Anda di halaman 1dari 15

INVERSIO UTERI

1.1 Definisi
Inversio uterus adalah suatu kondisi ketika rahim terbalik sebagian atau seluruhnya.
Pembalikan rahim dapat menyebabkan kematian. Syok hipovolemik, serta syok neurogenik,
dapat terjadi, dengan komplikasi hipotensi berat, bradikardia, dan henti jantung yang dimulai
dalam waktu singkat dan harus segera diobati. Kejadian inversio dapat terjadi paska persalinan
atau disebut inversio uteri obstetri, maupun bukan paska persalinan yang lebih dikenal dengan
inversio uteri ginekologi, akibat proses primer di uterus seperti fibroid, sarkoma dan kanker
endometrium. (Kurniawati, E., 2022).

1.2 Epidemiologi
Frekuensi inversi uterus yang dilaporkan dalam literatur sangat bervariasi, 1/100.000 di Europa
dan 1/2000 di Amerika Serikat. Variabilitas frekuensi dapat dijelaskan oleh keanehan patologi
ini. Di Pantai Gading, tidak ada data tentang patologi ini. Dua kondisi yang diperlukan untuk
terjadinya inversi uterus: hipotonia uteri dan dilatasi serviks yang cukup. Inversi uterus nifas
(IUP) yang berasal dari obstetrik pada 85% hingga 95% kasus, berkomitmen mengancam jiwa
ibu dan membutuhkan dukungan cepat. Dijelaskan 4 tahap anatomi peningkatan keparahan.
Patofisiologi IUP masih belum dipahami. Dalam literatur disebutkan beberapa teori: dinding
rahim yang tipis, lokasi tumor pada substansi rahim, tumor pedikel, dilatasi serviks oleh distensi
rongga rahim dan pengusiran mendadak dari tumor vagina. Dalam pengamatan kami, dasar
implantasi tumor itu lebar dan terletak di bagian bawah rahim. Seperti etiologi, Das menemukan
87% fibroid, 7% sarkoma, dan 6% karsinoma. Dua klasifikasi telah diusulkan untuk IUP: parsial
atau lengkap dan akut atau kronis tergantung pada mode kejadian. (Adjobye et al, 2018).

1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Insiden prolaps uteri pada wanita kulit putih dan Hispanik lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita keturunan Afrika dan Asia, sedangkan wanita kulit putih Amerika menjalani operasi untuk
prolaps pada tingkat 3 kali lebih tinggi dibandingkan wanita AfroAmerika. Hal ini dapat
dijelaskan oleh perbedaan genetik/ras dalam struktur panggul, seperti kekuatan otot penyangga
panggul dan jaringan ikat, dan mungkin juga bergantung pada respons perkembangan jaringan
fibrosa setelah cedera jaringan. Predisposisi genetik juga didukung oleh peningkatan risiko
prolaps di antara anggota keluarga, terjadi sama seringnya pada kembar identik dengan kondisi
stres yang sama. Bukti kontribusi varian genetik terhadap POP telah dikonfirmasi dalam studi
asosiasi gen. Secara khusus, analisis studi retrospektif mengidentifikasi enam polimorfisme
nukleotida tunggal pada wanita dengan riwayat keluarga yang kuat dari gangguan dasar
panggul sebagai faktor risiko yang relevan. Penelitian lain menemukan hubungan dengan
kelainan dasar panggul dan gen predisposisi pada kromosom 9q21 pada wanita dengan gen
penyandi protein kolagen tipe III (COL3A12209G).4A rs1800255), polimorfisme reseptor
progesteron (PGRrs484389 genotipe CT), matriks metalloproteinase-9 rs17576 genotipe AG,
matriks metaloproteinase-9 rs17576 genotipe GG, kolagen tipe I dan matriks metaloproteinase
1, 3 dan 9 polimorfisme gen dan polimorfisme gen reseptor estrogen alfa. Polimorfisme
nukleotida tunggal baru (NT-010194(LOXL1):g.45008784A4C) terletak di promotor gen LOX-1,
meskipun penting untuk sintesis elastin, namun tidak berkontribusi secara signifikan untuk
menurunkan risiko POP. Multiparitas, persalinan pervaginam, usia dan BMI ditemukan sebagai
faktor risiko umum untuk prolaps, sedangkan persalinan pervaginam adalah faktor predisposisi
yang paling sering untuk perkembangan selanjutnya dari POP dan inkontinensia stres di
kemudian hari wanita yang lebih muda dari 60 tahun. Perkiraan berdasarkan studi populasi di
Amerika Utara telah menunjukkan bahwa 50% dari wanita multipara mengembangkan bentuk
ringan dari prolaps genital, sementara wanita nulipara hanya 2% dari kasus prolaps. Namun,
data epidemiologi dan klinis tidak menemukan hubungan antara denervasi dasar panggul pada
wanita dengan prolaps dan riwayat obstetrik mereka. Menurut Studi Dukungan Organ Panggul
(POSST), setiap persalinan pervaginam meningkatkan risiko prolaps 1,2 kali lipat. Risiko relatif
mengembangkan prolaps uteri telah terungkap sebagai 2,48, 95% CI (0,69-9,38) pada wanita
yang melahirkan satu anak, sedangkan pada wanita yang melahirkan dua, tiga atau lebih anak,
risiko relatif mengembangkan prolaps uteri telah terbukti 4,58 95% CI (1,64-13,77), 8,4 95% CI
(2,84-26,44) dan 11,75 95% CI (3,84-38,48), masing-masing, dibandingkan dengan nulipara.
Dengan demikian, persalinan pervaginam dari empat anak atau lebih dikaitkan dengan tingkat
inkontinensia urin atau prolaps genital 11,7 kali lipat dibandingkan dengan nulipara. Penelitian
telah menunjukkan bahwa persalinan pervaginam meningkatkan risiko perkembangan prolaps
berikutnya, sedangkan pada wanita yang menjalani operasi caesar elektif tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam prevalensi gangguan dasar panggul
dibandingkan dengan nulipara. Prevalensi POP pada populasi umum relatif meningkat sekitar
40% dengan setiap dekade tambahan kehidupan, sementara data tambahan mengidentifikasi
korelasi yang kuat antara usia dan BMI dan perkembangan POP pada saat melahirkan.
Menurut penelitian lain, penyakit paru kronis menciptakan tekanan intra-abdomen yang lebih
besar secara konstan yang membuat wanita rentan terhadap prolaps genital. Faktor etiologi
yang berkontribusi terhadap perkembangan prolaps uteri dirangkum dalam. Sama halnya
dengan kegagalan fungsional dan organik yang diinduksi trauma pada otot levator ani,
metabolisme kolagen patologis, seperti peningkatan sintesis dan deposisi kolagen tipe III serta
kolagenosis yang ditentukan secara genetik (Sindrom Ehlers-Danlos, Marfan), berdampak pada
risiko POP. Tujuh puluh persen kolagen di serviks rahim manusia terdiri dari kolagen tipe I dan
30% kolagen tipe III. Dengan bertambahnya usia kehamilan, aktivitas kolagenolitik meningkat
dan melemahkan jaringan ikat yang pada gilirannya mendukung persalinan prematur dan
prolaps genital berikutnya. Faktanya, wanita hamil dengan sindrom Ehlers-Danlos atau Marfan
memiliki peningkatan risiko prolaps uteri, ketuban pecah dini, dan perdarahan pascapersalinan
yang parah(Tsikouras, 2013).

Tabel 1. Etiologi Inversio Uteri

1.4 Patofisiologi
Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :
1. Suatu bagian dinding uterus prolaps melalui serviks yang terbuka, atau melipat ke depan
2. Relaksasi sebagian dinding uterus
3. Tarikan simultan ke arah bawah dari fundus uteri Secara klinis
Faktor penting yang mempermudah terjadinya inversio uteri adalah implantasi plasenta di
fundus, kelemahan miometrium di sekitar tempat implantasi dan adanya serviks postpartum
yang terbuka. Pada kasus tertentu, tali pusat yang pendek atau kesalahan penanganan kala III
dengan penarikan tali pusat tidak terkendali mempermudah terjadinya inversio uteri. Bahkan
inversio uteri pada seksio sesarea dapat terjadi setelah pemberian tokolitik kuat, seperti
nitroglycerin. Pada sebagian besar kasus adanya kelemahan miometrium bagian fundus uteri
merupakan faktor penting. Jika uterus tetap lembek, segera setelah persalinan ditambah
dengan implantasi plasenta di fundus, terjadinya lekukan fundus mudah terjadi. Dengan
mekanisme yang unik, kelemahan miometrium ini 7 (ditambah dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali) menyebabkan fundus melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta yang masih
melekat. Hal ini menyebabkan terjadinya inversio uteri
Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan pentingnya tonus uteri
segera setelah kelahiran bayi sebagai penyebab inversio uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya
penurunan kejadian inversio uteri setelah penerapan manajemen aktif kala III. Perbedaan
penting manajemen aktif kala III dibandingkan proses persalinan normal adalah pemberian
oksitosin segera setelah kelahiran bayi, sebelum tampak tanda-tanda pelepasan plasenta.
Penggunaan oksitosin, sepertinya menjaga tonus miometrium dan efek inilah yang mungkin
menurunkan kejadian inversio uteri (Grady JP, 2011)

1.5 Klasifikasi
Klasifikasi Inversio Uteri
Berdasarkan waktu terjadinya inversio uteri:
1. Inversio Akut inversi terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan
2. Inversio subakut antara 24 jam dan 4 minggu setelah melahirkan
3. Inversio kronis, inversi uterus muncul setelah 4 minggu persalinan atau dalam
4. keadaan tidak hamil. (Dwivedi S, 2013).
Klasifikasi Inversio uteri berdasarkan derajat inversinya : (Li F, 2022)
1. Inversi derajat pertama terjadi ketika korpus atau dinding rahim meluas ke serviks tetapi
tidak menonjol di luar cincin serviks.
2. Pada inversi derajat dua, korpus melewati cincin serviks tetapi tidak mencapai perineum
atau fundus uteri terbalik melalui lubang vulva
3. Pada inversi derajat ketiga, fundus meluas ke perineum, atau fundus uteri menonjol
keluar lubang vagina
4. Inversio deerajat empat, jika vagina terbalik bersama dengan rahim melewati perineum,
rahim benar-benar terbalik dan keluar dari vulva melalui vagina.

Gambar 1. Derajat Inversio Uteri (Michael P. 2018)

1.6 Diagnosis
Diagnosis inversio uteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, kecuali pada kasus
inversio kronis yang sangat jarang, mungkin diperlukan pemeriksaan penujang tambahan
seperti ultrasonografi, CT scan maupun MRI. (Bhalla, dkk. 2009)
Tanda utama inversio uteri akut adalah perdarahan (65-94%) dan komplikasi yang tersering

adalah syok (40%). Harus dipahami bahwa pada fase awal, syok yang terjadi bersifat
neurogenik yang ditandai dengan bradikardia dan hipotensi, namun sejalan dengan berjalannya

waktu, akan terjadi perdarahan postpartum yang menyebabkan syok hipovolemik. Pada inversio
uteri subakut, keluhan yang ditemukan berupa lochia yang banyak dan lama atau leukorhea,

retensio urin dan konstipasi. Pada kasus kronis, biasanya tidak berkaitan dengan kehamilan,

gejala klinisnya tidak khas, berupa perdarahan uterus abnormal, disuria, nyeri pelvis, leukorea
dan perdarahan paska koitus yang berulang. (Alias, 2011)
Dari pemeriksaan fisik tidak teraba fundus uteri dari pemeriksaan abdominal, ditemukan massa

di dalam vagina yang sebenarnya adalah fundus uteri dan tidak teraba serviks uteri. Pada 60-
70% kasus, plasenta masih melekat pada uterus. (Grady JP, 2011)
Syok neurogenik pada inversio uteri akut terjadi akibat stimulasi vagal (reflek parasimpastis)
akibat penarikan ligamentum penyangga uterus maupun akibat penekanan ovarium yang
masuk ke dalam uterus yang terinversi sehingga dapat disertai bradikardia.
Diagnosa banding inversio uteri akut adalah :
1. Prolaps tumor uterus atau polip serviks yang besar
2. Kelahiran bayi kembar kedua yang tidak diprediksi sebelumnya, lobus
suksenturiata
3. Penyakit trofoblas gestasional
4. Laserasi jalan lahir dengan atonia uteri
5. Atonia uteri
6. Ruptur Uteri
Untuk membedakan atonia uteri dengan inversio uteri partial, kadang sulit, terutama bila pasien
datang dalam keadaan syok hemoragik. Dalam hal ini, pemeriksaan penunjang seperti
ultrasonografi, CT scan bahkan MRI akan sangat membantu.
1.7 Manajemen Tatalaksana
Prinsip umum penanganan inversio uteri akut ada dua yaitu reposisi uterus dan penanganan
syok. Keberhasilan reposisi inversio uteri sangat tergantung pada kecepatan deteksi dini.
Semakin lama uterus terinversi akan semakin sulit melakukan reposisi. Penanganan
hipovolemia dilakukan dengan pemasangan jalur intravena dengan jarum besar (ukuran 18
gauge atau yang lebih besar) dan penggantian cairan, sedangkan cara untuk menangani syok
neurogenik adalah dengan reposisi uterus (Bhalla et al., 2009). Penggantian volume darah
dilakukan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali jumlah perdarahan. Pemeriksaan darah
lengkap dan waktu pembekuan harus dilakukan dan persediaan darah untuk transfusi harus
ada. Tanda vital pasien harus dipantau secara ketat dan kateter urin harus terpasang untuk
memonitor produksi urin. Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi uterus melalui vagina
harus segera dilakukan. Para peneliti menganjurkan dilakukan dahulu reposisi uterus secara
manual, sebelum dilakukan usaha untuk melepaskan plasenta dan reposisi secara operatif. Jika
plasenta dilepaskan sebelum reposisi uterus, risiko penderita untuk kehilangan darah dan syok
akan sangat tinggi. Setelah reposisi, biasanya plasenta akan dengan mudah terlepas (Yeomans
et al., 2017).
Gambar 2. Penanganan inversion uteri akut (Bhalla et al., 2009).

Secara singkat, alur penanganan inversio uteri akut digambarkan pada gambar 1.

Penanganan inversio uteri non-bedah


Terdapat beberapa teknik non-bedah untuk reposisi inversio uteri, antara lain: manuver
Johnson, manuver Henderson dan Alles, penggunaan tokolitik, dan reposisi dengan tekanan
hidrostatik. Selain itu juga penggunaan repositor yang saat ini sudah ditinggalkan.
a. Manuver Johnson atau reposisi manual. Manuver ini menjadi sangat populer untuk
reposisi inversio uteri secara manual. Prinsip manuver ini adalah uterus didorong ke
dalam cavum abdomen hingga di atas umbilikus agar terjadi reposisi. Menurut Johnson,
manuver ini dilakukan dengan memasukkan seluruh tangan hingga dua per tiga lengan
bawah ke dalam vagina (Bhalla et al., 2009). Bagian uterus yang keluar terakhir, harus
terlebih dulu dimasukkan. Dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan
ujungujung jari diletakkan pada utero-servikal junction, fundus uteri didorong hingga di
atas umbilikus. Diperlukan tekanan jari- jari secara konstan selama beberapa menit
(minimal 5 menit) (Rao, 2011). Hal ini akan menegangkan ligamentum uterus, dan
akibatnya cincin servikalis akan relaks dan melebar, sehingga mempermudah
pergerakan fundus melalui cincin tersebut. Sehingga inversio uteri terkoreksi. Jika
reposisi dilakukan sebelum terbentuknya cincin servikalis, prosedur ini relatif mudah
dilakukan (Bhalla et al., 2009).
b. Penggunaan tokolitik. Dengan adanya cincin konstriksi, reposisi inversio uteri akan
sangat sulit. Tokolitik berperan untuk merelaksasikan uterus, sebelum reposisi manual
maupun sebelum penggunaan tekanan hidrostatik(Bhalla et al., 2009). Beberapa
tokolitik yang sering dipakai adalah:
1. Nitroglycerin
Dosis awal 150-200 mcg IV, selanjutnya bila relaksasi uterus belum cukup, dapat
ditambahkan 100-150mcg IV selang beberapa menit hingga tercapai efek yang
diinginkan atau hingga tercapai dosis maksimal 500 mcg. Onset relaksasi uterus
dicapai dalam 90 detik setelah pemberian sublingual (SL). Keunggulan penggunaan
nitroglycerin: menimbulkan relaksasi uterus sesaat (Yeomans et al., 2017).
2. Terbutaline
Dosis yang digunakan adalah 0,125- 0,25mg terbutaline intravena (IV) atau subkutan
(SC). Angka keberhasilan sebesar 88,9% (Yeomans et al., 2017). Onset timbul
relaksasi uterus adalah 2 menit (Bhalla et al., 2009). Abouleish dkk
merekomendasikan terbutaline sebagai lini utama, karena onset cepat, waktu paruh
pendek, mudah digunakan, tersedia di ruang pesalinan, dan lebih dikenal di
kalangan ahli kebidanan (Abouleish et al., 1995).
3. Magnesium Sulfat (MgSO4)
Dosis yang digunakan adalah 2-6 gram bolus MgSO4 IV dalam 5-20 menit. Onset
timbulnya relaksasi 10 menit (Bhalla et al., 2009).
4. Amyl Nitrate
Amyl nitrate diberikan dengan membuka ampul dan dihirup melalui pernapasan
(Yeomans et al., 2017).
5. Ritrodine
Dosis yang direkomendasikan adalah 0,15mg ritrodine IV.3
6. General anesthesi
Keunggulan penggunaan general anestesia adalah selain sebagai penghilang nyeri,
juga menimbulkan relaksasi uterus. Dahulu, penggunaan halothane dengan
konsentrasi 2% atau lebih direkomendasikan. Namun dengan tersedianya obat-obat
anestesi yang lebih aman dan risiko terjadinya hipotensi berat akibat penggunaan
halothane, kini penggunaannya sudah tidak direkomendasikan lagi (Bhalla et al.,
2009).
c. Reposisi dengan tekanan hidrostatik. Penggunaan tekanan hidrostatik untuk reposisi
uterus pertama kali diperkenalkan oleh O’Sullivan pada tahun 1945. Kemudian, teknik ini
dimodifikasi oleh Ogueh dan Ayida dengan penggunaan mangkok silastik alat vakum
(Rao, 2011). World health Organization merekomendasikan bahwa bila dengan reposisi
manual tidak berhasil, metode hidrostatik harus dicoba (Bhalla et al., 2009;
“Contraception: discontinuation and switching in developing countries,” 2012). Sebelum
mencoba metode ini, harus dipastikan tidak terjadi ruptur uteri. Prosedur dilakukan di
kamar operasi dalam posisi litotomi maupun reverse Trendelenburg. (Beringer and
Patteril, 2004; Wendel, Shnaekel and Magann, 2018). Cairan saline hangat dialirkan ke
dalam introitus vagina (2 hingga 10 liter), dari posisi yang 100-200 cm lebih tinggi dari
vagina kemudian introitus vulva ditutup oleh tangan dokter atau dihubungkan dengan
mangkuk vakum silastik untuk menahan cairan di vagina dan menciptakan tekanan
hidrostatik (Tan and Luddin, 2005). Tekanan ini akan mendorong fundus yang terinversi
kembali ke posisi anatomis. Tekanan dipertahankan selama 30 menit. Dalam metode ini
diperlukan cairan saline dalam jumlah yang cukup banyak dan harus dihitung jumlah
cairan yang dimasukkan dan yang keluar dari introitus vagina (Rao, 2011).
Penanganan inversio uteri melalui pembedahan
Prosedur pembedahan untuk reposisi inversio uteri dapat dilakukan melalui vagina maupun
abdominal, dari cara laparotomi hingga penggunaan laparoskopi (Rao, 2011).
a. Prosedur pembedahan B-Lynch. Prosedur ini dipublikasikan pertama kali pada tahun
2005 oleh B-Lynch. Laparotomi dengan insisi midline, kemudian setelah menembus
peritoneum, usus dilindungi dan dijauhkan dari uterus. Operator meletakkan tangannya
di bagian anterior dan posterior segmen bawah uterus, dengan ujung jari berada
diantara dan dibawah fundus uteri yang terinversi. Dengan penekanan kuat pada ujung
jari kedua tangan yang mendorong ke atas secara simultan, lekukan interna akan
bergeser secara progresif sejalan dengan kembalinya fundus uteri (Evan dan Lynch,
2006).
b. Prosedur pembedahan Huntington. Prosedur Huntington pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1921. Pertama dilakukan general anestesia dalam dengan obat yang
membuat uterus rileks. Insisi kulit dilakukan secara midline atau pfanensteil. Pada
inversio uteri, adneksa (ovarium, tuba fallopii, ligamentum rotundum) pada umumnya
tertarik ke dalam fundus uteri yang terinversi. Dengan menggunakan klem Allis atau
Babcock, kedua ligamentum rotundum yang masuk ke dalam inversio uteri diklem
sedalam 2 cm dari lekukan inversion (Gemer, Anteby and Lavie, 2008). Kemudian
secara lembut dilakukan tarikan berlawanan arah dengan inversi fundus. Klem dan
tarikan dilakukan berulang-ulang hingga inversio terkoreksi (Rao, 2011). Bila mengalami
kesulitan dalam reposisi, dapat dibuat jahitan figure of eight dengan benang vicryl atau
chromic 1.0 pada bagian tengah fundus, jika bagian ini masih terlihat. Bila
memungkinkan, operator kedua dengan tangan di vagina, memberikan dorongan ke
atas pada fundus, sehingga membantu prosedur reposisi. Varian dari prosedur ini
adalah dengan memasang vakum pada fundus yang terinversi (Antonelli et al., 2006;
Rao, 2011). Prosedur ini merupakan modifikasi oleh Antonelli dkk (Antonelli et al., 2006).
mangkok silastik vakum dipasang pada fundus uteri yang terinversi melalui abdomen,
kemudian sambungkan dengan selang suction sehingga terbentuk tekanan negatif.
Tarikan dilakukan secara perlahan dan lembut hingga reposisi uterus berhasil.
Keuntungan dari tehnik ini adalah menghindari perlu dilakukannya insisi uterus dan
memudahkan tarikan pada fundus, daripada menarik ligamentum rotundum yang
memiliki tendensi robek. Mangkok silastik bersifat lunak, sehingga mudah melewati
cincin konstriksi, untuk dipasang pada fundus uteri yang terinversi (Antonelli et al.,
2006).
c. Prosedur pembedahan Haultain. Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Haultain
pada tahun 1901. Pada tehnik operasi ini, dilakukan insisi cincin serviks secara
longitudinal pada bagian posterior uterus, sekitar 4-6 cm (Oboro, Akinola and Apantaku,
2006). Langkah berikutnya sama dengan metode Huntington, dilakukan tarikan ke atas
pada ligamentum rotundum hingga uterus berhasil dilakukan reposisi. Kemudian seluruh
bekas insisi di serviks, uterus dan vagina dijahit dengan jahitan interuptus, lapis demi
lapis (2- 3 lapis). Kemudian diberikan uterotonik untuk membuat uterus berkontraksi
(Bhalla et al., 2009).
d. Prosedur pembedahan Spinelli. Prosedur Spinelli merupakan prosedur pembedahan
transvagina. Menurut prosedur ini, pertama dilakukan kolpotomi dinding vagina anterior,
kemudian dilakukan insisi serviks, diikuti dengan insisi segmen bawah uterus. Uterus
kemudian disisihkan dengan penekanan ke atas dan bekas insisi dijahit lapis demi lapis.
Setelah puncak vagina anterior dibuka melalui insisi transversal dan kemudian dengan
diseksi secara tumpul untuk memisahkan jaringan hingga perbatasan peritoneum,
kemudian bibir serviks anterior dan segmen bawah uterus dipotong (Bayer-Zwirello,
2008). Usaha untuk reposisi uterus harus dicoba, sebelum tindakan berikutnya. Hal ini
dapat dilakukan dengan mulai memberikan tekanan ke atas melawan korpus uteri yang
terinversi, pada sudut atas insisi serviks dan segmen bawah uterus. Jika usaha ini gagal
setelah menggunakan tenaga yang adekuat selama beberapa waktu, usaha berikutnya,
cavum peritoneum harus dibuka dan insisi diperpanjang hingga korpus uteri, dengan
cara membalik arah gunting: namun setiap kali dilakukan perpanjangan insisi, harus
dilakukan usaha untuk mereposisi uterus.
e. Prosedur pembedahan Kustner. Prosedur Kustner menggunakan pendekatan melalui
vagina, sama seperti Prosedur Spinelli, hanya saja pada prosedur ini, kolpotomi
posterior dilakukan untuk menembus kavum abdomen. Dilakukan insisi posterior melalui
serviks dan segmen bawah uterus dan kemudian dilakukan reposisi uterus, dan diakhiri
dengan penjahitan luka bekas insisi (Bayer-Zwirello, 2008).
f. Histerektomi vagina cara Junizaf. Prosedur histerektomi dikerjakan pada kasus dimana
uterus tidak dapat dipertahankan lagi, seperti pada inversio yang terinfeksi berat, atau
inversio akut dengan keadaan umum jelek, seperti kadar hemoglobin rendah dan tidak
tersedia darah, serta inversio uteri yang disebabkan oleh tumor uterus. Dengan
histerektomi, fokus infeksi dan sumber perdarahan dapat dihilangkan sehingga
penderita dapat diselamatkan (Junifaz, 2011). Prosedur ini dilakukan dalam posisi
litotomi. Setelah dilakukan pembiusan, dilakukan antiseptik pada uterus yang telah
keluar dari introitus vagina, termasuk tumor yang keluar bersamaan dengan inversio
uteri, serta alat genital di sekitarnya. Satu sentimeter di depan introitus vagina, dibuat
jahitan melingkar seperti rantai dengan mempergunakan jarum hepatis dan benang atau
vicryl No.2 atau lebih, kemudian uterus dipotong hati-hati dengan pisau sampai lapisan
serosa. Setelah kelihatan tuba, ligamentum rotundum dijepit, dipotong dan diikat. Bagian
uterus yang masih tertinggal, dijahit dan diikat sehingga tunggul uterus yang tertinggal
tidak berdarah dan uterus telah tertutup. Uterus yang tertinggal dimasukkan ke dalam
vagina.

Tatalaksana Tambahan
a. Penanganan plasenta. Pada kasus dimana plasenta masih melekat, inversi harus
direposisi sebelum melepaskan plasenta, untuk mengurangi jumlah darah yang hilang
(Achanna, Mohamed and Krishnan, 2006). Setelah reposisi berhasil, cara paling aman
adalah menunggu hingga plasenta terlepas sendiri. Selain itu, dapat dilakukan manual
plasenta, namun pastikan bahwa pasien mendapatkan analgetik yang cukup dan
hemodinamik stabil. Manual plasenta harus dilakukan di ruang operasi sehingga
intervensi bedah dapat segera dilakukan bila terjadi komplikasi. Tangan dimasukkan ke
dalam vagina, melalui serviks kemudian masuk ke dalam cavum uteri. Operator
kemudian mencoba memisahkan plasenta dengan dinding uterus. Jika hal ini tidak
dapat dilakukan dengan mudah, atau perdarahan makin banyak, usaha berikutnya
adalah dengan kuretase (sponge-stick curettage) atau suction curettage. Jika plasenta
masih melekat, harus dipertimbangkan kemungkinan plasenta akreta. Eksplorasi kavum
uterus harus dilakukan untuk menilai perforasi uterus atau plasenta adhesiva.
Kemudian, evaluasi laserasi vagina. Setelah reposisi, berikan uterotonika secara optimal
(Rao, 2011). Penggunaan antibiotika profilaksis diharuskan oleh beberapa peneliti,
sebelum prosedur reposisi uterus (DeCherney and Laufer, 1984).
b. Pemberian uterotonik paska reposisi inversio uteri. Setelah reposisi uterus berhasil,
harus diberikan uterotonik selama minimal 24 jam setelah reposisi, agar tidak terjadi
inversio uteri berulang. Uterotonik yang dapat dipergunakan antara lain (Bhalla et al.,
2009)
1. Methyl ergonovine maleat (Methergine) 0,2 mg IM setiap 30 menit, dapat diulang 3
kali.
2. Oksitosin 40-60 IU/L dalam cairan isotonik (seperti Ringer Laktat) diberikan IV dalam
tetes kontinyu.
3. Prostaglandin 15-methyl F2 alpha (Carboprost tromethamine, Hemabate) 0,25mg
IM, dapat diulang setiap 30 menit sebanyak 3 kali.
4. Misoprostol 0,4 mg per oral atau SL setiap 2 jam, atau 0,8-1,0 mg per rektal dosis
tunggal.

1.10 Perbedaan Prolanis Uteri dan Inversio Uteri


Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke dalam atau keluar
melalui vagina.Hal tersebut dikarenakan dukungan yang tidak adekuat dari ligamentum kardinal
dan uterosakral serta struktur penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-kadang
organ pelvis yang lain juga ikut turun.
Multiparitas, persalinan pervaginam, usia dan BMI ditemukan sebagai faktor risiko umum untuk
prolaps . sedangkan persalinan pervaginam adalah faktor predisposisi yang paling sering untuk
perkembangan selanjutnya dari POP dan inkontinensia stres di kemudian hari wanita yang lebih
muda dari 60 tahun. (Tsikouras et al, 2013)
Penyebab dan faktor resiko POP
1. Bawaan
Anatomi ( kelainan vagina)
Marfan sindrom
Genetik
Ras (kaukasia lebih beresiko)
2. Obstetri
Kehamilan (tarikan tali pusat)
Persalinan forcep
Usia terlalu muda saat melahirkan
Kala dua lama
Bayi besar

3. Iatrogenik
Riwayat operasi panggul, trauma panggul

4. Peningkatan tekanan intra abdomen


Mengejan, COPD, angkat berat

5. Lain nya
Riwayat keluarga dengan POP
Peningkatan IMT
Kadar estrogen yang rendah
Inversi uteri adalah komplikasi obstetrik di mana fundus uteri kolaps ke dalam rongga
endometrium
FAKTOR RISIKO
Etiologi inversi uterus tidak dipahami dengan baik, dan pada 50% kasus, tidak ada faktor
pencetus yang dapat diidentifikasi.7Namun, beberapa faktor telah diusulkan yang dapat
meningkatkan risiko inversi; plasenta akreta, tali pusat pendek, kelemahan bawaan dinding
rahim atau serviks, melemahnya dinding rahim di tempat implantasi plasenta, implantasi fundus
plasenta, tumor rahim, atonia uteri, pengosongan rahim mendadak, makrosomia janin,
pengangkatan manual plasenta, tekanan fundus yang tidak tepat, traksi tali pusat yang
berlebihan, dan penggunaan agen uterotonika sebelum pelepasan plasenta semuanya telah
dikaitkan dengan inversi uterus.
Gambaran paling umum dari inversi adalah perdarahan postpartum, syok hipovolemik, dan
nyeri abdominopelvis. (Wendel et al, 2018)
Daftar Pustaka

Abouleish, E. et al. (1995) “Anaesthetic management of acute puerperal uterine inversion,”


British Journal of Anaesthesia, 75(4), pp. 486–487. doi:10.1093/bja/75.4.486.
Achanna, S., Mohamed, Z. and Krishnan, M. (2006) “Puerperal uterine inversion: A report of
four cases,” Journal of Obstetrics and Gynaecology Research, 32(3), pp. 341–345.
doi:10.1111/j.1447-0756.2006.00407.x.
Adjoby, Roland, et al. “Hysterectomy for Uterine Inversion: About Two Cases at University
Hospital of Cocody (Abidjan—Ivory Coast).” Open Journal of Obstetrics and
Gynecology, vol. 08, no. 04, 2018, pp. 368–375, 10.4236/ojog.2018.84041. Accessed 9
June 2022.
Alias M. Management Of Acute Uterine Inversion. O&G Magazine 2011;13(1):56-7.
Antonelli, E. et al. (2006) “Subacute uterine inversion: description of a novel replacement
technique using the obstetric ventouse,” BJOG: An International Journal of Obstetrics
and Gynaecology, 113(7), pp. 846–847. doi:10.1111/j.1471-0528.2006.00965.x.
Auber, M. et al. (2011) “Management of nonpuerperal uterine inversion using a combined
laparoscopic and vaginal approach,” American Journal of Obstetrics and Gynecology,
204(6), pp. e7–e9. doi:10.1016/j.ajog.2011.01.024.
Bayer-Zwirello LA. The Third Stage. In: Grady JP, Gimovsky ML, Bayer- Zwirello LA, Giordano
K, editors. Operative Obstetrics. 2nd ed. USA: Cambridge University Press; 2008.
Beringer, R.M. and Patteril, M. (2004) “Puerperal uterine inversion and shock,” British Journal of
Anaesthesia, 92(3), pp. 439–441. doi:10.1093/bja/aeh063.
Bhalla, R. et al. (2009) “Acute inversion of the uterus,” The Obstetrician & Gynaecologist, 11(1),
pp. 13–18. doi:10.1576/toag.11.1.13.27463.
“Contraception: discontinuation and switching in developing countries” (2012) Reproductive
Health Matters, 20(40), pp. 210–212. doi:10.1016/S0968-8080(12)40667-X.
DeCherney, A.H. and Laufer, N. (1984) “The Monitoring of Ovulation Induction Using Ultrasound
and Estrogen,” Clinical Obstetrics and Gynecology, 27(4), pp. 993–1002.
doi:10.1097/00003081-198412000-00020.
Dwivedi, S., Gupta, N., Mishra, A., Pande, S. and Lal, P. (2013). Uterine inversion: a shocking
aftermath of mismanaged third stage of labour. International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology, pp.292–295. doi:10.5455/2320-
1770.ijrcog20130907.
Evans DG, Lynch CB. Obstetric Trauma. In: Lynch CB, Keynes M, Keith LG, Lalonde AB,
Karoshi M, editors. A Textbook of Postpartum Hemorrhage, A comprehensive guide to
evaluation, management and surgical intervention. UK: Sapiens Publishing; 2006.
Gemer, O., Anteby, E. and Lavie, O. (2008) “Uterine inversion associated with uterine sarcoma,”
International Journal of Gynecology & Obstetrics, 101(2), pp. 195–196.
doi:10.1016/j.ijgo.2007.10.018.
Grady JP. Malposition Of The Uterus. Medscape Reference. 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/272497. Accessed : December 3, 2011.
Junizaf. Inversio Uteri. Dalam: Junizaf, Santoso BI, editor. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia.
Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia; 2011.
Kurniawati, Eighty Mardiyan. “Successful Use of Condom Catheters for Management of Uterine
Inversion: Case Report and Literature Review.” International Journal of Surgery Case
Reports, vol. 94, 1 May 2022, p. 107076, www.sciencedirect.com/science/article/pii/
S2210261222003224, 10.1016/j.ijscr.2022.107076. Accessed 9 June 2022.
Li, F., Liang, Y., Luo, M. and Cheng, Y. (2022). A rare case of endometrial polyp complicated
with uterine inversion: A case report and clinical management. Open Medicine, 17(1),
pp.550–555. doi:10.1515/med-2022-0425.
Oboro, V.O., Akinola, S.E. and Apantaku, B.D. (2006) “Surgical management of subacute
puerperal uterine inversion,” International Journal of Gynecology & Obstetrics, 94(2), pp.
126–127. doi:10.1016/j.ijgo.2006.04.037.
Rao, K. (2011) “Acute Uterine Inversion,” in Handbook of Obstetric Emergencies. Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd., pp. 111–111. doi:10.5005/jp/books/11403_25.
Tan, K.H. and Luddin, N.S.Y. (2005) “Hydrostatic reduction of acute uterine inversion,”
International Journal of Gynecology & Obstetrics, 91(1), pp. 63–64.
doi:10.1016/j.ijgo.2005.06.006.
Tsikouras, P., Dafopoulos, A., Vrachnis, N., Iliodromiti, Z., Bouchlariotou, S., Pinidis, P.,
Tsagias, N., Liberis, V., Galazios, G. and Von Tempelhoff, G.F. (2013). Uterine prolapse
in pregnancy: risk factors, complications and management. The Journal of Maternal-
Fetal & Neonatal Medicine, 27(3), pp.297–302. doi:10.3109/14767058.2013.807235
Wendel, M.P., Shnaekel, K.L. and Magann, E.F. (2018) “Uterine Inversion: A Review of a Life-
Threatening Obstetrical Emergency,” Obstetrical & Gynecological Survey, 73(7), pp.
411–417. doi:10.1097/OGX.0000000000000580.
Yeomans, E.R. et al. (2017) “Uterine Inversion,” in Cunningham and Gilstrap’s Operative
Obstetrics, 3e. New York, NY: McGraw-Hill Education. Available at:
obgyn.mhmedical.com/content.aspx?aid=1138215872.
 

Anda mungkin juga menyukai