MANUSIA
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah: Bimbingan dan
Penyuluhan
Dosen Pengampu : Puspa Mia Widiyahningsih, M.Pd
Disusun Oleh:
Saifudin Zuhri 1119005
SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
A. PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Rumusan Masalah 2
3. Tujuan 2
B. PEMBAHASAN 3
C. PENUTUP 25
1. Kesimpulan 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian kompetensi Pendidik
b. Pengertian ahlu dzikr
c. Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7, Al Mujadalah; 11
3. Tujuan
a. Mengetahui Pengertian kompetensi Pendidik
b. Mengetahui Pengertian ahlu dzikr
c. Mengetahui Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7, Al Mujadalah; 11
d.
BAB II
B. PEMBAHASAN
1. Kompetensi Pendidik
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Kompetensi_Guru
kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi
guru yang baik.
Ahli dzikir ialah orang yang ‘arif, rijalul ‘arif. Habib Luthfi menyebutkan,
kalau orang ‘arif sudah dipastikan ibadahnya baik. Itu semua disaksikan dan
diakui oleh Allah yang menciptakan 3
2
http://kompetensi.info/kompetensi-guru/empat-kompetensi-guru.html
3
https://islam.nu.or.id/post/read/95128/penjelasan-al-quran-tentang-sosok-ahli-dzikir
orang2 yang kami utus ke umat sebelum kalian itu tidak lain adalah laki2
(manusia) dari bani Adam seperti Muhammad SAW, dan sementara kalian
mengatakan mereka itu malaikat atau mengira bahwa Allah SWT berkata
kepada mereka sebelumnya
{ } فـا ْسئَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِرbertanyalah ke ahladz dzikri yakni mereka yang telah
membaca Al-Kitab sebelum mereka yakni Taurot dan Injil dan selainnya dari
Kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya.
Jadi secara asbabul Nuzul, pengertian dari Ahlul Dzikri di ayat tersebut adalah
orang-orang yang memahami Taurot dan Injil
Jadi makna Dzikr tiada lain adalah peringatan Allah SWT yakni kitab-
kitab yang diturunkanNya.
Karena itu didalam tafsir Mafatih Ghoib, Imam Rozi mengatakan bahwa
diantara penafsiran Dzikr adalah tertuju kepada Taurat sebagamana dalam
ayat tersebut “Kami tetapkan di Zubur setelah Dzikr”. Mengutip Zujaj,
Imam Rozi juga memberikan definisi ahlul dzikri sebagai ahlul ilmu
إذ العالم بالشيء يكون ذاكراً له،أهل الذكر أهل العلم بأخبار الماضين
ahlu dzikri adalah ahlul ilmu yang mengetahui kabar (pengetahuan)
perkara lampau, Ketiua seseorang mengetahui (alim) sesuatu, maka dia
menjadi orang yang tahu dan bisa menjadi referensi (dzakir lahu)***
Masih mengutip dari Imam Zujaj makna dari { وا أَ ْه َل ٱلـ ّـذ ْك ِر
ْ ُ } فَٱسئَلadalah
ذكر بعلم وتحقيقDDل من يDDلوا كDDاه سDDمعن tanyailah setiap orang yang mengetahui
dengan ilmu dan dengan tahqiq (penyelidikan)
Selanjutnya Imam Razi mengatakan dalam persoalan penggunaan
Qiyas
هDD المكلف إذا نزلت به واقعة فإن كان عالما ً بحكمها لم يجز ل:احتج نفاة القياس بهذه اآلية فقالوا
ذه اآليةDDاهر هDDا لظDDا ً بهD ان عالمDDؤال من كDDه سDDا وجب عليDDا ً بحكمهD وإن لم يكن عالم،اسDDالقي،
Seorang mukalaf bila dia mengetahui fakta sesuatu, bila dia adalah orang
‘alim dengan hukum permasalahan tersebut maka dia tidak boleh berqiyas.
Sedangkan bila dia bukan orang alim terhadap ilmu tersebut, maka dia
wajib bertanya kepada orang alim berdasarkan dzahir ayat ini.
3. Tafsir tematik surah Al-Ambiya; 7 dan Al-Mujadalah; 11
a. Surah Al-Ambiya; 7
كـ إِـ اَّل ِرـ َـجـ اـاًل نُـوـ ِـحـ يـ إِـ لَـ ْيـ ِهـ ْمـ ۖـ فَـ اـ ْسـ أَـلُـوـاـ أَـ ْهـ َـلـ اـلــذـِّ ْكـ ِرـ إِـ ْـنـ ُكـ ْنـ تُـ ْمـ
َ َـوـ َمـ اـ أَـ ْـرـ َسـ ْلـ نَـ اـ قَـ ْبـ لَـ
اَل تَـ ْـعـ لَـ ُمـ وـ َنـ
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa
orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”
Maka Allah SWT turunkan ayat ini yang membandingkan antara nabi
Muhammad SAW dengan para nabi terdahulu. Di mana para nabi
terdahulu itu sama saja dengan beliau SAW, sama-sama manusia biasa.
Hanya saja mereka mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Versi Penafsiran yang Lain, Selain versi penafsiran di atas, sebagian ahli
tafsir punya versi lain dari maksud ayat di atas. Bahwa menurut mereka
yang dimaksud dengan ahli zikri adalah para ulama yang sangat mengerti
isi Al-Quran. Demikian menurut Ibnu Zaid.
Ayat ini menjadi dasar atas kewajiban setiap muslim untuk bertanya
tentang hal-hal yang tidak atau belum diketahuinya. Maksudnya, bertanya
dalam masalah hukum-hukum Allah SWT yang telah diturunkan lewat
kitab suci dan rasul-Nya. Yang dimaksud dengan ahluz-zikri tidak lain
adalah para ulama yang memiliki derajat kefaqihan atas nash-nash syar'i.
Ayat ini juga menjadi dalil atas tidak wajibnya seseorang untuk
bertaqlid hanya pada satu ulama saja, atau pada satu mazhab saja. Setiap
orang boleh saja bertanya kepada siapa saja yang masih bisa digapainya,
asalkan orang itu memiliki kriteria sebagai faqih (orang yang memahami
maksud dan makna dari tiap perintah Allah).
b. Surah Al-Mujadalah; 11
5
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:VlePSA0aO8kJ:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-577-tafsir-al-anbiya-ayat-
7.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
"Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah
kamu, " maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Allah Swt. berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang
beriman seraya memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka
bersikap baik kepada sebagian yang lain dalam majelis-majelis pertemuan.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
َّ َ{يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَف
ِ ِس ُحوا فِي ا ْل َم َجال
}س
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,
"Berlapang-lapanglah dalam majelis, " (Al-Mujadilah: 11)
Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk
tunggal, bukan jamak.
}ح هَّللا ُ لَ ُك ْم
ِ س َ {فَا ْف
َ س ُحوا َي ْف
“maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” (Al-Mujadilah: 11)
Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan.
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih:
"س ِجدًا َبنَى هَّللا ُ لَهُ بَ ْيتًا فِي ا ْل َجنَّ ِة
ْ " َمنْ َبنَى هَّلِل ِ َم
“Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, maka Allah
akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
Dan di dalam hadis yang lain disebutkan:
ُّد ْنيَاDت ََرهُ هَّللا ُ فِي الDس
َ لِ ًماDس
ْ ت ََر ُمDس َ ،سر هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة
َ ْ[و َمن َّ َسر ي ِ سر َعلَى ُم ْع َّ َ" َو َمنْ ي
"َواآْل ِخ َر ِة] َوهَّللا ُ فِي ع َْو ِن ا ْل َع ْب ِد َما َكانَ ا ْل َع ْب ُد فِي ع َْو ِن أَ ِخي ِه
“Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang
kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan
akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba
menolong saudaranya.”
Masih banyak hadis lainnya yang serupa. Karena itulah maka disebutkan
oleh firman-Nya:
}ح هَّللا ُ لَ ُك ْم
ِ س َ {فَا ْف
َ س ُحوا يَ ْف
“maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” (Al-Mujadilah: 11)
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
majelis zikir. Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang
dari mereka yang baru datang, mereka tidak memberikan kelapangan
untuk tempat duduknya di hadapan Rasulullah Saw. Maka Allah
memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka memberikan
kelapangan tempat duduk untuk sebagian yang lainnya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada
hari Jumat, sedangkan Rasulullah Saw. pada hari itu berada
di suffah (serambi masjid); dan di tempat itu penuh sesak dengan manusia.
Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah Saw. ialah memuliakan
orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin
maupun dari kalangan Ansar. Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang
dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan orang-orang selain mereka
telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah Saw.
Maka mereka yang baru datang berdiri menghadap kepada
Rasulullah dan berkata, "Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada
engkau, hai Nabi Allah, dan juga keberkahan-Nya." Lalu Nabi Saw.
menjawab salam mereka. Setelah itu mereka mengucapkan salam pula
kepada kaum yang telah hadir, dan kaum yang hadir pun menjawab salam
mereka. Maka mereka hanya dapat berdiri saja menunggu diberikan
keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu. Nabi Saw. mengetahui
penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena tidak diberikan
keluasan bagi mereka di majelis itu.
Melihat hal itu Nabi Saw. merasa tidak enak, maka beliau bersabda
kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan
Ansar yang bukan dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu.
Juga kamu, hai Fulan." Dan Nabi Saw. mempersilakan duduk beberapa
orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin
dan Ansar Ahli Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang
yang disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Saw. mengetahui
keadaan ini dari roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat
duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka,
"Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara
sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap
mereka. Sesungguhnya suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka
di dekat nabi mereka karena mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi
nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya, dan
mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang
terlambat." Maka telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
"سح أِل َ ِخي ِه
َ َ"ر ِح َم هَّللا ُ َر ُجاًل ف
َ
“Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat
duduk bagi saudaranya.”
Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara
mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat.
Dan di antara mereka ada yang menanggapi masalah ini secara rinci.
Untuk itu ia mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan bila baru tiba
dari suatu perjalanan, sedangkan si hakim (penguasa) yang baru datang
berada di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadis
yang menceritakan kisah Sa'd ibnu Mu'az, karena sesungguhnya ketika
Nabi Saw. memanggilnya untuk menjadi hakim terhadap orang-orang
Bani Quraizah, dan Nabi Saw. melihatnya tiba, maka beliau Saw. bersabda
kepada kaum muslim (pasukan kaum muslim): Berdirilah kalian untuk
menghormat pemimpin kalian!
Hal ini tiada lain hanyalah agar keputusannya nanti dihormati dan ditaati;
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun bila hal tersebut dijadikan sebagai tradisi, maka hal itu merupakan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang 'Ajam. Karena di dalam kitab-
kitab sunnah telah disebutkan bahwa tiada seorang pun yang lebih disukai
oleh mereka selain dari Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw. apabila
datang kepada mereka, mereka tidak berdiri untuknya, mengingat mereka
mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara tersebut.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. belum pernah duduk di tempat yang
paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah
majelis itu. Sedangkan para sahabat duduk di dekatnya sesuai dengan
tingkatan mereka. Maka Abu Bakar As-Siddiq r.a. duduk di sebelah
kanannya, Umar r.a. di sebelah kirinya, sedangkan yang di depan beliau
sering kalinya adalah Usman dan Ali karena keduanya termasuk juru tulis
wahyu. Dan Nabi sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hal
tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim
melalui hadis Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Ma'mar, dari Abu
Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم، ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم،"لِيَليني منكم أولوا اأْل َ ْحاَل ِم والنُّ َهى
Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk
mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian
orang-orang yang sesudah mereka.
Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami dari
beliau apa yang beliau sabdakan. Karena itulah maka beliau Saw.
memerintahkan kepada mereka yang duduk di dekatnya untuk bangkit dan
agar duduk di tempat mereka orang-orang Ahli Badar yang baru tiba. Hal
ini adakalanya karena mereka kurang menghargai kedudukan Ahli Badar,
atau agar Ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima bagian mereka
dari ilmu sebagaimana yang telah diterima oleh orang-orang yang sebelum
mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-
orang yang memiliki keutamaan itu (Ahli Badar) harus diprioritaskan
berada di depan (dekat dengan Nabi Saw.)
عَنْ أَبِي، ٍرDD عَنْ ُع َمارة ْب ِن ُع َم ْي ٍر التَّ ْي ِم ِّي عَنْ أَبِي َم ْع َم،ش ِ َع ِن اأْل َ ْع َم، َح َّدثَنَا َو ِكيع:ُقَا َل اإْل ِ َما ُم أَ ْح َمد
تَ ُووا َواَلD "اس
ْ :و ُلDDُصاَل ِة َويَق
َّ س ُح َمنَا ِكبَنَا فِي ال َ سلَّ َم يَ ْم
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو ُ َكانَ َر:س ُعو ٍد قَا َل
َ ِ سو ُل هَّللا ْ َم
." ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم، ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَ ُه ْم، لِيَلِيَنِي ِم ْن ُك ْم أُولُو اأْل َ ْحاَل ِم والنُّهى،ت َْختَلِفُوا فَت َْختَلِفَ قُلُوبُ ُك ْم
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu.Umair Al-Laisi, dari Ma'mar, dari
Abu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengusap
pundak-pundak kami sebelum salat seraya bersabda: Luruskanlah saf
kalian, janganlah kalian acak-acakan karena menyebabkan hati kalian
akan bertentangan. Hendaklah yang berada di dekatku dari kalian adalah
orang-orang yang memiliki budi dan akal, kemudian orang-orang yang
sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.
Abu Mas'ud mengatakan, bahwa keadaan kalian sekarang lebih
parah pertentangannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan para pemilik kitab sunnah—kecuali Imam Turmuzi— melalui
berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Apabila hal ini dianjurkan oleh Nabi Saw. kepada mereka dalam salat,
yaitu hendaknya orang-orang yang berakal dan ulamalah yang berada di
dekat Nabi Saw., maka terlebih lagi bila hal tersebut di luar salat.
ِ ِد هَّللاD عَنْ َع ْب،َ َّرةDي ِر ْب ِن ُمDِ عَنْ َكث، عَنْ أَبِي ال َّزا ِه ِريَّ ِة،ح
ٍ ِالDصَ ُث ُم َعا ِويَةُ بْن ِ َو َر َوى أَبُو دَا ُو َد ِمنْ َح ِدي
سدّوا ُ و،ب ِ وحا ُذوا بَيْنَ ا ْل َمنَا ِك
َ ، َالصفُوف ُّ "أَقِي ُموا:سلَّ َم قَا َل َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو ُ ْب ِن ُع َم َر أَنَّ َر
َ ِ سو َل هَّللا
َ صفًّا َو
َعDDَ َو َمنْ قَط،ُ صلَهُ هَّللا َ َو َمنْ َو،ش ْيطَا ِن
َ صل ٍ َواَل تَ َذروا فُ ُر َجا، ولِينُوا بِأ َ ْي ِدي إِ ْخ َوانِ ُك ْم،ا ْل َخلَ َل
َّ ت لِل
"صفًّا قَطَ َعهُ هللاَ
Imam Abu Daud telah meriwayatkan melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh,
dari AbuzZahiriyah, dari Kasir ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Luruskanlah semua saf,
sejajarkanlah pundak-pundak (mu), tutuplah semua
kekosongan (saf), dan lunakkanlah tangan terhadap saudara-saudaramu,
dan janganlah kamu biarkan kekosongan (safjmu ditempati oleh setan.
Barang siapa yang menghubungkan safnya, maka Allah akan
berhubungan dengannya; dan barang siapa yang memutuskan saf maka
Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Karena itulah maka Ubay ibnu Ka'b yang terbilang pemimpin Ahli
Qurra, apabila sampai di saf yang pertama, maka dia mencabut seseorang
darinya yang orang itu termasuk salah seorang dari orang-orang yang
berakal lemah, lalu ia masuk ke dalam saf pertama menggantikannya. Ia
lakukan demikian karena berpegang kepada hadis berikut yang
mengatakan:
.""لِيَلِيَنِي ِم ْن ُك ْم أُولُو اأْل َ ْحاَل ِم َوالنُّ َهى
Hendaklah mengiringiku dari kalian orang-orang yang berbudi dan
berakal.
Lain halnya dengan sikap Abdullah ibnu Umar, ia tidak mau duduk di
tempat seseorang yang bangkit darinya untuk dia karena mengamalkan
hadis yang telah disebutkan di atas yang diketengahkan melalui
riwayatnya sendiri.
Untuk itu sudah dianggap cukup keterangan mengenai masalah ini dan
semua contoh yang berkaitan dengan makna ayat ini. Karena
sesungguhnya pembahasannya yang panjang lebar memerlukan tempat
tersendiri, bukan dalam kitab tafsir ini.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika kami (para
sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datanglah tiga
orang. Salah seorang dari mereka menjumpai kekosongan dalam halqah,
maka ia masuk dan duduk padanya. Sedangkan yang lain hanya duduk di
belakang orang-orang, dan orang yang ketiga pergi lagi. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
ْ َوأَ َّما الثَّانِي فَا،ُ أَ َّما اأْل َ َّو ُل فَآ َوى إِلَى هَّللا ِ فَآ َواهُ هَّللا،"أال أنبئكم بِ َخبَ ِر الثَّاَل ثَ ِة
ْ ست َْحيَا فَا
،ُهDDست َْحيَا هَّللا ُ ِم ْن
"ُض هَّللا ُ َع ْنه َ ض فَأ َ ْع َر َ ث فَأ َ ْع َر ُ َِوأَ َّما الثَّال
Ingatlah, aku akan menceritakan kepada kalian tentang orang yang
terbaik di antara tiga orang itu. Adapun orang yang pertama, dia
berlindung kepada Allah, maka Allah pun memberikan tempat baginya.
Sedangkan orang yang kedua, ia merasa malu, maka Allah merasa malu
kepadanya. Dan adapun orang yang ketiga, dia berpaling, maka Allah
berpaling darinya.
ِرو ْب ِنD عَنْ َع ْم، ٍدDا َمةُ بْنُ زَ ْيDس َ ُا أDDَ أَ ْخبَ َرن،ِ ُد هَّللاDا َع ْبDDَ أَ ْخبَ َرن،ا ٍدDDَ َّدثَنَا َعتَّاب بْنُ ِزيD َح:ُ دDقَا َل اإْل ِ َما ُم أَ ْح َم
ٍلD ُّل لِ َر ُجD "اَل يَ ِح:ا َلDDَسلَّ َم ق
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو
َ ِ سو َل هَّللا ُ عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو أَنَّ َر، عَنْ أَبِي ِه،ب ٍ ش َع ْي ُ
"ق بَيْنَ ا ْثنَ ْي ِن إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه َما
َ أَنْ يُفَ ِّر
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu
Ziad, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak
diperbolehkan bagi seseorang memisahkan di antara dua orang (dalam
suatu majelis), melainkan dengan seizin keduanya.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui
hadis Usamah ibnu Zaid Al-Laisi dengan sanad yang sama, dan Imam
Turmuzi menilainya hasan.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain
keduanya, bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-
Nya: Apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis,
"maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka
mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan,
"Berdirilah kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya,
berdirilah untuk perang.
Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka
berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila kamu diundang untuk
kebaikan, maka datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu
diundang untuk salat, maka bersegeralah kamu kepadanya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka
(para sahabat) apabila berada di hadapan Nabi Saw. di rumahnya, dan
masa bubar telah tiba, maka masing-masing dari mereka menginginkan
agar dirinyalah orang yang paling akhir bubarnya dari sisi beliau. Dan
adakalanya Nabi Saw. merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena
barangkali Nabi Saw. mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka
mereka diperintahkan agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis. Hal ini
semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
ْ َار ِج ُعوا ف
}ار ِج ُعوا ْ { َوإِنْ قِي َل لَ ُك ُم
Dan jika dikatakan kepadamu, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah
kamu kembali. (An-Nur: 28)
Firman Allah Swt.:
ٍ {يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا
}ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)
Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila
seseorang dari kalian memberikan kelapangan untuk tempat duduk
saudaranya yang baru tiba, atau dia disuruh bangkit dari tempat duduknya
untuk saudaranya itu, hal itu mengurangi haknya (merendahkannya).
Tidak, bahkan hal itu merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan
Dia akan memberikan balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena
sesungguhnya barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah,
niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan
namanya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu Maha
Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang
tidak berhak mendapatkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Syihab, dari Abut Tufail alias Amir ibnu Wasilah,
bahwa Nafi' ibnu Abdul Haris bersua dengan Umar r.a. di Asfan, dan
sebelumnya Umar telah mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka
Umar bertanya kepadanya, "Siapakah yang menggantikanmu untuk
memerintah ahli lembah itu (yakni Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku
angkat sebagai penggantiku terhadap mereka Ibnu Abza —seseorang dari
bekas budak kami—." Umar bertanya, "Engkau angkat sebagai
penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?" Nafi'
menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya dia adalah seorang
pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-Qur'an) dan alim mengenai
ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar r.a. berkata dengan nada
menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda:
َ ض ُع بِ ِه
" َآخ ِرين ِ "إِنَّ هَّللا َ يَ ْرفَ ُع بِ َه َذا ا ْل ِكتَا
َ َب قَ ْو ًما َوي
Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-
Qur'an) ini dan merendahkan kaum lainnya karenanya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui
berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan
pula melalui berbagai jalur dari Umar hal yang semisal.
Kami (penulis) telah menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan para
pemiliknya serta hadis-hadis yang menerangkan tentangnya secara rinci di
dalam Syarah Kitabul 'Ilmi dari Sahih Bukhari.6
6
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-al-mujadilah-ayat-16-17.html
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Kompetensi_Guru
http://kompetensi.info/kompetensi-guru/empat-kompetensi-guru.html
https://islam.nu.or.id/post/read/95128/penjelasan-al-quran-tentang-sosok-ahli-
dzikir
https://dnuxminds.wordpress.com/2015/06/01/bertanyalah-kepada-ahlul-dzikri-
mengapa-bukan-ke-ahlul-ilmi
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:VlePSA0aO8kJ:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-577-tafsir-al-
anbiya-ayat-7.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-al-mujadilah-ayat-16-
17.html