Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. PARTUS PREMATURUS IMMINENS


A. Definisi
Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir
(HPMT). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi premature
adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.
Menurut Wibowo (1997), persalinan prematur adalah kontraksi uterus yang
teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu , dengan interval
kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan satu atau lebih tanda
berikut: (1) perubahan serviks yang progresif (2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau
lebih (3) penipisan serviks 80 persen atau lebih. Menurut Mochtar (1998) partus
prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat badan
lahir 1000 sampai 2500 gram.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.
B. Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio
sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban
pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio
sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara
spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban
pecah dini (Harry dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion
utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah
dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar
15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20%
pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada
usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi
peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

C. Etiologi dan Faktor Resiko


1. Perdarahan desidua basalis
Perdarahan desidua basalis merupakan salah satu penyebab terjadinya
abrupsio plasenta atau solusio plasenta. Abrupsio plasenta adalah
lepasnya plasenta dengan implantasi normal sebelum waktunya pada
kehamilan yang berusia di atas 28 minggu. Perdarahan desidua basalis
dan diikuti nekrosis jaringan sekitar yang dapat menyebabkan hasil
konsepsi (janin) terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus,
kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Abrupsio plasenta tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya partus
prematurus imminens.
Selain itu faktor mekanik seperti overdistensi uterus pada keadaan
gestasi yang multiple atau polyhidroamnion juga dapat memicu
terjadinya partus prematurus imminens.
2. Inkompetensi serviks
Inkompetensi serviks menggambarkan kelemahan fungsional leher
rahim, dengan ketidakmampuan untuk mencapai kehamilan penuh oleh
karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. serviks adalah struktur
anatomi dinamik yang berfungsi selama kehamilan sebagai pertahanan
bagi janin dan sekitarnya , dengan vagina dan dunia luar. Pada waktu
gestasi ini, ia terdiri dari struktur yang kuat yang terdiri dari kolagen,
tetapi ketika tiba masanya persalinan, kolagennya mengalami degradasi
dan serviks menjadi lunak dan memulai proses untuk dilatasi. Ini
mengakibatkan atau waktu pelunakan yang tidak sesuai waktunya dan
menjadikan serviks tidak kompeten lagi sehingga terjadinya kelahiran
prematur atau kesulitan dalam persalinan (distosia).
Diagnosis insufisiensi serviks hanya dapat dilakukan secara
retrospektif pada wanita yang telah mengalami keguguran
padapertengahan trimestersebelumnya.Pasien biasanya hadir dengan
selaputketubanygmenonjoldisertai dilatasi serviks stadium lanjut pada
2
trimester pertengahan, yang mengarah keketuban pecah diniprematur
(PPROM). Kontraksi rahim biasanya jarang atau tidak ada. Pada wanita
tanpa riwayat keguguran, kombinasi dari presentasi klinis, pemeriksaan
fisik, dan temuan USG yang digunakan. Meskipun sebagian besar pasien
tidak menunjukkan gejala, mereka mungkin hadir dengan rasa tekanan
padapanggul, kram, sakit punggung, atau peningkatan keputihan.
Diagnosis inkompetensi serviks ditegakkan berdasarkan riwayat satu
atau lebih kegagalan kehamilan pada trimester kedua atau riwayat
keguguran berulang pada trimester kedua, dengan kerugian masing-
masing terjadi pada usia kehamilan lebih awal dari yang sebelumnya dan
kurang kontraksi yang menyakitkan atau peristiwa berkaitan lainnya.
Namun, dalam penemuan ultrasonografi terakhir, definisi ini sedang
ditantang. Terdapat keraguan bahwa pemeriksaan ultrasonografi,
terutama transvaginal, bermanfaat sebagai alat bantu untuk mendiagnosis
pemendekan serviks atau pencorongan ostium interna dan mendeteksi
secara dini serviks yang inkompeten. Secara umum, panjang serviks
sebesar 25mm atau kurang antara 16 dan 18 minggu gestasi dibuktikan
secara prediktif untuk kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat
penghentian kehamilan pada midtrimester.
3. Infeksi maternal
Wanita yang memiliki vaginosis bakterialis, yang didefinisikan sebagai
berkurangnya spesies lactobasilus yang normalnya ada dan peningkatan
masig organisme lain, termasuk G. vaginalis, bacteroides species,
mobiluncus species, U. urealyticum, dan M. hominis, telah
melipatgandakan resiko persalinan prematur spontan. Tidak diketahui
apakah vaginosis bakterialis bisa menyebabkan persalinan prematur jika
organisme tidak naik ke atas ke uterus. Vaginosis bakterialis
berhubungan dengan meningkatnya konsentrasi elastase, musinase dan
sialidase dalam vagina dan serviks. Namun, karena sebagian besar wanita
yang memiliki persalinan prematur spontan dini memiliki organisme
dalam uterusnya, tidak diperlukan untuk meminta kerja lokal dari infeksi
vagina sebagai penyebab persalinan prematur. Lebih sering bahwa
vaginosis bakterialis merupakan marker kolonisasi intra uterine dengan
organisme yang sama. Jika infeksi vagina tunggak (tidak ada infeksi
3
yang naik) atau infeksi seperti periodontitis, infeksi saluran kemih bisa
menyebabkan persalinan prematur spontan, mekanismenya tidak
diketahui. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah aktivasi
respon peradangan lokal oleh sitokin dan endotoksin yang datang dalam
darah dari vagina ke uterus.
Invasi bakteri rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan
endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin
untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis
factor, interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan
granulocyte colony-stimulating factor.selanjutnya, cytokines, endotoxins,
dan exotoxins merangsang sistesis prostaglandin dan pelepasan dan juga
mengawali neutrophil chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi, yang
memuncak dalam sistesis dan pelepasan metalloproteases dan zat bioaktif
lainnya. Prostaglandin merangsan kontraksi uterus sedangkan
metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan
pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam
serviks dan melembutkannya.
Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai
contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik
menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang
mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi
korionik menurunkan aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan
peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalus
lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin
itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan
produksi corticotropin-releasing hormone menyebabkan meningkatnya
sekresi kortikotropin janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol
adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya
produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi
sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang.
Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap
respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.

4
4. Insufisiensi uteroplasenta
Salah satu penyebab infusisiensi uteroplasenta yaitu hipertensi pada
kehamilan, salah satunya yaitu preeklampsia. Kejadian kelahiran preterm
yang dipengaruhi oleh preeklamsi/eklamsi terjadi akibat spasmus
pembuluh darah. Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Spasme arteriol yang mendadak dapat
menyebabkan asfiksia berat. Jika spasme berlangsung lama akan
mengganggu pertumbuhan janin. Jika terjadi peningkatan tonus dan
kepekaan uterus terhadap rangsangan dapat menyebabkan partus
prematurus. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak pertumbuhan janin
terganggu, pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin
sampai kematian karena kekurangan oksigensi. Kenaikan tonus uterus
dan kepekaan terhadap perangsang sering didapatkan pada preeklamsi
dan eklamsi, sehingga mudah terjadi partus prematurus.

Walaupun terkadang prediksi waktu kelahiran pada persalinan preterm tidak


tepat, berbagai metode maternal lain dan sifat kehamilan dapat menjadi salah satu
bahan perbandingan. Yang terpenting, kondisi dari janin yang dilahirkan menjadi
bagian penting dalam persalinan, dimana kondisi janin akan menmpengaruhi
keadaan lingkungan uterus dan sekaligus mengaktivasi jalur pasenta dan janin.
Beberapa faktor risiko yang sering menimbulkan persalinan preterm termasuk
kondisi demografi (seperti ras kulit hitam, usia ibu (< 17 tahun atau > 35 tahun),
sosial ekonomi yang rendah, dan berat badan ibu yang kurang sebelum
kehamilan) budaya dan prilaku, riwayat persalinan permatur sebelumnya.
Persalinan preterm juga berhubungan dengan kondisi psikologis ibu (seperti
kematian anggota keluarga terdekat, hubungan yang tdak harmonis dengan
keluarga, tetangga, ataupun lingkungan pekerjaan).

1. Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :


a. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum,
KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli,
polihidramnion

5
b. Ibu : DM, pre eklampsia, anemia, HT, ISK, infeksi dengan demam,
kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang,
inkompetensi serviks, pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat,
kelainan imun/resus
2. Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan
partus prematurus yaitu :
1) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus,
serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks
mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu,
riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan
pretem sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat
operasi konisasi, dan iritabilitas uterus.
2) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan
pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis,
merokok lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada trimester II,
riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor atau keduanya.
Namun selain faktor reksiko diatas ditemukan ada faktor resiko yang
menyertai seperti status sosial ekonomik yang rendah, kelompok- kelompok
etnik tertentu, wanita yang kecil, merokok, bakteriuria dan perawatan prenatal
yang jelek.
Metode untuk menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm adalah
dengan
a. Memonitor aktivitas uterus : home uterine activity monitoring (HUAM)
Pemeriksaan HUAM (home uterine activity monitoring) sudah tidak lagi
dilakukan karena telah ditemukannya pemeriksaan dengan
tokodinamometri dalam menilai kontraksi uterus pada persalinan preterm.
b. Menilai estriol saliva
Untuk pemeriksaan persalinan preterm dengan menggunakan
pengukuran saliva estriol didasarkan pada produksi kelenjar adrenal yang
menghasilkan dehydroepiandrosterone akan meningkat pada kehamilan
sehingga menjadi standar pengukuran maternal estriol. Namun, maternal
estriol dipengaruhi dengan kondisi diurnal tubuh yang berubah, dapat
6
ditekan apabila mengkonsumsi bethametasone, sehingga dapat
mempengaruhi penilaian maternal estriol yang diinginkan.
c. Fetal fibronectin (FFN)
Pengukuran FFN didasarkan pada membran protein dari sel desidual
plasenta, dimana ketika FFN meningkat maka kemungkina telah terjadinya
kondisi yang mengarah ke persalinan preterm.
d. Pengukuran panjang serviks
Untuk pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
mengukur panjang dari serviks. Umumnya pertumbuhan serviks yang
masih pendek pada awal atau akhir trimester kedua akan mempengaruhi
terjadinya persalinan preterm.

3. Evaluasi Pre-konsepsi
Ketika risiko persalinan pretem pada pasien multipara menjadi sulit untuk
diatasi, adanya riwayat persalinan sebelumnya dan kemampuan psikologis ibu
menjadi salah satu bagian terpenting untuk proses kehamilan berikutnya.
Melakukan proses identifikasi sebelumnya pada proses pre-konsepsi akan dapat
membantu dalam menentukan kearah perjalanan berikutnya. Telah diketahui
bahwa sekitar 30% seorang ibu akan dapat mengalami kehamilan kembali pada
rentang 2 tahun setelah persalinannya, dan ini menjadi salah satu standar
intervensi tindakan berikutnya.
4. Trauma Serviks
Penyebab tersering terjadinya persalinan preterm adalah perlukaan pada
daerah serviks, yang bisa diakibatkan karena tindakan operatif pada proses
dysplasia uterus, atau akibat persalinan. Komplikasi yang tersering akibat proses
aborsi bahwa pada masa 10 minggu kehamilan adalah terjadinya persalinan
preterm akibat serviks yang telah mengalami dilatasi sampai 10 mm. Namun,
dapat juga ditemukan bahwa persalinan preterm dapat muncul pada terminasi
elektif trimester kedua atau lebih. Dilatasi serviks dengan diperantarai oleh
laminaria atau kontraksilitas serviks seperti penggunaan misoprostol akan dapat
melukai serviks daripada tindakan mekanikal dilatasi manual biasa.
Displasia serviks harus dapat ditangani dengan tepat ketika diagnosa telah
ditegakkan. Namun, tindakan dalam penanganan diplasia serviks akan
meningkatkan kecenderungan persalinan preterm sebanyak 200-300%. Risiko
7
akan diperberat apabila tindakan operatif yang melukai permukaan serviks telah
dilakukan.
Trauma pada persalinan akan mempermudah terjadinya kesulitan pada kala III
atau mempermudah persalinan preterm. Ketika seorang ibu memiliki riwayat
laserasi serviks, umumnya mereka tidak menyadari bahwa kecenderungan
terjadinya laserasi pada serviks menjadi lebih tinggi. Defek sekitar 50% pada
serviks akan meningkatkan terjadinya persalinan preterm pada trimester kedua.
Akurasi pengukuran gelombang ultrasonic transvaginal akan dapat membantu
dalam mendiagnosa kemungkinan terjadinya persalinan preterm terlebih dahulu.
5. Infeksi Saluran Genital
Ketika seorang terdiagnosa mengalami infeksi baik gonorrhea, clamydia atau
trichomoniasis, kecenderungan mudah mengalami infeksi berulang ada sekitar
25% pada rentang 12 bulan, namun bagaimana hubungannya mengakibatkan
persalinan preterm masih membingungkan. Bakterial vaginalis merupakan
sindrom penyakit vaginal yang ada hubungan dengan flora normal vagina.
Diagnosis bacterial vaginalis haruslah didasarkan pada hasil bakteri gram positif
sebanyak 3-4 dengan menggunakan pemeriksaan sederhana dan diagnostik
standar (yaitu discharge putih keabuan yang homogen, adanya clue cell > 20%
pada pemeriksaan saline, dan pH vagina > 4,50).
6. Riwayat Persalinan Sebelumnya
Riwayat persalinan preterm merupakan salah satu kategori faktor risiko dalam
persalinan. Riwayat persalinan preterm sebelumnya menjadi salah satu penyebab
kemungkinan terjadinya persalinan preterm pada persalinan berikutnya. Dengan
acuan sebanyak 10-12% risiko yang ada, risiko persalinan preterm akan
meningkat sebanyak 15%, 30%, dan 45% apad persalinan berikutnya. Konseling
ore-konsepsi akan membantu ibu untuk menentukan tindakan apa yang dilakukan
pada kehamilannya. Waktu yang baik adalah pada minggu ke-4 atau ke-6 setelah
persalinan preterm yang dialami oleh ibu.
Lyke dan kawan-kawan menemukan bahwa persalinan preterm spontan, pre
eklampsia, atau deviasi pertumbuhan fetal pada kehamilan awal meningkatkan
kecenderungan yang sama untuk kehamilan berikutnya, terlebih bila disertai
dengan komplikasi. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode Kohort
didapatkan sebanyak 536.419 wanita Inggris, dengan rentang kehamilan antara
32-36 minggu, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. Pada
8
kehamilan berikutnya dari 2,7% menjadi 14,7% (dengan odds ratio (OR) 6,12;
dan Confidence interval (CI) 95% 5,84-6,42) dan meningkat pada kehamilan
dengan pre-eklampsia dari 1,1% menjadi 1,8% (OR 1,60; 95% CI, 1,41-1,81).
Pada kehamilan pertama rentang usia sebelum 28 minggu akan meningkat pada
kehamilan berikutnya sebanyak 26,0% (OR 13,1; 95% CI, 10,8-15,9) dan
meningkat dengan keadaan pre-eklampsia yang menyertai yaitu 3,2% (OR 2,96;
95% CI, 1,80-4,88).
Risiko pre-eklampsia pada kehamilan pertama dengan rentang kehamilan
antara 32 dan 36 minggu meningkat di kehamilan kedua yaitu dari 14,1% menjadi
25,3% (OR 2,08; 95% CI, 1,87-2,31) dan meningkatkan risiko kecenderungan
berat badan janin rendah yaitu dari 3,1% menjadi 9,6% (OR 2,82; 95% CI, 2,38-
3,35). Deviasi pertumbuhan janin pada pre-eklampsia di kehamilan pertama akan
meningkatkan risiko ke kehamilan berikutnya yaitu dari 1,1% menjadi 1,85 (OR
1,62; 95% CI, 1,34-1,96).
7. Keguguran Pada Trimester Kedua
Keguguran pada trimester kedua dapat disebabkan oleh berbagai penyebab
(seperti sifilis), sindrom antifosfolipid, diabetes, gangguan genetic, kelainan
multiple congenital, trauma serviks, atau inkompetensinya serviks. Dengan
pendataan rekam medic yang tepat akan membantu dalam menilai kemungkinan
penyebab pasti dari keguguran pada trimester kedua.
D. Diagnosis
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI
(Wiknjosastro, 2010), yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

9
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan
diagnosis PPI :
1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO,
faktor rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan,
gas dan PH darah janin.
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas
biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba
dan kelainan uterus

E. Penatalaksanaan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Pencegahan Partus Prematurs
a. Dilaksanakan perawatan prenatal, diet, pemberian vitamin dan
penjagaan hygiene.
b. Aktivitas (kerja, perjalanan, coitus) dibatasi pada pasien-pasien dengan
riwayat partus pre-matur.
c. penyakit- penyakit demam yang akut harus segara diobati secara aktif
dan segera.
d. keaddan seperti toksemia dan diabetes memerlukan kontrol ang
seksama.
e. tindakan pembedahan abdomen yang elektif dan tindakan operasi gigi
yang berat harus di tunda.
2. Tindakan Khusus
a. pasien-pasien dengan kehamilan kembar harus istirahat di tempat tidur
sejak minggu ke -28 hingga minggu ke 36 atau ke 38.

10
b. Pasien dengan Fibromyoma uteri bila timbul keluhan dirawat dengan
istirahat ditempat tidur dan diberikan analgesia, tindakan pembedahan
perlu ditunda sebisa mungkin.
c. pada pasien dengan placenta previa perlu dirawat denga istirahat total
dan transfusi darah untuk menunda kelahiran bayi sampai tercapai
ukuran yang viabal. Namun apabila terlajdi perdarahan hebat sehingga
mengancam kondisi ibu dan bayi maka perlu dilakukan tindakan
pembedahan.
d. sectio seacarea elektif dan ulangannya hanya dilakukan apabila kita
yakin bahwa bayi dusah cukup besar. Kerugian pada pembedahan yang
terlalu dini dapat menyebabkan kelahiran bayi kecil yang tidak bisa
bertahan hidup di luar kandungan.
e. obat-obatan yang dapat digunakan untuk menghintikan persalinan.

Penggunaan tokolitik masih dianggap tidak terlalu membantu dalam


mengatasi persalinan preterm. Prinsip utama yang diinginkan dalam
pengguanaan tokolitik adalah penggunaannya yang lebih dari 48 jam untuk
mencapai manfaat maksimal. Ketika tokolitik dianggap telah berhasil dalam
waktu 48 jam dengan membrane yang telah intak, beberapa penelitian
menyarankan sebaiknya tokolitik diberikan dalam kondisi yang memang
memerlukan istirahat total atau dalam keadaan hidrasi.
Ada beberapa golongan obat-obatan tokolitik yang sudah tersedia. Terapi
tokolitik juga dapat digunakan untuk komplikasi maternal. Obat-obatan ini
hanya digunakan jika lebih banyak keuntungan daripada resiko yang akan
diperoleh. Kontraindisi tokolitik termasuk eklampsia atau preeklampsia tingan,
kematian fetal, chorioamnionitis, gangguan pada maturitas fetal dan
hemodinamik maternal.
Kriteria untuk menggunakan terapi tokolitik bervariasi untuk tiap-tiap
ahli. Kontraksi uterus regular dan perubahan serviks (dilatasi) dapat menjadi
kriteria utama yang banyak dipakai. Dilatasi kurang dari 3 cm berhubungan
dengan hasil efektifitas terapi yang minimal. Terbutaline oral (Bricanyl) yang
diberikan setelah tokolitik parenteral tidak berhubungan dengan perpanjangan
masa kehamilan atau mengurani kejadian dari persalinan preterm yang ada.
3. Akselerasi Pematangan Fungsi Paru Janin Dengan Kortikosteroid,

11
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS),
mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus
arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid
perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:
a. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug/ iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian
suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid
yang berperan dalam pembentukan surfaktan.

4. Pencegahan Terhadap Infeksi Dengan Menggunakan Antibiotik.


Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberianantibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral,
yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan
lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan
antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.

5. Menghambat Proses Persalinan Preterm


Cara menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik,
yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi
jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih

12
kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per
oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per
infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per
oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan
obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi
miokardial, edema paru. Terbutalin sulfat merupakan obat yang
pemakaian utamanya sebagai bronchodilator pada penyakit asma dan
bronkitis kronis, namun obat ini mempunyai kemampuan untuk menekan
kontraksi uterus. Obat in tampaknya merupakan preparat yang berkhasiat
dan efektif untuk menghambat persalinan. Indikasi untuk melambatkan
atau menghentikan pemberian obat tersebut mencakup denyut nadi ibu
yang melebihi 140 kali/menit, terjadinya palpitasi yang serius, dan
hipotensi. Begitu kontraksi berhenti, infus dipertahankan pada takaran
yang berhasil selama 6 jam dan kemudian pelan pelan dikurangi.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah
edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan
bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat
cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.
Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide
saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan


intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif

13
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan
pasien stabil dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-
mimetik.
F. Komplikasi medis dan obstetrik
Sebanyak 28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh
beberapa hal (seperti pre eklampsia (50%), gawat janin (25%), akibat IUGR,
solution plasenta atau kematian janin), dan sebanyak 72% persalinan preterm
dengan atau tanpa disertai ketuban pecah dini.
Prostaglandin E2 dan F2α bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang
terjadinya kontraksi miometrium.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2009. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009.http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2009/Profil_2
009br.pdf (diakses 28 Juni 2015)
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Manuaba, I.A.C. dkk. 2004. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri
Ginekologi Sosial. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugroho, Taufan. 2012. Buku Ajar Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human
Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.

15

Anda mungkin juga menyukai