Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prolaps organ pelvis (POP) adalah turun atau menonjolnya dinding vagina
ke dalam liang vagina atau sampai dengan keluar introitus vagina, yang diikuti
oleh organ-organ pelvis. Selain menyebabkan ketidaknyamanan, POP juga
memberikan dampak negatif pada berbagai hal seperti fungsi seksual, penampilan,
serta kualitas hidup. Atas dasar alasan perbaikan kualitas hidup, operasi POP
menjadi salah satu indikasi operasi ginekologi yang sering dilakukan.
Penatalaksanaan konservatif dan perubahan gaya hidup memiliki peran pada
penatalaksanaan POP derajat ringan, pasien yang masih ingin memiliki anak, atau
yang tidak menginginkan operasi (Himpunan Uroginekologi– Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2013).
POP merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi jutaan perempuan
di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, keluhan ini menjadi indikasi ketiga paling
sering dilakukannya operasi histerektomi. Seorang wanita diperkirakan memiliki
risiko 11 persen untuk menjalani operasi prolaps atau inkontinensia pada seumur
hidupnya.
Pada studi Women’s Health Initiative (Amerika), 41 % wanita usia 50-79
tahun mengalami Prolapsus Organ Panggul (POP), diantaranya 34% mengalami

cystocele, 19% mengalami rectocele dan 14% mengalami prolapsus uteri. 5


Prolapsus terjadi di Amerika sebanyak 52% setelah wanita melahirkan anak
pertama, sedangkan di Indonesia prolapsus terjadi sebanyak 3,4-56,4% pada
wanita yang telah melahirkan. Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan setiap tahun ada 47-67 kasus prolapsus, dan sebanyak 260 kasus
pada tahun 2005-2010 yang mendapat tindakan operasi.

BAB II
PEMBAHASAN

1
A. DEFINISI
Prolaps Organ Pelvis (POP) atau disebut dengan prolaps urogenital adalah
turunnya organ pelvis dari posisi anatomis yang normal berupa penonjolan ke
vagina keluar maupun penekanan dinding vagina.
Definisi lain Prolaps Organ Pelvis atau Panggul (POP) merukan
penempatan yang salah organ pelvis ke dalam vagina atau melampaui lubang
vagina (introitus vaginae). Organ yang dimaksud sudah meliputi uretra, kandung
kemih, usus besar, dan usus kecil, omentum dan rektum, disamping uterus, serviks
dan vagina itu sendiri.

B. EPIDEMIOLOGI
Prolapsus organ pelvis (POP) masih menjadi masalah kesehatan pada
wanita yang mengenai wanita hingga 40% usia di atas 50 tahun. Prolapsus uteri
merupakan salah satu jenis prolapsus organ pelvis (genitalia) dan menjadi kasus
nomor dua tersering setelah cystouretrochele (bladder and urethral prolapse).
Frekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara, seperti dilaporkan di
klinik Gynecologie et Obstetrique Geneva insidennya 5,7% dan pada periode yang
sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang
kejadiannya cukup tinggi.
Prolapsus organ pelvis (POP) merupakan masalah yang sering dialami
dengan prevalensi 41-50% dari keseluruhan perempuan di atas usia 40 tahun dan
akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup seorang
perempuan. Insidensi bedah untuk POP yaitu 15-49 kasus per 10.000 perempuan
per tahun.
Pada studi Women’s Health Initiative (Amerika), 41 % wanita usia 50-79
tahun mengalami Prolapsus Organ Pelvis (POP), diantaranya 34% mengalami
cystocele, 19% mengalami rectocele dan 14% mengalami prolapsus uteri.
Prolapsus terjadi di Amerika sebanyak 52% setelah wanita melahirkan anak
pertama, sedangkan di Indonesia prolapsus terjadi sebanyak 3,4-56,4% pada
wanita yang telah melahirkan. Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan setiap tahun ada 47-67 kasus prolapsus, dan sebanyak 260 kasus
pada tahun 2005-2010 yang mendapat tindakan operasi.

C. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

2
Penyebab prolapsus organ panggul belum diketahui secara pasti, namun
secara hipotetik penyebab utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi
aterm. Pada studi epidemiologi menunjukkan bahwa faktor risiko utama penyebab
prolapsus uteri adalah persalinan pervaginam dan penuaan. Para peneliti
menyetujui bahwa etiologi prolapsus organ panggul adalah multifaktorial dan
berkembang secara bertahap dalam rentang waktu tahun. Terdapat berbagai
macam faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus dan dikelompokkan
menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri.

Tabel 1. Faktor risiko prolapsus


Faktor obstetri Faktor non-obstetri

1) Paritas 1) Genetik
2) Persalinan pervaginam 2) Usia
3) Perpanjangan kala 2 3) Menopause
persalinan (> 2
4) Peningkatan BMI
jam)
4) Makrosomia (berat badan (obesitas)
lahir ≥ 4000 gram) 5) Peningkatan tekanan
5) Persalinan dengan tindakan intraabdomen
(riwayat persalinan dengan 6) Kelainan jaringan ikat
forsep atau ekstraksi vakum) 7) Merokok

1. Faktor Obstetri
a. Proses persalinan dan paritas
Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara
sebagai akibat progresif yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia
endopelvik (dan kondensasi, ligamentum uteroskral dan kardinal) dan
laserasi otot, terutama otot-otot levator dan perineal body (perineum).
Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko utama
terjadinya prolapsus organ genital. Pada penelitian tentang levator ani dan
fascia menunjukkan bukti bahwa kerusakan mekanik dan saraf terjadi pada
perempuan dengan prolapsus dibandingkan perempuan tidak prolapsus,
dan hal tersebut terjadi akibat proses melahirkan

b. Faktor obstetri lainnya

3
Penggunaan forsep, vakum, dan episiotomi, disebutkan sebagai
faktor risiko potensial dalam terjadinya prolaps organ panggul.
Penggunaan forsep secara langsung terlibat dalam terjadinya cedera dasar
panggul, yaitu dalam kaitannya dengan terjadinya laserasi sfingter anal.
Luka yang dapat ditimbulkan pada ibu berkaitan dengan penggunaan
forsep berkisar dari ekstensi sederhana sampai ruptur uterus atau kandung
kemih. Fascia pelvis, ligamentum-ligamentum dan otot-otot dapat menjadi
lemah akibat peregangan yang berlebihan selama kehamilan, persalinan
dan persalinan pervaginam yang sulit, terutama dengan penggunaan forsep
dan vakum ekstraksi.

1. Faktor Non-Obstetri
a. Genetik
Dua persen prolapsus simptomatik terjadi pada perempuan
nulipara. Perempuan nulipara dapat menderita prolapsus dan diduga
merupakan peran dari faktor genetik. Bila seorang perempuan dengan ibu
atau saudaranya menderita prolapsus, maka risiko relatif untuk menderita
prolapsus meningkat dibandingkan jika ibu atau saudara perempuan tidak
memiliki riwayat prolapsus.

b. Usia
Bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya kolagen dan
terjadi kelemahan fascia dan jaringan penyangga. Hal ini terjadi terutama
pada periode post-menopause sebagai konsekuensi akibat berkurangnya
hormon estrogen.

c. Menopause
Pada usia 40 tahun fungsi ovarium mulai menurun, produksi
hormon berkurang dan berangsur hilang, yang berakibat perubahan
fisiologik. Menopause terjadi rata-rata pada usia 50-52 tahun. Hubungan
dengan terjadinya prolaps organ panggul adalah, di kulit terdapat banyak
reseptor estrogen yang dipengaruhi oleh kadar estrogen dan androgen.
Estrogen mempengaruhi kulit dengan meningkatkan sintesis hidroksiprolin
dan prolin sebagai penyusun jaringan kolagen. Ketika menopause, terjadi
penurunan kadar estrogen sehingga mempengaruhi jaringan kolagen,
4
berkurangnya jaringan kolagen menyebabkan kelemahan pada otot-otot
dasar panggul.
Saraf pada serviks merupakan saraf otonom, sebagian besar serabut
saraf cholinesterase yang terdiri dari serabut saraf adrenergik dan
kolinergik, jumlah serabut kolinergik lebih sedikit. Sebagian besar serabut
ini menghilang setelah menopause.

d. Peningkatan BMI (obesitas)


Obesitas menyebabkan memberikan beban tambahan pada otot-otot
pendukung panggul, sehingga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul.
Pada studi Women’s Health Initiative (WHI), kelebihan berat badan (BMI
25 – 30 kg/m2) dikaitkan dengan peningkatan kejadian prolapsus dari 31-
39%, dan obesitas (BMI > 30 kg/m2) meningkat 40-75%.

e. Peningkatan tekanan intra abdomen


Tekanan intra abdomen yang meningkat karena batuk-batuk
kronis (bronkitis kronis dan asma), asites, mengangkat beban berat
berulang-ulang, dan konstipasi diduga menjadi faktor risiko terjadinya
prolapsus. Seperti halnya obesitas (peningkatan indeks massa tubuh) batuk
yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intraabdomen (rongga perut)
dan secara progresif dapat menyebabkan kelemahan otot-otot panggul.

f. Kelainan jaringan ikat


Wanita dengan kelainan jaringan ikat lebih untuk mungkin untuk
mengalami prolapsus. Pada studi histologi menunjukkan bahwa pada
wanita dengan prolapsus, terjadi penurunan rasio kolagen tipe I terhadap
kolagen tipe III dan IV. Kelemahan bawaan (kongenital) pada fasia
penyangga pelvis mungkin penyebab prolapsus uteri seperti yang kadang-
kadang ditunjukkan pada nulipara.

g. Merokok
Merokok juga dikaitkan dalam pengembangan prolapsus. Senyawa
kimia yang dihirup dalam tembakau dipercaya dapat menyebabkan
perubahan jaringan yang diduga berperan dalam terjadi prolapsus.

5
D. PATOFISIOLOGI
Penyangga organ panggul merupakan interaksi yang kompleks antara otot-
otot dasar panggul, jaringan ikat dasar panggul, dan dinding vagina. Interaksi
tersebut memberikan dukungan dan mempertahankan fungsi fisiologis organ-
organ panggul. Apabila otot levator ani memiliki kekuatan normal dan vagina
memiliki kedalaman yang adekuat, bagian atas vagina terletak dalam posisi yang
hampir horisontal ketika perempuan dalam posisi berdiri.
Posisi tersebut membentuk sebuah “flap-valve” (tutup katup) yang
merupakan efek dari bagian atas vagina yang menekan levator plate selama terjadi
peningkatan tekanan intra abdomen. Teori tersebut mengatakan bahwa ketika otot
levator ani kehilangan kekuatan, vagina jatuh dari posisi horisontal menjadi semi
vertikal sehingga menyebabkan melebar atau terbukanya hiatus genital dan
menjadi predisposisi prolapsus organ panggul. Dukungan yang tidak adekuat dari
otot levator ani dan fascia organ panggul yang mengalami peregangan
menyebabkan terjadi kegagalan dalam menyangga organ panggul.
Mekanisme terjadinya prolapsus uteri disebabkan oleh kerusakan pada
struktur penyangga uterus dan vagina, termasuk ligamentum uterosakral, komplek
ligamentum kardinal dan jaringan ikat membran urogenital. Faktor obstetri, dan
non-obstetri yang telah disebutkan di awal diduga terlibat dalam terjadinya
kerusakan struktur penyangga tersebut sehingga terjadi kegagalan dalam
menyangga uterus dan organ-organ panggul lainnya.

Gambar 1. Patofisiologi prolapsus


6
PATHOPHYSIOLOGY
Pelvic Organ Prolapse

Increased in intra-abdominal pressure

stretching and tearing of the endopelvic fascia


and the levator muscles and perineal body

decreased perineal muscle tone


stretching

further sagging and stretching of


perineum

vaginal or uterine descentat or through


the introitus

sensation of vaginal fullness ulceration of the protruding


or pressure cervix or vagina

displacement of pelvic organs


coital difficulty vaginal spotting

sacral back pain with lower abdominal displacement of the rectalpressure


standing discomfort bladder

voiding difficulties (incontinence, defecatory difficulties


frequency, and7 urgency) (Constipation, uncontrollable gas,
and fecal incontinence)
Gambar 2. Skema Patofisiologi Pelvic Organ Prolapse

E. KLASIFIKASI
Untuk mengklasifikasikan POP telah dikembangkan beberapa sistem.
Untuk keperluan praktik klinis, sistem Baden-Walker telah digunakan secara
luas, sementara sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) mulai
banyak digunakan untuk keperluan praktik klinik dan penelitian. Baden-Walker
cukup adekuat digunakan dalam praktik klinik selama penurunan atau protrusi
dari semua kompartemen panggul (anterior, apikal, dan posterior) diperiksa.

Tabel 2. Stadium sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q)


Stadium 0 Tidak terlihat adanya prolaps.
Stadium I Bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di atas himen
Stadium II Bagian yang paling distal dari prolaps ≤ 1cm di bagian
proksimal atau distal terhadap himen
Stadium III Bagian yang paling distal dari prolaps >1cm di bagian bawah
himen, namun tidak lebih dari 2 cm dibandingkan dengan
panjang vagina secara keseluruhan
Stadium IV Eversi vagina komplit sampai dengan hampir komplit. Bagian
yang paling distal dari prolaps mengalami protrusi sampai
(TVL -2) cm

Gambar 3. Stadium prolaps uterus


Tabel 3. Stadium Sistem Baden-Walker
8
Stage 0 Tidak ada prolaps
Stage 1 Penurunan sampai dengan setengah jarak (halfway) menuju
himen
Stage 2 Turun sampai dengan himen
Stage 3 Turun setengah jarak (halfway) melewati himen
Stage 4 Penurunan maksimum untuk tiap lokasi

Terdapat beberapa jenis Prolapse Organ Pelvis:


1. Sistokel
Sistokel adalah melemahnya dinding antara vagina dan kandung
kemih yang dapat menyebabkan prolaps dinding kandung kemih ke dalam
vagina. Sistokel merupakan herniasi pada wanita yang terjadi saat dinding
antara kandung kemih dan vagina lemah, menyebabkan kandung kemih
turun atau longgar menekan vagina akibatnya terjadi perpindahan tempat
kebawah dari kandung kemih kearah orifisium vagina sehingga
menurunnya kandung kemih kedalam vagina yang terjadi saat struktur
yang mendukung septum vesikovaginal cedera.

2. Rektokel
Rektokel adalah herniasi dinding depan rektum ke dalam vagina.
Dinding rektum dapat menjadi tipis dan lemah, dan mungkin menonjol
keluar ke dalam vagina.
Tanda rektokel yang khas adalah pembentukan kantong yang
menyebabkan dinding anterior rektum menggelembung dan turun
melewati introitus. Ketika dilakukan pemeriksaan rektum pada prolaps,
rektokel terjadi jika ada perluasan lumen rektum ke bawah sumbu anus.
Hal ini tidak hanya memastikan diagnosis namun juga menggambarkan
mekanisme bagaimana rektokel menimbulkan gejala. Selama dinding
rektum anterior memiliki kontur yang licin dan tidak terdapat kantong,
walaupun dapat lebih mobile dari pada normal, feses dapat melewati anus.
Namun, ketika terbentuk kantong saat pasien mengedan, feses dapat
terperangkap.

3. Enterokel

9
Enterokel adalah hernia pada vagina yang terjadi ketika usus kecil
turun ke dalam rongga panggul dan mendorong bagian atas vagina
sehingga menciptakan tonjolan
Terdapat dua tipe enterokel: pulsion enterocele dan traction
enterocele.
 Pulsion enterocele terjadi jika cul-de-sac melebar dan muncul sebagai
tonjolan massa yang semakin membesar dengan meningkatnya tekanan
abdomen. Hal ini dapat terjadi dengan puncak vagina atau dinding
uterus tersokong dengan baik, pada kasus dimana serviks atau puncak
vagina padalevel normal dan enterokel memotong antara vagina dan
rektum. Jika enterokel dihubungkan dengan prolaps uterus atau puncak
vagina, maka prolaps dan enterokel terjadi bersama-sama.
 Traction enterocele menggambarkan situasi dimana prolaps uterus
menarik peritoneum culde-sac ke bawah, namun tidak terdapat tonjolan
atau distensi cul-de-sac saat tekanan abdomen meningkat. Kondisi ini
ditemukan pada waktu dilakukan histerektomi vagina ketika serviks
sudah prolaps. Hal ini menunjukkan enterokel potensial, karena tidak
terdapat tonjolan massa yang terpisah dari uterus.

1. Prolaps Uteri
Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh
karena kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal
menyokongnya. Atau turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus
genitalis. Derajat prolapsus uteri:
• Desensus uteri, uterus turun tetapi serviks masih didalam vagina
• Prolapsus uteri tingkat 1, uterus turun paling rendah sampai introitus
vagina
• Prolapsus uteri tingkat 2, uterus sebagian keluar dari vagina
• Prolapsus uteri tingkat 3 atau prosidensia uteri, uterus keluar seluruhnya
dari vagina disertai dengan inversio vagina.

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang ditimbulkan oleh POP terdiri atas gejala vagina, berkemih,
buang air besar (BAB), dan seksual. (lihat tabel 2)
10
Tabel 4. Gejala prolaps
Vagina
 Adanya perasaan penonjolan dan penurunan organ panggul
 Rasa berat dan tekanan di daerah vagina
Saluran kencing
 Inkontinensia urin
 Sering kencing
 Tidak bisa menahan kencing
 Kelemahan dan pemanjangan aliran kencing
 Rasa tidak tuntas saat kencing
 Retensio urin
Saluran pencernaan
 Inkontinensia flatus dan feses yang lembek atau cair
 Rasa tidak tuntas saat BAB
 Peneranan selama BAB
 Sensasi obstruksi selama defekasi
Seksual
 Dispareunia

Beberapa hal yang menjadi catatan untuk gejala POP adalah:


a. Gejala benjolan dipengaruhi oleh gravitasi sehingga makin berat pada
posisi berdiri.
b. Semakin lama, benjolan akan terasa semakin menonjol terutama setelah
adanya aktifitas fisik berat jangka panjang seperti mengangkat benda
berat atau berdiri.
c. Derajat prolaps tidak berhubungan dengan gejala urgensi, frekuensi atau
inkontinensia urin.
d. Pada studi yang menilai korelasi antara gejala dengan lokasi dan derajat
prolaps, ditemukan bahwa korelasi antara gejala BAB dan prolaps

11
posterior lebih kuat dibandingkan korelasi antara gejala berkemih dengan
prolaps anterior.
e. Gejala seperti rasa tekanan, ketidaknyamanan, benjolan yang terlihat dan
gangguan seksual tidak spesifik untuk kompartemen tertentu
f. Klinisi perlu memberikan pertanyaan secara spesifik, karena
kebanyakan pasien tidak akan secara sukarela memberikan informasi
mengenai gejala yang dirasakannya.

1. Pemeriksaan Fisik
a. Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi
litotomi.
b. Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain.
c. Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
 Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
 Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang
bukan kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada
terapi.
 Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk
mengetahui derajat prolaps uteri dengan inspeksi terlebih dahulu
sebelum dimasukkan inspekulum.

a. Manuver Valsava.
 Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan
melakukan pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan
manuver Valsava.
 Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior
vagina, serviks, apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan
perineum perlu dievaluasi secara sistematis dan terpisah.
 Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengedan pada
posisi berdiri di atas meja periksa.
 Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk
menentukan risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.
a. Dapat juga dilakukan pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui
kontraksi dan kekuatan otot levator ani

12
b. Pemeriksaan rektovagina untuk memastikan adanya rektokel yang
menyertai prolaps uteri.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urin residu pasca berkemih
 Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan
mengukur volume berkemih pada saat pasien merasakan kandung
kemih yang penuh, kemudian diikuti dengan pengukuran volume urin
residu pasca berkemih dengan kateterisasi atau ultrasonografi.
a. Skrining infeksi saluran kemih
b. Pemeriksaan urodinamik, apabila dianggap perlu.
c. Pemeriksaan Ultrasonografi
 Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif
mudah dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan
informasi real-time.
 Pencitraan akan membuat klinisi lebih mudah dalam memeriksa
pasien secara klinis.
 Pada pasien POP ditemukan hubungan yang bermakna antara
persalinan, dimensi hiatus levator, avulsi levator ani dengan risiko
terjadinya prolaps. Namun belum ditemukan manfaat secara klinis
penggunaan pencitraan dasar panggul.

G. PENATALAKSANAAN
Terapi Non-Bedah
Penanganan pada prolaps organ pelvis dengan perubahan gaya hidup
dan latihan fisik berupa latihan otot dasar panggul. Hal ini dapat digunakan
untuk kasus prolaps ringan hingga sedang. Tujuan dari terapi konservatif ini
adalah mencegah prolaps menjadi semakin parah, mengurangi keparahan dari
gejala, meningkatkan kekuatan dari otot pelvis, mencegah atau menunda terapi
dengan pembedahan. Intervensi gaya hidup mencakup peningkatan kadar serat
makanan, penurunan berat badan dan mengurangi kegiatan yang dapat
meningkatkan tekanan intraabdominal.
Pemasangan alat pesarium lebih dipilih oleh banyak orang dengan
alasan untuk menghindari pembedahan. Ring pessarium dan Gelhorn pesarium
adalah pessarium yang paling sering digunakan.
13
Terapi Bedah
Tujuan utama dari terapi bedah adalah untuk meringankan gejala yang
mungkin disebabkan oleh prolaps. Kebanyakkan kasus terapi bedah berfungsi
untuk mengembalikan anatomi vagina menjadi normal kembali sehingga
aktivitas seksual dapat kembali seperti semula. Pada rektokel dan entrokel
operasi yang dilakukan adalah kolpoperineoplastik. Prolaps uteri tergantung
dari beberapa faktor, seperti umur penderita, masih berkeinginan mempunyai
anak atau mempertahankan uterus, tingkat prolaps, dan adanya keluhan.
Ventrofiksasi dilakukan pada perempuan yang tergolong masih muda dan
menginginkan anak. Operasi menurut prandare adalah untuk membuat uterus
ventrofiksasi.
Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolaps vagina. Maka, jika
likakukan pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus vagina perlu ditangani
pula. Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang membutuhkan
pembedahan, padahal tidak ada prolaps uteri, atau sebaliknya. Indikasi untuk
melakukan operasi pada prolaps vagina ialah adanya keluhan.

Terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus vagina:


1. Sistokel
Operasi yang lazim dilakukan ialah kolporafia anterior. Setelah diadakan
sayatan dan dinding vagina depan dilepaskan dari kandung kencing dan
urethta, kandung kencing didorong ke atas, dan fasia puboservikalis sebelah
kiri dan sebelah kanan dijahit digaris tengah. Sesudah dinding vagina yang
berlebihan dibuang, dinding vagina yang terbuka ditutup kembali.
Kolporafia anterior dilakukan pula pada urethrokel.
2. Rektokel
Operasi disini adalah kolpoperinoplastik. Mukosa dinding belakang vagina
disayat dan dibuang berbentuk segitiga dengan dasarnya batas antara vagina
dan perineum, dan dengan ujungnya pada batas atas retrokel. Sekarang fasia
rektovaginalis dijahit di garis tengah, dan kemudian m. levator ani kiri dan
kanan didekatkan di garis tengah. Luka pada dinding vagina dijahir,
demikian pula otot-otot perineum yang superfisial. Kanan dan kiri
dihubungkan di garis tengah, dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit.
3. Enterokel
14
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas sampai ke serviks
uteri. Setelah hernia enterokel yang terdiri atas peritoneum dilepaskan dari
dinding vagina, peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin.
Sisanya dibuang dan di bawah jahitan itu ligamentum sakrouterinum kiri
dan kanan serta fasia endopelvik dijahit ke garis tengah.
4. Prolapsus uteri
Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri tergantung dari
beberapa faktor, seperti umur penderita, keinginannya untuk masih
mendapatkan anak atau untuk mempertahankan uterus, tingkat prolapsus,
dan adanya keluhan.

Macam-macam Operasi:
1. Ventrofiksasi
Pada golongan wanita yangmasih muda dan masih ingin
mempunyai anak, dilakukan operasi untuk membuat uterus ventrofiksasi
dengan cara memendekkan ligamentum rotundum atau mengikat
ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare.
2. Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri,
dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong, di muka serviks;
dilakukan pula kolporafia anterior dan kolpoperioplastik. Amputasi serviks
dilakukan untuk memperpendek serviks yang memanjang (elongasi colli).
Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematur, dan
distosia servikalis pada persalinan. Bagian yang terpenting dari operasi
Manchester adalah penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek, sehingga uterus
akan terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat
dicegah.
3. Histerektomi vaginal
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolaps uteri tingkat
lanjut, dan pada wanita menopause. Keuntungannya adalah pada saat yang
sama dapat dilakukan operasi vagina lainnya (seperti anterior dan posterior
kolporafi dan perbaikan enterokel), tanpa memerlukan insisi di tempat lain
maupun reposisi pasien. Saat pelaksanaan operasi, harus diperhatikan dalam
menutup cul-de-sac dengan menggunakan kuldoplasti McCall dan
15
merekatkan fasia endopelvik dan ligamen uterosakral pada rongga vagina
sehingga dapat memberikan suport tambahan. Setelah uterus diangkat,
puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan kiri, atas
pada ligamentum infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan
dengan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah prolaps
vagina di kemudian hari.
4. Kolpokleisis (Operasi Neugebauer-Le Fort)
Pada waku obat-obatan serta pemberian anestesi dan
perawatan pra/pasca operasi belum baik untuk wanita tua yang secara
seksual tidak aktif, dapat dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan
dinding vagina depan dengan dinding belakang, sehingga lumen vagina
tertutup dan uterus letaknya di atas vagina. Akan tetapi, operasi ini tidak
memperbaiki sistokel dan rektokelnya sehingga dapat menimbulkan
inkontinensia urine. Obstipasi serta keluhan prolaps lainnya juga tidak
hilang.

H. PENCEGAHAN
Ada beberapa intervensi klinik yang mempunyai pengaruh kuat terhadap
terjadinya prolapsus genital. Melatih otot-otot pelvis sebagai pengobatan primer
dapat menguntungkan perempuan dengan prolapsus genital pada stadium awal.
Penggunaan pessarium menjadi cara utama untuk mengurangi keluhan khususnya
bagi mereka yang menghindari operasi.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prolaps Organ Pelvis (POP) atau disebut dengan prolaps urogenital
adalah turunnya organ pelvis dari posisi anatomis yang normal berupa penonjolan
ke vagina keluar maupun penekanan dinding vagina. Penyebab prolapsus genitalia
multifaktorial dan semakin berkembang dari tahun ke tahun namun pada dasarnya
disebabkan oleh kelemahan “pelvic floor” yang terdiri dari otot-otot, fascia
endopelvik dan ligamentum-ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia.
Penyebab yang paling sering adalah karena multiparitas. Gejala klinik dari
prolapsus itu sendiri berbeda-beda dan bersifat individual. Bisanya gejala yang
dirasakan penderita adalah adanya suatu benda yang menonjol atau mengganjal di
genitali eksterna, rasa sakit di pinggang, miksi yang sedikit tapi sering.
Penatalaksanan pada prolapsus genitalis pada umumnya adalah konservatif,
sedangkan tindakan operatif baru dilakukan jika secara konservatif tidak berhasil
dan jika tidak ada kontraindikasi.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
17
Nama : Ny. DFH

Umur : 43 tahun

Agama : Islam

Suku : Mandailing

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Tuasan No. 71 Medan Tembung

Nama Suami : Tn. S


Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Suku : Mandailing
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Masuk RS : 29 April 2019
Pukul : 11.00 WIB

B. ANAMNESIS
Seorang pasien Perempuan usia 43 tahun, P2A0, Mandailing, Islam,
SMA, i/d Tn.S, 45 tahun, Mandailing, Islam, SMA, Wiraswasta, datang ke
RSU Haji Medan pada tanggal 29 April 2019 pukul 11.00 WIB dengan
keluhan Keluar darah dari kemaluan

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan

18
Telaah : Pasien datang ke RS Haji Medan dengan keluhan keluar
darah dari kemaluan secara terus menerus ± 11 hari ini,
pasien mengatakan bahwa ia dapat mengganti duk ± 4x
ganti per hari, terdapat bekuan darah, dan dalam 1 bulan
pasien 2x haid ± sudah 5 bulan ini, pasien mengeluhkan
terdapat nyeri perut, BAB (N) BAK (N), lemas dan ada
penurunan nafsu makan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku tidak pernah mengalami gejala seperti ini
sebelumnya, dan tidak memiliki riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
asthma (-), maupun penyakit berat lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal adanya keluarga pasien yang pernah mengalami
gejala serupa. riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-), maupun
penyakit berat lainnya di keluarganya.

Riwayat Pengobatan
Os Lupa nama obatnya

Riwayat Alergi

 Alergi makanan disangkal


 Alergi obat ibu tidak tahu

Riwayat Perkawinan dan Seksual

Status Perkawinan : Kawin

Berapa Kali : 1 Kali

Umur Kawin : 25 tahun

Lama Kawin : 18 tahun

Kemandulan :-

19
Frigiditas / Vaginismus :-

Libido : kurang / sedang / kuat / hiperseksual.

Frekuensi koitus : 2-3 kali/minggu

Orgasmus : Tidak di tanyakan


Dispareuni :-

Riwayat Haid
 Menarche : 12 tahun
 Siklus : tidak teratur
 Lama Haid : ±7 hari
 Banyak darah : ± 4 kali ganti duk/hari
 Dysmenorrhea :+
 Darah beku :+
 Metrorrhagia :+
 Menorrhagia :-
 Spotting :+
 Contact bledding :-
 Climacterium :-

Riwayat Keputihan

Jumlah :-

Warna :-

Bau :-

Konsistensi :-

Gatal (pruritusvulvae) :-

20
Riwayat Kehamilan danPersalinan yang lalu: P2A0
No Tempat Penolong Thn Aterm Jenis Penyulit Anak
JK Keadaan
bersalin Persalinan BB
1 RB Bidan 2000 + Spontan - ♂ 3300 Meninggal
2 RB Bidan 2003 + Spontan - ♀ 3300 Baik

Riwayat penggunaan kontrasepsi (-)


Gizi dan Kebiasaan
Nafsu makan : Menurun
Perubahan berat badan :-
Merokok :-
Alkohol :-
Kebiasaan makan obat :-
Obat yang dimasukkan ke dalam vagina : -

A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


1. Status Present
KU : Baik, Tampak sedikit pucat
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,80 C
BB : 65 kg
TB : 168 cm

2. Status Generalisata
Kepala : normochepal, tidak ada kelainan
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : anemis (+/+), sklera ikterik (-).
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorok : tidak ditemukan kelainan
Gigi dan Mulut : Karies (-)
Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat
21
Thoraks
Paru
 Inspeksi : Normochest, gerakan paru simetris kiri = kanan
 Palpasi : Fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Abdomen
 Inspeksi : Tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi
(-)
 Palpasi : Teraba massa padat dengan pole atas 2 jari di bawah pusat
dan pole bawah 1 jari diatas simfisis pubis,
konsistensi kenyal, mobile dan rata. Tidak ada nyeri tekan.

Ekstremitas
Akral hangat :+
Edema :-

1. Status Ginekologi
PEMERIKSAAN INSPEKULO
Portio

- Erosi :-

- Ectropion :-

- Laserasi :-

22
- Ovula naboti :-

- Polip :-

- Bunga kol (exophytik) :-

- Leukoplakia :-

- Schiller test :-

- Darah : Tampak darah mengenang di ferniks


posterior, dibersihkan, kesan :
tidak aktif

PEMERIKSAAN DALAM (VT)

Uterus
- Posisi : Antefleksi
- Besarnya : Sebesar kepalan tangan orang dewasa
- Mobilitas : Mobile
- Konsistensi : Kenyal, Permukaan Rata
- Nyeri Tekan : (-)
Cavum Douglas
- Douglas crise : (-)
- Menonjol / tidak : Tidak
Parametrium
- Parametrium kanan/kiri : Lemas

Adnexa

- Adnexa kanan/kiri : Tidak ditemukan kelainan

Rektovaginal : Tidak dilakukan

A. DIAGNOSIS BANDING
1. Mioma Uteri
23
2. Kista / Neoplasma Ovarium
3. Adenomiosis

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 HEMATOLOGI
Hematologi

Darah rutin Nilai Nilai Rujukan satuan

Hemoglobin 11,6 12 – 16 g/dl

Hitung eritrosit 4,3 3,8 - 5,2 10*5/µl

Hitung leukosit 13.610 4,000- 11,000 /µl

Hematokrit 35,0 35-47 %

Hitung trombosit 326.000 150,000-450,000 /µl

Index eritrosit

MCV 79.5 80 – 100 fL

MCH 27,3 26 – 34 pg

MCHC 34,3 32 – 36 %

Hitung jenis leukosit

Eosinofil 2 1–3 %

Basofil 0 0–1 %

N.Stab 0 2– 6 %

N. Seg 65 53–75 %

Limfosit 28 20–45 %

Monosit 5 4–8 %

24
LED 11 0-20 mm/jam

 USG
- Kandung Kemih : terisi baik
- Uterus : Uterus sulit dinilai, tampak masa hipercor
berbentuk kumparan
- Adnexa : kanan dan kiri dalam batas normal
- Cairan bebas : (-)
Kesan : Mioma Uteri
og
 Hasil pemeriksaan Skrining Kanker :
Tidak dilakukan pemeriksaan

A. DIAGNOSIS KERJA
 Mioma Uteri

A. TERAPI
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam
- Inj. Ketorolak 30 mg/8jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/8jam

A. RENCANA TINDAKAN
Operasi tanggal 30 april 2019 Pukul 09.30 WIB, Jenis operasi : TAH – BSO
(Total Abdominal Histerektomi – Bilateral Salpingo Oopharectomy).

B. PERSIAPAN PRE OPERASI


- Informed Consent
- Surat izin operasi
- Konsul dokter anestesi dan persiapan anestesi,
- IVFD RL terpasang abocath no.18
- Kateter urine terpasang.
25
- Pasien tidak makan dan minum 8 jam sebelum jadwal operasi.
- Pantau Vital Sign
- Hasil pemeriksaan laboratorium
- Hasil pemeriksaan USG

A. LAPORAN OPERASI
Supervisor : dr. H. Muslich Perangin-angin, Sp.OG

Tanggal : 30 April 2019

Jam : 09.30 WIB

Jenis Operasi : TAH – BSO (Total Abdominal Histerektomi – Bilateral

Salpingo Oophorectomy).

 Ibu dibaringkan di meja operasi posisi supine, dengan infuse dan keteter
terpasang baik.

 Dibawah spinal anastesi dilakukan tindakan septik dan aseptik pada


lapangan operasi, kemudian ditutup dengan duk steril, kecuali lapangan
operasi.

 Dibuat insisi mediana / Plannensteil ± 10 cm. Insisi dilakukan sampai


menembus peritonium.

 Setelah peritonium dibuka, dilakukan eksplorasi, tampak uterus, tuba


dan ovarium.

 Diputuskan melakukan histerektomi total.

 Uterus dikeluarkan dari rongga abdomen dan dipasang untuk


melindungi usus, ligamen rotundum kiri di identifikasi, di klem pada
dua tempat, dipotong dan diikat dilakukan hal yang sama pada bagian
kanan. Plika vesika uterina dibebaskan.

 Lembaran belakang ligamentum latum kanan dan kiri dibuka secara


tajam dengan gunting sedekat mungkin dengan uterus. Menyisih sisi
uterus sampai setinggi ligamentumsakraouterina.
26
 Plika vesika uterina dibuka melintang dengan gunting, vesika uterina
dibebaskan secara tumpul dari serviks dan dipotong kebawah dengan
jari yang dibungkus kain kasa sekaligus dilepaskan dari bagian bawah
uterus.

 Jaringan ligamentum yang terbuka di dorong ke lateral untuk menjauhi


ureter.

 Peritonium dilapisan belakang ligamentum digunting pada pinggir


uterus lalu vasauterina kanan dan kiri dengan cabang- cabangnya dijepit
didekat uterus, digunting dan diikat.

 Serviks bagian atas dijepit 2 cunam lalu di potong diantara 2 cunam


tersebut luka yang terbentuk dijahit.

 Setelah diyakini tidak ada perdarahan, ligamentum sakraouterina,


pangkal tuba, ligamen Ovarii propium dan ligamentum rotundum
diikatkan kesudut puncak vagina yang sepihak, dan semua ujung yang
ditahan, diklem dan di potong.

 Dilakukan reperitonealisasi, diyakini tidak ada perdarahan lagi, maka


dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

 Operasi selesai, didapat masa dengan berat ± 200 gram.

A. POST OPERASI
- Tindakan operasi : TAH –BSO
- Temuan pada operasi : Ditemukan Massa Tumor

B. TERAPI DAN RENCANA POST OPERASI


Terapi
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Intruksi Post Op

27
 Observasi TTV dan perdarahan
 Pemeriksaan darah rutin post operasi
 Pemeriksaan histopatology jaringan post operasi
A. PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI
Makroskopis :

 Diterima jaringan dari uterus dengan kedua ovarium.

 Pada pemotongan tampak massa tumor berwarna putih keabuan.

Mikroskopis :

 Sediaan jaringan dari seviks dalam batas normal.

 Sediaan jaringan dari massa tumor tampak gambaran sel-sel bentuk


spindel yang tersusun sejajar ke segala arah dan sebagian berbentuk
kumparan.

 Sediaan jaringan dari ovarium tampak gambaran kista yang dilapisi


oleh epitel dengan inti kromatin masih dalam batas normal.

Kesimpulan : Suatu Mioma Uteri

A. FOLLOW UP
Tanggal : 30 April 2019

S : Nyeri diluka operasi, Pusing (+)

O : Sensorium : CM

TD : 100/70 mmHg

HR : 86 x/i

RR : 24 x/i

Temp : 37.20 C

SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)

P/V : (-)

28
L/O : Tertutupverban

BAK : (+) Via Kateter

BAB : (-)

Flatus : (-)
A : Post TAH a/i Mioma Uteri
P :
 IVFD RL 20 gtt/menit
 Inj. Ceftriaxon 1gr/ 12 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/ 8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

Tanggal : 1 Mei 2019


S : Nyeri diluka operasi, Pusing (-)

O : Sensorium : CM

TD : 100/80 mmHg

HR : 78 x/i

RR : 24 x/i

Temp : 36.8 C

SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)

P/V : (-)

L/O : Tertutup verban

BAK : (+) Via Kateter

BAB : (-)

Flatus : (-)

A : Post TAH a/i Mioma Uteri


P :
 IVFD RL 20 gtt/menit

29
 Inj. Ceftriaxon 1gr / 12 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam

Tanggal 2 Mei 2019


S : Nyeri diluka operasi berkurang,

O : Sensorium : CM

TD : 110/70 mmHg

HR : 72 x/i

RR : 24 x/i

Temp : 37. C

SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)

P/V : (-)

L/O : Tertutup verban

BAK : (+) Via Kateter

BAB : (-)

Flatus : (-)

A : Post TAH a/i Mioma Uteri


P :
 IVFD RL 20 gtt/menit
 Inj. Ceftriaxon 1gr / 12 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam

Tanggal 3 Mei 2019


S :-
O : Sensorium : CM

TD : 120/80 mmHg
30
HR : 76 x/i

RR : 22 x/i

Temp : 36,5. C

SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)

P/V : (-)

L/O : Tertutup verban

BAK : (+) Via Kateter

BAB : (-)

Flatus : (-)
A : Post TAH a/i Mioma Uteri
P :
 IVFD RL 20 gtt/menit
 Inj. Ceftriaxon 1gr / 12 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
Tanggal 4 Mei 2019
S :-

O : Sensorium : CM

TD : 120/80 mmHg

HR : 78 x/i

RR : 20 x/i

Temp : 36,5. C

SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+)

P/V : (-)

L/O : Tertutup verban

BAK : (+) Via Kateter

31
BAB : (-)

Flatus : (-)

A : Post TAH a/i mioma uteri

P :

 IVFD RL 20 gtt/menit
 Inj. Ceftriaxon 1gr / 12 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam

R : - Aff Infus

- Aff Kateter

- PBJ

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F.G., 2012. Obstetri Williams. Cetakan 23, Jakarta: EGC

Irwanto EG. 2009. Diagnosis Prolaps Organ Pelvis yang berkunjung ke Poliklinik
Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang, PIT

Junizaf. 2012. Prolapsus Alat Genitalia. Dalam : Junizaf. Ed. Buku Ajar
Ginekologi

Sarwono. 2013. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawihardjo

32

Anda mungkin juga menyukai