Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dan semua makhluk hidup butuh
air. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi. Semua organism
yang hidup tersusun dari sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktivitas metaboliknya
mengambil tempat di larutan air. Dapat disimpulkan bahwa untuk kepentingan manusia
dan kepentingan komersial lainnya, ketersediaan air dari segi kualitas maupun kuantitas
mutlak diperlukan.
Di suatu tempat, jumlah air yang terlalu besar mempunyai kekuatan destruktif yang
hebat mengakibatkan yang mengakibatkan bencana yang disebut banjir, longsor, ataupun
banjir bandang. Namun, dalam jumlah yang terlalu kecil di suatu lokasi, air juga
menimbulkan bencana kekeringan. Dengan kata lain air harus ada secukupnya baik secara
kuantitas maupun kualitas pada suatu lokasi tertentu, dan pada saat yang tepat.
Air merupakan bagian dari sumberdaya alam sekaligus juga sebagai bagian dari
ekosistem. Kuantitas dan kualitasnya pada lokasi dan waktu tertentu tergantung dan
dipengaruhi oleh berbagai hal, berbagai kepentingan dan berbagai tujuan. Seiring dengan
pertumbuhan penduduk, berbagai persoalan yang terkait dengan air atau sumberdaya air
telah dan terus berlangsung. Ketersediaan air cenderung menurun namun di lain pihak
kebutuhan air semakin meningkat.
Dengan kata lain, karena air di suatu tempat dan di suatu waktu bisa berubah secara
kuantitas dan kualitas sehingga menimbulkan berbagai masalah maka air harus dikelola
dengan baik. Sehingga, penulisan makalah ini akan menjelaskan tentang sumberdaya air,
teknik pemanfaatan, dan dampak pemanfaatan sumberdaya air tersebut.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa hal tentang
sumberdaya air, bagaimana teknik pemanfaatan sumberdaya air, dan dampak pemanfaatan
sumberdaya air.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Hidrologi


Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air mulai saat jatuh di daratan sampai
masuk kelautan dan kembali ke atmosfer. Hidrologi melibatkan air permukaan dan air
bawah permukaan. Untuk memahami sifat-sifat/karakteristik air di daratan maka
diperlukan pemahaman mengenai siklus hidrologi.
Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung
melalui vegetasi atau media lainnya akan membentuk siklus alran air mulai dari tempat
yang tinggi (gunung, pegunungan) menuju ke tempat yang rendah baik di permukaan tanah
maupun di dalam tanah yang berakhir di laut.
Air berubah wujud berupa gas/uap akibat panas matahari dan disebut dengan proses
penguapan atau evaporasi. Uap ini bergerak di atmosfir (udara) kemudian akibat perbedaan
temperature di atmosfir dari panas menjadi dingin maka air akan terbentuk akibat dari
kondensasi dari uap menjadi keadaan cairan. Bila temperatur berada di bawah titik beku
Kristal-kristal es terbentuk. Tetesan air kecil tumbuh oleh kondensasi dan berbenturan
dengan tetesan air lainnya dan terbawa oleh gerakan udara turbulen sampai pada kondisi
yang cukup besar menjadi butir-butir air. Apabila jumlah butir air sudah cukup banyak dan
akibat berat sendiri (secara gravitasi) butir-butir air itu akan turun ke bumi dan proses
turunnya butiran air ini disebut dengan hujan.
Hujan jatuh ke bumi baik secara langsung maupun melalui media misalnya melalui
tanaman (vegetasi). Di bumi air mengalir dan bergerak dengan berbagai cara. Pada retensi
(penyimpanan air) air akan menetap/tinggal untu beberapa waktu. Retensi dapat berupa
retensi alam seperti daerah-daerah cekungan, danau, tempat-tempat yang rendah, dll.,
maupun retensi buatan manusia seperti tampungan, sumur, embung, waduk, dll.
Seacar gravitasi (alami) air mengalir dari daerah yang tinggi ke daerah yang rendah,
dari gunung-gunung, pegunungan ke lembah, lalu ke daerah lebih rendah, sampai ke
daerah pantai dan akhirnya akan bermuara ke laut. Aliran air ini disebut aliran permukaan
tanah karena bergera di atas muka tanah. Aliran air ini biasanya akan memasuki daerah
tangkapan atau daerah aliran menuju ke sistem jaringan sungai, sistem danau ataupun
waduk. Dalam sistem sungai aliran mengalir mulai dari sistem sungai yang kecil menuju
ke sistem sungai yang besar dan akhirnya akan menuju mulut sungai atau sering disebut
estuari yaitu tempat bertemunya sungai dengan laut.
Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah meresap ke dalam tanah dalam
bentuk-bentuk infiltrasi, perkolasi, kapiler. Aliran air tanah dapat dibedakan menjadi aliran
tanah dangkal, aliran tanah dalam, aliran tanah antara dan aliran dasar. Disebut aliran dasar
karena aliran ini merupakan aliran yang mengisi sistem jaringan sungai. Hal ini dapat
dilihat pada waktu musim kemarau, ketika hujan tidak turun untuk beberapa waktu, pada
suatu sistem sungai tertentu masih ada aliran secara tetap atau kontinyu.
Akibat panas matahari air di permukaan juga akan berubah ujud menjadi gas/uap
dalam bentuk evaporasi dan bila melalui tanaman disebut transpirasi. Air akan diambil oleh
tanaman melalui akar-akarnya yang dipakai untuk kebutuhan hidup dari tanaman tersebut,
lalu air di dalam tanaman juga akan keluar berupa uap akibat energi panas matahari
(evaporasi). Proses pengambilan air oleh akar tanaman kemudian terjadinya penguapan
dari dalam tanaman tersebut sebagai evapotranspirasi.
Evaporasi yang lain dapat terjadi pada sistem sungai, embung, reservoir, waduk
maupun air laut yang merupakan sumber air terbesar. Walaupun laut adalah tempat dengan
sumber air terbesar namun tidak bias langsung dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan
karena mengandung garam dan dikenal dengan nama air asin.
Uap atau gas mengalir dan bergerak di atmosfir. Proses selanjutnya sama dengan
diuraikan di atas. Kejadian tersebut aan membentuk suatu pergerakan yang akan
membentuk siklus hidrologi. Siklus ini merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air
secara global di bumi. Siklus hidrologi juga menunjukkan semua hal yang berhubungan
dengan air.

2.2 Bentuk Aliran Air


Air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran
permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (subsurface flow), aliran bawah tanah
(ground water flow), dan aliran sungai (stream flow). Penjelasan secara ringkas berbagai
jenis aliran air tersebut adalah sebagai berikut:
Aliran Permukaan. Aliran permukaan atau yang biasa dikenal dengan surface runoff
adalah air yang mengalir di permukaan pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh presipitasi
tahunan (curah hujan tahunan), intensitas curah hujan (dihitung dalam volume per-satuan
waktu), kecepatan evapotranspirasi, kedalam muka air tanah (water table), permeabilitas
tanah/batuan, tuutpan lahan, kecuraman lereng, karakteristik sungai, dan aktivitas dari
manusia.
a. Distribusi curah hujan, intensitas, dan perioda atau lamanya hujan mungkin lebih
penting dibandingkan dengan rata-rata curah hujan tahunan. Apabila suatu curah
hujan sebesar 100 cm terdistribusi secara merata sepanjang tahun, maka dampak
yang ditimbulkan terhadap banjir dan erosi akan lebih kecil bila dibandingkan
dengan curah hujan yang sama yang terjadi dalam waktu singkat dan dengan
intensitas curah hujan yang tinggi. Dengan demikian lamanya hujan dan intensitas
curah hujan sangat penting di dalam terjadinya banjir ataupun erosi.
b. Tutupan lahan (landcover) seperti vegetasi berpengaruh pada jumlah surface
runoff yang terjadi dipermukaan bumi. Kedalaman muka air tanah juga berdanpak
terhadap jumlah surface runoff yang mengalir dipermukaan tanah, apabila muka
air tanah di suatu wilayah sangat dangkal, maka jumlah air permukaan (surface
runoff) akan lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai muka air
tanahnya dalam.
c. Permeabilitas tanah/batuan juga mempengaruhi jumlah air permukaan, apabila
disuatu wilayah kondisi tanah/batuannya sangat permebel, maka volume air yang
masuk kedalam tanah/batuan (infiltrasi) akan semakin besar dan air permukaan
menjadi kecil, sebaliknya apabila permeabilitas batuan/tanahnya sangat kecil
(impermeable), maka volume air yang masu juga sedikit dan hal ini berdampak
kepada jumlah air permukaan yang mengalir di permukaan tanah semakin besar.
d. Kecuraman lereng juga mempengaruhi banyaknya surface runoff, hal ini dapat
dijelaskan bahwa apabila suatu wilayah yang mempunyai kelerengan yang sangat
curam, maka air akan mengalir dengan kecepatan tinggi sehingga air tidak
mempunyai kesempatan untuk masuk (infiltrasi) kedalam tanah/batuan.
e. Karakteristik pola aliran sungai, apakah aliran sungainya lurus, berbelok-belok
(meandering), teranyam (braided), lebar, sempit, dangkal, atau dalam akan
mempengaruhi/mengendalikan kecepatan aliran air.
f. Aktivitas manusia juga mempunyai kontribusi terhadap addanya surface runoff
seperti pengrusakan hutan atau pengrusakan wilayah tangkapan hujan, perubahan
tataguna lahan, pengaspalan, betonisasi suatu wilayah yang menghalangi
terjadinya infiltrasi air ke tanah/batuan.
Volume air permukaan secara langsung dapat dihitung dengan cara menjumlahkan
total curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi dan infiltrasi air yang masuk kedalam
tanah/batuan. Sedangkan curah hujan dapat dihitung dengan menjumlahkan volume air
hujan atau salju yang turun kepermukaan
Aliran di bawah permukaan. Aliran di bawah permukaan adalah air yang masuk ke
dalam tanah tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap air. Air ini
mengalir di bawah permukaan tanah pada kedalaman 30 – 40 cm, kemudian keluar ke
permukaan tanah di bagian bawah lereng atau, masuk ke sungai.
Aliran air bawah tanah. Aliran air bawah tanah adalah aliran air yang masu dan
terpekolasi jauh ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (ground water). Air bwah tanah
mengalir di bawah tanah tidak mengandung bahan tersuspensi atau kapur sehingga
kelihatan jernih. Air bawah tanah merupakan sumber air bagai sungai, danau, atau waduk,
atau reservoir pada musim kemarau.
Aliran sungai. Aliran sungai adalah air yang mengalir di dalam saluran-saluran yang
jelas, seperti sungai. Aliran sungai dapat tetap atau tersendat. Aliran sungai juga dapat
menyebabkan erosi, tetapi pengaruhnya sangat terbatas. Air sungai dapat jernih atau pekat
berwarna colat mengandung sedimen tergantung dari sumber airnya. Sungai bersumber
dari aliran bawah permukaan dan aliran air bawah tanah akan jernih, sedangkan yang
bersumber utama dari aliran permukaan akan keruh oleh sedimen yang dikandungnya.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Permasalahan Hidrologi dan Pengendaliannya


Permasalahan air sebetulnya sudah ada sejak lama, namun intensitas dan
frekuensinya semakin besar, meningkat dari waktu ke waktu dengan bertambahnya jumlah
penduduk, perluasan kawasan pemukiman, pembukaan lahan-lahan baru, pengembangan
kawasan industri, pengembangan budidaya pantai, pengembangan berbagai bentuk
rekayasa baik di kawasan pantai maupun jauh di pedalaman atau pegunungan.
Dari kegiatan tersebut di atas berbagai masalah antara lain air tidak lagi menjadi
barang atau suatu zat yang mudah di dapat di mana-mana, air tidak lagi mempunyai
konotasi yang kurang baik seperti banjir, penyebab tanah longsor erosi tanah, dll. Oleh
karena itu permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan air adalah:
1. Pasokan Air
Indonesia adalah negara yang berada di sepanjang garis khatulistiwa dengan
kondisi iklim tropis boleh disebut sebagai suatu negara yang kaya akan sumberdaya air.
Pulau Jawa merupakan wilayah dengan penduduk terdapat dan secara hidrologi dapat
dibagi menjadi 2 (dua) wilayah hidrologi, yaitu wilayah hidrologi Pantai Utara dan
wilayah hidrologi Pantai Selatan. Adapun garis batas pemisah kedua wilayah hidrologi
ini berada di Pulau Jawa, membentang dari barat ke timur yang merupakan puncak-
puncak gunung api yang tersebar di tengah Pulau Jawa. Seperti yang telah disebutkan di
atas, bahwa Indonesia mempunyai sumberdaya air yang melimpah, tetapi pengelolaan
dan pendistribusiannya masih kurang baik dan sering menimbulkan permasalahan.
Seringkali rencana pengembangan suatu wilayah tidak memperhitungkan pasokan air,
seperti misalnya banyak kota metropolitan di dunia, kebutuhan air tidak mencukupi bagi
pengembangan atau pertumbuhan kota. Variabel potensi sumberdaya air di suatu
wilayah/daerah ditentukan oleh hubungan kompleks antar ketersediaan air dan data
potensi air yang ada. Permasalahannya adalah dalam penentuan potensi air yang tersedia
di suatu wilayah didasarkan atas perhitumgan input dan output-nya, namun harus
diperhatikan juga mengenai perubahan yang telah terjadi di wilayah tersebut, misalnya
perubahan tataguna lahan yang asalnya hutan berubah menjadi sawah atau pemukiman,
hal ini tentunya akan mempengaruhi jumlah potensi air yang tersedia di wilayah
tersebut.
2. Air Permukaan
Air permukaan atau yang biasa dikenal dengan surface runoff adalah air yang
mengalir di permukaan bumi (daratan). Penanggulangan surface runoff antara lain
dengan cara:
 Melaksanakan reboisasi dengan cara menanam tumbuhan guna mencegah dan
menahan surface runoff.
 Membuat bendungan/dam yang berguna untuk penyediaan pasokan air bagi industri
atau rumah tangga, pengendalian banjir, pembangkit tenaga listrik, irigasi, dan
recharge air bawah tanah. Dampak negatif dari adanya bendungan, reservoir, dan
danau adalah terjadinya kumulasi sedimen yang dibawa oleh aliran sungai yang
menuju kea rah bendungan, reservoir, atau danau. Material-material yang sangat
halus yang di bawa ke dalam reservoir akan diendapkan didalam reservoir,
sedangkan yang lebih kasar akan diendapkan di mulut sungai yang masuk ke
reservoir.
 Pengelolaan hutan dan pertanian yang benar untuk mencegah runoff dan erosi.
Penebangan hutan yang tidak terencana (tebang habis) akan memicu terjadinya
banjir, sedangkan tebang pilih akan mengurangi/mencegah erosi dan banjir. Dalam
pengelolaan pertanian, perlu dicegah terjadinya erosi tanah akibat pembukaan lahan
yang tidak benar dan dalam pengelolaan paska panen.
3. Air Bawah Tanah
Air bawah tanah juga sangat penting sebagai pemasok sumberdaya air apabila
pasokan air permukaan tidak mencukupi. Permasalahan yang timbul akibat eksploitasi
air bawah tanah yang berlebihanadalah penurunan mu air tanah dan intrusi air laut.
Penanggulangan pengambilan air bawah tanah yang berlebihan dapat dilakukan dengan
cara antara lain:
 Melakukan konservasi air bawah tanah yaitu dengan menjaga agar infiltrasi air
permukaan dan retardasi surface runoff tidak menganggu.
 Eksploitasi air bawah tanah tidak melebihi recharge.
 Konservasi air bawah tanah juga harus melibatkan pengendalian tanaman/vegetasi,
karena tanaman/vegetasi dapat menahan surface runoff sehingga memungkinkan air
berinfiltrasi ke dalam bumi. Dalam kontek Daerah Aliran Sungai (DAS) atau
Catchmen Area, perlu dijaga agar supaya daerah resapan tidak rusak akibat
perubahan tataguna lahan.
4. Banjir
Di Indonesia kita sering menyaksikan melalui media elektronik maupun surat
kabar tentang bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa pemukiman penduduk
dan menimbulkan kerusakan dan kerugian material maupun korban jiwa manusia. Hal
ini tidaklah mengherankan karena sebagian besar pemukiman yang ada di Indonesia
kebanyakan dibangun di wilayah dataran banjir dan di lereng-lereng perbukitan.
Sebagai contoh kota Jaarta yang merupakan ibukota negara, setiap tahun menjadi
langganan banjir. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab banjir di wilayah Jakart
antara lain adalah:
 Pembangunan dan perluasan pemukiman yang tidak mengikuti peta arahan Rencana
Tata Guna Wilayah (RTRW),
 Luas lahan yang terbatas serta daya dukung lahan yang sudah melebihi kapasitasnya,
 Berkurangnya daerah resapan air sebagai akibat pembangunan pemukiman,
 Meningkatnya surface runoff yang disebabkan perubahan tutupan lahan,
 Sistem drainase yang kurang bai,
 Sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang tidak integrasi serta degradasi
lingkungan di wilayah DAS akibat perubahan tataguna lahan dan tutupan lahan.
Usaha untuk mengurangi bencana banjir dapat dilakukan antara lain dengan cara:
 Melakukan reboisasi di daerah tangkapan hujan.
 Membuat sumur-sumur resapan air.
 Mengurangi surface runoff dengan pembuatan drainase yang baik.
 Pembuatan check-dam untuk pengendalian banjir.
 Memodifiasi saluran sungai dan drainase.
 Membersihkan saluran sungai dan pengelolaan DAS secara terintegrasi dan
komprehensif.
5. Erosi Tanah
Kebanyakan erosi tanah terjadi karena tidak terkendalinya surface runoff. Di
tempat-tempat yang lapisan tanahnya tertutup vegetasi umumnya surface runoff dapat
dicegah, sedangkan di tempat-tempat yang berlereng dan tidak bervegetasi, erosi tanah
sangat tinggi. Berikut ini beberapa cara penanggulangan erosi tanah yang harus
dilakukan untuk mengurangi proses erosi:
 Penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, dan panen harus dilakukan mengikuti
garis kontur.
 Meminimalkan kemiringan lereng. Pada saat penyiapan lahan dan penanaman harus
dilaksanakan secara bersamaan untuk mencegah bila hujan datang pada tahapan ini
tanah tidak tererosi.
 Pembuatan terasering, berfungsi untuk mengurangi kecepan aliran air runoff dan
memperlambat erosi tanah.
 Pembuatan checkdam pada saluran drainase untuk mencegah aliran air runoff yang
berasal dari arus turbit.
 Penanaman pohon dan semak untuk mencegah erosi dan dapat berfungsi sebagai
pakar untuk mencegah erosi tanah.
6. Amblesan
Amblesan tanah adalah penurunan permukaan tanah yang diakibatkan oleh
pelarutan batuan yang berada di bawah tanah oleh air yang ada didalam tanah atau
kosongnya rongga pori batuan yang disebabkan oleh pengambilan air tanah yang
berlebihan. Kasus amblesan tanah atau penurunan permukaan tanah dapat kita lihat di
wilayah-wilayah dimana pengambilan air tanah tidak seimbang dengan pengisian
kembali air ke dalam tanah, sehingga terjadi kekosongan air tanah yang ada di dalam
pori batuan akan berakibat pada penurunan permukaan tanah/ambles, contoh Kota
Bangkok dan Jakarta.
7. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan dari material rombakan batuan atau tanah
melalui media air, angin atau es/gletser. Proses sedimentasi dapat membawa kerugian
bagi manusia, terutama proses sedimentasi yang terjadi di dalam waduk, dimana
material bahan rombakan batuan atau tanah yang diangkut oleh air sungai yang masuk
ke dalam waduk suatu bendungan dan pada akhirnya waduk aan dipenuhi dengan
material sedimen. Apabila hal ini terjadi, maka usia bendungan menjadi berkurang.
Untuk mencegah dan mempelambat proses sedimentasi yang terjadi di dalam waduk,
harus dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:
 Melaksanakan reboisasi dan konservasi di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS)
untuk mengurangi erosi dan bahan rombakan yang akan terangkut oleh aliran sungai
ke dalam waduk.
 Melakukan pengerukan secara teratur pada sungai-sungai yang bermuara ke dalam
waduk.
8. Kualitas Air
Pemanfaatan air bagi kebutuhan air minum sudah barang tentu harus memenuhi
standar kualitas kesehatan. Sumberdaya air baru dikatakan layak minum apabila unsur-
unsur yang dikandungnya sudah memenuhi standar baku mutu air layak minum yang
bebas dari mineral-mineral yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Berikut ini
adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu:
 Cara pengambilan sampel air untuk air minum
 Air permukaan untuk air minum
 Kualitas air untuk air minum
 Kualitas air untuk mendukung sektor perikanan
 Air payau
 Air pencucian
 Kandungan berbahaya dalam air
 Air tanah
 Limbah air buangan
 Kandungan nitrat yang berasal dari pertanian
Standar kualitas air merupakan hal yang sangat penting, terutama ditinjau dari
kebutuhan dan peruntukannya. Standar kualitas air ditentukan berdasarkan kandungan:
 Potable water terdiri dari:
a. Parameter organoleptic (warna, kekeruhan, odour dan rasa)
b. Parameter physicochemical (temperatur, pH, konduktivitas, Ca, Mg, K, Na)
c. Parameter yang berkaitan dengan bahan yang jumlahnya tidak terduga: nitrat,
nitrit ammonium, HCs. Phenol, organochlorines, dll)
d. Parameter kandungan toxic (pestisida, PAH, logam-logam berat)
e. Parameter mikrobiologi (total coliform dan faecal streptococci)
f. Kebutuhan minimal untuk softened water (total hardness dan alkalinitas)
 Sumber bahan air yang berasal dari air tawar termasuk air bawah tanah
 Air untuk habitat ikan dan pencucian
 Air buangan yang berasal dari perkotaan dan industri.

3.2 Dampak Pemanfaatan Air Tanah


Pada kenyataan pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa
masih mengandalkan air tanah secara berlebihan menimbulkan dampak negatif terhadap
sumberdaya air tanah maupun lingkungan, antara lain:
 Penurunan muka air tanah, pemanfaatan air tanah yang terus meningat menyebabkan
penurunan muka air tanah. Hasil rekaman muka air tanah pada sumur-sumur panatu di
daerah pengambilan air tanah intensif seperti: Cekungan Jakarta, Bandung, Semarang,
Pasuruan, Mojekerto menunjukkan kecenderungan muka air tanah yang terus menurun.
 Intrusi air laut, apabila keseimbangan hidrostatik antara air tanah tawar dan air tanah
asin di daearh pantai terganggu, maka terjadi pergerakan air tanah asin/air dari laut ke
arah darat. Intrusi air laut di daerah pantai Jakarta, Semarang, Denpasar, dan Medan.
 Amblesan tanag tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu yang lama dan
terjadi pada daerah yang luas, sehingga dapat mengakibatkan dampak negatif yang lain,
antara lain; banjir dan masuknya air laut ke arah darat pada saat pasang naik, sehingga
menggenangi perumahan, jalan, atau bangunan lain yang lebih rendah; menyusutnya
ruang lintas pada kolong jembatan, sehingga menganggu lalu lintas. Secara regional
amblesan tanah mengakibatkan pondasi jembatan menurun dan mempersempit kolong
jembatan. Berkurangnya kapasitas penyimpanan gudang dan terganggunya pelaksanaan
arus bongkar/muat barang; rusaknya bangunan fisik seperti fondasi jembatan/bangunan
gedung tinggi, sumur bor, dan retaknya pipa saluran air limbah dan jaringan lainnya.
3.2.1 Contoh Kasus Dampak Pemanfaatan Air Tanah
Sebagai contoh kasus dari dampak negatif akibat pemboran air tanah secara
berlebihan, antara lain :
Penurunan Muka Air Tanah
Pemanfaatan air tanah yang terus meningkat menyebabkan penurunan muka air
tanah. Hasil rekaman muka airtanah pada sumur-sumur pantau di daerah pengambilan
air tanah intensif, antara lain terjadi di daerah :
Cekungan Jakarta
Pengambilan airtanah, khususnya air tanah dalam (deep groundwater) darisumur
bor yang terdaftar menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat :
1985 dengan jumlah pengambilan air tanah sekitar 30 juta m3/tahun,
1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640 sumur,
1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari sekitar 2800 sumur,
1994 pengambilan air tanah telah mencapai 33,8 juta m3.
Jumlah pengambilan air tanah yang sebenarnya relatif jauh lebih besar dari angka-
angka tersebut di atas, karena masih banyaknya sumur-sumur produksi yang belum
terdaftar. Berdasarkan hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan air tanah pada
1994 diperkirakan telah mencapai sekitar 53 juta m3.
Muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan (kedalaman 0 - 40 m)
– Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan
kecenderungan turun selama periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta,
kecepatan penurunan pada pemantauan >2 tahun (periode panjang) antara 0,12
m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar wilayah DKI
Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong). Pada periode 1994, kecepatan
penurunannya antara 0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44 m/tahun (Cilandak).
– Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tidak tertekan dipengaruhi oleh
pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat berlangsungnya musim penghujan,
muka airtanah umumnya cenderung naik karena proses pengisian kembali,
sementara penurunan muka airtanah secara alamiah (natural groundwater depletion)
terjadi pada saat musim kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan,
pasar Rebo dan Cilandak, perubahan muka airtanah sangat terkait dengan pola
pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Atas (40 – 100 m)


Rekaman muka airtanah pada periode >2 tahun menunjukkan gejala penurunan
pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada periode terakhir (Januari-
Desember 1994) kenaikan muka airtanah hanya terjadi di Cakung (0,12 m/tahun).
Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan muka airtanah selama kurun waktu
>2 tahun terhitung antara 0,08 m/tahun (Cakung) dan 1,71 m/tahun (Joglo),
sedangkan di luar wilayah DKI kecepatannya antara 0,74 m/tahun (Cipondoh) dan
1,81 m/tahun (Porisgaga). Selama periode 1994, kecepatan penurunan muka
airtanah terhitung antara 0,12 m/tahun (kompleks PT Yamaha Motor) dan 5,76
m/tahun (kompleks National Gobel).
Faktor utama yang mempengaruhi pola perubahan muka airtanah pada sistem
akuifer tertekan bagian atas adalah jumlah pengambilan airtanah (Qabs), disamping
pola curah hujan di daerah sekitar. Di Senayan, Duren Sawit, Jagakarsa, pasar
Minggu, Joglo, Cilodong dan Pondok Cina, pola curah hujan merupakan faktor
pengaruh yang lebih dominan.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Tengah (100 – 140m)


Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2 hanya
terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks PAM
Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan muka
airtanah selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47
m/bulan (kompleks Jakarta Land), sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai
0,81 m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan muka
airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun
(Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur) dan 3,96 m/tahun (Senayan),
sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di Teluk Pucung.
Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala penurunan, berkaitan dengan
pola Qabs di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode Januari 1993 – November 1994
umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Meskipun di beberapa
lokasi pemantauan menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah
hujan, terutama gejala penurunan muka airtanah yang terjadi pada saat musim
kemarau, namun karena kedudukan lapisan akuifer tertekan tengah cukup dalam,
maka diduga tidak ada pengaruh yang berarti dari curah hujan, kecuali terjadi
kebocoran pada konstruksi sumur.

Muka Airtanah pada Sistem Akuifer Tertekan Bawah (140 – 250m )


Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala
penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka
airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-
Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode >2
tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara selama
periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan 4,70
m/tahun (kompleks PT BASF).
Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah berhubungan
erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola perubahan pada periode
Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI
Jakarta.
Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan untuk
dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada Peta
Konservasi Airtanah Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem
akuifer tertekan (dalam) pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan
penurunan. Gejala yang mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah,
ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer
tertekan atas), kompleks DPRD Kebon Sirih dan Cengkareng Pedongkelan (akuifer
tertekan bawah). Tetapi hasil pemantauan periode panjang (>2 tahun) masih
menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi pemantauan termasuk di tiga lokasi
pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol terhadap
jumlah pengambilan airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
3.2.2 Upaya Pengendalian dari Aspek Teknik
Mengingat sebaran airtanah tidak dibatasi oleh batas-batas administratif suatu daerah,
maka pengelolaan airtanah berdasarkan aspek teknis seharusnya mengacu pada suatu
cekungan airtanah, yakni suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-batasan hidrogeologi,
di mana semua event hidrolika (pengisian, pengambilan dan pengaliran airtanah)
berlangsung.
Batasan-batasan teknis hidrogeologi ini menyangkut geometri dan parameter akuifer,
jumlah dan mutu airtanah, pengaliran dan keterdapatan airtanah. Batasan-batasan tersebut
menentukan berapa jumlah airtanah yang dapat dimanfaatkan dan bagaimana upaya
konservasi airtanah harus dilakukan.
Beberapa tindakan upaya pengendalian dampak negatif akibat pemompaan airtanah
secara berlebihan, antara lain :
1. Penentuan Lokasi Pemompaan.
Mengingat keterdapatan lapisan pembawa airtanah tidak merata, maka penentuan
lokasi pengambilan airtanah sangat menentukan, agar sumberdaya airtanah dapat
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Disamping itu, pengaruh pengambilan airtanah
melalui sumur-sumur yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka airtanah
yang lebih dalam, maka penentuan lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah
pengaruh di atas.
2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan
Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifer).
Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman
penyadapan pada lapisan akuifer tertentu.
Dengan pengaturan kedalaman penyadapan akan dapat dihindari terjadinya
eksploitasi airtanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang
dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan
akuifer.
Peruntukan airtanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil airtanah
dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman
penyadapan airtanah tetap mengacu pada prioritas peruntukan airtanah, di mana air
minum merupakan prioritas utama di atas segala-galanya.
3. Pembatasan Debit Pemompaan
Pembatasan besarnya airtanah yang disadap ini, bertujuan agar penurunan muka
airtanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman. Pengertian aman mempunyai arti
dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan airtanah di daerah pantai,
maupun kemungkinan terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan
airtanah yang tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat
disediakan sumber-sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan.
Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besar cadangan dan kualitas
airtanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan airtanah, sangat
berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan,
bahwa jumlah pengambilan airtanah hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan
airtanah.
4. Penambahan Imbuhan
Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama airtanah adalah berasal dari air
hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah hujan yang
relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif panjang. Kondisi
ini sangat menguntungkan dalam imbuhan airtanah secara alami, di mana pada saat
musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit airtanah yang terjadi pada
musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan mendapat penambahan cadangan
airtanah.
Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-
kota besar, peristiwa pengisian kembali airtanah pada musim hujan terhambat karena
adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah
imbuh airtanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang
meresap dan mengimbuh airtanah. Pada daerah yang demikian, perlu upaya
penampungan air hujan untuk dimasukkan ke dalam sumur-sumur resapan.
5. Penentuan Kawasan Lindung
Kawasan lindung airtanah mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan
maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya airtanah. Oleh sebab itu, untuk
menentukan kawasan lindung airtanah, disamping kondisi hidrogeologi, maka
penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus dipertimbangkan.
Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk
dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya, di daerah
imbuh airtanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah pemukiman,
industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan yang lain yang berdampak negatif
terhadap jumlah maupun mutu airtanah. Oleh sebab itu banyak kendala untuk
memberlakukan secara efisien upaya perlindungan airtanah. Meskipun demikian usaha-
usaha perlindungan airtanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan
geologi lingkungan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
 Sumberdaya air sebagai bagian dari ekosistem secara keseluruhan dan mempunyai
karakteristik unik dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Air bersifat sumberdaya
yang terbarukan dan dinamis. Artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu
datang sesuai dengan waktu dan musimnya sepanjang tahun.
 Air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran
permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (subsurface flow), aliran bawah
tanah (ground water flow), dan aliran sungai (stream flow).
 Permasalahan sumberdaya air meliputi; pasokan air, air permukaan, air bawah tanah,
banjir, erosi tanah, amblesan, sedimentasi, dan kualitas air.
 Dampak pemanfaatan air tanah, yaitu terjadi penurunan muka air tanah, intrusi air laut,
dan amblesan tanah.
 Tindakan/upaya pengendalian dari aspek teknis, yaitu:
a. Penentuan lokasi pemompaan
b. Pengaturan kedalaman penyadapan
c. Pembatasan debit pemompaan
d. Penambahan imbuhan
e. Penentuan kawasan lindung
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Arsyad, Sitanala., Rustiadi, Ernan. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, Dan Lingkungan. Crestpent
Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Irianto, Gatot., 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air, Strategi Pendekatan dan
Pendayagunaannya. Papas Sinar Sinanti. Jakarta

Kodoatie, Robert., Sangkawati, Sri., Edhisono, Sutarto. 2002. Pengelelolaan Sumber Daya Air
Dalam Otonomi Daerah. ANDI. Yogyakarta

Kodoatie, Robert., Sjarief, Roestam. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi.
Yogyakarta

Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai