
A B C
n
X (gelap) cm X (terang) cm X (gelap) cm X (terang) cm X (gelap) cm X (terang) cm
1 0,008 0,011 0,004 0,006 0,004 0,005
2 0,014 0,018 0,008 0,01 0,007 0,009
3 0,02 0,024 0,011 0,013 0,011 0,013
4 0,027 0,031 0,015 0,017 0,015 0,016
5 0,034 0,037 0,018 0,02 0,018 0,02

3.2 Perhitungan
3.2.1. Celah Tunggal A Pola Gelap

n X gelap (m) d (m)


sin

d1

3.2.2. Celah Tunggal A Pola Terang

n X terang (m) d (m) sin

d1

3.3. Grafik
Centroid
3.3.1. Celah Tunggal A Pola Gelap
Pola Terang → a

Pola Gelap →
= 2- 1

b
Kr =
= 2- 1

Centroid = (

1 2
Pembahasan

1.Bahas data dan grafik


2.Jelaskan apa perbedaan difraksi dengan interferensi
3.Prinsip Huygen
4.Aplikasi alat dengan menggunakan prinsip difraksi cahaya

Revisi : Paling Lambat Ahad, 14 Maret 2021 (23.59 WIB)


Paling Lambat tanpa revisi : Senin, 15 Maret 2021 (15.00 WIB)

ACC Data dari Asisten


Tugas Pendahuluan :

1. Apa yang dimaksud dengan defraksi dan interferensi cahaya?


2. Jelaskan kenapa pada percobaan ini digunakan sumber cahaya laser!
3. Turunkan persamaan untuk mencari pola gelap dan terang pada percobaan ini.

Jawaban :
1. Difraksi cahaya adalah peristiwa pembelokkan gelombang oleh celah sempit sebagai
penghalang. Interferensi merupakan interaksi dari dua gelombang cahaya atau lebih,
interferensi dapat terjadi karena difraksi cahaya.
2. Pada percobaan ini digunakan sumber cahaya laser karena biayanya yang relative
lebih murah dibandingkan dengan laser lain dan lebih mudah dioperasikan .
3. Untuk pola gelap :

Untuk pola terang :


Post Test

Revisi Post Test


1. Tujuan praktikum :
• Dapat dijelaskan gejala difraksi oleh celah sempit.
• Lebar celah tunggal serta jarak antar celah pada celah ganda dapat ditentukan.
2. Alat dan bahan yang dibutuhkan di dalam praktikum :
• Laser He ne
• Penyangga
• Slide celah tunggal dan slide celah ganda
• Pemegang slide
• Penggaris
• Layar dengan kertas grafik
3. Difraksi cahaya adalah peristiwa pembelokkan gelombang oleh celah sempit sebagai
penghalang.
4. Interferensi merupakan interaksi dari dua gelombang cahaya atau lebih, interferensi
dapat terjadi karena difraksi cahaya.
5. Rumus difraksi pola gelap :
Rumus difraksi pola terang :
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR II
(Indeks Bias Prisma)

(PERCOBAAN-OP4)

Kelas : Fisika B
Kelompok : 06
Tgl Praktikum : 22 Maret 2021
Nama Asisten : Rinda Fianita Setia Putri

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Tujuan dari diadakannya praktikum “Indeks Bias Prisma” ini adalah agar ke depannya
setelah praktikum ini dilaksanakan, indeks bias prisma dapat ditentukan oleh praktikan. Selain itu
setelah praktikum ini juga ketergantungan indeks bias pada panjang gelombang dapat dijelaskan
oleh praktikan.

1.2 Dasar Teori


Pembiasan adalah perjalanan cahaya yang melalui permukaan atau antarmuka dan
memisahkan dua media. Pada gambar 1.1 balok cahaya dalam foto diwakili dengan sinar insiden,
sinar yang dipantulkan, dan sinar yang difafraksi (dan garis gelombang). Setiap sinar berorientasi
sehubungan dengan garis, yang disebut normal, yang tegak lurus dengan wajah surpada titik
refleksi dan pembiasan. Sudut kejadian adalah 𝜃1 , sudut refleksi adalah 𝜃′1 , dan sudut
pembiasanadalah 𝜃2 , semua diukur relatif terhadap normal (Halliday, 2013).

Gambar 1.1 Ilustrasi pembiasan (Halliday, 2013)

Eksperimen menunjukkan bahwa refleksi dan pembiasan diatur oleh dua hukum. Hukum
pertama yaitu, hukum refleksi yang berbunyi “sinar yang tercermin terletak pada bidang insiden
dan memiliki sudut refleksi yang sama dengan sudut insiden (keduanya relatif terhadap normal)”.
Hukum kedua yaitu, hukum pembiasan yang berbunyi sinar yang difungsikan terletak pada bidang
insiden dan memiliki sudut pembiasan 𝜃2 yang terkait dengan sudut insiden 𝜃2 .
Persamaan hukum pertama
𝜃′1 = 𝜃1 1.1
Persamaan hukum kedua
𝑛2 sin 𝜃2 = 𝑛2 sin 𝜃1 1.2
(Halliday, 2013).

Hukum refleksi dan pembiasan dapat diperoleh dari prinsip Huygens. Hukum refleksi dan
pembiasan ini biasa disebut dengan hukum pembiasan Snell. Dapat dilihat pada gambar 1.2 bahwa
pada sinar instan 1 menyerang permukaan dan interval waktu berikutnya sampai sinar 2 menyerang
permukaan. Selama interval waktu ini, gelombang di A mengirimkan gelombang Huygens (busur
coklat muda yang melewati D) dan cahaya merefracts ke dalam bahan, membuat sudut 𝜃2 dengan
normal ke permukaan. Dalam interval waktu yang sama, gelombang di B mengirimkan gelombang
Huygens (busur coklat muda yang melewati C) dan cahaya terus merambat ke arah yang sama
(Serway and Jewett, 2013).

Gambar 1.2
Konstruksi Huygens untuk membuktikan
hukum pembiasan Snell (Serway and Jewett, 2013)

Dari segitiga ABC dan ADC dapat diperoleh bahwa


𝐵𝐶 𝑣1 ∆𝑡
sin 𝜃1 = = 1.3
𝐴𝐶 𝐴𝐶
𝐴𝐷 𝑣2 ∆𝑡
sin 𝜃2 = = 1.4
𝐴𝐶 𝐴𝐶

Dari persamaan 1.3 dan 1.4 maka dapat diperoleh


sin 𝜃1 𝑣1
= 1.5
sin 𝜃2 𝑣2

Diketahui bahwa 𝑣1 = 𝑐/𝑛1 dan 𝑣2 = 𝑐/𝑛2 , sehingga

𝑐
sin 𝜃1 𝑛1 𝑛1
= 𝑐 = 1.6
sin 𝜃2 𝑛2
𝑛2
Dan

𝑛1 sin 𝜃1 = 𝑛2 sin 𝜃2 1.7

Inilah yang disebut hukum pembiasan Snell


(Serway and Jewett, 2013).

Gambar 1.3 Fenomena pensil dalam air (Halim & Herliana, 2020)
Pembiasan cahaya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja pada fenomena
pensil dalam air. Pada gambar 1.3 dapat kita lihat bahwa terjadi pembengkokan pada berkas
cahaya. Biasanya fenomena pembiasan cahaya berjalan dari medium cepat ke medium lambat.
Mata kita akan melihat bahwa pensil mengalami kelengkungan, tetapi sebenarnya tidak, hal ini
juga berlaku pada sebuah berkas cahaya yang datang dari udara masuk ke permukaan air. Hal ini
dikarenakan ada seberkas cahaya yang melewati media dengan kerapatan berbeda sehingga akan
membengkok dari garis normalnya (Halim & Herliana, 2020).
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan bahan


Pada praktikum kali ini alat dan bahan yang digunakan diantaranya yaitu sebuah lensa (f = 150
mm), sebuah prisma kaca flinta, filter monokhromatik (merah, hijau violet), pemegang filter,
sebuah lampu (6 V, 30 W), celah sempit, penggaris/ meteran, dan layar.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Peralatan dipasang seperti pada gambar 2.1

Lampu dinyalakan, kemudian dicari cahaya yang paling jelas


pada layar dan diberi tanda A. Hal ini dilakukan tanpa prisma dan filter.

Filter merah dipasang, kemudian prisma diletakkan dengan sudut 45o,


prisma digeser untuk dicari posisi bayangan sehingga defleksi maksimum
dapat ditemukan, dan kemudian diberi tanda.

𝑎
Jarak AB = a dan A = b; sudut defleksi : tan 𝛿 = 𝑏 diukur.

Langkah nomor 3 dan 4 diulangi untuk filter hijau dan biru.


Gambar 2.1 Setup Eksperimen
1. Lampu: 2. Celah: 3. Pemegang Filter: 4. Filter:
5. Lensa; 6. Prisma flinta; 7. Layar
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Hasil Percobaan

a (cm)
b (cm) 𝜙 (sudut Prisma)
Merah Hijau Biru
12,8 13,8 14,6
29 45° 13,2 13,7 13,8
13,4 14,4 13,3
13,9 15,2 14,5
30 45° 14,2 15,4 14,9
14,3 15,9 15,7
13,4 13 12,8
28 45° 13,5 13,3 13,2
14,2 13,5 13,6

3.2 Perhitungan
3.2.1 Data, b = 29 cm, 𝝓 = 45o, filter = merah
No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 12,8 29 23,8157 0,015186 1,009237
2 13,2 29 24,4737 0,015228 1,009492
3 13,4 29 24,8002 0,015246 1,009619

𝑎 12,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 23,8157°

𝑎 13,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,4737°

𝑎 13,4
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,8002°

12,8+13,2+13,4
𝑎̅ = = 13,1 𝑐𝑚
3
𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (12,8−13,1)2 + (13,2−13,1)2 +(13,4−13,1)2
Δ𝑎 = √ = √ = 0,3 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

12,8 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015186°
(12,8+292 ) (12,82 +292 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

13,2 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015228°
(13,22 +292 ) (13,22 +292 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )

13,4 29
= 0,5 + 0,3 = 0,015246°
(13,4 2 +292 ) (13,42 +292 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (23,8157+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009237
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,4737+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009492
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,8002+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009619
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,009237 +1,009492+1,009619
𝑛̅ = = 1,009449
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
(1,009237−1,009449 )2 + ( 1,009492−1,009449 )2 +( 1,009619−1,009449) 2
= √ = 1,94 × 10−4
3−1

Δ𝑛 1,94 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,019%
𝑛̅ 1,009449

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,009449 ± 1,94 × 10−4 )

3.2.2 Data, b = 29 cm, 𝝓 = 45o, filter = hijau


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 13,8 29 25,4480 0,017334 1,009870
2 13,7 29 25,2867 0,017332 1,009807
3 14,4 29 26,4068 0,017341 1,010242

𝑎 13,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,4480°

𝑎 13,7
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,2867°

𝑎 14,4
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 26,4068°

13,8+13,7+14,4
𝑎̅ = = 14 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (13,8−14)2 + (13,7−14)2 +(14,4−14)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,4 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

13,8 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017334°
(13,82 +292 ) (13,82 +292 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 +𝑏2 2
2 ) (𝑎2 +𝑏2 2
2 )

13,7 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017332°
(13,72 +292 ) (13,72 +292 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )

14,4 29
= 0,5 + 0,4 = 0,017341°
(14,4 2 +292 ) (14,42 +292 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4480+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009870
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,2867+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009807
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,4068+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010242
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,009870 +1,009807+1,010242
𝑛̅ = = 1,009973
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

(1,009870−1,009973 )2 + (1,009807−1,009973 )2 +( 1,010242−1,009973) 2


= √ = 2,35 × 10−4
3−1

Δ𝑛 2,35 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,023%
𝑛̅ 1,0099739

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,009973 ± 2,35 × 10−4 )


3.2.3 Data, b = 29 cm, 𝝓 = 45o, filter = biru
No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 14,6 29 26,7229 0,024964 1,010364
2 13,8 29 25,4480 0,025127 1,009870
3 13,3 29 24,6372 0,025215 1,009556

𝑎 14,6
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 26,7229°

𝑎 13,8
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 25,4480°

𝑎 13,3
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 29 ) = 24,6372°

14,6+13,8+13,3
𝑎̅ = = 13,9 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (14,6−13,9)2 + (13,8−13,9)2 +(13,3−13,9)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,7 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

14,6 29
= 0,5 + 0,7 = 0,024964°
(14,62 +292 ) (14,62 +292 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

13,8 29
= 0,5 + 0,7 = 0,0249648°
(13,8+292 ) (13,82 +292 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )
13,3 29
= 0,5 + 0,7 = 0,024964°
(13,3+292 ) (13,32 +292 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,7229+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010364
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4480+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009870
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,6372+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009556
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,010364 +1,009870+ 1,009556


𝑛̅ = = 1,009930
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

(1,010364−1,009930 )2 + (1,009870−1,009930 )2 +( 1,009556−1,009930 ) 2


= √ = 4,08 × 10−4
3−1

Δ𝑛 4,08 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,04%
𝑛̅ 1,009930

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,009930 ± 14,08 × 10−4 )

3.2.4 Data, b = 30 cm, 𝝓 = 45o, filter = merah


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 13,9 30 24,8599 0,012070 1,009642
2 14,2 30 25,3298 0,012114 1,009824
3 14,3 30 25,4856 0,012128 1,009885

𝑎 13,9
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 24,8599°

𝑎 14,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,3298°
𝑎 14,3
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,4856°

13,9+14,2+14,3
𝑎̅ = = 14,1 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (13,9−14,1)2 + (14,2−14,1)2 +(14,3−14,1)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,2 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

13,9 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012070°
(13,92 +302 ) (13,9+302 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

14,2 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012114°
(14,2+302 ) (14,22 +302 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )

14,3 29
= 0,5 + 0,2 = 0,012128°
(14,32 +302 ) (14,3+302 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,8599+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009642
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,3298+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009824
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4856+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009885
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1,009642 + 1,009824+1,009885
𝑛̅ = = 1,009784
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

( 1,009642 −1,009784 )2 + ( 1,009824−1,009784 )2 +( 1,009885−1,009784 ) 2


= √ = 1,26 × 10−4
3−1

Δ𝑛 1,26 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,013%
𝑛̅ 1,009784

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = (1,009784 ± 1,26 × 10−4 )

3.2.5 Data, b = 30 cm, 𝝓 = 45o, filter = hijau


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 15,2 30 26,8698 0,016283 1,010421
2 15,4 30 27,1729 0,016283 1,010539
3 15,9 30 27,9236 0,016279 1,010830

𝑎 15,2
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 26,8698°

𝑎 15,4
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,1729°

𝑎 15,9
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,9236°

15,2+15,4+15,9
𝑎̅ = = 15,5 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (15,2−15,5)2 + (15,4−15,5)2 +(15,9−15,5)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,4 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚
𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 +𝑏1 2
2 ) (𝑎1 +𝑏1 2
2 )

15,2 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016283°
(15,22 +302 ) (15,22 +302 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

15,4 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016283°
(15,4 2 +302 ) (15,42 +302 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )

13,4 30
= 0,5 + 0,4 = 0,016279°
(15,9+302 ) (15,9+302 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,8698+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010421
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,1729+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,010539
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,9236+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010830
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,010421 + 1,010539+1,010830
𝑛̅ = = 1,010597
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

( 1,010421−1,010597 )2 + ( 1,010539−1,010597 )2 +( 1,010830−1,010597 ) 2


= √ = 2,1× 10−4
3−1

Δ𝑛 2,1× 10−4
𝐾𝑟 = 𝑛̅
𝑥 100% = 1,010597
𝑥 100% = 0,021%
𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,010597 ± 2,1× 10−4 )

3.2.6 Data, b = 30 cm, 𝝓 = 45o, filter = biru


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 14,5 30 25,7960 0,023040 1,010005
2 14,9 30 26,4121 0,022977 1,010244
3 15,7 30 27,6246 0,022835 1,010714

𝑎 14,5
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 25,7960°

𝑎 14,9
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 26,4121°

𝑎 15,7
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 30 ) = 27,6246°

14,5+14,9+15,7
𝑎̅ = = 15 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (14,5−15)2 + (14,9−15)2 +(15,7−15)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,6 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

14,5 30
= 0,5 + 0,6 = 0,023040°
(14,52 +302 ) (14,52 +302 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

14,9 30
= 0,5 + 0,6 = 0,022977°
(14,9+302 ) (14,92 +302 )
𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )

13,4 30
= 0,5 + 0,6 = 0,022835°
(15,72 +302 ) (15,72 +302 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7960+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,010005
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,4121+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,010244
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (27,6246+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010714
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,010005 +1,010244+1,010714
𝑛̅ = = 1,010321
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

(1,010005−1,010321)2 + (1,010244−1,010321)2 +( 1,010714−1,010321 )2


= √ = 3,61 × 10−4
3−1

Δ𝑛 3,61 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,036%
𝑛̅ 1,010321

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,010321 ± 3,61 × 10−4 )

3.2.7 Data, b = 28 cm, 𝝓 = 45o, filter = merah


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 13,4 28 25,5744 0,019620 1,009919
2 13,5 28 25,7407 0,019617 1,009984
3 14,2 28 26,8915 0,019586 1,010430
𝑎 13,4
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,5744°

𝑎 13,5
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,7407°

𝑎 14,2
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 26,8915°

13,4+13,5+14,2
𝑎̅ = = 13,7 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (13,4−13,7)2 + (13,5−13,7)2 +(14,2−13,7)2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,4 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 +𝑏1 2
2 ) (𝑎1 +𝑏1 2
2 )

13,4 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019620°
(13,4+282 ) (13,42 +282 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

13,5 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019617°
(13,52 +282 ) (13,52 +282 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )

14,2 28
= 0,5 + 0,4 = 0,019586°
(14,22 +282 ) (14,22 +282 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,5744+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009919
sin 𝜙 sin (45°)
2 2
1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7407+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009984
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (26,8915+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010430
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,009919 +1,009984+1,010430
𝑛̅ = = 1,010111
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √
𝑛−1

(1,009919−1,010111 )2 + ( 1,009984−1,010111 )2 +(1,010430−1,010111) 2


= √ 3−1
= 2,78 × 10−4

Δ𝑛 2,78 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,028%
𝑛̅ 1,010111

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,010111 ± 2,78 × 10−4 )

3.2.8 Data, b = 28 cm, 𝝓 = 45o, filter = hijau


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 13 28 24,9048 0,014215 1,009659
2 13,3 28 25,4077 0,014254 1,009854
3 13,5 28 25,7407 0,014278 1,009984

𝑎 13
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan(28) = 24,9048°

𝑎 13,3
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,4077°

𝑎 13,5
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,7407°

13+13,3+13,5
𝑎̅ = = 13,3 𝑐𝑚
3
𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (13−13,3)2 + (13,3−13,3)2 +(13,5−13,3)2
Δ𝑎 = √ = √ = 0,3 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

13 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014215°
(13+282 ) (13,22 +282 )

𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 2 +𝑏2 2 ) (𝑎2 2 +𝑏2 2 )

13,3 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014254°
(13,32 +282 ) (13,3+282 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 2 +𝑏3 2 ) (𝑎3 2 +𝑏3 2 )

13,5 28
= 0,5 + 0,3 = 0,014278°
(13,52 +282 ) (13,52 +282 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,9048+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009659
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,4077+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009854
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,7407+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,009984
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,009659+1,009854+1,009984
𝑛̅ = = 1,009832
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1
(1,009659−1,009832 )2 + (1,009854−1,009832 )2 +( 1,00998−1,009832) 2
= √ = 1,63 × 10−4
3−1

Δ𝑛 1,63 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,019%
𝑛̅ 1,009449

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = ( 1,009832 ± 1,63 × 10−4 )

3.2.9 Data, b = 28 cm, 𝝓 = 45o, filter = biru


No a (cm) b (cm) δmin (°) ∆δmin (°) n
1 12,8 28 24,5672 0,018569 1,009528
2 13,2 28 25,2405 0,018576 1,009790
3 13,6 28 25,9065 0,018577 1,010048

𝑎 12,8
𝛿𝑚𝑖𝑛1 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 24,5672°

𝑎 13,2
𝛿𝑚𝑖𝑛2 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,2405°

𝑎 13,6
𝛿𝑚𝑖𝑛3 = arctan (𝑏) = arctan( 28 ) = 25,9065°

12,8+13,2+13,6
𝑎̅ = = 13,2 𝑐𝑚
3

𝛴[ 𝑎− 𝑎̅ ]2 (12,8−13,2 )2 + (13,2−13,2 )2 +(13,6−13,2 )2


Δ𝑎 = √ = √ = 0,4 𝑐𝑚
𝑛−1 3−1

Δ𝑏 = 0,5 𝑐𝑚

𝑎1 𝑏1
∆𝛿𝑚𝑖𝑛1 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎1 2 +𝑏1 2 ) (𝑎1 2 +𝑏1 2 )

12,8 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018569°
(12,82 +282 ) (13,22 +282 )
𝑎2 𝑏2
∆𝛿𝑚𝑖𝑛2 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎2 +𝑏2 2
2 ) (𝑎2 +𝑏2 2
2 )

13,2 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018576°
(13,22 +282 ) (13,22 +282 )

𝑎3 𝑏3
∆𝛿𝑚𝑖𝑛3 = ∆𝑏 + ∆𝑎
(𝑎3 +𝑏3 2
2 ) (𝑎3 +𝑏3 2
2 )

13,6 28
= 0,5 + 0,4 = 0,018577°
(13,62 +282 ) (13,62 +282 )

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (24,5672+45°)
2 2
𝑛1 = 1 = 1 = 1,009528
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,2405+45°)
2 2
𝑛2 = 1 = 1 = 1,009790
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1 1
sin (𝛿𝑚𝑖𝑛1 + 𝜙) sin (25,9065+45°)
2 2
𝑛3 = 1 = 1 = 1,010048
sin 𝜙 sin (45°)
2 2

1,009528 +1,009790+1,010048
𝑛̅ = = 1,009789
3

𝛴( 𝑛− 𝑛̅ )2
Δ𝑛 = √ 𝑛−1

(1,009528−1,009789 )2 + ( 1,009790−1,009789 )2 +(1,010048−1,009789) 2


= √ = 2,6 × 10−4
3−1

Δ𝑛 2,6 × 10−4
𝐾𝑟 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 0,026%
𝑛̅ 1,009789

𝑛 = ( 𝑛̅ ± Δ𝑛) = (1,009789 ± 2,6 × 10−4 )


3.3 Pembahasan
3.3.1 Analisa Prosedur
3.3.1.1 Fungsi Alat
Pada praktikum kali ini alat-alat yang digunakan yakni yaitu sebuah lensa (f = 150 mm),
sebuah prisma kaca flinta, filter monokhromatik (merah, hijau violet), pemegang filter, sebuah
lampu (6 V, 30 W), celah sempit, penggaris/ meteran, dan layar. Filter monokhromatik adalah alat
utama atau bahan uji yang akan digunakan dalam percobaan ini yang terdiri dari warna merah, biru,
dan hijau, yang berfungsi untuk dapat difokuskan cahaya mana yang akan ditampilkan dilayar serta
untuk dapat dibandingkannya indeks bias masing-masing warna. Fungsi alat berikutnya adalah
lensa (f = 150 mm). Lensa (f = 150 mm), berfungsi untuk dapat difokuskannya bayangan sehingga
lebih mudah diamati. Berikutnya adalah prisma berfungsi sebagai objek penelitian yang akan
ditentukan nilai indeks biasnya serta sebagai medium agar cahaya dapat dibiaskan. Alat berikutnya
yaitu pemegang pemegang filter atau kondensor berfungsi sebagai tempat dipasangnya filter
monokromatik. Berikutnya ada celah sempit yang digunakan agar cahaya dapat dibelokkan ke
celah sehingga warna dasar dapat terfokus dan tidak tersebar. Lampu (6 V, 30 W) digunakan
sebagai sumber cahaya yang bersifat polikromatik. Kemudian ada layar yang berfungsi sebagai
tempat jatuhnya cahaya atau bayangan sehingga dapat diamati. Alat terakhir yaitu penggaris atau
meteran digunakan untuk alat ukur jarak dari titik terang pusat ke terang selanjutnya.

3.3.1.2 Fungsi Perlakuan


Fungsi perlakuan dalam praktikum kali ini yaitu yang pertama sebelum dimulainya
praktikum disiapkan alat dan bahan agar praktikum dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya
disarankan agar berada didalam ruangan dengan intensitas cahaya agar nantinya indeks bias pada
prisma dapat terlihat dengan jelas. Kemudian peralatan disusun sesuai dengan buku pedoman atau
petujuk asisten praktikum, agar peralatan berfungsi sebagaimana mestinya. Setelah itu, lampu
dinyalakan dan dicari cahaya yang paling jelas pada layar, hal tersebut dilakukan tanpa digunakan
filter dan prisma. Setelah didapat cahaya yang paling jelas kemudian diberi tanda dengan pena.
Untuk dapat diukur indeks bias prisma, maka prisma dipasang dengan posisi 45o beserta salah satu
filter monokhromatiknya. Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing-masing
filter. Sehingga bayangan terjelas pada layar dengan jarak yang dibedakan agar didapat bayangan
hasil pembiasan, dan pengukuran bisa dilakukan sehingga rata-rata indeks bias prisma bisa
diketahui. Setelah didapatkan bayangan paling fokus dan jarak antara b yg kanan dengan b yg kiri
sudah kira-kira sama panjangnya baru bisa diambil data. Untuk data selanjutnya dilakukan dengan
digesernya prisma hingga didapatkan panjang antar a kanan dan a kiri sama. Perhitungan dilakukan
sebanyak sembilan kali perhitungan untuk didapatkan perngukuran berulang untuk variasi data.
Ketika pembiasan menjauhi sempurna akan tampak buram pada layar, sehingga prisma perlu
diputar-putar agar didapat yang paling terang.

3.3.2 Analisa Hasil

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan nilai dari sudut deviasi minimum dan indeks
bias prismanya bisa diidentifikasi. Dari data hasil perhitungan, didapatkan hasil yang berbeda pada
ketiga warna filter monokromatik pada jarak antara prisma dan layar yang berbeda. Misal diambil
contoh pada data pertama dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar 29 cm. Pada sudut hasil
pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 23,8o , 24,4o dan 24,8o , Sedangkan pada filter hijau
didapat kan nilai sebesar 25,4o , 25,2o dan 26,4o, dan pada filter biru didapatkan nilai sebesar 26,7o,
25,4o dan 24,6o. Pada data kedua dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar 30 cm. Pada
sudut hasil pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 24,8o , 25,3o dan 25,4o , Sedangkan pada
filter hijau didapat kan nilai sebesar 26,8o , 27,1o dan 27,9o, dan pada filter biru didapatkan nilai
sebesar 25,7o, 26,4o dan 27,6o . Pada data ketiga dengan jarak antara prisma dengan layar sebesar
28 cm. Pada sudut hasil pembiasan filter merah didapat nilai sebesar 25,5o , 25,7o dan 26,8o ,
Sedangkan pada filter hijau didapat kan nilai sebesar 24,9o , 25,4o dan 25,7o, dan pada filter biru
didapatkan nilai sebesar 24,5o, 25,2o dan 25,9o . Dari data tersebut dapat diperoleh apabila semakin
besar nilai jarak antar titik biasnya, maka nilai sudut hasil pembiasannya besar pula. Lalu untuk
perubahan nilai pembiasaan, pada jarak pertama filter merah didapat nilai 0,015o, pada filter hijau
didapatkan nilai sebesar 0,017o dan pada filter biru di dapat nilai sebesar 0,02o. Pada jarak kedua
filter merah didapat nilai 0,012o, pada filter hijau didapatkan nilai sebesar 0,016o dan pada filter
biru di dapat nilai sebesar 0,02o. Pada jarak ketiga filter merah didapat nilai 0,019o, pada filter
hijau didapatkan nilai sebesar 0,014o dan pada filter biru di dapat nilai sebesar 0,018o. Hal ini
berbanding terbalik dengan nilai sudut hasil pembiasan, dimana perubahan nilai sudut hasil
pembiasan semakin besar jika nilai jarak antar titik biasnya semakin kecil. Sedangkan untuk nilai
indeks bias (n), sama seperti nilai sudut hasil pembiasan. Dimana semakin besar nilai jarak antar
titik biasnya, maka nilai indeks biasnya besar pula. Untuk kr nya, pada jarak pertama filter merah
sebesar 0,019 % untuk filter hijau 0,023 % dan untuk filter biru 0,04%. Pada jarak kedua filter
merah sebesar 0,013 % Untuk filter hijau 0,021 % dan untuk filter biru 0,036%. Pada jarak ketiga
filter merah sebesar 0,028 % Untuk filter hijau 0,016 % dan untuk filter biru 0,026%. Sehingga
untuk kr , nilai nya cukup kecil sehingga data yang didapatkan cukup akurat. Dengan demikian
dapat digarisbawahi oleh praktikan bahwasanya data yang diperoleh sangat bervariatif karena
tentunya perubahan jarak yang berbeda. Selain itu, faktor penunjang yang mungkin terjadi pada
saat praktikum berlangsung yaitu kerusakan alat atau ketidaktelitian praktikan saat dilakukannya
praktikum.
Konsep dasar pembiasan cahaya banyak didasari oleh hasil pemikiran ilmuwan Belanda
Willebrord Snellius yang lebih dikenal dengan hukum I Snellius dan hukum II Snellius. Hukum
Snellius adalah rumus matematika yang memerikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias
pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda,
seperti udara dan gelas. Hukum I Snellius berbunyi ““Jika suatu cahaya melalui perbatasan dua
jenis zat cair, maka garis semula tersebut adalah garis sesudah sinar itu membias dan garis normal
dititik biasnya, ketiga garis tersebut terletak dalam satu bidang datar.”. Hukum II Snellius
berbunyi “Perbandingan sinus sudut datang dengan sinus sudut bias selalu konstan. Nilai
konstanta dinamakan indeks bias(n).”

Gambar 3.1 Ilustrasi hukum snellus 1

Gambar 3.2 Ilustrasi hukum snellus 2


Persamaan hukum snellus 1
𝑛2 sin 𝜃2 = 𝑛2 sin 𝜃1 3.1
Persamaan hukum snellus 2
sin 𝑖 𝑣1 𝑛2 𝜆1
= = = 3.2
sin 𝑟 𝑣2 𝑛1 𝜆2
𝜆
𝑣= 3.3
𝑓

Keterangan: 𝑣 = cepat rambat (m/s)


𝜆 = panjang gelombang (m)
𝑓 = frekuensi (Hz)
Frekuensi tidak mengalami perubahan saat melalui 2 medium yang berbeda indeks biasnya.

Hubungan nilai indeks bias suatu bahan terhadap panjang gelombang cahaya yaitu dimana n
adalah nilai indeks bias dan lamda (𝜆) adalah panjang gelombang. Panjang gelombang akan
berubah saat melewati medium dengan kerapatan yang berbeda. Indeks bias benda terpengaruh
oleh kerapatannya. Semakin rapat (padat) maka indeks biasnya semakin besar. Dan juga diketahui
bahwa setiap warna memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda. Lalu setiap panjang
gelombang itu memiliki indeks bias yang berbeda-beda, indeks biasnya akan semakin besar ketika
panjang gelombangnya semakin kecil, maupun sebaliknya, hal ini dapat dibuktikan dengan
persamaan berikut.

𝑐 𝑐
𝑛= =
𝑣 𝜆 3.4
𝑓
Keterangan: 𝑛 = indeks bias
𝑐 = kelajuan cahaya diruang hampa (m/s)
𝑣 = cepat rambat (m/s)
𝜆 = panjang gelombang (m)
𝑓 = frekuensi (Hz), dalam hal ini dianggap sama

Refraktometer prisma dengan sumber laser telah digunakan di bidang pertanian untuk
pengukuran kadar gula/rendemen tebu di sawah atau di pabrik dan telah terbukti sebagai alat yang
cepat dan mudah digunakan di lapangan. Hasil pengukurannya yang telah dikalibrasi dengan laser
hijau meliputi penentuan kadar gula melalui pengukuran indeks bias. Bekerjanya di daerah sinar
hijau 455 nm yang tampak sangat cerah geometri perjalanan berkas sinarnya dalam sampel larutan
gula dalam prisma. Metode pengukuran refraktometer prisma ini menggunakan perubahan sudut
puncak prisma dengan sudut datang dan sudut bias dibuat sama sehingga kesimetrisan berkas sinar
teta terjaga. Pengaturan berikut adalah merubah besarnya sudut puncak untuk mendapatkan nilai
pengukuran sinar oleh fotodioda maksimum. Harga maksimum yang ditunjukkan oleh pengukuran
fotodioda menunjukkan harga pengukuran sesuai dengan nilai sudut puncak prisma yang
digunakan. Salah satu keuntungan menarik dari refraktometer ini adalah bahwa ukurannya agak
kecil sehingga bisa muat dengan medan portable (Christy, 2008).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah praktikum dilaksanakan, didapatkan suatu kesimpulan bahwa yang pertama yaitu
dapat ditentukannya indeks bias prisma oleh praktikan. Nilai indeks bias ditentukan dengan
menghitung jarak panjang gelombang dibagi jarak prisma ke dinding dikali dengan arc tan. Yang
kedua, dapat dijelaskan ketergantungan indeks bias pada panjang gelombang oleh praktikan..
Dimana semakin besar panjang gelombang sebuah cahaya, maka semakin kecil pula indeks bias
yang dihasilkan.

4.2 Saran
Sebelum dilakukan praktikum, sebaiknya untuk dipelajari materi yang berkaitan dengan
praktikumnya, agar meminimalisir terjadinya kesalahan. Kemudian harus dipahami setiap fungsi
alat sebelum praktikum dilaksanakan. Pada saat praktikum, sebaiknya dibutuhkan konsentrasi yang
tinggi. Kemudian pada saat perhitungan praktikan juga harus teliti agar data yang akurat dapat
dihasilkan, dan jangan lupa kalibrasi alat sebelum digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Christy C.D. 2008. Real-time measurement of soil attributes using on-the-go near infrared
reflectance spectroscopy. Computers And Electronics in Agriculture Journal. 61: 10-19.
Halim, A., Fitri Herlina. 2020. Pengantar Fisika Kuantum. Syiah Kuala University Press. Aceh.
Halliday and Resnick. 2013. Fundamental of Physics 10th Edition. John Wiley and Sons. New
York.
Serway and Jewett. 2013. Physics for Scientist and Engineers with Modern Physics. Brooks/Cole
Cengage learning. Belmont.
LAMPIRAN

(Halliday and Resnick, 2013).


(Halliday and Resnick, 2013).
(Serway and Jewett, 2013).
(Halim & Herliana, 2020).
(Halim & Herliana, 2020).
Tugas Pendahuluan
1. Jelaskan mengapan nilai n tidak sama untuk setiap warna. Apa kesimpulan saudara?
Jawab :
Nilai n pada tiap warna tidak sama karena nilai n-nya dipengaruhi oleh panjang gelombang
yang berbeda untuk masing-masing warna. . Warna dengan panjang gelombang yang lebih
pendek akan dibiaskan lebih besar. panjang gelombang warna merah sekitar 622-720 nm,
hijau sekitar 492-577 nm, dan biru sekitar 455-492 nm. Oleh karena itu merah akan
memiliki indeks bias paling kecil, dilanjut hijau, kemudian terkahir biru (paling besar).
Maka dari itu, nilai n untuk setiap warna tidak sama atau berbeda tergantung dari panjang
gelombang yang berbeda dari masing-masing warna.

2. Apa yang dimaksud dengan sudut defleksi?


Sudut defleksi adalah sudut miring antara sebuah garis dan perpanjangan garis sebelumnya.
▪ Sudut defleksi kiri = sudut defleksi yang belok ke kiri.
▪ Sudut defleksi kanan = sudut defleksi yang belok ke kanan

Defleksi adalah ketika cahaya memantul kembali pada permukaan bidang karena ditekuk
oleh gaya gravitasi. Defleksi dapat berupa massa dan kecepatan, serta cahaya dan suara.
Defleksi ada 2 jenis yaitu pembelokan jangka pendek dan defleksi jangka panjang
PRETEST

Anda mungkin juga menyukai