Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH INDIVIDU

Mata Kuliah : Patofisiologi Kasus Kebidanan


Dosen Pengampu : Riny Natalina, SST., M.Keb

Disusun Oleh:

SITI MAYSARAH

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA


PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Proses Persalinan yang dapat menyebabkan Gangguan Organ Panggul ......................3
2.2 Peran Bidan dan Implikasi Gangguan Organ Panggul Terhadap Kualitas Hidup
Perempuan.....................................................................................................................
2.3 Peran Bidan dalam upaya mencegah Gangguan Organ Panggul karena Proses
Persalinan.......................................................................................................................
2.4 Evidance Based Dalam Kebidanan................................................................................

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................5


3.1 Kesimpulan....................................................................................................................5
3.2 Saran..............................................................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang
dapat menurunkan kualitas hidup wanita. Disfungsi dasar panggul memiliki
prevalensi yang tinggi, baik di negara sedang berkembang maupun di negara
berkembang, meskipun penyebab utamanya belum diketahui.Prolaps organ
panggul disebut juga sebagai prolaps urogenital, adalah turunnya organ panggul
yang menyebabkan penonjolan vagina, uterus atau keduanya. Keadaan ini dapat
merusak dinding anterior, posterior vagina, dan uterus atau puncak vagina, yang
umumnya tampak sebagai gabungan beberapa keadaan di atas(GIll, 2010) .
Penyebab terjadinya prolapsus belum diketahui secara pasti.
Namun,secara hipotetik disebutkan penyebab utamanya adalah persalinan

pervaginam dengan bayi aterm. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa


persalinan pervaginam dan penuaan adalah dua faktor risiko utama untuk
pengembangan prolapsus(GIll, 2010).
Kehamilan yang dialami perempuan usia tua (lebih dari 35 tahun)
merupakan faktor risiko disfungsi dasar panggul. Seiring kemajuan jaman,
akhir-akhir ini makin banyak perempuan yang memilih berkonsentrasi bekerja
menekuni karirnya sehingga terdapat kecenderungan untuk hamil dan bersalin
pertama di usia yang makin tua. Keadaan ini makin meningkatkan risiko terjadi
disfungsi dasar panggul di masa mendatang(DIKRIANSYAH, 2018).
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal

akibat komplikasi dalam persalinan. Kecacatan hingga kematian dapat terjadi


selama proses kehamilan dan persalinan. Sebagian wanita yang melahirkan
normal memiliki risiko kecacatan dasar panggul (prolapsus organ panggul),
seperti robekan akibat penggunaan alat bantu saat melahirkan serta akibat
lamanya proses persalinan. Berbagai komplikasi dalam kehamilan dan persalinan
dapat terjadi, salah satunya adalah prolapsus uteri(Wibisono & Hermawan, 2019).
Prolaps organ panggul merupakan kondisi yang mempengaruhi kualitas
hidup wanita. Presentase prolaps uteri mencapai 35%-50% wanita dan
kejadiannya semakin meningkat seiring meningkatnya paritas dan usia. Wanita
dengan segala usia dapat mengalami prolapsus uteri, namun prolapsus lebih
sering terjadi pada wanita dengan usia lebih maka diperlukan upaya-upaya untuk
mencegah terjadinya prolapsus uteri dan untuk meminimalisir dampak yang
terjadi akibat prolapsus uteri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan memprediksi atau deteksi dini faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap terjadinya prolapsus uteri. Sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian (Rizkar M, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1) Proses Persalinan yang dapat menyebabkan Gangguan Organ Panggul
2) Jelaskan Peran Bidan dan Implikasi Gangguan Organ Panggul Terhadap
Kualitas Hidup Perempuan
3) Jelaskan Peran Bidan dalam upaya mencegah Gangguan Organ Panggul
karena Proses Persalinan

1.3 Tujuan
1) Untuk Mengetahui Proses Persalinan yang dapat menyebabkan Gangguan
Organ Panggul
2) Untuk Mengetahui Peran Bidan dan Implikasi Gangguan Organ Panggul
Terhadap Kualitas Hidup Perempuan
3) Untuk Mengetahui Peran Bidan dalam upaya mencegah Gangguan Organ
Panggul karena Proses Persalinan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Persalinan yang dapat menyebabkan Gangguan Organ Panggul


A. Pengertian
Prolaps organ panggul merupakan salah satu bentuk disfungsi dasar
panggul pada perempuan. Disfungsi dasar panggul itu sendiri merupakan keadaan
terganggunya fungsi dasar panggul, adalah salah satu kondisi kesehatan yang
banyak dikeluhkan oleh perempuan. Beberapa diagnosis yang mewakili kondisi
ini adalah prolaps organ panggul, inkontinensia urin, inkontinensia anal, serta
keluhan disfungsi seksual perempuan. Berbagai masalah pada perineum dapat
juga disampaikan sebagai bentuk disfungsi dasar panggul pada perempuan
(Bozkurt M, Yumru AE, Şahin L).
B. Epidemiologi
Prolapsus organ panggul (POP) masih menjadi masalah kesehatan pada

wanita yang mengenai hingga 40% wanita usia di atas 50 tahun. Prolapsus uteri
merupakan salah satu jenis prolapsus organ panggul (genitalia) dan menjadi kasus
nomor dua tersering setelah cystouretrochele (bladder and urethral prolapse).
Prolapsus organ panggul (POP) merupakan masalah yang sering dialami
dengan prevalensi 41-50% dari keseluruhan perempuan di atas usia 40 tahun
dan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup
seorang perempuan. Insidensi bedah untuk POP yaitu 15-49 kasus per 10.000
perempuan per tahun.
Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara sebagai akibat
progresif yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia endopelvik (dan
kondensasi, ligamentum uteroskral dan kardinal) dan laserasi otot, terutama otot-
otot levator dan perineal body (perineum).
C. Proses/Mekanisme persalinan yang menyebabkan terjadinya gangguan organ
panggul
Penyangga organ panggul merupakan interaksi yang kompleks antara otot-
otot dasar panggul, jaringan ikat dasar panggul, dan dinding vagina. Interaksi
tersebut memberikan dukungan dan mempertahankan fungsi fisiologis organ-
organ panggul. Apabila otot levator ani memiliki kekuatan normal dan vagina
memiliki kedalaman yang adekuat, bagian atas vagina terletak dalam posisi
yang hampir horisontal ketika perempuan dalam posisi berdiri.
Posisi tersebut membentuk sebuah “flap-valve” (tutup katup) yang
merupakan efek dari bagian atas vagina yang menekan levator plate selama
terjadi peningkatan tekanan intra abdomen. Teori tersebut mengatakan bahwa
ketika otot levator ani kehilangan kekuatan, vagina jatuh dari posisi horisontal
menjadi semi vertikal sehingga menyebabkan melebar atau terbukanya
hiatus genital dan menjadi predisposisi prolapsus organ panggul. Dukungan yang
tidak adekuat dari otot levator ani dan fascia organ panggul yang mengalami
peregangan menyebabkan terjadi kegagalan dalam menyangga organ panggul.
Mekanisme terjadinya prolapsus uteri disebabkan oleh kerusakan pada
struktur penyangga uterus dan vagina, termasuk ligamentum uterosakral, komplek
ligamentum kardinal dan jaringan ikat membran urogenital. Faktor obstetri, dan
non-obstetri yang telah disebutkan di awal diduga terlibat dalam terjadinya
kerusakan struktur penyangga tersebut sehingga terjadi kegagalan dalam

menyangga uterus dan organ-organ panggul lainnya. Meskipun beberapa


mekanisme telah dihipotesiskan sebagai kontributor dalam
perkembangan prolapsus, namun tidak sepenuhnya menjelaskan bagaimana
proses itu terjadi.
Peningkatan indeks massa tubuh tersebut berhubungan dengan progresivitas
keluhan prolaps organ panggul. Peningkatan berat badan pada satu tahun
pascapersalinan mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian prolaps dinding
anterior vagina. Prolaps organ panggul (POP) yang terjadi akibat kelemahan
struktur penyokong dasar panggul dapat menyebabkan penurunan dinding vagina,
uterus, kandung kemih, uretra, rektum, maupun usus ke vagina(Lippincott
Williams & Wilkins; 2007).

2.2 Peran Bidan dan Implikasi Gangguan Organ Panggul Terhadap Kualitas Hidup
Perempuan
Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko utama terjadinya
prolapsusorgan genital. Pada penelitian tentang levator ani dan fascia menunjukkan
bahwa kerusakan mekanik dan saraf terjadi pada perempuan dengan prolapsus
dibandingkan perempuan tidak prolapsus, dan hal tersebut terjadi akibat proses
melahirkan.
Secara global, prolapsus mempengaruhi 30% dari semua wanita yang telah
melahirkan.Jumlah paritas berbanding lurus dengan kejadian prolapsus. WHO
Population Report (1984) menduga bahwa kejadian prolapsus akan meningkat tujuh
kali lipat pada perempuan dengan tujuh anak dibandingkan dengan perempuan yang
mempunyai satu anak.
Disfungsi dasar panggul akan lebih banyak dijumpai pada perempuan yang telah
pernah melahirkan apabila dibanding dengan nulipara. Persalinan vaginal menjadi
faktor yang sangat berpengaruh pada kejadian disfungsi dasar panggul perempuan.
Lebih dari 46% perempuan dengan riwayat persalinan vaginal mengalami disfungsi

dasar panggul. Peningkatan jumlah paritas meningkatkan risiko disfungsi dasar


panggul, terutama prolaps organ panggul. Paritas juga menjadi faktor risiko yang
sangat penting pada perempuan usia muda (20–34 tahun). Keluhan disfungsi dasar
panggul dapat terjadi langsung di masa pascapersalinan maupun setelah beberapa
tahun kemudian. Pada riwayat persalinan spontan kejadian ini mencapai 58%,
sementara pada persalinan abdominal sedikit lebih rendah (43%).
Meskipun tidak menyebabkan kematian, keadaan ini berpotensi menurunkan kualitas
hidup perempuan.

Faktor risiko

Terdapat berbagai macam faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus

dan dikelompokkan menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri.

Faktor obstetri Faktor non-obstetri


1) Paritas 1) Genetik
2) Persalinan pervaginam 2) Usia
3) Perpanjangan kala 2 3) Ras
persalinan (> 2 jam) 4) Menopause
4) Makrosomia (berat badan 5) Peningkatan BMI
lahir ≥ 4000 gram) (obesitas)
5) Persalinan dengan tindakan 6) Peningkatan tekanan intra
(riwayat persalinan dengan abdomen
forsep atau ekstraksi vakum) 7) Kelainan jaringan ikat
8) Merokok

1) Faktor obstetri

a. Proses persalinan dan paritas


Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara sebagai akibat
progresif yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia endopelvik (dan
kondensasi, ligamentum uteroskral dan kardinal) dan laserasi otot, terutama
otot-otot levator dan perineal body (perineum).

b. Faktor obstetri lainnya


Penggunaan forsep, vakum, dan episiotomi, disebutkan sebagai faktor risiko
potensial dalam terjadinya prolaps organ panggul. Penggunaan forsep secara
langsung terlibat dalam terjadinya cedera dasar panggul, yaitu dalam
kaitannya dengan terjadinya laserasi sfingter anal. Manfaat forsep terhadap
dasar panggul dalam memperpendek kala dua masih mempunyai bukti yang
kurang. Penggunaan forsep elektif untuk mencegah kerusakan pada dasar
panggul tidak direkomendasikan. Percobaan kontrol secara acak pada
penggunaan elektif dan selektif episiotomi tidak menunjukkan manfaat,
tetapi telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya laserasi sfingter anal
inkontinensia dan nyeri pasca persalinan. Sejumlah cedera pada ibu dan

bayi dapat terjadi sebagai akibat penggunaan forsep. Luka yang dapat

ditimbulkan pada ibu berkaitan dengan penggunaan forsep berkisar dari

ekstensi sederhana sampai ruptur uterus atau kandung kemih. Klein, dkk

menemukan hubungan antara episiotomi dan berkurangnya kekuatan dasar

panggul tiga bulan post partum.

Fascia pelvis, ligamentum-ligamentum dan otot-otot dapat menjadi lemah


persalinan pervaginam yang sulit, terutama dengan penggunaan forsep dan

vakum ekstraksi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Handa dkk, menunjukkan bahwa

persalinan menggunakan forsep dan laserasi perineum berhubungan dengan

gangguan dasar panggul 5-10 tahun setelah persalinan yang pertama, tetapi

pada episiotomi tidak berhubungan. Wanita dengan laserasi perineum dalam

dua atau lebih persalinan beresiko lebih tinggi secara signifikan terhadap

prolapsus.
2) Faktor non-obstetri

a. Genetik

Dua persen prolapsus simptomatik terjadi pada perempuan nulipara

Perempuan nulipara dapat menderita prolapsus dan diduga merupakan peran

dari faktor genetik. Bila seorang perempuan dengan ibu atau saudaranya

menderita prolapsus, maka risiko relatif untuk menderita prolapsus adalah


3,2. Dibandingkan jika ibu atau saudara perempuan tidak memiliki riwayat

prolapsus, risiko relatifnya adalah 2,4.

b. Usia

Bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya kolagen dan terjadi

kelemahan fascia dan jaringan penyangga. Hal ini terjadi terutama pada
periode post-menopause sebagai konsekuensi akibat berkurangnya hormon

estrogen.

c. Ras

Perbedaan ras pada prevalensi prolapsus organ panggul (POP) telah

dibuktikan dalam beberapa penelitian. Perempuan berkulit hitam dan

perempuan Asia memiliki risiko yang lebih rendah, sedangkan perempuan

Hispanik dan berkulit putih memiliki risiko tertinggi. Perbedaan kandungan

kolagen antar ras telah dibuktikan, tetapi perbedaan bentuk tulang panggul

juga diduga memainkan peran. Misalnya, perempuan kulit hitam lebih

banyak yang memiliki arkus pubis (lengkungan kemaluan) yang sempit dan

bentuk panggul android atau antropoid. Bentuk-bentuk panggul tersebut

adalah pelindung terhadap POP dibandingkan dengan panggul ginekoid

yang merupakan bentuk panggul terbanyak pada perempuan berkulit putih.

d. Menopause

Pada usia 40 tahun fungsi ovarium mulai menurun, produksi hormon

berkurang dan berangsur hilang, yang berakibat perubahan fisiologik.

Menopause terjadi rata-rata pada usia 50-52 tahun. Hubungan dengan

terjadinya prolaps organ panggul adalah, di kulit terdapat banyak reseptor

estrogen yang dipengaruhi oleh kadar estrogen dan androgen. Estrogen

mempengaruhi kulit dengan meningkatkan sintesis hidroksiprolin dan prolin

sebagai penyusun jaringan kolagen. Ketika menopause, terjadi penurunan

kadar estrogen sehingga mempengaruhi jaringan kolagen, berkurangnya

jaringan kolagen menyebabkan kelemahan pada otot-otot dasar panggul.


Saraf pada serviks merupakan saraf otonom, sebagian besar serabut saraf

cholinesterase yang terdiri dari serabut saraf adrenergik dan kolinergik,

jumlah serabut kolinergik lebih sedikit. Sebagian besar serabut ini

menghilang setelah menopause.

e. Peningkatan BMI (obesitas)

Obesitas menyebabkan memberikan beban tambahan pada otot-otot

pendukung panggul, sehingga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul.

Pada studi Women’s Health Initiative (WHI), kelebihan berat badan (BMI
2
25 – 30 kg/m ) dikaitkan dengan peningkatan kejadian prolapsus dari 31-
2
39%, dan obesitas (BMI > 30 kg/m ) meningkat 40-75%.

f. Peningkatan tekanan intra abdomen

Tekanan intra abdomen yang meningkat karena batuk-batuk kronis

(bronkitis kronis dan asma), asites, mengangkat beban berat berulang-ulang,

dan konstipasi diduga menjadi faktor risiko terjadinya prolapsus. Seperti

halnya obesitas (peningkatan indeks massa tubuh) batuk yang berlebihan

dapat meningkatkan tekanan intraabdomen (rongga perut) dan secara

progresif dapat menyebabkan kelemahan otot-otot panggul.

g. Kelainan jaringan ikat

Wanita dengan kelainan jaringan ikat lebih untuk mungkin untuk

mengalami prolapsus. Pada studi histologi menunjukkan bahwa pada wanita

dengan prolapsus, terjadi penurunan rasio kolagen tipe I terhadap kolagen

tipe III dan IV. Pada beberapa penelitian, sepertiga dari perempuan dengan

Sindroma Marfan dan tigaperempat perempuan dengan Sindroma Ehler-


Danlos tercatat mengalami POP. Kelemahan bawaan (kongenital) pada

fasia penyangga pelvis mungkin penyebab prolapsus uteri seperti yang

kadang-kadang ditunjukkan pada nulipara.

h. Merokok

Merokok juga dikaitkan dalam pengembangan prolapsus. Senyawa kimia

yang dihirup dalam tembakau dipercaya dapat menyebabkan perubahan

jaringan yang diduga berperan dalam terjadi prolapses.Namun, beberapa

penelitian tidak menunjukkan hubungan antara merokok dengan terjadinya

prolapsus.

Diagnosis POP ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga


pemeriksaan ginekologis serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan POP
secara khusus dilakukan umumnya mempergunakan sistem penilaian pelvic
organ prolapse quantification (POPQ). Cara penilaian ini dipilih karena lebih
objektifdanmampu secaraspesifik menunjukkan area kelainan yang prolaps
(PersuC,ChappleCR,Cauni V,GutueS).

Wanita dengan prolapsus uteri dapat mengalami masalah fisik dan psiko-
sosial. Masalah fisik yang mereka alami antara lain, rasa sakit, disfungsi
seksual, discharge (cairan abnormal dari vagina), sensasi dan perasaan berat
dalam vagina, kesulitan berjalan dan duduk, infeksi dan pembusukan jaringan.
Enam puluh delapan persen penderita prolapsus uteri mengatakan
menderita inkontinensia urin. Diantaranya, 59% juga mengalami rasa

terbakar dan nyeri saat buang air kecil. Masalah atau gangguan fisik
tersebut merupakan salah satu kontributor utama yang mempengaruhi
rendahnya kesehatan reproduksi.

Masalah psiko-sosial yang mereka hadapi diantaranya adalah stres, isolasi


emosional, ditinggalkan oleh suami atau perceraian, ejekan dan rasa malu,
risiko kekerasan dan diskriminasi serta ketidakmampuan untuk bekerja karena

mobilitas terbatas. Meskipun prolapsus uteri jarang menyebabkan


mortalitas atau morbiditas berat, tetapi dapat mempengaruhi aktivitas
sehari-hari dan kualitas hidup wanita.

2.3 Peran Bidan dalam upaya mencegah Gangguan Organ Panggul karena Proses
Persalinan
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup khususnya wanita di Indonesia
yang mencapai usia 74-88 tahun pada tahun 2014 maka jumlah wanita usia lanjut akan
meningkat sehingga dikhawatirkan kasus prolapsus uteri juga akan semakin
bertambah. Untuk alasan tersebut, maka diperlukan upaya-upaya untuk mencegah
terjadinya prolapsus uteri dan untuk memi ni malisir dampak yang terjadi akibat
prolapsus uteri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memprediksi
atau deteksi dini faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya prolapsus
uteri.
Wanita yang teridentifikasi prolaps organ panggul melalui pemeriksaan fisik,
sering bersifat asimptomatis sehingga tidak perlu intervensi. Terapi untuk wanita
dengan POP simptomatis bergantung pada status kesehatan umum pasien, gejala yang
dialami,keterbatasan kualitas hidup dan derajat prolaps. Pilihan terapi yang ada.
Upaya pencegahan terjadinya POP dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Merencanakan dilakukan operasi sectio cesarea (SC) terutama pada ibu – ibu
yang memiliki resiko terjadinya POP, dengan menggunakan sistim skoring (UR-
CHOICE) meliputi beberapa faktor risiko seperti: riwayat inkontinens urin
sebelum hamil, usia anak pertama, indeks massa tubuh, suku, riwayat keluarga
dengan disfungsi organ panggul, berat bayi, tinggi ibu. Pengurangan berat badan
merupakan upaya preventif yang berhubungan dengan perbaikan secara subjektif
tetapi tidak secara objektif dengan pelvic organ prolapse quantification (POP-Q)
(Giarenis., 2014). Upaya menurunkan berat badan dan menjalani pola hidup sehat,
menghindari mengangkat benda – benda berat dan mencegah konstipasi
merupakan upaya pencegahan POP yang semuanya bertujuan mengurangi tekanan
pada otot dasar panggul (Braekken., 2010).
 Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu upaya pencegahan yang
berisiko rendah dan biaya murah, sehingga direkomendasikan.Adapun jenis
latihannya adalah senam Kegel, yang diperkenalkan pertama kali oleh Arnold
Kegel tahun 1948. (Schorge., 2012; Filho., 2013). Tujuan latihan otot dasar
panggul ini adalah meningkatkan resistensi / kekuatan otot dasar panggul,
mencegah terjadinya POP, mengurangi gejala gangguan berkemih dan
mencegah atau mengurangi kebutuhan akan tindakan operasi (Hagen S.,
2011). Keberhasilan latihan ini sangat tergantung dari motivasi tiap individu
dan dukungan dari tim rehabilitasi.
Pada beberapa pusat penelitian randomised control trials (RCTs)
pada wanita prolaps stadium I – III dengan latihan otot dasar
panggul one-to-one selama 16 minggu sampai 6 bulan menunjukkan hasil
yang positif memberikan perbaikan gejala dan stadium POP-Q sekitar 19 –
27% (Braekken., 2010). Penilaian kemajuan latihan otot dasar panggul
ini dinilai melalui ultrasonografi dan disimpulkan terjadi peningkatan
volume otot, berkurangnya hiatus otot levator ani dan meningkatnya
resting position rektum dan kandung kemih. Latihan dasar otot panggul
dapat memperbaiki derajat prolaps dan mengurangi keluhan POP
(penonjolan vagina dan perasaan berat) (Braekken., 2010)
Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu upaya
pencegahan yang berisiko rendah dan biaya murah, sehingga
direkomendasikan. Adapun jenis latihannya adalah senam Kegel(Schorge.,
2012; Filho., 2013). Tujuan latihan otot dasar panggul ini adalah
meningkatkan resistensi / kekuatan otot dasar panggul, mencegah
terjadinya POP, mengurangi gejala gangguan berkemih dan mencegah
atau mengurangi kebutuhan akan tindakan operasi (Hagen S., 2011).
Keberhasilan latihan ini sangat tergantung dari motivasi tiap individu dan
dukungan dari tim rehabilitasi. Latihan dasar otot panggul dapat
memperbaiki derajat prolaps dan mengurangi keluhan POP (penonjolan
vagina dan perasaan berat)
Cara melakukan senam Kegel mudah dan dapat dilakukan dalam
berbagai posisi baik terlentang, duduk atau berdiri dan di tempat manapun.
Apabila dilakukan dengan posisi berdiri maka berdirilah dengan tegap,
tulang punggung lurus dan jaga bahu tidak lunglai. Jika melakukan dengan
posisi terlentang, berbaringlah dalam posisi yang rileks, letakkan tangan
dilantai, pastikan pikiran dalam keadaan santai. Cara melakukan senamnya
persis saat menahan air seni dan menahan buang angin pada waktu
bersamaan. Fokuskan pikiran pada area vagina dan anus lalu
rapatkan/jepit, tahan selama 5 detik lalu lepaskan sambil membuang nafas.
Lakukan hal tersebut berulang – ulang dengan frekuensi lama menahan
semakin ditingkatkan hingga 10 detik. Awali dengan frekuensi latihan
kecil, yaitu dua kali seminggu dengan tiga kali tiap harinya, sebanyak 3 set
dengan 8 – 12x kontraksi setiap seri. Semakin rutin melakukan senam
Kegel, maka semakin cepat dirasakan manfaatnya (IUGA., 2011).
2.4 Evidance Based Dalam kebidanan

PROLAPS ORGAN
PANGGUL
ABSTRAK

Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai penurunan abnormal atau herniasi
dari organ-organ panggul dari tempat melekat atau posisi normalnya di dalam rongga
panggul. Adapun anatomi organ panggul tersebut terdiri dari tulang, otot, serta saraf .
Adanya kerusakan pada visceral panggul dan jaringan ikat pelekat organ-organ panggul
menjadi penyebab terjadi POP. Gejala-gejala yang muncul pada pasien POP tidak
spesifik untuk membedakan prolaps dari beberapa kompartemen tetapi dapat
mencerminkan derajat prolaps secara keseluruhan. Pemeriksaan fisik difokuskan pada
pemeriksaan panggul, dimulai dengan inspeksi pada vulva dan vagina untuk
mengidentifikasi adanya erosi, ulserasi, atau lesi lain. Adapun pilihan manajemen
terapi yang ada meliputi observasi, manajemen non-operatif, dan manajemen operatif.

Kata Kunci: Prolaps organ panggul, anatomi, gejala, pemeriksaan fisik,


manajemen

KUALITAS KEHIDUPAN SEKSUAL PEREMPUAN PASCA


HISTEREKTOMI VAGINAL DAN KOLOPRA UNTUK
PERBAIKAN PROLAPS ORGAN PANGGUL
ABSTRAK

Prolaps organ panggul yaitu keadaan turunnya organ panggul melalui vagina, merupakan
salah satu disfungsi dasar panggul yang dapat berakibat nyeri senggama atau disfungsi
seksual. Prosedur kolporafi anterior dan posterior dapat menurunkan gejala disfungsi
seksual yang berhubungan dengan prolaps, serta memperbaiki kepuasan seksual,
demikian pula prosedur pembedahan histerektomi vaginal. Dispareunia dapat terjadi
pasca-perbaikan dinding posterior vagina.

Kata kunci: Disfungsi dasar panggul, disfungsi seksual perempuan, histerektomi,


kolporafi
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ – organ yang mengisi
daerah panggul yaitu: uterus, kandung kemih dan rektum, dari posisi anatomis
yang normal masuk ke vagina atau sebagian sekitar 2% sampai menonjol keluar
dari vagina. Prevalensi prolaps organ panggul secara epidemiologi berkisar 30 –

45% pada wanita usia diatas 50 tahun atau dengan status pascamenopause.
Prolpas organ panggul dapat dibagi menurut tipenya, yaitu: prolaps uterus, prolaps
dinding anterior vagina yaitu kandung kemih (sistokel) dan prolaps dinding
posterior vagina yaitu rektum (rektokel).
Kekuatan organ panggul terletak pada sistem penyokong organ panggul yang
terdiri dari fasia endopelvis, otot levator ani (puborektalis, pubokoksigeus dan
iliokoksigeus), ligamentum sakrouterina, ligamentum kardinal dan badan
perineum atau perineal body.Penyebab terjadinya POP bersifat kompleks dan
multifaktorial. Adapun faktor penyebabnya meliputi: demografi (usia, status
pascamenopause), obstetri (paritas, persalinan pervaginam, instrumentasi
pervaginam), operasi daerah pelvis (histerektomi, operasi POP), gangguan
pencernaan (konstipasi kronik), gangguan jaringan penyokong (Ehlers-
Danlos/Benign joint, hypermobility syndrome, Marfan syndrome). pola hidup
(obesitas, merokok, penyakit gangguan pernafasan, olahraga yang berlebihan),
genetik (riwayat keluarga, kulit putih). Kendati demikian faktor utama penyebab
POP sampai saat ini disebabkan persalinan pervaginam dimana terjadi trauma
pada otot – otot dasar panggul (muscle trauma) berupa peregangan maksimal dan
penekanan keberadaan bayi dan cedera pada persyarafan (neuropathy injury) baik
saat mengandung maupun saat persalinan dengan tindakan mengedan.
Upaya pencegahan menjadi jawaban utama untuk mencegah terjadinya
POP, ini dikarenakan biaya operasi POP sangat besar, memerlukan tenaga yang
profesional serta rekurensi POP cukup besar sekitar 13% pasien akan kembali
dioperasi dalam 5 tahun kemudian. Adapun upaya pencegahan dapat berupa
perencanaan sectio cesarea pada pasien yang memiliki indikasi, mengurangi berat
badan dengan menjalani pola hidup sehat karena dengan berat badan ideal maka
akan mengurangi tekanan dan trauma pada otot dasar panggul, melakukan secara
teratur senam Kegel untuk memperkuat otot dasar panggul dan pemberian terapi
Hormone Replacement Therapy (HRT) berupa estrogen dan konjugasinya yang
akan memperkuat ligament, otot dan mukosa vagina. Ada beberapa bentuk
sediaan yang dapat digunakan terutama yang sesuai dengan kenyamanan
penggunanya.
2
0

3.2 Saran
2
1

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai