Kalau bisa, selama seminggu ini ia bolos sekolah saja. Namun,Ibu pasti akan marah. Ulangan tengah semester telah selesai. Minggu ini, di sekolah sedang beriangsung pekan olahraga. “Sudah siang,Anggi. Ayo lekas, nanti terlambat,”tegur Ibu. “Enggak belajar kok, Ibu. Lagi pekan olahraga.” “O iya, kamu ikut olahraga apa, Anggi ?”tanya ibu. “Aku dimasukkan ke tim lari estafet oleh Pak Guru. Satu tim dengan Atikah,”suara Anggi terdengar pelan. “Bagus, dong! Lari kalian, kan, memang cepat. Tapi, kenapa kamu seperti tidak semangat? Ada apa?” ibu menyelidik, Anggi menunduk. Menggeleng “Anggi?” Ibu tidak suka dengan gelengan kepala anggi. “Anggi tidak mau satu tim dengan Atikah,”ucap Anggi. “Anggi mau satu tim dengan Nabila saja.Tapi, Pak guru bilang tidak bisa ditukar. ” “Bukankah seharusnya kamu senang. Kalian, kan, bersahabat. ” Tidak lagi, jawab Anggi dalam hati. Mereka bertengkar gara-gara Anggi tidak mau memberikan contekan Matematika saat ujian tengah semester kemarin. Sampai hari ini mereka belum bicara dan bercanda lagi. Kalau berpapasan di koridor sekolah, Anggi dan Atikah pura-pura tidak melihat. Di dalam kelas pun mereka seperti tidak saling mengenal. Anggi tidak mau minta maaf duluan. Seperti kejadian waktu buku PR atikah tersiram air. Dodi yang menumpahkan langsung melarikan diri. Karena memang hanya Anggi yang duduk di sana, Atikah langsung menyalahkannya. Sementara ia tidak sempat membela diri. Sebagai tanda permintaan maaf, Anggi membuat gelang yang ia buat sendiri. Warnanya Kuning. Satu untuknya dan satu untuk Atikah. Waktu memakai gelang itu, mereka berjanji untuk tidak musuhan lagi. Anggi melirik pergelangan tangannya. Gelang biru tanda persahabatan itu sudah ia lepas dari kemarin. Anggi juga melihat Atikah tidak memakainya lagi. Mereka benar-benar tidak lagi sahabatan sekarang. “Ayo Ibu, berangkat,” ujar Anggi selesai memakai sepatu. la tidak ingin Ibu bertanya ada apa dengannya dan Atikah. Lili memanggil Anggi untuk mendekat karena nama mereka sudah dipanggil untuk masuk ke lapangan. Lomba lari estafet putri akan segera dimulai. Dengan malas,Anggi mendekat juga. “Yang semangat, dong!”tepuk Ranti di pundak Anggi. Tadi Ranti sedang mengobrol dengan Atikah yang langsung membuang pandangnya ke pinggir lapangan, setelah Anggi mendekat. Anggi menguatkan diri. Perasaan kesal dan sebal pada Atikah masih ada di hatinya, karena Atikah marah-marah tidak diberi contekan. Demi pertandingan lari estafet ini, aku akan berjuang, ucap Anggi dalam hati. Untungnya, Anggi menjadi pelari yang pertama membawa tongkat. Dilanjutkan oleh Atikah, pelari yang menerima tongkat terakhir. Maka, Anggi tidak perlu menatap dan bersentuhan tangan dengan Atikah. Ternyata, tim nggi kalah oleh tim Nabila. Atikah marah- marah dan menyalahkan Anggi atas kekalahan itu. “Seharusnya Anggi tidak satu tim dengan kita. Larinya lambat sekali tadi. Semua gara , gara dia,” Atikah mengomel. Anggi ingin menangis tadi. Selalu saja, Atikah menyalahkan dirinya. Untunglah teman yang lain tidak ikutan menyalahkannya. Lari tim mereka memang kalah cepat dari teman-teman di tim Nabila. “Ibu baru tahu kalau kamu bertengkar sama Atikah,”Ibu meletakkan secangkir cokelat panas di meja belajar. Anggi berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing. Hari ini Anggi tidak sekolah. Tadi pagi dia sudah mau berangkat ke sekolah, tetapi ketika Anggi berpamitan, Ibu merasakan tangan Anggi panas sekali dan melarang Anggi pergi ke sekolah “Ibu tahu dari mana? Ada yang ngadu ke Ibu, ya?” “Enggak baik bertengkar lama-lama. Selama ini, kan, kalian memang sering bertengkar, tapi tidak lama sudah baikan lagi.” Anggi melengos tak suka mendengar ucapan Ibu. Mereka memang selalu berbaikan. Namun, selama ini Anggi yang selalu mengalah dan meminta maaf duluan. “Mengalah, tidak apa-apa, kok,” bujuk Ibu seperti tahu apa yang Anggi pikirkan. “Atikah mau menang sendiri Ibu. Anggi capek ngalah terus-terusan.” Ibu tersenyum. “Mengalah bukan berarti kalah,” Ibu membantu Anggi untuk duduk dan meminum cokelatnya. “Itu malah menandakan, kalau kamu anak Ibu yang punya jiwa besar,” Ibu menekan hidung anggi. “Lagi pula, kamu adalah anak Ibu yang paling baik.” Anggi menunduk. “Nah, sekarang, ibu suruh Atikah masuk ke kamarmu, ya?” “Atikah datang ke sini, ibu?” tanya Anggi tidak percaya mendengarnya. “Iya. Dia mau minta maaf, katanya. Atikah datang membawa puding, lo. Nanti Ibu iris dan bawa ke kamar, ya. Biar bisa kalian makan berdua.” Ibu tersenyum. Saat itu, Anggi melihat gelang tanda persahabatan yang pernah dibuatnya. Ah, meski tanpa gelang persahabatan itu, mereka akan tetap menjadi sahabat.