2 - RS - Maudy Afrilin
2 - RS - Maudy Afrilin
O L E H:
MAUDY AFRILIN
N014201098
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau,
Kota Parepare, guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Subehan, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA., Apt. selaku Koordinator PKPA Farmasi
Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
4. Bapak Muh. Akbar Bahar, S.Si., M.Pharm,Sc, Apt selaku Pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit yang telah membimbing dan memberi banyak ilmu dan
pengetahuan selama kegiatan PKPA.
5. Ibu Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad, Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit UmumAndi Makkasau, Kota Parepare, yang telah membimbing selama
melakukan kegiatan PKPA.
6. Ibu Dianayu Lestari, S.Si., M.Si., Apt.selaku Pembimbing Teknis PKPA
Farmasi Rumah Sakit di RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare, yang telah
membimbing dan memberi banyak ilmu dan pengetahuan selama melakukan
kegiatan PKPA
7. dr. Wisudawan, Sp.JP, M.Kes. FIHA. selaku Pembimbing Kasus PKPA
Farmasi Rumah Sakit di RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare, yang telah
membimbing dalam diskusidan memberi banyak ilmu dan pengetahuan selama
melakukan kegiatan PKPA.
iii
8. Seluruh pegawai RSUD Andi Makkasau Kota Parepare yang telah banyak
membantu dan memberi banyak pengalaman selama pelaksanaan PKPA.
9. Orang tua dan saudara penulis yang telah membantu dalam materil dan non
materil.
10. Teman-teman kampus dan teman-teman SMA juga kepada teman seperjuangan
PKPA. Terkhusus kepada Rezaldy Mahaputra, S.Si., Dian Lintang, S.Si.,
Aisyah Nur Sapriati., S.Farm., Cendy Elvando, S.Farm yang banyak memberi
masukan dalam menyelesaikan laporan ini
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan,
namun penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.
Maudy Afrilin
iv
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan…………………………………………………………….....ii
Kata Pengantar……………………………………………………………………iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………...v
Daftar Tabel………………………………………………………………………vi
Bab I Pendahuluan………………………………………………………………...1
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Gagal Jantung…………………………………………………………….3
II.2 Penyakit Jantung Koroner………………………………………………..8
II.3 Pengobatan Gagal Jantung dan Jantung Koroner……………………….12
Bab III Studi Kasus
III.1 Profil Pasien……………………………………………………………14
III.2 Profil Penyakit………………………………………………………….15
III.3 Data Klinik Pasien……………………………………………………..16
III.4 Data Laboratorium……………………………………………………..17
III.5 Profil Pengobatan………………………………………………………18
III.6 Analisis Rasionalitas…………………………………………………...19
III.7 Data Assesment dan Plan………………………………………………20
III.8 Data Konseling Pasien…………………………………………………22
III.9 Uraian Obat…………………………………………………………….23
Bab IV Pembahasan……………………………………………………………...59
Bab V Penutup…………………………………………………………………...63
Daftar Pustaka……………………………………………………………………64
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
selama 4 tahun terakhir, CAD tetap bertanggung jawab atas sekitar sepertiga atau
lebih dari semuanya kematian pada individu di atas usia 35 dan telah diperkirakan
bahwa hampir setengah dari semua pria lanjut usia dan sepertiga wanita lanjut usia
di Amerika Serikat akan mengalami CAD (de Lemos & Omland, 2018).
Dari uraian diatas maka dilakukan studi kasus mengenai asuhan
kefarmasian terkait pengobatan pasien jantung koroner dan gagal jantung. Studi
kasus tersebut dilakukan dengan menganalisis rasionalitas pengobatan yang
diberikan pada pasien tersebut di ruang perawatan Cardiac RSUD Andi Makkasau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gagal Jantung
II.1.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung (HF) adalah sindrom klinis progresif yang terjadi karena
kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel
jantung untuk mengisi atau mengeluarkan darah. HF mungkin disebabkan oleh
kelainan pada fungsi sistolik, fungsi diastolik, atau keduanya. HF adalah jalur
umum terakhir untuk berbagai gangguan jantung termasuk gangguan yang
mempengaruhi perikardium, katup jantung, dan miokardium. Penyakit yang
merugikan mempengaruhi ventrikel diastol (pengisian), ventrikel sistol
(kontraksi), atau keduanya dapat menyebabkan gagal jantung (Dipiro, Joseph T et
al., 2020) . Gagal jantung dibagi lagi menjadi HF dengan pengurangan fraksi ejeksi
ventrikel kiri (HFrEF) dan HF dengan tekanan fraksi ejeksi ventrikel kiri (HFpEF),
yang disebut sebagai HF diastolik (Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho,
2018).
II.1.2 Etiologi
Gagal jantung (HF) dapat terjadi akibat gangguan apa pun yang
memengaruhi kemampuan jantung berkontraksi (fungsi sistolik) dan / atau rileks
(disfungsi diastolik). HF dengan fungsi sistolik yang berkurang (yaitu, LVEF
berkurang) adalah bentuk kelainan klasik yang lebih dikenal dan sekarang disebut
sebagai gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi (HFrEF). Sekitar 50%
pasien dengan HF telah mempertahankan fungsi ventrikel kiri sistoolik dengan
dugaan disfungsi diastolik, sekarang disebut gagal jantung dengan fraksi ejeksi
yang dipertahankan (HFpEF). Pasien dengan HFpEF biasanya adalah lansia,
wanita, dan obesitas, dan menderita hipertensi, fibrilasi atrium, atau diabetes.
Kematian lebih rendah pada pasien dengan HFpEF dibandingkan dengan pasien
HFrEF, meskipun pasien HfpEF lebih tua. Pasien dengan HFpEF lebih mungkin
mengalami hipertensi tetapi cenderung lebih sedikit mengalami penyakit koroner
(masing-masing 41% vs 55%) (Dipiro, Joseph T et al., 2020).
3
4
Stadium C Kelas 3
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktivitas yang
berhubungan dengan penyakit structural bermakna. Tidak terdapat keluhan
jantung yang mendasari saat istirahat, namun aktivitas fisik
ringan menyebabkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Stadium D Kelas 4
Penyakit jantung structural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna muncul saat istirahat istirahat. Keluhan meningkat saat
walaupun sudah mendapatkan terapi melakukan aktivitas.
farmakologi maksimal (refrakter)
II.1.4 Patofisiologi
Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan beberapa mekanisme
kompensasi kompleks dalam upaya untuk mempertahankan CO dan oksigenasi.
Yang termasuk gagal jantung, yaitu peningkatan tonus simpatis, aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), natrium dan retensi air, dan adaptasi
neurohormonal lainnya yang menyebabkan “remodeling” jantung (dilatasi
ventrikel, hipertrofi jantung, dan perubahan bentuk LV) (Caroline S. Zeind &
Michael G. Carvalho, 2018). Gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi
(HFrEF). HFrEF adalah gangguan progresif yang dimulai oleh peristiwa apa pun
yang mengganggu kemampuan jantung berkontraksi dan terkadang mengendur
sehingga terjadi peristiwa penurunan indeks CO yang mungkin memiliki onset akut,
seperti MI, atau onset mungkin lambat, seperti dengan HTN lama. Terlepas dari
peristiwa indeks, penurunan hasil CO dalam aktivasi respon kompensasi untuk
mempertahankan sirkulasi. Tanggapan kompensasi HFrEF tanggapan kompensasi
meliputi (Dipiro, Joseph T et al., 2020) :
a) Takikardia dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf simpatis
(SNS),
b) Mekanisme Frank-Starling, di mana peningkatan preload menghasilkan
peningkatan SV,
6
c) Vasokonstriksi, dan
d) Hipertrofi ventrikel dan renovasi.
Sedangkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan HfpEF
adalah gangguan yang dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana relaksasi
miokard dan pengisian rusak dan tidak lengkap. Ventrikel tidak dapat menerima
volume darah yang cukup dari sistem vena, tidak terisi pada tekanan rendah, dan /
atau tidak dapat mempertahankan SV normal. Dalam bentuk yang paling parah,
hasil HfpEF pada gejala HF terlihat jelas. Pada HFpEF sederhana, gejala dispnea
dan kelelahan hanya terjadi selama stres atau aktivitas, ketika denyut jantung dan
volume diastolik akhir meningkat (Dipiro, Joseph T et al., 2020).
Konsekuensi dari mekanisme adaptif ini dapat menimbulkan lebih banyak
kerugian daripada keuntungan. Keseimbangan relatif dari masing-masing proses
adaptif ini bervariasi tergantung pada jenis gagal jantung (disfungsi sistolik versus
diastolik) dan dari pasien untuk pasien dengan gangguan yang sama. Pemahaman
tentang manfaat potensial dan konsekuensi merugikan dari mekanisme kompensasi
ini penting untuk memahami tanda, gejala, dan pengobatan gagal jantung (Caroline
S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
II.1.5 Tanda dan Gejala
Gagal Jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020) :
1) Gejala khas gagal jantung: Sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan,
edema tungkai.
2) Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.
3) Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat,
kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptide natriuretik.
Dispnea yang memburuk adalah gejala utama dari gagal jantung dan biasanya
terkait dengan peningkatan pengisian tekana jantung, tetapi juga mungkin
menunjukkan curah jantung yang terbatas. Dispnea saat istirahat sering disebutkan
oleh pasien dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung dan memiliki sensitivitas
7
diagnostik yang tinggi dan konsekuensi prognostik yang signifikan pada gagal
jantung. Pasien mungkin tidur dengan kepala diangkat untuk meredakan dispnea
saat berbaring (ortopnea); Selain itu, dispnea sementara berbaring di sisi kiri
(trepopnea) dapat terjadi. Dispnea nokturnal paroksismal, sesak napas berkembang
sambil berbaring, adalah salah satu indikator HF yang paling dapat diandalkan
(Goodman & Gilman's, 2018).
II.1.6 Faktor Resiko
Faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah yang dapat dimodifikasi
meliputi kebiasaan merokok, kolesterol, tekanan darah tinggi, kelebihan berat
badan, dan diabetes. Sedangkan faktor risko penyakit jantung dan pembuluh darah
yang tidak dapat dimodifikasi meliputi riwayat penyakit jantung di keluarga,
diabetes, umur, jenis kelamin, dan etnis. Secara umum, faktor risiko yang
berkontribusi terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah meliputi
status sosioekonomi, kesehatan mental, diet, berat badan lebih dan obesitas, kurang
aktivitas, konsumsi tembakau, alkohol, diabetes, globalisasi dan urbanisasi (Umara
et al., 2020).
II.1.7 Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Tabel 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2020).
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
Sesak nafas Peningkatan JVP
Ortopneu Refluks hepatojugular
Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe Suara jantung S3 (gallop)
Toleransi aktivitas yang berkurang Apex jantung bergeser ke lateral
Cepat Lelah Murmur jantung
Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Spesifik
Batuk di malam hari/dini hari Edema perifer
8
Makrofag, Sel Otot Polos, Trombosit, Sel Endotel, Sel Dendritik, Limfosit T, dan
Sel Mast (Willerson, James T. & David R. Holmes, 2015)
II.2.5 Tanda dan Gejala
Presentasi "klasik" dari ACS secara tiba-tiba muncul nyeri dada substernal
yang sering digambarkan sebagai sensasi tertekan, berat, atau sesak di dada
terkadang menyebar, biasanya ke salah satu atau kedua lengan atau bahu (lebih
sering terjadi radiasi ke sisi kiri), leher, atau rahang. Penderita ACS juga dapat
mengalami diaforesis, mual, muntah dan dispnea. Sepertiga dari pasien dengan
ACS yang datang dengan gejala khas yang tidak termasuk nyeri dada. Gejala tipikal
yang meliputi nyeri epigastrik, gangguan pencernaan, menusuk, atau nyeri dada
pleuritik, dan meningkat exertional dyspnea dan yang paling umum terjadinya
angina. Orang dewasa yang lebih tua (75 tahun atau lebih), wanita, dan pasien
dengan diabetes mellitus (DM), gangguan fungsi ginjal, dan demensia
kemungkinan besar mengalami gejalan tipikal tersebut (Dipiro, Joseph T et al.,
2020).
II.2.6 Faktor Resiko
Faktor risiko CAD dibagi menjadi 2 faktor yang beberapa, yaitu (de Lemos &
Omland, 2018) :
a. Faktor Umum yang biasanya tersedia sebagai bagian dari evaluasi klinis
sederhana atau skrining pemeriksaan pasien CAD. Faktor ini termasuk usia, jenis
kelamin, ras/etnis, merokok, detak jantung, tekanan darah (TD), dan total
kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL-C), kolesterol lipoprotein densitas
tinggi (HDL-C), diabetes melitus, adipositas, merokok, dan pegaruh sosial. EKG
sering dimasukkan dalam daftar faktor tradisional ini karena EKG informasinya
harus tersedia. Perpanjangan dari ini faktor umum adalah kondisi medis dan
eksposur seperti pencemaran lingkungan dan kebisingan yang mungkin
membuat individu berisiko lebih besar terkena aterosklerosis.
b. Faktor Kedua adalah biomarker yang biasanya diukur dalam darah atau
berpotensi dalam spesimen lain seperti air seni. Contoh dari faktor-faktor ini
adalah penanda peradangan seperti protein C-reaktif, asam urat, aldosteron,
faktor pembekuan darah, dan homosistein.
12
kurang dari 110 mmHg. Risiko utama adalah hipotensi yang berhubungan
negatif dengan hasil yang menguntungkan pada pasien dengan jantung
dekompensasi kegagalan akut (Goodman & Gilman's, 2018).
8. Digoxin
Digoxin memiliki beberapa tindakan farmakologis di jantung. Digoxin
mengikat dan menghambat natrium-kalium (Na +/ K +) adenosin trifosfatase
(ATPase) dalam sel jantung, menurunkan transportasi keluar natrium dan
meningkatkan konsentrasi intraseluler kalsium di dalam sel. Kalsium yang
mengikat retikulum sarkoplasma menyebabkan peningkatan kondisi kontraktil
jantung. Digoxin menurunkan kecepatan konduksi dan memperpanjang periode
refraktori simpul atrioventrikular (AV). Efek pemblokiran node AV ini
memperpanjang PR interval dan merupakan dasar penggunaan digoksin dalam
memperlambat laju respons ventrikel pada pasien dengan AF dan aritmia
supraventrikular lainnya (Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
2) Terapi Non-Farmakologi
Adapun terapi non farmakologi pasien gagal jantung dan jantung coroner,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020) :
1. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefenisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung. Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
untuk perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup,
morbiditas, dan prognosis.
2. Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas
dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat
pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
17
1. Obat Fibrinolitik
Obat fibrinolitik yang saat ini digunakan untuk pasien STEMI adalah
Alteplase (t-PA), Reteplase (r-PA), dan Tenecteplase (TNK). Alteplase adalah
20
3. Antiplatelet
Agen antiplatelet atau obat antiplatelet telah dilaporkan digunakan dalam
pengobatan CAD. Obat ini dapat mengubah fungsi trombosit dengan
menghambat aktivitas enzim yang diperlukan untuk produksi prostaglandin,
yang dikenal sebagai cycloxygenase (Malakar et al., 2019).
a. Aspirin
Dalam trombosit, produk utama COX-1 adalah TxA2 penginduksi
trombosit yang labil agregasi dan vasokonstriktor kuat. Aspirin memblokir
produksi TxA2 dengan asetilasi residu serin di dekat situs aktif platelet COX-
1. Karena trombosit tidak mensintesis protein baru, aksi Aspirin pada platelet
COX-1 bersifat permanen, berlangsung seumur hidup platelet (7–10 hari).
Dengan demikian, dosis aspirin berulang menghasilkan efek kumulatif pada
fungsi trombosit. Inaktivasi lengkap platelet COX-1 dicapai dengan dosis
harian Aspirin 75 mg. Sejumlah percobaan menunjukkan bahwa Aspirin, bila
digunakan sebagai obat antiplatelet efektif secara maksimal pada dosis 50–
325 mg / hari. Lebih tinggi dosis tidak meningkatkan kemanjuran dan
berpotensi kurang berkhasiat karena penghambatan produksi prostasiklin,
yang sebagian besar dapat dihindarkan menggunakan dosis rendah Aspirin.
Dosis yang lebih tinggi juga meningkatkan toksisitas, khususnya berdarah
(Goodman & Gilman's, 2018).
Aspirin jarang digunakan sebagai satu-satunya agen antiplatelet rawat
inap dengan dan biasanya dikombinasikan dengan antagonis reseptor P2Y12
oral. Kombinasi ini disebut terapi antiplatelet ganda (DAPT) (Dipiro, Joseph
T et al., 2020).
b. Antagonis Reseptor P2Y12
Saat ini ada tiga obat oral antagonis reseptor P2Y12, yaitu Clopidogrel,
Prasugrel, dan Ticagrelor dan satu agen intravena (IV) (cangrelor).
Clopidogrel dan Prasugrel keduanya termasuk dalam kelas kimia
thienopyridines yang merupakan obat yang membutuhkan aktivasi hati.
Kedua agen itu punya cincin tiol yang harus dibuka untuk mengekspos atom
belerang. Belerang ini kemudian berinteraksi dengan belerang dalam P2Y12
23
dengan LVEF <40%, diabetes atau gejala gagal jantung, dengan asumsi
mereka tidak memiliki kontraindikasi.
c) Nitrat
Nitrat dalam bentuk Nitrogliserin sublingual atau Nitrogliserin semprotan
telah digunakan untuk menghilangkan angina dengan meredakan gejala
sendiri dengan meningkatkan suplai oksigen miokard dan menurunkan
kebutuhan oksigen miokard. Agen terapeutik ini direkomendasikan sebagai
aditif jika β-blocker saja tidak efisien (Malakar et al., 2019).
2) Terapi Non-Farmakologi
Revaskularisasi myokard dengan pencangkokan bypass arteri koroner
(CABG) dan angioplasti koroner transluminal perkutan (PTCA) sangat
penting dalam pengobatan penyakit parah angina. Ini adalah satu-satunya
metode yang mampu secara konsisten meningkatkan aliran darah koroner
pada angina aterosklerotik dan meningkat produk ganda (Katzung &
Trevor’s., 2015).
II.3 Pemeriksaan Penunjang
Peranan pemeriksaan penunjang dalam diagnosis dan tatalaksana gagal
jantung sangatlah besar. Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan antara lain,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020)
1. Oksimetri Nadi
Pemeriksaan oksimetri nadi bermanfaat mengidentifikasi sianosis pada
bayi. Penurunan saturasi oksigen perkutaneus tidak dihubungkan dengan
penyakit jantung asianotik kecuali terdapat perfusi jaringan yang buruk atau
pirau kanan ke kiri intrapulmonal.
2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG bermanfaat dalam menilai penyebab gagal jantung tetapi
tidak menentukan diagnosis dari gagal jantung. Pada penyakit inflamasi miokard
ditemukan adanya karakteristik gambaran QRS voltase rendah dengan kelainan
gelombang ST-T yang dapat dilihat pada kasus perikarditis juga. EKG
merupakan penunjang terbaik dalam menilai gagal jantung yang disebabkan oleh
gangguan irama jantung.
26
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah modalitas pencitraan utama dalam gagal jantung
anak, karena dapat memperlihatkan secara jelas struktur dan fungsi jantung.
Berbagai kelainan jantung dapat ditegakkan melalui ekokardiografi 2-dimensi
dan M-mode. Pemeriksaan doppler dengan warna dapat menambah informasi
secara bermakna. Apabila ekokardiografi 2-dimensi lebih banyak rnembantu
dalam penentuan kelainan struktural, maka ekokardiografi M-mode bermanfaat
menentukan dimensi ruang jantung, tebal dinding belakang ventrikel, septum
ventrikel, serta pembuluh darah besar. Pelebaran atrium kiri, ventrikel kiri,
atrium 19 kanan, ventrikel kanan, serta kontraktilitas ventrikel juga dapat dinilai
dengan akurat.
4. Foto Toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang yang hampir selalu
dilakukan pada pasien gagal jantung. Pada foto toraks memperlihatkan
kardiomegali dan gambaran edema paru.
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan kadar B-type natriuretic peptide (BNP) dapat membedakan
keluhan sesak nafas berasal dari kelainan jantung atau paru. Pemeriksaan
neurohormonal seperti BNP dan N-terminal pro BNP belum rutin dilakukan
pada anak karena belum adanya kepustakaan yang mengeluarkan nilai batas
tertinggi maupun terendah. Kadar neurohormonal ini sangat dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, tipe dari kerusakan ventrikel dan morfologi jantung). Kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu diperiksa pada gagal jantung. Anemia dapat
menyebabkan gagal jantung, atau memperburuk status gagal jantung. Analisis
gas darah, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) dan gula darah serum
serta analisis urin harus diperiksa pada pasien gagal jantung, yang keadaannya
tidak stabil.
BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama Pasien : Ny. IS
Umur : 52 Tahun
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 19XXXX
R. Inap : Cardiac
Tanggal Masuk RS : 22 Apr. 2021
Tanggal Keluar RS : 26 Apr. 2021
27
28
Ket :
Merah : Tinggi
Biru : Rendah
30
KIMIA
Laki-laki <= 37
SGOT ( Aspartat Transaminase/ AST) 24 U/L
Perempuan <=31
Laki-laki <= 40
SGPT (Alanin Transaminase/ ALT) 11 U/L
Perempuan <=31
ELEKTROLIT
Natrium 140 136-45 mmol/l
Kalium 4,9 3,5-5,1 mmol/l
Clorida 108 98-107 mmol/l
DIABETES
Glukosa Sewaktu 104 <140 mg/dl
LIPID
Kolesterol LDL Direk 80 <130 mg/dl
FUNGSI GINJAL
Laki-laki 0,6-1,1
Creatinine 3,1 mg/dl
Perempuan 0,5-0,9
Urea 100 10-50 mg/dl
31
III.5 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan gejala penyakit dari kondisi pasien selama dirawat di
rumah sakit diberikan terapi pengobatan seperti pada tabel 3.5.
Tabel 3.5. Profil Pengobatan Pasien Selama Perawatan
35
36
g. Interaksi Obat
Beberapa obat-obatan yang mungkin menimbulkan interaksi jika dikonsumsi
bersamaan dengan NaCl adalah lithium dan tolvaptan.
2. NITROGYCERIN IV (Medscape, 2020) (MIMS, 2020)
a. Kemasan / Komposis
Ampul ukuran 25 mL mengandung Nitroglycerin atau Glyceryl Trinitrate.
b. Indikasi
Nitrogliserin adalah obat vasodilatasi yang digunakan terutama untuk
meredakan nyeri dada pada Angina pektoris, hipertensi perioperatif, gagal jantung
kongestif dalam pengaturan MI, induksi hipotensi intraoperatif.
c. Dosis dan Cara Pemakaian
1) Pemberian dosis: 5-10 mcg/menit IV melalui infus setelah dilusi.
2) Ditambah 5 mcg/menit IV setiap 3-5 menit sampai beberapa respon terlihat.
3) Jika tidak ada respon dengan 20 mcg/menit: Boleh tingkatkan dosis sebesar 10
mcg/menit dan sesudahnya jika diperlukan, tambahan sebesar 20 mcg/menit
bisa diberikan.
4) Dosis umum: 10-200 mcg/menit
d. Mekanisme Kerja
Mirip dengan nitrat lain yang digunakan untuk mengobati nyeri dada anginal,
Nitrogliserin diubah menjadi oksida nitrat (NO) di dalam tubuh. NO kemudian
mengaktifkan enzim guanylyl cyclase, yang mengubah guanosine triphosphate
(GTP) menjadi guanosine 3 ', 5'-monophosphate (cGMP) di otot polos pembuluh
darah dan jaringan lain. cGMP kemudian mengaktifkan banyak fosforilasi yang
bergantung pada protein kinase, yang pada akhirnya menghasilkan defosforilasi
rantai ringan miosin dalam serat otot polos. Aktivitas ini menyebabkan relaksasi
otot polos di dalam pembuluh darah, menghasilkan efek vasodilatasi yang
diinginkan.
38
e. Interaksi
Penggunaan secara bersamaan dengan Acetylcystein dapat meningkatkan efek
vasodilator dari Nitrogliserin melalui efek farmakodinamik sinergi.
f. Kontraindikasi
1) Reaksi alergi terhadap Nitrogliserin sangat jarang terjadi, tetapi laporan
memang ada. Nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang telah
melaporkan gejala alergi terhadap obat tersebut.
2) Penggunaan Nitrogliserin bersamaan dengan penghambat PDE-5 (misalnya,
sildenafil sitrat, vardenafil hidroksida, tadalafil) merupakan kontraindikasi
mutlak. Penghambat PDE-5 telah terbukti menonjolkan efek hipotensi nitrat
dan memicu episode sinkop.
g. Efek Samping
Pusing, sakit kepala, detak jantung tidak beraturan, palpitasi, vertigo, mual
dan muntah, Diaforesis dan Syncope.
h. Peringatan dan Perhatian
1) Jauhi dari pasien dengan hipotensi akut, hipovolemia, anemia, gagal jantung
dalam kaitan dengan adanya gangguan atau meningkatnya tekanan yang
berhubungan dengan trauma atau perdarahan.
2) Gunakan dengan hati-hati ketika ada penurunan SBP (Systolic Blood
Pressure) kurang dari 110 mmHg pada pasien penderita normotensive, dan
penurunan yang berarti pada tekanan arterial lebih dari 25 % pada pasien
penderita hipertensi.
3) Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati atau ginjal akut,
hipotiroidisme, malnutrisi atau hipotermia.
4) Pengawasan HR & BP yang ketat diperlukan selama infus IV.
5) Jangan berikan pada pasien yang mengkonsumsi inhibitor phospodiesterase
dalam waktu 24 jam terakhir.
39
b. Indikasi
Terapi antiplatelet pada gangguan tromboemboli, infark miokard, penyakit
arteri perifer, dan stroke. Clopidogrel juga digunakan dengan Aspirin pada sinrom
koroner akut, termasuk infark miokard akut danangina tidak stabil, dan
pemasangan stent koroner.
c. Mekanisme Kerja
Clopidogrel secara selektif menghambat ikatan Adenosine Di-Phosphate
(ADP) pada reseptor ADP di platelet, dengan demikian menghambat aktivasi
kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi ADP, yang menimbulkan
penghambatan terhadap agregasi platelet.
d. Dosis dan Aturan Pakai
1. Angina dan non-ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)Dosis awal
adalah 300 mg satu kali sehari, diikuti dosis perawatan 75 mg satu kali sehari.
Lama pengobatan ditentukan oleh dokter.
2. ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
3. Dosis awal adalah 300 mg satu kali sehari (dapat berubah tergantung kondisi
pasien), diikuti dosis perawatan 75 mg satu kali sehari. Lama pengobatan
ditentukan oleh dokter.
4. Pemberian Clopidogrel untuk kondisi ini dapat dikombinasikan dengan 75–
325 mg aspirin satu kali sehari.
5. Stroke iskemik, serangan jantung, penyakit arteri perifer75 mg satu kali
sehari.
e. Efek Samping
Infeksi saluran pernapasan atas, nyeri dada, sakit kepala, flulike syndrome,
arthralgia, sakit, pusing, diare, ruam, rinitis, depresi, pruritis dan infeksi saluran
kemih.
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap Clopidogrel dan perdarahan patologis aktif,
misalnya pada ulkus peptikum atau perdarahan intrakranial. Selain
43
itu, Clopidogrel juga sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang memiliki
gangguan metabolisme CYP2C19, karena sistem CYP ini diperlukan untuk bisa
mencapai efek terapi Clopidogrel.
g. Interaksi Obat
1) Clopidogrel harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menerima
obat lain yang meningkatkan risiko perdarahan,termasuk antikoagulan,
antiplatelet lain, dan NSAID, seperti Aspirin yang meningkatkan resiko
bleeding.
2) Clopidogrel dapat menghambat sitokromP450 isoenzim CYP2C9 dan
interaksi dengan obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzim ini secara
teoritis mungkin, seperti bupiron.
h. Perhatian dan Peringatan
Hati-hati digunakan pada pasien dengan risiko terjadinya pendarahan seperti
pada keadaan trauma, pembedahan atau keadaan patologi lainnya; Penggunaan
bersamaan dengan obat yang meningkatkan risiko pendarahan. Pada pasien yang
akan menjalani pembedahan dan tidak diperlukan efek anti platelet, Clopidogrel
harus dihentikan 7 hari sebelumnya. Hati-hati digunakan pada pasien dengan
kegagalan fungsi hati karena pengalaman penggunan masih terbatas; gangguan
fungsi ginjal dan kehamilan.
6. MINIASPI 80 (MIMS, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Aspirin 80 mg.
b. Indikasi
Aspirin secara umum digunakan untuk mengobati rasa sakit dan nyeri seperti
sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi pada arthritis, dan juga digunakan
untuk menurunkan demam.
c. Mekanisme Kerja
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) didalam trombosit
pada prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara
44
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap candesartan, gangguan hati yang parah dan Jangan
berikan bersamaan dengan aliskiren pada pasien diabetes.
g. Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan aspirin dapat menyebabkan peningkatan kadar
kalium didarah ( Hiperkalemia).
h. Perhatian dan Peringatan
1) Hentikan sesegera mungkin saat kehamilan terdeteksi; mempengaruhi sistem
renin-angiotensin sehingga menyebabkan oligohidramnion, yang dapat
memicu terjadinya cedera janin dan / atau kematian.
2) Risiko hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik / hiponatremia, bersama
diuretik, dialisis, atau selama operasi besar
3) Perhatian pada pasien dengan gagal jantung kongestif; mungkin perlu
menyesuaikan dosis.
4) Hiperkalemia dapat terjadi dengan gagal ginjal atau obat yang meningkatkan
kadar kalium; pantau kadar kalium serum secara berkala
8. AMLODIPINE (MIMS, 2020) (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Amlodipine 10 mg
b. Indikasi
Menurunkan tekanan darah mengurangi risiko kejadian kardiovaskular yang
fatal dan nonfatal, terutama stroke dan infark miokard. Pengobatan angina stabil
kronis, angina vasospastik (Prinzmetal atau angina varian), dan CAD yang
didokumentasikan secara angiografis pada pasien tanpa gagal jantung atau EF
<40%
c. Mekanisme Kerja
Amlodipine bekerja dengan cara menghambat ion kalsium masuk ke dalam
vaskularisasi otot polos dan otot jantungsehingga mampu menurunkan tekanan
darah.
47
b. Indikasi
Untuk mengatasi gangguan kecemasan dan gangguan panik. Obat ini dapat
mengurangi ketegangan psikologis yang dirasakan, sehingga membuat orang yang
mengonsumsinya dapat merasa lebih tenang.
c. Mekanisme Kerja
Alprazolam bekerja pada kompleks reseptor GABAA-Benzodiazepine.
Sistem kimiawi dan reseptor GABA menghasilkan inhibisi atau efek menenangkan
Alprazolam pada sistem saraf pusat. Benzodiazepine, khususnya Alprazolam
menyebabkan supresi yang nyata pada aksis hipothalamikpituitari-adrenal.
Kemampuan terapetik alprazolam menyerupai benzodiazepine lainnya, meliputi
ansiolitik, antikonvulsan, muscle relaxant, hipnotik, dan amnesik.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Kecemasan
Dewasa (18-64 tahun)
0,25-0,5 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis ditingkatkan setiap 3-4 hari sekali.
Dosis maksimum 4 mg per hari bila dibutuhkan.
Lansia
0,25 mg sebanyak 2-3 kali per hari. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan.
Gangguan Panik
Dewasa (18-64 tahun)
0,5-1 mg sebanyak 1-3 kali per hari. Dosis ditingkatkan tiap 3-4 hari. Dosis
maksimum 4-6 mg per hari.
Lansia
0,25 mg satu kali per hari. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan.
e. Efek Samping
Mengantuk, depresi, sakit kepala, konstipasi, diare, dan gangguan nafsu makan.
f. Kontraindikasi
Alprazolam kontraindikasi pada pasien yang diketahui memiliki
hipersensitivitas terhadap obat ini atau obat golongan benzodiazepine lain.
49
c. Mekanisme Kerja
Spironolactone bekerja sebagai antagonis aldosteron, berperan
terutama melalui pengikatan kompetitif reseptor-reseptor pada tempat
pertukaran natrium-kalium yang tergantung pada aldosteron pada distal
Convoluted renal tubule.
d. Dosis dan Aturan Pakai
3. Hiperaldosteronisme Primer :
Bila waktu test lama diberikan dosis 400 mg/hari selama 3-4 minggu.
Bila waktu test singkat diberikan dosis 400 mg/hari selama 4 hari.
4. Edema Jantung : 50-100 mg/hari
Edema Sirosis Hati : 300 mg-600 mg/hari
Edema akibat sindrom nefrotik : 100-200 mg/hari
5. Hipertensi Esensial : Dosis awal 25 mg/hari, kemudian dinaikkan
menjadi 100 mg/hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi.
e. Efek Samping
Pendarahan lambung, ulkus, gastritis, hiperkalemia, hiponatremia,
nyeri dada, ruam kulit(eritema, gatal), pusing, sakit kepala, mual, muntah,
diare, disfungsi ereksi, pembengkakan di payudara.
f. Kontraindikasi
Spironolactone dikontraindikasikan pada kondisi anuria, gangguan
ginjal dan hiperkalemia. Pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan
ginjal, Spironolactone dikontraindikasikan pada kadar kalium > 5 mEq/L
atau kreatinin darah > 4 mg/dL karena risiko tinggi menyebabkan
hiperkalemia yang fatal.
g. Interaksi Obat
1. ACEI/ARB : Penggunaan bersamaan dengan Candesartan dapat
meningkatkan kada kalium (Hiperkalemia)
2. NSAIDs : Pemberian bersamaan obat golongan NSAIDs seperti
aspirin dapat menyebabkan penurunan efek diuretik, natriuretik dan
51
BAB IV
PEMBAHASAN
Studi kasus pasien dengan diagnosis gagal jantung dan jantung koroner
diambil dari Rekam Medik (RM) pasien selama pasien dirawat di ruang perawatan
Cardiac di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Parepare. Data yang
diperoleh diambil dari status Rekam Medik selama pasien berada di Rumah Sakit yaitu
sejak tanggal 22 April 2021 sampai 26 April 2021. Selanjutnya dilakukan analisis
rasionalitas terhadap terapi yang diberikan pada pasien dan diberikan rekomendasi atau
solusi dari permasalahan yang diperoleh.
Pasien perempuan atas nama Ny. IS, berusia 52 tahun datang ke instalasi gawat
darurat Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Parepare dengan keluhan
utama nyeri dada disebelah kiri saja, sesekali sesak, lemas, dan jantung berdebar-debar.
Diagnosis dokter didasarkan pada hasil pemeriksaan foto Thorax AP
menunjukkan adanya dilatasi pada vascular atas, jantung membesar dan atrium kiri
menonjol. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya ST elevasi. Selain itu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah dan pemeriksaan kimia. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan pasien mengalami anemia dan hasil pemeriksaan
kimia menunjukkan penurunan fungsi ginjal dengan nilai kreatinine 3,1 dan nilai
ureum 100 mg/dl.
Pada saat masuk rumah sakit pasien IS mengalami nyeri dada, jantung
berdebar-debar, sesak nafas, lemas dan sulit tidur. Pasien IS mengalami nyeri dada
selama 5 hari dan dihari ke-6 nyeri dada berkurang. Untuk pengobatan nyeri dada pada
pasien diberikan Nitrogliserin atau Glyceryl trinitrate (NTG) IV melalui syringe pump.
NTG adalah nitrovasodilator yang digunakan dalam manajemen angina pektoris, gagal
jantung dan infark miokard. NTG dipercaya dapat memberikan efek vasodilatornya
melalui pelepasan nitrat oksida yang menyebabkan rangsangan guanylatecyclase di
pembuluh darah sel otot polos. NTG menghasilkan peningkatan siklik
guanosinusmonofosfat. Nukleotida ini menginduksi relaksasi, dengan menurunkan
53
konsentrasi kalsium di sitosol. Dalam aksinya pada otot vaskular, dilatasi vena lebih
mendominasi daripada dilatasi arteriol. Dilatasi vena menurunkan aliran balik vena
akibat pooling vena, dan menurunkan volume ventrikel kiri dan tekanan diastolik
(disebut penurunan preload). Dilatasi arteriol yang lebih kecil atau kurang penting
mengurangi resistensi vaskular perifer dan tekanan ventrikel kiri pada sistol (disebut
reduksi di afterload). Efek konsekuensinya adalah penurunan kebutuhan oksigen
miokard. NTG juga memiliki efek vasodilator koroner, yang meningkatkan aliran
darah koroner regional menjadi iskemik, daerah yang menghasilkan peningkatan suplai
oksigen ke miokardium. Dalam pengobatam gagal jantung akut NTG diberikan secara
intravena dalam dosis awal 5 sampai 25 mikrogram / menit (Dipiro, Joseph T et al.,
2020). Sedangkan dosis yang diberikan ke pasien 35 mcg/menit/SP. Seharusnya
dosisnya diturunkan agar pasien tidak mengalami efek samping yang serius dari obat
tersebut.
Anti platelet menjadi salah satu obat penting untuk pencegahan sekunder pada
pasien-pasien yang menderita penyempitan pembuluh darah koroner atau penyakit
jantung koroner (PJK) (Goodman & Gilman's, 2018). Pasien diberikan kombinasi obat
Clopidogrel dan Aspirin sebagai DAPT (Dual Antiplatelet Therapy). Kombinasi
penghambat reseptor P2Y12 dan Aspirin tetap menjadi terapi andalan pengobatan
farmakologis untuk pasien yang menjalani PCI dengan BMS atau stand eluting drug
(DES). Diantara pasien menjalani PCI, DAPT dengan Aspirin dan antagonis reseptor
P2Y12 selama 4-6 minggu secara signifikan mengurangi tingkat MACE dibandingkan
dengan kombinasi Aspirin dan terapi antikoagulasi oral (OAC ) atau terapi antiplatelet
Aspirin tunggal (Degrauwe et al., 2017). Akan tetapi penggunaan DAPT harus
dipertimbangkan rasio penggunaannya, dikarekan Clopidogrel dan Aspirin dapat
berinteraksi menyebabkan peningkatan resiko pendarahan (bleeding). Oleh karena itu,
dosis Aspirin bila dikombinasikan dengan Clopidogrel direkomendasikan dosisnya
diturunkan hanya menggunakan dosis 80 mg (Katzung & Trevor’s., 2015). Akan tetapi,
penggunaan Clopidogrel dihentikan pada hari ke-3 dikarenakan efek samping berupa
nyeri dada dan pruritis yang dialami oleh pasien.
54
V.2 Saran
Pada kasus disarankan melakukan monitoring dan pemantauan terapi
penggunaan obat diuretik dan antihipertensi khususnya golongan ARB(Angiotensin II
Reseptor Blokers) yang dapat memicu hiperkalemia dan peningkatan nilai creatinine
pasien.
56
DAFTAR PUSTAKA
Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho. (2018). Applied therapeutics: The clinical use of drugs,
12th edition. by McGraw Hill.
de Lemos, J. A., & Omland, T. (2018). Chronic Coronary Artery Disease: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease. In Chronic Coronary Artery Disease: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease.
Degrauwe, S., Pilgrim, T., Aminian, A., Noble, S., Meier, P., & Iglesias, J. F. (2017). Dual
antiplatelet therapy for secondary prevention of coronary artery disease. Open Heart, 4(2),
1–16. https://doi.org/10.1136/openhrt-2017-000651
Dipiro, Joseph T., Gary C. Yeye., L. Michael Posey., Stuart T. Haines. (2020). Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach. 11rd Edition. by McGraw Hill.
Goodman & Gilman's. (2018). The Pharmacological Basis Of Therapeutics Thirteenth Edition. by
McGraw-Hill Education
Katzung & Trevor’s. (2015). Pharmacology Examination & Board ReviewMalakar, A. K.,
Choudhury, D., Halder, B., Paul, P., Uddin, A., & Chakraborty, S. (2019). A review on
coronary artery disease, its risk factors, and therapeutics. Journal of Cellular Physiology,
234(10), 16812–16823. https://doi.org/10.1002/jcp.28350
Kemenkes RI. (2019). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan RI, 53(9),
1689–1699.
Lee, S. A., Choi, H. M., Park, H. J., Ko, S. K., & Lee, H. Y. (2018). Amlodipine and cardiovascular
outcomes in hypertensive patients: Meta-analysis comparing amlodipine-based versus other
antihypertensive therapy. Korean Journal of Internal Medicine, 29(3), 315–324.
https://doi.org/10.3904/kjim.2018.29.3.315
Pratiwi, F. W., & Saragi, J. S. (2018). Pemantauan Kateterisasi Jantung pada Tindakan PTCA
57
58
Stout, K. K., Daniels, C. J., Aboulhosn, J. A., Bozkurt, B., Broberg, C. S., Colman, J. M., Crumb,
S. R., Dearani, J. A., Fuller, S., Gurvitz, M., Khairy, P., Landzberg, M. J., Saidi, A., Valente,
A. M., Van Hare, G. F., Levine, G. N., O’Gara, P. T., Halperin, J. L., Albert, N. M., …
Hundley, J. (2019). 2018 AHA/ACC guideline for the management of adults with congenital
heart disease: Executive summary: A report of the American College of Cardiology/American
Heart Association Task Force on clinical practice guidelines. In Circulation (Vol. 139, Issue
14). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000602
Umara, A. F., Nur, S., Ahmad, A., Habibi, A., Al, A., Nainar, A., Hastuti, H., & Purnamasari, E.
(2020). Deteksi Dini Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Pegawai Media Karya
Kesehatan : Volume 3 No 2 November 2020 Pendahuluan Menurut World Health
Organization ( WHO , 2020 ) Cardiovascular Diseases ( CVDs ) merupakan sekelompok
gangguan pada jantung dan pembu. Media Karya Kesehatan, 3(2), 122–133.
Willerson, James T. & David R. Holmes. (2015). Coronary artery disease. Cardiovascular
Medicine. Springer-Verlag London.
https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
https://www.mims.com/