1.1 Definisi
Inversio uterus adalah suatu kondisi ketika rahim terbalik sebagian atau seluruhnya.
Pembalikan rahim dapat menyebabkan kematian. Syok hipovolemik, serta syok neurogenik,
dapat terjadi, dengan komplikasi hipotensi berat, bradikardia, dan henti jantung yang dimulai
dalam waktu singkat dan harus segera diobati. Kejadian inversio dapat terjadi paska persalinan
atau disebut inversio uteri obstetri, maupun bukan paska persalinan yang lebih dikenal dengan
inversio uteri ginekologi, akibat proses primer di uterus seperti fibroid, sarkoma dan kanker
endometrium. (Kurniawati, E., 2022).
1.2 Epidemiologi
Frekuensi inversi uterus yang dilaporkan dalam literatur sangat bervariasi, 1/100.000 di Europa
dan 1/2000 di Amerika Serikat. Variabilitas frekuensi dapat dijelaskan oleh keanehan patologi
ini. Di Pantai Gading, tidak ada data tentang patologi ini. Dua kondisi yang diperlukan untuk
terjadinya inversi uterus: hipotonia uteri dan dilatasi serviks yang cukup. Inversi uterus nifas
(IUP) yang berasal dari obstetrik pada 85% hingga 95% kasus, berkomitmen mengancam jiwa
ibu dan membutuhkan dukungan cepat. Dijelaskan 4 tahap anatomi peningkatan keparahan.
Patofisiologi IUP masih belum dipahami. Dalam literatur disebutkan beberapa teori: dinding
rahim yang tipis, lokasi tumor pada substansi rahim, tumor pedikel, dilatasi serviks oleh distensi
rongga rahim dan pengusiran mendadak dari tumor vagina. Dalam pengamatan kami, dasar
implantasi tumor itu lebar dan terletak di bagian bawah rahim. Seperti etiologi, Das menemukan
87% fibroid, 7% sarkoma, dan 6% karsinoma. Dua klasifikasi telah diusulkan untuk IUP: parsial
atau lengkap dan akut atau kronis tergantung pada mode kejadian. (Adjobye et al, 2018).
1.4 Patofisiologi
Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :
1. Suatu bagian dinding uterus prolaps melalui serviks yang terbuka, atau melipat ke depan
2. Relaksasi sebagian dinding uterus
3. Tarikan simultan ke arah bawah dari fundus uteri Secara klinis
Faktor penting yang mempermudah terjadinya inversio uteri adalah implantasi plasenta di
fundus, kelemahan miometrium di sekitar tempat implantasi dan adanya serviks postpartum
yang terbuka. Pada kasus tertentu, tali pusat yang pendek atau kesalahan penanganan kala III
dengan penarikan tali pusat tidak terkendali mempermudah terjadinya inversio uteri. Bahkan
inversio uteri pada seksio sesarea dapat terjadi setelah pemberian tokolitik kuat, seperti
nitroglycerin. Pada sebagian besar kasus adanya kelemahan miometrium bagian fundus uteri
merupakan faktor penting. Jika uterus tetap lembek, segera setelah persalinan ditambah
dengan implantasi plasenta di fundus, terjadinya lekukan fundus mudah terjadi. Dengan
mekanisme yang unik, kelemahan miometrium ini 7 (ditambah dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali) menyebabkan fundus melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta yang masih
melekat. Hal ini menyebabkan terjadinya inversio uteri
Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan pentingnya tonus uteri
segera setelah kelahiran bayi sebagai penyebab inversio uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya
penurunan kejadian inversio uteri setelah penerapan manajemen aktif kala III. Perbedaan
penting manajemen aktif kala III dibandingkan proses persalinan normal adalah pemberian
oksitosin segera setelah kelahiran bayi, sebelum tampak tanda-tanda pelepasan plasenta.
Penggunaan oksitosin, sepertinya menjaga tonus miometrium dan efek inilah yang mungkin
menurunkan kejadian inversio uteri (Grady JP, 2011)
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi Inversio Uteri
Berdasarkan waktu terjadinya inversio uteri:
1. Inversio Akut inversi terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan
2. Inversio subakut antara 24 jam dan 4 minggu setelah melahirkan
3. Inversio kronis, inversi uterus muncul setelah 4 minggu persalinan atau dalam
4. keadaan tidak hamil. (Dwivedi S, 2013).
Klasifikasi Inversio uteri berdasarkan derajat inversinya : (Li F, 2022)
1. Inversi derajat pertama terjadi ketika korpus atau dinding rahim meluas ke serviks tetapi
tidak menonjol di luar cincin serviks.
2. Pada inversi derajat dua, korpus melewati cincin serviks tetapi tidak mencapai perineum
atau fundus uteri terbalik melalui lubang vulva
3. Pada inversi derajat ketiga, fundus meluas ke perineum, atau fundus uteri menonjol
keluar lubang vagina
4. Inversio deerajat empat, jika vagina terbalik bersama dengan rahim melewati perineum,
rahim benar-benar terbalik dan keluar dari vulva melalui vagina.
1.6 Diagnosis
Diagnosis inversio uteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, kecuali pada kasus
inversio kronis yang sangat jarang, mungkin diperlukan pemeriksaan penujang tambahan
seperti ultrasonografi, CT scan maupun MRI. (Bhalla, dkk. 2009)
Tanda utama inversio uteri akut adalah perdarahan (65-94%) dan komplikasi yang tersering
adalah syok (40%). Harus dipahami bahwa pada fase awal, syok yang terjadi bersifat
neurogenik yang ditandai dengan bradikardia dan hipotensi, namun sejalan dengan berjalannya
waktu, akan terjadi perdarahan postpartum yang menyebabkan syok hipovolemik. Pada inversio
uteri subakut, keluhan yang ditemukan berupa lochia yang banyak dan lama atau leukorhea,
retensio urin dan konstipasi. Pada kasus kronis, biasanya tidak berkaitan dengan kehamilan,
gejala klinisnya tidak khas, berupa perdarahan uterus abnormal, disuria, nyeri pelvis, leukorea
dan perdarahan paska koitus yang berulang. (Alias, 2011)
Dari pemeriksaan fisik tidak teraba fundus uteri dari pemeriksaan abdominal, ditemukan massa
di dalam vagina yang sebenarnya adalah fundus uteri dan tidak teraba serviks uteri. Pada 60-
70% kasus, plasenta masih melekat pada uterus. (Grady JP, 2011)
Syok neurogenik pada inversio uteri akut terjadi akibat stimulasi vagal (reflek parasimpastis)
akibat penarikan ligamentum penyangga uterus maupun akibat penekanan ovarium yang
masuk ke dalam uterus yang terinversi sehingga dapat disertai bradikardia.
Diagnosa banding inversio uteri akut adalah :
1. Prolaps tumor uterus atau polip serviks yang besar
2. Kelahiran bayi kembar kedua yang tidak diprediksi sebelumnya, lobus
suksenturiata
3. Penyakit trofoblas gestasional
4. Laserasi jalan lahir dengan atonia uteri
5. Atonia uteri
6. Ruptur Uteri
Untuk membedakan atonia uteri dengan inversio uteri partial, kadang sulit, terutama bila pasien
datang dalam keadaan syok hemoragik. Dalam hal ini, pemeriksaan penunjang seperti
ultrasonografi, CT scan bahkan MRI akan sangat membantu.
1.7 Manajemen Tatalaksana
Prinsip umum penanganan inversio uteri akut ada dua yaitu reposisi uterus dan penanganan
syok. Keberhasilan reposisi inversio uteri sangat tergantung pada kecepatan deteksi dini.
Semakin lama uterus terinversi akan semakin sulit melakukan reposisi. Penanganan
hipovolemia dilakukan dengan pemasangan jalur intravena dengan jarum besar (ukuran 18
gauge atau yang lebih besar) dan penggantian cairan, sedangkan cara untuk menangani syok
neurogenik adalah dengan reposisi uterus (Bhalla et al., 2009). Penggantian volume darah
dilakukan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali jumlah perdarahan. Pemeriksaan darah
lengkap dan waktu pembekuan harus dilakukan dan persediaan darah untuk transfusi harus
ada. Tanda vital pasien harus dipantau secara ketat dan kateter urin harus terpasang untuk
memonitor produksi urin. Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi uterus melalui vagina
harus segera dilakukan. Para peneliti menganjurkan dilakukan dahulu reposisi uterus secara
manual, sebelum dilakukan usaha untuk melepaskan plasenta dan reposisi secara operatif. Jika
plasenta dilepaskan sebelum reposisi uterus, risiko penderita untuk kehilangan darah dan syok
akan sangat tinggi. Setelah reposisi, biasanya plasenta akan dengan mudah terlepas (Yeomans
et al., 2017).
Gambar 2. Penanganan inversion uteri akut (Bhalla et al., 2009).
Secara singkat, alur penanganan inversio uteri akut digambarkan pada gambar 1.
Tatalaksana Tambahan
a. Penanganan plasenta. Pada kasus dimana plasenta masih melekat, inversi harus
direposisi sebelum melepaskan plasenta, untuk mengurangi jumlah darah yang hilang
(Achanna, Mohamed and Krishnan, 2006). Setelah reposisi berhasil, cara paling aman
adalah menunggu hingga plasenta terlepas sendiri. Selain itu, dapat dilakukan manual
plasenta, namun pastikan bahwa pasien mendapatkan analgetik yang cukup dan
hemodinamik stabil. Manual plasenta harus dilakukan di ruang operasi sehingga
intervensi bedah dapat segera dilakukan bila terjadi komplikasi. Tangan dimasukkan ke
dalam vagina, melalui serviks kemudian masuk ke dalam cavum uteri. Operator
kemudian mencoba memisahkan plasenta dengan dinding uterus. Jika hal ini tidak
dapat dilakukan dengan mudah, atau perdarahan makin banyak, usaha berikutnya
adalah dengan kuretase (sponge-stick curettage) atau suction curettage. Jika plasenta
masih melekat, harus dipertimbangkan kemungkinan plasenta akreta. Eksplorasi kavum
uterus harus dilakukan untuk menilai perforasi uterus atau plasenta adhesiva.
Kemudian, evaluasi laserasi vagina. Setelah reposisi, berikan uterotonika secara optimal
(Rao, 2011). Penggunaan antibiotika profilaksis diharuskan oleh beberapa peneliti,
sebelum prosedur reposisi uterus (DeCherney and Laufer, 1984).
b. Pemberian uterotonik paska reposisi inversio uteri. Setelah reposisi uterus berhasil,
harus diberikan uterotonik selama minimal 24 jam setelah reposisi, agar tidak terjadi
inversio uteri berulang. Uterotonik yang dapat dipergunakan antara lain (Bhalla et al.,
2009)
1. Methyl ergonovine maleat (Methergine) 0,2 mg IM setiap 30 menit, dapat diulang 3
kali.
2. Oksitosin 40-60 IU/L dalam cairan isotonik (seperti Ringer Laktat) diberikan IV dalam
tetes kontinyu.
3. Prostaglandin 15-methyl F2 alpha (Carboprost tromethamine, Hemabate) 0,25mg
IM, dapat diulang setiap 30 menit sebanyak 3 kali.
4. Misoprostol 0,4 mg per oral atau SL setiap 2 jam, atau 0,8-1,0 mg per rektal dosis
tunggal.
3. Iatrogenik
Riwayat operasi panggul, trauma panggul
5. Lain nya
Riwayat keluarga dengan POP
Peningkatan IMT
Kadar estrogen yang rendah
Inversi uteri adalah komplikasi obstetrik di mana fundus uteri kolaps ke dalam rongga
endometrium
FAKTOR RISIKO
Etiologi inversi uterus tidak dipahami dengan baik, dan pada 50% kasus, tidak ada faktor
pencetus yang dapat diidentifikasi.7Namun, beberapa faktor telah diusulkan yang dapat
meningkatkan risiko inversi; plasenta akreta, tali pusat pendek, kelemahan bawaan dinding
rahim atau serviks, melemahnya dinding rahim di tempat implantasi plasenta, implantasi fundus
plasenta, tumor rahim, atonia uteri, pengosongan rahim mendadak, makrosomia janin,
pengangkatan manual plasenta, tekanan fundus yang tidak tepat, traksi tali pusat yang
berlebihan, dan penggunaan agen uterotonika sebelum pelepasan plasenta semuanya telah
dikaitkan dengan inversi uterus.
Gambaran paling umum dari inversi adalah perdarahan postpartum, syok hipovolemik, dan
nyeri abdominopelvis. (Wendel et al, 2018)
Daftar Pustaka