Anda di halaman 1dari 28

FASE PERKEMBANGAN MANUSIA DAN TUGAS PERKEMBANGAN

MANUSIA
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah: Bimbingan dan
Penyuluhan
Dosen Pengampu : Puspa Mia Widiyahningsih, M.Pd

Disusun Oleh:
Saifudin Zuhri 1119005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULKTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2021
DAFTAR ISI

SAMPUL i

DAFTAR ISI ii

A. PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang 1

2. Rumusan Masalah 2

3. Tujuan 2

B. PEMBAHASAN 3

1. Pengertian Kompetensi Pendidik 3

2. Makna Ahlul Dzikr 9

3. Tafsir ematik Surat Al-Ambiya; 7 dan Al-Mujadalah; 11 12

C. PENUTUP 25

1. Kesimpulan 25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Kompetensi guru dalam menguasai standar kompetensi dan


kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, tercermin pada kepribadian
guru.Sebagai guru memiliki tugas dan tanggung jawab bukan hanya
menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik, melainkan dituntut
pula agar pelajaran yang diterapkan oleh guru dapat dipahami oleh siswa
sehingga siswa dapat menyerap ilmu pengetahuan, iman, ketakwaan,
ibadah, amal shaleh, dan ahlak mulia dari pelajaran yang diajarkan oleh
guru. Pengertian kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan
kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan
kinerjanya secara tepat dan efektif. Namun, jika pengertian kompetensi
guru tersebut dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam yakni pendidikan
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam mencapai
ketentraman bathin dan kesehatan mental pada umumnya. Maka
kompetensi guru agama Islam adalah kewenangan untuk menentukan
Pendidikan Agama Islam yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di
sekolah tempat guru itu mengajar.

Kompetensi yang dimilki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas


guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam
kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.
Artinya guru bukan saja harus pintar, tetapi juga harus pandai mentransfer
ilmunya kepada peserta didik. Kemampuan seperti ini tidak hanya
menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan
pribadi, sosial, kematangan intelektual dan system nilai peserta didik.
Berkaitan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang
bermutu di Sekolah adalah pendidikan yang mengantarkan peserta didik
pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi
perkembangan diri yang sehat dan optimal.

2. Rumusan Masalah
a. Pengertian kompetensi Pendidik
b. Pengertian ahlu dzikr
c. Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7, Al Mujadalah; 11
3. Tujuan
a. Mengetahui Pengertian kompetensi Pendidik
b. Mengetahui Pengertian ahlu dzikr
c. Mengetahui Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7, Al Mujadalah; 11
d.
BAB II

B. PEMBAHASAN
1. Kompetensi Pendidik

Kompetensi secara bahasa diartikan kemampuan atau kecakapan.


Hal ini diilhami dari KKBI dimana kompetensi diartikan sebagai
wewenang atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.
Sedangkan menurut Partanto (1994), dalam Kamus Ilmiah Populer,
kompetensi diartikan sebagai kecakapan, wewenang, kekuasaan dan
kemampuan. Kompetensi kepribadian Kepribadian guru merupakan faktor
terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah
Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah
yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik
bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi
masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil
(tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa
(tingkat menengah).1

Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru


dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan
keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta
merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara
simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada
umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi.
Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan
ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.Dalam
Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian
adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan
berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138)
menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Kompetensi_Guru
kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi
guru yang baik.

Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang


berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan
perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat
Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi
meliputi:

a. pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama,


b. pengetahuan tentang budaya dan tradisi,
c. pengetahuan tentang inti demokrasi,
d. pengetahuan tentang estetika,
e. memiliki apresiasi dan kesadaran sosial,
f. memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan,
g. setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi
guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka,
berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan
kemampuan personal guru, mencakup
a. penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai
guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-
unsurnya,
b. pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya
dianut oleh seorang guru,
c. kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk
menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal
mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi
sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh
siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin
dari indikator sikap, dan keteladanan.
Yang dimaksud dengan komptensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Subkompetensi mantap
dan stabil memiliki indicator esensial yakni bertindak sesuai dengan
hokum, bertindak sesuai dengan norma social, bangga menjadi guru dan
memiliki konsistensi dalam bertindak dan bertutur.
Kompetensi sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara harmonis dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik,
dan masyarakat sekitar. Indikasinya, guru mampu berkomunikasi dan
bergaul secara harmonis peserta didik, sesama pendidik, dan dengan
tenaga kependidikan, serta dengan orang tua/wali peserta didik dan
masyarakat sekitar.
Menurut Adam (1983) menyimpulkan tiga komponen yang
memungkinkan seseorang membangun dan menjalani hubungan yang
positif dengan teman sebaya, yaitu :
a. pengetahuan tentang keadaan emosi yang tepat untuk situasi sosial
tertentu (pengetahuan sosial),
b. kemampuan untuk berempati dengan orang lain (empati), dan
c. percaya pada kekuatan diri sendiri (locus of control). Sedangkan La
Fontana dan Cillesen (2002) menuliskan bahwa kompetensi sosial
dapat dilihat sebagai perilaku prososial, altruistik, dan dapat bekerja
sama.
Anak-anak yang sangat disukai dan yang dinilai berkompetensi
sosial oleh orang tua dan guru-guru pada umumnya mampu mengatasi
kemarahan dengan baik, mampu merespon secara langsung,
melakukan cara-cara yang dapat meminimalisasi konflik yang lebih
jauh dan mampu mempertahankan hubungannya (Fabes dan Eisenberg
dalam Papalia dkk, 2002).
Sementara itu Rydell dkk. (1997) menuliskan bahwa berdasarkan
hasil berbagai penelitian sejauh ini, kompetensi sosial merupakan
fenomena unidemensional. Hal-hal yang paling disepakati oleh para
ahli psikologi sebagai aspek kompetensi sosial anak adalah perilaku
prososial atau prosocial orientation (suka menolong, dermawan,
empati) dan initiative taking versus social withdrawal dalam kontek
interaksi sosial atau disebut juga sebagai social initiative (Waters dkk
dalam Rydell, 1997).
Aspek prosocial orientation terdiri dari kedermawanan
(generosity), empati (empaty), memahami orang lain (understanding of
others), penanganan konflik, (conflict handling), dan suka menolong
(helpfulpness). Aspek Sosial Initiative terdiri dari aktif untuk
melakukan inisiatif dalam situasi interaksi sosial dan Withdrawal
behavior dalam situasi tertentu (Rydell dkk, 1997). Dalam masyarakat
anak dipandang berkompeten secara sosial jika perilaku mereka lebih
bertanggung jawab, mandiri atau tidak bergantung, mampu
bekerjasama, perilakunya bertujuan, dan bukan yang serampangan,
serta mempunyai kontrol diri atau tidak impulsif sedangkan anak tidak
kompeten jika perilakunya yang seenaknya, tidak ramah, oposan.
(Baumrind dalam Pertiwi, 1999).
Selanjutnya Braumind (Garmezy dkk., 1997) mengemukakan
bahwa kompetensi sosial terdiri dari mood positif yang menetap, harga
diri, physical fitnes, tanggung jawab sosial yang mencakup
kemampuan untuk berinteraksi dengan orang dewasa, perilaku
menolong terhadap teman sebaya, dan kematangan moral, cognitif
agency yang mencakup kognisi sosial, orientasi terhadap prestasi,
internal locus of control yang mencakup sikap egaliterian terhadap
orang dewasa, sikap kepemimpinan terhadap teman sebaya, perilaku
yang berorientasi pada tujuan dan gigih. Sementara itu White (1997)
mengemukakan pendapat yang tidak jauh berbeda bahwa aspek
kompetensi sosial yaitu memperlihatkan sosial, simpati, penghargaan,
tolongmenolong dan cinta. Kompetensi emosi yang terdiri atas aspek
ekspresi emosi, pengetahuan emosi, dan regulasi emosi juga
memberikan kontribusi pada kompetensi sosial (Denham dkk, 2003).
Berdasarkan uraian diatas, bahwa aspek kompetensi sosial adalah
aspek prosocial orientation (perilaku prososial) yang terdiri dari
kedermawanan (generosity), empati (empaty), memahami orang lain
(understanding of others), penanganan konflik (conflik handling), dan
suka menolong (helpfulness) serta aspek sosial (social intiative) yang
terdiri dari aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial dan
withdawal behavior (perilaku yang menarik) dalam situasi tertentu.
Alasan pemilihan pendapat Rydell dkk. Ini dikarenakan pendapat ini
lebih mudah untuk dipahami sesuai dengan masa perkembangan anak.
Kompetensi professional Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya salah
satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru adalah kompetensi
professional. Kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini
merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi pelajaran
secara luas dan mendalam. Yang dimaksud dengan penguasaan materi
secara luas dan mendalam dalam hal ini termasuk penguasaan
kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung
profesionalisme Guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain,
memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis
pendidikan yang sesuai. Berbagai kendala yang dihadapi sekolah
terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan guru
yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah
kebutuhan subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang
guru.
Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak
popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai
bidangnya. Dari pada kosong sama sekali, lebih baik ada guru yang
bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas. Kompetensi
Pedagogik Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci
setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai
berikut:
a. Subkompetensi memahami peserta didik secara mendalam
memiliki indikator esensial: memahami peserta didik dengan
memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami
peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian;
dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.
b. Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan
pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini
memiliki indikator esensial: memahami landasan kependidikan;
menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi
pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi
yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan
pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Subkompetensi melaksanakan pembelajaran memiliki indikator
esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan
pembelajaran yang kondusif.
d. Subkompetensi merancang dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang dan
melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil
evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat
ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil
penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program
pembelajaran secara umum.
e. Subkompetensi mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensinya, memiliki indikator
esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai
potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk
mengembangkan berbagai potensi nonakademik.2

2. Makna Ahlul Dzikri


Secara ringkas di Tafsir Jalalayn dikatakan bahwa
ّ ‫ َل‬DDْ‫ئَلُو ْا أَه‬DD‫}فَٱس‬ ahludz dzikri adalah ulama yang
 ‫التوراة وا ِإلنجيل‬DD‫اء ب‬DD‫ذ ْك ِر } العلم‬DD‫ٱل‬
menguasai taurot dan injil.
Di dalam tafsir Thobary dikatakan :
‫ة من‬DD‫ وما أرسلنا من قبلك يا مـحمد إلـى أم‬:‫يقول تعالـى ذكره لنبـيه مـحمد صلى هللا عليه وسلم‬
‫ا ال‬DD‫وحي إلـيهم وحين‬DD‫ إالَّ رجاالً من بنـي آدم ن‬،‫ للدعاء إلـى توحيدنا واالنتهاء إلـى أمرنا ونهينا‬،‫األمـم‬
‫هم‬DD‫ل إلـى من قَبلهم من األمـم من جنس‬DD‫ا نرس‬DD‫ذي كن‬DD‫ل ال‬DD‫ك إالَّ مث‬DD‫ فلـم نرسل إلـى قوم‬:‫ يقول‬،‫مالئكة‬
ّ ‫سئَلُوا أ ْه َل‬
‫ا‬D‫ذين كن‬D‫ وإن كنتـم ال تعلـمون أن ال‬:‫ريش‬D‫الذ ْك ِر } يقول لـمشركي ق‬ ْ ‫ { فـا‬.‫وعلـى منهاجهم‬
‫ة‬DD‫لم وقلتـم هم مالئك‬DD‫ه وس‬DD‫نرسل إلـى من قبلكم من األمـم رجال من بنـي آدم مثل مـحمد صلى هللا علي‬
‫وراة‬DD‫ الت‬:‫رأوا الكتب من قبلهم‬DD‫د ق‬DD‫ذين ق‬DD‫ذ ْك ِر } وهم ال‬Dِّ D‫ َل ال‬D‫سئَلُوا أَ ْه‬
ْ ‫ { فـا‬،ً‫أي ظننتـم أن هللا كلـمهم قبال‬
‫ا علـى عبـاده‬DDDDDDDDDD‫ك من كتب هللا التـي أنزله‬DDDDDDDDDD‫ير ذل‬DDDDDDDDDD‫ وغ‬،‫واإلنـجيـل‬.
‫ هـ) مصنف و مدقق‬310 ‫ الطبري (ت‬/‫تفسير جامع البيان في تفسير القرآن‬

Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad SAW bahwa tidaklah Kami


mengutus sebelum dirimu Y Muhammad kepada suatu umat untuk menyeru
agar mentauhidkan kami serta menyempurnakan hingga ke perintah dan
larangan – melainkan dia adalah seorang lelaki bani adam yang diwahyukan
kepada mereka, bukan malaikat. Allah SWT juga berkata, dan tidak juga
diutus ke kaummu kecuali seperti yang pernah kami utus ke kaum-kaum
sebelum mereka kecuali dengan jenis dan manhaj/metode yang sama.

Ahli dzikir ialah orang yang ‘arif, rijalul ‘arif. Habib Luthfi menyebutkan,
kalau orang ‘arif sudah dipastikan ibadahnya baik. Itu semua disaksikan dan
diakui oleh Allah yang menciptakan 3

ّ ‫ } فـا ْسئَلُوا أ ْه َل‬bertanyalah ke ahladz dzikri, yakni agar mengatakan hal


{ ‫الذ ْك ِر‬
tersebut kepada musyrikin Quraisy : jika kalian tidak mengetahui bahwa

2
http://kompetensi.info/kompetensi-guru/empat-kompetensi-guru.html
3
https://islam.nu.or.id/post/read/95128/penjelasan-al-quran-tentang-sosok-ahli-dzikir
orang2 yang kami utus ke umat sebelum kalian itu tidak lain adalah laki2
(manusia) dari bani Adam seperti Muhammad SAW, dan sementara kalian
mengatakan mereka itu malaikat atau mengira bahwa Allah SWT berkata
kepada mereka sebelumnya

{ ‫ } فـا ْسئَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر‬bertanyalah ke ahladz dzikri yakni mereka yang telah
membaca Al-Kitab sebelum mereka yakni Taurot dan Injil dan selainnya dari
Kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya. 

Jadi secara asbabul Nuzul, pengertian dari Ahlul Dzikri di ayat tersebut adalah
orang-orang yang memahami Taurot dan Injil

Demikian juga yang tertulis di dalam Tafsir Qurthuby diterangkan bahwa


Sufyan (Ats-Tsauri ?) berkata bahwa Ahlul Dzikri adalah golongan beriman
dari ahlul kitab. Ini juga sebagaimana yang ditafsirkan oleh Al-Baghawy
dalam Ma’alim Tanzil dan Samarqondi dalam Bahrul Ulum. Sedangkan Ibnu
Abbas RA mengatakan bahwa Ahlul Dzikri adalah Ahlul Al-AlQuran.
Dikatakan pula bahwa ahlul dzikri adalah ahlul ilmu, kedua istilah tersebut
berdekatan.4

Makna Adz-Dzikr, Adapun penggunaan Adz-Dzikr sendiri yang bermakna


Kitab Allah SWT baik Al-Quran maupun yang lainnya diantaranya selain
pada ayat di atas (An-Nahl : 43) juga digunakan pada Surat Al-Hijr:9

ِّ ‫} إِنَّا نَ ْحنُ نَ َّز ْلنَا‬ 


{ َ‫ٱلذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َح ٰـفِظُون‬
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Dzikr (Kitab AlQuran) dan
sesungguhnya Kamilah yang menjaganya” dalam Surat Al-anbiya : 105
{ َ‫ص ٰـلِ ُحون‬ َ ‫ٱلذ ْك ِر أَنَّ ٱألَ ْر‬
َ ‫ض يَ ِرثُ َها ِعبَا ِد‬
َّ ‫ى ٱل‬ ِّ ‫} َولَقَ ْد َكتَ ْبنَا فِى ٱل َّزبُو ِر ِمن بَ ْع ِد‬ 
“Dan telah kami tetapkan di Zubur sesudah Dzikr (Taurat) bahwa bumi
akan kami mariskan kepada hamba-hamba Kami yang soleh.”
Dan juga dalam Surat Thaha : 124
‫ش ُرهُ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة أَ ْع َمى‬ َ ً ‫شة‬
ُ ‫ض ْن ًكا َونَ ْح‬ َ ‫َو َمنْ أَ ْع َر‬
َ ‫ض عَنْ ِذ ْك ِري فَإِنَّ لَهُ َم ِعي‬
4
https://dnuxminds.wordpress.com/2015/06/01/bertanyalah-kepada-ahlul-dzikri-mengapa-bukan-
ke-ahlul-ilmi/
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

Jadi makna Dzikr tiada lain adalah peringatan Allah SWT yakni kitab-
kitab yang diturunkanNya.

Karena itu didalam tafsir Mafatih Ghoib, Imam Rozi mengatakan bahwa
diantara penafsiran Dzikr adalah tertuju kepada Taurat sebagamana dalam
ayat tersebut “Kami tetapkan di Zubur setelah Dzikr”. Mengutip Zujaj,
Imam Rozi juga memberikan definisi ahlul dzikri sebagai ahlul ilmu

‫ إذ العالم بالشيء يكون ذاكراً له‬،‫أهل الذكر أهل العلم بأخبار الماضين‬
ahlu dzikri adalah ahlul ilmu yang mengetahui kabar (pengetahuan)
perkara lampau, Ketiua seseorang mengetahui (alim) sesuatu, maka dia
menjadi orang yang tahu dan bisa menjadi referensi (dzakir lahu)*** 
Masih mengutip dari Imam Zujaj makna dari { ‫وا أَ ْه َل ٱلـ ّـذ ْك ِر‬
ْ ُ‫ } فَٱسئَل‬adalah
‫ذكر بعلم وتحقيق‬DD‫ل من ي‬DD‫لوا ك‬DD‫اه س‬DD‫معن‬ tanyailah setiap orang yang mengetahui
dengan ilmu dan dengan tahqiq (penyelidikan)
Selanjutnya Imam Razi mengatakan dalam persoalan penggunaan
Qiyas
‫ه‬DD‫ المكلف إذا نزلت به واقعة فإن كان عالما ً بحكمها لم يجز ل‬:‫احتج نفاة القياس بهذه اآلية فقالوا‬
‫ذه اآلية‬DD‫اهر ه‬DD‫ا لظ‬DD‫ا ً به‬D ‫ان عالم‬DD‫ؤال من ك‬DD‫ه س‬DD‫ا وجب علي‬DD‫ا ً بحكمه‬D ‫ وإن لم يكن عالم‬،‫اس‬DD‫القي‬،
Seorang mukalaf bila dia mengetahui fakta sesuatu, bila dia adalah orang
‘alim dengan hukum permasalahan tersebut maka dia tidak boleh berqiyas.
Sedangkan bila dia bukan orang alim terhadap ilmu tersebut, maka dia
wajib bertanya kepada orang alim berdasarkan dzahir ayat ini.
3. Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7 dan Al-Mujadalah; 11
a. Surah Al-Ambiya; 7
‫كـ إِـ اَّل ِرـ َـجـ اـاًل نُـوـ ِـحـ يـ إِـ لَـ ْيـ ِهـ ْمـ ۖـ فَـ اـ ْسـ أَـلُـوـاـ أَـ ْهـ َـلـ اـلــذـِّ ْكـ ِرـ إِـ ْـنـ ُكـ ْنـ تُـ ْمـ‬
َ ‫َـوـ َمـ اـ أَـ ْـرـ َسـ ْلـ نَـ اـ قَـ ْبـ لَـ‬
‫اَل تَـ ْـعـ لَـ ُمـ وـ َنـ‬
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa
orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”

Di dalam tafsir Al-Jami' li Ahkamil Quran karya Al-Imam Al-Qurtubi


dijelaskan bahwa firman Allah SWT, "Kami tiada mengutus rasul rasul
sebelum kamu, melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri
wahyu kepada mereka", sebagai jawaban atas argumentasi para orang kafir
yang meragukan kenabian Muhammad SAW. Mereka mencemooh bahwa
Muhammad SAW itu sama saja dengan manusia biasa. Tidak ada
kelebihan apapun, sehingga tidak perlu diikuti ajarannya.

Maka Allah SWT turunkan ayat ini yang membandingkan antara nabi
Muhammad SAW dengan para nabi terdahulu. Di mana para nabi
terdahulu itu sama saja dengan beliau SAW, sama-sama manusia biasa.
Hanya saja mereka mendapatkan wahyu dari Allah SWT.

Disebutkan 'beberapa laki-laki' untuk menunjukkan bahwa para nabi


terdahulu tidak lain juga manusia, sebagaimana Muhammad SAW juga
manusia. Tapi yang membedakan, para nabi terdahulu dan juga
Muhammad SAW mendapatkan wahyu dari Allah. Ayat ini menegaskan
bahwa nabi itu bukan malaikat, karena disebutkan dengan kata 'laki-laki,
yang menunjukkan bahwa mereka adalah dari jenis manusia.

Firman-Nya: Fas'alu ahlaz-zikri (tanyakan kepada ahli zikri) Apabila para


orang kafir itu masih belum bisa menerima argumentasi ini, silahkan saja
mereka bertanya kepada ahluz zikri. Sufyan menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ahlaz-zikri adalahpara ahli Taurat dan Injil yang telah
beriman kepada nabi Muhammad SAW (sudah masuk Islam).

Disebut mereka itu ahluz-zikri (makna zikr adalah mengingat), karena


mereka paham dan mengerti betul kisah para nabi terdahulu yang belum
dikenal oleh bangsa Arab. Dan para kafir Quraisy memang terbiasa
bertanya kepada ahli Taurat dan Injil tentang nab-nabi terdahulu. Di sini
Allah menegaskan kembali untuk bertanya kepada mereka bila belum
tahu.

Versi Penafsiran yang Lain, Selain versi penafsiran di atas, sebagian ahli
tafsir punya versi lain dari maksud ayat di atas. Bahwa menurut mereka
yang dimaksud dengan ahli zikri adalah para ulama yang sangat mengerti
isi Al-Quran. Demikian menurut Ibnu Zaid.

Senada dengan itu, diriwayatkan bahwa ketika ayat ini diturunkan,


sayyidina Ali bin Thalib berkata, "Kami adalah ahluz-zikri."

Ayat ini menjadi dasar atas kewajiban setiap muslim untuk bertanya
tentang hal-hal yang tidak atau belum diketahuinya. Maksudnya, bertanya
dalam masalah hukum-hukum Allah SWT yang telah diturunkan lewat
kitab suci dan rasul-Nya. Yang dimaksud dengan ahluz-zikri tidak lain
adalah para ulama yang memiliki derajat kefaqihan atas nash-nash syar'i.
Ayat ini juga menjadi dalil atas tidak wajibnya seseorang untuk
bertaqlid hanya pada satu ulama saja, atau pada satu mazhab saja. Setiap
orang boleh saja bertanya kepada siapa saja yang masih bisa digapainya,
asalkan orang itu memiliki kriteria sebagai faqih (orang yang memahami
maksud dan makna dari tiap perintah Allah).

Ayat ini tidak pernah mensyaratkan keharusan berpegang hanya


pada satu mazhab saja, sebab kewajiban bertanya hanya sebatas kepada
yang punya ilmu, tanpa dibatasi untuk setia hanya kepada satu saja orang
berilmu dari mereka.5

b. Surah Al-Mujadalah; 11

ُ ‫ َل ا ْن‬D‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم َوإِ َذا قِي‬


‫زُوا‬D‫ش‬ َ ‫س فَا ْف‬
َ ‫ ُحوا يَ ْف‬D‫س‬
ِ D‫س‬ ِ ِ‫ ال‬D‫ ُحوا فِي ا ْل َم َج‬D‫س‬ َّ َ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬
} )11( ‫ت َوهَّللا ُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ٍ ‫شزُوا يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا‬ُ ‫فَا ْن‬

5
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:VlePSA0aO8kJ:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-577-tafsir-al-anbiya-ayat-
7.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
"Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah
kamu, " maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Allah Swt. berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang
beriman seraya memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka
bersikap baik kepada sebagian yang lain dalam majelis-majelis pertemuan.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
َّ َ‫{يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬
ِ ِ‫س ُحوا فِي ا ْل َم َجال‬
}‫س‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
"Berlapang-lapanglah dalam majelis, " (Al-Mujadilah: 11)
Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk
tunggal, bukan jamak.
}‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم‬
ِ ‫س‬ َ ‫{فَا ْف‬
َ ‫س ُحوا َي ْف‬
“maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” (Al-Mujadilah: 11)
Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan.
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih:
"‫س ِجدًا َبنَى هَّللا ُ لَهُ بَ ْيتًا فِي ا ْل َجنَّ ِة‬
ْ ‫" َمنْ َبنَى هَّلِل ِ َم‬
“Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, maka Allah
akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
Dan di dalam hadis yang lain disebutkan:
‫ ُّد ْنيَا‬D‫ت ََرهُ هَّللا ُ فِي ال‬D‫س‬
َ ‫لِ ًما‬D‫س‬
ْ ‫ت ََر ُم‬D‫س‬ َ ،‫سر هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة‬
َ ْ‫[و َمن‬ َّ َ‫سر ي‬ ِ ‫سر َعلَى ُم ْع‬ َّ َ‫" َو َمنْ ي‬
"‫َواآْل ِخ َر ِة] َوهَّللا ُ فِي ع َْو ِن ا ْل َع ْب ِد َما َكانَ ا ْل َع ْب ُد فِي ع َْو ِن أَ ِخي ِه‬
“Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang
kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan
akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba
menolong saudaranya.”
Masih banyak hadis lainnya yang serupa. Karena itulah maka disebutkan
oleh firman-Nya:
}‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم‬
ِ ‫س‬ َ ‫{فَا ْف‬
َ ‫س ُحوا يَ ْف‬
“maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” (Al-Mujadilah: 11)
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
majelis zikir. Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang
dari mereka yang baru datang, mereka tidak memberikan kelapangan
untuk tempat duduknya di hadapan Rasulullah Saw. Maka Allah
memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka memberikan
kelapangan tempat duduk untuk sebagian yang lainnya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada
hari Jumat, sedangkan Rasulullah Saw. pada hari itu berada
di suffah (serambi masjid); dan di tempat itu penuh sesak dengan manusia.
Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah Saw. ialah memuliakan
orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin
maupun dari kalangan Ansar. Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang
dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan orang-orang selain mereka
telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah Saw.
Maka mereka yang baru datang berdiri menghadap kepada
Rasulullah dan berkata, "Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada
engkau, hai Nabi Allah, dan juga keberkahan-Nya." Lalu Nabi Saw.
menjawab salam mereka. Setelah itu mereka mengucapkan salam pula
kepada kaum yang telah hadir, dan kaum yang hadir pun menjawab salam
mereka. Maka mereka hanya dapat berdiri saja menunggu diberikan
keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu. Nabi Saw. mengetahui
penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena tidak diberikan
keluasan bagi mereka di majelis itu.
Melihat hal itu Nabi Saw. merasa tidak enak, maka beliau bersabda
kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan
Ansar yang bukan dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu.
Juga kamu, hai Fulan." Dan Nabi Saw. mempersilakan duduk beberapa
orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin
dan Ansar Ahli Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang
yang disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Saw. mengetahui
keadaan ini dari roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat
duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka,
"Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara
sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap
mereka. Sesungguhnya suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka
di dekat nabi mereka karena mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi
nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya, dan
mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang
terlambat." Maka telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
"‫سح أِل َ ِخي ِه‬
َ َ‫"ر ِح َم هَّللا ُ َر ُجاًل ف‬
َ
“Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat
duduk bagi saudaranya.”
Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara
mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.


ِ ‫و َل هَّللا‬D‫س‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬،‫ر‬Dَ ‫ َع ِن ا ْب ِن ُع َم‬،‫افِ ٍع‬Dَ‫ عَنْ ن‬،‫وب‬ َ ‫ عَنْ أَ ُّي‬، ُ‫ ْفيَان‬D‫س‬ َّ ‫ َو‬،ُ‫ د‬D‫ا ُم أَ ْح َم‬D‫قَا َل اإْل ِ َم‬
ُ ‫ َّدثَنَا‬D‫ َح‬:‫افِ ِع ُّي‬D‫الش‬
‫ ُحوا‬DD‫س‬ َ ِ‫ ِه فَيَ ْجل‬DD‫س‬
َّ َ‫ َولَ ِكنْ تَف‬،‫ ِه‬DD‫س فِي‬ ِ ِ‫ َل ِمنْ َم ْجل‬DD‫ ُل ال َّر ُج‬DD‫ "اَل يُقِي ُم ال َّر ُج‬:‫ا َل‬DDَ‫لَّ َم ق‬DD‫س‬
َ ‫ ِه َو‬DD‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬DD‫ص‬
َ
."‫سعوا‬
َّ ‫وتَو‬
“Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang lain
dari majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan
luaskanlah tempat duduk kalian.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Nafi'
dengan sanad yang sama.
‫ ِد‬D‫ ابِ ِر ْب ِن َع ْب‬D‫ عَنْ َج‬،‫ى‬D‫وس‬ َ ‫سلَ ْي َمانُ بْنُ ُم‬ ُ ‫ قَا َل‬:‫ج قَا َل‬ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن ُج َر ْي‬،‫ أَ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد ا ْل َم ِجي ِد‬:‫قَا َل الشَّافِ ِع ُّي‬
ْ Dَ‫ اهُ ي‬D‫دُكم أَ َخ‬D‫ "اَل يُقِي َمنَّ أح‬:‫ا َل‬DDَ‫لَّ َم ق‬D‫س‬
:‫ ْل‬Dُ‫ َولَ ِكنْ لِيَق‬،‫ ِة‬D‫و َم ا ْل ُج ُم َع‬D َ ‫ ِه َو‬D‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬D‫ص‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬.ِ ‫هَّللا‬
َ ‫ا ْف‬
"‫س ُحوا‬
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Majid,
dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Sulaiman ibnu Musa telah
meriwayatkan dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara-kamu mengusir
saudaranya (dari tempat duduknya) di hari Jumat, tetapi hendaklah ia
mengatakan, "Lapangkanlah tempat duduk kalian!"
Hadis ini dengan syarat kitab sunan, tetapi mereka tidak
mengetengahkannya.
]‫ َّر ْح َم ِن ْب ِن [أَبِي‬D ‫ ِد ال‬D ‫وب عَنْ َع ْب‬ َ ُّ‫ عَنْ أَي‬،‫ َح َّدثَنَا فُلَ ْيح‬،‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ا ْل َملِ ِك بْنُ َع ْم ٍرو‬:ُ‫َوقَا َل اإْل ِ َما ُم أَ ْح َمد‬
‫ "اَل‬:‫ا َل‬D‫لَّ َم َق‬D‫س‬
َ ‫ ِه َو‬D‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬D‫ص‬َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬،َ‫ عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة‬،‫وب‬
َ ُ‫وب ْب ِن أَبِي يَ ْعق‬ َ ُ‫ عَنْ يَ ْعق‬،‫صعة‬ َ ‫ص ْع‬ َ
"‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم‬
ِ ‫س‬ َ ‫ َولَ ِك ِن ا ْف‬،‫س فِي ِه‬
َ ‫س ُحوا يَ ْف‬ ْ ِ‫س ِه ثُ َّم يَ ْجل‬
ِ ِ‫يُقِ ِم الرج ُل الرج َل ِمنْ َم ْجل‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik
ibnu Umar dan telah menceritakan kepada kami Falih, dari Ayyub, dari
Abdur Rahman ibnu Sa'sa'ah, dari Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, dari Abu
Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Janganlah seseorang
mengusir saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di
tempatnya, tetapi (katakanlah), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga
Allah memberikan kelapangan bagi kalian.”
‫و ُم‬DDُ‫ "اَل يَق‬:ُ‫ه‬Dُ‫ َولَ ْفظ‬.‫ ِه‬Dِ‫ ب‬،‫ عَنْ فُلَ ْيح‬،‫ب‬
ِ ‫ َؤ ِّد‬D‫س ْب ِن ُم َح َّم ٍد ا ْل ُم‬َ ُ‫ون‬DDُ‫ َوي‬،‫س‬ َ ُ‫س َريج ْب ِن يُون‬ ُ ْ‫ضا عَن‬ ً ‫َو َر َواهُ أَ ْي‬
"‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم‬ِ ‫س‬ َ ‫ َولَ ِك ِن ا ْف‬،‫س ِه‬
َ ‫س ُحوا يَ ْف‬ ِ ِ‫الرج ُل لِل َّر ُج ِل ِمنْ َم ْجل‬
Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Syuraih ibnu Yunus dan
Yunus ibnu Muhammad Al-Mu'addib, dari Falih dengan sanad yang sama,
sedangkan teksnya berbunyi seperti berikut: Janganlah seseorang
mengusir orang lain dari tempat duduknya, tetapi (hendaklah ia
mengatakan), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan
kelapangan bagi kalian.” "
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid (sendirian)
Ulama ahli fiqih berbeda pendapat sehubungan dengan kebolehan berdiri
karena menghormati seseorang yang datang. Ada beberapa pendapat di
kalangan mereka; di antaranya ada yang
memberikan rukhsah (kemurahan) dalam hal tersebut karena berlandaskan
kepada dalil hadis yang mengatakan:
َ ‫"قُو ُموا إِلَى‬
"‫سيِّ ِد ُك ْم‬
Berdirilah kamu untuk menghormat pemimpinmu!
Di antara mereka ada pula yang melarangnya karena berdalilkan hadis
Nabi Saw. lainnya yang mengatakan:
"‫ب أَنْ يَتَمثَّ َل لَهُ ال ِّر َجا ُل قِيَا ًما فَ ْليَتب َّوأ َم ْق َعدَه ِمنَ النَّا ِر‬
َّ ‫أح‬
َ ْ‫" َمن‬
Barang siapa yang merasa senang bila orang-orang berdiri untuk
menghormati dirinya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk mengambil
tempat duduknya di neraka.

Dan di antara mereka ada yang menanggapi masalah ini secara rinci.
Untuk itu ia mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan bila baru tiba
dari suatu perjalanan, sedangkan si hakim (penguasa) yang baru datang
berada di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadis
yang menceritakan kisah Sa'd ibnu Mu'az, karena sesungguhnya ketika
Nabi Saw. memanggilnya untuk menjadi hakim terhadap orang-orang
Bani Quraizah, dan Nabi Saw. melihatnya tiba, maka beliau Saw. bersabda
kepada kaum muslim (pasukan kaum muslim): Berdirilah kalian untuk
menghormat pemimpin kalian!
Hal ini tiada lain hanyalah agar keputusannya nanti dihormati dan ditaati;
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun bila hal tersebut dijadikan sebagai tradisi, maka hal itu merupakan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang 'Ajam. Karena di dalam kitab-
kitab sunnah telah disebutkan bahwa tiada seorang pun yang lebih disukai
oleh mereka selain dari Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw. apabila
datang kepada mereka, mereka tidak berdiri untuknya, mengingat mereka
mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara tersebut.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. belum pernah duduk di tempat yang
paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah
majelis itu. Sedangkan para sahabat duduk di dekatnya sesuai dengan
tingkatan mereka. Maka Abu Bakar As-Siddiq r.a. duduk di sebelah
kanannya, Umar r.a. di sebelah kirinya, sedangkan yang di depan beliau
sering kalinya adalah Usman dan Ali karena keduanya termasuk juru tulis
wahyu. Dan Nabi sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hal
tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim
melalui hadis Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Ma'mar, dari Abu
Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫"لِيَليني منكم أولوا اأْل َ ْحاَل ِم والنُّ َهى‬
Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk
mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian
orang-orang yang sesudah mereka.
Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami dari
beliau apa yang beliau sabdakan. Karena itulah maka beliau Saw.
memerintahkan kepada mereka yang duduk di dekatnya untuk bangkit dan
agar duduk di tempat mereka orang-orang Ahli Badar yang baru tiba. Hal
ini adakalanya karena mereka kurang menghargai kedudukan Ahli Badar,
atau agar Ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima bagian mereka
dari ilmu sebagaimana yang telah diterima oleh orang-orang yang sebelum
mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-
orang yang memiliki keutamaan itu (Ahli Badar) harus diprioritaskan
berada di depan (dekat dengan Nabi Saw.)
‫ عَنْ أَبِي‬،‫ ٍر‬DD‫ عَنْ ُع َمارة ْب ِن ُع َم ْي ٍر التَّ ْي ِم ِّي عَنْ أَبِي َم ْع َم‬،‫ش‬ ِ ‫ َع ِن اأْل َ ْع َم‬،‫ َح َّدثَنَا َو ِكيع‬:ُ‫قَا َل اإْل ِ َما ُم أَ ْح َمد‬
‫تَ ُووا َواَل‬D ‫"اس‬
ْ :‫و ُل‬DDُ‫صاَل ِة َويَق‬
َّ ‫س ُح َمنَا ِكبَنَا فِي ال‬ َ ‫سلَّ َم يَ ْم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ َكانَ َر‬:‫س ُعو ٍد قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ْ ‫َم‬
."‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫ لِيَلِيَنِي ِم ْن ُك ْم أُولُو اأْل َ ْحاَل ِم والنُّهى‬،‫ت َْختَلِفُوا فَت َْختَلِفَ قُلُوبُ ُك ْم‬
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu.Umair Al-Laisi, dari Ma'mar, dari
Abu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengusap
pundak-pundak kami sebelum salat seraya bersabda: Luruskanlah saf
kalian, janganlah kalian acak-acakan karena menyebabkan hati kalian
akan bertentangan. Hendaklah yang berada di dekatku dari kalian adalah
orang-orang yang memiliki budi dan akal, kemudian orang-orang yang
sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.
Abu Mas'ud mengatakan, bahwa keadaan kalian sekarang lebih
parah pertentangannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan para pemilik kitab sunnah—kecuali Imam Turmuzi— melalui
berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Apabila hal ini dianjurkan oleh Nabi Saw. kepada mereka dalam salat,
yaitu hendaknya orang-orang yang berakal dan ulamalah yang berada di
dekat Nabi Saw., maka terlebih lagi bila hal tersebut di luar salat.
ِ ‫ ِد هَّللا‬D‫ عَنْ َع ْب‬،َ‫ َّرة‬D‫ي ِر ْب ِن ُم‬Dِ‫ عَنْ َكث‬،‫ عَنْ أَبِي ال َّزا ِه ِريَّ ِة‬،‫ح‬
ٍ ِ‫ال‬D‫ص‬َ ُ‫ث ُم َعا ِويَةُ بْن‬ ِ ‫َو َر َوى أَبُو دَا ُو َد ِمنْ َح ِدي‬
‫سدّوا‬ ُ ‫ و‬،‫ب‬ ِ ‫وحا ُذوا بَيْنَ ا ْل َمنَا ِك‬
َ ، َ‫الصفُوف‬ ُّ ‫ "أَقِي ُموا‬:‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ْب ِن ُع َم َر أَنَّ َر‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬
َ ‫صفًّا َو‬
‫ َع‬DDَ‫ َو َمنْ قَط‬،ُ ‫صلَهُ هَّللا‬ َ ‫ َو َمنْ َو‬،‫ش ْيطَا ِن‬
َ ‫صل‬ ٍ ‫ َواَل تَ َذروا فُ ُر َجا‬،‫ ولِينُوا بِأ َ ْي ِدي إِ ْخ َوانِ ُك ْم‬،‫ا ْل َخلَ َل‬
َّ ‫ت لِل‬
"‫صفًّا قَطَ َعهُ هللا‬َ
Imam Abu Daud telah meriwayatkan melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh,
dari AbuzZahiriyah, dari Kasir ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Luruskanlah semua saf,
sejajarkanlah pundak-pundak (mu), tutuplah semua
kekosongan (saf), dan lunakkanlah tangan terhadap saudara-saudaramu,
dan janganlah kamu biarkan kekosongan (safjmu ditempati oleh setan.
Barang siapa yang menghubungkan safnya, maka Allah akan
berhubungan dengannya; dan barang siapa yang memutuskan saf maka
Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Karena itulah maka Ubay ibnu Ka'b yang terbilang pemimpin Ahli
Qurra, apabila sampai di saf yang pertama, maka dia mencabut seseorang
darinya yang orang itu termasuk salah seorang dari orang-orang yang
berakal lemah, lalu ia masuk ke dalam saf pertama menggantikannya. Ia
lakukan demikian karena berpegang kepada hadis berikut yang
mengatakan:
."‫"لِيَلِيَنِي ِم ْن ُك ْم أُولُو اأْل َ ْحاَل ِم َوالنُّ َهى‬
Hendaklah mengiringiku dari kalian orang-orang yang berbudi dan
berakal.
Lain halnya dengan sikap Abdullah ibnu Umar, ia tidak mau duduk di
tempat seseorang yang bangkit darinya untuk dia karena mengamalkan
hadis yang telah disebutkan di atas yang diketengahkan melalui
riwayatnya sendiri.
Untuk itu sudah dianggap cukup keterangan mengenai masalah ini dan
semua contoh yang berkaitan dengan makna ayat ini. Karena
sesungguhnya pembahasannya yang panjang lebar memerlukan tempat
tersendiri, bukan dalam kitab tafsir ini.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika kami (para
sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datanglah tiga
orang. Salah seorang dari mereka menjumpai kekosongan dalam halqah,
maka ia masuk dan duduk padanya. Sedangkan yang lain hanya duduk di
belakang orang-orang, dan orang yang ketiga pergi lagi. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
ْ ‫ َوأَ َّما الثَّانِي فَا‬،ُ ‫ أَ َّما اأْل َ َّو ُل فَآ َوى إِلَى هَّللا ِ فَآ َواهُ هَّللا‬،‫"أال أنبئكم بِ َخبَ ِر الثَّاَل ثَ ِة‬
ْ ‫ست َْحيَا فَا‬
،ُ‫ه‬DD‫ست َْحيَا هَّللا ُ ِم ْن‬
"ُ‫ض هَّللا ُ َع ْنه‬ َ ‫ض فَأ َ ْع َر‬ َ ‫ث فَأ َ ْع َر‬ ُ ِ‫َوأَ َّما الثَّال‬
Ingatlah, aku akan menceritakan kepada kalian tentang orang yang
terbaik di antara tiga orang itu. Adapun orang yang pertama, dia
berlindung kepada Allah, maka Allah pun memberikan tempat baginya.
Sedangkan orang yang kedua, ia merasa malu, maka Allah merasa malu
kepadanya. Dan adapun orang yang ketiga, dia berpaling, maka Allah
berpaling darinya.
‫ ِرو ْب ِن‬D‫ عَنْ َع ْم‬،‫ ٍد‬D‫ا َمةُ بْنُ زَ ْي‬D‫س‬ َ ُ‫ا أ‬DDَ‫ أَ ْخبَ َرن‬،ِ ‫ ُد هَّللا‬D‫ا َع ْب‬DDَ‫ أَ ْخبَ َرن‬،‫ا ٍد‬DDَ‫ َّدثَنَا َعتَّاب بْنُ ِزي‬D‫ َح‬:ُ‫ د‬D‫قَا َل اإْل ِ َما ُم أَ ْح َم‬
‫ ٍل‬D‫ ُّل لِ َر ُج‬D‫ "اَل يَ ِح‬:‫ا َل‬DDَ‫سلَّ َم ق‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو أَنَّ َر‬،‫ عَنْ أَبِي ِه‬،‫ب‬ ٍ ‫ش َع ْي‬ ُ
"‫ق بَيْنَ ا ْثنَ ْي ِن إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه َما‬
َ ‫أَنْ يُفَ ِّر‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu
Ziad, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak
diperbolehkan bagi seseorang memisahkan di antara dua orang  (dalam
suatu majelis), melainkan dengan seizin keduanya.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui
hadis Usamah ibnu Zaid Al-Laisi dengan sanad yang sama, dan Imam
Turmuzi menilainya hasan.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain
keduanya, bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-
Nya: Apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis,
"maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka
mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan,
"Berdirilah kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya,
berdirilah untuk perang.
Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka
berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila kamu diundang untuk
kebaikan, maka datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu
diundang untuk salat, maka bersegeralah kamu kepadanya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka
(para sahabat) apabila berada di hadapan Nabi Saw. di rumahnya, dan
masa bubar telah tiba, maka masing-masing dari mereka menginginkan
agar dirinyalah orang yang paling akhir bubarnya dari sisi beliau. Dan
adakalanya Nabi Saw. merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena
barangkali Nabi Saw. mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka
mereka diperintahkan agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis. Hal ini
semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
ْ َ‫ار ِج ُعوا ف‬
}‫ار ِج ُعوا‬ ْ ‫{ َوإِنْ قِي َل لَ ُك ُم‬
Dan jika dikatakan kepadamu, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah
kamu kembali. (An-Nur: 28)
Firman Allah Swt.:
ٍ ‫{يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا‬
}‫ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)
Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila
seseorang dari kalian memberikan kelapangan untuk tempat duduk
saudaranya yang baru tiba, atau dia disuruh bangkit dari tempat duduknya
untuk saudaranya itu, hal itu mengurangi haknya (merendahkannya).
Tidak, bahkan hal itu merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan
Dia akan memberikan balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena
sesungguhnya barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah,
niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan
namanya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu Maha
Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang
tidak berhak mendapatkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Syihab, dari Abut Tufail alias Amir ibnu Wasilah,
bahwa Nafi' ibnu Abdul Haris bersua dengan Umar r.a. di Asfan, dan
sebelumnya Umar telah mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka
Umar bertanya kepadanya, "Siapakah yang menggantikanmu untuk
memerintah ahli lembah itu (yakni Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku
angkat sebagai penggantiku terhadap mereka Ibnu Abza —seseorang dari
bekas budak kami—." Umar bertanya, "Engkau angkat sebagai
penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?" Nafi'
menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya dia adalah seorang
pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-Qur'an) dan alim mengenai
ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar r.a. berkata dengan nada
menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda:
َ ‫ض ُع بِ ِه‬
" َ‫آخ ِرين‬ ِ ‫"إِنَّ هَّللا َ يَ ْرفَ ُع بِ َه َذا ا ْل ِكتَا‬
َ َ‫ب قَ ْو ًما َوي‬
Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-
Qur'an) ini dan merendahkan kaum lainnya karenanya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui
berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan
pula melalui berbagai jalur dari Umar hal yang semisal.
Kami (penulis) telah menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan para
pemiliknya serta hadis-hadis yang menerangkan tentangnya secara rinci di
dalam Syarah Kitabul 'Ilmi dari Sahih Bukhari.6

6
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-al-mujadilah-ayat-16-17.html
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Kompetensi_Guru

http://kompetensi.info/kompetensi-guru/empat-kompetensi-guru.html

https://islam.nu.or.id/post/read/95128/penjelasan-al-quran-tentang-sosok-ahli-
dzikir

https://dnuxminds.wordpress.com/2015/06/01/bertanyalah-kepada-ahlul-dzikri-
mengapa-bukan-ke-ahlul-ilmi

https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:VlePSA0aO8kJ:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-577-tafsir-al-
anbiya-ayat-7.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-al-mujadilah-ayat-16-
17.html

Anda mungkin juga menyukai