Anda di halaman 1dari 19

KONSEP DASAR MEDIS

PROLAPS UTERI
A. Definisi
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke dalam atau keluar
melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan dukungan yang tidak adekuat dari ligamentum
kardinal dan uterosakral serta struktur penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-
kadang organ pelvis yang lain juga ikut turun (Price, 2012).
B. Klasifikasi
Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan prolapsus organ panggul. Tahun 1996,
International Continence Society, the American Urogynecologic Society, and the Society of
Gynecologic Surgeons memperkenalkan sistem POP-Q (Pelvic Organ Prolapse
Quantification). Metode penilaian prolapsus organ pelvis ini memberikan penilaian yang
objektif, deskriptif sehingga dapat memberikan nilai kuantifikasi atau derajat ringan beratnya
prolapsus yang terjadi.
Tabel 1. Derajat prolapsus organ panggul

Derajat 0 Tidak terlihat adanya prolapsus.


Derajat I Bagian distal dari prolapsus > 1cm di atas himen.
Bagian yang paling distal dari prolapsus < 1cm di
Derajat II
bawah lingkaran himen.
Bagian yang paling distal dari prolapsus > 1cm di
Derajat III bawah himen, namun kurang dari TVL (total vaginal
length) – 2 cm.
Eversi komplit total panjang traktus genetalia bawah.
Derajat IV Bagian distal prolapsus uteri menurun sampai (TVL-2)
cm
Sumber : Persu, 2011
Untuk prolapsus uteri, Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam
klasifikasi, tetapi klasifikasi yang dianjurkan sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi prolapsus uteri

Desenses uteri Uterus turun, tetapi serviks masih dalam vagina.


Uterus turun, serviks uteri turun paling rendah sampai
Prolapsus uteri tingkat I
introitus vagina.
Prolapsus uteri tingkat II Sebagian besar uterus keluar dari vagina.
Prolapsus uteri tingkat III Uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai dengan
atau prosidensia uteri inversio uteri.
Sumber: (Anwar, 2011)

C. Faktor Risiko
Penyebab prolapsus organ panggul belum diketahui secara pasti, namun secara hipotetik
penyebab utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi aterm. Pada studi
epidemiologi menunjukkan bahwa faktor risiko utama penyebab prolapsus uteri adalah
persalinan pervaginam dan penuaan. Para peneliti menyetujui bahwa etiologi prolapsus organ
panggul adalah multifaktorial dan berkembang secara bertahap dalam rentang waktu tahun.
Terdapat berbagai macam faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus dan
dikelompokkan menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri (Anwar, 2011).
1. Faktor obstetri
a. Proses persalinan dan paritas
Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara sebagai akibat progresif
yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia endopelvik (dan kondensasi,
ligamentum uteroskral dan kardinal) dan laserasi otot, terutama otot-otot levator dan
perineal body (perineum). Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko utama
terjadinya prolapsus organ genital. Pada penelitian tentang levator ani dan fascia
menunjukkan bukti bahwa kerusakan mekanik dan saraf terjadi pada perempuan dengan
prolapsus dibandingkan perempuan tidak prolapsus, dan hal tersebut terjadi akibat
proses melahirkan (Anwar, 2011).
Secara global, prolapsus mempengaruhi 30% dari semua wanita yang telah
melahirkan. Jumlah paritas berbanding lurus dengan kejadian prolapsus. WHO
Population Report (1984) menduga bahwa kejadian prolapsus akan meningkat tujuh
kali lipat pada perempuan dengan tujuh anak dibandingkan dengan perempuan yang
mempunyai satu anak (Noerpramana, 2013).
b. Faktor obstetri lainnya
Penggunaan forsep, vakum, dan episiotomi, disebutkan sebagai faktor risiko
potensial dalam terjadinya prolaps organ panggul. Penggunaan forsep secara langsung
terlibat dalam terjadinya cedera dasar panggul, yaitu dalam kaitannya dengan terjadinya
laserasi sfingter anal. Manfaat forsep terhadap dasar panggul dalam memperpendek kala
dua masih mempunyai bukti yang kurang. Penggunaan forsep elektif untuk mencegah
kerusakan pada dasar panggul tidak direkomendasikan. Percobaan kontrol secara acak
pada penggunaan elektif dan selektif episiotomi tidak menunjukkan manfaat, tetapi
telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya laserasi sfingter anal inkontinensia dan
nyeri pasca persalinan. Sejumlah cedera pada ibu dan bayi dapat terjadi sebagai akibat
penggunaan forsep. Luka yang dapat ditimbulkan pada ibu berkaitan dengan
penggunaan forsep berkisar dari ekstensi sederhana sampai ruptur uterus atau kandung
kemih. Klein, dkk menemukan hubungan antara episiotomi dan berkurangnya kekuatan
dasar panggul tiga bulan post partum. Fascia pelvis, ligamentum-ligamentum dan otot-
otot dapat menjadi lemah akibat peregangan yang berlebihan selama kehamilan,
persalinan dan persalinan pervaginam yang sulit, terutama dengan penggunaan forsep
dan vakum ekstraksi (DeCherney, 2003).
2. Faktor non-obstetri
a. Genetik
Dua persen prolapsus simptomatik terjadi pada perempuan nulipara. Perempuan
nulipara dapat menderita prolapsus dan diduga merupakan peran dari faktor genetik.
Bila seorang perempuan dengan ibu atau saudaranya menderita prolapsus, maka risiko
relatif untuk menderita prolapsus adalah 3,2. Dibandingkan jika ibu atau saudara
perempuan tidak memiliki riwayat prolapsus, risiko relatifnya adalah 2,4 (Noerpramana,
2013).
b. Usia
Bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya kolagen dan terjadi
kelemahan fascia dan jaringan penyangga. Hal ini terjadi terutama pada periode post-
menopause sebagai konsekuensi akibat berkurangnya hormon estrogen (Noerpramana,
2013).
c. Ras
Perbedaan ras pada prevalensi prolapsus organ panggul (POP) telah dibuktikan
dalam beberapa penelitian. Perempuan berkulit hitam dan perempuan Asia memiliki
risiko yang lebih rendah, sedangkan perempuan Hispanik dan berkulit putih memiliki
risiko tertinggi. Perbedaan kandungan kolagen antar ras telah dibuktikan, tetapi
perbedaan bentuk tulang panggul juga diduga memainkan peran. Misalnya, perempuan
kulit hitam lebih banyak yang memiliki arkus pubis (lengkungan kemaluan) yang
sempit dan bentuk panggul android atau antropoid. Bentuk-bentuk panggul tersebut
adalah pelindung terhadap POP dibandingkan dengan panggul ginekoid yang
merupakan bentuk panggul terbanyak pada perempuan berkulit putih (Noerpramana,
2013).
d. Menopause
Pada usia 40 tahun fungsi ovarium mulai menurun, produksi hormon berkurang dan
berangsur hilang, yang berakibat perubahan fisiologik. Menopause terjadi rata-rata pada
usia 50-52 tahun. Hubungan dengan terjadinya prolaps organ panggul adalah, di kulit
terdapat banyak reseptor estrogen yang dipengaruhi oleh kadar estrogen dan androgen.
Estrogen mempengaruhi kulit dengan meningkatkan sintesis hidroksiprolin dan prolin
sebagai penyusun jaringan kolagen. Ketika menopause, terjadi penurunan kadar
estrogen sehingga mempengaruhi jaringan kolagen, berkurangnya jaringan kolagen
menyebabkan kelemahan pada otot-otot dasar panggul. Saraf pada serviks merupakan
saraf otonom, sebagian besar serabut saraf cholinesterase yang terdiri dari serabut saraf
adrenergik dan kolinergik, jumlah serabut kolinergik lebih sedikit. Sebagian besar
serabut ini menghilang setelah menopause (Noerpramana, 2013).
e. Peningkatan BMI (obesitas)
Obesitas menyebabkan memberikan beban tambahan pada otot-otot pendukung
panggul, sehingga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul. Pada studi Women’s
Health Initiative (WHI), kelebihan berat badan (BMI 25 – 30 kg/m2) dikaitkan dengan
peningkatan kejadian prolapsus dari 31-39%, dan obesitas (BMI > 30 kg/m2) meningkat
40-75%(Noerpramana, 2013).
f. Peningkatan tekanan intra abdomen
Tekanan intra abdomen yang meningkat karena batuk-batuk kronis (bronkitis
kronis dan asma), asites, mengangkat beban berat berulang-ulang, dan konstipasi diduga
menjadi faktor risiko terjadinya prolapsus. Seperti halnya obesitas (peningkatan indeks
massa tubuh) batuk yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intraabdomen (rongga
perut) dan secara progresif dapat menyebabkan kelemahan otot-otot panggul
(Noerpramana, 2013).
g. Kelainan jaringan ikat
Wanita dengan kelainan jaringan ikat lebih untuk mungkin untuk mengalami
prolapsus. Pada studi histologi menunjukkan bahwa pada wanita dengan prolapsus,
terjadi penurunan rasio kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III dan IV. Pada beberapa
penelitian, sepertiga dari perempuan dengan Sindroma Marfan dan tigaperempat
perempuan dengan Sindroma Ehler-Danlos tercatat mengalami POP. Kelemahan
bawaan (kongenital) pada fasia penyangga pelvis mungkin penyebab prolapsus uteri
seperti yang kadang-kadang ditunjukkan pada nulipara (Noerpramana, 2013).
h. Merokok
Merokok juga dikaitkan dalam pengembangan prolapsus. Senyawa kimia yang
dihirup dalam tembakau dipercaya dapat menyebabkan perubahan jaringan yang diduga
berperan dalam terjadi prolapsus. Namun, beberapa penelitian tidak menunjukkan
hubungan antara merokok dengan terjadinya prolapses (Noerpramana, 2013).
D. Patofisiologi
Penyangga organ panggul merupakan interaksi yang kompleks antara otot-otot dasar
panggul, jaringan ikat dasar panggul, dan dinding vagina. Interaksi tersebut memberikan
dukungan dan mempertahankan fungsi fisiologis organ-organ panggul. Apabila otot levator
ani memiliki kekuatan normal dan vagina memiliki kedalaman yang adekuat, bagian atas
vagina terletak dalam posisi yang hampir horisontal ketika perempuan dalam posisi berdiri
(Werner, 2012).
Posisi tersebut membentuk sebuah “flap-valve” (tutup katup) yang merupakan efek dari
bagian atas vagina yang menekan levator plate selama terjadi peningkatan tekanan intra
abdomen. Teori tersebut mengatakan bahwa ketika otot levator ani kehilangan kekuatan,
vagina jatuh dari posisi horisontal menjadi semi vertikal sehingga menyebabkan melebar atau
terbukanya hiatus genital dan menjadi predisposisi prolapsus organ panggul. Dukungan yang
tidak adekuat dari otot levator ani dan fascia organ panggul yang mengalami peregangan
menyebabkan terjadi kegagalan dalam menyangga organ panggul (Werner, 2012).
Mekanisme terjadinya prolapsus uteri disebabkan oleh kerusakan pada struktur
penyangga uterus dan vagina, termasuk ligamentum uterosakral, komplek ligamentum
kardinal dan jaringan ikat membran urogenital. Faktor obstetri, dan non-obstetri yang telah
disebutkan di awal diduga terlibat dalam terjadinya kerusakan struktur penyangga tersebut
sehingga terjadi kegagalan dalam menyangga uterus dan organ-organ panggul lainnya.
Meskipun beberapa mekanisme telah dihipotesiskan sebagai kontributor dalam perkembangan
prolapsus, namun tidak sepenuhnya menjelaskan bagaimana proses itu terjadi (Werner, 2012).
E. Manifestasi Klinis
Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadangkala penderita yang satu dengan
prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps
ringan mempunyai banyak keluhan.

Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai :

a. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol digenitalia eksterna.

b. Rasa sakit dipanggul dan pinggang(Backache). Biasanya jika penderita berbaring, keluhan
menghilang atau menjadi kurang.

c. Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala :

1) Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari, ke mudian lebih berat juga pada
malam hari.
2) Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya.

3) Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk, mengejan. Kadang-kadang
dapat terjadi retensio urine pada sistokel yang besar sekali

d. Retrokel dapat menjadi gangguan pada defakasi :

1) Obstipasi karena feces berkumpul dalam rongga retrokel.

2) Baru dapat defakasi setelah diadakan tekanan pada retrokel dan vagina.

e. Prolapsus uteri dapat menyababkan gejala sebagai berikut :

1) Pengeluaran servik uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan
portio uteri oleh celana menimbulkan lecet sampai luka dan dekubitus pada portio uteri.

2) Lekores karena kongesti pembuluh darah di daerah servik dan karena infeksi serta luka pada
portio uteri.

3) Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa penuh di vagina

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala prolapsus uteri bersifat individual, berbeda-beda pada setiap orang. Tingkat
keparahan prolapsus uteri bervariasi. Kadangkala penderita dengan prolapsus yang cukup
berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolapsus ringan
mempunyai banyak keluhan. Keluhan-keluhan yang paling umum dijumpai:
a. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal di vagina atau menonjol di genitalia
eksterna
b. Rasa sakit di panggul atau pinggang (backache) merupakan gejala klasik dari prolapsus
c. Luka dan dekubitus pada porsio uteri akibat gesekan dengan celana atau pakaian dalam
d. Gangguan berkemih, seperti inkontinensia urin atau retensi urin
e. Kesulitan buang air besar
f. Infeksi saluran kemih berulang
g. Perdarahan vagina
h. Rasa sakit atau nyeri ketika berhubungan seksual (dispareunia)
i. Keputihan atau cairan abnormal yang keluar melalui vagina
j. Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gangguan bila berjalan dan bekerja
Gejala dapat diperburuk apabila berdiri atau berjalan dalam waktu yang lama. Hal ini
dikarenakan peningkatan tekanan pada otot-otot panggul oleh pengaruh gravitasi. Latihan
atau mengangkat beban juga dapat memperburuk gejala
2. Pemeriksaan Fisik
Langkah-langkah dalam melakukan pemeriksaan fisik, yaitu:
a. Pasien dalam posisi telentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.
b. Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain.
c. Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
1) Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
2) Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang bukan
kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.
3) Perlu diperiksa ada tidaknya prolapsus uteri dan penting untuk mengetahui derajat
prolapsus uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum dimasukkan inspekulum.
d. Manuver Valsava
1) Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan melakukan
pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver Valsava.
2) Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior vagina, serviks,
apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum perlu dievaluasi secara
sistematis dan terpisah.
3) Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengejan pada posisi berdiri di
atas meja periksa.
4) Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk menentukan
risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolapsus
e. Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan otot levator
ani.
f. Pemeriksaan rektovaginal: Untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolapsus
uteri.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Urin residu pasca berkemih
Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan mengukur volume
berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih yang penuh, kemudian diikuti
dengan pengukuran volume residu urin pasca berkemih dengan kateterisasi atau
ultrasonografi.
b. Skrining infeksi saluran kemih.
c. Pemeriksaan urodinamik apabila dianggap perlu.
d. Pemeriksaan Ultrasonografi
1) Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif mudah
dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan informasi real time.
2) Pencitraan dapat mempermudah memeriksa pasien secara klinis. Namun belum
ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan dasar panggul pada kasus
POP.
Jadi, yang dimaksud dengan prolapsus organ panggul adalah apabila jelas ada penurunan
organ ke dalam vagina atau keluar melalui vagina dengan keluhan seperti di atas.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Derajat luasnya prolapsus tidak berhubungan dengan gejala. Apabila telah menderita
prolapsus, mempertahankan tetap dalam stadium I merupakan pilihan yang tepat.
Observasi direkomendasikan pada wanita dengan prolapsus derajat rendah (derajat 1 dan
derajat 2, khususnya untuk penurunan yang masih di atas himen). Memeriksakan diri
secara berkala perlu dilakukan untuk mencari perkembangan gejala baru atau gangguan,
seperti gangguan dalam berkemih atau buang air besar, dan erosi vagina.
2. Konservatif
Pilihan penatalaksaan non-bedah perlu didiskusikan dengan semua wanita yang mengalami
prolapsus. Terapi konservatif yang dapat dilakukan, diantaranya:
a. Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) sangat berguna pada prolapsus ringan,
terutama yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lebih dari enam bulan.
Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi
miksi. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Cochrane review of conservative
management prolapsus uteri menyimpulkan bahwa latihan otot dasar panggul tidak ada
bukti ilmiah yang mendukung. Cara melakukan latihan yaitu, penderita disuruh
menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul seperti setelah selesai buang air besar
atau penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan buang air
kecil dan tiba-tiba menghentikannya.
b. Pemasangan pesarium
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolapsus tanpa
melihat stadium ataupun lokasi dari prolapsus. Pesarium digunakan oleh 75%-77% ahli
ginekologi sebagai penatalaksanaan lini pertama prolapsus. Alat ini tersedia dalam
berbagai bentuk dan ukuran, serta mempunyai indikasi tertentu. Pesarium dapat dipakai
bertahun-tahun, tetapi harus diawasi secara teratur. Penempatan pesarium bila tidak
tepat atau bila ukurannya terlalu besar dapat menyebabkan iritasi atau perlukaan pada
mukosa vagina sehingga dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan.
3. Operatif
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
masih berkeinginan untuk mendapatkan anak atau mempertahankan uterus, tingkat
prolapsus, dan adanya keluhan. Prolapsus uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina.
Maka, jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus vagina juga perlu
ditangani. Macam-macam operasi untuk prolapsus uteri sebagai berikut:
a. Ventrofikasi
Dilakukan pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak.
Cara melakukannya adalah dengan memendekkan ligamentum rotundum atau mengikat
ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare (membuat
uterus ventrofiksasi).
b. Operasi Manchester
Operasi ini disarankan untuk penderita prolapsus yang masih muda, tetapi biasanya
dilakukan amputasi serviks uteri, dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah
dipotong, di depan serviks dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik.
Amputasi serviks dilakukan untuk memperpendek serviks yang memanjang (elongasio
koli). Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, partus prematurus, abortus.
Bagian yang penting dari operasi Manchester ialah penjahitan ligamentum
kardinale di depan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale
diperpendek, sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya
uterus dapat dicegah.
c. Histerektomi Vagina
Operasi ini tepat dilakukan pada prolapsus uteri tingkat lanjut (derajat III dan IV)
dengan gejala pada saluran pencernaan dan pada wanita yang telah menopause. Setelah
uterus diangkat, puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri
atas pada ligamentum infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan
kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mengurangi atau menghilangkan gejala
saluran pencernaan seperti, sembelit, inkontinensia flatus, urgensi tinja, kesulitan dalam
mengosongkan rektum atau gejala yang berhubungan dengan gangguan buang air besar
dan untuk mencegah prolaps vagina di kemudian hari. Histerektomi vagina lebih disukai
oleh wanita menopause yang aktif secara seksual. Di Netherlands, histerektomi vaginal
saat ini merupakan metode pengobatan terkemuka untuk pasien prolapsus uteri
simtomatik
d. Kolpokleisis (kolpektomi)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi wanita yang tidak menginginkan fungsi
vagina (aktivitas seksual dan memiliki anak) dan memiliki risiko komplikasi tinggi.
Operasi ini dilakukan dengan menjahit dinding vagina depan dengan dinding vagina
belakang, sehingga lumen vagina tertutup dan uterus terletak di atas vagina.
Keuntungan utama dari prosedur ini adalah waktu pembedahan singkat dan pemulihan
cepat dengan tingkat keberhasilan 90 - 95%.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PROLAPS UTERI
A. Pengkajian
Data Subyektif
1. Biodata
Prolapsus uteri lebih sering ditemukan pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan
wanita yang bekerja berat. (Wiknjosastro, 2007)
2. Keluhan utama
Gejala dan tanda-tanda sangat berbeda dan bersifat individual. Kadangkala penderita yang
satu dengan prolaps uteri yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya
penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan. Keluhan-keluhan yang
hampir sering dijumpai menurut Wiknjosastro, 2007:
a. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol
b. Rasa sakit di pinggul dan pinggang, biasanya jika penderita berbaring, keluhan
menghilang dan menjadi kurang
3. Riwayat kehamilan
Faktor resiko yang menyebabkan prolaps uteri jumlah kelahiran spontan yang banyak,
berat badan berlebih, riwayat operasi pada area tersebut, batuk dalam jangka waktu lama
saat hamil.
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit
merupakan penyebab prolapsus genitalis dan memperburuk prolaps yang sudah ada.
Faktor-faktor lain adalah tarikan janin pada pembukaan belum lengkap. Bila prolapsus
uteri dijumpai pada nulipara, faktor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa
kelemahan jaringan penunjang uterus (Wiknjosastro, 2007).
Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopouse. Persalinan yang
lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pad
kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul yang tidak
baik. Pada menopouse, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot-otot dasar panggul
menjadi atrofi dan melemah (Wiknjosastro, 2007).
4. Pola kebiasaan sehari-hari
a. Eliminasi
Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala:
1) Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari, kemudian lebih berat
pada malam hari
2) Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya
3) Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk dan mengejan.
Kadang-kadang dapat terjadi retensio urine pada sistokel yang besar sekali.
Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi
1) Obstipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel
2) Baru dapat defekasi setelah diadakan tekanan pada rektokel vagina
b. Aktivitas dan istirahat
Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita saat berjalan dan
beraktivitas. Gesekan portio uteri oleh celana dapat menimbulkan lecet hingga
dekubitus pada porsio.
Data Obyektif
1. Keadaan umum lemah
2. Pemeriksaan fisik
a. Wajah
Tampak pucat pertanda adanya anemia, keluar keringat dingin bila terjadi syok. Bila
perdarahan konjungtiva tampak anemis. Pada klien yang disertai rasa nyeri klien tampak
meringis.
b. Mulut
Mukosa bibir dan mulut tampak pucat, bau kelon pada mulut jika terjadi shock
hipovolemik hebat.
c. Dada dan payudara
Gerakan nafas cepat karena adanya usaha untuk memenuhi kebutuhan O 2 akibat kadar
O2 dalam darah yang tinggi, keadaan jantung tidak abnormal.
d. Abdomen
Adanya benjolan pada perut bagian bawah Teraba adanya massa pada perut bagian
bawah konsisten keras/kenyal, tidak teratur, gerakan, tidak sakit, tetapi kadang-kadang
ditemui nyeri.
Pada pemeriksaan bimanual akan teraba benjolan pada perut, bagian bawah, terletak di
garis tengah maupun agak kesamping dan sering kali teraba benjolan-benjolan dan
kadang-kadang terasa sakit (Wiknjosastro, 2006 : 344).
Pada pemeriksaan Sondage didapatkan cavum uteri besar dan rata.
e. Genetalia
Pada kasus ringan, bagian uterus turun ke puncak vagina dan pada kasus yang sangat
berat dapat terjadi protrusi melalui orifisium vagina dan berada di luar vagina.
B. Penyimpangan KDM

Partus berulang, partus dengan


penyulit, meneran sebelum
pembukaan lengkap, nulipara
dengan kelainan bawaan, genetik
Peningkatan
menopause, peningkatan BMI intraabdomen
(obesitas), peningkatan tekanan
intra abdomen

Kelemahan dan terjadi kerusakan pada


struktur penyangga uterus (termasuk
ligamentum uterosakral, komplek
ligamentum kardinal dan jaringan ikat
membran urogenital)

Prolaps Uteri

Grade 1 Grade 2 Grade 3

Uterus turun, serviks uteri Uterus keluar seluruhnya


Sebagian besar uterus
turun paling rendah sampai dari vagina, disertai dengan
keluar dari vagina.
introitus vagina inversio uteri.

Terjadi gesekan fisik


(celana dengan uteri dan Histerektomi
kulit)

Luka Post op

Risiko/Kerusakan
integritas kulit Ansietas Risiko Infeksi Nyeri akut
C. Diagnosa dan Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
Menurunkan stimulasi yang berlebihan
Berikan lingkungan yang nyaman
dapat mengurangi kecemasan

Pemahaman bahwa perasaan normal


Catat derajat ansietas dapat membantu klien meningkatkan
beberapa perasaan control emosi.
Rasa cemas klien akan
Libatkan keluarga dalam proses Peran serta keluarga sangat membantu
berkurang/hilang. keperawatan dalam menentukan koping
1. Ansietas b.d prosedur Diskusikan mengenai kemungkinan
Kriteria hasil : Menunjukkan kepada klien bahwa dia
operasi, diagnosis, kemajuan dari fungsi gerak untuk
1. Klien mampu dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa
prognosis, anestesi, mempertahankan harapan klien dalam
mengungkapkan menggunakan alat khusus, sehingga dapat
nyeri, hilangnya memenuhi kebutuhan sehari-hari
ketakutan/kekuatirann mengurangi rasa cemasnya.
fungsi.
ya.
2. Respon klien tampak
tersenyum Dukungan dari bebarapa orang yang
Berikan support sistem (perawat, keluarga
memiliki pengalaman yang sama akan
atau teman dekat dan pendekatan spiritual)
sangat membantu klien.

Reinforcement terhadap potensi dan


Agar klien menyadari sumber-sumber apa
sumber yang dimiliki berhubungan dengan
saja yang ada disekitarnya yang dapat
penyakit, perawatan dan tindakan
mendukung dia untuk berkomunikasi.

Setelah mendapat
Pantau nyeri secara komprehensif (lokasi,
2. Nyeri b.d adanya Mengevaluasi dan memantau nyeri yang
tindakan keperawatan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
luka post op dirasakan klien
dan faktor presipitasi).
selama 3x24 jam, nyeri
klien berkurang atau Gunakan teknik komunikasi terapeutik
hilang untuk mengetahui pengalaman nyeri klien Memantau keadaan nyeri klien
sebelumnya
Kriteria hasil : Ajarkan teknik non farmakologis
1. Klien melaporkan (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi Mengalihkan rasa nyeri klien
nyeri.
nyeri berkurang dg
Memantau keadaan TTV klien Memantau keadaan klien
skala 2-3
2. Ekspresi wajah
tenang Kolaborasi pemberian analgetik untuk
Memberikan terapi yang tepat
mengurangi nyeri.
3. Klien dapat istirahat
dan tidur
Tidak terjadi infeksi Anjurkan dan gunakan teknik mencuci tangan Membantu mencegah/membatasi
K.H: dengan cermat dan pembuangan kotoran penyebaran infeksi
a. Bebas dari proses
Peningkatan suhu tubuh merupakan
infeksi nosokomial Pantau TTV
selama perawatan di gejala adanya infeksi.
3. Resiko terjadinya rumah sakit. Tindak lanjut dalam mengetahui
infeksi berhubungan b. Memperlihatkan Pantau leukosit, hemoglobin dan hematokrit
kemungkinan infeksi
dengan trauma pengetahuan tentang
Berikan periode istirahat tanpa gangguan Menambah energi untuk penyembuhan dan
pembedahan faktor risiko yang
berkaitan dengan dan diet lengkap nutrisi sesuai usia regenerasi seluler
infeksi dan melakukan
tindakan pencegahan Diberikan sebagai profilaktik atau mengobati
Berikan antibiotik sesuai ketentuan
yang tepat untuk infeksi khusus
mencegah infeksi.
4. Risiko kerusakan Setelah dilakukan 1. Diskusikan dan jelaskan pentingnya Kebersihan mencegah perkembang
integritas kulit tindakan keperawatan
menjaga tempat tidur biakan kuman
faktor risiko: daya selama 3x24 jam
Mencegah terjadinya iritassi kulit yang
diharapkan integritas tak diharapkan oleh karena aktifitas yang
kulit tidak terganggu, 2. Anjurkan pasien untuk istirahat
mengakibatkan pergesekan celana dengan
dengan kriteria hasil: uteri
1. Uteri tidak terjadi
iritasi: kemerahan,
gesek, kelembapan lecet, kebersihan 3. Atur posisi tidur atau duduk dengan Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi
terjaga penekanan yang lama sehingga tak terjadi
2. Pasien mampu selang waktu 2-3 jam iskemi dan irirtasi
mengambil keputusan
tindakan
penatalaksanaan 4. Kolaborasi dalam tindakan terapi Ring pessarium mampu mengembalikan
medis prolapse uteri. pemasangan ring pessarium uteri secara bertahap pada tempatnya
DAFTAR PUSTAKA

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Anwar Mochamad, Baziad Ali, Prabowo R. Prajitno. (2011). Ilmu Kandungan: Kelainan Letak
Alat-Alat Genital. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Noerpramana, Noor Pramono, Hadijono, R Soerjo, Iskandar, T. Mirza, Kristanto Herman,


Hidayat, Syarief Thaufik, Erwinanto. (2013). Praktis Klinis Obstetri Ginekologi.
Semarang: Cakrawala Media.

DeCherney AH, Nathan L. (2003 ). Current Obstetric & Gynecologic: Diagnosis & Treatment
9th Edition. Mc Graw Hill Companies.

Werner C, Moschos E, Griffith W, Beshay V, Rahn D, Richardson D, et al. (2012 ). Williams


Gynecology Study Guide, 2nd ed. United States: Mc Graw Hill Professional.

Persu C, Chapple CR, Cauni V, Gutue S, Geavlete P. (2011). Pelvic Organ Prolapse
Quantification System (POP-Q) – a new era in pelvic prolapse staging. Journal of
Medicine and Life [internet]. [cited 2015 Feb 3]; 4(1):75‐81.

Doenges, M., Moorhouse, M., Geissler, A. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.

NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2015-2017.


Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M & Ahern, Nancy R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9
Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai